You are on page 1of 21

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penciuman adalah indera yang paling sedikit dimengerti. Keadaan ini sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa indera penghidu merupakan fenomena subjektif yang tidak mudah dipelajari pada hewan-hewan tingkat rendah. Kendala lain yang menambah kerumitan adalah pada manusia indera penghidu tidak berkembang sempurna dibandingkan sebagian besar hewan tingkat rendah. Indera penghidu yang merupakan fungsi dari nervus olfaktorius, sangat erat hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh nervus trigeminus, karena seringkali kedua sensoris ini bekerja bersama-sama. Keduanya di stimulus oleh rangsang kimiawi dan bukan rangsang fisika seperti pada penglihatan dan pendengaran.

B. Tujuan 1. !. engetahui anatomi dan fisiologi hidung engetahui macam-macam gangguan penciuman

BAB II LANDASAN TEORI


"ntuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diketahui terlebih dahulu tentang anatomi dan fisiologi hidung. A. ANATOMI #idung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. #idung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas. $truktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian % 1. !. &. bawah % 1. !. &. *. +. ,. -. .. punggung hidung (dorsum nasi) supratip area upper septum cartilago tip lower septum cartilago columella alanasi nasolabial #idung bagian dalam (kavum nasi) dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. /elah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. #idung merupakan indera penghidu yang memiliki epitel mukosa columner bersilia. 0i dalam hidung terdapat * sinus paranasal yaitu% 1. sinus frontal !. sinus sphenoid
2

yang paling atas % tulang hidung yang tak dapat digerakkan di bawahnya terdapat tulang kartilago atas dan bawah yang sedikit dapat digerakkan paling bawah adalah tip yang mudah digerakkan. 'entuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke

&. sinus ethmoid. $inus ethmoid dibagi menjadi sinus ethmoid anterior dan sinus ethmoid posterior. *. sinus maksilla B. FISIOLOGI 1eseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius (membran olfaktorius) di hidung bagian superior (biasanya sepertiga atas). $el-sel reseptor untuk sensasi penghidu adalah sel-sel ofaktorius. 2erdapat sekitar 133 juta sel seperti ini pada epitel olfaktorius. "jung mukosa dari dari sel olfaktorius ini mengeluarkan *-!+ rambut olfaktorius (silia olfaktorius) yang terproyeksi ke dalam mukus yang melapisi permukaan dalam rongga hidung. $ilia olfaktorius inilah yang memberi respon terhadap rangsangan kimia. $ubstansi yang berbau, yang tercium pada saat kontak dengan permukaan membran olfktorius, mula-mula menyebar secara difus ke dalam mukus. $elanjutnya, akan berikatan dengan protein reseptor di membran setiap silium. 4ktivasi protein reseptor oleh substansi bau dapat mengaktivasi kompleks protein-5. #al ini kemudian mengaktivasi banyak molekul adenilat siklase di bagian dalam membran sel olfaktorius. 4ktivasi siklase ini mengubah molekul adenosin trifosfat intrasel menjadi adenosin monofosfat siklik (c4 P). 4khirnya c4 P membuka kanal ion natrium yang dapat meningkatkan potensial listrik sehingga merangsang neuron olfaktorius dan menjalarkan potensial aksi ke dalam system saraf pusat melalui nervus olfaktorius. Penjalaran berjalan dari akson yang menembus lamina kribiformis menuju neuron ke ! di bulbus olfaktorius. 0ari bulbus olfaktorius selanjutnya masuk ke traktus olfaktorius. 2raktus olfaktorius memasuki otak pada sambungan anterior antara mesensefalon dan serebrum6 disini traktus akan terbagi menjadi dua jaras, satu berjalan medial menuju area olfaktori medial, dan yang lain berjalan lateral menuju area olfaktorius lateral. 4rea olfaktorius medial mewakili sistem olfaktorius yang paling tua sedangkan area olfaktorius lateral merupakan input untuk sistem olfaktorius yang muda dan sistem olfaktorius yang paling baru. $istem olfaktorius paling tua7medial terdiri dari sekelompok nuclei yang terletak di bagian tengah basal otak tepat di anterior hipotalamus. $ebagian besar bentuk yang mencolok ini adalah nuklei septum yang merupakan nuclei di garis tengah yang masuk ke dalam hipotalamus dan bagian primitive lainnya dalam sistem limbik otak. $istem ini mencetuskan refle8 olfaktorius paling dasar. $istem olfaktorius kurang tua7lateral terutama dari korteks piriformis dan korteks prepiriformis ditambah bagian kortikal nuklei amygdaloid. 0ari daerah ini, jaras
3

