You are on page 1of 0

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Tulang
1. Anatomi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler. Tulang
berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses
osteogenesis menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut
osteoblast. Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium.
Dalam tubuh manusia terdapat 206 tulang yang dapat diklasifikasikan
dalam lima kelompok berdasarkan bentuknya, antara lain:
a. Tulang panjang (Femur, Humerus) yang terdiri dari batang tebal panjang
yang disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah
proksimal dari epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis
terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis
atau lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena akumulasi
tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel
tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang
dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari spongy
bone (cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja tulang
rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh.
Hormon pertumbuhan, estrogen, dan testosteron merangsang pertumbuhan
tulang panjang. Estrogen, bersama dengan testosteron, merangsang fusi

lempeng epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki rongga yang


disebut kanalis medularis. Kanalis medularis berisi sumsum tulang.
b. Tulang pendek (carpals) dengan bentuk yang tidak teratur, dan inti dari
cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
c. Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat
dengan tulang concellous sebagai lapisan luarnya.
d. Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang
pendek.
e. Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang
yang berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan
jaringan fasial, misalnya patella (kap lutut).
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya
terdiri atas tiga jenis dasar, yaitu; osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas
berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang.
Adapun matriks tersusun atas 98% kolagen dan 2% subtansi dasar
(glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan proteoglikan. Matriks merupakan
kerangka dimana garam-garam mineral anorganik ditimbun.
Selanjutnya, osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan
fungsi tulang dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang). Sementara
osteoklas adalah sel multinuclear (berinti banyak) yang berperan dalam
penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.
Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa. Di tengah
osteon terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang
10

yang dinamakan lamella. Di dalam lamella terdapat osteosit, yang


memperoleh nutrisi melalui prosesus yang berlanjut ke dalam kanalikuli yang
halus (menghubungkan pembuluh darah sejauh kurang dari 0,1 mili meter).
Tulang diselimuti oleh membran fibrous padat yang dinamakan
periosteum. Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya
tumbuh, selain sebagai tempat perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum
mengandung saraf, pembuluh darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat
dengan tulang mengandung osteoblast, yang merupakan sel pembentuk tulang.
Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum
tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast, yang
melarutkan tulang untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat
endosteum dan dalam lacuna howship (cekungan pada permukaan tulang).







Gambar 2.1 : Anatomi Tulang
Struktur tulang dewasa terdiri dari 30% bahan organik (hidup) dan 70%
endapan garam. Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90%
11

serat kolagen dan kurang dari 10% proteoglikan (protein plus sakarida).
Deposit garam terutama adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium,
kalium karbonat, dan ion magnesium. Garam-garam menutupi matriks dan
berikatan dengan serat kolagen melalui proteoglikan. Adanya bahan organik
menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif (resistensi terhadap tarikan
yang meregangkan). Sedangkan garam-garam menyebabkan tulang memiliki
kekuatan kompresi (kemampuan menahan tekanan).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa
pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah
selama hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangan hormon, faktor
makanan, dan jumlah stres yang dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi
akibat aktivitas sel-sel pembentuk tulang yaitu osteoblas.
Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas
berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks
tulang. Sewaktu pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam
beberapa hari garam-garam kalsium mulai mengendap pada osteoid dan
mengeras selama beberapa minggu atau bulan berikutnya. Sebagian osteoblast
tetap menjadi bagian dari osteoid, dan disebut osteosit atau sel tulang sejati.
Seiring dengan terbentuknya tulang, osteosit dimatriks membentuk tonjolan-
tonjolan yang menghubungkan osteosit satu dengan osteosit lainnya
membentuk suatu sistem saluran mikroskopik di tulang.
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap tulang,
sebagian ion kalsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi. Garam nonkristal
12

ini dianggap sebagai kalsium yang dapat dipertukarkan, yaitu dapat


dipindahkan dengan cepat antara tulang, cairan interstisium, dan darah.
Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara bersamaan
dengan pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi karena aktivitas sel-sel
yang disebut osteoklas. Osteoklas adalah sel fagositik multinukleus besar yang
berasal dari sel-sel mirip-monosit yang terdapat di tulang. Osteoklas
tampaknya mengeluarkan berbagai asam dan enzim yang mencerna tulang dan
memudahkan fagositosis. Osteoklas biasanya terdapat pada hanya sebagian
kecil dari potongan tulang, dan memfagosit tulang sedikit demi sedikit.
Setelah selesai di suatu daerah, osteoklas menghilang dan muncul osteoblas.
0steoblas mulai mengisi daerah yang kosong tersebut dengan tulang baru.
Proses ini memungkinkan tulang tua yang telah melemah diganti dengan
tulang baru yang lebih kuat.
Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas menyebabkan
tulang terus menerus diperbarui atau mengalami remodeling. Pada anak dan
remaja, aktivitas osteoblas melebihi aktivitas osteoklas, sehingga kerangka
menjadi lebih panjang dan menebal. Aktivitas osteoblas juga melebihi
aktivitas osteoklas pada tulang yang pulih dari fraktur. Pada orang dewasa
muda, aktivitas osteoblas dan osteoklas biasanya setara, sehingga jumlah total
massa tulang konstan. Pada usia pertengahan, aktivitas osteoklas melebihi
aktivitas osteoblas dan kepadatan tulang mulai berkurang. Aktivitas osteoklas
juga meningkat pada tulang-tulang yang mengalami imobilisasi. Pada usia
dekade ketujuh atau kedelapan, dominansi aktivitas osteoklas dapat
13

