You are on page 1of 10

Manajemen Syok Hemoragik

Pendahuluan Syok adalah keadaan dimana terjadi kegagalan sistem kardiovaskuler yang menyebabkan gangguan perfusi jaringan, keadaan ini menyebabkan hipoksia, gangguan metabolisme seluler, kerusakan jaringan, gagal organ dan kematian. Patofisiologi syok perdarahan adalah terjadi kekurangan volume intravaskuler menyebabkan penurunan venous return sehingga terjadi penurunan pengisian ventrikel, menyebabkan penurunan stroke volume dan cardiac output, sehingga menyebabkan gangguan perfusi jaringan . Resusitasi pada syok perdarahan akan mengurangi angka kematian. Pengelolaan syok perdarahan ditujukan untuk mengembalikan volume sirkulasi, perfusi jaringan dengan mengoreks hemodinamik, kontrol perdarahan, stabilisasi volume sirkulasi, optimalisasi transpor oksigen dan bila perlu pemberian vasokonstriktor bila tekanan darah tetap rendah setelah pemberian loading cairan. Pemberian cairan merupakan hal penting pada pengelolaan syok perdarahan dimulai dengan pemberian kristaloid/koloid dilanjutkan dengan transfusi darah komponen. Koagulopati yang berhubungan dengan transfusi masif masih merupakan masalah klinis yang penting. Strategis terapi termasuk mempertahankan perfusi jaringan, koreksi hipotermi dan anemia, dan penggunaan produk hemostatik untuk mengoreksi microvascular bleeding. STADIUM-STADIUM SYOK Syok memiliki beberapa stadium sebelum kondisi menjadi dekompensasi atau irreversible sebagaimana dilukiskan dalam gambar berikut: Stadium 1 ANTICIPATION STAGE

Gangguan sudah ada tetapi bersifat lokal. Parameter-paramater masih dalam batas normal. Biasanya masih cukup waktu untuk mendiagnosis dan mengatasi kondisi dasar.

Stadium 2. PRE-SHOCK SLIDE

Gangguan sudah bersifat sistemik. Parameter mulai bergerak dan mendekati batas atas atau batas bawah kisaran normal.

Sadium 3 COMPENSATED SHOCK

Compensated shock bisa berangkat dengan tekanan darah yang normal rendah, suatu kondisi yang disebut "normotensive, cryptic shock" Banyak klinisi gagal mengenali bagian dini dari stadium syok ini. Compensated shock memiliki arti khusus pada pasien DBD dan perlu dikenali dari tanda-tanda berikut: Capillary refill time > 2 detik; penyempitan tekanan nadi, takikardia, takipnea, akral dingin. Stadium 4 DECOMPENSATED SHOCK, REVERSIBLE

Di sini sudah terjadi hipotensi. Normotensi hanya bisa dipulihkan dengan cairan intravena dan/atau vasopresor

Stadium 5 DECOMPENSATED IRREVERSIBLE SHOCK

Kerusakan mikrovaskular dan organ sekarang menjadi menetap dan tak bisa diatasi.

Klasifikasi Syok Hemoragik Derajat syok hemoragik bisa secara kasar ditaksir menurut beberapa parameter klinis, namun banyak ditentukan oleh respon terhadap resusitasi cairan 1.

Tatalaksana syok hemoragik

Terapi awal pada perdarahan akut harus melibatkan tatalaksana jalan napas, mengusahakan ventilasi dan oksigenasi adekuat, mengendalikan perdarahan eksternal (jika ada), dan melindungi medula spinalis (jika berpotensi cedera). Resusitasi Cairan harus memenuhi objektif: (1) memulihkan volume intravaskular yang cukup untuk mengatasi hipoperfusi sistemik dan membatasi hipoperfusi regional; (2) mempertahankan kapasitas pengangkut oksigen yang adekuat sehingga penyampaian oksigen ke jaringan memenuhi kebutuhan oksigen yang kritis; dan (3) membatasi kehilangan eritrosit sirkulasi. Sayang, tidak ada parameter tepat yang tersedia dan memungkinkan klinisi mencapai tiga sasaran ini ditengahtengah perubahan fisiologis yang dinamis pada perdarahan akut dan resusitasi. Namun demikian, pasien mungkin sekali memperoleh manfaat dari upaya klinis untuk mempertahankan imbang ini sebelum perdarahan yang berlangsung bisa dikendalikan dengan operasi.