sinyal berjalan hampir ke semua bagian sistem limbik seperti hipokampus yang tampaknya menjadi hal penting dalam proses belajar untuk menyukasi atau tidak menyukai makanan tertentu yang bergantung pada pengalaman seseorang terhadap makanan sehingga sistem ini yang memberikan pengaturan otomatis tetapi sebagian berasal dari pengendalian mengenai asupan makanan dan penolakan makanan yang tidak sehat dan beracun. 5ambaran penting area olfaktorius lateral adalah bahwa sebagian besar jaras sinyal dari area ini langsung masuk ke bagian korteks serebri yang lebih tua yang disebut paleokorteks dalam bagian anteromedial lobus temporalis. Ini adalah satu-satunya area dari seluruh korteks serebri yang merupakan tempat sinyal sensorik berjalan langsung ke korteks tanpa terlebih dahulu melewati thalamus. $istem yang lebih baru berjalan melalui thalamus melewati dorsomedial nucleus talamik kemudian ke kuadran lateroposterior korteks orbitofrontalis. $item yang lebih baru yang sebanding dengan sebagian besar sistem sensorik kortikan lainnya dan digunakan untuk persepsi dan analisis olfaksi secara sadar. $istem olfaktorius memiliki hubungan dengan sistem limbic seperti yang telah dijelaskan di atas. #al ini dapat terlihat bahwa penciuman dapat terekam dan memicu suatu respon emosional.

9ungsi hidung ialah untuk% 1. :alan napas% Inspirasidan ekspirasi


4

!.

4lat mengukur kondisi udara (air conditioning) % 9ungsinya untuk mempersiapkan udara akan masuk ke dalam alveolus paru. 9ungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.

&.

$istem pertahanan % terdapat silia dan mukus yang berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri.

*. +.

$ebagai indera penghidu "ntuk resonansi suara % Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. #idung tersumbat akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang sehingga suara sengau.

C. PERDARAHAN #idung diperdarahi oleh% 4rteri ethmoid anterior % memperdarahi bagian depan septum 4rteri ethmoid posterior % memperdarahi bagian konka media dan sinus ethmoid 4rteri spheno palatine % memperdarahi setengah hidung bagian belakang

D. PERSYARAFAN 'agian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dan n.oftalmikus (;.<-I). ;ervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada rnukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

BAB III PEMBAHASAN


5

A. De !n!"! 5angguan penciuman adalah suatu kelainan dimana terhalangnya partikel bau ke reseptor saraf atau terganggunya nervus olfaktorius, mulai dari reseptor sampai pusat olfaktorius. ;ormalnya partikel bau dapat mencapai reseptor penghidu bila seseorang menarik napas dengan kuat atau partikel tersebut larut dalam lendir yang selalu ada di permukaan mukosa daerah olfaktorius. B. Et!#l#g! =tiologi gangguan penghidu dapat dibedakan menjadi ! macam yaitu defek konduktif dan defek sentral7sensorineural. a. 0efek konduktif % Proses inflamasi7peradangan dapat mengakibatkan hiposmia. Kelainannya meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika, akut, atau toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinus kronik menyebabkan penyakit mukosa yang progresif dan seringkali diikuti dengan hiposmia meski telah dilakukan intervensi medis, alergis dan pembedahan secara agresif.

4danya massa7tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi aliran odorant ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering), inverting papilloma, dan keganasan.

4bnormalitas

developmental

(misalnya

ensefalokel,

kista

dermoid) juga dapat menyebabkan obstruksi. Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita hiposmia karena berkurang atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak dengan trakheotomi dan dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang lama kadang tetap menderita gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi, hal ini terjadi karena tidak adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini. 2rauma kepala. Prevalensi anosmia dan hiposmia terjadi seiring dengan keparahan trauma kepala yang terjadi. 'eberapa ini adalah mekanisme trauma kepala yang sering menyebabkan gangguan fungsi penghidu, diantaranya adalah injuri pada hidung, sinus, robeknya a8on pada olfaktori yang melewati cribiform plate, kontusio pada bulbus olfaktori dan kerusakan pada area olfaktori di korte8 cerebri. Injuri ini disebabkan karena pergerakan yang tiba-tiba pada otak di dalam tempurung kepala, mekanisme ini yang paling sering menyebabkan anosmia terkait cedera kepala. ;euron olfaktori mempunyai kemampuan untuk regenerasi dan mengembalikan fungsi penghidunya, tetapi hanya sekitar 13> pasien dari ?? pasien dengan fungsi penghidu yang hilang akibat trauma yang menunjukkan perbaikan dalam 1 tahun. Pasca-trauma juga dapat menyebabkan parosmia,
7