menyebabkan tulang menjadi rapuh sehingga mudah patah. Aktivitas


osteoblas dan osteoklas dikontrol oleh beberapa faktor fisik dan hormon.
Faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoblas dirangsang oleh olah
raga dan stres beban akibat arus listrik yang terbentuk sewaktu stres mengenai
tulang. Fraktur tulang secara drastis merangsang aktivitas osteoblas, tetapi
mekanisme pastinya belum jelas. Estrogen, testosteron, dan hormon
perturnbuhan adalah promotor kuat bagi aktivitas osteoblas dan pertumbuhan
tulang. Pertumbuhan tulang dipercepat semasa pubertas akibat melonjaknya
kadar hormon-hormon tersebut. Estrogen dan testosteron akhirnya
menyebabkan tulang-tulang panjang berhenti tumbuh dengan merangsang
penutupan lempeng epifisis (ujung pertumbuhan tulang). Sewaktu kadar
estrogen turun pada masa menopaus, aktivitas osteoblas berkurang. Defisiensi
hormon pertumbuhan juga mengganggu pertumbuhan tulang.
Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi tulang secara
langsung dengan bekerja pada osteoblas dan secara tidak langsung dengan
merangsang penyerapan kalsium di usus. Hal ini meningkatkan konsentrasi
kalsium darah, yang mendorong kalsifikasi tulang. Namun, vitamin D dalam
jumlah besar meningkatkan kadar kalsium serum dengan meningkatkan
penguraian tulang. Maka, vitamin D dalam jumlah besar tanpa diimbangi
kalsium yang adekuat dalam makanan akan menyebabkan absorpsi tulang.
Ada pun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas terutama
dikontrol oleh hormon paratiroid. Hormon paratiroid dilepaskan oleh kelenjar
paratiroid yang terletak tepat di belakang kelenjar tiroid. Pelepasan hormon
14

paratiroid meningkat sebagai respons terhadap penurunan kadar kalsium


serum. Hormon paratiroid meningkatkan aktivitas osteoklas dan merangsang
pemecahan tulang untuk membebaskan kalsium ke dalam darah. Peningkatan
kalsium serum bekerja secara umpan balik negatif untuk menurunkan
pengeluaran hormon paratiroid lebih lanjut. Estrogen tampaknya mengurangi
efek hormon paratiroid pada osteoklas.
Efek lain hormon paratiroid adalah meningkatkan kalsium serum dengan
menurunkan sekresi kalsium oleh ginjal. Hormon paratiroid meningkatkan
ekskresi ion fosfat oleh ginjal sehingga menurunkan kadar fosfat darah.
Pengaktifan vitamin D di ginjal bergantung pada hormon paratiroid.
Sedangkan kalsitonin adalah suatu hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar
tiroid sebagai respons terhadap peningkatan kadar kalsium serum. Kalsitonin
memiliki sedikit efek menghambat aktivitas dan pernbentukan osteoklas.
Efek-efek ini meningkatkan kalsifikasi tulang sehingga menurunkan kadar
kalsium serum.
2. Fisiologi Tulang
Fungsi tulang adalah sebagai berikut :
a. Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
b. Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan
jaringan lunak.
c. Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan
pergerakan).
15

d. Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang


(hema topoiesis).
e. Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.

B. Fraktur
1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya (Suddarth, 2002). Sedangkan menurut Linda J uall C.
dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan Fraktur
sebagai rusaknya kontinuitas tulang disebabkan tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar (Soedarman, 2001).
Pendapat lain menyatakan bahwa patah tulang tertutup adalah fraktur bersih
(karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi. (Handerson, M.
A, 1992 dalam Suddarth, 2002)
2. Etiologi
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis
patah melintang atau miring.


16

b. Kekerasan tidak langsung


Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian
yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari
ketiganya, dan penarikan.
3. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari
yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, bone
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan
terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. J aringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.
J aringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit,
serta infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari
proses penyembuhan tulang.


17

Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur adalah:


a. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
b. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya
tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan,
elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
4. Klasifikasi Fraktur
Proses terjadinya fraktur dapat sangat bervariasi, tetapi untuk alasan yang
praktis, dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur.
1) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua korteks tulang.
2) Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti:
18

a) Hair Line Fraktur (garis fraktur hampir tidak tampak sehingga


tidak ada perubahan bentuk tulang).
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma, faktur terbagi menjadi:
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang.





Gambar 2.2 : Jenis Fraktur
19

d. Berdasarkan jumlah garis patah.


1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang
yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran
searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
f. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1) 1/3 proksimal
2) 1/3 medial
3) 1/3 distal
g. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
20

h. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis


tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan
jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartement.
5. Manifestasi Klinik
a. Deformitas
b. Bengkak/edema
c. Echimosis (Memar)
d. Spasme otot
e. Nyeri
f. Kurang/hilang sensasi
g. Krepitasi
i. Pergerakan abnormal
j. Rontgen abnormal

21

6. Test Diagnostik
a. Pemeriksaan rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnya
trauma.
b. Scan tulang, temogram, CT scan: memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun.
d. Peningkatan jumlah sel darah putih adalah respons stress normal
setelah trauma.
e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multiple, atau cedera hati.
7. Penatalaksanaan Medik
a. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden
period).
Saat kuman belum terlalu jauh meresap, dapat dilakukan langkah-
langkah:
1) Pembersihan luka
2) Eksisi
3) Hecting situasi
4) Antibiotik

22

b. Seluruh Fraktur
1) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya.
2) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Reduksi atau manipulasi adalah upaya untuk memanipulasi
fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun.
Selain itu, reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan
fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. (Brunner,
2001)
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan
untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat
fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya
dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema
dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum fraktur direduksi dan diimobilisasi, pasien harus
dipersiapkan untuk menjalani prosedur. Selain itu, harus diperoleh
izin untuk melakukan prosedur, serta dapat di berikan analgetik sesuai
ketentuan, mungkin perlu dilakukan anestesi. Ekstremitas yang akan
dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut
23

Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan


mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan,
sementara gips, bidai dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat
immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas
untuk penyembuhan tulang. Sinar x harus dilakukan untuk mengetahui
apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Selain reduksi tertutup, ada pula traksi. Traksi dapat digunakan
untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi
disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar x digunakan untuk
memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika
tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar x. Ketika
kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan
imobilisasi.
Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam
bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan
untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi
tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga
aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.

