You are on page 1of 58

CASE TUMOR COLORECTAL, ILEUS OBSTRUKTIF DAN ILEUS PARALITIK

Ageng Budiananti (030.09.002)

Pembimbing: dr. Bajuadji, Sp. B, MARS

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI Jakarta, 11 Oktober 2013

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME atas rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan case yang berjudul Tumor Colorectal, Ileus Obstruktif dan Ileus Paralitik Case ini disusun dengan tujuan sebagai salah satu syarat untuk mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah Koja. Saya menyadari bahwa dalam kurangnya pengetahuan dan pengalaman penulis serta waktu yang terbatas untuk pengumpulan data sehingga penulisan case ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya sangat terbuka untuk menerima segala kritik dan saran yang diberikan demi kesempurnaan case ini Saya berharap agar case ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi pihak yang memerlukan khususnya bagi kami sendiri.

Jakarta, 11 Oktober 2013

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

Tumor usus halus jarang terjadi, sebaliknya tumor usus besar atau rectum relative umum. DiAmerika Serikat menempati urutan kedua untuk kanker organ visceral dan 20% dari kematiankarena penyakit kanker adalah akibat kanker kolorektal. Karsinoma kolorektal sering dijumpai pada dekade 6 dan 7,

m e r u p a k a n p e n ya k i t ya n g b a n ya k m e n y e b a b k a n k e m a t i a n . K e j a d i a n karsinoma kolorektal pada usia muda tidak banyak dijumpai. Dari penelitian yang dilakukan olh Harijono Achmad di RSSA Malang, didapatkan bahwa kasuskarsinoma kolorektal di Indonesia sebanyak 97 penderita selama 5 tahun,terdiri dari penderita dibawah 30 tahun sebanyak 14 penderita (14,26%).Menurut Petrek, lokasi keganasan kolorektal terbanyak pada rektum (22%), rekto sigmoid (8%),sigmoid (20%), kolon desenden (12%), flexura lienalis (8%), kolon t ranversum

(6%),flexurahepatika (4%), kolon asenden (6%), cecum (12%),appendix (2%). Karsinoma kolorektal banyak terdapat di Eropa Barat,.Amerika Utara. Di Asia, banyak terdapat d i J e p a n g , d i d u g a makanan. karena perbedaan pola hidup dan dan

B e b e r a p a f a k t o r a n t a r a l a i n lingkungan,

genetik

immunologi

merupakan faktor predisposisi tumbuhnya kanker kolon, disamping bahan karsinogen, bakteri dan virus. G e j a l a k l i n i k k a r s i n o m a k o l o r e k t a l t e r g a n t u n g d a r i l o k a s i t u m o r . K a n k e r c e c u m d a n k o l o n asenden biasanya tidak memberikan gejala obstruksi, sedangkan kanker rekto sigmoid dapat menyumbat lumen atau berdarah. Lebih dari 156.000 orang terdiagnosa setiap tahunnya, kira -kira setengah dari jumlah tersebutmeninggal setiap tahunnya, meskipun sekitar tiga dari empat pasien dapat diselamatkan dengand i a g n o s i s d i n i d a n t i n d a k a n s e g e r a .

BAB II PEMBAHASAN KASUS I. Identitas Pasien Nama Jenis Kelamin Usia Alamat Pekerjaan : July Sinaga : Perempuan : 52 tahun : Papanggung, Jakarta Utara : Ibu Rumah Tangga

Pendidikan Terakhir : SMP Agama Suku Bangsa Status Pernikahan II. : Kristen Protestan : Indonesia : Menikah

Riwayat Penyakit Sekarang Keluhan utama : BAB berdarah

Keluhan tambahan : Awalnya pada bulan Juli, os merasa terdapat kotoran keluar dari vaginanya tanpa disertai nyeri, lalu os mengalami perdarahan yang hilang timbul (hilang tiap kali minum obat) dari vagina dan anus sehingga os merasa lemas selama kurang lebih 2 bulan. Lalu os mengalami BAB yang disertai darah warna merah segar dan kadang berwarna hitam, darah menetes dan tidak disertai benjolan. Tidak terdapat gangguan berkemih dan nyeri perut. Sebelum mulai sakit, ps tidak haid selama 3 bulan. Sebelumnya os tidak pernah mengalami nyeri berlebih saat haid, sering keputihan. Os memiliki 2 anak, dan persalinan keduanya dijalani secara normal tanpa bantuan alat.

III.

Riwayat Penyakit Dahulu Diabetes Mellitus : (-) Hipertensi Asma Melena : (+) : (-) : (-)

IV.

Riwayat Penyakit Keluarga Diabetes Mellitus : (-) Hipertensi Asma : (+) pada orangtua os : (-)

V.

Keganasan

: (-)

Riwayat Kebiasaaan Rokok Alkohol : (-) : (-)

Minum air putih : Os minum air putih cukup banyak dalam sehari Makan buah atau sayuran : Os sering mengkonsumsi buah dan sayuran

VI.

Pemeriksaan Fisik Tanda vital: Kesadaran Tekanan darah Nadi Pernafasan Suhu : compos mentis : 150/80 mmHg : 80x/menit : 16x/menit : 36,60C

Status Generalis: Kepala Mata Leher Paru Jantung Ekstremitas : Normosefali, tidak ada tanda trauma/jejas : SI -/- CA / : KGB tidak teraba membesar : SN Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-) : akral hangat +/+ +/+

Status Lokalis (Regio Abdomen dan Regio Anus): Abdomen o Inspeksi o Perkusi o Palpasi Anus o Inspeksi : tidak tampak benjolan, tanda radang atau secret pada : tampak rata, tidak tampak meregang o Auskultasi : BU (+) normal : Timpani : NT (-), tidak teraba massa, supel

inspeksi perianal. o Rectal toucher: tonus sfingter ani (+); ampula recti tidak kolaps, teraba massa pada arah jam 6, dengan permukaan rata sekitar 2 cm dari sfingter ani dan diameter +/- 4 cm, konsistensi agak padat, NT (+)

VII.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah rutin: Hb : 13 g/dl Leukosit : 8800 Trombosit : 238000 Hematokrit : 30

Foto Thorax PA: Cor dan pulmo dalam batas normal Foto Abdomen dengan kontras (pre dan postevakuasi): tampak massa intralumen rectosigmoid

VIII.

Resume Didapatkan BAB berdarah, nyeri perut (-), BU (+), pendarahan dari vagina dan anus (+), ditemukan massa pada pemeriksaan colok dubur dan dinyatakan terdapatnya massa pada foto abdomen dengan kontras.

IX.

Diagnosis Banding dan Diagnosis Kerja Diagnosis Banding: Hemoroid eksterna, metastase neoplasma, endometriosis enteric, fistel entero-vesikal Diagnosis Kerja: Tumor recti

X.

Penatalaksanaan Antibiotik broad spectrum, antiinflamasi, analgetik, biopsi PA, bila didapatkan keganasan maka dilakukan kemoterapi, terapi pembedahan (kolektomi kiri dan sigmoid), serta radioterapi.

XI.

Prognosis Ad vitam Ad fungsionam Ad sanationam : dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

I.

Identitas Pasien Nama Jenis Kelamin Usia Alamat Pekerjaan : Tn. Martin : Laki-laki : 66 tahun : Papanggo, Jakarta Utara : Pensiunan MKL Ekspedisi

Pendidikan Terakhir : SMA Agama Suku Bangsa : Kristen Protestan : Indonesia

Status Pernikahan II.

: Menikah

Riwayat Penyakit Sekarang Keluhan utama : Susah BAB sejak 6 bulan yang lalu

Keluhan tambahan : Os harus minum pencahar bila ingin BAB, nyeri perut pada seluruh bagian, mual (+), perut terasa penuh. Sebelumnya BAB biasa saja, sehari sekali dan tidak keras dengan feses berwarna coklat kekuningan. Os bisa BAB setelah beberapa hari sekali dengan konsistensi cair dengan sedikit ampas tanpa darah dan terasa nyeri perut bila akan BAB.

III.

Riwayat Penyakit Dahulu Diabetes Mellitus : (-) Hipertensi Asma Melena : (-) : (-) : (-)

IV.

Riwayat Penyakit Keluarga Diabetes Mellitus : (-) Hipertensi Asma Keganasan : (-) : (-) : (-)

V.

Riwayat Kebiasaaan Rokok Alkohol : (+) : (-)

Minum air putih : Jarang minum air putih saat sebelum sakit Makan buah atau sayuran : Os lebih suka makanan dengan santan dan menggunakan penyedap rasa

VI.

Pemeriksaan Fisik Tanda vital: Kesadaran Tekanan darah Nadi Pernafasan Suhu : compos mentis : 120/80 : 64x/menit : 20x/menit : 36,40C

Status Generalis:

Kepala Mata Leher Paru Jantung Ekstremitas

: Normosefali, tidak ada tanda trauma/jejas : SI -/- CA +/+ : KGB tidak teraba membesar : SN Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-) : akral hangat +/+ +/+

Status Lokalis (Regio Abdomen dan Regio Anus): Abdomen o Inspeksi o Perkusi o Palpasi : tampak rata, tidak tampak meregang o Auskultasi : BU (+) : Timpani : supel, NT (+) pada luka postop laparotomi, tidak

teraba massa Anus o Inspeksi : tidak tampak benjolan, tanda radang atau secret pada

inspeksi perianal. o Rectal toucher: tonus sfingter ani (+); ampula recti tidak kolaps, teraba massa pada arah jam 7, NT (+), konsistensi agak padat, permukaan rata, tidak ditemukan darah atau secret pada sarung tangan VII. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah rutin: Hb Leukosit Trombosit Hematokrit Urinalisa Albumin Darah samar Urobilinogen Eritrosit : +2 : +3 : 2,0 : 2-3 : 10,8 : 12900 : 314000 : 32

Foto Thorax PA: Cord an pulmo dalam batas normal Foto Abdomen 3 Posisi:

Kesan VIII. Resume

: suspek ileus obstruktif

Sulit BAB, nyeri perut tiap akan BAB, perut terasa penuh, BU (+), ditemukan NT abdomen (+), teraba massa pada RT, Hb 10,8; foto abdomen 3 posisi menunjukkan adanya kesan ileus obstruktif. IX. Diagnosis Banding dan Diagnosis Kerja X. Diagnosis Banding: Kolitis ulserativa Diagnosis Kerja: Ileus Obstruktif Parsial ec susp Tumor Colorectal

Penatalaksanaan Penatalaksanaan pembedahan kausatif (kolektomi kiri dan sigmoid), kemoterapi, radioterapi, perbaikan cairan dan elektrolit, pencegahan dehidrasi, dekompresi dengan NGT.

XI.

Prognosis Ad vitam Ad fungsionam Ad sanationam : dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

I.

Identitas Pasien Nama Jenis Kelamin Usia Alamat Pekerjaan : Ny. Wiwik : Perempuan : 35 tahun : Cilincing, Jakarta Pusat : Ibu Rumah Tangga

Pendidikan Terakhir : SMP Agama Suku Bangsa Status Pernikahan II. : Islam : Indonesia : Menikah

Riwayat Penyakit Sekarang Keluhan utama : Nyeri perut sejak seminggu yang lalu

Keluhan tambahan : Os nyeri perut sejak seminggu yang lalu terasa seperti mulas dan muntah tiap kali makan. Belum BAB sudah 4 hari, dan sempat BAB sekali pada hari ke lima dengan konsistensi cair seperti jeli. Os dapat buang angin pada hari ke lima. Perut

masih terasa kembung. Riwayat diare disangkal. Os sebelumnya pernah menjalani operasi SC saat melahirkan anak ke-3 disertai dengan pengangkata rahim 6 tahun yang lalu, dan semenjak itu, os sering merasa sakit perut. III. Riwayat Penyakit Dahulu IV. Diabetes Mellitus : (-) Hipertensi Asma Melena : (-) : (-) : (-)

Riwayat Penyakit Keluarga Diabetes Mellitus : (-) Hipertensi Asma Keganasan : (-) : (-) : (-)

V.

Riwayat Kebiasaaan Rokok Alkohol : (-) : (-)

Minum air putih : Os kurang minum air putih dalam sehari Makan buah atau sayuran : Os rutin dan senang memakan buah dan sayuran

VI.

Pemeriksaan Fisik Tanda vital: Kesadaran Tekanan darah Nadi Pernafasan Suhu : compos mentis : 130/80 mmHg : 80x/menit : 16x/menit :36,80C

Status Generalis: Kepala Mata Leher Paru Jantung Ekstremitas : Normosefali, tidak ada tanda trauma/jejas : SI -/- CA +/+ : KGB tidak teraba membesar : SN Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-) : akral hangat +/+ +/+

Status Lokalis (Regio Abdomen dan Regio Anus):

Abdomen o Inspeksi o Perkusi o Palpasi : tampak rata, tidak tampak meregang o Auskultasi : BU tidak terdengar jelas : Sonor : NT (+), supel, tidak teraba massa pada abdomen

Anus o Inspeksi : tidak tampak benjolan, tanda radang atau secret pada

inspeksi perianal. o Rectal toucher: tonus sfingter ani (-); ampula recti tidak kolaps, tidak teraba massa, NT (-) VII. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah rutin: Hb Leukosit Hematokrit Trombosit : 15 : 6900 : 42 : 274000

Foto Thorax PA: Cor dan pulmo dbn Foto Abdomen 3 Posisi: Kesan : ileus paralitik

VIII.

