Professional Documents
Culture Documents
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Tulang
1. Anatomi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler. Tulang
berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses
osteogenesis menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut
osteoblast. Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium.
Dalam tubuh manusia terdapat 206 tulang yang dapat diklasifikasikan
dalam lima kelompok berdasarkan bentuknya, antara lain:
a. Tulang panjang (Femur, Humerus) yang terdiri dari batang tebal panjang
yang disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah
proksimal dari epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis
terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis
atau lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena akumulasi
tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel
tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang
dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari spongy
bone (cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja tulang
rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh.
Hormon pertumbuhan, estrogen, dan testosteron merangsang pertumbuhan
tulang panjang. Estrogen, bersama dengan testosteron, merangsang fusi
Gambar 2.1 : Anatomi Tulang
Struktur tulang dewasa terdiri dari 30% bahan organik (hidup) dan 70%
endapan garam. Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90%
11
serat kolagen dan kurang dari 10% proteoglikan (protein plus sakarida).
Deposit garam terutama adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium,
kalium karbonat, dan ion magnesium. Garam-garam menutupi matriks dan
berikatan dengan serat kolagen melalui proteoglikan. Adanya bahan organik
menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif (resistensi terhadap tarikan
yang meregangkan). Sedangkan garam-garam menyebabkan tulang memiliki
kekuatan kompresi (kemampuan menahan tekanan).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa
pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah
selama hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangan hormon, faktor
makanan, dan jumlah stres yang dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi
akibat aktivitas sel-sel pembentuk tulang yaitu osteoblas.
Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas
berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks
tulang. Sewaktu pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam
beberapa hari garam-garam kalsium mulai mengendap pada osteoid dan
mengeras selama beberapa minggu atau bulan berikutnya. Sebagian osteoblast
tetap menjadi bagian dari osteoid, dan disebut osteosit atau sel tulang sejati.
Seiring dengan terbentuknya tulang, osteosit dimatriks membentuk tonjolan-
tonjolan yang menghubungkan osteosit satu dengan osteosit lainnya
membentuk suatu sistem saluran mikroskopik di tulang.
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap tulang,
sebagian ion kalsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi. Garam nonkristal
12
B. Fraktur
1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya (Suddarth, 2002). Sedangkan menurut Linda J uall C.
dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan Fraktur
sebagai rusaknya kontinuitas tulang disebabkan tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar (Soedarman, 2001).
Pendapat lain menyatakan bahwa patah tulang tertutup adalah fraktur bersih
(karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi. (Handerson, M.
A, 1992 dalam Suddarth, 2002)
2. Etiologi
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis
patah melintang atau miring.
16
6. Test Diagnostik
a. Pemeriksaan rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnya
trauma.
b. Scan tulang, temogram, CT scan: memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun.
d. Peningkatan jumlah sel darah putih adalah respons stress normal
setelah trauma.
e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multiple, atau cedera hati.
7. Penatalaksanaan Medik
a. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden
period).
Saat kuman belum terlalu jauh meresap, dapat dilakukan langkah-
langkah:
1) Pembersihan luka
2) Eksisi
3) Hecting situasi
4) Antibiotik
22
b. Seluruh Fraktur
1) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya.
2) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Reduksi atau manipulasi adalah upaya untuk memanipulasi
fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun.
Selain itu, reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan
fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. (Brunner,
2001)
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan
untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat
fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya
dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema
dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum fraktur direduksi dan diimobilisasi, pasien harus
dipersiapkan untuk menjalani prosedur. Selain itu, harus diperoleh
izin untuk melakukan prosedur, serta dapat di berikan analgetik sesuai
ketentuan, mungkin perlu dilakukan anestesi. Ekstremitas yang akan
dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut
23
3) Retensi/Immobilisasi
Retensi atau immobilisasi merupakan upaya yang dilakukan untuk
menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimun.
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Sedangkan
untuk fiksasi interna dapat digunakan implan logam yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
4) Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk menghindari atropi dan
kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi
harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (misalnya
pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau secara
berkala, jika ada tanda gangguan neurovasuler, segera dilaporkan pada
ahli bedah ortopedi. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan
dikontrol dengan berbagai pendekatan, misalnya meyakinkan pasien,
perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika. Latihan
isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi
disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas
25
e. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh
proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae
yang lebih tebal diletakan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi,
dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan
akhirnya terbentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
9. Komplikasi
a. Komplikasi Awal
1) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, kreatinin menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, reduksi, dan pembedahan.
2) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh perdarahan yang menekan otot,
saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti
gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
3) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang
sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena
28
2) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini
juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
3) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
C. Mobilisasi Dini
1. Definisi Mobilisasi Dini
Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak bebas,
mudah, teratur, mempunyai tujuan memenuhi kebutuhan hidup sehat, dan
penting untuk kemandirian (Barbara, 2006). Sebaliknya keadaan imobilisasi
adalah suatu pembatasan gerak atau keterbatasan fisik dari anggota badan dan
tubuh itu sendiri dalam berputar, duduk dan berjalan, hal ini salah satunya
disebabkan oleh berada pada posisi tetap dengan gravitasi berkurang seperti
saat duduk atau berbaring. (Susan J . Garrison, 2004)
Sementara mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang terpenting pada
fungsi fisiologis karena hal itu esensial untuk mempertahankan kemandirian
(Capernito, 2000). Carpenito juga membagikan tiga rentang gerak dalam
mobilisasi yaitu, rentang gerak pasif, rentang gerak aktif, dan rentang gerak
30
fungsional. Adapun rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan
otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif
misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. Sementara
rentang gerak aktif untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi
dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya berbaring pasien
menggerakkan kakinya. Sedangkan rentang gerak fungsional berguna untuk
memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktifitas yang diperlukan.
Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa mobilisasi dini
adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan cara
membimbing penderita untuk mempertahankan fungsi fisiologis.
Mobilisasi secara tahap demi tahap sangat berguna untuk membantu
jalannya penyembuhan pasien. Secara psikologis mobilisasi akan memberikan
kepercayaan pada pasien bahwa dia mulai merasa sembuh. Perubahan gerakan
dan posisi ini harus diterangkan pada pasien atau keluarga yang menunggui.
Pasien dan keluarga akan dapat mengetahui manfaat mobilisasi, sehingga akan
berpartisipasi dalam pelaksanaan mobilisasi. (Rustam Muchtar, 1992 dalam
Barbara, 2006)
2. Tujuan Mobilisasi
Menurut Susan J . Garrison (2004), tujuan mobilisasi antara lain:
a. Mempertahankan fungsi tubuh
b. Memperlancar peredaran darah sehingga mempercepat penyembuhan
luka
c. Membantu pernafasan menjadi lebih baik
31
c. Kebudayaan
Kebudayaan dapat mempengaruhi pola dan sikap dalam melakukan
aktifitas, misalnya pada pasien setelah operasi dilarang bergerak karena
kepercayaan kalau banyak bergerak nanti luka atau jahitan tidak jadi.
d. Tingkat energi
Seseorang melakukan mobilisasi jelas membutuhkan energi atau
tenaga. Orang yang sedang sakit akan berbeda mobilitasnya dibandingkan
dengan orang dalam keadaan sehat.
e. Usia dan status perkembangan
Seorang anak akan berbeda tingkat kemampuan mobilitasnya
dibandingkan dengan seorang remaja.
4. Jenis Mobilisasi
J enis-jenis mobilisasi antara lain :
a. Mobilisasi penuh
Mobilisasi penuh ini menunjukkan syaraf motorik dan sensorik mampu
mengontrol seluruh area tubuh. Mobilisasi penuh mempunyai banyak
keuntungan bagi kesehatan, baik fisiologis maupun psikologis bagi pasien
untuk memenuhi kebutuhan dan kesehatan secara bebas, mempertahankan
interaksi sosial dan peran dalam kehidupan sehari hari.
b. Mobilisasi sebagian
Pasien yang mengalami mobilisasi sebagian umumnya mempunyai
gangguan syaraf sensorik maupun motorik pada area tubuh. Mobilisasi
sebagian dapat dibedakan menjadi:
33
d. Lengan bawah
Supinasi : Memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak
tangan menghadap ke atas, rentang 70-90
Pronasi : Memutar lengan bawah sehingga telapak tangan
menghadap ke bawah, rentang 70-90
Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.
Gamber 2.6: Gerakan ROM pada lengan bawah
e. Pergelangan tangan
Fleksi : Menggerakan telapak tangan ke sisi bagian dalam lengan
bawah, rentang 80-90
Ekstensi : Mengerakan jari-jari tangan sehingga jari-jari, tangan,
lengan bawah berada di arah yang sama, rentang 80-90
Hiperekstensi : Membawa permukaan tangan dorsal ke belakang sejauh
mungkin, rentang 89-90
Abduksi : Menekuk pergelangan tangan miring ke ibu jari,dengan
rentang 30
Adduksi : Menekuk pergelangan tangan miring ke arah lima jari,
rentang 30-50
38
g. Ibu jari
Fleksi : Mengerakan ibu jari menyilang permukaan telapak
tangan, rentang 90
Ekstensi : Menggerakan ibu jari lurus menjauhi tangan, rentang 90
Abduksi : Menjauhkan ibu jari ke samping, rentang 30
Adduksi : Mengerakan ibu jari ke depan tangan, rentang 30
Oposisi : Menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada
tangan yang sama
Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.
