You are on page 1of 17

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Meningitis adalah infeksi ruang subaraknoid dan leptomeningen yang disebabkan oleh berbagai organisme pathogen. Meningitis adalah gangguan yang sangat serius yang terus memiliki insidensi mortalitas dan morbilitas signifikan.1 Meningitis bakteri ataupun purulenta adalah bentuk yang paling penting di Amerika Serikat dalam hal insidensi, gejala sisa dan akhirnya kehilangan kehidupan produktif. Meningitis aseptik, yang biasanya disebabkan oleh virus lebih sering terjadi, namun gejala sisa yang bermakna jarang ditemukan dan penyakit bersifat sembuh spontan. Meningitis granulomatosa, yang disebabkan oleh M. tuberculosis atau jamur, adalah penyebab utama cedera neurologic dan kematian di bagian lainnya.1 Meningitis adalah kedaruratan medis dengan kebutuhan segera terhadap diagnosis yang cepat dan pemberian antibiotik yang tepat, serta tindakan suportif. Indeks kecurigaan yang tinggi harus selalu dipertahankan bila menemukan anak yang febris atau anak yang mengalami perubahan status mental karena beberapa jam pertama perawatan akan memberikan perbedaan sangat penting dalam prognosis.1 Diagnosis dan pengobatan yang cepat tepat pada anak dapat menghasilkan keadaan anak sembuh sempurna tanpa cacat. Pengobatan yang tidak memadai akan mengakibatkan kematian atau retardasi mental disertai gangguan neurologis lainnya, dan seringkali menjadi tuli.2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Meningitis bakterial adalah suatu peradangan pada selaput otak, ditandai dengan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal dan terbukti adanya bakteri penyebab infeksi dalam cairan serebrospinal.3

2.2. Epidemiologi

Angka kejadian meningitis bakterial secara keseluruhan belum diketahui dengan pasti. Tri ruspandji di Jakarta tahun 1980 mendapatkan 1,9% dari pasien rawat inap. Di Surabaya tahun1986-1992 jumlah pasien per tahun berkisar antara 60-80 pasien. Di Amerika Serikat tahun1994 angka kejadian untuk anak anak dibawah 5 tahun berkisar 8,7 per 100.000 sedangkan pada anak di atas 5 tahun 2,2 per 100.000.3 Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dari tahun 1988-1993 didapatkan angka kematian berkisar 13-18% dengan kecacatan 30-40%. Tri Ruspandji di Jakarta 1981 mendapatkan angka kematian sebesar 41,8% dan Setiyono di Yogyakarta sebesar 50%. Laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan wanita dengan perbandingan laki-laki dibanding wanita 3:1. Sekitar 80% dari seluruh kasusu meningitis bacterial terjadi pada anak dan 70% dari jumlah tersebut terjadi pada anak berusia 1 sampai 5 bulan.3 Penyakit ini telah diketahui memiliki pola musiman, dengan meningitis akibat N. meningitides dan S. pnemoniae yang memuncak pada bulan-bulan musim dingin, H. influenza memperlihatkan penyebaran bifasik yang memuncak paa permulaan musim dingin dan musim semi, dan L.monocytogenes yang terjadi paling sering pada bulan-bulan musim panas. Penjelasan atas pola musiman ini

terletak pada cara penularan organism. Meningokokus, pnemokokus dan haemophilus menyebar melalui jalur pernapasan biasa, dan Listeria didapat akibat kontaminasi melalui makanan atau akibat berkontak dengan hewan ternak.1

2.3. Pathogenesis

Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui aliran darah (hematogen) oleh karena infeksi di tempat lain seperti faringitis,tonsillitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada dalam cairan otak. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi dari sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus cavernosus. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal dan mielokel. Meningitis pada neonatus dapat terjadi oleh karena: Aspirasi dari cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir. Infeksi bakterial secara transplasental terutama listeria.3 Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran hematogen. Saluran napas merupakan port de entry utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta. Proses terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen mempunyai tahap-tahap sebagai berikut:3 1. Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi) 2. Bakteri menembut rintangan mukosa 3. Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar dari sel fagosit dan aktivitas bakteriolitik) dan menimbulkan bakteriemia 4. Bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal 5. Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal 6. Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (miningen) dan otak Bakteri yang menimbilkan meningitis adalah bakteri yang mampu melampaui semua tahap dan masing masing bakteri mempunyai mekanisme vurulensi yang

berbeda-beda, dan masing-masing mekanisme mempunyai peranan yang khusus pada satu atau lebih dari tahap-tahap tersebut. Terjadinya meningitis bacterial dipengaruhi oleh interaksi beberapa factor, yaitu : host yang rentan, bakteri penyebab dan lingkungan yang menunjang.3