Resume Nyeri perut (+), sulit BAB (+), sulit buang angin (+), mual dan muntah (+), kebiasaan kurang minum air putih, BU menurun, tonus sfingter ani tidak terlalu kuat, serta kesan ileus paralitik pada foto abdomen 3 posisi.

IX.

Diagnosis Banding dan Diagnosis Kerja Diagnosis Banding:pseudo-obstruksi, ileus obstruktif Diagnosis Kerja: Ileus paralitik

X.

Penatalaksanaan Antibiotik broadspektrum, analgesic, metoklpramid, neostigmin, pemasangan NGT dan kateter urin, serta penderita dipuasakan.

XI.

Prognosis Ad vitam Ad fungsionam Ad sanationam : dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

I.

Identitas Pasien Nama Jenis Kelamin Usia Alamat Pekerjaan : Tn. M. Taufan : Laki-laki : 43 tahun : Surabaya : Security

Pendidikan Terakhir : SMA Agama Suku Bangsa Status Pernikahan II. : Islam : Indonesia : Menikah

Riwayat Penyakit Sekarang Keluhan utama : Nyeri perut tiap kali ingin BAB sejak sebulan yang lalu

Keluhan tambahan : Os merasa nyeri tiap akan BAB dan terasa seperti ada benjolan tiap kali sehabis makan dan akan BAB. BAB dalam sehari bisa mencapa 10x bila tidak minum obat dan konsistensinya cair dengan ampas dan darah yang mengental berwarna merah segar. Sebelumnya didiagnosis dengan penyakit ambeien karena os merasa lemas dan kurang darah. BB turun 6 kg dalam sebulan. Tiap kali akan BAB juga terasa seperti ada benjolan pada anus.

III.

Riwayat Penyakit Dahulu Diabetes Mellitus : (-) Hipertensi Asma Melena : (-) : (-) : (-)

IV.

Riwayat Penyakit Keluarga Diabetes Mellitus : (-) Hipertensi Asma Keganasan : (-) : (-) : Ayah os meninggal karena kanker usus

V.

Riwayat Kebiasaaan Rokok Alkohol : (+) : (-)

Minum air putih : Os kurang minum air putih/tidak minum air putih sesuai dengan anjuran perhari

Makan buah atau sayuran : Os lebih suka makanan berlemak, yang menggunakan santan

VI.

Pemeriksaan Fisik Tanda vital: Kesadaran Tekanan darah Nadi Pernafasan Suhu : compos mentis : 100/70 mmHg : 100x/menit : 20x/menit : 36,60C

Status Generalis: Kepala Mata Leher Paru Jantung Ekstremitas : Normosefali, tidak ada tanda trauma/jejas : SI -/- CA / : KGB tidak teraba membesar : SN Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-) : akral hangat +/+ +/+

Status Lokalis (Regio Abdomen dan Regio Anus): Abdomen o Inspeksi o Perkusi o Palpasi : tampak rata, tidak tampak meregang o Auskultasi : BU (+) berlebih, metallic sound (+) : TImpani : supel, teraba massa yang hilang-timbul dengan ukuran

sulit ditentukan, batas tidak tegas, mobile, dan NT (+) Anus o Inspeksi : tidak tampak benjolan, tanda radang atau secret pada

inspeksi perianal. o Rectal toucher: tonus sfingter ani (+); ampula recti tidak kolaps, teraba massa pada arah jam 8, NT (-), permukaan agak berbenjolbenjol dengan konsistensi kenyal, darah (-), secret (-), feses (-) VII. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah rutin:

Hb Leukosit Hematokrit Trombosit VIII. Resume

: 10,9 : 6400 : 32 : 359000

Foto Thorax PA: Ca dan pulmo dbn Foto Abdomen 3 Posisi: Kesan: tampak ileus obstruktif Kolonoskopi: tampak massa pada colon ascendens curiga malignancy

Nyeri perut tiap kali akan BAB, merasa sering ada benjolan, BB turun drastic, mual (+), muntah (-), BAB disertai darah dan encer, metallic sound (+), dari RT didapatkan teraba massa dengan tonus sfingter ani (+) IX. Diagnosis Banding dan Diagnosis Kerja X. Diagnosis Banding: Hemoroid interna, ileus paralitik Diagnosis Kerja: Ileus obstruktif ec susp. Ca Colon

Penatalaksanaan Kemoterapi, terapi pembedahan (kolektomi kiri dan sigmoid), serta radioterapi.

XI.

Prognosis Ad vitam Ad fungsionam Ad sanationam : dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

I.

Identitas Pasien Nama Jenis Kelamin Usia Alamat Pekerjaan : Ny. Sutira : Perempuan : 52 tahun : Cilincing, Jakarta Utara : Ibu Rumah Tangga

Pendidikan Terakhir : Agama Suku Bangsa Status Pernikahan II. : Islam : Indonesia : Menikah

Riwayat Penyakit Sekarang Keluhan utama : Sesak nafas sejak pagi hari SMRS

Keluhan tambahan : Os merasa nyeri pada perut sebelah kiri bawah dan bagian bawah tengah yang hilang timbul sejak kurang lebih sebulan yang lalu. Tidak ada riwayat sulit BAB atau BAB keras sebelumnya, tetapi sekitar 4 hari SMRS, os mencret; cair dengan ampas setelah diberikan garam inggris untuk mengosongkan isi usus sebelum pemeriksaan foto perut. Setelah itu, 2 hari SMRS os mengeluhkan BAB tanpa ampas, hanya berisi darah merah segar seperti lendir. Riwayat nyeri pada anus tiap kali BAB (-). Os masih dapat buang angin. BAK normal, tidak ada keluhan dan warna kuning jernih seperti biasa. Os tidak nafsu makan dan mengalami penurunan berat badan karena awalnya os tampak gemuk dan sekarang terlihat jauh lebih kurus dalam waktu satu bulan. Os tidak ada riwayat demam. Mual (+), muntah (-). Sebelumnya tidak pernah ada riwayat BAB darah ataupun muntah darah.

III.

Riwayat Penyakit Dahulu Diabetes Mellitus : (+) Hipertensi Asma Melena : (+) : (-) : (-)

IV.

Riwayat Penyakit Keluarga Diabetes Mellitus : (-) Hipertensi Asma Keganasan : (-) : (-) : (-)

V.

Riwayat Kebiasaaan Rokok Alkohol : (-) : (-)

Minum air putih : Os kurang minum air putih dan lebih senang minuman manis dan berpengawet/minuman dalam kemasan

Makan buah atau sayuran : Os lebih suka makanan yang menggunakan penyedap rasa, jarang makan makanan pedas, jarang makan buah-buahan atau sayuran

VI.

Os jarang melakukan aktivitas fisik seperti olahraga

Pemeriksaan Fisik Tanda vital: Kesadaran : compos mentis

Tekanan darah Nadi Pernafasan Suhu

: 160/90 mmHg : 72x/menit : 28x/menit : 36,60C

Status Generalis: Kepala Mata Leher Paru Jantung Ekstremitas : Normosefali, tidak ada tanda trauma/jejas : SI -/- CA +/+ : KGB tidak teraba membesar : SN Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-) : akral hangat +/+ +/+

Status Lokalis (Regio Abdomen dan Regio Anus): Abdomen o Inspeksi : tampak agak buncit, tidak tampak meregang, tidak

terlihat massa/benjolan o Auskultasi : BU (+) menurun o Perkusi o Palpasi : Timpani, pekak pada kuadran kiri bawah : supel, defense muscular (-), teraba massa pada regio

illiaca sinistra, batas tidak tegas, mobile, berbentuk lonjong dengan ukuran 8x6x3 cm, padat dan NT (+) Anus o Inspeksi : tidak tampak benjolan, tanda radang atau secret pada

inspeksi perianal. o Rectal toucher: tonus sfingter ani (+); ampula recti tidak kolaps, tidak teraba massa, NT (-), darah (-), sekret (-), feses (+) VII. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah rutin: Hb Leukosit Hematokrit Trombosit Kreatinin Ureum : 8,6 : 13100 : 26 : 471000 : 1,7 : 154

GDS pH pCO2 pO2 BE Saturasi O2 Na K Cl

: 220 : 7,5 : 8,5 : 117,1 : -16,2 : 98,5 : 127 : 3,22 : 99

Pemeriksaan urine lengkap: Warna BJ pH Albumin : kuning keruh : 1.015 : 6.0 : +1

Glukosa, keton, bilirubin, darah samar, nitrit :Billirubin Lekosit Eritrosit Silinder Epitel Bakteri : 0,2 : 1-2 : 0-1 : Negatif : +1 : +1

Ca oksalat, Karbonat, Fosfat, Asam urat, Amorf, Sel ragi : Foto Thorax PA: Ca dan pulmo dbn CEA : 4,1

Colon in loop: BNO : tidak tampak bayangan ground glass appearance

Dengan kateter kontras masuk melalui anus mengisi rectum, colon sigmoid, colon descenden distal. Kontras barium terus keluar sehingga tidak sampai mengisi kolon descenden proksimal, fleksura lienalis, c. transversum dan c. ascenden. Dengan fluoroskopi, pasase kontras kurang lancar kearah proksimal. Pemeriksaan colon in loop tidak bisa dinilai.

VIII.

Resume Os mengeluhkan nyeri perut kiri bawah sejak sebulan yang lalu, os mengalami BAB berupa lendir dengan darah sejak 2 hari yang lalu, mual (+), tidak ada riwayat sulit BAB sebelumnya, penurunan BB secara drastic (+), teraba massa pada abdomen region illiaca sinistra dengan ukuran 8x6x3, BU (+) menurun, CEA 4.1, pada colon in loop; kontras barium terus keluar sehingga tidak sampai mengisi kolon descenden proksimal.

IX.

Diagnosis Banding dan Diagnosis Kerja Diagnosis Banding: Hemoroid eksterna, gastroenteritis Diagnosis Kerja: susp. Ca Colon descenden dengan CKD

X.

Penatalaksanaan Antibiotik broad spectrum, Antiinflamasi, Analgetik, pemasangan NGT, pemasangan DC, puasa pre-operatif 8 jam, HD preoperasi, pembedahan, terapi radiasi, kemoterapi.

XI.

Prognosis Ad vitam Ad fungsionam Ad sanationam : dubia ad bonam : dubia ad malam : dubia ad malam

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

I.

Anatomi dan Fisiologi Saluran Pencernaan Anatomi Saluran pencernaan memiliki dua subdivisi anantomis, traktus digestivus dan organ accesorius. Traktus digestivus merupakan tabung muscular yang memanjang dari mulut sampai ke anus dengan ukuran kurang lebih mencapai 9 meter, yang juga disebut dengan kanal makanan, terdiri dari mulut, faring, esophagus, lambung, usus halus, dan usus besar. Sedangkan organ aksesorius adalah gigi, lidah, kelenjar liur, hepar, kantung empedu, dan pancreas. Kebanyakan bagian dari traktus digestivus terdiri dari struktur dasar yang yang terdiri dari lapisan jaringan dari dalam ke luar: mukosa (epitel, lamina propria, mukosa muskularis), submukosa (terdiri dari pembuluh darah, nervus, kelenjarkelenjar, MALT (mucosa-associated lymphatic tissue)), muscularis externa (lapisan sirkuler dalam pada sfingter dan lapisan longitudinal luar untuk motilitas usus) dan serosa (jaringan areolar dan mesothelium). Persyarafan pada esophagus, gaster, dan instestinal disebut dengan system nervus enteric, yang mempengaruhi kerja motilitas, sekresi, dan aliran darah dari traktus digestivus. Sistem ini terdiri dari beberapa jaringan neuron yaitu plexus Meissner (submukosal) dan plexus Auerbach (mienterikum) dari ganglion parasimpatis dan serat syaraf diantara lapisan muskularis eksterna. Plexus mienterikum mengatur peristaltic dan kontraksi muscularis sedangkan olexus submukosa mengatur pergerakkan mukosa muskularis dan sekresi glandular dari mukosa. Sistem nervus enteric termasuk neuron sensoris yang memantau tekanan dari dinding usus dan kondisi dalam lumen. Pada aktivitasnya, gaster maupun usus membutuhkan tempat yang bebas dalam kavum abdomen, oleh karena itu mereka tidak terlalu terikat pada dinding abdomen, tetapi sebagian besar dari bagian itu dengan renggang bergantung pada jaringan ikat yang disebut messenterium. Mesenterium juga menyediakan jalan bagi aliran pembuluh darah dan syaraf yang menyuplai traktus digestivus dan mengandung banyak nodula limfe serta saluran limfe. Peritoneum parietal adalah

