You are on page 1of 12

46

BAB V TANGGAP FUNGSIONAL PARASITOID Anastatus dasyni FERR. (HYMENOPTERA: EUPELMIDAE) TERHADAP TELUR KEPIK PENGISAP BUAH LADA
[Functional response of Anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera: Eupelmidae) to eggs of pepper bug] Abstrak Anastatus dasyni adalah salah satu spesies parasitoid yang paling penting yang memarasit telur kepik pengisap buah lada Dasynus piperis. Studi dilakukan dengan tujuan untuk mengukur tanggap fungsional parasitoid di laboratorium. Parasitoid dipelihara secara individu di dalam tabung gelas (d = 1,5 cm; p = 17.0 cm) yang di dalamnya berisi telur kepik lada dengan kerapatan 1, 2, 3, 4, 6, 8, 10, 12, atau 14 telur D. piperis. Regresi logistik diterapkan untuk memeriksa bentuk tanggap fungsional. Regresi nonlinear digunakan untuk menduga laju pencarian seketika (a) dan masa penanganan inang (Th). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa parasitoid A. dasyni memperlihatkan tanggap fungsional tipe II. Persamaan cakram Holling dan persamaan acak sama sesuainya terhadap data pengamatan dengan R2 = 0.91. Laju pencarian inang seketika dan masa penanganan inang berturut-turut adalah 0.049 0.003 jam-1 dan 1.087 0.135 jam untuk persamaan cakram, dan 0.194 0.042 jam-1 dan 2.011 0.182 jam untuk persamaan acak. Jumlah maksimum telur yang dapat diparasit berdasarkan persamaan cakram dan persamaan acak masing-masing adalah 22 dan 12 butir. Mempertimbangan perilaku peneluran A. dasyni, persamaaan cakram tampaknya lebih sesuai untuk memerikan tanggap fungsional parasitoid. Kata kunci: Anastatus dasyni, Dasynus piperis, parasitoid, tanggap fungsional Abstract Anastatus dasyni is one of the most important egg parasitoids of pepper bug, Dasynus piperis. This study was carried out to measure the functional response of the parasitoid in laboratory. The parasitoid was individually reared for 24 h in test tube (d=1.5 cm; l = 17.0 cm) containing either 1, 2, 3, 4, 6, 8, 10, 12, or 14 D. piperis eggs. A logistic regression analysis was performed to determine the type of functional response for the parasitoid. A nonlinear regression approach was used to estimate the instantaneous search rate (a) and handling time (Th). Results of the study showed that A. dasyni demonstrated a type II functional response. Hollings disc equation and random equation fitted equally to the data with R2 value was 0.91. The instantaneous searching rate and handling time for Holling disc equation were 0.049 0.003 h-1 and 1.087 0.135 h, respectively, and for random equation 0.194 0.042 h-1 and 2.011 0.182 h, respectively. The maximum number of D. piperis eggs which were able to be parasitized based on the disc and random equations were 22 and 12 individuals, respectively. According to the oviposition behavior of A. dasyni, the disc

47 equation seemed to be more appropriate for describing the parasitoid functional response. Key words: Anastatus dasyni, Dasynus piperis, parasitoid, functional response Pendahuluan Kepik pengisap buah lada, Dasynus piperis China (Hemiptera: Coreidae), merupakan hama utama pada pertanaman lada. Laba et al. (2004) melaporkan rataan tingkat serangan hama ini pada pertanaman lada di Bangka mencapai 36,8%. Di Lampung dilaporkan bahwa serangan kepik D. piperis mengakibatkan penurunan hasil panen sebesar 15% (Suprapto & Thomas 1989). Untuk mengendalikan hama ini, petani umumnya melakukan aplikasi insektisida setiap bulan selama masa perbungaan hingga panen, atau sebanyak 10 kali aplikasi selama setahun. Karena persyaratan yang ketat terhadap residu pestisida di

pasaran internasional, pengendalian hayati kini tengah dikembangkan sebagai salah satu komponen utama pengendalian hama terpadu di perkebunan lada. Salah satu musuh alami hama ini yang paling penting adalah parasitoid telur Anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera: Eupelmidae), dengan tingkat parasitisasi di lapangan berkisar antara 75% hingga 84% (Deciyanto et al. 1993; Trisawa et al. 2007). Kemampuan musuh alami mengatur populasi hama salah satunya ditentukan oleh tanggap fungsional (Solomon 1949). Tanggap fungsional suatu parasitoid didefinisikan sebagai hubungan antara banyaknya inang yang diparasit dengan kerapatan inang. Dikenal ada tiga tipe tanggap fungsional yaitu I, II, dan III (Holling 1959). Pada tanggap fungsional tipe I proporsi inang terparasit bersifat konstan, sehingga hubungan antara banyaknya inang yang terparasit dan kerapatan inang bersifat linear. Pada tanggap fungsional tipe II proporsi inang

yang terparasit menurun tajam dengan bertambahnya kerapatan inang. Pada tanggap fungsional tipe III proporsi inang yang terparasit awalnya meningkat, tetapi kemudian secara berangsur menurun dengan meningkatnya kerapatan inang. Pengetahuan tentang tanggap fungsional dapat digunakan untuk menapis musuh alami yang potensial dan memperkirakan potensi pengendalian hayati (Parella & Horsburgh 1983; Houck & Strauss 1985).