2.3.1. Faktor host Beberapa faktor host yang mempermudah terjadinya meningitis:3 1. Telah dibuktikan bahwa laki-laki lebih sering menderita meningitis dibandingkan dengan wanita. Pada neonatus sepsis yang menyebabkan meningitis, laki-laki dan wanita berbanding 1,7:1 2. Bayi dengan berat badan lahir rendah dan prematur lebih mudah menderita meningitis dibanding bayi cukup bulan 3. Ketuban pecah dini, partus lama, manipulasi yang berlebihan selama kehamilan, adanya infeksi ibu pada akhir kehamilan mempermudah terjadinya sepsis dan meningitis 4. Pada bayi adanya kekurangan maupun aktivitas bakterial dari leukosit, defisiensi beberapa komplemen serum, rendahnya konsentrasi IgM dan IgA (IgG dapat ditransfer melalui plasenta pada bayi, tetapi IgA dan IgM sedikit atau sama sekali tidak ditransfer melalui plasenta), akan mempermudah terjadinya infeksi atau meningitis pada neonatus. Rendahnya IgM dan IgA berakibat kurangnya kemampuan bakterisidal terhadap bakteri gram negatife. 5. Defisiensi congenital dari ketiga immunoglobulin ( gamma globulinemia atau dysgammaglobulinemia, kekurangan jaringan timus congenital, kekurangan sel B dan T, asplenia congenital mempermudah terjadinya meningitis

6. Keganasan seperti system RES, leukemia, myeloma multiple, penyakit Hodgkin menyebabkan penurunan produksi immunoglobulin sehingga mempermudah terjadinya infeksi 7. Pemberian antibiotik, radiasi dan imunosupresan juga mempermudah terjadinya infeksi 8. Malnutrisi

2.3.2. Faktor mikroorganisme

Penyebab meningitis bacterial terdiri dari bermacam-macam bakteri. Mikroorganisme penyebab berhubungan erat dengan umur pasien. Pada periode neonatal bakteri penyebab utama adalah golongan enterobakter terutama Escherichia coli disusul oleh bakteri lainnya seperti streptococcus grub B, streptococcus pneumonia, staphylococcus sp dan Salmonella sp. Sedangkan pada bayi umur 2 bulan sampai dengan 4 tahun yang terbanyak adalah Hemophillus influenza type B disusul oleh streptococcus pnemoniae dan neisseria meningitides. Pada anak lebih besar 4 tahun yang terbanyak adalah streptococcus pnemoniae, neisseria meningitides. Bakteri lain yang dapat menyebabkan meningitis bakterial adalah kuman batang gram negative seperti proteus , areobakter, enterobakter, klebsiella Sp dan seprata Sp.3

2.3.3. Faktor lingkungan

Kepadatan penduduk, kebersihan yang kurang, pendidikan rendah dan sosial ekonomi yang rendah memegang peranan penting untuk mempermudah terjadinya infeksi. Pada tempat penitipan bayi apabila terjadi infeksi lebih mudah terjadi penularan. Adanya vektor binatang seperti anjing, tikus, memungkinkan suatu predisposisi untuk terjadinya leptospirosis.3

