You are on page 1of 28

Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Kegawatdaruratan Medik

KEJANG DEMAM PADA ANAK

Oleh : Kelompok Tutorial 14

Arum Alfiyah Fahmi Candra Aji S, Coraega Gena E. Erma Malindha Gunung Mahameru Namira Qisthina Paksi Suryo B. Puji Rahmawati Satria Adi P. Yunita Asri P.

(G0010028) (G0010040) (G0010046) (G0010074) (G0010088) (G0010134) (G0010148) (G0010154) (G0010172) (G0010202)

Tutor Pembimbing : dr. Ida Bagus Budi, Sp.B-BKBD

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal >38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures (1980), kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak yang biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Infeksi ekstrakranial yang paling banyak didapatkan yakni sekitar 70% disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas (ISPA). Kejang merupakan salah satu kedaruratan pediatri yang dapat berpengaruh terhadap kecerdasan anak. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, bisa menimbulkan epilepsi, atau bahkan gangguan tumbuh kembang anak. Untuk itu diperlukan adanya penanganan kejang demam yang cepat dan benar. Berikut ini merupakan skenario kejang demam blok kegawatdaruratan medic yang akan kita bahas dalam skenario ini: Anak saya stuip. Seorang anak laki-laki umur 1 tahun dibawa ke IGD oleh ibunya dengan keluhan kejang. Kejang baru pertama kali ini kurang lebih 5 menit, kejang seluruh tubuh, tangan dan kaki kaku kelojotan, mata mendelik ke atas, kemudian kejang berhenti sendiri. Setelah kejang pasien tampak mengantuk. Pasien sebelumnya demam tinggi mendadak, batuk, dan pilek. Tidak didapatkan riwayat jatuh atau terbentur sebelumnya. Hasil pemeriksaan kesadaran somnolen, BB 10 kg, TB 80 cm, suhu 39,8oC, nafas 24x/menit, nadi 100x/menit, isi cukup, tekanan darah 100/70 mmHg. Ubun-ubun datar, tidak membonjol, tidak ada kaku kuduk. Pada pasien ini diberikan diazepam rektal. Hasil laboratorium Hb 12 gr%, hematokrit 35%., jumlah leukosit 22.000/mm3, jumlah trombosit 325.000/mm3, GDS 100 mg/dL, Natrium 135 mmol/L, Kalium 4 mmol/L. Pasien selanjutnya dirawat di bangsal atas persetujuan orangtua pasien.

B. Rumusan Masalah 1. Apa sajakah jenis-jenis kejang itu? 2. Apa sajakah etiologi kejang? 3. Bagaimanakah algoritma penatalaksanaan kejang? 4. Bagaimanakah patofisiologi gejala dalam scenario? 5. Apa sajakah kedaruratan yang terdapat pada skenario dan apa juga alasan pasien dimasukkan dalam bangsal,bukan PICU? 6. Bagaimana prognosis tumbuh kembang anak yang mempunyai riwayat kejang? 7. Bagaimana interpretasi pemeriksaan laboraturium dalam skenario ini?

C. Tujuan Pembelajaran 1. Mengetahui jenis-jenis kejang. 2. Mengetahui etiologi kejang. 3. Mengetahui algoritma penatalaksanaan kejang. 4. Mengetahui patofisiologi gejala dalam skenario. 5. Mengetahui kedaruratan yang terdapat pada skenario dan juga alasan pasien dimasukkan dalam bangsal,bukan PICU. 6. Mengetahui bagaimana prognosis tumbuh kembang anak yang mempunyai riwayat kejang. 7. Mengetahui bagaimana interpretasi pemeriksaan laboraturium dalam skenario ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kejang 1. Definisi Kejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktifitas neuronal yang abnormal dan sebagai pelepasan listrik serebral yang berlebihan. Aktivitas ini bersifat dapat parsial atau vokal, berasal dari daerah spesifik korteks serebri, atau umum, melibatkan kedua hemisfer otak. Manifestasi jenis ini bervariasi, tergantung bagian otak yang terkena. Penyebab kejang mencakup factor-faktor perinatal, malformasi otak congenital, factor genetic, penyakit infeksi (ensefalitis, meningitis), penyakit demam, gangguan metabilisme, trauma, neoplasma, toksin, gangguan sirkulasi, dan penyakit degeneratif susunan saraf. Kejang disebut idiopatik bila tidak dapat ditemukan penyebabnya. 2. Insidens Sedikitnya kejang terjadi sebanyak 3% sampai 5% dari semua anak-anak sampai usia 5 tahun, kebanyakan terjadi karena demam. 3. Gejala Kejang Gejala Kejang berdasarkan sisi otak yang terkena:

4. Jenis Kejang a. Kejang Parsial 1) Kejang Parsial Sederhana Kesadaran tidak terganggu; dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini: Tanda-tanda motoriskedutaan pada wajah. Tangan, atau salah satu sisi tubuh : umumnya gerakan kejang yang sama. Tanda atau gejala otonomikmuntah berkeringan, muka merah, dilatasi pupil. Gejala somatosensoris atau sensoris khusus-mendengar musik, merasa seakan jatuh dari udara, parestesia. Gejala psikikdejavu, rasa takut, sisi panoramic.