24

3) Retensi/Immobilisasi
Retensi atau immobilisasi merupakan upaya yang dilakukan untuk
menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimun.
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Sedangkan
untuk fiksasi interna dapat digunakan implan logam yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
4) Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk menghindari atropi dan
kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi
harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (misalnya
pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau secara
berkala, jika ada tanda gangguan neurovasuler, segera dilaporkan pada
ahli bedah ortopedi. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan
dikontrol dengan berbagai pendekatan, misalnya meyakinkan pasien,
perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika. Latihan
isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi
disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas
25

hidup sehari hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi


dan harga diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula
diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna
memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang
memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan
dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, serta menentukan
tingkat aktivitas dan beban berat badan.
8. Proses Penyembuhan Tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk
oleh aktivitas sel-sel tulang.
Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
a. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah
fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang
rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium
ini berlangsung 24 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
b. Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan diferensiasi sel menjadi fibro
kartilago yang berasal dari periosteum, endosteum, dan bone marrow yang
telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus
masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast
26

beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari


terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang
patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai,
tergantung frakturnya.
c. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel-sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai
membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh
aktivitas osteoblast dan osteoklast yang mulai berfungsi dengan
mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang
yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan
endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang)
menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada
4 minggu setelah fraktur menyatu.
d. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang
berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan
memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis
fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang
tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang
lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk
membawa beban yang normal.

27

e. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh
proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae
yang lebih tebal diletakan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi,
dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan
akhirnya terbentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
9. Komplikasi
a. Komplikasi Awal
1) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, kreatinin menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, reduksi, dan pembedahan.
2) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh perdarahan yang menekan otot,
saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti
gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
3) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang
sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena
28

sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran


darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang
ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi,
tachypnea, demam.
4) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
5) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkmans Ischemia.
6) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.
Ini biasanya terjadi pada fraktur.
b. Komplikasi Dalam Waktu Lama
1) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.

29

2) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini
juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
3) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
C. Mobilisasi Dini
1. Definisi Mobilisasi Dini
Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak bebas,
mudah, teratur, mempunyai tujuan memenuhi kebutuhan hidup sehat, dan
penting untuk kemandirian (Barbara, 2006). Sebaliknya keadaan imobilisasi
adalah suatu pembatasan gerak atau keterbatasan fisik dari anggota badan dan
tubuh itu sendiri dalam berputar, duduk dan berjalan, hal ini salah satunya
disebabkan oleh berada pada posisi tetap dengan gravitasi berkurang seperti
saat duduk atau berbaring. (Susan J . Garrison, 2004)
Sementara mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang terpenting pada
fungsi fisiologis karena hal itu esensial untuk mempertahankan kemandirian
(Capernito, 2000). Carpenito juga membagikan tiga rentang gerak dalam
mobilisasi yaitu, rentang gerak pasif, rentang gerak aktif, dan rentang gerak
30

fungsional. Adapun rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan
otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif
misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. Sementara
rentang gerak aktif untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi
dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya berbaring pasien
menggerakkan kakinya. Sedangkan rentang gerak fungsional berguna untuk
memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktifitas yang diperlukan.
Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa mobilisasi dini
adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan cara
membimbing penderita untuk mempertahankan fungsi fisiologis.
Mobilisasi secara tahap demi tahap sangat berguna untuk membantu
jalannya penyembuhan pasien. Secara psikologis mobilisasi akan memberikan
kepercayaan pada pasien bahwa dia mulai merasa sembuh. Perubahan gerakan
dan posisi ini harus diterangkan pada pasien atau keluarga yang menunggui.
Pasien dan keluarga akan dapat mengetahui manfaat mobilisasi, sehingga akan
berpartisipasi dalam pelaksanaan mobilisasi. (Rustam Muchtar, 1992 dalam
Barbara, 2006)
2. Tujuan Mobilisasi
Menurut Susan J . Garrison (2004), tujuan mobilisasi antara lain:
a. Mempertahankan fungsi tubuh
b. Memperlancar peredaran darah sehingga mempercepat penyembuhan
luka
c. Membantu pernafasan menjadi lebih baik
31

d. Mempertahankan tonus otot


e. Memperlancar eliminasi alvi dan urin
f. Mengembalikan aktivitas tertentu sehingga pasien dapat kembali
normal dan atau dapat memenuhi kebutuhan gerak harian.
g. Memberi kesempatan perawat dan pasien untuk berinteraksi atau
berkomunikasi
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mobilisasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi menurut Barbara (2006),
antara lain :
a. Gaya Hidup
Gaya hidup seseorang sangat tergantung dari tingkat pendidikannya.
Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan diikuti oleh perilaku yang
dapat meningkatkan kesehatannya. Demikian halnya dengan pengetahuan
kesehatan tentang mobilitas seseorang akan senantiasa melakukan
mobilisasi dengan cara yang sehat.
b. Proses penyakit dan injury
Adanya penyakit tertentu yang diderita seseorang akan mempengaruhi
mobilitasnya, misalnya; seorang yang patah tulang akan kesulitan untuk
mobilisasi secara bebas. Demikian pula orang yang baru menjalani
operasi, karena adanya rasa sakit atau nyeri yang menjadi alasan mereka
cenderung untuk bergerak lebih lamban. Ada kalanya klien harus istirahat
di tempat tidur karena menderita penyakit tertentu.