2.4. Patofisiologi

Pada meningitis bakteri ditemukan berbagai gangguan patofisiologi dan ini mungkin terjadi sebagai akibat respon pejamu terhadap organisme penginfeksi. Abnormalitas tersebut mungkin memainkan peran dalam berkembangnya gejala sisa neurologi pascameningitis, dan pemahaman atas hal ini merupakan hal yang penting guna perawatan yang efektif bagi pasien meningitis.1 Akhir-akhir ini dikemukakan sebuah konsep baru mengenai patofisiologi meningitis bakterial, yaitu suatu proses yang kompleks, komponen-komponen bakteri dan mediator inflamasi berperan dalam menimbulkan respon peradangan pada selaput otak (meningen) serta menyebabkan perubahan fisiologis dalam otak berupa peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan aliran darah otak, yang dapat mengakibatkan timbulnya gejala sisa. Proses ini dimulai setelah ada bakteremia atau embolus septik, yang diikuti dengan masuknya bakteri ke dalam susunan saraf pusat dengan jalan menembus rintangan darah otak melalui tempattempat yang lemah, yaitu di mikrovaskular otak atau pleksus koroid yang merupakan media pertumbuhan yang baik bagi bakteri karena mengandung kadar glucose yang tinggi. Segera setelah bakteri berada dalam cairan serebrospinal, maka bakteri tersebut akan memperbanyak diri dengan mudah dan cepat oleh karena kurangnya pertahanan humoraldan aktivitas fagositosis dalam cairan serebrospinal, kemudian tersebar secara pasif mengikuti aliran cairan serebrospinal melalui system ventrikel keseluruh ruang subaraknoid.3 Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati (lisis) akan melepaskan dinding sel atau komponen-komponen membral sel ( endotoksin, teichoic acid) yang menyebabkan kerusakan jaringan otak serta menimbulkan peradangan di selaput otak (meningen) melalui beberapa mekanisme, sehingga timbul meningitis. Bakteri gram negatif pada waktu lisis akan melepaskan lipopolisakarida/endotoksin, dan kuman gram negative akan melepaskan teichoic acid (asam teikoat).3

Produk-produk aktif dari bakteri tersebut merangsang sel endotel dan makrofag disusunan saraf pusat (sel astrosit dan microglia) memproduksi mediator innflamasi seperti interleukin I ( IL1) dan tumor nekrosis faktor (TNF). Mediator inflamasi berperan dalam proses awal dari beberapa mekanisme yang menyebabkan peeningkatan tekanan intracranial, yang selanjutnya mengakibatkan menurunya aliran darah otak. Pada meningitis bacterial dapat juga terjadi sindrom inaappropiate anti diuretic hormone (SIADH) diduga disebabkan oleh karena proses peradangan akan meningkatkan pelepasan atau menyebabkan kebocoran vasopressin endogen system supraoptikohipofise meskipun dalam keadaan hipoosmolar, dan SIADH ini menyebabkan hipervolemia, oliguria, dan peningkatan osmolaritas urin meskipun osmolaritas serum menurun, sehingga timbul gejala-gejala waterintoksication yaitu mengantuk iritabel dan kejang.3 Akibat peningkatan tekanan intracranial adalah penurunan aliran darah otak yang juga disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah otah oleh thrombus dan adanya penurunan autoregulasi, terutama pada pasien yang mengalami kejang. Akibat yang lain adalah penurunan tekanan perkusi cerebral yang juga dapat disebabkan oleh Karena penurunan darah sistemik 60mmhg sistole. Dalam keadaan ini otak mudah mengalami iskemia, penurunan autoregulasi cerebral dan vaskulopati. Kelainan-kelainan inilah yang menyebabkan kerusakan pada sel saraf yang menimbulkan gejala sisa. Adanya gangguan aliran darah otak, peningkatan tekanan intracranial dan kandungan air diotak akan menyababkan gangguan fungsi metabolic yang menimbulkan ensefalopati toksik yaitu peningkatan kadar asam laktat dan penurunan PH caiaran cerebrospinal dan asidosis jaringan yang disebabkan metabolism anaerobic, keadaan ini menyebabkan penggunaan glucose meningkat dan berakibat timbulnya hipoglikorakia.3 Ensefalopati pada meningitis bacterial dapat juga terjadi akibat hipoksia sistemik dan demam. Kelainan utama yang terjadi pada meningitis bacterial adalah peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bahanbahan toksik bakteri. Peradangan selaput otak akan menimbulkan rangsangan pada saraf sensoris, akibatnya terjadi reflex kontraksi otot-otot tertentu untuk