membrane serosa yang membatasi dinding dari kavum abdomen yang bila diteruskan sampai ke posterior dari garis tengan tubuh menjadi mesenterium dorsal yang terbagi menjadi dua lapisan yang mencapai gaster dan usus halus, yang kemudian bersatu kembali membentuk mesenterium ventral. Di bagian margina superior kanan dari gaster, mesenterium ventral disebut omentum minor yang bergantung dari gaster sampai liver, serta di margin inferior dari gaster yang membungkus intestinal. Bila organ dibungkus oleh mesenterium pada kedua sisinya, maka disebut intraperitoneal, tetapi apabila berada diluar dari mesenterium, maka disebut retroperitoneal. Usus Halus Hampir semua proses pencernaan kimiawi dan absorpsi dari nutrisi terjadi pada usus halus. Usus halus mengisi hampir seluruh tempat dari abdomen yang terbagi menjadi 3, yaitu: duodenum, jejunum dan ileum. Duodenum dimulai dari valvus pyloricum yang berputas mengelilingi caput pancreas dan berjalan ke kiri dan berakhir pada flexura duodenojejunal flexure. Hampir seluruh bagian dari duodenum terletak di retroperitoneal. Duodenum menerima beberapa kandungan dari gaster seperti jus pankreatik dan empedu. Jejunum berawal dari kuadran kiri abdomen dan berada kebanyakan pada region umblilkus. Dindingnya rata-rata bersifat tebal dan muscular, dan memiliki suplai darah yang banyak yang memberikan warna merah. Pembuluh darah vasa recta lebih panjang pada jejunum dengan arcade lebih pendek Ileum merupakan 60% bagian dari postduodenal, dimana vasa recta lebih pendek daripada pada jejunum dan arcade lebih panjang. Ileum juga memiliki warna yang lebih muda karena memiliki perdarahan yang lebih sedikit dan warna merah muda. Akhir dari usus halus adalah ileocecal junction dimana ileum bergabung dengan caecum.1 Usus Besar Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m ( 5 ft ) yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil yaitu

sekitar 6,5 cm ( 2.5 inci ), tetapi semakin dekat anus diameternya menjadi mengecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan rektum. Pada sekum, terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar 2 3 inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus. Kolon di bagi lagi menjadi kolon asenden, transversum, desenden dan sigmoid. Tempat kolon membentuk kelokan tajam disebut sebagai fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid dimulai setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk huruf S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum, dan hal ini merupakan alasan anatomis mengapa memposisikan pasien ke sisi kiri saat memberikan enema. Pada posisi ini, gaya gravitasi membantu mengalirkan air dari rektum ke fleksura sigmoid. Bagian utama usus besar yang terakhir disebut sebagai rektum dan membentang dari kolon sigmoid hingga anus ( muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum disebut kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis ani adalah sekitar 15 cm ( 5.9 inci ). Secara ringkas, usus besar terdiri dari : 1. kolin asendens ( kanan ), berjalan kedinding depan perut pada sisi kanan bawah hati. 2. kolon transversum, usus besar berjalan sepanjang dinding depan rongga perut menuju sudut kiri atas rongga perut. 3. kolon desendens ( kiri ), tertutup oleh kelok kelok usus halus, lalu menuju ke bawah dan posterior sepanjang dinding lateral kiri rongga perut. 4. kolon sigmoid ( berhubungan dengan rektum ), terletak di fossa iliaka kiri dan memasuki panggul kecil dalam jerat berbentuk huruf S

5. rektum, mulai di depan vertebrae sakralis ke 2 3 dan berakhir pada anus. Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan berdasarkan pada suplai darah yang diterima. Arteri mesenterika superior mendarahi bagian belahan kanan ( sekum, kolon asenden, dua pertiga proksimal kolon transversum), dan arteri mesenterika inferior mendarahi belahan kolon kiri ( sepertiga distal kolon transversum, kolon desenden, kolon sigmoid, dan bagian proksimal rektum ). Suplai darah tambahan ke rektum berasal dari arteri hemoroidales media dan inferior yang dicabangkan dari arteri iliaka interna dan aorta abdominalis. Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior adalah melalui vena mesenterika superior, vena mesenterika inferior, dan vena hemoroidales superior ( bagian sistem portal yang mengalirkan darah ke hati ). Vena hemoroidaled media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi sistemik. Terdapat anastomosis antara vena hemoroidales superior, media dan inferior sehingga tekanan portal yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya aliran balik ke dalam vena dan mengakibatkan terjadinya hemoroid. Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan perkecualian sfingter eksterna yang berada dalam pengendalian volunter. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf vegus ke bagian tengah kolon tranversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral menyuplai bagian distal. Serabut saraf simpatis meninggalkan medula spinalis melalui saraf splangnikus. Serabut saraf ini bersinaps dalam ganglia seliaka dan aortikorenalis, kemudian serabut paska ganglionik menuju kolon. Rangsangan simpatis menghambat sekresi dan kontraksi, serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan.

Usus besar dilayani oleh banyak jalinan pembuluh limfe serta saluran limfe mengikuti arteria regional ke nodi limfatici pre aorta pada pangkal arteri mesenterika superior dan inferior. Kemudian limfe di drainase ke dalam sisterna cili ( bagian sistem duktus torasikus ) yang kemudian bermuara ke dalam sistem vena pada sambungan vena subclavia dan jugularis sinistra. Karena hubungan ini maka karsinoma metastatik dari traktus gastrointestinalis bisa ada di dalam kelenjar limfe leher ( kelenjar limfe Virchow ). Ke arah proksimal rectum sinambung dengan colon sigmoideum dan ke arah distal dengan canalis analis. Rectum berawal ventral dari vertebra sacrum ke tiga, mengikuti lengkung os sacrum dan os coccygis, dan berakhir di sebelah ventrokaudal ujung os coccygis dengan beralih menjadi canalis analis. Bagian akhir rectum yang melebar ialah ampulla recti yang menopang dan menyimpan massa tinja. Rectum berbentuk S dan memiliki tiga lengkungan yang tajam. Perdarahan arterial melalui arteria rectalis superior, lanjutan dari arteria mesenterica inferior, memasok darah pada bagian proksimal rectum. Kedua arteria rectalis media mengantar darah ke rectum bagian tengah dan bagian distal, dan arteria rectalis inferior mengatur perdarahan bagian distal rectum.

Darah disalurkan kembali melalui vena rectalis superior, vena rectalis media dan vena rectalis inferior. Karena vena rectalis superior bermuara ke dalam sistem vena portal, dan vena rectalis media dan vena rectalis inferior menyalurkan isinya ke dalam vena sistemik, hubungan ini merupakan anastomosis porto-kaval yang penting. Plexus venosus rectalis di sebelah dalam epitel rectum, dan plexus venosus rectalis externus yang terdapat di sebelah luar dinding otot rectum. Pembuluh limfe dari bagian proximal rectum melintas ke kranial, mengikuti pembuluh rectalis superior ke nodi lymphoidei pararectales (anorectales), lalu limfe disalurkan ke kelenjar-kelenjar limfe dalam bagian kaudal mesokolon sigmoideum dan selanjutnya ke nodi lymphoidei mesenterici inferiores dan nodi lymphoidei lumbales. Pembuluh limfe dari bagian distal rectum melintas ke kranial bersama arteria rectalis media dan ditampung oleh nodi lymphoidei iliaca interni. Persarafan rectum berasal dari sistem simpatis dan sistem parasimpatis Persarafan simpatis berasal dari truncus simphaticus bagian lumbal dan plexus hypogastricus superior (nervus presacralis) melalui plexus-plexus sekitar cabang arteria mesenterica inferior. Persarafan parasimpatis berasal dari nervi splancnici pelvici (nervi erigentes). Serabut saraf ini melintas ke plexus hypogastricus inferior dexter dan plexus hypogastricus inferior sinistra untuk mempersarafi rectum. Usus besar memiliki berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah absorbsi air dan elektrolit, yang sudah hampir selesai dalam kolon dekstra. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoar yang menampung massa feses yang sudah terdehidrasi hingga berlangsungnya defekasi.1 Fisiologi Tugas penting utama kolon adalah penyerapan kembali air dan elektrolit yang telah memasuki usus bersama getah pencernaan. Mukosa usus besar terdiri dari kriptus dan tidak terdapat vilus. Epitel kriptus terdiri dari hampir seluruhnya ( paling banyak pada permukaannya ) atas sel sel goblet yang menghasilkan

mukus pelumas. Epitel epitel lain mempunyai batas silia dari mikrovilus yang merupakan gambaran faal penyerapan air yang besar. Kolon mengabsorbsi sekitar 800 ml air per hari, bandingkan dengan usus halus yang mengabsorbsi sekitar 8000 ml. Namun, kapasitas absorbsi usus besar adalah sekitar 1500 200 ml /hari. Bila jumlah ini dilampaui ( misalnya akibat hantaran cairan berlebihan dari ileum ) akan mengakibatkan diare. Berat akhir feses yang dikeluarkan per hari sekitar 200 gram, dan 80 90 % diantaranya adalah air. Sisanya terdiri dari residu makanan yang tidak terabsorbsi, bakteri, sel epitel yang terlepas, dan mineral yang tidak terabsorbsi. Sejumlah kecil pencernaan dalam usus besar terutama disebabkan oleh bakteri dan bukan oleh kerja enzim. Usus besar mensekresi mukus alkali yang tidak mengandung enzim. Mukus ini bekerja untuk melumasi dan melindungi mukosa. Bakteri usus besar mensintesis vitamin K dan beberapa vitamin B. Pembusukan oleh bakteri dari sisa protein menjadi asam amino dan zat yang lebih sederhana seperit peptida, indol, skatol, fenol dan asam lemak. Bila asam lemak dan HCl dinetralisasi oleh bikarbonat, akan dihasilkan karbondioksida (CO2 ).

Pembentukan berbagai gas seperti NH3, CO2, H2, H2S, dan CH4 membantu pembentukan gas ( flatus ) dalam kolon. Beberapa substansi ini dikeluarkan dalam feses, sedangkan zat lain diabsorbsi dan diangkut ke hati untuk diubah menjadi senyawa yang kurang toksik dan dieksresikan melalui urin. Fermentasi bakteri pada sisa karbohidrat juga melepaskan CO2, H2, dan CH4 yang juga berperan dalam pembentukan flatus dalam kolon. Dalam sehari secara normal dihasilkan sekitar 1000 ml flatus, kelebihan gas dapat terjadi pada aerofagia ( menelan udara secara berlebihan ) dan dari peningkatan gas dalam lumen usus ( yang biasanya berkaitan dengan jenis makanan yang dimakan ). Makanan yang mudah membentuk gas seperti kacang kacangan mengandung banyak karbohidrat yang tidak dapat dicerna. Pada umumnya usus besar bergerak secara lambat. Gerakan usus besar yang khas adalah gerakan pengadukan haustral. Kantong atau haustra meregand dan dari waktu ke waktu otot sirkular akan berkontraksi untuk mengosongkannya. Gerakan ini tidak progresif, tetapi menyebabkan isi usus bergerak bolak balik dan Terdapat dua jenis peristaltik propulsif : 1. kontraksi lambat, tidak teratur, berasal dari segmen proksimal dan bergerak ke depan, menyumbat beberapa haustra, 2. peristaltik massa, merupakan kontraksi yang melibatkan segmen kolon. Gerakan

peristaltik ini menggerakkan massa feses ke depan, akhirnya merangsang defekasi. Kejadian ini timbul 2 3 kali sehari dan dirangsang oleh refleks gastrokolik setelah makan, terutama setelah makanan yang pertama kali dimakan pada hari itu. Propulsi feses ke dalam rektum menyebabkan terjadinya distensi dinding rektum dan merangsang refleks defekasi. Defekasi dikendalikan oleh sfingter ani eksterna dan interna. Sfingter interna dikendalikan oleh sistem saraf otonom, sedangkan sfinger eksterna dikendalikan oleh saraf volunter. Refleks defekasi terintegrasi pada pada medula spinalis segmen sakral ke dua dan ke empat. Serabut parasimpatis mencapai rektum melalui saraf splangnikus panggul dan

menyebabkan terjadinya kontraksi rektum dan relaksasi sfingter interna. Pada waktu rektum yang teregang berkontraksi, otot levator ani berelaksasi sehingga menyebabkan sudut dan anulus anorektal menghilang. Otot sfingter interna dan eksterna berelaksasi pada waktu anus tertarik ke atas melebihi tinggi massa feses. Defekasi dipercepat dengan tekanan intra abdomen yang meningkat akibat kontraksi volunter otot dada dengan glotis yang tertutup, dan kontraksi otot abdomen secara terus menerus ( manuver atau peregangan Valsava ). Defekasi dapat dihambat oleh kontraksi otot volunter sfingter eksterna dan levator ani. Dinding rektum secara bertahap menjadi rileks dan keinginan defekasi menghilang. Rektum dan anus merupakan lokasi sebagian penyakit yang sering ditemukan pada manusia. Penyebab umum konstipasi adalah kegagalan pengosongan rektum saat terjadi peristaltik massa. Bila defekasi tidak sempurna, rektum menjadi rileks dan keinginan defekasi menghilang. Air tetap terus diabsorbsi dari massa feses, sehingga feses menjadi keras, dan menyebabkan lebih sukarnya defekasi selanjutnya. Bila massa feses yang keras ini terkumpul di satu tempat dan tidak dapat dikeluarkan, maka disebut sebagai impaksi feses. Tekanan pada feses yang berlebihan menyebabkan timbulnya kongesti vena hemoroidales interna dan eksterna, dan hal ini merupakan salah satu penyebab hemoroid ( vena varikosa rektum ). Inkontinensia feses dapat disebabkan oleh kerusakan otot sfingter ani atau gangguan medula spinalis. Daerah anorektal sering merupakan tempat terjadinya abses dan fistula. Kanker kolon dan rektum merupakan kanker saluran gastrointestinal yang paling sering terjadi.