32

c. Kebudayaan
Kebudayaan dapat mempengaruhi pola dan sikap dalam melakukan
aktifitas, misalnya pada pasien setelah operasi dilarang bergerak karena
kepercayaan kalau banyak bergerak nanti luka atau jahitan tidak jadi.
d. Tingkat energi
Seseorang melakukan mobilisasi jelas membutuhkan energi atau
tenaga. Orang yang sedang sakit akan berbeda mobilitasnya dibandingkan
dengan orang dalam keadaan sehat.
e. Usia dan status perkembangan
Seorang anak akan berbeda tingkat kemampuan mobilitasnya
dibandingkan dengan seorang remaja.
4. Jenis Mobilisasi
J enis-jenis mobilisasi antara lain :
a. Mobilisasi penuh
Mobilisasi penuh ini menunjukkan syaraf motorik dan sensorik mampu
mengontrol seluruh area tubuh. Mobilisasi penuh mempunyai banyak
keuntungan bagi kesehatan, baik fisiologis maupun psikologis bagi pasien
untuk memenuhi kebutuhan dan kesehatan secara bebas, mempertahankan
interaksi sosial dan peran dalam kehidupan sehari hari.
b. Mobilisasi sebagian
Pasien yang mengalami mobilisasi sebagian umumnya mempunyai
gangguan syaraf sensorik maupun motorik pada area tubuh. Mobilisasi
sebagian dapat dibedakan menjadi:
33

1) Mobilisasi temporer yang disebabkan oleh trauma reversibel pada


sistim muskuloskeletal seperti dislokasi sendi dan tulang.
2) Mobilisasi permanen biasanya disebabkan oleh rusaknya sistim
syaraf yang reversibel. (Susan J . Garrison, 2004)
5. Kontra Indikasi Mobilisasi
Pada kasus tertentu istirahat di tempat tidur diperlukan dalam periode tidak
terlalu lama seperti pada pada kasus infark miokard akut, disritmia jantung
atau syok sepsis. Kontra indikasi lain dapat ditemukan pada kelemahan umum
dengan tingkat energi yang kurang. (Susan J . Garrisson, 2004)
6. Mobilisasi Pada Pasien Pasca Pembedahan.
Mobilisasi pasca pembedahan yaitu proses aktivitas yang dilakukan pasca
pembedahan dimulai dari latihan ringan di atas tempat tidur (latihan
pernafasan, latihan batuk efektif dan menggerakkan tungkai) sampai dengan
pasien bisa turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi dan berjalan ke
luar kamar. (Brunner & Suddarth, 2002)
Selama 24 sampai 48 jam pertama, perhatian ditujukan pada pemberian
peredahan nyeri dan pencegahan komplikasi. Latihan menarik napas dalam,
batuk dan fleksi kaki atau tangan harus didorong untuk dilakukan setiap jam.
(Brunner & Suddarth, 2002)
Sementara, hal yang harus diperhatikan pada penanganan pasien pasca
operasi fraktur adalah pada pencegahan terjadinya masalah medis sekunder
(komplikasi pasca bedah), dan harus segera dilakukan mobilisasi agar fungsi
kemandirian dapat dipertahankan. (Brunner & Suddarth, 2002)
34

Latihan tersebut melalui tahap-tahap yaitu:


a. Setelah 12-24 jam pertama post operasi pasien berpindah posisi setiap 1-2
jam. Melakukan latihan kaki setiap jam jika pasien terjaga.
b. J ika pasien mampu beradaptasi untuk melakukan miring ke kiri dan ke
kanan, 6-12 jam berikutnya pasien dibantu untuk bergerak secara bertahap
dari posisi berbaring ke posisi duduk sampai semua tanda pusing hilang.
Posisi ini dapat dicapai dengan menaikan bagian kepala tempat tidur.
c. Apabila pasien dapat duduk di tempat tidur tanpa mengeluh pusing hari
ketiga post operasi anjurkan untuk menjuntai kaki di samping tempat tidur,
jika tanda-tanda vital normal dan pasien tidak mengeluh pusing bantu
pasien untuk berdiri disamping tempat tidur dan bantu pasien untuk
berjalan perlahan dalam jarak pendek 2-3 meter.
d. Hari keempat pasien dibantu untuk berjalan kekamar mandi dan jika luka
operasi kering, pemenuhan nutrisi baik, hasil pemeriksaan penunjang baik,
tidak ada komplikasi lainnya, perawat dapat memberitahukan kepada
dokter agar pasien boleh dipulangkan. (Perry dan Poter, 2005)
Menurut Potter & Perry (2005), mobilisasi dapat di lakukan dengan range
of motion (ROM) aktif. Adapun gerakan ROM yang dilakukan yaitu:
a. Leher, spina, serfikal
Fleksi : Menggerakan dagu menempel ke dada, rentang 45
Ekstensi : Mengembalikan kepala ke posisi tegak, rentang 45
Hiperektensi : Menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin, rentang
40-45
35

Fleksi lateral : Memiringkan kepala sejauh mungkin sejauh mungkin


kearah setiap bahu, rentang 40-45
Rotasi : Memutar kepala sejauh mungkin dalam gerakan sirkuler,
rentang 180
Ulangi gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.

Gamber 2.3: Gerakan ROM pada Leher


b. Bahu
Fleksi : Menaikan lengan dari posisi di samping tubuh ke depan
ke posisi di atas kepala, rentang 180
Ekstensi : Mengembalikan lengan ke posisi di samping tubuh,
rentang 180
Hiperektensi : Mengerkan lengan kebelakang tubuh, siku tetap lurus,
rentang 45-60
Abduksi : Menaikan lengan ke posisi samping di atas kepala dengan
telapak tangan jauh dari kepala, rentang 180
Adduksi : Menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh
sejauh mungkin, rentang 320
o

36

Rotasi dalam : Dengan siku pleksi, memutar bahu dengan menggerakan


lengan sampai ibu jari menghadap ke dalam dan ke
belakang, rentang 90
Rotasi luar : Dengan siku fleksi, menggerakan lengan sampai ibu jari
ke atas dan samping kepala, rentang 90
Sirkumduksi : Menggerakan lengan lingkaran penuh, rentang 360
Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.