Resusitasi Cairan Penggantian volume intravaskular untuk mengatasi perdarahan merupakan dogma yang telah diterima selama puluhan tahun. Pemulihan volume intravaskular dan tekanan arteri normal umumnya selalu diterima. Yang menjadi silang pendapat adalah cairan resusitasi yang optimal itu apa. Namun, dalam beberapa puluh tahun terakhir, praktek resusitasi pasien ke tekanan darah normal telah dipertanyakan. Kajian-kajian dini mendukung penggantian volume agresif yang dilakukan pada model perdarahan pada hewan. Pada keadaan ini, normovolemia yang cepat dicapai akan menghasilkan prognosis yang baik tanpa efek samping nyata.2 Namun, model laboratorium tidak mencerminkan situasi klinis dengan tepat. Kebanyakan pasien syok hemoragik belum terkontrol perdarahannya sebelum resusitasi cairan dimulai. Fakta ini menimbulkan kekhawatiran apakah tekanan darah normal justru bisa merugikan dengan memperhebat perdarahan yang sedang berlangsung dan akhirnya memperburuk prognosis. Pembentukan bekuan pada daerah daerah kerusakan pembuluh darah difasilitasi dengan tekanan darah yang lebih rendah selama perdarahan. Tekanan darah yang bertambah bisa melepas sumbatan yang baru terbentuk dan rapuh. Karena larutan kristaloid tidak memiliki kapasitas membawa oksigen, setiap eksaserbasi perdarahan yang diakibatkan dari pemberian kristaloid akan mengurangi kapasitas darah sirkulasi dalam membawa oksigen. Model laboratorium dari cedera vaskular akut dengan perdarahan tak terkendali menjelaskan bahwa peningkatan tekanan darah arteri ke kisaran normal meningkatkan laju perdarahan yang sedang berlangsung. Berangkat dari ini muncullah konsep volume terbatas ini atau resusitasi hipotensif.3 Tujuan dari pendekatan terbatas ini adalah menyediakan resusitasi cairan yang cukup untuk memelihara perfusi organ vital dan menghindari kolaps kardiovaskular sementara menjaga tekanan darah arteri relatif rendah (misal, mean arterial pressure 60 mm Hg) dengan harapan membatasi kehilangan sel darah merah lebih lanjut sebelum pengendalian perdarahan dengan operasi dicapai. Efek buruk yang mungkin terjadi dari pendekatan ini adalah ada daerah yang dikorbankan dengan hipoperfusi regional. Efek ini bergantung pada keparahan dan lama hipoperfusi. Sirkulasi splanchnic yag paling dikhawatirkan karena ini merupakan kontributor utama dari perkembangan disfungsi organ ganda.2 Sayangnya, penilaian klinis yang akurat terhadap hipoperfusi regional belum ada saat ini. Jadi endpoint resusitasi yang optimal tidak jelas dan cenderung bervariasi dari satu pasien ke pasien lain. Suatu uji klinis acak yang bertujuan mengevaluasi resusitasi hipotensif sampai tekanan darah sistolik 70 mm Hg tidak memperlihatkan manfaat pendekatan ini dalam menurunkan mortalitas.4 Tekanan sasaran sebesar 70 mm Hg susah dipertahankan, dengan TD sistolik pada kelompok hipotensif

mencapai rata-rata 100 mm Hg. Ini menunjukkan kesulitan dalam mencapai tekanan darah hipotensif yang spesifik dalam setting resusitasi syok hemoragik yang bersifat dinamis. Dewasa ini, resusitasi volume-kecil masih sebagai konsep dan belum jelas diperlihatkan memperbaiki survival. Namun demikian, logis juga untuk mengingat konsep ini dan menghindari resusitasi cairan berlebihan.