mengurangi rasa sakit, sehingga timbul tanda kernig dan brudzenski serta kaku kuduk. Manifestasi klinis lain yang timbul akibat peradangan selaput otak adalah mual, muntah iritabel, nafsu makan menurun dan sakit kepala. Gejala-gejala tersebut dapat juga disebabkan karena peningkatan intrakrania, dan bila disertai dengan distorsi nerveroots makan timbul hiperestasi dan fotofobia.3 Pada fase akut, bahan-bahan toksik bakteri mula-mula menimbulkan hyperemia pembuluh darah selaput otak disertai migrasi neutrofil ke ruang subaraknoi, dan selanjutnya merangsang sel polimorfonuklear untuk menembus endotel pembuluh darah melalui tight junction dan selanjutnya memfagosit bakteri, sehingga terbentuk debris sel dan eksudat dalam ruang subaraknoid yang cepat meluas dan cendrung terkumpul didaerah konveks otak tempat cairan serebrospinal di absorbs oleh vili araknoid, didasar sulkus dan fisura sylvii serta sisterna basalis dan sekitar serebelum.3 Pada awal infeksi, eksudat hampir seluruhnya terisi sel polimorfonuklear yang memfagosit bakteri, secara berangsur-angsur sel polimorfonuklear digantikan oleh sel limfosit, monosit dan histiosit yang jumlahnya akan bertambah banyak dan pada saat ini terjadi eksudasi fibrinogen. Dalam minggu ke-2 infeksi, mulai muncul sel fibroblast yang berperan dalam proses organisasi eksudat, sehingga terbentuk jaringan fibrosis pada selaput otak yang menyebabkan perlekatanperlekatan. Bila perlekatan terjadi di daerah sisterna basalis, maka akan menimbulkan hidrosefalus komunikan, dan bila terjadi di aqueductus sylvii, foramen luschka dan magendi maka terjadi hidrosefalus obstruktif. Dalam waktu 48-72 jam pertama arteri subaraknoid juga mengalami pembengkakan, proliferasi sel endotel dan infiltrasi neutrofil kedalam lapisan adventisia, sehingga timbul focus nekrosis pada dinding arteri yang kadang-kadang menyebabkan thrombosis arteri. Proses yang sama terjadi di vena. Focus nekrosis dan thrombus dapat menyebabkan oklusi total atau partial pada lumen dari pembuluh darah, sehingga keadaan tersebut menyebabkan aliran darah otak menurun dan dapat menyebabkan terjadinya infark.Infark vena dan arteri yang luas akan menyebabkan hemiplegia, dekortikasi atau deserebrasi, buta kortikal, kejang dan

koma. Kejang yang timbul selama beberapa hari pertama dirawat tidak mempengaruhi prognosis, tetapi kejang yang sulit dikontrol, kejang menetap lebih dari 4 hari dirawat dan kejang yang timbul pada hari pertama dirawat dengan penyakit yang sudah berlangsung lama, serta kejang fokal akan menyebabkan manifestasi sisa yang menetap. Kejang fokal dan kejang yang berkepanjangan merupakan petunjuk adanya ganggaun pembuluh darah otak yang serius dan infark serebri, sedangkan kejang yang timbul sebelum dirawat sering menyebabkan gangguan pendengaran atau tuli yang menetap.3 Thrombosis vena kecil dikorteks akan menimbulkan nekrosis iskemik korteks serebri. Kerusakan korteks serebri akibat oklusi pembuluh darah atau karena hipoksia, invasi kuman akan mengakibatkan penurunan kesadaran, kejang fokal dan gangguan fungsi motorik berupa paresis yang sering timbul setelah minggu III, selain itu juga menimbulkan gangguan sensorik, dan gangguan fungsi intelek berupa retardasi mental dan gangguan tingkah laku, gangguan fungsi intelek merupakan akibat kerusakan otak karena proses infeksinya, shok dan hipoksia. Kerusakan langsung pada selaput otak dan vena di duramater atau araknoid yang berupa tromboflebitis, robekan-robekan kecil dan perluasan infeksi araknoid menyebabkan transudasi protein dengan berat molekul kecil kedalam ruang subaraknoid dan subdural sehingga timbul efusi subdural yang emnimbulkan manifestasi neurologis fokal, demam yang lama, kejang dan muntah.3 Karena adanya vaskulitis maka permeabilitas sawar darah otak (blood brain barier) meningkat akan menyebabkan edema vasogenik, karena pleiositosis dan toksin akan menyebabkan terjadinya edema sitotoksik, dan karena aliran cairan serebro spinal terganggu/hidrosefalus akan menyebabkan terjadinya edema interstisial.3 Meskipun kuman jarang dapat dibiakkan dari jaringan otak, tetapi absorbsi dan penetrasi toksin kuman dapat terjadi, sehingga menyebabkan edema otak dan vaskulitis; kelainan saraf cranial pada meningitis bacterial disebabkan karena adanya peradangan local pada perineurium dan menurunnya persediaan vascular