penciuman bau sangat berbeda dengan yang seharusnya. Pada

keadaaan ini, pasien biasanya mencium bau yang tidak enak dan kadang-kadang sensasi ini timbul secara spontan. 2rauma wajah. 0eformitas pada nasal atau sinus karena jaringan parut dapat menyebabkan gangguan olfaktori pada pasien yang mengalami trauma fasial7wajah. 0isrupsi baik itu kerusakan atau robek pada jalur olfaktori saat memasuki lubang-lubang kecil di cribiform plate untuk bersinaps di bulbus olfaktori dapat menyebabkan kerusakan sel-sel reseptor pembauan. @perasi nasal. Pasien yang menjalani operasi nasal untuk kasus sinusitis atau penyakit septal mempunyai beberapa hasil yang bervariasi dalam kaitannya dengan fungsi penghidu. eskipun ada transient gangguan fungsi penghidu,itu hanya terjadi pada sepertiga pasien dari ?& pasien dan permanent anosmia terjadi hanya pada 1 pasien pada sekali series prosedur operasi. b. 0efek sentral7sensorineural Proses infeksi7inflamasi menyebabkan defek sentral dan

gangguan pada transmisi sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel), sarkoidosis (mempengaruhi stuktur saraf), Aegener granulomatosis, dan sklerosis multiple. 2umor intracranial yang menekan ;. olfaktorius mula-mula akan menaikkan ambang penghidu dan mungkin akan menimbulkan masa kelelahan penghidu yang makin lama makin memanjang. @steomata atau meningioma di dasar tengkorak atau sinus paranasal dapat menimbulkan anosmia unilateral. 5angguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, 0 ) berpengaruh pada fungsi pembauan. 2rauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat menyebabkan regangan, kerusakan atau terpotongnya filia olfaktoria yang halus dan mengakibatkan anosmia.
8

#iposmia juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obat-obatan sistemik atau inhalasi . @bat-obatan diantaranya beta blocker, obat antitiroid, dihydropyridin (calcium channel blocker) dan angiotensin converting enByme (4/=) inhibitors. Intranasal Binc, yang digunakan untuk common cold, terbukti menyebabkan anosmia. $enyawa yang dapat mempengaruhi indra penciuman diantaranya methacrylate vapors, ammonia, benBene, debu cadmium, chromate, formaldehyde, hydrogen sulfide, debu nikel, solvents, and asamsulfur. 0efisiensi giBi (vitamin 4, thiamin, Bink) terbukti dapat mempengaruhi pembauan. :umlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1> per tahun. 'erkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena berkurangnya sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif di susunan saraf pusat. Proses degeneratif pada sistem saraf pusat. Pada proses penuaan ada penurunan luas permukaaan area epithelium olfaktori dan penurunan inervasi adrenergic pada lamina propria serta elemen calcium binding protein juga menurun jumlahnya. Pada bulbus olfaktori juga mengalami perubahan degenerative sehingga jumlah badan sel dan neuron berkurang jumlahnya. 2elah diperkirakan bahwa bulbus olfaktori mengandung kira-kira ,333 mitral sel saat umur !+ tahun menjadi 1*+33 sel mitral saat berumur ?+ tahun. =pilepsy unsinatus % kakosmia biasanya terjadi pada penderita epilepsy lobus temporal. 'iasanya pasien akan didahului oleh aura penghidu. Pada keadaaan ini, pasien seringkali merasakan halusinasi bau yang timbul berupa bau busuk atau bau sesuatu yang terbakar, jarang yang bau wangi. :aringan yang abnormal

kemungkinan menjadi sumber bau yang tidak menyenangkan bagi pasien. kelainan psikologik (rendah diri) % pada pasien yang merasa rendah diri mungkin merasakan dirinya merasakan bau badan atau bau napas dirinya sendiri. kelainan psikiatrik (depresi dan psikosis)