Transfusi Darah Tidak ada patokan jelas kapan mengganti resusitasi kristaloid dengan darah, Tetapi umumnya diterima jika pasien menunjukkan perbaikan hemodinamik minimal atau sedang setelah infus cepat 2 sampai 3 L kristaloid, maka pasien tersebut membutuhkan transfusi darah. Namun demikian, bisa diterima untuk memberi darah segera jika jelas pasien telah mengalami kehilangan banyak darah dan mendekati kolaps sirkulasi. Sebagian pasien mungkin memberikan respon hemodinamik yang adekuat terhadap terapi awal dengan kristaloid yang bersifat sementara. Pada kasus-kasus demikian, infus kristaloid dilanjutkan dari 2 sampai 3 L pertama bisa digunakan untuk mendukung hemodinamik, selama perhatian ditujukan terhadap hemodilusi progresif dan efeknya terhadap hantaran oksigen.2 Hemodilusi ini juga merendahkan konsentrasi faktor-faktor pembekuan dan trombosit yang dibutuhkan untuk hemostasis intrinsik di titik perdarahan. Penilaian serial terhadap kadar hemoglobin berguna pada situasi demikian. An American Society of Anesthesiologists task force review mendapatkan bahwa kadar hemoglobin daeah >10 g/dL (hematokrit >30 %) jarang memerlukan transfusi darah, sedangkan kadar <6 g/dL (hematokrit <18 %) hampir selalu memerlukan transfusi darah. Ini menyisakan kisaran hemoglobin yang cukup lebarantara 6 dan 10 g/dLketika keputusan untuk memberikan darah sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, misal keberadaan proses penyakit dasar yang peka terhadap penurunan hantaran

oksigen dan laju kehilangan darah yang terus berlanjut. Bisa dipahami, saat kadar hemoglobin menurun, apalagi menjadi 8 g/dL atau kurang, kecenderungan membutuhkan darah meningkat secara mencolok. Bila mungkin, lebih disukai darah dari golongan sama yang telah diuji-silang. Namun pada setting akut dimana tidak ada waktu untuk uji silang lengkap, darah golongan sama adalah opsi terbaik kedua disusul oleh darah golongan O. Darah bisa diberikan sebagai whole blood atau packed RBC. Di AS, tidak ada persediaan whole blood dan hanya ada packed RBC. Pada perdarahan masif dengan resusitasi kristaloid dan darah yang cukup banyak, transfusi fresh-frozen plasma dan trombosit mungkin diperlukan untuk memulihkan koagulopati dilusional. Transfusi eritrosit jelas memulihkan hemoglobin yang hilang, namun komponen darah yang disimpan bisa saja tidak berfungsi penuh dan memiliki efek samping, yang tampaknya lebih besar jika disimpan lebih lama. Dengan pengawet yang digunakan dewasa ini, eritrosit bisa disimpan sampai 42 hari dan telah dilaporkan bahwa usia rata-rata unit darah yang diberikan di AS kira-kira berusia 21 hari. Eritrosit yang disimpan bisa kehilangan deformabilitas. Ini membatasi kemampuannya melewati jaringan kapiler atau bisa menyumbat kapiler. Kurve disosiasi oksigen berubah karena hilangnya 2,3-difosfogliserat dalam eritrosit, yang mempengaruhi pelepasan oksigen ke jaringan. Beberapa uji klinis melaporkan perburukan iskemia splansnik dan meingkatnya kekerapan disfungsi organ ganda yang berhubungan dengan transfusi eritrosit yang disimpan lebih dari 2 minggu. Oleh karena itu, transfusi eritrosit walaupun sangat penting dalam syok hemoragik berat, memiliki keterbatasanketerbatasan dan efek samping potensial yang harus selalu diingat. Transfusi PRC (packed red blood cell) dan produk darah lain bersifat esensial dalam tatalaksana syok hemoragik 5. Rekomendasi teranyar untuk pasien ICU yang stabil adalah target hemoglobin 7 sampai 9 g/dL; namun, tidak ada uji acak prospektif yang membatasi regimen transfusi restriktif dan liberal pada pasien trauma dengan syok hemoragik. Fresh frozen plasma (FFP) juga harus ditransfusi ke pasien dengan perdarahan masif atau perdarahan dengan peningkatan waktu protrombin atau APTT 1.5 lebih besar dari kontrol. Data trauma memperlihatkan keparahan koagulopati pada pasien yang baru masuk ICU memiliki nilai prediktif terhadap mortalitas. Ada data yang memberi kesan perlunya transfusi liberal dari FFP pada pasen perdarahan, namun efektivitas klinis butuh penelitian lanjut. Data baru yang dikumpulkan dari Rumah Sakit Angkatan Darat AS pada pasien yang mendapat transfusi masif packed red blood cells (>10 unit dalam 24 jam) memberi kesan bahwa rasio tinggi dari plasma : RBC (1:1.4 units) diikuti dengan survival lebih baik. Trombosit harus ditransfusi pada pasien perdarahan untuk mempertahankan kadar di atas 50 x 109/L. Ada indikasi potensial dari produk darah lain seperti konsentrat fibrinogen, jika kadar menurun < 1 g/L. Obat-obat seperti recombinant activated coagulation factor 7, dan antifibrinolitik seperti -aminocaproic acid, tranexamic acid , dan aprotinin (protease inhibitor) semuanya memiliki manfaat potensial pada perdarahan hebat namun membutuhkan penelitian lanjut. Resusitasi dengan Koloid Beberapa cairan koloid telah dipelajari secara eksperimen dan digunakan di klinis untuk tatalaksana syok hemoragik. Koloid memiliki partikel dengan berat molekul besar dengan tekanan onkotik plasma serupa dengan protein plasma. Oleh karena itu, koloid diharapkan bertahan di rongga intravaskular, menggantikan protein plasma yang hilang sebagai akibat