10

kesaraf cranial, terutama saraf VI, III, dan IV. Sedang ataksia yang ringan, paralisis saraf cranial VI dan VII merupakan akibat infiltrasi kuman keselaput otak dibasal otak, sehingga menimbulkan kelainan batang otak.3 Gangguan pendengaran yang timbul akibat perluasan peradangan kemastoid sehingga timbul mastoiditis yang menyebabkan gangguan pendengaran tipe konduktif. Kelainan saraf cranial II yang berupa papilitis dapat menyebabkan kebutaan tetapi dapat juga disebabkan karena infark yang luas di korteks serebri, sehingga terjadi buta kortikal. Manifestasi neurologis fokal yang timbul disebabkan oleh trombosit arteri dan vena dikorteks serebri akibat edema dan peradangan yang menyebabkan infark serebri, dan adanya manifestasi ini merupakan petunjuk prognosis buruk, karena meninggalkan manifestasi sisa dan retardasi mental.3 2.5 Manifestasi klinis Tidak ada satupun gambaran klinis yang patognomonik untuk meningitis bacterial tanda dan manifestasi klinis meningitis bacterial begitu luas sehingga sering juga didapatkan pada anak-anak baik yang terkena meningitis maupun tidak. Tanda dan gambaran klinis sangat bervariasi tergantung umur pasien, lama sakit dirumah sebelum diagnosis dibuat dan respons tubuh terhadap infeksi.3 Meningitis pada bayi baru lahir dan premature sangat sulit didiagnosis, gambaran klinis sangat kabur dan tidak khas. Demam pada meningitis bayi baru lahir hanya terjadi pada dari jumlah kasus. Biasanya pasien tampak lemah dan malas, tidak mau minum, muntah-muntah, kesadaran menurun, ubun-ubun besar tegang dan membonjol, leher lemas, respirasi tidak teratur, kadang-kadang disertai ikterus kalau sepsis. Secara umum apabila didapatkan sepsis pada bayi baru lahir kita harus mencurigai adanya meningitis.3 Bayi berumur 3 bulan 2 tahun jarang member gambaran klasik meningitis. Biasanya manifestasi yang timbul hanya berupa demam, muntah, gelisah, kejang berulang, kadang-kadang didapatkan pula high pitched cry (pada bayi). Tanda fisik yang tampak jelas adalah ubun-ubun tegang dan membenjol, sedangkan