Gamber 2.4: Gerakan ROM pada Bahu


c. Siku
Fleksi : Menggerakkan siku sehingga lengan bahu bergerak ke
depan sendi bahu dan tangan sejajar bahu, rentang 150
Ektensi : Meluruskan siku dengan menurunkan tangan, rentang
150




Gamber 2.5: Gerakan ROM pada siku
37

d. Lengan bawah
Supinasi : Memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak
tangan menghadap ke atas, rentang 70-90
Pronasi : Memutar lengan bawah sehingga telapak tangan
menghadap ke bawah, rentang 70-90
Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.





Gamber 2.6: Gerakan ROM pada lengan bawah
e. Pergelangan tangan
Fleksi : Menggerakan telapak tangan ke sisi bagian dalam lengan
bawah, rentang 80-90
Ekstensi : Mengerakan jari-jari tangan sehingga jari-jari, tangan,
lengan bawah berada di arah yang sama, rentang 80-90
Hiperekstensi : Membawa permukaan tangan dorsal ke belakang sejauh
mungkin, rentang 89-90
Abduksi : Menekuk pergelangan tangan miring ke ibu jari,dengan
rentang 30
Adduksi : Menekuk pergelangan tangan miring ke arah lima jari,
rentang 30-50
38

Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.







Gamber 2.7: Gerakan ROM pada pergelangan tangan
f. J ari- jari tangan
Fleksi : Membuat genggaman, rentang 90
Ekstensi : Meluruskan jari-jari tangan, rentang 90
Hiperekstensi : Menggerakan jari-jari tangan ke belakang sejauh
mungkin, rentang 30-60
Abduksi : Mereggangkan jari-jari tangan yang satu dengan yang
lain, rentang 30
Adduksi : Merapatkan kembali jari-jari tangan, rentang 30
Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.

Gamber 2.8: Gerakan ROM pada jari

39

g. Ibu jari
Fleksi : Mengerakan ibu jari menyilang permukaan telapak
tangan, rentang 90
Ekstensi : Menggerakan ibu jari lurus menjauhi tangan, rentang 90
Abduksi : Menjauhkan ibu jari ke samping, rentang 30
Adduksi : Mengerakan ibu jari ke depan tangan, rentang 30
Oposisi : Menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada
tangan yang sama
Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.






Gamber 2.9: Gerakan ROM pada ibu jari
h. Pinggul
Fleksi : Mengerakan tungkai ke depan dan atas, rentang 90-120
Ekstensi : Menggerakan kembali ke samping tungkai yang lain,
rentang 90-120
Hiperekstensi : Mengerakan tungkai ke belakang tubuh, rentang 30-50
Abduksi : Menggerakan tungkai ke samping menjauhi tubuh,
rentang 30-50
40

Adduksi : Mengerakan tungkai kembali ke posisi media dan


melebihi jika mungkin, rentang 30-50
Rotasi dalam : Memutar kaki dan tungkai ke tungkai lain, rentang 90
Rotasi luar : Memutar kaki dan tungkai jauhi tungkai lain, rentang 90
Sirkumduksi : Menggerakan tungkai melingkar
Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.

Gamber 2.10: Gerakan ROM pada pinggul


i. Lutut
Fleksi : Mengerakan tumit ke belakang paha, rentang 120-130
Ekstensi : Mengembalikan tungkai kelantai, rentang 120-130
Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.





Gamber 2.11: Gerakan ROM pada lutut

41

j. Mata kaki
Dorsifleksi : Menggerakan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke
atas, rentang 20-30
Flantarfleksi : Menggerakan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke
bawah, rentang 45-50
Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.

Gamber 2.12: Gerakan ROM pada mata kaki


k. Kaki
Inversi : Memutar telapak kaki ke samping dalam, rentang 10
Eversi : Memutar telapak kaki ke samping luar, rentang 10
Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.





Gamber 2.13: Gerakan ROM pada kaki
l. J ari-J ari Kaki
Fleksi : Menekukkan jari-jari kaki ke bawah, rentang 30-60
42

Ekstensi : Meluruskan jari-jari kaki, rentang 30-60


Abduksi : Menggerakan jari kaki satu dengan yang lain, rentang 15
Adduksi : Merapatkan kembali bersama-sama, rentang 15
Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.

Gamber 2.14: Gerakan ROM pada jari kaki


7. Dampak Mobilisasi Post Operasi
a. Peningkatan kecepatan dan kedalaman pernafasan
1) Mencegah atelektasis dan pnemonia hipostasis .
2) Peningkatan kesadaran mental dampak dari peningkatan oksigen
ke otak.
b. Peningkatan sirkulasi
1) Nutrisi untuk penyembuhan mudah didapat pada daerah luka
2) Mencegah trombophlebitis
3) Peningkatan kelancaran fungsi ginjal
4) Pengurangan rasa nyeri
c. Peningkatan berkemih
Mencegah retensi urine
d. Peningkatan metabolisme
43