2) Kejang parsial kompleks Terdapat gangguan kesadaran. Walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial simpleks. Dapat mencakup otomatisme atau gerakan aromatic

mengecapkan bibir, mengunyah, gerakan mencongkel yang berulang-ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya. Dapat tanpa otomatismetatapan terpaku

b. Kejang Umum (Konvulsif atau Non-Konvulsif) 1) Kejang Absens Gangguan kewaspadaan dan responsivitas. Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik. Awitan dan khiran cepat, setelah itu kembali waspada dan berkonsentrasi penuh. Umumnya dimulai pada usia antara 4 dan 14 tahun dan sering sembuh dengan sendirinya pada usia 18 tahun.

2) Kejang Mioklonik Kedutaan-kedutaan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi mendadak 3) Kejang MioklonikLanjutan Sering terlihat pada orang sehat selama tidur, tetapi bila patologik, berupa kedutaan-kedutaan sinkron dari leher, bahu, lengan atas dan kaki. Umumnya berlangusung kurang dari 15 detik dan terjadi didalam kelompok. Kehilangan kesadaran hanya sesaat

4) Kejang Tonik-Klonik Diawali dengan hilangnya kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ektremitas, batang tubuh, dan wajah, yang langsung kurang dari 1 menit. Dapat disertai dengan hilangnya kontrol kandung kebih dan usus. Tidak adan respirasi dan sianosis Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik pada ekstremitas atas dan bawah. Letargi, konfusi, dan tidur dalam fase postical

5) Kejang Atonik Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk atau jatuh ketanah. Singkat, dan terjadi tanpa peringatan.

6) Status Epileptikus Biasanya. Kejang tonik-klonik umum yang terjadi berulang. Anak tidak sadar kembali diantara kejang. Potensial untuk depresi pernapasan, hipotensi, dan hipoksia memerlukan pengobatan medis darurat dengan segera

B. Kejang Demam 1. Patofisiologi Kejang Demam Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionic. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel terdapat keadaan sebaliknya). Karena perbedaan jenis dan konsentrasi didalam dan diluar sel, maka disebut potensial membran. Untuk menjaga keseimbangan potensial membaran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel (Gardner, 2004). Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Kenaikan suhu tubuh tertentu dapat mempengaruhi keseimbangan dari membrane sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium dan natrium dari membran tadi, dengan akibat lepasnya muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini demikan besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan

neurotransmitter dan terjadilah kejang. Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh. Sedangkan pada orang dewasa anya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh sedikit saja pada anak-anak dapat dengan mudah memicu terjadinya kejang demam. Disamping itu pada usia < 2 tahun yang mana masa ortak belum matang, maka neuron-neuron otak mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi dibanding otak yang sudah matang, hal ini disebut dengan developmental window. Sehingga pada usia < 2 tahun, anak-anak rentan terhadap bangkitan kejang (Berg, 2003). Demam sendiri menyebabkan kejang melalui 4 mekanisme, yaitu (1) Demam akan menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang imatur, (2)

Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang akhirnya akan mengganggu permeabilitas membran sel, (3) Peningkatan metabolisme basal, sehingga terjadi penimbunan asam laktat dan CO2 yang akan merusak neuron, (4) Demam akan meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) dan meningkatkan kebutuhan oksigen serta glukosa sehingga menimbulkan gangguan pengaliran ion-ion dalam keluar masuk sel. 2. Komplikasi dan Prognosis Kejang Demam Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak menyebabkan komplikasi karena tidak meninggalkan gejala sisa neurologis. Pada kejang demam yang lebih lama (lebih dari 15 menit) dapat terjadi komplikasi berupa apnea, hipoksemia (akibat meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat (akibat metabolisme anaerob), hiperkapnea, hipoksi arterial, dan peningkatan metabolisme otak. Rangkaian kejadian di atas menyebabkan gangguan peredaran darah di otak. Terjadi pula hipoksemia dan edema otak dan akhirnya terjadi kerusakan sel neuron (Deliana, 2002). Semakin lama kejang dialami akan semakin banyak kemungkinan kerusakan yang terjadi dengan demikian prognosisnya menjadi semakin buruk. Pasien mengalami kejang seluruh tubuh yang sering dikenal dengan kejang umum, kasus kejang inilah yang termasuk dalam keadaan emergensi karena pada kejang seluruh tubuh komplikasinya lebih kompleks dan berbahaya. Penting untuk diketahui bagaimana tampilan kejang yang dialami seperti pada pasien yang tangan dan kaki kaku, inilah fase tonik yaitu fleksi yang hebat, diikuti fase ekstensi yang lebih lama, disertai gangguan kesadaran. Pasien kemudian kelojotan, inilah fase klonik yaitu relaksasi otot menginterupsi kontraksi tonik, kembalinya tonus otot berganti-gantian dengan spasme yang kasar dari fleksor dan berulang secara ritmik menyebabkan penampakan seperti hentakan ritmis, yang makin lama tampak makin jauh satu sama lain sampai kejang berhenti. Mata mendelik ke atas juga merupakan suatu tanda demam akibat kontraksi otot luar bola mata, artinya kejang yang dialami pasien bersifat umum, tonik-klonik.