C. Pat# !"!#l#g! Indra penciuman dan pengecapan tergolong ke dalam system penginderaan kimia(chemosensation). Proses yang kompleks dari mencium dan mengecap di mulai ketika molekulCmolekul dilepaskan oleh substansi di sekitar kita yang menstimulasi sel syaraf khusus dihidung, mulut atau tenggorokan. $elCsel ini menyalurkan pesan ke otak, dimana bau dan rasa khusus di identifikasi. $elCsel olfaktori (saraf penciuman) di stimulasi oleh bau busuk di sekitar kita. /ontoh aroma dari mawar adonan pada roti. $elCsel saraf ini ditemukan di sebuah tambahan kecil dari jaringan terletak diatas hidung bagian dalam, dan mereka terhubung secara langsung ke otak penciuman (olfaktori) terjadi karena adanya molekulCmolekul yang menguap dan masuk kesaluran hidung dan mengenal olfactory membrane. anusia memiliki kiraCkira 13.333 sel reseptor berbentuk rambut. 'ila molekul udara masuk, maka selCsel ini mengirimkan impuls saraf (Doncent, 1?..). Pada mekanisme terdapat gangguan atau kerusakan dari selCsel olfaktorus menyebabkan reseptor tidak dapat mengirimkan impuls menuju susunan saraf pusat. 4taupun terdapat kerusakan dari sarafnya sehingga tidak dapat mendistribusikan impuls reseptor menuju efektor, ataupun terdapat kerusakan dari saraf pusat di otak sehingga tidak dapat menterjemahkan informasi impuls yang masuk.

D. Gejala $l!n!" 5angguan penciuman dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu % 1. 5angguan kuantitatif % kehilangan atau penurunan kemampuan penciuman (anosmia, hiposmia) !. 5angguan kualitatif % distorsi atau ilusi dari penciuman (parosmia)
10

&. #alusinasi penciuman (kakosmia) dikarenakan gangguan lobus temporal atau gangguan psikiatrik *. Kehilangan kemampuan dalam diskriminasi penciuman E. $la"! !ka"! acam-macam gangguan penghidu dapat dibedakan menjadi hiposmia, anosmia, parosmia, dan kakosmia. 1. #iposmia 0efinisi % hiposmia (0ecrease $ense of $mell) adalah suatu keadaan dimana berkurangnya daya penghidu seseorang. Prognosis % Prognosis hiposmia sebagian besar bergantung pada etiologinya. #iposmia akibat obstruksi yang disebabkan oleh polip, neoplasma, pembengkakan mukosa, atau deviasi septum dapat disembuhkan. 'ila sumbatan tadi dihilangkan, kemampuan penciuman semestinya kembali.

!. 4nosmia 0efinisi % anosmia (/omplete Doss of $mell) adalah suatu keadaan dimana hilangnya daya penghidu seseorang. Prognosis % anosmia akibat kerusakan ;. olfaktorius karena infeksi virus biasanya memiliki prognosis yang buruk karena tidak dapat diobati.

&. Parosmia 0efinisi % parosmia (Preverted $ense of $mell) adalah suatu keadaan dimana sensasi penghidu seseorang berubah Prognosis % pada kelainan parosmia pasca-trauma mungkin akan dapat sembuh, yang biasanya akan terjadi dalam beberapa minggu setelah trauma. 2etapi bila setelah & bulan tidak membaik, berarti prognosisnya menjadi buruk.
11

*. Kakosmia 0efinisi % (Perception of ;on =8istent 9oul @dors) adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami halusinasi bau. 'iasanya keadaan ii dialami oleh pasien skiBofrenia, dimana stimulus berasal dari ekstrinsik dan disebabkan oleh seseorang yang menjadi stressor pasien. Pada depresi, stimulus berasal dari intrinsic dan lebih meluas. 4da beberapa pendapat yang mempercayai bahwa kelompok amygdale nuclei adalah sumber dari halusinasi. Prognosis % prognosis kakosmia bergantung terhadap etiologinya.

F. DIAGNOSIS 0iagnosis gangguan penghidu dapat ditegakkan dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. 4namnesis % pada annamnesis didapatkan beberapa keluhan berupa hilangnya daya penghiduan, kurang tajamnya penciuman, daya penciuman yang terlalu peka, gangguan penciuman bilamana tercium bau yang tidak sesuai misalnya minyak kayu putih tercium sebagai bau bawang goreng. Penciuman yang tidak menyenangkan atau yang memuakan seperti bacin, pesing dsb. 0igunakan istilah lain yaitu kakosmia, bila tercium suatu modalitas olfaktorik tanpa adanya perangsangan. $elain itu, perlu ditanyakan lama keluhan, apakah dirasakan terus menerus atau hilang timbul dan apakah unilateral atau tidak. Pada parosmia atau kakosmia perlu lebih dijelaskan baunya yang bagaimana. 4dakah penyakit atau trauma yang diderita sebelumnya dan macam obat serta lama pemakaiannya. $elain itu perlu diketahui apakah ada kelainan sensoris lain seperti pengecap dan penglihata. Pemeriksaan fisik % Pemeriksaan fisis untuk menilai letak kelainan pada gangguan penciuman dapat dilakukan evaluasi nasal dengan cara pemeriksaan rinoskopi anterior. 1inoskopi 4nterior adalah pemeriksaan rongga hidung dari depan dengan memakai spekulum hidung. 2angan kiri memegang speculum dengan ibu jari (di atas7depan) dan jari telunjuk (dibawah7belakang) pada engsel speculum. :ari tengah diletakan dekat
12