48 Parameter penting dari tanggap fungsional adalah laju pencarian seketika (a) dan masa penanganan inang (Th). Parasitoid yang baik adalah yang memiliki nilai a yang tinggi dan nilai Th yang rendah (Hassell 2000). Informasi tentang kedua parameter ini dapat memberikan pemahaman yang mendasar tentang interaksi parasitoid-inang, sehingga diharapkan dapat memberikan landasan bagi penyusunan strategi pengendalian hayati kepik lada dengan parasitoid A. dasyni. Sehubungan dengan itu, penelitian ini bertujuan mengukur dan memerikan tanggap fungsional A. dasyni terhadap peningkatan kerapatan inang telur kepik buah lada. Bahan dan Metode Penelitian dilakukan sejak bulan April 2009 sampai dengan Juli 2009 di laboratorium hama Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Bogor, serta laboratorium dan rumah kaca Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung. Pembiakan R. linearis Serangga R. linearis yang diperoleh dari pertanaman kedelai dipelihara dalam kurungan kain kasa (p = 35 cm, l = 35 cm, t = 75 cm) di laboratorium. Serangga diberi pakan kacang panjang yang digantungkan pada kawat di bagian atas kurungan. Pakan diganti setiap 2 hari sekali. Untuk tempat peneluran

serangga R. linearis, di dalam kurungan digantungkan untaian kain wol. Telur yang diperoleh kemudian digunakan untuk pembiakan dan penelitian. Pembiakan Parasitoid A. dasyni Telur D. piperis dikumpulkan dari pertanaman lada di Bangka. Telur yang terdapat pada daun, buah dan bagian tanaman yang lain diambil dan dipelihara dalam tabung reaksi bergaris tengah 1.5 cm dan panjang 17.0 cm di laboratorium. Tabung reaksi ditutup dengan kapas yang dibungkus kain kasa. Perkembangan telur diamati sampai keluar imago A. dasyni. Imago A. dasyni dipindahkan ke tabung reaksi lain yang berukuran sama dan diberi pakan madu 10%. Telur R. linearis umur 3 hari hasil pembiakan di laboratorium diambil dan digunakan untuk pembiakan A. dasyni. Pembiakan dilakukan dengan cara setiap 10 telur R. linearis dilem dengan lem kertas cair pada kertas karton (pias)

49 berukuran 1.0 cm x 5.0 cm. Pias telur kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi bergaris tengah 1.5 cm dan panjang 17.0 cm yang berisi sepasang parasitoid A. dasyni umur 3 hari. Pias diambil setelah 24 jam dan diganti dengan pias yang baru. Pias yang diambil dimasukkan ke dalam tabung reaksi bergaris tengah 1.5 cm dan panjang 17.0 cm. Pias diamati sampai parasitoid keluar. Parasitoid hasil pembiakan digunakan untuk penelitian. Pembiakan Telur D. piperis Telur diperoleh dari pemeliharaan imago D. piperis pada bibit lada di rumah kaca dan pertanaman lada di lapangan. Di rumah kaca, imago D. piperis dipelihara dalam kurungan plastik milar bergaris tengah 18.0 cm dan tinggi 40.0 cm di rumah kaca. Kurungan tersebut menyungkup bibit lada dalam pot plastik bergaris tengah 22.0 cm dan tinggi 14.5 cm. Imago D. piperis diberi pakan buah lada umur 6 sampai 9 bulan yang digantungkan pada kawat di bagian atas kurungan atau dilekatkan pada bibit lada. Pakan tersebut diganti setiap 2 hari. Pemasukan serangga dan atau penggantian buah lada dilakukan melalui lubang yang terdapat di bagian atas kurungan. Pada pemeliharaan di lapangan, serangga dimasukkan ke dalam kurungan yang menyungkup cabang dan buah lada. Tanggap Fungsional A. dasyni pada Kerapatan Inang Telur D. piperis dilem dengan lem kertas cair pada pias karton berukuran 1.0 x 5.0 cm. Kerapatan telur yang diuji adalah 1, 2, 3, 4, 6, 8, 10, 12, dan 14 butir. Pias telur tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi bergaris tengah 1.5 cm dan panjang 17.0 cm. Dinding tabung reaksi dioles cairan madu 10% untuk pakan parasitoid. Setiap satu pasang parasitoid A. dasyni umur 3 hari asal telur R. linearis dimasukkan ke dalam tabung reaksi kelimpahan inang yang diuji. sesuai perlakuan