perdarahan, dan lebih efektif mengembalikan volume darah sirkulasi daripada kristaloid. Dukungan terhadap kegunaan koloid adalah kekhawatiran akan berpindahnya cairan kristaloid ke interstisial, termasuk edema interstisial paru dengan gangguan difusi oksigen dan edema intra-abdomen dengan berkurangnya perfusi usus. Akan tetapi, kondisi-kondisi patologis, seperti syok hemoragik dan sepsis, mengakibatkan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah yang bisa memungkinkan bocornya molekul koloid ke ekstravaskular.

Kontroversi koloid vs kristaloid: Beberapa informasi tambahan Pemilihan koloid vs kristaloid untuk resusitasi volume telah lama menjadi bahan perdebatan di kalangan praktisi rawat kritis, disebabkan kedua bentuk terapi memiliki data-data pendukung. Pada tahun 1998, British Medical Journal mempublikasi suatu meta-analisis pemakaian albumin pada pasien-pasien sakit kritis; 30 uji klinik acak dg kontrol (RCT) yang melibatkan 1419 pasien dianalisis. Kesimpulannya adalah sebenarnya albumin meningkatkan mortalitas (Timothy Evans,MD) Tinjauan ini berdampak terhadap praktik kedokteran, mempengaruhi klinisi mengurangi penggunaan albumin, tetapi kemudian dikritik karena tinjauan-tinjauan berikutnya tidak bisa menjelaskan kesimpulan para penulis 6. Belum lama berselang, kajian SAFE (Saline versus Albumin Evaluation) telah membuka wacana baru tentang isu ini. Dengan tersedianya berbagai koloid dengan sifat fisikokimia yang berbeda, kontroversi koloid vs koloid menjadi isu tambahan.7 Berikut adalah ringkasan keunggulan dan kekurangan koloid maupun kristaloid

Koloid

Keunggulan

Kekurangan

1. 2. 3. 4. 5.

Ekspansi volume Plasma tanpa disertai ekspansi volume interstisial Ekspansi volume lebih besar dibandingkan volume sama kristaloid Masa kerja lebih panjang Oksigenasi jaringan lebih baik Gradien alveolar-arterial O2 lebih kecil

1. 2. 3. 4.

Anafilaksis Mahal Albumin bisa memperburuk depresi miokard pada pasien syok, karena berikatan dengan Ca++, yang pada gilirannya menurunkan ion kalsium Kemungkinan koagulopati dan mengganggu uji silang golongan darah

Kristaloid

Keunggulan

Kekurangan

1. 2.

tersedia di mana-mana komposisi menyerupai plasma (acetated ringer, lactated ringer)

1. 2.

efek volume lebih lemah dan singkat dibandingkan koloid oksigenasi jaringan tidak sebaik koloid karena jarang antara pembuluh darah dan jaringan lebih besar

3. 4. 5.

mudah disimpan pada suhu kamar Bebas reaksi anafilaksis ekonomis

Walaupun edema interstisial merupakan komplikasi yang lebih potensial setelah resusitasi dengan kristaloid, SAMPAI SEKARANG tidak ada bukti fisiologis, klinis dan radiologis bahwa koloid lebih baik daripada kristaloid dalam penyulit edema paru.