hidung, sebelah kanan untuk fiksasi. :ari manis dan kelingking membuka dan menutup spekulum. $peculum dimasukkan tertutup ke dalam vestibulum nasi setelah masuk baru dibuka. 2angan kanan bebas % dapat membantu memegang alat-alat pinset dan kait dsb, menahan kepala dari belakang7tengkuk atau mengatur sikap kepala. dengan meregangkan ala nasi. hidung. #al-hal yang harus diperhatikan pada rinoskopi anterior % ukosa. 0alam keadaaan normal berwarna merah muda, pada radang berwarna merah, pada alergi pucat atau kebiruan (livid) $eptum. ;ormalnya terletak ditengah dan lurus, perhatikan apakah terdapat deviasi, krista, spina, perforasi, hematoma, abses, dll. Konka. $ekret. assa. Perhatikan apakah konka normal (eutrofi), hipertrofi, 'ila ditemukan sekret perhatikan jumlah, sifat dan hipotrofi atau atrofi lokalisasinya Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat apakah ada kelainan anatomik yang menyebabkan sumbatan hidung, perubahan mukosa hidung, tanda-tanda infeksi dan adanya tumor. Pada pemeriksaan nasal, mukosa nasal dievaluasi warna, struktur, edema, inflamasi, eksudat, ulserasi, metaplasia epitel, erosi, ataupun atrofi. :ika didapatkan rhinore purulen pada cavitas nasi, mungkin terjadi suatu rhinitis. :ika rhinore berasal dari meatus media, maka mungkin terjadi sinusitis ma8illaries dan ethmoidalis anterior. :ika rhinore berasal dari meatus superior atau recessus sphenoethmoidalis maka kemungkinan terjadi sinusitis ethmoidal posterior atau sphenoid. 4danya massa, polip, adhesi, ataupun deviasi septum memiliki potensi dalam penurunan aliran udara menuju epitel olfaktorius. :ika terjadi alergi, maka mukosa akan terlihat pucat dan edem. Paparan polutan pabrik yang akut ataupun kronik akan memberikan gambaran metaplasia epitel berupa edem, inflamasi, eksudat, erosi, ataupun ulserasi. 4trori dari lamina propria menunjukkan suatu rhitnitis atrofi atau rhinitis medikamentosa. $etelah dilakukan pemeriksaan rhinoskopi anterior, maka dilakukan tes penciuman. Pemeriksaan sensoris fungsi penciuman dibutuhkan untuk memastikan elebarkan nares anterior elihat jelas dengan menyisihkan rambut

13

keluhan pasien, mengevaluasi kemanjuran terapi, dan menentukan derajat gangguan permanen. 1. Dangkah pertama menentukan sensasi kualitatif Dangkah pertama dalam pemeriksaan sensorik adalah menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif. 'eberapa metode sudah tersedia untuk pemeriksaan penciuman. a. 2es @dor sti8 2es @dor sti8 menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol yang menghasilkan bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar &-, inci dari hidung pasien untuk memeriksa persepsi bau oleh pasien secara kasar. 2es alkohol 1! inci C $atu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap bau, tes alkohol 1! inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja dibuka dan dipegang pada jarak sekitar 1! inci dari hidung pasien. b. $cratch and sniff card 2ersedia scratch and sniff card yang mengandung & bau untuk menguji penciuman secara kasar. c. 2he "niversity of Pennyslvania $mell Identification 2est ("P$I2) 2es yang jauh lebih baik dibanding yang lain adalah "P$I26 ia sangat dianjurkan untuk pemeriksaan pasien dengan gangguan penciuman. 2es ini menggunakan *3 item pilihan-ganda yang berisi bau-bauan scratch and sniff berkapsul mikro. $ebagai contoh, salah satu itemnya berbunyi E'au ini paling mirip seperti bau (a) coklat, (b) pisang, (c) bawang putih, atau (d) jus buah,F dan pasien diharuskan menjawab salah satu dari pilihan jawaban yang ada. 2es ini sangat reliabel (reliabilitas tes-retes jangka pendek r G 3,?+) dan sensitif terhadap perbedaan usia dan jenis kelamin. 2es ini merupakan penentuan kuantitatif yang akurat untuk derajat relatif defisit penciuman. @rang-orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya akan mencapai skor pada kisaran --1? dari maksimal *3. $kor rata-rata untuk pasienpasien anosmia total sedikit lebih tinggi dibanding yang
14