11

tanda brudzinski dan kernig sulit dievaluasi.oleh karena insidens meningitis pada umur ini sangat tinggi, maka adanya infeksi susunan saraf pusat perludicurigai pada anak penyebabnya.3 Pada anak besar dan dewasa meningitis kadang-kadang memberikan gambaran klasik. Gejala biasanya dimulai dengan demam, menggigil, muntah, dan nyeri kepala. Kadang-kadang gejala pertama adalah kejang, gelisah, gangguan tingkah laku. Penurunan kesadaran seperti delirium, stupor dan koma dapat juga terjadi tanda klinis yang biasa didapatkan adalah kaku kuduk, tanda brudzinski dan kernig. Nyeri kepala timbul akbat inflamasi pembuluh darah meningen, sering disertai dengan fotofobi dan hiperestesi, kaku kuduk disertai rigiditas spinal disebabkan karena iritasi meningen sertai radiks spinalis.3 Kelainan saraf otak disebabkan oleh inflamasi pada perinerium, juga karena terganggunya suplai vascular ke saraf. Saraf-saraf cranial VI, VII dan IV adalah yang paling sering terkena. Tanda serebri fokal biasanya sekunder karena nekrosis kortikal atau vaskulitis karena nekrosis kortikal atau vaskulitis oklusif, paling sering karena thrombosis vena kortikal. Vaskulitis serebral dapat menyebabkan serebritis dan abses. Thrombosis vascular dapat menyebabkan kejang dan hemiparesis.3 2.6 Diagnosis Diagnosis meningitis bacterial tidak dapat dibuat hanya dengan melihat gejala dan tanda saja. Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah, kaku kuduk dan adanya tanda rangsang meningeal kemungkinan dapat pula terjadi pada meningismus, meningitis TBC dan meningitis aseptic. Hampir semua penulis mengatakan bahwa diagnosis pasti meningitis hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan cairan serebrospinalis melalui pungsi lumbal. Oleh karena itu setiap pasien dengan kecurigaan meningitis harus dilakukan pungsi lumbal.3 Pada bayi-bayi yang menderita sepsis pungsi lumbal harus lakukukan oleh karena 20% pasien sepsis pada neonates juga menderita meningitis. Pungsi lumbal dengan demam terus menerus yang tidak dapat diterangkan

12

juga dilakukan pada anak-anak yang menderita bakteremia dengan demam tidak turun-turun atau curiga adanya rangsangan menigneal. Oleh karena meningitis bacterial bersifat progresif, hasil pemeriksaan cairan sererbrospinal yang normal pada pemeriksaan pertama pada pasien yang diduga menderita meningitis jangan sampai menghilangkan kewaspadaan dokter akan memungkinan terjadinya meningitis. Observasi ketat pasien diperlukan sampai pasien kembali normal. Pungsi lumbal dapat diulangi setelah 8 jam apabila memang diperlukan. Selama fase akut, dalam beberapa hari pertama, sel yang dominan adalah

polimorfonuklear sampai sekitar 95%. Dengan perjalanan penyakit ada kenaikan bertahap limfosit dan sel mononuclear yang besar dan pengobatan antibiotic yang diberikan sebelum pasien masuk rumah sakit dapat mengacaukan gambaran cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal yang mengandung sel polimorfonuklear harus dipertimbangkan sebagai abnormal, karena 95% dari populasi normal tidak menunjukkan sel polimorfonuklear dalam cairan cerebrospinal. Kenaikan kadar protein dan penurunan kadar gula dapat membantu membedakan dengan meningitis aseptic walaupun gambaran laboratorium tersebut juga bisa didapatkan pada meningitis tuberkulosa. Kenaikan kadar protein biasanya diatas 75% dan setiap penyakit yang mengenai leptomeningen akan menyebabkan kenaikan kadar protein cairan serebrospinal. Kadar gula biasanya menurun sampai 20mg% bahkan kadang-kadang dapat sampai 0 mg%. faktor-faktor yang diduga merendahkan gula dalam cairan serebrospinal adalah mikroorganisme yang sangan banyak yang membutuhkan gula untuk metabolismenya, jumlah sel yang sangat tinggi, defek pada transfor gula kedalam cairan serebropinal, dan mungkin ada peningkatan pemakain gula oleh otak akibat kenaikan proses glikolisis. Pengukuran kadar C-reaktif protein dalam cairan serebropinal mempunyai nilai kepekaan, ketepatan dan produktif yang tinggi dalam menentukan bacterial penyebab pada meningitis.3 Diagnosis dapat diperkuat dengan hasil positif pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop dan hasil biakan, tetapi pemeriksaan kuman yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis meningitis bakteri.4