Gamber 2.9: Gerakan ROM pada ibu jari
h. Pinggul
Fleksi : Mengerakan tungkai ke depan dan atas, rentang 90-120
Ekstensi : Menggerakan kembali ke samping tungkai yang lain,
rentang 90-120
Hiperekstensi : Mengerakan tungkai ke belakang tubuh, rentang 30-50
Abduksi : Menggerakan tungkai ke samping menjauhi tubuh,
rentang 30-50
40
j. Mata kaki
Dorsifleksi : Menggerakan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke
atas, rentang 20-30
Flantarfleksi : Menggerakan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke
bawah, rentang 45-50
Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.
Co. 1982 dalam Ester, 2001). Kontraktur dapat terjadi dalam waktu 3 sampai 7
hari setelah operasi. (Maas, 2001)
1. Klasifikasi Kontraktur
Berdasarkan lokasi dari jaringan yang menyebabkan ketegangan,
kontraktur dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian. (Sjamsuhidajat R,1997
dalam Ester, 2001)
a. Kontraktur Dermatogen atau Dermogen
Kontraktur yang disebabkan karena proses terjadinya di kulit, hal
tersebut dapat terjadi karena kehilangan jaringan kulit yang luas misalnya
pada luka bakar yang dalam dan luas, kecelakaan dan infeksi.
b. Kontraktur Tendogen atau Myogen
Kontraktur yang tejadi karena pemendekan otot dan tendon-tendon.
Dapat terjadi oleh keadaan iskemia yang lama, terjadi jaringan ikat dan
atropi, misalnya pada penyakit neuromuskular, luka bakar yang luas,
trauma, penyakit degenerasi dan inflamasi.
c. Kontraktur Arthrogen
Kontraktur yang terjadi karena proses di dalam sendi-sendi, proses ini
bahkan dapat sampai terjadi ankylosis. Kontraktur tersebut sebagai akibat
immobilisasi yang lama dan terus menerus, sehingga terjadi gangguan
pemendekan kapsul dan ligamen sendi, misalnya pada bursitis, tendinitis,
penyakit kongenital dan nyeri.
45
2. Patofisiologi
Apabila jaringan ikat dan otot dipertahankan dalam posisi memendek
dalam jangka waktu yang lama, serabut-serabut otot dan jaringan ikat akan
menyesuaikan memendek dan menyebabkan kontraktur sendi. Otot yang
dipertahan memendek dalam 5-7 hari akan mengakibatkan pemendekan perut
otot yang menyebabkan kontraksi jaringan kolagen dan pengurangan jaringan
sarkomer otot. Bila posisi ini berlanjut sampai 3 minggu atau lebih, jaringan
ikat sekitar sendi dan otot akan menebal dan menyebabkan kontraktur.
3. Pencegahan Kontraktur
Pencegahan kontraktur lebih baik dan efektif daripada pengobatan.
Program pencegahan kontraktur meliputi: (Sjamsuhidajat R,1997 dalam Potter
& Perry, 2005)
a. Mencegah infeksi
Perawatan luka, penilaian jaringan mati dan tindakan nekrotomi segera
perlu diperhatikan. Keterlambatan penyembuhan luka dan jaringan
granulasi yang berlebihan akan menimbulkan kontraktur.
b. Skin graft atau Skin flap
Adanya luka luas dan kehilangan jaringan luas diusahakan menutup
sedini mungkin, bila perlu penutupan kulit dengan skin graft atau flap.
c. Fisioterapi
Tindakan fisioterapi harus dilakukann segera mungkin yang meliputi;
1) Proper positioning (posisi penderita)
2) Exercise (gerakan-gerakan sendi sesuai dengan fungsi)
46
3) Stretching
4) Splinting / bracing
5) Mobilisasi / ambulasi awal
4. Penanganan Kontraktur
Hal utama yang dipertimbangkan untuk terapi kontraktur adalah
pengembalian fungsi dengan cara menganjurkan penggunaan anggota badan
untuk ambulasi dan aktifitas lain. Menyingkirkan kebiasaan yang tidak baik
dalam hal ambulasi, posisi dan penggunaan program pemeliharaan kekuatan
dan ketahanan, diperlukan agar pemeliharaan tercapai dan untuk mencegah
kontraktur sendi yang rekuren. (Halar EM, 1993 dalam Barbara, 2006)
Penanganan kontraktur dapat dliakukan dalam dua cara, yakni secara
konservatif dan operatif.
a. Konservatif
Seperti halnya pada pencegahan kontraktur, tindakan konservatif ini
lebih mengoptimalkan penanganan fisioterapi terhadap penderita yang
meliputi:
1) Proper positioning
Positioning penderita yang tepat dapat mencegah terjadinya
kontraktur dan keadaan ini harus dipertahankan sepanjang waktu
selama penderita dirawat di tempat tidur (Irain K. Burns, 1995 dalam
Barbara, 2006). Posisi yang nyaman merupakan posisi kontraktur.