diperkirakan menurut peluang saja karena dimasukannya sejumlah trigeminal. !. Dangkah ke-dua menentukan ambang deteksi $etelah dokter menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif, langkah kedua pada pemeriksaan sensorik adalah menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol feniletil. 4mbang ini ditetapkan menggunakan rangsangan bertingkat. $ensitivitas untuk masing-masing lubang hidung ditentukan dengan ambang deteksi untuk fenil-teil metil etil karbinol. 2ahanan hidung juga dapat diukur dengan rinomanometri anterior untuk masing-masing sisi hidung. 0alam pemeriksaan fisis, kita juga harus memperhatikan adanya tandatanda demensia (intensi, disfungsi memori, apati, disorientasi) pada pasien dengan gangguan penciuman. Pemeriksaan penunjang % pasien diminta untuk menghidu alkohol, kopi, minyak wangi dan feses. $etelah itu pasien pasien dicoba untuk mencium amoniak. 4moniak akan merangsang ;. trigeminus, bukan ;. olfaktorius. /2 $can $ensitivitas dari /omputed 2omografi (/2) pada jaringan lunak menjadikan pemeriksaan ideal pada cavitas sinonasal. $emua cavitas nasal, sinur paranasal, palatum durum, anterior skull base, orbit, dan nasopharyng dapat terlihat. Potongan coronal dapat menilai anatomi dari paranasal dan region anterior nasoethmoidal. "ntuk menilai lesi vaskuler, tumor, abses, dan prosessus meningeal dan parameningeal, /2 scan dengan kontras dapat dilakukan. 1I % tulang. 1I lebih baik dari pada /2 untuk mengidentifikasi 1I dapat mengidentifikasi bulbus olfaktorius, traktus jaringan lunak namun kurang sensitive untuk kelainan kortikal olfaktorius, dan proses intracranial yang dapat menyebabkan disfungsi penciuman serta lebih jelas pada potongan coronal. bau-bauan yang beraksi melalui rangsangan

15

Pemeriksaan laboratorium % gula darah, pemeriksaan reduksi urin, dll. Pemeriksaan ini dapat diindikasikan untuk menemukan suatu proses infeksi, nutrisi, serta proses hematopoietic. "ntuk mengidentifikasi proses autoimun atau inflamasi dapat dilakukan pemeriksaan sedimen eritrosit. G. PENATALA$SANAAN Pasien dengan keluhan disfungsi olfaktorius harus menjalani berbagai pemeriksaan untuk mengetahui penyebab dasarnya karena pada pasien gangguan penghidu, yang akan diterapi adalah penyebabnya. 1. Penyakit nasal dan sinus. 4da beberapa consensus yang menyatakan bahwa pasien dengan rhinitis alergi dan polip nasal dapat diterpai dengan kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid intranasal topical. Kosrtikosteroid sistemik adalah anti inflamasi potensial yang bekerja dengan mengurangi produksi mucus sehingga partikel bau dapat mencapai neuroepitel olfaktorius. =fek samping dari pemakaian kortikosteroid sistemik adalah meningkatkan tekanan darah sehingga hanya dianjurkan untuk pemakaian jangka pendek. Kortikosteroid topical intranasal merupakan alternative lain. =fek samping dari pemakaian biasanya ringan yaitu mukosa kering dan bersin. 5olding-Aood et al melakukan studi pada lima belas pasien dengan hiposmia disertai rhinistis perinnial. $etiap pasien diberikan tiga tetes betametason setiap hari selama , minggu dan dievaluasi dengan "P$I2 sebelum dan setelah terapi. #asilnya menunjukkan bahwa semua pasien mengalami perbaikan dalam score tes setelah terapi. @leh karena itu steroid topical dianjurkan sebagai terapi yang efektif untuk polip nasal dan rhinitis perennial. 'eberapa faktor mempengaruhi dalam terapi penyakit nasal dan sinus, sebagai contoh angka rekuren pada polip nasal dan kesulitan dalam terapi lokal. $ebagai contoh efek steroid topical akan terbatas pada edema mukosa cavitas nasal dimana akan menghambat penerimaan steroid. $elain itu, intervensi bedah dapat dilakukan untuk mengurangi obstruksi nasal dan memperbaiki kemampuan penciuman. Prosedur pembedahan berupa endoscopi ethmoidectomy. ;amun hal ini merupakan pilihan terakhir karena akan memberikan rasa sakit yang hebat dan tidak menjamin akan sukses.
16