Informasi pada saat kejang berhenti juga harus ditanyakan meliputi bagaimana kejang berhenti dan begaimana keadaan pasien sesaat setelah kejang. C. Interpretasi Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium Pada Skenario Hasil pemeriksaan, kesadaran somnolen, BB 10 kg, TB 80 cm, suhu 39.80C, nafas 24 x/menit, nadi 100 x/menit, isi cukup, tekanan darah 100/70 mmHg. Ubun-ubun datar, tidak menonjol, tidak ada kaku kuduk. Pada pemeriksaan fisik di atas, dapat disimpulkan bahwa keadaan pasien tampak mengantuk, suhu meningkat, nafas sedikit menurun, nadi normal dan tekanan darah meningkat. Hal ini berdasarkan nilai normal pemeriksaan vital sign pada anak usia 1 tahun. Tekanan darah normal anak usia 6 bulan-12 tahun yaitu 90/60 mmHg dan anak usia 1 tahun-5 tahun yaitu 95/65 mmHg. Frekuensi pernafasan normal anak usia 1 bulan-1 tahun yaitu 30-60 x/menit dan anak usia 1 tahun-2 tahun yaitu 25-50 x/menit. Frekuensi nadi normal anak usia 3 bulan-2 tahun yaitu 80-150 x/menit dan suhu rektal anak normal yaitu 36.5-37.50C. BB dan TB selain untuk mengetahui status gizi anak juga digunakan untuk menentukan dosis obat untuk pasien anak. Ubun-ubun datar dan tidak menonjol menunjukkan bahwa tidak ada penurunan maupun peningkatan tekanan intrakranial. Ubun-ubun cekung dapat ditemukan pada kondisi dehidrasi yang juga dapat menimbulkan timbulnya kejang. Tidak ada kaku kuduk menandakan pasien dalam skenario tidak mengalami meningitis. Apabila ditemukan tanda-tanda meningeal pada anak, maka pemeriksaan selanjutnya yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan pungsi lumbal. Pada pasien ini diberikan diazepam rektal. Pemberian diazepam rektal maksimal 3 kali, apabila berlebihan akan menimbulkan depresi napas. Adapun dosis diazepam rektal yaitu 5 mg untuk anak dengan BB < 10 kg dan 10 mg untuk anak dengan BB > 10 kg. Dipilih diazepam sebagai obat pilihan pertama karena mula kerja diazepam cepat sehingga diharapkan episode kejang dapat segera berhenti. Kejang pada pasien dalam skenario sudah

berhenti ketika tiba di IGD, maka pemberian diazepam di sini untuk mencegah timbulnya kejang berulang. Hasil laboratorium Hb 12gr%, hematokrit 35%, jumlah leukosit 22.000/mm3, jumlah trombosit 325.000/mm3, GDS 100 mg/dl, natrium 135 mmol/l, kalium 4 mmol/l. Pasien selanjutnya dirawat di bangsal atas persetujuan orang tua pasien. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, hasil yang tidak normal yaitu pada jumlah leukosit. Terdapat peningkatan jumlah leukosit pada anak di skenario. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi infeksi pada pasien. Infeksi yang dialami pasien ini yaitu berupa infeksi respiratori akut bagian atas yang tampak dengan adanya batuk pilek pada pasien. Pada kasus kejang demam, beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut: 1. Pemeriksaan LCS, biasanya jernih dengans el normal, atau sedikit meningkat 50-500 per mm3, hitung jenis didominasi sel limfosit. 2. Banyak pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan namun jarang bersifat diagnostik. 3. Darah tepi lengkap, dapat menunjukkan polimorfonuklear ringan atau leukositosis mononuklear. 4. Pemeriksaan cairan serebrospinal : biasanya cairan jernih, jumlah sel normal aqtau sedikit meningkta terutama limfosit, sedikit peningkatan protein, kadar gula normal atau sedikit menurun. 5. Biakan darah. 6. Elektrolit lengkap. 7. Pemeriksaan serologik darah. 8. MRI/CT scan kepala biasanya hanya memperlihatkan edema otak baik umum maupun fokal. 9. EEG biasanya menunjukkan gambaran abnormal berupa aktivitas gelombang lambat umum. Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium pada skenario: 1. Hemoglobin (Hb)

Nilai normal dewasa pria 13.5-18.0 gram/dL, wanita 12-16 gram/dL, wanita hamil 10-15 gram/Cl. Nilai normal anak 11-16 gram/dL, batita 9-15 gram/dL, bayi 10-17 gram/dL, neonatus 14-27 gram/Cl. Hb rendah (<10 gram/dL) biasanya dikaitkan dengan anemia defisiensi besi. Sebab lainnya dari rendahnya Hb antara lain pendarahan berat, hemolisis, leukemia leukemik, lupus eritematosus sistemik, dan diet vegetarian ketat (vegan). Dari obat-obatan: obat antikanker, asam asetilsalisilat, rifampisin, primakuin, dan

sulfonamid. Ambang bahaya adalah Hb < 5 gram/dL. Hb tinggi (>18 gram/dL) berkaitan dengan luka bakar, gagal jantung, COPD (bronkitis kronik dengan cor pulmonale), dehidrasi / diare, eritrositosis, polisitemia vera, dan pada penduduk pegunungan tinggi yang normal. Dari obat-obatan: metildopa dan gentamisin.