II.

Tumor Colorectal Karsinoma kolon merupakan keganasan yang mengenai sel -sel epitel di mukosa kolon. Dasar penting dari keganasan kolon ini adalah proses perubahan secara genetik pada sel-sel epitel di mukosa kolon yang timbul akibat beberapa hal, antara lain dietetik,kelainan di kolon sebelumnya dan faktor herediter 2 Etiologi dan Faktor Predisposisi Secara umum karsinoma selalu dihubungkan dengan: bahan-bahan kimia, bahanbahan radioaktif, dan virus. Umumnya karsinoma kolon terjadi dihubungkan dengan factor genetic dan lingkungan. Serta dihubungkan juga dengan factor predisposisi diet rendah serat, kenaikan berat badan, intake alkohol. Karsinoma kolon adalah penyebab kematian kedua akibat karsinoma. Kemungkinan mengidapnya adalah 1 dalam 17. Insidennya berkurang 2 peratus setahun sejak 1985 hingga 1995 tetapi baru-baru ini peratusannya meningkat kembali. Ini menunjukkan keberhasilan deteksi awal melalui program skrining. Tumor terjadi ditempat yang berada dalam colon, kira-kira pada bagian : 26 % pada caecum dan ascending colon 10 % pada transfersum colon 15 % pada desending colon 20 % pada sigmoid colon 30 % pada rectum Insiden karsinoma kolon menunjukkan variasi geografik. Negara industri kecuali Jepang mempunyai insiden tertinggi. Manakala Negara Amerika Selatan dan China mempunyai angka kejadian yang relative rendah. Ini disebabkan oleh perbedaan diet antara negara berkenaan dan faktor lingkungan

Di Indonesia dari berbagai laporan terdapat kenaikan jumlah kasus tetapi belum ada angka yang pasti berapa insiden karsinoma kolon. Sjamsuhidajat (1986) dari evaluasi data-data di Departemen Kesehatan mendapatkan 1,8 per 100.000

penduduk.2 Tirtosugondo (1986) untuk Kodya Semarang. Kira-kira 152.000 orang di amerika serikat terdiagnosa karsinoma Colon pada tahun 1992 dan 57.000 orang meninggal karena karsinoma ini pada tahun yang sama (ACS 1993). Sebagian besar klien pada karsinoma Colon mempunyai frekuensi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Karsinoma pada colon kanan biasanya terjadi pada wanita dan Ca pada rektum biasanya terjadi pada laki-laki. Insidennya meningkat sesuai dengan usia (kebanyakan pada pasien yang berusia lebih dari 55 tahun) dan makin tinggi pada individu dengan riwayat keluarga yang mengalami karsinoma kolon. Tipe Karsinoma dan Kolon Rektum Secara makroskopis terdapat tiga tipe karsinoma kolon dan rektum, yaitu Tipe polipoid atau vegetatif

Pada tipe ini tumor tumbuh menonjol ke dalam lumen usus, berbentuk bunga kol dan ditemukan terutama di sekum dan kolon ascendens. Tipe skirus atau infiltratif,

Pada tipe ini biasanya mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi stenosis dan gejala obstruksi, terutama ditemukan pada kolon descendens, sigmoid dan rektum. Tahap ulserasi

Pada tipe ini terjadi karena nekrosis di bagian sentral dan terletak di daerah rektum. Pada tahap lanjut, sebagian besar tumor kolon akan mengalami ulcerasi menjadi tukak yang maligna. Metastase ke kelenjar limfa regional ditemukan pada 40-70% kasus pada saat direseksi. Invasi ke pembuluh darah vena ditemukan pada lebih 60% kasus. Metastase sering ke hepar, cavum peritoneum, paru-paru, diikuti kelenjar adrenal, ovarium dan tulang. Metastase ke otak sangat jarang, dikarenakan jalur limfatik dan vena dari

rektum menuju vena cava inferior, maka metastase karsinoma rektum lebih sering muncul pertama kali di paru-paru. Berbeda dengan kolon dimana jalur limfatik dan vena menuju vena porta, maka metastase karsinoma kolon pertama kali paling sering di hepar. Adenokarsinoma kolorektal sangat berbeda secara gambaran histologi, beberapa tumbuh relatif berdifferensiasi baik, lainnya menjadi lebih anaplastik. Secara umum pertumbuhan papiliferous cenderung berdifferensiasi lebih baik daripada lesi dengan ulserasi dan infiltrasi dalam. Broders (1925), Grinnell (1939) dan Dukes (1940) memperkenalkan suatu modifikasi sistim penderajatan secara histologis, di mana terlihat bahwa ada hubungan erat antara ekstensi penyebaran lesi dengan prognosis akhir setelah terapi pembedahan.25 Dukes membedakannya menjadi 5 derajat , yaitu : Derajat I : tumor sangat menyerupai adenoma dengan tanda-tanda adanya proliferasi aktif epitel, tapi dapat dikenali sebagai malignansi karena adanya infiltrasi ke lapisan muskularis mukosa. Derajat II : tumor dengan sel-sel karsinoma yang ramai berkelompok tetapi tetap terbatas dalam bentuk yang cukup rata pada satu atau 2 lapisan lebih dalam di sekitar ruang glandula. Umum terlihat adanya nukleus yang berwarna dan bentuk-bentuk mitosis yang tidak teratur. Derajat III : Sel-sel lebih sedikit berdifferensiasi dan diatur dalam suatu cincin yang tidak rata, seringkali 2 atau 3 baris lebih dalam di sekitar ruang glomerular. Gambaran mitosis tidak sebanyak pada derajat II. Derajat IV : Sel-sel tumor makin anaplastik dan tidak membentuk struktur glandular sama sekali tetapi meliputi satu per satu jaringan atau dalam kelompok atau kolom kecil yang tidak teratur. Tumor Koloid (atau mukoid) mempunyai sistim pengelompokan sendiri dan juga bervariasi tergantung pada derajat differensiasinya.

Dukes (1946) memodifikasi sistimnya menjadi 4 kategori, yaitu : Derajat keganasan rendah (sama dengan derajat I sebelumnya) Derajat keganasan sedang (sama dengan derajat II sebelumnya)

Derajat keganasan tinggi (sama dengan derajat III dan IV sebelumnya) Karsinoma Koloid

Klasifikasi TNM T Tumor primer Tx - Tumor primer tidak dapat dinilai T0 - Tidak ada tumor primer T1 - Invasi tumor di lapisan sub mukosa T2 - Invasi tumor di lapisan otot propria T3 - Invasi tumor melewati otot propria ke subserosa atau masuk ke perikolik yang tidak dilapisi peritoneum atau perirektal T4 - Invasi tumor terhadap organ atau struktur sekitarnya atau peritoneum viseral N Kelenjar limfe regional Nx - Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai N1 - Metastasis di 1-3 kelenjar limfe perikolik atau perirektal N2 - Metastasis di 4 kelenjar limfe perikolik atau perirektal N3 - Metastasis pada kelenjar limfe sesuai nama pembuluh darah atau pada kelenjar apikal M Metastasis jauh Mx - Metastasis jauh tidak dapat dinilai M0 - tidak ada metastasis jauh M1 - terdapat metastasis jauh

Gejala Klinis Pasien dengan karsinoma kolorektal defekasi u m u m n ya (Change memberikan of bowel

keluhan berupagangguan

proses

h a b i t ) , b e r u p a k o n s t i p a s i a t a u d i a r e , perdarahan segar lewat anus (rectal bleeding), perasaan tidak puas setelah buang air besar (tenesmus), buang air besar berlendir (mucoid diarrhea), anemia tanpa sebab yang jelas,dan penurunan berat badan. Adanya suatu massa yang dapat teraba dalam p erut jugadapat menjadi keluhan yang dikemukakan. Manifestasi klinik karsinoma kolon tergantung dari bentuk makroskopis dan letak tumor. Bentukpolipoid (cauli flower) dan koloid (mukoid) menghasilkan banyak mukus, bentuk anuler menimbulkan obstruksi dan kolik, sedangkan bentuk infiltratif (schirrhus) t u m b u h l o n g i t u d i n a l s e s u a i s u m b u p a n j a n g d i n d i n g rektal dan bentuk u l s e r a t i f menyebabkan ulkus ke dalam dinding

lumen.Karsinoma yang terletak di kolon asenden menimbulkan gejala perdarahan samar sedangkan tumor yang terletak di rektum memanifestasikan perdarahan yang masih segar dan muncul gejala diare palsu. Di kolon desenden, karsinoma ini menyebabkan kolik yang nyata karena lumennya lebih kecil dan feses sudah berbentuk solid. Diagnosis karsinoma kolon ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratoris,

radiologis, kolonoskopi, danhistopatologis. Resektabilitas ditentukan oleh ahli bedah berdasarkan pemeriksaan colok dubur Resektabel : Tumor dengan colok dubur masih dapat digerakan, tidak

melekat ke anterior, posterior dan kedua sisi lateral. Tidak resektabel : salah satu sisi. Untuk tumor yang meragukan colok dubur dapat dilakukan dalam pembiusan Patofisiologi Tumor dengan colok dubur sulit digerakan dan melekat pada

Jenis utama pada kanker kolorektal adalah adenokarsinoma, yang sebelumnya dicetuskan dengan polip adenomatosa, dapat tumbuh pada mukosa colon yang normal. Penelitian yang dilakukan oleh Bert Vogelstein, dkk lebih dari 20 tahun yang lalu berhasil mengidentifikasikan alterasi genetic yang terpenting, dimana akan berkembang menjadi kanker kolorektal.

Pada awalnya terjadi peningkatan gen APC (adenomatosa poliposis coli), dimana bersifat mutasi individual oleh familial adenomatosa poliposis (FAP). Protein yang mengkode target gen APC dengan mendegradasi beta-catenin, suatu komponen protein transkripsional kompleks yang mengaktivasi growth-promoting onkogen, seperti cyclin D1 atau c-myc. Mutasi APC dan beta-catenin sering teridentifikasi pada kanker koloretal yang bersifat sporadic. Perubahan metilasi DNA dapat terjadi pada stadium polip. Kanker kolorektal dan polip mengalami ketidakstabilan metilasi genomic DNA, dengan hipometilasi global dan regional. Hipometilasi dapat meningkatkan aktivasi onkogen, dimana hipometilasi dapat meningkatkan tumor supresor gen. ras mutasi gen umumnya dapat terjadi pada polip yang besar, yang akan mempengaruhi pertumbuhan onkogen polip. Delesi kromosom 18q dapat dihubungkan pada pertumbuhan kanker yang bersifat lanjut. Delesi kromosom ini meningkatkan target DPC4 (suatu gen delesi pada kanker pancreas dan meningkatkan factor transforming-growth [TGF]-beta pada jalur penanda growth-inhibitor) dan DCC (suatu gen delesi pada kanker kolon). Kehilangan kromosom 17p dan mutasi gen tumor supresi p53 terjadi pada keadaan lanjut kanker

kolon. Overexpresi Bc12 akan meningkatkan inhibisi kematian sel, hal ini terjadi pada perkembangan kanker kolorektal. Delesi 18q akan terdeteksi pada stadium kanker kolon Dukes B, dimana akan terjadi peningkatan rekurensi pembedahan, dan pada penelitian akan lebih baik jika dilakukan kemoterapi adjuvant. Predisposisi terjadinya kanker kolon lainnya, yaitu hereditary nonpoliposis kanker kolon, dimana terjadi mutasi beberapa gen, yang meningkatkan mismatch repair DNA, termasuk MSH2, MLH1 dan MLH1 dan PMS2. ras mutasi gen akan terdeteksi pada feses pasien dengan kanker kolorektal. Terapi 1. Pembedahan Pembedahan tetap merupakan pilihan utama pada penatalaksanaan kanker kolorektal yang localized. Bab ini memberikan rekomendasi persiapan operasi, tekhnik operasi dan operasi dalam keadaan darurat serta penyakit KKR lanjut. Selain hal diatas dikemukakan pula rekomendasi perlunya spesialisasi dan beban kerja dalam penatalaksanaan KKR.
Persiapan Preoperatif