Setelah 24 jam, telur D. piperis dikeluarkan dari

tabung reaksi dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi lain yang berukuran sama, kemudian diamati jumlah telur D. piperis yang diparasit. Percobaan diulang 10 kali dan disusun dalam rancangan acak lengkap. Analisis Data Pengaruh banyaknya inang tersedia terhadap rataan banyaknya inang diparasit diperiksa dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji beda nyata

50 terkecil pada = 0.05. Untuk menentukan tipe tanggap fungsional dilakukan analisis regresi logistik antara kerapatan inang (N 0 ) dengan proporsi inang yang diparasit (N e /N 0 ) dengan persamaan sebagai berikut (Juliano 1993): Ne = N0 1 + exp (P 0 + P 1 N 0 + P 2 N 0 2 + P 3 N 0 3) exp (P 0 + P 1 N 0 + P 2 N 0 2 + P 3 N 0 3)

dengan P 0 adalah intersep, P 1 koefisien linear, P 2 koefisien kuadratik, dan P 3 koefisien kubik. Analisis menggunakan prosedur CATMOD dari program SAS (SAS Institute 1990). Jika koefisien linear P 1 tidak berbeda nyata dengan 0, model tanggap fungsional yang sesuai adalah tipe I. Bila koefisien linear P 1 secara nyata < 0 model yang sesuai adalah tipe II, sedangkan bila P 1 secara nyata > 0 model yang sesuai adalah tipe III (Juliano 1993). Bila persamaan kubik menghasilkan nilai P 3 yang tidak nyata, maka disarankan parameter kubik dikeluarkan dari persamaan dan kemudian dilakukan pengujian ulang terhadap parameter yang tersisa. Hal yang sama berlaku pula bila persamaan kuadratik menghasilkan nilai P 2 yang tidak nyata. Karena hasil analisis regresi logistik mengindikasikan tanggap fungsional tipe II, maka analisis selanjutnya ditekankan pada pemeriksaan kesesuaian data terhadap model tanggap fungsional tipe II. Untuk keperluan tersebut digunakan model persamaan cakram dari Holling (1959) dan persamaan acak dari Rogers (1972), sebagai berikut: Persamaan cakram Persamaan acak : Ne = aTNo/(1 + aThNo) : Ne = No {1-exp[a(ThNe T)]}

dengan Ne adalah banyaknya inang yang diparasit, No banyaknya inang yang disediakan, a laju pencarian seketika, T lama waktu inang terpapar pada

parasitoid, dan Th lama waktu penanganan inang. Nilai penduga parameter (a dan Th) dari kedua model tersebut di atas diperoleh melalui regresi non linear menggunakan prosedur PROC NLIN dari SAS (SAS Institute 1990). Selanjutnya koefisien determinasi (R2 = 1 (jumlah kuadrat sisaan/jumlah kuadrat total terkoreksi) digunakan untuk memeriksa kesesuaian model.

51 Hasil dan Pembahasan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kerapatan inang berpengaruh sangat nyata (F = 110.09; db = 8, 81; P = < 0.0001) terhadap rataan banyaknya inang yang diparasit (Tabel 5.1). Semakin meningkat kerapatan inang semakin banyak inang yang diparasit, namun demikian proporsi inang yang diparasit menurun. Pada kerapatan inang rendah (1 dan 2 butir) seluruh inang diparasit (100%), kemudian proporsi inang yang diparasit menurun pada kerapatan inang berikutnya. Pada kerapatan inang 12 dan 14 butir, rataan banyaknya telur yang diparasit sekitar 9 butir atau proporsi yang terparasit 64-75%. Tabel 5.1 Rataan inang yang diparasit (x SD) A. dasyni pada berbagai kerapatan inang Rataan inang yang diparasit *) 1.00 0.00 a 2.00 0.00 b 2.80 0.42 c 3.70 0.67 d 5.50 0.71 e 7.00 0.82 f 7.70 1.34 f 9.00 1.33 g 9.00 1.49 g

Kerapatan inang (butir) 1 2 3 4 6 8 10 12 14


*)

Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji beda nyata terkecil, = 0.05) setelah ditransformasi ke x + 0.5