2. Hematokrit Nilai normal dewasa pria 40-54%, wanita 37-47%, wanita hamil 30-46%. Nilai normal anak 31-45%, batita 35-44%, bayi 29-54%, neonatus 40-68% Hematokrit merupakan persentase konsentrasi eritrosit dalam plasma darah. Secara kasar, hematokrit biasanya sama dengan tiga kali hemoglobin. Ht tinggi (> 55 %) dapat ditemukan pada berbagai kasus yang menyebabkan kenaikan Hb; antara lain penyakit Addison, luka bakar, dehidrasi / diare, diabetes melitus, dan polisitemia. Ambang bahaya adalah Ht >60%. Ht rendah (< 30 %) dapat ditemukan pada anemia, sirosis hati, gagal jantung, perlemakan hati, hemolisis, pneumonia, dan overhidrasi. Ambang bahaya adalah Ht <15%.

3. Leukosit (Hitung total)

Nilai normal 4500-10000 sel/mm3. Neonatus 9000-30000 sel/mm3, Bayi sampai balita rata-rata 5700-18000 sel/mm3, Anak 10 tahun 4500-13500/mm3, ibu hamil rata-rata 6000-17000 sel/mm3, postpartum 9700-25700 sel/mm3 Segala macam infeksi menyebabkan leukosit naik; baik infeksi bakteri, virus, parasit, dan sebagainya. Kondisi lain yang dapat menyebabkan leukositosis yaitu: Anemia hemolitik Sirosis hati dengan nekrosis Stres emosional dan fisik (termasuk trauma dan habis berolahraga) Keracunan berbagai macam zat Obat: allopurinol, atropin sulfat, barbiturat, eritromisin, streptomisin, dan sulfonamid. Leukosit rendah (disebut juga leukopenia) dapat disebabkan oleh agranulositosis, anemia aplastik, AIDS, infeksi atau sepsis hebat, infeksi virus (misalnya dengue), keracunan kimiawi, dan postkemoterapi. Penyebab dari segi obat antara lain antiepilepsi, sulfonamid, kina, kloramfenikol, diuretik, arsenik (terapi leishmaniasis), dan beberapa antibiotik lainnya.

4. Leukosit (hitung jenis) Nilai normal hitung jenis: Basofil 0-1% (absolut 20-100 sel/mm3) Eosinofil 1-3% (absolut 50-300 sel/mm3) Netrofil batang 3-5% (absolut 150-500 sel/mm3) Netrofil segmen 50-70% (absolut 2500-7000 sel/mm3) Limfosit 25-35% (absolut 1750-3500 sel/mm3) Monosit 4-6% (absolut 200-600 sel/mm3)

Penilaian hitung jenis tunggal jarang memberi nilai diagnostik, kecuali untuk penyakit alergi di mana eosinofil sering ditemukan meningkat. Peningkatan jumlah netrofil (baik batang maupun segmen) relatif dibanding limfosit dan monosit dikenal juga dengan sebutan shift to the left. Infeksi yang disertai shift to the left biasanya merupakan infeksi bakteri dan malaria. Kondisi noninfeksi yang dapat menyebabkan shift to the left antara lain asma dan penyakit-penyakit alergi lainnya, luka bakar, anemia perniciosa, keracunan merkuri (raksa), dan polisitemia vera. Sedangkan peningkatan jumlah limfosit dan monosit relatif dibanding netrofil disebut shift to the right. Infeksi yang disertai shift to the rightbiasanya merupakan infeksi virus. Kondisi noninfeksi yang dapat menyebabkan shift to the right antara lain keracunan timbal, fenitoin, dan aspirin.

5. Trombosit Nilai normal dewasa 150.000-400.000 sel/mm3, anak 150.000450.000 sel/mm3. Penurunan trombosit (trombositopenia) dapat ditemukan pada demam berdarah dengue, anemia, luka bakar, malaria, dan sepsis. Nilai ambang bahaya pada <30.000 sel/mm3. Peningkatan trombosit (trombositosis) dapat ditemukan pada penyakit keganasan, sirosis, polisitemia, ibu hamil, habis

berolahraga, penyakit imunologis, pemakaian kontrasepsi oral, dan penyakit jantung. Biasanya trombositosis tidak berbahaya, kecuali jika >1.000.000 sel/mm3.

D. Penatalaksanaan Kejang Demam Pada Anak Urutan penatalaksanaan kejang demam pada anak adalah sebagai berikut: 1. 0 5 menit:

a. Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik b. Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan, berikan oksigen c. Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan neurologi secara cepat d. Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda infeksi 2. 5 10 menit: a. Pemasangan akses intarvena b. Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa, elektrolit c. Pemberian diazepam 0,2 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau diazepam rektal 0,5 mg/kgbb (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat badan > 10 kg = 10 mg). d. Dosis diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu dua kali setelah 5 10 menit. e. Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb. 3. 10 15 menit a. Cenderung menjadi status konvulsivus b. Berikan fenitoin 15 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl 0,9% c. Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 10 mg/kgbb sampai maksimum dosis 30 mg/kgbb. 4. 30 menit a. Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 510 mg/kg dengan interval 10 15 menit. b. Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas darah, elektrolit, gula darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada. Awasi tanda tanda depresi pernafasan. c. Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unit perawatan intensif. Ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu 1. pengobatan fase akut ;

2. mencari dan mengobati penyebab ; dan 3. pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.