Dua hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan pembedahan pada penderita KKR yaitu terjadinya trombosis vena dan infeksi luka. Berdasarkan hal tersebut sangat direkomendasikan melakukan tindakan profilaksis berupa pencegahan tromboemboli vena dan antibiotika profilaksis. Persiapan kolon secara mekanis juga dilakukan, walaupun kurang didukung penelitian yang baik. Semua pasien yang akan atau perlu dibuatkan stoma, baik permanen maupun sementara, harus diperiksa secara pra-bedah oleh stoma therapist. Walaupun tidak ada bukti bahwa persiapan usus memberikan keuntungan, tidak ada bukti juga yang mengatakan bahwa hal ini tidak memberikan keuntungan, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa persiapan usus tidak penting dilakukan. Transfusi Darah Perioperatif

Hubungan antara transfusi darah dengan meningkatnya resiko kekambuhan masih terus diperdebatkan. Penelitian meta-analisis mengenai hal ini tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam kekambuhan KKR. Karena kecilnya jumlah pasien yang mengambil bagian dalam percobaan, maka meta-analisis ini dianggap tidak mencukupi untuk dapat mendeteksi perbedaan risiko yang kurang dari 20%, menjadi semakin tidak signifikan setelah semakin umumnya transfusi darah leucodepletion di Inggris.29,30 Tekhnik Pembedahan Kanker Kolorektal Prosedur pembedahan mengikuti prosedur yang dilakukan oleh Heald dkk, reseksi dari karsinoma bag tengah dan bawah adalah Reseksi Low Anterior yang meliputi pengangkatan seluruh mesorektum. Untuk tumor bagian atas 5 cm dari mesorektum distal dari batas tumor harus dieksisi. Reseksi dimulai dengan membebaskan Sigmoid dari lateral sampai terlihat ureter kiri, dan dilanjutkan dengan sisi kanan bertemu didepan bifurcatio aorta. Arteri mesenterika inferior dipotong 1-2 cm dari percabanganya dengan aorta, dilanjutkan dengan pembebasan ke arah anal mengikuti daerah avaskuler yang dapat dicari didepan dari ureter dan pleksus pre-sakralis di bifurcatio aorta, mesorektum berbentuk bilobar dan pembebasan harus dilakukan secara tajam dengan penglihatan langsung sampai terlihat otot levator ani. Terdapat 2 nervus yang harus di preservasi yaitu pleksus hipogastrikus dan Nervus Erigentes, keduanya keluar dari foramen sakralis dan bergabung dengan Nervus pre-sakral pada batas dari vesikula seminalis dan diluar dari fasia Denonvilliers. Ligamentum lateral terdiri dari gabungan ini dan berbentuk T, hal yang penting diperhatikan adalah pada saat kita melakukan diseksi di daerah ini harus dekat dengan mesorektum untuk menghindari kerusakan syaraf tersebut. Dari poterior diseksi dilanjutkan secara tajam ke lataeral mengikuti dinding pelvis disebelah medial dari arteri dan vena iliaka interna, hal yang perlu mendapat perhatian adalah tepi lateral dari Vesikula seminalis dalam rangka menghindari kerusakan Nervus Erigentes. Pada sisi anterior peritoneum di insisi mengikuti lengkung refleksi peritoneal dilanjutkan sampai di pertemuan fasia Denonvilliers

dan kapsul posterior dari prostat sampai bagian bawah tumor, letak tumor menentukan batas akhir dari diseksi. Mobilisasi fleksura lienalis harus dilakukan untuk menjamin tidak tegangnya anastomose, sedangkan ileostomi dilakukan untuk menghindari kebocoran dan hal ini ditenyukan oleh operator setelah anastomose selesai dilakukan. a. Kanker Kolon Berbeda dengan pembedahan kanker rektum hanya ada sedikit bukti yang berhubungan pada pembedahan kanker kolon yang radikal. Dua penelitian yang yang adaternyata tidak dapat membuktikan efek menguntungkan dari teknik no touch atau hemikolektomi kiri yang formal, dan tidak ada bukti bahwa reseksi yang radikal memiliki efek pada outcome pada penatalaksanaan kanker kolon. b. Kanker Rektum Saat ini banyak bukti dari penelitian studi kohort skala besar bahwa penggunaan tehnik total mesorectal excision (TME) dalam penatalaksanaan kanker rektum dapat mengurangi rekurensi lokal memperbaiki angka survival. Hal ini

dikarenakan oleh circumferential clearance tumor yang dilakukan dengan baik. TME pada rectum atas dilakukan sesuai dengan prosedur TME yaitu diseksi secara tajam under direct vision pada holy plane diluar mesorektum sampai 5 cm dibawah tumor.Sedang pada rektum bagian tengah dan bawah masalahnya adalah anastomosis rendah mengkibatkan fungsi rektum yang kurang baik dibandingkan dengan anastomosisi yang lebih tinggi. Satu hal yang juga penting adalah untuk preservasi syaraf otonom daerah pelvis agar meminimalisasi terjadinya disfungsi seksual dan kandung kemih. c. Anastomosis Kebocoran anastomosis adalah komplikasi yang sering terjadi dan dapat

berakibat fatal pada pembedahan kanker kolorektal, sehingga harus dilakukan langkah-langkah untuk meminimalisasi hal ini. Tidak ada bukti bagus yang mendukung sebuah teknik secara spesifik, tetapi hasil meta-analisis baru-baru ini mengindikasikan bahwa satu-satunya perbedaan antara jahitan tangan dengan

Stapling

adalah

sedikit

peningkatan

risiko

terjadinya

striktur

dengan

menggunakan stapling. Faktor risiko untuk dehisensi anastomosis sudah diketahui dengan baik, seperti jenis kelamin laki-laki, peningkatan umur, dan obesitas. Namun pada reseksi anterior kebocoran meningkat dengan anastomosis rendah (kurang dari 5cm dari linea dentata). Untuk hal ini telah dibuktikan penggunaan defunction stoma berfungsi mengurangi risiko kebocoran pada anastomosis kolorektal rendah. Kerugian anastomosis rendah lainnya adalah fungsi yang jelek, dan ini dapat diatasi dengan pembuatan colopouch. d. Eksisi lokal di Kanker Kolorektal Beberapa kanker rektum lokal dapat disembuhkan dengan eksisi lokal, terdapat bukti dari uji acak terkontrol yang menyatakan bahwa prosedur ini mempunyai morbiditas yang rendah dibandingkan dengan operasi yang radikal. Ada juga bukti yang menyatakan bahwa eksisi lokal berhubungan dengan rekurensi lokal yang lebih tinggi daripada operasi radikal, hal ini mungkin disebabkan residu tumor di kelenjar getah bening. Adjuvan radioterapi dan kemoterapi dikatakan dapat angka rekurensi lokal dari KKR, tetapi regimen yang dapat diandalkan dan diterima secara luas masih belum dikembangkan. Tumor T1 (yang memiliki penyebaran lokal yang kecil) sering dilihat cocok untuk eksisi lokal, tetapi harus ditekankan bahwa keterlibatan ekstensif submukosa berhubungan dengan keterlibatan kelenjar getah bening hingga 17 %. Berbeda bila kita dapatkan minimal submukosa (tumor T1 sm1) biasanya sering mempunyai risiko minimal dari keterlibatan kelenjar getah bening. Kanker kolon dan kadang-kadang rektum bisa dieksisi oleh polipektomi pada saat kolonoskopi dan umumnya tidak memerlukan pembedahan lebih lanjut bila kita dapatkan tepi sayatan atau dasar sayatan tidak bebas tumor. Untuk saat ini Tumor T1 sm1 yang dapat dilakukan prosedur ini . e. Pembedahan Laparoskopi pada Kanker Kolorektal Bukti dari beberapa uji acak terkontrol dan uji kohort mengatakan bahwa

pembedahan laparoskopi untuk kanker kolorektal memungkinkan untuk

dilakukan dan kelebihannya dibandingkan dengan konvensional adalah berkurangnya nyeri pasca-operasi, penggunaan analgetika, perawatan di rumah sakit, dan perdarahan. f. Penatalaksanaan Obstruksi usus karena KKR Jika ada kecurigaan obstruksi mekanis usus besar, maka harus dibuktikan dengan enema barium yang larut dalam air untuk membedakan dengan pseudoobstruction. Obstruksi mekanis kolon harus bisa dibedakan dari colonic pseudoobstruction sebelum pembedahan. Sudah ada bukti-bukti bahwa pada penderita yang memungkinkan dan pengalaman pembedahan yang cukup, reseksi tumor dan anastomosis langsung dapat dikerjakan reseksu segmental memberikan hasil yang lebih baik dalam hal fungsi dibanding dengan kolektomi subtotal. Bila ada fasilitas Colonic stenting dapat dikerjakan sebagai tindakan paliatif pada penderita dengan tumor yang tidak resektabel dengan obstruksi. Pembedahan untuk Penyakit KKR lanjut Pada penyakit KKR lanjut dengan metastasis hati dan atau paru reseksi merupakan pilihan yang terbaik. In situ ablation untuk metastases hati yang tidak bisa direseksi juga memungkinkan, tetapi keuntungannya belum jelas. Bagi pasien yang memiliki tumor primer lokal lanjut atau rekuren, harus diingat bahwa reseksi tumor dengan pembedahan adalah satu-satunya harapan untuk sembuh, tetapi harus diingat bahwa kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh hal tersebut. Untuk penyakit yang sudah jelas tidak dapat dioperasi, intervensi seperti stenting atau laser ablation dapat dijadikan pilihan terapi paliatif yang berguna. 2. Radiasi Pada umumnya terapi pada keganasan rectal lebih kompleks dari keganasan kolon karena dibutuhkannya pemikiran untuk dilakukan operasi penyelamatan organ atau pun fungsi. Kekambuhan akibat operasi sangat dihubungkan dengan dalam penetrasi tumor pada dinding usus dan adanya keterlibatan kelenjar getah bening.

Lavery mengatakan bahwa terjadinya kekambuhan post operasi pada kasus keganasan rektum dengan kelenjar getah bening positif adalah mencapai 60%. Sehingga berbagai penelitian jelas memperlihatkan bahwa penambahan radiasi pada kasus keganasan rekti akan memperbaiki keberhasilan terapi pada keganasan kolorektal. Kekambuhan sering terjadi dalam 2 tahun pertama setelah pembedahan, yang menurut Mendenhall angka kekambuhan mencapai + 20-30%. Perez menyatakan kegagalan lokal pada penderita dengan ekstensi menembus dinding usus atau dengan keterlibatan kelenjar adalah 20-70%. Untuk memperbaiki hasil terapi dan mengurangi kekambuhan lokal diberikan adjuvan berupa radiasi pra dan pasca bedah serta kemoterapi. Radiasi pada karsinoma rekti dapat diberikan baik pada kasus yang resektabel maupun yang tidak resektabel, dengan tujuan: mengurangi risiko rekurensi lokal, terutama pada pasien yang hasil PA menunjukkan prognosis yang buruk (Stadium Astler-Coller B2, C1, C2 ) meningkatkan kemungkinan prosedur preservasi sfingter meningkatkan tingkat resektabilitas pada tumor yang lokal jauh atau tidak resektabel mengurangi jumlah sel tumor yang viable sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kontaminasi sel tumor dan penyebaran melalui aliran darah pada saat operasi Radiasi pada karsinoma rekti dapat diberikan berupa : a. Radiasi eksterna o Postoperatif Berkembang berbagai penelitian pemberian radiasi maupun tanpa kemoterapi postoperasi misalnya yang dilakukan di USA dalam bentuk penelitian GITSG 7175, NSABP-R-01 dan NCCGT. Diperlihatkan bahwa pemberian radiasi

postoperatif disertai pemberian kemoterapi akan meningkatkan baik angka survival bebas penyakit, kontrol lokal maupun survival keseluruhan. Saat ini banyak dianut bahwa pemberian 5-FU infus bersama leucovorin bersamaan dengan radiasi postoperatif merupakan terapi pilihan pada T3N0 keganasan rektal. Saat ini berkembang pemberian radiasi bersamaan dengan