1) Mencegah berkurangnya tonus otot


2) Mengembalikan keseimbangan nitrogen
e. Peningkatan peristaltik
1) Memudahkan terjadinya flatus
2) Mencegah distensi abdominal dan nyeri akibat gas
3) Mencegah konstipasi
4) Mencegah illeus paralitik
D. Kontraktur
Kontraktur adalah hilangnya atau kurang penuhnya lingkup gerak sendi
secara pasif maupun aktif karena keterbatasan sendi, fibrosis jaringan penyokong,
otot dan kulit. Penyebab utama kontraktur adalah tidak ada atau kurangnya
mobilisasi sendi akibat suatu keadaan antara lain ketidakseimbangan kekuatan
otot, penyakit neuromuskular, penyakit degenerasi, luka trauma yang luas,
inflamasi, penyakit kongenital, ankilosis dan nyeri. (Halar EM, 1993 dalam Ester,
2001)
Banyaknya kasus penderita yang mengalami kontraktur dikarenakan
kurangnya disiplin penderita sendiri untuk sedini mungkin melakukan mobilisasi.
Selain itu juga kurangnya pengetahuan tenaga medis untuk memberikan terapi
pencegahan, seperti perawatan luka, pencegahan infeksi, posisi yang tepat dan
mencegah immobilisasi yang lama.
Efek kontraktur menyebabkan terjadinya gangguan fungsional, gangguan
mobilisasi dan gangguan aktifitas kehidupan sehari-hari (Kottke FJ -WB Saunders
44

Co. 1982 dalam Ester, 2001). Kontraktur dapat terjadi dalam waktu 3 sampai 7
hari setelah operasi. (Maas, 2001)
1. Klasifikasi Kontraktur
Berdasarkan lokasi dari jaringan yang menyebabkan ketegangan,
kontraktur dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian. (Sjamsuhidajat R,1997
dalam Ester, 2001)
a. Kontraktur Dermatogen atau Dermogen
Kontraktur yang disebabkan karena proses terjadinya di kulit, hal
tersebut dapat terjadi karena kehilangan jaringan kulit yang luas misalnya
pada luka bakar yang dalam dan luas, kecelakaan dan infeksi.
b. Kontraktur Tendogen atau Myogen
Kontraktur yang tejadi karena pemendekan otot dan tendon-tendon.
Dapat terjadi oleh keadaan iskemia yang lama, terjadi jaringan ikat dan
atropi, misalnya pada penyakit neuromuskular, luka bakar yang luas,
trauma, penyakit degenerasi dan inflamasi.
c. Kontraktur Arthrogen
Kontraktur yang terjadi karena proses di dalam sendi-sendi, proses ini
bahkan dapat sampai terjadi ankylosis. Kontraktur tersebut sebagai akibat
immobilisasi yang lama dan terus menerus, sehingga terjadi gangguan
pemendekan kapsul dan ligamen sendi, misalnya pada bursitis, tendinitis,
penyakit kongenital dan nyeri.


45

2. Patofisiologi
Apabila jaringan ikat dan otot dipertahankan dalam posisi memendek
dalam jangka waktu yang lama, serabut-serabut otot dan jaringan ikat akan
menyesuaikan memendek dan menyebabkan kontraktur sendi. Otot yang
dipertahan memendek dalam 5-7 hari akan mengakibatkan pemendekan perut
otot yang menyebabkan kontraksi jaringan kolagen dan pengurangan jaringan
sarkomer otot. Bila posisi ini berlanjut sampai 3 minggu atau lebih, jaringan
ikat sekitar sendi dan otot akan menebal dan menyebabkan kontraktur.
3. Pencegahan Kontraktur
Pencegahan kontraktur lebih baik dan efektif daripada pengobatan.
Program pencegahan kontraktur meliputi: (Sjamsuhidajat R,1997 dalam Potter
& Perry, 2005)
a. Mencegah infeksi
Perawatan luka, penilaian jaringan mati dan tindakan nekrotomi segera
perlu diperhatikan. Keterlambatan penyembuhan luka dan jaringan
granulasi yang berlebihan akan menimbulkan kontraktur.
b. Skin graft atau Skin flap
Adanya luka luas dan kehilangan jaringan luas diusahakan menutup
sedini mungkin, bila perlu penutupan kulit dengan skin graft atau flap.
c. Fisioterapi
Tindakan fisioterapi harus dilakukann segera mungkin yang meliputi;
1) Proper positioning (posisi penderita)
2) Exercise (gerakan-gerakan sendi sesuai dengan fungsi)
46

3) Stretching
4) Splinting / bracing
5) Mobilisasi / ambulasi awal
4. Penanganan Kontraktur
Hal utama yang dipertimbangkan untuk terapi kontraktur adalah
pengembalian fungsi dengan cara menganjurkan penggunaan anggota badan
untuk ambulasi dan aktifitas lain. Menyingkirkan kebiasaan yang tidak baik
dalam hal ambulasi, posisi dan penggunaan program pemeliharaan kekuatan
dan ketahanan, diperlukan agar pemeliharaan tercapai dan untuk mencegah
kontraktur sendi yang rekuren. (Halar EM, 1993 dalam Barbara, 2006)
Penanganan kontraktur dapat dliakukan dalam dua cara, yakni secara
konservatif dan operatif.
a. Konservatif
Seperti halnya pada pencegahan kontraktur, tindakan konservatif ini
lebih mengoptimalkan penanganan fisioterapi terhadap penderita yang
meliputi:
1) Proper positioning
Positioning penderita yang tepat dapat mencegah terjadinya
kontraktur dan keadaan ini harus dipertahankan sepanjang waktu
selama penderita dirawat di tempat tidur (Irain K. Burns, 1995 dalam
Barbara, 2006). Posisi yang nyaman merupakan posisi kontraktur.
Program positioning antikontraktur adalah penting dan dapat
47

mengurangi udem, pemeliharaan fungsi dan mencegah kontraktur.