1. Pengobatan fase akut Penatalaksanaan saat kejang : Sering kali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang, yang perlu diperhatikan adalah ABC (Airway, Breathing,Circulation). Perhatikan juga keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian antipiretik. Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan Intravena (IV). Dosis diazepam IV 0,3-0,5 mg/kgbb/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dalam waktu 3-5 menit dengan dosis maks 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atu dirumah adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg dengan berat diatas 10 kg. dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun dan dosis 7,5 mg diatas 3 tahun. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum terhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Dirumah sakit dapat diberikan diazepam IV dengan dosis 0,3 -0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgbb IV perlahan-lahan 1 mg/kgbb/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang tidak berhenti juga maka pasien harus dirawat diruang intensif. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan dapat menyebabkan iritasi vena.

Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya. Pemberian Antipiretik : Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan dalam 4 kali pemberian per hari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen adalah 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Asam asetilsalisilat tidak dianjurkan karena kadang dapat menyebabkan sindrom Reye pada anak kurang dari 18 bulan. Pemberian Antikonvulsan : Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulang kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/ kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5Oc. Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam. Pemberian obat umat dengan indikasi : a. Kejang lama >15 menit b. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retatdasi mental, hidrosefalus. c. Kejang fokal d. Pengobatan rumatan dipertimbangkan bila: 1) Kejang berulang 2 X atau lebih dalam 24 jam 2) Kejang demam 4 X atau lebih pertahun Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulang kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 4050% kasus. Dosis asam valproat pada anak anak adalah 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan dosis fenobarbital 3-4mg/kg per hari dalam 1-2 dosis. Lama Pengobatan Rumat : Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian diberhentikan secara bertahap selama 1-2 tahun.

2. Mencari dan mengobati penyebab. Pemeriksaan LCS dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama.

3. Pengobatan profilaksis Ada 2 cara profilaksis, yaitu : a. profilaksis intermiten saat demam dan b. profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan setiap hari Untuk profilaksis intermiten diberikan diazepam secara oral dengan dosis 0,3-0,5mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat pula diberikan secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB<10kg)>10kg) setiap pasien menunjukan suhu >38,5oc. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotonia. Profilaksis terus-menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi dapat mencegah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Digunakan fenobarbital 4-5 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis atau obat lain seperti asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgbb/hari. Antikonvulsan profilaksis terusmenerus diberikan selama 1-2 tahun setalah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan. Profilaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1 atau 2) yaitu : a. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal) b. Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologis sementara atau menetap

c. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung. d. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur <12 bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu episode demam. Bila hanya memenuhi 1 kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka panjang, maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam oral atau rektal tiap 8 jam disamping antipiretik.

E. Diazepam 1. Overview Diazepam adalah turunan dari benzodiazepine dengan rumus molekul 7kloro-1,3-dihidro-1-metil-5-fenil-2H-1,4-benzodiazepin-2-on 2. Sediaan Tablet, injeksi dan gel rectal, dalam berbagai dosis sediaan. Beberapa contoh nama dagang diazepam dipasaran yaitu Stesolid, Valium, Validex dan Valisanbe, untuk sediaan tunggal dan Neurodial, Metaneuron dan Danalgin, untuk sediaan kombinasi dengan metampiron dalam bentuk sediaan tablet. 3. Efek samping a. Efek samping yang sering terjadi, seperti : pusing, mengantuk b. Efek samping yang jarang terjadi, seperti : Depresi, Impaired Cognition c. Efek samping yang jarang sekali terjadi,seperti : reaksi alergi, amnesia, anemia, angioedema, behavioral disorders, blood

dyscrasias, blurred vision, kehilangan keseimbangan, constipation, coordination changes, diarrhea, disease of liver, drug dependence, dysuria, extrapyramidal disease, false Sense of well-being, fatigue, general weakness, headache disorder, hypotension, Increased bronchial secretions, leukopenia, libido changes, muscle spasm,

muscle weakness, nausea, neutropenia disorder, polydipsia, pruritus of skin, seizure disorder, sialorrhea, skin rash, sleep automatism, tachyarrhythmia, trombositopenia, tremors, visual changes,

vomiting, xerostomia. 4. Mekanisme kerja Bekerja pada sistem GABA, yaitu dengan memperkuat fungsi hambatan neuron GABA. Reseptor Benzodiazepin dalam seluruh sistem saraf pusat, terdapat dengan kerapatan yang tinggi terutama dalam korteks otak frontal dan oksipital, di hipokampus dan dalam otak kecil. Pada reseptor ini, benzodiazepin akan bekerja sebagai agonis. Terdapat korelasi tinggi antara aktivitas farmakologi berbagai benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat ikatan. Dengan adanya interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap reseptornya akan meningkat, dan dengan ini kerja GABA akan meningkat. Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran ion klorida akan terbuka sehingga ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk ke dalam sel. Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan

hiperpolarisasi sel bersangkutan dan sebagai akibatnya, kemampuan sel untuk dirangsang berkurang. 5. Indikasi Diazepam digunakan untuk memperpendek mengatasi gejala yang timbul seperti gelisah yang berlebihan, diazepam juga dapat diinginkan untuk gemeteran, kegilaan dan dapat menyerang secara tiba-tiba. Halusinasi sebagai akibat mengkonsumsi alkohol. diazepam juga dapat digunakan untuk kejang otot, kejang otot merupakan penyakit neurologi. dizepam digunakan sebagai obat penenang dan dapat juga

dikombinasikan dengan obat lain. 6. Kontraindikasi a. Hipersensitivitas b. Sensitivitas silang dengan benzodiazepin lain c. Pasien koma

d. Depresi SSP yang sudah ada sebelumnya e. Nyeri berat tak terkendali f. Glaukoma sudut sempit g. Kehamilan atau laktasi h. Diketahui intoleran terhadap alkohol atau glikol propilena (hanya injeksi) 7. Dosis dan rute a. Antiansietas, Antikonvulsan PO (Dewasa) : 2-10 mg 2-4 kali sehari atau 15-30 mg bentuk lepas lambat sekali sehari. PO (anak-anak > 6 bulan) : 1-2,5 mg 3-4 kali sehari. IM, IV (Dewasa) : 2-10 mg, dapat diulang dalam 3-4 jam bila perlu. b. Pra-kardioversi IV (Dewasa) : 5-15 mg 5-10 menit prakardioversi. c. Pra-endoskopi IV (Dewasa) : sampai 20 mg. IM (Dewasa) : 5-10 mg 30 menit pra-endoskopi. d. Status Epileptikus IV (Dewasa) : 5-10 mg, dapat diulang tiap 10-15 menit total 30 mg, program pengobatan ini dapat diulang kembali dalam 2-4 jam (rute IM biasanya digunakan bila rute IV tidak tersedia). IM, IV (Anak-anak > 5 tahun) : 1 mg tiap 2-5 menit total 10 mg, diulang tiap 2-4 jam. IM, IV (Anak-anak 1 bulan 5 tahun) : 0,2-0,5 mg tiap 2-5 menit sampai maksimum 5 mg, dapat diulang tiap 2-4 jam. Rektal (Dewasa) : 0,15-0,5 mg/kg (sampai 20 mg/dosis). Rektal (Geriatrik) : 0,2-0,3 mg/kg.Rektal (Anak-anak) : 0,2-0,5 mg/kg. e. Relaksasi Otot Skelet

PO (Dewasa) : 2-10 mg 3-4 kali sehari atau 15-30 mg bentuk lepas lambat satu kali sehari. 2-2,5 mg 1-2 kali sehari diawal pada lansia atau pasien yang sangat lemah. IM, IV (Dewasa) : 5-10 mg (2-5 mg pada pasien yang sangat lemah) dapat diulang dalam 2-4 jam. f. Putus Alkohol PO (Dewasa) : 10 mg 3-4 kali pada 24 jam pertama, diturunkan sampai 5 mg 3-4 kali sehari. IM, IV (Dewasa) : 10 mg di awal, keudian 5-10 mg dalam 3-4 jam sesuai keperluan.

BAB III PEMBAHASAN Pada skenario dengan judul Anak Saya Stuip didapatkan seorang anak laki-laki umur 1 tahun dibawa ke IGD oleh ibunya dengan keluhan kejang. Pada anak-anak kejang merupakan hal yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pada kasus kejang informasi yang didapat dari hasil anamnesis terhadap orang yang melihat langsung pada saat kejadian merupakan hal yang penting karena hampir seluruh kasus kejang tidak sedang kejang pada saat pemeriksaan berlangsung. Hal pertama yang diketahui adalah identitas pasien yaitu seorang anak laki-laki berusia 1 tahun yang akan mengarahkan diagnosis sesuai epidemiologi. Hal-hal lain yang harus digali pada anamnesis kasus kejang berguna untuk menyingkirkan diagnosis pseudoseizure sesuai kriteria yang telah diketahui kemudian apabila diketahui bahwa pasien sungguh-sungguh mengalami kejang maka dapat mengarahkan diagnosis berdasarkan presentasi kejang yang dialami. Informasi bahwa kejang baru pertama kali ini memungkinan bahwa pasien tidak memiliki penyakit yang memang ditandai kejang berulang. Kemudian dikatan pula bahwa kejang baru pertama kali ini kurang lebih 5 menit, kejang seluruh tubuh, tangan dan kaki kaku kemudian kelojotan, mata

mendelik ke atas, kemudian kejang berhenti sendiri. Setelah kejang, pasien tampak mengantuk. Pasien sebelumnya demam tinggi mendadak, batuk dan pilek. Tidak didapatkan riwayat jatuh atau terbentur sebelumya. Mengantuk pasca kejang merupakan kondisi biasa terjadi. Hal tersebut diakibatkan oleh kelelahan dan menurunnya jumlah neurotransmitter. Demam, batuk, dan pilek merupakan indikasi terjadinya infeksi saluran pernafasan atas. Berdasarkan studi