capecitabine yang merupakan derivat 5-FU bersifat oral dan lebih targeted terhadap sel tumor dengan efektifitas yang lebih baik. Penggunaan Capecitabine oral sebagai dengan dosis 825 mg/m2, 2 kali sehari bersamaan dengan radioterapi sebagai radiosensitizer juga mulai diteliti oleh Dunst pada 46 pasien karsinoma rekti lanjut lokal. Didapatkan angka respons klinis pada 72% kasus, 89% diantaranya dapat menjalani operasi. o Preoperatif Tindakan ini lebih banyak berkembang di Eropa. Penelitian EORTC memperlihatkan bahwa pemberian radiasi preoperatif meningkatkan kontrol lokal dan pada kelompok pasien usia kurang dari 55 tahun akan meningkatkan survival dari 48% menjadi 80%. Penelitian di Swedia memperlihatkan bahwa pemberian radiasi 5 X 5 Gy akan meningkatkan angka survival menjadi 58% (vs 48%) dengan kegagalan lokal yang menurun menjadi 11% (vs 27%). Rullier mengatakan dengan pemberian radiasi preoperatif pada kasus keganasan rektal T3 letak rendah yang seyogyanya diperlakukan dengan tindakan kolostomi permanen (lokasi rata-rata <4,5 cm dari garis anokutan) menghasilkan dapat dilakukannya tindakan operasi penyelamatan sphinter pada 62,5% kasus. Pemberian radiasi preoperatif ini dilaporkan dapat meningkatkan dilakukan operasi penyelamatan sphinter pada 56% kasus (20 vs 76%), dimana pada 24% kasus tidak didapatkan sisa tumor pada pemeriksaan patologi anatomi. Dari penelitian Medical Research Councils Working Party menggunakan dosis tunggal 5 Gy atau 20 Gy dalam 10 fraksi preoperatif didapatkan hasil yang tidak signifikan pada rekurensi lokal maupun survival dibandingkan dengan bila hanya dilakukan pembedahan saja. Sebaliknya studi di Toronto menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dari survival rate pada penderita dengan Dukes C. Beberapa penelitian di Norwegia menggunakan dosis 31,5 Gy dengan fraksinasi 1,75 Gy/fraksi, 5X/minggu, menunjukkan kontrol lokal, regresi tumor lengkap terutama pada tumor-tumor yang lokal lanjut (Dukes B2 dan C2) serta penurunan keterlibatan jumlah kelenjar yang lebih baik pada 4,5% kasus tanpa

mempengaruhi survival rate.37,41 Dari penelitian tersebut juga tampak tidak adanya tambahan morbiditas dan mortalitas postoperatif yang disebabkan terapi radiasi sebelumnya dan hanya didapatkan efek samping yang minimal dari usus halus dan buli-buli. Rouanet dan kawan-kawan menggunakan dosis 40Gy (18 X 2,1 Gy, selama 3 minggu), dengan tehnik 3 lapangan radiasi, dan pesawat aselerator linier 25 MEV pada penderita karsinoma rekti letak 1/3 bawah (jarak < 6 cm dari garis anokutan). Pada 3 minggu pasca radiasi dilakukan penilaian radiosensitivitas tumor, bila terdapat pengecilan tumor minimal 30% diberikan booster sampai mencapai dosis biologik 60 Gy. Hasilnya: sfingter dapat dipertahankan pada 78% penderita dan kekambuhan lokoregional menjadi 5-11% dibandingkan 3,5 20,6% bila hanya dilakukan pembedahan saja. Selain itu batas distal sayatan dapat diperkecil kurang dari 2 cm, yaitu 16,4 mm; bahkan Mohuiddin dapat memperkecilnya sampai 15 mm dengan laju kekambuhan lokal 11% dan survival 5 tahun 72%. Tahun 1988-1993 Gondhowiardjo dan Pusponegoro di RSUPN-CM mengadakan penelitian mengenai pemberian radioterapi preoperatif pada adenokarsinoma. Pada kasus yang resektabel diberikan radiasi dosis rendah (5X2Gy) dan kasus yang tidak resektabel dengan dosis tinggi (RTD 45 Gy). Didapatkan hasil 38% penderita yang tidak resektabel menjadi resektabel setelah mendapat radiasi dosis tinggi preoperasi, bahkan 33% diantaranya mengalami remisi lengkap sehingga dapat dilakukan tindakan reseksi anterior rendah dan preservasi sfingter. Pada kelompok kasus resektabel yang menerima radiasi dosis rendah preoperasi didapatkan kekambuhan lokal pada 11,1%. Penelitian Mendenhall menggunakan dosis 3500 cGy dalam 20 fraksi, 4000-5000 cGy (180cGy/fraksi) dan 3000 cGy dalam 10 fraksi menunjukkan kekambuhan lokal waktu bebas penyakit 96% dibanding 67% bila hanya dilakukan pembedahan saja, dengan survival 5 tahun 66% dibanding 40% bila hanya dengan pembedahan saja. Stockholm Rectal Cancer Study Group pada penelitiannya yang pertama menggunakan dosis 25 Gy preoperatif jangka pendek dalam 5-7 hari (5X5Gy) dengan lapangan radiasi AP/PA, dilanjutkan pembedahan dalam 1 minggu setelah

radiasi menunjukkan hasil kontrol lokal (pengurangan rekurensi pelvis) yang lebih baik serta interval bebas penyakit (recurrence free interval) yang lebih panjang, tanpa peningkatan survival rate. Walaupun didapatkan pula peningkatan komplikasi dan mortalitas postoperatif terutama pada penderita usia lanjut, tetapi ini disebabkan adanya penyakit kardiovaskuler dan bukan karena komplikasi pembedahan itu sendiri. EORTC menggunakan dosis 34,5 Gy dan mendapatkan hasil yang sama pula. o Pre vs postoperatif radiasi Dilaporkan terdapat keuntungan dari radiasi preoperatif dibandingkan

postoperatif adalah bahwa efek samping akan lebih rendah karena pada keadaan postoperatif kekosongan daerah pelvis akan terisi oleh usus halus, yang bilamana teradiasi akan menimbulkan gejala. Sedangkan pada radiasi preoperatif usus halus masih bergerak bebas dan dapat dimanipulasi untuk memindahkannya kearah luar dari pelvis,misalnya dengan posisi prone atau keadaan buli-buli penuh. Minsky melaporkan penurunan efek samping pada radiasi preoperatif menjadi 13% (vs 48%). Disamping itu pada tindakan preoperatif bagian usus halus yang teradiasi dapat direseksi sehingga akan menurunkan angka efek samping lanjut.

Keuntungan lain radiasi preoperatif adalah terjadinya pengecilan tumor yang memungkinkan dilakukan operasi penyelamatan organ maupun fungsi pada keadaan dimana seyogyanya tindakan reseksi abdomino perineal dilakukan. Juga keadaan ini memungkinkan dilakukan operasi pada kasus-kasus yang awalnya tidak resektabel. Keuntungan radiasi postoperatif harus pula dinilai dari beberapa hal lainnya, misalnya stadium patologik lebih akurat (termasuk keterlibatan hepar maupun kelenjar yang mungkin belum dapat dideteksi pada pemberian radiasi preoperatif), dilakukan operasi pada daerah yang belum teradiasi tanpa keterlambatan. b. Brakiterapi

Intracavitary brachytherapy, merupakan kontak terapi radiasi dimana diberikan radiasi dengan memasukkan aplikator melalui lumen yang kemudian akan diisi dengan sumber radioaktif misalnya iridium. Interstitial brachytherapy, merupakan cara pemberian radiasi dengan melakukan implantasi menggunakan aplikator jarum atau kateter plastik yang kemudian akan diisi dengan sumber radioaktif. Brakiterapi diberikan dalam keadaan keganasan rekti dini. Ini diperlihatkan pada penelitian Papillon yang memberikan radiasi pada 312 kasus dengan menggunakan terapi kontak dan dicapai hasil kontrol lokal regional 5 tahun 95% dan 96%, preservasi sphinter dapat dilakukan pada 2/3 kasus, angka survival 5 tahun 75% dengan kematian spesifik 92%. Peneliti di Lyon Institute memberikan terapi pada 119 kasus dini, juga menggunakan terapi kontak dan dicapai kontrol lokal 89-90%, dengan tingkat preserving pada 97% kasus dan angka survival 5 tahun 85%.57 National Cancer Institute menggunakan radiasi intrakaviter sebagai salah satu alternatif pilihan terapi pada kasus keganasan rektum stadium 0 dan stadium 1 (dengan kombinasi radiasi eksterna) pada ukuran tumor < 3 cm, berdiferensiasi baik tanpa ulserasi yang dalam, dan tanpa fiksasi. Interstitial brachytherapy dengan dan tanpa radiasi eksterna diberikan Moushmov pada kasus keganasan rektum T1-2 N0 M0 dengan diameter terbesar 3 cm dan jarak dari anus 5-6 cm. Otmezguine60 melaporkan kombinasi radiasi eksterna preoperatif dengan tindakan eksisi dan interstitial brakiterapi perioperatif memberikan hasil kontrol lokal 80% pada 5 tahun dengan tingkat kontrol fungsi sphinter mencapai 100% pada kasus keganasan rektum letak menengah atau rendah. Maka tindakan ini dianjurkan dilakukan pada kasus tersebut yang tidak mencapai toleransi atau menolak operasi. Kovarik61 melaporkan pada kasus keganasan anal dan rektum baik primer (kombinasi RE dan interstitial BT) maupun kambuh lokal pasca terapi, didapatkan hasil respons komplit pada 100% keganasan anal dan 75% pada keganasan rektum, dengan menggunakan kombinasi radiasi eksterna dan interstitial brachytherapy. Gerard62 juga mendapatkan angka kelangsungan hidup 5 tahun 64% (T2 84%, T3 53 %) dengan kontrol lokal 63% dan tingkat preservasi sfingter 73% pada kasus T2-3 N0-1 M0. Empatpuluhlima kasus yang diteliti adalah kasus inoperabel dan 18 kasus adalah penderita yang menolak operasi, dengan umur rata-rata 72 tahun,

jarak rata-rata 4 cm. Terapi yang diberikan adalah kombinasi terapi kontak dengan RE dan interstitial BT. Radiasi ekterna kombinasi dengan interstitial brachytherapy juga dilaporkan oleh Martinez63 pada kasus lanjut lokal dengan kontrol lokal 83.4 %. Toulboul64 melakukan tindakan dengan kombinasi radiasi eksterna dan interstitial brakhytherapy pada kasus keganasan anal T1 4, dan pada 12.5 % disertai keterlibatan kelenjar getah bening didapatkan hasil kontrol lokal 80%, preservasi sfingter dicapai pada 67% kasus dengan 57% mempunyai fungsi yang sangat baik. Pada kasus dengan panjang tumor lebih dari 4 cm, dianjurkan juga pemberian kemoterapi. Goes65 pada kasus kambuh lokal melaporkan bahwa pemberian brakiterapi perioperatif dikombinasikan dengan tindakan pembedahan eksisi dapat memberikan hasil kontrol lokal 64%. Kegagalan terapi kebanyakan terjadi karena metastasis jauh. Puthawala melaporkan juga pada kasus keganasan anorektal lanjut lokal dengan kombinasi radiasi dan dicapai angka kontrol lokal komplit pada 71% kasus, dimana 30% masih didapatkan residu tumor yang dapat ditindak lanjuti dengan operasi. Hal yang sama dilaporkan oleh Price pada kasus keganasan anorektal letak rendah inoperabel. Vordermark melaporkan pada kasus T1-4 N0-2 M0 dengan menggunakan kombinasi radiasi eksterna dengan MMC dan 5-FU dan interstitial brachytherapy didapatkan hasil angka kelangsungan hidup 5 tahun 84% dengan 5 tahun kelangsungan hidup tanpa bebas penyakit 79% dan 5 tahun kelangsungan hidup tanpa kolostomi 69%. 3. Kemoterapi Walaupun pembedahan adalah pilihan utama terapi KKR, penatalaksanaan secara paripurna menjadi tanggung jawab tim multidisipliner. Pasien dengan karsinoma rektum stadium II-III berisiko tinggi untuk mengalami kekambuhan lokal dan sistemik. Terapi adjuvan harus bertujuan menanggulangi kedua masalah tersebut. (NCI PDQ). Sebagian besar penelitian yang menggunakan radioterapi pra- dan pasca bedah saja dapat menurunkan angka kekambuhan lokal tetapi tidak bermakna dalam angka survival. Walaupun suatu penelitian di Swedia menunjukkan kelebihan radioterapi prabedah dibandingkan dengan hanya bedah saja. Dua penelitian memastikan bahwa 5-FU bersama radioterapi adalah efektif dan dapat dianggap sebagai terapi standar, dimana

pengobatan adjuvan modalitas kombinasi dengan radiasi dan kemoterapi sesudah pembedahan juga menghasilkan angka kegagalan lokal (local failure rates) yang lebih rendah. Penelitian yang membandingkan kemoterapi adjuvan pra- dan pasca bedah harus dapat menjelaskan dampak dari kedua pendekatan tersebut terhadap fungsi saluran cerna dan beberapa hal yang terkait dengan kualitas hidup, seperti misalnya preservasi sfingter, disamping sasaran pengobatan yang konvensional seperti masa bebas penyakit dan survival secara keseluruhan. Kemoterapi baik secara tersendiri maupun bersama dengan radioterapi, yang diberikan sesudah pembedahan, merupakan modalitas pengobatan pada KKR. Sekitar 30% penderita yang didiagnosis sebagai KKR datang sudah dengan metastasis, dan 25-30% lainnya kemudian berlanjut menjadi penyakit metastastik. Dalam beberapa tahun terakhir ini, sudah banyak kemajuan yang dicapai pada kemoterapi terhadap KKR. Beberapa dekade ini hanya menggunakan 5fluorouracil (5-FU) disusul oleh kehadiran asam folinat /leukovorin (folinic acid/FA/LV) sebagai kombinasi. Selanjutnya, pemilihan obat diperluas dengan diterimanya irinotecan sebagai terapi lini pertama pada tahun 1996, oxaliplatin pada tahun 2004 dan capecitabine (tahun 2004) sebagai pengganti oral kombinasi 5-FU/FA. Serangkaian penelitian klinik acak terkontrol menyimpulkan bahwa pengobatan KKR pasca bedah dengan 5-FU/LV selama 6 bulan sesudah bedah kuratif adalah standar pada KKR stadium III (tahun 1992), dan bahwa penderita berusia lanjut mendapat pendekatan kemoterapi yang sama. Pemberian kemoterapi tersebut secara dua-mingguan (protokol de Gramont) mempunyai efek yang tidak berbeda bermakna dengan pemberian bulanan melalui bolus 5 hari berturut-turut (protokol Mayo), yang ternyata lebih toksik. a. Penatalaksanaan kemoterapi sebagai terapi adjuvan Manfaat kemoterapi pada KKR stadium III / stadium Dukes C sudah diterima sebagai standar. Berdasarkan hasil penelitian Intergroup 0089 dan NCI Canada Clinical Trials Group, standar yang digunakan adalah pemberian 5-FU/LV selama 6 bulan.