13

2.7 Temuan laboratorium begitu diagnosis meningitis dicurigai, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan CSS segera. Satu-satunya alas an menunda pungsi lumbal adalah bila terdapat kecurigaan kuat akan lesi massa intrakranium. Temuan yang mengkhawatirkan adalah edema papil atau riwayat pernah adanya proses tersembunyi dengan tanda-tandaneurologi setempat. Pada kasus seperti itu, pungsi lumbal dapat ditunda sampai kemungkinan massa dapat disingkirkan dengan melakukan pemindaian CT atau MRI kepala. Abnormalitas CSS mencakup lebih dari enam sel darah putih permikro liter, meningkatnya kadar protein, hipoglikorakia, meningkatnya terkanan pembukaan, dan organism pada pewarnaan gram. Rentang abnormalitas ini untuk berbagai tipe meningitis.1 Pleositosis selalu terjadi pada meningitis baktei, dengan hitung sel darah putih CSS dalam rentang 100-10.000 sel permikoliter, walupun pada permulaan penyakit bisa saja hitung sel darah putih normal. Sel polimorfonuklear mendominasi dan biasanya melebihi 90% jumlah total. Hitung sel darah putih yang sangan tinggi(lebih dari 50.000 per mikroliter) meningkatkan kemungkinan bahwa suatu abses intrakranialis telah robek ke dalam ventrikel.1 Hipoglikorakia biasanya ditemukan pada meningitis bakteri, dengan kadar glukosa CSS biasanya kurang dan 30-50% kadar glukosa serum. Penyebab lain hipoglikorakia adalah meningitis tuberculosis dan meningitis jamur, perdarahan subaraknoid dan meningitis karsinomatosa.1 Konsentrasi protein CSS biasanya meningkat, dalam rentang antara 100 hingga 500mg/dL, namun peningkatan protein mencerminkan suatu perubahan pada sawar darah-otak, jika berdiri sendiri, petunjuk ini tidak bersifat diagnostik bagi meningitis bakteri.1 Pewarnaan gram akan positif pada lebih dari 90% pasien meningitis bakteri, meskipun demikian, pembacaan harus dilakukan oleh ahli mikrobiologi yang berpengalaman karena lazim terhadi kesalahan dalam membaca

hasil.pneumokokus yang berwarna terlalu pucat dapat menyerupai meningokokus,

14

hemophilus bisa menyerupai organism enteric gram-negatif atau sebaliknya, dan debris bisa terlihat seperti kokus gram-positf. Listeria sering kali sukar dikenali dengan apusan langsung.1

2.8 Tatalaksana Pasien meningitis purulenta pada umumnya dalam kesadaran yang menurun yang sering kali sertai muntah dan diare. Oleh karenanya untuk membina masukan yang baik, pasien perlu langsung mendapatkan cairan intravena. Bila didapatkan tanda asidosis maka hal ini harus dikoreksi dengan memberikan cairan yang mengandung korektor basa. Darah atau plasma dapat diberikan menurut keperluan.3 Bila anak masuk dalam status konsultivus diberikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgbb secara intravena perlahan lahan, apabila kejang belum berhenti pemberian diazepam dapat diulang dengan dosis dan cara yang sama. Apabila kejang berhenti dilanjutkan dengan pemberian fenobarbital dengan dosis awal 1020 mg/kgbb, 24 jam kemudian diberiakan dosis rumat 4-5 mg/kgbb/hari. Apabila dengan diazepam intravena berturut-turut kejang belum berhenti dapat diberikan fenitoin dengan dosis 10-20 mg/kgbb seraca intravena perlahan lahan dengan kecepatan dalam satu menit jangan melebihi 50 mg atau 1 mg/ kgbb /menit. Dosis selanjutnya 5mg/ kgbb/hari diberikan 12-24 jam kemudian.3 Kortikosteroid pada penelitian dapat terbukti bahwa steroid dapat mengurangi produksi mediator inflamasi seperti sitokin, sehingga dapat mengurangi kecacatan neurologis seperti paresis dan tuli, dan menurunkan mortalitas apabila diberikan pada pasien ringan dan sedang, dan diberikan 15-20 menit sebelum pemberian antibiotic. Kortikosteroid yang memberikan hasil baik ialah dexamethason dengan dosis 0,6 mg/kgbb/hari selama 4 hari. Penggunaan kortikosteroid pada pasien meningitis masih controversial tetapi kebanyakan penelitian setuju dengan menggunakan dexamethason.3