epidemiologi, penyebab kejang demam tertinggi pada anak adalah ISPA diikuti radang telinga tengah, infeksi saluran cerna, dan infeksi saluran kemih (Hanhan, 2001). Adanya infeksi pada pasien juga dibuktikan dengan hasil pemeriksaan leukosit yang melebihi batas normal. Pasien tidak mengalami kaku kuduk yang menandakan pasien dalam skenario tidak mengalami meningitis. Dari keterangan di atas, dapat dilihat bahwa pasien mengalami kejang demam. Kejang demam pada anak terjadi apabila terdapat peningkatan suhu tubuh yang bila diukur dengan termometer pada rektal anak akan diperoleh suhu >380C. Kejang demam pada anak terjadi karena proses ekstrakranial dan terjadi paling banyak pada anak usia 3 bulan-5 tahun. Selain demam sebagai faktor risiko dan faktor pencetus terjadinya kejang demam pada anak, usia juga merupakan faktor risiko terjadinya kejang pada anak. Hal ini berkaitan dengan tahap perkembangan otak anak. Pematangan otak anak terjadi sampai anak berusia 2 tahun, yang meliputi 6 fase yaitu neurulasi, perkembangan prosensefali, proliferasi neuron, migrasi neural, organisasai dan mielinisasi. Pada usia <2 tahun yang mana masa ortak belum matang, maka neuron-neuron otak mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi dibanding otak yang sudah matang, hal ini disebut dengan developmental window. Sehingga pada usia <2 tahun, anak-anak rentan terhadap bangkitan kejang (Berg, 2003). Pasien kejang kemudian berhenti sendiri tanpa pemberian obat. Mekanisme berhentinya kejang sebernarnya masih belum jelas sampai dengan saat ini. Kejang dapat berhenti sendiri diduga akibat adanya inhibisi aktif yaitu blok depolarisasi dan perubahan lingkungan ekstraselular yaitu turunnya K intraseluler, eliminasi Ca intraseluler, serta adanya agen-agen endogen seperti norepinefrin atau adenosin yang bersifat antikonvulsan. Setelah kejang berhenti pasien tampak

mengantuk, hal ini terjadi pada kejang umum tonik-klonik akibat kelelahan. Apabila pasien dapat ditanya yaitu pada pasien yang lebih dewasa, biasanya tidak ingat dengan kejang yang dialami karena kejang mengenai sistem saraf pusat. Pada kasus kejang demam biasanya pasien menangis setelah berhenti kejang. Tidak terdapatnya riwayat jatuh atau terbentur sebelumnya dapat menyingkirkan penyebab kejang berupa cedera kepala. Cedera kepala baik sebelum maupun setelah lahir dapat menyebabkan kelainan cerebrum yang akan mendorong respon kejang. Dengan menyingkirkan penyebab ini, maka kejang yang dialami pasien dalam skenario adalah disebabkan karena demam tinggi mendadak yang dialaminya (ekstrakranial) bukan proses intrakranial. Hasil pemeriksaan, kesadaran somnolen, BB 10 kg, TB 80 cm, suhu 39.80C, nafas 24 x/menit, nadi 100 x/menit, isi cukup, tekanan darah 100/70 mmHg. Ubun-ubun datar, tidak menonjol, tidak ada kaku kuduk. Pada pemeriksaan fisik di atas, dapat disimpulkan bahwa keadaan pasien tampak mengantuk, suhu meningkat, nafas sedikit menurun, nadi normal dan tekanan darah meningkat. Hal ini berdasarkan nilai normal pemeriksaan vital sign pada anak usia 1 tahun. Tekanan darah normal anak usia 6 bulan-12 tahun yaitu 90/60 mmHg dan anak usia 1 tahun-5 tahun yaitu 95/65 mmHg. Frekuensi pernafasan normal anak usia 1 bulan-1 tahun yaitu 30-60 x/menit dan anak usia 1 tahun-2 tahun yaitu 25-50 x/menit. Frekuensi nadi normal anak usia 3 bulan-2 tahun yaitu 80-150 x/menit dan suhu rektal anak normal yaitu 36.5-37.50C. BB dan TB selain untuk mengetahui status gizi anak juga digunakan untuk menentukan dosis obat untuk pasien anak. Ubun-ubun datar dan tidak menonjol menunjukkan bahwa tidak ada penurunan maupun peningkatan tekanan intrakranial. Ubun-ubun cekung dapat ditemukan pada kondisi dehidrasi yang juga dapat menimbulkan timbulnya kejang. Tidak ada kaku kuduk menandakan pasien dalam skenario tidak mengalami meningitis. Apabila ditemukan tanda-tanda meningeal pada anak, maka pemeriksaan selanjutnya yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan pungsi lumbal.