Chau dkk melaporkan hasil suatu penelitian acak terkontrol terhadap 716 penderita KKR pasca reseksi stadium II (42%) dan stadium III (58%) di mana penderita menerima 425 mg/m2 5-FU dan 20 mg/m2 LV bolus hari 1-5 selama 6 bulan. Dengan masa pengamatan median 5,2 tahun, survival 64%. Namun konsensus yang dibuat oleh kelompok institusi pengobatan kanker di Amerika Serikat yang tergabung dalam National Comprehensive Cancer Network (NCCN) dan Skotlandia menenetapkan untuk stadium II atau Dukes B belum perlu mendapat kemoterapi. Pertimbangan untuk mendapat kemoterapi pada kelompok penderita KKR ini dianjurkan bersifat individual berdasarkan faktor risiko untuk terjadinya penyebaran atau kekambuhan yaitu: usia muda, histologi derajat keganasan tinggi, invasi ke saluran limfe dan/atau vaskuler, serta adanya obstruksi atau perforasi pada waktu diagnosis. Faktor prognosis molekuler seperti ekspresi timidilat sintase, p53, dan adanya instabilitas mikrosatelit kemungkinan akan dapat dipakai sebagai pegangan untuk bahan pertimbangan pemberian kemoterapi namun masih menunggu hasil-hasil penelitian yang sedang berjalan.

Analog 5-FU oral Penggunaan capecitabine sebagai prodrug 5-FU perlu mendapat catatan khusus karena faktor kepraktisan serta ekonomi, terutama dalam hal beban ekonomi, baik terhadap negara dan pasien secara individu. Seitz80 pada tahun 2001 melaporkan suatu studi fase II, membandingkan pemakaian capecitabine pada KKR dan kombinasi 5-FU/FA (protokol Mayo) dan mendapatkan capecitabine unggul dalam laju respons tumor (22% vs 13%; P< .0001) walaupun sama dalam waktu progresi dan survival keseluruhan. Dalam pertemuan American Society of Clinical Oncology (ASCO) Scheithauer melaporkan hasil penelitian fase III membandingkan capecitabine dengan kombinasi 5-FU/FA pada KKR stadium Dukes C. Capecitabine dengan dosis 1250 mg/m2 dua kali sehari, diberikan pada hari ke 1-14 berturut-turut disusul masa istirahat 1 minggu dan kemudian dilanjutkan siklus berikutnya dengan skema yang sama pada kelompok I (n=993), dibandingkan dengan i.v. bolus 5-FU 425 mg/m2 dengan i.v. LV 20 mg/m2 pada hari 1-5, diulang setiap 28 hari pada kelompok II (n=974). Penelitian

mendapatkan survival kedua kelompok tidak berbeda, akan tetapi penderita yang menerima capecitabine mengalami lebih sedikit efek samping (P<0,001) berupa diarrhea, stomatitis, nausea/muntah, alopesia and neutropenia, tetapi lebih banyak hand-foot syndrome. Disimpulkan bahwa capecitabine mempunyai kemungkinan untuk mengganti 5-FU/FA intravena sebagai obat kemoterapi standar pada KKR. Penemuan ini dilaporkan pada pertemuan ASCO 2004 bulan Juni yang lalu. Konsensus pada WCGC di Barcelona pada 2003 menyatakan capecitabine dapat dipakai sebagai bagian dari kemoradiasi untuk kanker rektum80 dan pada pertemuan berikutnya tahun 2004 Haller81 menyatakan capecitabine dapat menggantikan kombinasi 5-FU/FA. b. Kemoterapi pada KKR lanjut / metastatik Saat ini, kombinasi irinotecan atau oxaliplatin dengan 5-FU/FA dianggap standar untuk penderita KKR metastatik. Dengan protokol ini, survival keseluruhan adalah 15-20 bulan. Goldberg melaporkan hasil akhir dari penelitian N-9741 di mana irinotecan + bolus 5-FU/FA (IFL) dibandingkan dengan oxaliplatin (FOLFOX4) dan hasilnya adalah median survival 19,5 bulan pada kelompok FOLFOX4 dan 14,8 bulan pada protokol IFL. Penelitian ini membawa oxaliplatin sebagai kemoterapi lini pertama pada KKR metastatik menyusul ijin FDA yang telah dikeluarkan sebelumnya untuk irinotecan. Di tahun 2000, dua penelitian klinik acak terkontrol membuktikan bahwa penambahan irinotecan pada protokol yang menggunakan 5-FU, baik secara bolus maupun infus, meningkatkan angka survival penderita KKR. Secara hampir bersamaan, berbagai penelitian secara sendiri-sendiri mengenai protokol yang mengandung capecitabine dan oxaliplatin dilaporkan. Walaupun protokol yang mengandung oxaliplatin mempunyai laju respons lebih tinggi dibanding irinotecan, angka survival secara keseluruhan tidak berbeda. Cassidy melakukan penelitian fase II terhadap protokol Xelox (capecitabine + oxaliplatin) pada penderita KKR metastatik mendapatkan respon objektif 55% serta stabilisasi penyakit lebih dari 3 bulan sebesar 30%. Hal ini merupakan suatu langkah maju pada kemoterapi KKR metastatik dan sedang ditunggu hasil penelitiannya.

Di Indonesia, masih terdapat kekurangan dalam hal menentukan stadium prabedah, selama pembedahan dan stadium histopatologis. Oleh karena itu, stadium yang sebenarnya dapat lebih lanjut dari stadium yang dilaporkan. Karena itu perlu dipertimbangkan pengobatan adjuvan. c. Protokol-protokol yang sering digunakan: Mayo

1. 5-FU 425 mg/m2 dengan bolus IV setiap hari 5 hari berturut-turut satu jam sesudah LV 2. LV 20 mg/m2 IV setiap hari untuk 5 hari ber turut-turut 3. Frekuensi : ulang setiap 4 sampai 5 minggu. de Gramont 1. LV 200 mg/m2 infus 2 jam, diikuti 2. 5-FU400 mg/m2 i.v. bolus diikuti 3. 5-FU 600 mg/m2 infus kontinu 22 jam 4. Frekuensi : hari 1+2, ulang setiap 21 hari Dosis mg/m2 bila dikombinasi dengan oxaliplatin/irinotecan 2. irinotecan 250 mg/m2 bila diberikan dengan kombinasi 5-FU/FA setiap 21 hari dan 130 mg/m2 bila dikombinasi dengan capecitabine 3. oxaliplatin 135 mg/m2 bila diberikan dengan kombinasi 5-FU/FA setiap 21 hari dan 85 mg/m2 bila dikombinasi dengan capecitabine III. Ileus Ileus Mekanik (Ileus Obstruktif) 1. capecitabine 1250 mg/m2 bid bila sebagai obat tunggal, capecitabine 1000

Definisi Ileus adalah hambatan pasase usus yang dapat disebabkan oleh obstruksi lumen usus atau gangguan peristalsis usus. Secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu Ileus Obstruktif dan Ileus Paralitik. Ileus yang disebabkan oleh obstruksi disebut juga ileus mekanik, dan memiliki angka kejadian tersering.

Klasifikasi Lokasi Obstruksi Letak Tinggi : Duodenum-Jejunum Letak Tengah : Ileum Terminal Letak Rendah : Colon-Sigmoid-rectum Stadium Parsial : menyumbat lumen sebagian Simple/Komplit: menyumbat lumen total Strangulasi: Simple dengan jepitan vasa Etiologi i. Penyempitan lumen usus Isi Lumen : Benda asing, skibala, ascariasis. Dinding Usus : stenosis (radang kronik), keganasan. Ekstra lumen : Tumor intraabdomen. ii. Adhesi iii. Invaginasi iv. Volvulus v. Malformasi Usus Patofisiologi Pada ileus obstruksi, hambatan pasase muncul tanpa disertai gangguan vaskuler dan neurologik. Makanan dan cairan yang ditelan, sekresi usus, dan udara terkumpul dalam jumlah yang banyak jika obstruksinya komplit. Bagian usus proksimal distensi, dan bagian distal kolaps. Fungsi sekresi dan absorpsi membrane mukosa usus menurun, dan dinding usus menjadi udema dan kongesti. Distensi intestinal yang berat, dengan sendirinya secara terus menerus dan progresif akan mengacaukan peristaltik dan fungsi sekresi mukosa dan meningkatkan resiko dehidrasi, iskemia, nekrosis, perforasi, peritonitis, dan kematian. Pada obstruksi strangulata, kematian jaringan usus umumnya dihubungkan dengan hernia inkarserata, volvulus, intussusepsi, dan oklusi vaskuler. Strangulasi biasanya berawal dari obstruksi vena, yang kemudian diikuti oleh oklusi arteri, menyebabkan iskemia yang cepat pada dinding usus. Usus menjadi udema dan nekrosis, memacu usus menjadi gangrene dan perforasi.3

Diagnosis Pada anamnesis dapat ditemukan pada pasien : Nyeri (Kolik) Obstruksi usus halus : nyeri dirasakan disekitar umbilikus Obstruksi kolon : nyeri dirasakan disekitar suprapubik. Muntah Stenosis Pilorus : Encer dan asam Obstruksi usus halus : Berwarna kehijauan Obstruksi kolon : onset muntah lama. Perut Kembung (distensi) Konstipasi (Tidak ada defekasi dan flatus)4

Adanya benjolan di perut, inguinal, dan femoral yang tidak dapat kembali menandakan adanya hernia inkarserata. Selain itu, invaginasi dapat didahului oleh riwayat buang air besar berupa lendir dan darah. Riwayat operasi sebelumnya dapat menjurus pada adanya adhesi usus serta onset keluhan yang berlangsung cepat dapat dicurigai sebagai ileus letak tinggi dan onset yang lambat dapat menjurus kepada ileus letak rendah.

Pada pemeriksaan fisik dapat pula ditemukan : Adanya strangulasi ditandai dengan adanya lokal peritonitis seperti : Takikardia, pireksia (demam), Rebound tenderness, nyeri lokal, hilangnya suara usus local. Untuk mengetahui secara pasti hanya dengan laparotomi.

Adanya obstruksi ditandai dengan :

Inspeksi Perut distensi, dapat ditemukan kontur dan steifung. Benjolan pada regio inguinal, femoral dan skrotum menunjukkan suatu hernia inkarserata. Pada Intussusepsi dapat terlihat massa abdomen berbentuk sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila ada bekas luka operasi sebelumnya. Auskultasi Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi, borborhygmi. Pada fase lanjut bising usus dan peristaltik melemah sampai hilang.

Perkusi Hipertimpani Palpasi Kadang teraba massa seperti pada tumor, invaginasi, hernia. Rectal Toucher - Isi rektum menyemprot : Hirschprung disease - Adanya darah dapat menyokong adanya strangulasi, neoplasma - Feses yang mengeras : skibala - Feses negatif : obstruksi usus letak tinggi - Ampula rekti kolaps : curiga obstruksi - Nyeri tekan : lokal atau general peritonitis

Pemeriksaan penunjang Foto Polos Abdomen: Pelebaran udara usus halus atau usus besar dengan gambaran anak tangga dan airfluid level. Penggunaan kontras dikontraindikasikan jika adanya perforasi-peritonitis. Barium enema diindikasikan untuk invaginasi, dan endoskopi disarankan pada kecurigaan volvulus.