!. 2rauma kepala7 post trauma $istem olfaktorius memiliki kemampuan untu beregenerasi.;amun demikian, pada beberapa kasus trauma kepala berat, fungsi olfaktorius tidak mengalami perbaikan. 2idak diketahui secara pasti factor yang dapat menyebabkan hal ini ?. @nset regenerasi terjadi tiga bulan setelah trauma, diatas satu tahun kemungkinan perbaikan sangat tipis. Perbaikan yang cepat dpat terjadi contohnya pemisahan bekuan darah dan perbaikan yang lambat dikarenakan regenerasi pada elemen neural. Perbaiakn secara menyeluruh dapat berlangsung hingga + tahun. $elama penyembuhan, beberapa anosmia dilaporkan memiliki episode parosmia. Aright (1?.-) memperkirakan hal ini terjadi karena fungsi dari sistem olfaktorius sangat minimal. Penyembuan dari sistem olfaktorius pada trauma kepala bergantung pada tingkat keparahan dari kerusakan bulbus olfaktorius, respon inflamasi local, dan luas kerusakan jaringan yang terakumulasi antara bulbus olfaktorius dengan lamina kribiformis. Penelitian yang dilakukan oleh de8amethason pada asayohsi dan 1ichard menunjukkan bahwa pemberian pasien disfungsi olfaktorius post trauma kepala

menunjukkan penurunan luas jaringan yang rusak serta akumulasi dari makrofag dan astrosit. #al ini menunjukkan efek dari anti inflamasi memilki fungsi theraupetic pada olfactory nerve injury. $elain itu, dilaporkan pula bahwa steroid efektif dalam mengurangi scar formasi jaringan dalam cedera spinal cord. $tudiini menunjukkan bahwa pemberian steroid pada fase akut memnerikan hasil efektif dalam perbaikan sistem olfaktorius. @leh karena itu, waktu pemberian steroid meurpakan factor utama dalam dan akan memberikan hasil yang berbeda pada pemberian steroid yang lambat. &. Infeksi saluran nafas atas Pada kasus ini , tidak ada pengobatan yang spesifik yang dapat dilakukan. 'eberapa studi menjelaskan bahwa terjadi penyembuhan secara spontan dengan mekanisme yang masih belum jelas. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar mengalami perbaikan pada , bulan setelah onset. Penggunaan vitamin 4 dan Binc masih memberikan kontroversi. Pasien dengan gangguan penciuman dan pengecapan yang diterapi dengan suplemen Binc tidak memberikan perbaikan. 2erapi dengan vitamin 4 tidak sepenuhnya dianjurkan. $tudi yang dilakukan oleh 0uncan dan 'riggs (1?,!) menunjukkan bahwa pasien dengan
17