(J oynt RL,1993 dalam Potter & Perry, 2005)
2) Stretching
Kontraktur ringan dilakukan strectching 20-30 menit, sedangkan
kontraktur berat dilakukan stretching selama 30 menit atau lebih
dikombinasi dengan proper positioning. Berdiri adalah stretching yang
paling baik, berdiri tegak efektif untuk stretching panggul depan dan
lutut bagian belakang. (J oynt RL,1993 dalam Armis, 2002)
3) Splinting / bracing
Mengingat lingkup gerak sendi exercise dan positioning
merupakan hal yang penting untuk diperhatikan pada luka bakar, untuk
mempertahankan posisi yang baik selama penderita tidur atau melawan
kontraksi jaringan terutama penderita yang mengalami kesakitan dan
kebingungan.
4) Pemanasan
Pada kontraktur otot dan sendi akibat scar yang disebabkan oleh
luka bakar, ultrasound adalah pemanasan yang paling baik,
pemberiannya selama 10 menit per lapangan. Ultrasound merupakan
modalitas pilihan untuk semua sendi yang tertutup jaringan lunak, baik
sendi kecil maupun sendi besar.
b. Operatif
Tindakan operatif adalah pilihan terakhir apabila pcncegahan
kontraktur dan terapi konservatif tidak memberikan hasil yang diharapkan,
48

tindakan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara : (ConveRSe J M,


1977 dalam Barbara, 2006)
1) Z - plasty atau S - plasty
Indikasi operasi ini apabila kontraktur bersama dengan adanya
sayap dan dengan kulit sekitar yang lunak. Kadang sayap sangat
panjang sehingga memerlukan beberapa Z-plasty.
2) Skin graft
Indikasi skin graft apabila didapat jaringan parut yang sangat lebar.
Kontraktur dilepaskan dengan insisi transversal pada seluruh lapisan
parut, selanjutnya dilakukan eksisi jaringan parut secukupnya.
Sebaiknya dipilih split thickness graft untuk l potongan, karena full
thickness graft sulit. J ahitan harus berhati-hati pada ujung luka dan
akhirnya graft dijahitkan ke ujung-ujung luka yang lain, kemudian
dilakukan balut tekan. Balut diganti pada hari ke 10 dan dilanjutkan
dengan latihan aktif pada minggu ketiga post operasi.
3) Flap
Pada kasus kasus dengan kontraktur yang luas dimana jaringan
parutnya terdiri dari jaringan fibrous yang luas, diperlukan eksisi
parsial dari parut dan mengeluarkan / mengekspos pembuluh darah dan
saraf tanpa ditutupi dengan jaringan lemak, kemudian dilakukan
transplantasi flap untuk menutupi defek tadi. Indikasi lain pemakaian
flap adalah apabila gagal dengan pemakaian cara graft bebas untuk
49

koreksi kontraktur sebelumnya. Flap dapat dirotasikan dari jaringan


yang dekat ke defek dalam 1 kali kerja.

UJI KEKUATAN OTOT


Menurut Robert Priharjo (2002), tingkatan gradasi kekuatan otot dapat
dibagi menjadi :
Tabel 2.1 : Uji Kekuatan Otot
Grade Rating Percentage Finding
5

Normal 100

ROM penuh dengan melawan gravitasi dan
tahanan, kekuatan utuh
4 Good 75 Kekuatan kurang dibandingkan sisi lain
3 Fair 50 Mampu menahan tegak walaupun sedikit
didorong tetapi tidak mampumelawan
tekanan/dorongan dari pemeriksa
2

Poor 25

Mampu menahan tegak yang berarti mampu
menahan gaya gravitasi saja, tapi dengan
sentuhan akan jatuh
1

Trace 10

Tampak kontraksi atau ada sedikit gerakan
dan ada tahanan sewaktu jatuh
0 Zero 0 Otot sama sekali tidak mampu bergerak,
tampak berkontraksi, bila lengan/tungkai di
lepaskan, akan jatuh 100% pasif

E. ORIF
Open Reduction Internal Fixatie (ORIF) adalah suatu jenis operasi dengan
pemasangan internal fixasi yang dilakukan ketika fraktur tersebut tidak dapat
direduksi secara cukup dengan close reduction, atau ketika plaster gagal untuk
mempertahankan posisi yang tepat pada fragmen fraktur (J ohn C. Adams, 1992
dalam Potter & Perry, 2005). Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen
tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini
berupa intra medullary nail, biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang
dengan tipe fraktur tranvers.
50

Ada dua komponen terpisah untuk suatu prosedur ORIF. Yang pertama
adalah reduksi terbuka, yang mengacu pada proses operasi terbuka untuk
mengatur tulang. Operasi terbuka mungkin diperlukan bila patah tulang kompleks
atau ada banyak potongan tulang. Dokter bedah membuat insisi di wilayah
istirahat untuk mengakses tulang, dan memanipulasi mereka kembali ke
tempatnya, memeriksa dengan mesin x-ray untuk mengkonfirmasi bahwa fraktur
telah sepenuhnya ditangani.
Fiksasi internal melibatkan penggunaan pin, piring, dan sekrup untuk
memegang tulang di tempat. Hal ini dilakukan karena tulang tidak dapat
disembuhkan dengan casting atau belat saja. Fiksasi internal dilakukann secara
bersama hingga sembuh. Penyembuhan dimonitor oleh bantuan pencitraan medis
untuk mengkonfirmasi bahwa tulang disatukan, penyembuhan secara merata, dan
penyembuhan dengan benar.
Ketika sebuah ORIF dianjurkan, pasien perlu mempersiapkan untuk
operasi. Hal ini melibatkan pertemuan dengan anestesi dan ahli bedah untuk
mendiskusikan risiko dan kekhawatiran, mengikuti petunjuk seperti menahan diri
dari makan atau minum sebelum prosedur, dan muncul di rumah sakit pada waktu
yang ditentukan. Pasien akan sepenuhnya dibius selama prosedur untuk
kenyamanan dan akan ditawarkan manajemen rasa sakit setelah operasi ORIF
sampai pulih.
Setelah tulang diatur dengan ORIF, pasien memiliki kesempatan untuk
terlibat dalam terapi fisik. Namun, ada pula masalah yang muncul segera setelah
operasi ORIF, seperti oedem atau bengkak, nyeri, keterbatasan lingkup gerak
51