Kajian SAFE Dalam suatu meta-analisis baru-baru ini, terlihat peningkatan mortalitas 6% pada pasien yang diberi albumin. Temuan ini menimbulkan perdebatan hebat yang akhirnya menuntun ke pembuatan desain dan implementasi SAFE study, yang disajikan oleh Simon Finfer,MD.7 Uji acak tersamar ganda ini merekrut 7000 pasien dari 16 ICU di Australia dan Selandia Baru selama kurun waktu 18 bulan. Pasien diacak mendapat albumin 4% atau normal saline sejak saat masuk ICU sampai meninggal atau pulang. Dalam 4 hari pertama, rasio albumin: saline adalah 1:1,4 yang berarti bahwa volume (koloid vs kristaloid) tidak berbeda bermakna. Tidak ada perbedaan antara kedua kelompok dalam mortalitas 28 hari oleh semua sebab. MAP, tekanan vena sentral, denyut jantung dan insiden gagal organ baru juga serupa pada kedua kelompok. Pada analisis sub-kelompok diamati perbedaan antara pasien trauma dan sepsis. RR (relative risk) kematian pada pasien dengan sepsis berat yang menerima albumin vs saline adalah 0,87. RR kematian pada pasien yang mendapat albumin tanpa sepsis berat adalah 1,05 (P=.059). Hasil ini ber-lawanan pada pasien trauma. Angka kematian pada pasien trauma lebih tinggi bila albumin vs saline digunakan untuk resusitasi volume (13,5% vs 10%, P =.055) Bila pasien dengan Traumatic brain injury (TBI) dikaji secara terpisah, angka kematian adalah 24,6% pada pasien yang mendapat albumin, dibandingkan 15% pada pasien saline (RR 1,62, 95% confidence interval, -1,12 sampai 2,34, P=0,009). Lebih dari itu, bila pasien TBI dikeluarkan, tidak ada perbedaan angka kematian pada pasien-pasien trauma. Berdasarkan hasil-hasil ini, pemberian albumin tampaknya aman selama 28 hari pada populasi pasien sakit kritis yang heterogen dan mungkin bermanfaat pada pasien sepsis berat. Akan tetapi, keamanan pemberian albumin belum jelas pada pasien trauma, termasuk traumatic brain injury(TBI). Walaupun diamati perbedaan mortalitas pada trauma dan TBI pada analisis sub-kelompok, dan dianggap memiliki validitas terbatas, ini merupakan signal kuat khususnya pada pasien TBI. Suatu kajian baru SAFE Brains sudah dirancang untuk memeriksa perbedaan-perbedaan ini. Apa saja yang menjadi sasaran dari terapi cairan resusitasi (resuscitation endpoints)?

Keberhasilan manajemen syok hemoragik atau lebih khusus lagi resusitasi cairan bisa dinilai dari parameter-parameter berikut:

Capilary refill time < 2 detik MAP 65-70 mmHg O2 sat >95% Urine output >0.5 ml/kg/jam (dewasa) ; > 1 ml/kg/jam (anak) Shock index = HR/SBP (normal 0.5-0.7) CVP 8 to12 mm Hg ScvO2 > 70%

KESIMPULAN Terapi cairan resusitasi pada pasien syok hemoragik perlu mendapat perhatian lebih serius untuk menurunkan angka mortalitas dan morbiditas. Hal-hal yang menjadi bahan pertimbangan: 1. 2. 3. 4. 5. Mengetahui stadium syok hipvolemik dan perubahan patofisiologi terkait Deteksi dini compensated shock agar cairan bisa diberikan adekuat Mengetahui berapa banyak cairan kristaloid/koloid diberikan Indikasi transfusi darah Bagaimana mengetahui keberhasilan resusitasi.

Referensi: 1. Demling RH, Wilson RF.: Decision Making in Surgical Critical Care.B.C. Decker Inc, 1988. p 64. 2. Tintinalli JE. Tintinallss Emergency Medicine: A comprehensive Study Guide, 6th e4dition 3. Stern SA: Low-volume fluid resuscitation for presumed hemorrhagic shock: Helpful or harmful? Curr Opin Crit Care 7:422, 2001. 4. Dutton RP, Mackenzie CF, Scalea TM: Hypotensive resuscitation during active hemorrhage: Impact on in-hospital mortality. J Trauma 52:1141, 2002. 5. Brunicardi, FC. Et al. Schwartz's Principles of Surgery, 9e 6. Liolios A. Volume Resuscitation: The Crystalloid vs Colloid Debate Revisited. Medscape 2004 7. SAFE Study Investigators: A comparison of albumin and saline for fluid resuscitation in the intensive care unit. N Engl J Med 2004, 350:2247-2256

You might also like