anosmia yang diterapi dengan vitamin 4 memberikan respon yang baik. <itamin 4 berfungsi dalam regenerasi sel olfaktorius pada mucus dan kelenjar serous. *. 5angguan pada sistem saraf pusat Pada kasus dimana tumor merupakan penyebab primer, maka pengangkatan tumor dengan tujuan memperbaiki jalur olfaktorius merupakan terapi yang tepat. 2erapi pada meningioma adalah eksisi total, termasuk perlekatan pada dura. Pada tumor di fossa anterior dilakukan anterior dan anterolateral craniofacial resection (/91) untuk mengeluarkan tumor dari fossa anterior dan medial. 4nterior /91 mencakup struktur anterior-mid line dan paramedian dari basis crania. $inus ethmoidalis superior, dinding anterior dari sphenoid posterior, sinus frontal bagian anterior, dan nasofaring bagian inferior juga termasuk dalam /91. Indikasi dari /91 ini adalah % a. reseksi tumor malignan pada sinus paranasal yang mencakup sinus frontal7ethmoid dengan keterlibatan bagian proksimal dari atas ethmoid atau lamina kribiformi b. reseksi dari tumor benigna di sinus paranasal, meanings, dan basis crania yang melibatkan atau meluas ke seluruh basis crania. 4nterior /91 dapat dilakukan secara bicoronal dan insisi dari facial paranasal diikuti dengan pembukaan tulang facial, dinding medial dari orbita, identifikasi dan kauterisasi pembuluh darah ethmoidal anterior dan posterior. $ecara anterior, dilakukan pemotongan dari level fossa lacrimal dingga level nasion dan secara posterior, pada level posterior dari foramina ethmoidal. Pada keadaan ini, craniotomy bifrontal dilakukan. Insisi bicoronal dilakukan untuk dapat mencapai secara luas bagian tulang frontal dan dilakukan untuk memperbaiki defek dari fossa anterior. 'agian bawah dura dapat dlihat dari lamina kribiformis ke planum sphenoidake (jika dura juga terlibat maka mobilisasi dilakukan lebih lateral dan dura yang terlibat akan diresesksi bersama tumor. Pemotongan dilakukan di bagian luar tumor, melewati atap ethmoid7lateral orbit, planum sphenoidal ke posterior sinus sphenoidale, atap sinus frontal ke anterior sinus ethmoidal. 2umor yang melekat pada lamina perpendicular dari ethmoid dipisahkan dengan gunting. assa dikeluarkan melalui transfacial, dan Perawatan post operasi memisahkan perlekatan dengan mukosa sekitar.

ditujukan untuk meminimalkan terjadinya udem cerebri. 2erapi steroid dapat diberikan dengan tapering dosis. $elain itu juga harus dicegah terjadi hidrasi
18

yang berlebihan dengan edukasi pasien untuk sering melakukan elevasi pada kepala demi mencegah aliran balik vena. 1esiko tumor mengalami rekuren tergantung dari luasnya eksisi. Pada kasus neuroblastoma olfaktori, dilakukan kombinasi antara permbedahan dan radioterapi dengan angka survival rate nya ,3> untuk & tahun dan *3> untuk + tahun. Pada beberapa kasus, kronik disosmia dapat memberikan manifestasi depresi, nausea, dan penurunan berat badan, maka dalam kondisi ini intervensi bedah dapat dilakukan. :ika disosmia terjadi unilateral, maka intervensi bedah unilateral dapat memperbaiki masalah yang terjadi. Pendekatan bedah, ablasi intranasal dan jaringan dari epitel olfaktorius pada sisi yang bermasalah lebih konservatif dan kurang invasive dibandingkan operasi perbaikin bulbus olfaktorius dan traktusnya melalui suatu proses craniotomy. 2erapi pada pasien dengan anosmia diserta gangguan sensorineural merupakan suatu tantangan. Aalaupun ada beberapa pendapat mengenai terapi Bink dan vitamin, namun belum memiliki bukti empiris. Pada pasien dengan kehilangan penciuman dalam waktu yang lama dapat mengindikasikan suatu kerusakan neural dan neuroepitel olfaktorius dan memberikan suatu prognosis yang buruk serta tidak dapat diterapi. Pada pasien psikiatrik, haloperidol dapat mengontrol halusinasi dan parosmia. Intervensi bedah dapat dilakukan yaitu eksisi dari mukosa olfaktorius pada pasien dengan unilateral phantosmia. $etelah operasi, pasien tidak memilki kemampuan penciuman tapi kemudian akan membaik. 0isimpulkan bahwa ada dua alasan yang mendasari sehingga operasi jenis ini dapat berhasil yaitu % 1. !. neuron yang melakuakn regenerasi dan menghasilkan bau yang tidak menyenangkan telah diangkat epitel olfaktorius di eksisi dan dihubungkan dengan bulbus olfaktorius yang tidak benar sehingga menginterpretasikan sinyal.

19

BAB I% PENUTUP

$e"!&'ulan 5angguan penghidu adalah suatu kelainan yang ditandai dengan gangguan kuantitatif dan kualitatif pada penciuman. 5angguan penghidu merupakan suatu kelainan yang terjadi karena didasari oleh suatu kelainan primer. Kelainan tersebut dapat berupa kelainan konduksi, kelainan sensoneural maupun kelainan pada sistem saraf pusat. 5angguan penghidu dapat diklasifikasikan menjadi hiposmia, anosmia, parosmia, dan kakosmia. 5angguan penghidu dapat di diagnosa dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

20

5angguan penghidu di tangani berdasarkan etiologinya. 0an prognosisnya berbanding lurus dengan tingkat keparahan kelainan primernya. $emakin berat kelainan primernya, maka semakin buruk prognosisnya.

21

You might also like