sendi (kontraktur), penurunan kekuatan otot, serta penurunan kemampuan


fungsionalnya yaitu berjalan dikarenakan luka bekas operasi dan luka bekas
trauma. Beberapa komplikasi lain yang dapat timbul pasca operasi fraktur adalah :
1. Infeksi
Infeksi terjadi karena masuknya mikroorganisme patogen ke dalam daerah
fraktur dan karena fiksasi internal yang dipasang di dalam tubuh pasien
mungkin tidak steril atau karena teknik, perlengkapan dan keadaan operasi
yang buruk. (Adam, 1992 dalam Potter & Perry, 2005)
2. Deep Venous Trombosis (DVT)
DVT merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan pasca operasi.
Penyebab utama DVT pada pasien pembedahan adalah hiperkoagulabilitas
darah, terutama akibat aktivasi faktor X oleh tromboplastin yang dilepas oleh
jaringan yang rusak. Faktor-faktor sekunder yang penting, seperti imobilisasi
yang lama, kerusakan endotel dan peningkatan jumlah dan kelengketan
trombosit dapat diakibatkan oleh cedera atau operasi. (Appley,1995 dalam
Potter & Perry, 2005)
F. Penelitian Terkait
1. Penelitian yang dilakukan oleh Haryanti (2002) dengan judul Tingkat
ketergantungan aktivitas dasar sehari-hari (ADS) pada pasien fraktur
femur di bangsal rawat inap RSO Prof Dr.Soeharso Surakarta.
Penelitian ini menggunakan metode diskriptif dengan rancangan cross
sectional. Subjek penelitian adalah pasien dengan fraktur femur yang
sedang atau mulai mondok di RSO Prof DR. R Soeharso Surakarta.
52

Analisis data menggunakan analisis kuantitatif. Hasil penelitian ini


menunjukkan bahwa secara umum tingkat ketergantungan pasien terhadap
orang lain dalam aktivitas sehari-hari yang diteliti pada hari kedua dan hari
kelima mengalami penurunan. Pasien mengalami kemajuan dalam hal
kemandirian melaksanakan aktivitas dasar sehari-hari. Perbedaan dengan
penelitian ini yaitu pada variabel penelitian, tempat penelitian dan metode
yang digunakan.
2. Penelitian kualitatif yang dilakukan Sulastri, S.Kep dan M. J udha, S.Kep.,
Ners dengan judul Implementasikan ROM oleh Perawat Pada Pasien Post
Operasi Fraktur Femur Di Ruang Ortopedi Wanita Rumah Sakit Dr.
Mohammad Hoesin Palembang, 2009.
Penelitian ini menggunakan metode diskriptif dengan rancangan cross
sectional. Subjek penelitian adalah perawat dan pasien serta orang tua
pasien Post Operasi Fraktur Femur Di Ruang Ortopedi Wanita Rumah
Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Analisis data menggunakan
analisis kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, belum ada
perawat yang sepenuhnya mengimplementasikan ROM aktif dan pasif
pada pasien post operasi fraktur femur serta belum ada komunikasi
teraputik tentang ROM aktif pada pasien dan keluarga. Meskipun
demikian perawat sudah mempunyai pengetahuan yang cukup baik dan
sudah terjalinya kepercayaan yang cukup baik antara perawat dengan klien
yang mempermudah untuk diimplementasikan ROM aktif pada pasien post
operasi fraktur femur.
53

G. Kerangka Teori
Berdasarkan yang telah di uraikan pada studi kepustakaan, maka peneliti
membuat kerangka teori sebagai berikut:
Skema 2.1 : Kerangka Teori













Dari kerangka teori dapat dijelaskan bahwa, sebagai tindakan pembedahan
pada pasien fraktur, Operasi ORIF tulang panjang tidak secara langsung
memberikan dampak penyembuhan pada pasien. Karena beberapa pasien post
operasi ORIF tulang panjang berpotensi mengalami kesembuhan dengan cepat,
sementara sebagian pasien mengalami proses penyembuhan yang sangat lama.
Mobilisasi
Dini
Mobilisasi Pasif :
Latihan pergerakkan
otot dan sendi
pasien secara pasif
(dibantu oleh
perawat atau
Mobilisasi Aktif :
Latihan
pergerakan otot
serta sendi secara
aktif oleh pasien
sendiri (mandiri)
Pasien Post ORIF
Tulang Panjang
Tidak Sembuh (Ada
Komplikasi) :
- Edem atau bengkak
- Nyeri
- Kontraktur
- Penurunan kekuatan otot
- Penurunan kemampuan
fungsional
- Infeksi
- Deep Venous Trombosis
Sembuh
54

Hal ini dikarenakan adanya komplikasi yang menyertai seperti oedem atau
bengkak, nyeri, keterbatasan lingkup gerak sendi (kontraktur), penurunan
kekuatan otot, penurunan kemampuan fungsionalnya yaitu berjalan dikarenakan
luka bekas operasi dan luka bekas trauma, infeksi serta Deep Venous
Trombosis(DVT).
Salah satu tindakan untuk mengatasi komplikasi tersebut yaitu dengan
melakukan mobilisasi. Mobilisasi itu sendiri terdiri atas dua bagian yakni
mobilisasi aktif dan mobilisasi pasif. Mobilisasi aktif adalah latihan pergerakan
otot serta sendi secara aktif oleh pasien sendiri (mandiri). Sedangkan mobilisasi
pasif adalah latihan pergerakkan otot dan sendi pasien secara pasif (dibantu oleh
perawat atau keluarga).
Dengan dilakukan mobilisasi maka diharapkan pasien post operasi ORIF
dapat mengalami kesembuhan dengan cepat, serta dapat melakukan aktifitas
sehari-hari.

You might also like