Program positioning antikontraktur adalah penting dan dapat
47
E. ORIF
Open Reduction Internal Fixatie (ORIF) adalah suatu jenis operasi dengan
pemasangan internal fixasi yang dilakukan ketika fraktur tersebut tidak dapat
direduksi secara cukup dengan close reduction, atau ketika plaster gagal untuk
mempertahankan posisi yang tepat pada fragmen fraktur (J ohn C. Adams, 1992
dalam Potter & Perry, 2005). Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen
tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini
berupa intra medullary nail, biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang
dengan tipe fraktur tranvers.
50
Ada dua komponen terpisah untuk suatu prosedur ORIF. Yang pertama
adalah reduksi terbuka, yang mengacu pada proses operasi terbuka untuk
mengatur tulang. Operasi terbuka mungkin diperlukan bila patah tulang kompleks
atau ada banyak potongan tulang. Dokter bedah membuat insisi di wilayah
istirahat untuk mengakses tulang, dan memanipulasi mereka kembali ke
tempatnya, memeriksa dengan mesin x-ray untuk mengkonfirmasi bahwa fraktur
telah sepenuhnya ditangani.
Fiksasi internal melibatkan penggunaan pin, piring, dan sekrup untuk
memegang tulang di tempat. Hal ini dilakukan karena tulang tidak dapat
disembuhkan dengan casting atau belat saja. Fiksasi internal dilakukann secara
bersama hingga sembuh. Penyembuhan dimonitor oleh bantuan pencitraan medis
untuk mengkonfirmasi bahwa tulang disatukan, penyembuhan secara merata, dan
penyembuhan dengan benar.
Ketika sebuah ORIF dianjurkan, pasien perlu mempersiapkan untuk
operasi. Hal ini melibatkan pertemuan dengan anestesi dan ahli bedah untuk
mendiskusikan risiko dan kekhawatiran, mengikuti petunjuk seperti menahan diri
dari makan atau minum sebelum prosedur, dan muncul di rumah sakit pada waktu
yang ditentukan. Pasien akan sepenuhnya dibius selama prosedur untuk
kenyamanan dan akan ditawarkan manajemen rasa sakit setelah operasi ORIF
sampai pulih.
Setelah tulang diatur dengan ORIF, pasien memiliki kesempatan untuk
terlibat dalam terapi fisik. Namun, ada pula masalah yang muncul segera setelah
operasi ORIF, seperti oedem atau bengkak, nyeri, keterbatasan lingkup gerak
51
G. Kerangka Teori
Berdasarkan yang telah di uraikan pada studi kepustakaan, maka peneliti
membuat kerangka teori sebagai berikut:
Skema 2.1 : Kerangka Teori
Dari kerangka teori dapat dijelaskan bahwa, sebagai tindakan pembedahan
pada pasien fraktur, Operasi ORIF tulang panjang tidak secara langsung
memberikan dampak penyembuhan pada pasien. Karena beberapa pasien post
operasi ORIF tulang panjang berpotensi mengalami kesembuhan dengan cepat,
sementara sebagian pasien mengalami proses penyembuhan yang sangat lama.
Mobilisasi
Dini
Mobilisasi Pasif :
Latihan pergerakkan
otot dan sendi
pasien secara pasif
(dibantu oleh
perawat atau
Mobilisasi Aktif :
Latihan
pergerakan otot
serta sendi secara
aktif oleh pasien
sendiri (mandiri)
Pasien Post ORIF
Tulang Panjang
Tidak Sembuh (Ada
Komplikasi) :
- Edem atau bengkak
- Nyeri
- Kontraktur
- Penurunan kekuatan otot
- Penurunan kemampuan
fungsional
- Infeksi
- Deep Venous Trombosis
Sembuh
54
Hal ini dikarenakan adanya komplikasi yang menyertai seperti oedem atau
bengkak, nyeri, keterbatasan lingkup gerak sendi (kontraktur), penurunan
kekuatan otot, penurunan kemampuan fungsionalnya yaitu berjalan dikarenakan
luka bekas operasi dan luka bekas trauma, infeksi serta Deep Venous
Trombosis(DVT).
Salah satu tindakan untuk mengatasi komplikasi tersebut yaitu dengan
melakukan mobilisasi. Mobilisasi itu sendiri terdiri atas dua bagian yakni
mobilisasi aktif dan mobilisasi pasif. Mobilisasi aktif adalah latihan pergerakan
otot serta sendi secara aktif oleh pasien sendiri (mandiri). Sedangkan mobilisasi
pasif adalah latihan pergerakkan otot dan sendi pasien secara pasif (dibantu oleh
perawat atau keluarga).
Dengan dilakukan mobilisasi maka diharapkan pasien post operasi ORIF
dapat mengalami kesembuhan dengan cepat, serta dapat melakukan aktifitas
sehari-hari.