15

Penggunaan antibiotic terdiri dari dua fase yaitu fase pertama sebelum ada hasil biakan dan uji sensitivitas. Pada fase ini pemberian antebiotik secara emperik. Pengobatan secara emperik ialah pada neonates digunakan kombinasi antara ampisilin dan aminoglikosid atau ampisislin dan cifotaxim. Pada umur 3 bulan sampai 10 tahun digunakan kombinasi ampisilin dan kloramfenikol atau ceforoxim, cefotaxim atau ceftriaxon. Pada usia lebih dari 10 tahun digunakan penisili. Pada gangguan imunitas digunakan kombinasi ampisilin dan cifotaxim. Pada pasien dengan pirau digunakan vancomicin. Pengobatan fase kedua setelah ada biakan dan uji sensitivias disesuaikan dengan penyebab dan obat yang serasi. Pada meningitis tedapat peningkatan permeabilitas dan sawar darah otak, dan hal ini justru menguntungkan karena antibiotic lebih mudah masuk kedalam ruang subarachnoid dan ventrikel.3 Antibiotic yang digunakan untuk meningitis peurulenta adalah : H. influenza: Ampisilin, kloramfenikol, seftriaxon dan cefotaxim. Pnemoniae: penisilin, kloramfenikol, ceforoxim, ceftriaxom dan vankomicin. N. meningitides : penisilin, kloramfenikol, ceforoxim, ceftriaxon. Kuman gran negative: cefotaxim, ceftazidim, ceftriaxon dan amikasin. Staphylococcus: nafcilin, vancomicin, rifampisin. Neonatus : ampisilin, gentamicin, tobramicin, vancomicin, amikacin, kanamicin, seftriaxon, cefotaxim, ceftazidim dan penisilin. Dosis antibiotic pada meningitis purulenta: ampicilin 200-300mg/kgbb/hari (tunggal 400mg),

kloramfenikol 100mg/kgbb/hari(neonatus 50mg/kgbb/hari, waspada gray baby), ceforoxim 250mg/kgbb/hari, cefotaxim 200mg/kgbb/hari(neonates 0-7 hari 100mg/kgbb/hari), ceftriaxon 10mg/kgbb/hari, ceftazidim

150mg/kgbb/hari(neonatus 60-90mg/kgbb/hari,

gentamicin neonates: 0-7 hari

5mg/kgbb/hari, 7-28 hari 7,5mg /kgbb/hari, amikasin 10-15mg/kgbb/hari.3 Pungsi lumbal apabila klinis membaik dilakukan pada hari ke10 pengobatan, keadaan laboratorium membaik pengobatan diteruskan 2 hari lagi, kemudian dipulangkan. Pada neonates pada hari ke 21 atau atau indikasi.3 Vaksinasi polisakarida kuadrivalen atau konjugat meningokokus diizinkan untuk diberikan

16

pada anak usia >11 tahun. Terutama berguna pada saat wabah, pasien asplenia, dan yang hendak berpergian kedaerah endemik.6 Untuk pemantauan efek samping penggunaan antibiotic dosis tinggi, dilakukan pemeriksaan darah perifer secara serial, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal bila ada indikasi.5

17

DAFTAR PUSTAKA 1. M. Rudolf Abraham, dkk. BUKU AJAR PEDIATRI RUDOLPH. Jakarta: EGC. 2006 : 610-614 2. Short, J.R. SINOPSIS PEDIATRI. Tangerang: binarupa aksara. 2002:380382 3. Soetomanggolo, taslim. BUKU AJAR NEUROLOGI ANAK.

Jakarta: IDAI. 1999


4. Soegijanto, prof. dr. h. soegeng. ILMU PENYAKIT ANAK DIAGNOSA DAN PENATALAKSANAAN. Jakarta: salemba medika. 2002:108 5. IDAI. STANDAR PELAYANAN MEDIS KESEHATAN ANAK. Jakarta: IDAI. 2004:204 6. Sondheimer. Udith. PEDIATRI DIAGNOSIS TERAPI. Tangerang; karisma publishing group. 2013:472

You might also like