Penatalaksanaan Obstruksi mekanis di usus dan jepitan atau lilitan harus dihilangkan segera setelah keadaan umum diperbaiki. Tindakan umum sebelum dan sewaktu pembedahan meliputi tatalaksana dehidrasi, perbaikan keseimbangan elektrolit dan dekompresi pipa lambung. Tindak bedah dilakukan apabila terdapat strangulasi, obstruksi lengkap, hernia inkarserata dan tidak ada perbaikan pada pengobatan konservatif. Komplikasi Nekrosis usus Perforasi usus Sepsis Syok-dehidrasi Abses Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi Pneumonia aspirasi dari proses muntah

Gangguan elektrolit

Ileus Paralitik

Etiologi Ileus pada pasien rawat inap ditemukan pada: (1) proses intraabdominal seperti pembedahan perut dan saluran cerna atau iritasi dari peritoneal (peritonitis, pankreatitis, perdarahan); (2) sakit berat seperti pneumonia, gangguan pernafasan yang memerlukan intubasi, sepsis atau infeksi berat, uremia, dibetes ketoasidosis, dan ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia, hiperkalsemia, hipomagnesemia, hipofosfatemia); dan (3) obatobatan yang mempengaruhi motilitas usus (opioid, antikolinergik, fenotiazine). Setelah pembedahan, usus halus biasanya pertama kali yang kembali normal (beberapa jam), diikuti lambung (24-48 jam) dan kolon (48-72 jam).5 Ileus terjadi karena hipomotilitas dari saluran pencernaan tanpa adanya obstruksi usus mekanik. Diduga, otot dinding usus terganggu dan gagal untuk mengangkut isi usus. Kurangnya tindakan pendorong terkoordinasi menyebabkan akumulasi gas dan cairan dalam usus. Meskipun ileus disebabkan banyak faktor, keadaan pascaoperasi adalah keadaan yang paling umum untuk terjadinya ileus. Memang, ileus merupakan konsekuensi yang diharapkan dari pembedahan perut. Fisiologisnya ileus kembali normal spontan dalam 2-3 hari, setelah motilitas sigmoid kembali normal. Ileus yang berlangsung selama lebih dari 3 hari setelah operasi dapat disebut ileus adynamic atau ileus paralitik pascaoperasi. Sering, ileus terjadi setelah operasi intraperitoneal, tetapi mungkin juga terjadi setelah pembedahan retroperitoneal dan extra-abdominal. Durasi terpanjang dari ileus tercatat terjadi setelah pembedahan kolon. Laparoskopi reseksi usus dikaitkan dengan jangka waktu yang lebih singkat daripada reseksi kolon ileus terbuka. Konsekuensi klinis ileus pasca operasi dapat mendalam. Pasien dengan ileus merasa tidak nyaman dan sakit, dan akan meningkatkan risiko komplikasi paru. Ileus juga meningkatkan katabolisme karena gizi buruk. Secara keseluruhan, ileus meningkatkan biaya perawatan medis karena memperpanjang rawat inap di rumah sakit.(2) Beberapa penyebab terjadinya ileus:

1. Hipokalemia 2. Hiponatremia 3. Hipomagnesemia 4. Hipermagensemia

1. Intrathorak Pneumonia Lower lobus tulang rusuk patah Infark miokard

2. Intrapelvic (misalnya penyakit radang panggul ) 3. Rongga perut Radang usus buntu Divertikulitis Nefrolisiasis Kolesistitis Pankreatitis Perforasi ulkus duodenum

Iskemia usus 1. Mesenterika emboli, trombosis iskemia

1. Patah tulang rusuk 2. Vertebral Retak (misalnya kompresi lumbalis Retak )

1. Narkotika 2. Fenotiazin 3. Diltiazem atau verapamil 4. Clozapine

5. Obat Anticholinergic Patofisiologi Patofisiologi dari ileus paralitik merupakan manifestasi dari terangsangnya sistem saraf simpatis dimana dapat menghambat aktivitas dalam traktus gastrointestinal, menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan yang ditimbulkan oleh sistem parasimpatis. Sistem simpatis menghasilkan pengaruhnya melalui dua cara: (1) pada tahap yang kecil melalui pengaruh langsung norepineprin pada otot polos (kecuali muskularis mukosa, dimana ia merangsangnya), dan (2) pada tahap yang besar melalui pengaruh inhibitorik dari noreepineprin pada neuron-neuron sistem saraf enterik. Jadi, perangsangan yang kuat pada sistem simpatis dapat menghambat pergerakan makanan melalui traktus gastrointestinal. Hambatan pada sistem saraf parasimpatis di dalam sistem saraf enterik akan menyebabkan terhambatnya pergerakan makanan pada traktus gastrointestinal, namun tidak semua pleksus mienterikus yang dipersarafi serat saraf parasimpatis bersifat eksitatorik, beberapa neuron bersifat inhibitorik, ujung seratnya mensekresikan suatu transmitter inhibitor, kemungkinan peptide intestinal vasoaktif dan beberapa peptide lainnya. Menurut beberapa hipotesis, ileus pasca operasi dimediasi melalui aktivasi hambat busur refleks tulang belakang. Secara anatomis, 3 refleks berbeda yang terlibat: ultrashort refleks terbatas pada dinding usus, refleks pendek yang melibatkan ganglia prevertebral, dan refleks panjang melibatkan sumsum tulang belakang. Refleks panjang yang paling signifikan. Respon stres bedah mengarah ke generasi sistemik endokrin dan mediator inflamasi yang juga mempromosikan perkembangan ileus. Penyakit/ keadaan yang menimbulkan ileus paralitik dapat diklasifikasikan seperti yang tercantum dibawah ini:6 Kausa Ileus Paralitik Neurogenik. Pasca operasi, kerusakan medulla spinalis, keracunan timbal, kolik ureter, iritasi persarafan splanknikus, pankreatitis.

Metabolik. Gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hipokalemia), uremia, komplikasi DM, penyakit sistemik seperti SLE, sklerosis multiple Obat-obatan. Narkotik, antikolinergik, katekolamin, fenotiazin, antihistamin. Infeksi/ inflamasi. Pneumonia, empiema, peritonitis, infeksi sistemik berat lainnya. Iskemia Usus. Neurogenik Refleks inhibisi dari saraf afferent: incisi pada kulit dan usus pada operasi abdominal. Refleks inhibisi dari saraf efferent: menghambat pelepasan neurotransmitter asetilkolin. Hormonal Kolesistokinin, disekresi oleh sel I dalam mukosa duodenum dan jejunum terutama sebagai respons terhadap adanya pemecahan produk lemak, asam lemak dan monogliserida di dalam usus. Kolesistokinin mempunyai efek yang kuat dalam meningkatkan kontraktilitas kandung empedu, jadi mengeluarkan empedu kedalam usus halus dimana empedu kemudian lemak memainkan peranan penting dalam mudah dicerna dan diabsorpsi.

mengemulsikan

substansi

sehingga

Kolesistokinin juga menghambat motilitas lambung secara sedang. Oleh karena itu disaat bersamaan dimana hormon ini menyebabkan pengosongan kandung empedu, hormon ini juga menghambat pengosongan makanan dari lambung untuk memberi waktu yang adekuat supaya terjadi pencernaan lemak di traktus gastrointestinal bagian atas. Hormon lainnya seperti sekretin dan peptide penghambat asam lambung juga memiliki fungsi yang sama seperti kolesistokinin namun sekretin berperan sebagai respons dari getah asam lambung dan petida penghambat asam lambung sebagai respons terhadap asam lemak dan asam amino. Inflamasi Makrofag: melepaskan proinflammatory cytokines (NO). prostaglandin inhibisi kontraksi otot polos usus. Farmakologi Opioid menurunkan aktivitas dari neuron eksitatorik dan inhibisi dari pleksus mienterikus. Selain itu, opioid juga meningkatkan tonus otot polos usus dan menghambat gerak peristaltik terkoordianasi yang diperlukan untuk gerakan propulsi.

Opioid: efek inhibitor, blockade excitatory neurons yang mempersarafi otot polos usus. Manifestasi Klinik Ileus adinamik (ileus inhibisi) ditandai oleh tidak adanya gerakan usus yang disebabkan oleh penghambatan neuromuscular dengan aktifitas simpatik yang berlebihan. Sangat umum, terjadi setelah semua prosedur abdomen, gerakan usus akan kembali normal pada: usus kecil 24 jam, lambung 48 jam, kolon 3-5 hari. Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung ( abdominal distention), anoreksia, mual dan obstipasi. Muntah mungkin ada, mungkin pula tidak ada. Keluhan perut kembung pada ileus paralitik ini perlu dibedakan dengan keluhan perut kembung pada ileus obstruksi. Pasien ileus paralitik mempunyai keluhan perut kembung, tidak disertai nyeri kolik abdomen yang paroksismal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya distensi abdomen, perkusi timpani dengan bising usus yang lemah dan jarang bahkan dapat tidak terdengar sama sekali. Pada palpasi, pasien hanya menyatakan perasaan tidak enak pada perutnya. Tidak ditemukan adanya reaksi peritoneal (nyeri tekan dan nyeri lepas negatif). Apabila penyakit primernya peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan adalah gambaran peritonitis. Diagnosa Pada ileus paralitik ditegakkan dengan auskultasi abdomen berupa silent abdomen yaitu bising usus menghilang. Pada gambaran foto polos abdomen didapatkan pelebaran udara usus halus atau besar. Penatalaksanaan Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservatif dan suportif. Tindakannya berupa dekompresi, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, mengobati kausa dan penyakit primer dan pemberiaan nutrisi yang adekuat.(1) Prognosis biasanya baik, keberhasilan dekompresi kolon dari ileus telah dicapai oleh kolonoskopi berulang.(3) Beberapa obat-obatan jenis penyekat simpatik (simpatolitik) atau parasimpatomimetik pernah dicoba, ternyata hasilnya tidak konsisten. Untuk dekompresi dilakukan pemasangan pipa nasogastrik (bila perlu dipasang juga rectal tube). Pemberian cairan, koreksi gangguan elektrolit dan nutrisi parenteral hendaknya diberikan sesuai dengan kebutuhan dan prinsip-prinsip pemberian nutrisi parenteral. Beberapa obat yang dapat dicoba yaitu metoklopramid bermanfaat untuk gastroparesis, sisaprid bermanfaat untuk

ileus paralitik pascaoperasi, dan klonidin dilaporkan bermanfaat untuk mengatasi ileus paralitik karena obat-obatan Neostigmin juga efektif dalam kasus ileus kolon yang tidak berespon setelah pengobatan konservatif. 1. Konservatif Penderita dirawat di rumah sakit. Penderita dipuasakan Kontrol status airway, breathing and circulation. Dekompresi dengan nasogastric tube. Intravenous fluids and electrolyte Dipasang kateter urin untuk menghitung balance cairan.

2. Farmakologis Antibiotik broadspectrum untuk bakteri anaerob dan aerob. Analgesik apabila nyeri. Prokinetik: Metaklopromide, cisapride Parasimpatis stimulasi: bethanecol, neostigmin Simpatis blokade: alpha 2 adrenergik antagonis

3. Operatif Ileus paralitik tidak dilakukan intervensi bedah kecuali disertai dengan peritonitis. Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastric untuk mencegah sepsis sekunder atau rupture usus. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil explorasi melalui laparotomi. o Pintas usus : ileostomi, kolostomi. o Reseksi usus dengan anastomosis o Diversi stoma dengan atau tanpa reseksi.

BAB IV KESIMPULAN Gawat abdomen memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi, perforasi, atau perdarahan masif di rongga perut maupun saluran cerna. Infeksi, obstruksi atau strangulasi saluran cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis. Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi usus akut yang segera memerlukan pertolongan dokter. Ileus lebih sering terjadi pada obstruksi usus halus daripada usus besar. Keduanya memiliki cara penanganan yang agak berbeda dengan tujuan yang berbeda pula. Obstruksi usus halus yang dibiarkan dapat menyebabkan gangguan vaskularisasi usus dan memicu iskemia, nekrosis, perforasi dan kematian, sehingga penanganan obstruksi usus halus lebih ditujukan pada dekompresi dan menghilangkan penyebab untuk mencegah kematian. Obstruksi kolon sering disebabkan oleh neoplasma atau kelainan anatomic seperti volvulus, hernia inkarserata, striktur atau obstipasi. Pada kasus keganasan kolon, penanganan pasien tidak hanya berhenti setelah operasi kolostomi, tetapi membutuhkan radiasi dan sitostatika lebih lanjut. Penatalaksanaan yang dilakukan adalah secara konservatif dan operatif.

Daftar Pustaka 1. Bagian Bedah Staf Pengajar FKUI. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Edisi 1. Jakarta : 1995. 2. http://www.emedicine.com, cancer colorectal. Di download tanggal 9 oktober 2013 3. Sjamsuhidajat, R.; Dahlan, Murnizat; Jusi, Djang. Gawat Abdomen. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Editor: Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. Jakarta: EGC, 2003. Hal: 181-192. 4. Fiedberg, B. and Antillon, M.: Small-Bowel Obstruction. Editor: Vargas, J., Windle, W.L., Li, B.U.K., Schwarz, S., and Altschuler, S. http://www.emedicine.com. Last Updated, June 29, 2004. 5. Badash, Michelle. Paralytic Ileus (Adynamic Ileus, Non-mechanical Bowel Obstruction). EBSCO Publishing, 2005. 6. Price, S.A. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Editor: Price, S.A., McCarty, L., Wilson. Editor terjemahan: Wijaya, Caroline. Jakarta: EGC, 1994.

You might also like