Pada pasien diberikan diazepam per rektal, sesuai prosedur pada penanganan kejang anak meskipun pada saat di IGD kejang telah berhenti. Diazepam merupakan antikonvulsan dengan onset cepat dan durasi singkat yang akan meredakan kejang dan mencegah serangan kejang berikutnya. Serangan kejang seluruh tubuh termasuk dalam emergensi yang harus segera ditangani dan diutamakan menghentikan kejangnya terlebih dahulu sebelum anamnesis dan pemeriksaan terperinci apabila kejang masih dialami pada saat berada di tempat pelayanan kesehatan. Pemberian per rektal pada bayi dan anak-anak merupakan cara yang tepat karena cepat diserap oleh mukosa anus serta menghindari risiko trauma apabila penggunaan dengan injeksi ataupun aspirasi pada penggunaan enteral. Sediaan dalam bentuk per rektal juga mudah didapat serta penggunaannya ergonomis dengan kemasannya. Pengobatan dapat diberikan kembali, dihentikan atau dilanjutkan obat lain sesuai dengan alur penatalaksanaan kejang yang telah ditentukan prosedur tetapnya. Hasil laboratorium Hb 12gr%, hematokrit 35%, jumlah leukosit 22.000/mm3, jumlah trombosit 325.000/mm3, GDS 100 mg/dl, natrium 135 mmol/l, kalium 4 mmol/l. Pasien selanjutnya dirawat di bangsal atas persetujuan orang tua pasien. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, hasil yang tidak normal yaitu pada jumlah leukosit. Terdapat peningkatan jumlah leukosit pada anak di skenario. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi infeksi pada pasien. Infeksi yang dialami pasien ini yaitu berupa infeksi respiratori akut bagian atas yang tampak dengan adanya batuk pilek pada pasien. Pasien dirawat dibangsal dan tidak langsung dipulangkan karena pasien baru pertama kali mengalami kejang, sehingga kedaannya masih harus terus dievaluasi untuk mencegah terjadinya kejang demam berulang. Adapun risiko anak untuk mengalami kejang demam berulang tergantung pada usia anak saat pertama kali mengalami kejang demam, bila usia anak < 1 tahun saat kejang demam pertama kali maka risikonya 50% untuk mengalami kejang demam ulangan, sedangkan bila usia anak > 1 tahun saat kejang demam pertama kali maka risikonya menjadi 30% untuk mengalami kejang demam ulangan. Anak

dengan riwayat kejang demam memiliki risiko 2-3% untuk mengalami epilepsi pada usia 7 tahun.

BAB III PENUTUP

A. Simpulan Berdasarkan jenisnya kejang dibagi dalam kejang parsial dan kejang umum. Pada skenario ini kejangnya adalah kejang tonik klonik yang masuk dalam kejang umum. Penatalaksanaan kejang untuk lini pertama pada kasus ini adalah diazepam per rectal dan untuk jenis kejang yang kompleks serta tidak memberikan respon dapat ditambahkan dengan antikonvulsan yang lain. Jika kejang berulang >2 kali per 24 jam, maka harus diberikan terapi rumatan sampai 1 tahun bebas kejang. Kedaruratan yang terdapat pada skenario ini adalah kejang pada pediatri, dan alasan pasien dimasukkan dalam bangsal, bukan PICU karena dengan terapi lini pertama pasien sudah memeberikan hasil yang diharapkan. Pasien akan dimasukkan ke dalam PICU jika obat yang diberikan menyebabkan efek samping terhadap tubuh, misalkan nidazolam yang menyebabkan paralisis otot-otot pernapasan sehingga pasien memerlukan perawatan di PICU. Anak yang mengalami kejang dan tidak mendapat penanganan yang tepat prognosisnya akan mengalami gangguan tumbuh kembang. Maka pada kasus skenario ini segera diberikan terapi kejang berupa obat antikonvulsan. Selain itu baiknya diberikan terapi suportif yaitu obat antipiretik karena kasus ini adalah kejang demam, perhatikan posisi pasien untuk tetap menjaga airway terbuka, mencegah aspirasi, menjauhkan pasien dari tempat yang berbahaya, serta tidak lupa lakukan evaluasi dan segera mengatasi penyebab kejangnya.

B. Saran 1. Setiap kasus kejang demam anak harus ditangani dengan segera, karena komplikasinya dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak tersebut selanjutnya.

2. Diskusi tutorial skenario 3 blok kegawatdaruratan medik sudah berjalan dengan lancar. Mahasiswa aktif mengutarakan materi-materi yang sudah didapatkan. 3. Tutor sudah mengarahkan diskusi dengan baik sehingga tutorial berjalan dengan lancar sesuai tujuan dari sistem berbasis kompetensi.

DAFTAR PUSTAKA

Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W (2000). The treatment of convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child; 83:415-19. Berg A T (2003). Are Febrile Seizures Provoked by a Rapid Rise in Temperature. AJDC; 147: 1101-3. Chernecky CC & Berger BJ (2008). Laboratory Tests and Diagnostic Procedures 5th edition. Saunders-Elsevier. Deliana M (2002). Tata laksana kejang demam pada anak. Dalam: Sari pediatri volume 4 nomor 2. Medan: FK USU. Gradnner D K (2004). Membran : Struktur, Susunan & Fungsinya. Dalam : Ronardi D H, Oswari J ed. Biokimia Harper (alih bahasa) cetakan ke 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC: 529-50. Hanhan UA, Fialos MR, Orlowski JP (2001). Status Epilepticus. Ped Clin North Am. 48.3. 683-94.

You might also like