Analisis

regresi

logistik

dengan

menggunakan

persamaan

kubik

menghasilkan nilai parameter kubik yang tidak nyata, begitu pula dengan model kuadratik. Oleh karena itu, parameter P 3 dan P 2 dikeluarkan dari persamaan dan kemudian dilakukan pengujian ulang terhadap parameter sisanya. Hasil analisis dengan menggunakan model tereduksi disajikan pada Tabel 5.2. Koefisien linear (P 1 ) yang bernilai negatif dan secara nyata < 0 menunjukkan bahwa proporsi inang terparasit menurun dengan meningkatnya kerapatan inang seperti ditunjukkan pada Gambar 5.1. Hal ini menunjukkan bahwa tanggap fungsional

52 parasitoid A dasyni terhadap telur kepik lada tergolong tipe II seperti terlihat pada Gambar 5.2. Tabel 5.2 Hasil analisis regresi logistik proporsi telur kepik D. piperis yang terparasit oleh A. dasyni Parameter Titik potong (P 0 ) Linear (P 1 )
1 .0 0 0 .9 8 0 .9 6 0 .9 4 0 .9 2 0 .9 0 0 .8 8 0 .8 6 0 .8 4 0 .8 2 0 .8 0 0 .7 8 0 .7 6 0 .7 4 0 .7 2 0 .7 0 0 .6 8 0 .6 6 0 .6 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2 1 3 1 4

Nilai penduga 3.5581 -0.2112

Galat baku 0.3994 0.0346

2 79.36 37.21

P < 0.0001 < 0.0001

B a n y a k n y ain a n gy a n g te rs e d ia

Banyaknya inang yang tersedia

Gambar 5.1 Rataan nilai pengamatan proporsi inang yang diparasit (tanda bulat), dan penduga (garis) berdasarkan hasil analisis regresi logistik
1 2 1 1 1 0 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2 1 3 1 4

Banyaknya inang yang tersedia

B a n y a k n y ain a n gy a n g te rs e d ia

Gambar 5.2 Kurva tanggap fungsional parasitoid A. dasyni terhadap peningkatan kerapatan inang

53 Tanggap fungsional tipe II umum terdapat pada percobaan di laboratorium atau kurungan di lapangan, dengan satu spesies inang atau mangsa yang disediakan (Schenk & Baker 2002; Pervez & Omkar 2005). Hal ini terkait dengan kemudahan parasitoid menemukan inangnya, karena parasitoid dan inangnya berada dalam ruangan yang terbatas. Jika parasitoid berada pada area yang lebih luas, maka parasitoid dapat memperlihatkan kurva tanggap fungsional tipe III (sigmoid). Contoh kasus ini terdapat pada parasitoid Aphelinus thomsoni Graham (Hymenoptera: Aphelinidae) yang memperlihatkan tanggap fungsional tipe II jika dikurung bersama inangnya, dan memperlihatkan tanggap fungsional tipe III jika parasitoid diberi kesempatan berpindah area percobaan (Collins et al. 1981). Seperti disebutkan terdahulu, dalam penelitian ini tanggap fungsional tipe II didekati dengan persamaan cakram dan persamaan acak. Berdasarkan kriteria R2 pada Tabel 5.3 tampak bahwa persamaan cakram maupun persamaan acak memperlihatkan kesesuaian yang sama untuk digunakan memeriksa hubungan antara kerapatan telur kepik lada dengan rataan banyaknya telur yang terparasit oleh A. dasyni. Walaupun demikian, kedua persamaan ini menghasilkan penduga a dan Th yang berbeda. Persamaan acak menghasilkan nilai penduga parameter tanggap fungsional yang lebih tinggi daripada persamaan cakram. Tabel 5.3 Nilai penduga parameter laju pencarian seketika (a) dan masa penanganan inang (Th) berdasarkan model tanggap fungsional tipe II Model tipe II Persamaan cakram Persamaan acak a (jam-1) 0.049 0.003 0.194 0.042 Th (jam) 1.087 0.135 2.011 0.182 R2 0.91 0.91

Laju pencarian seketika (a) untuk parasitoid A. dasyni yang memarasit telur kepik lada D. piperis menurut persamaan cakram adalah 0.049 0.003 jam-1, sedangkan menurut persamaan acak 0.194 0.042 jam-1. Laju pencarian seketika (a) menunjukkan proporsi dari total area yang dijelajahi parasitoid per unit waktu jelajah, dalam hal ini adalah jam. Laju pencarian seketika ini menentukan

seberapa cepat kurva tanggap fungsional mencapai plato atas, dan merupakan fungsi dari (1) jarak terjauh parasitoid mampu mendeteksi inang, (2) kecepatan

54 pergerakan dari parasitoid dan inang, dan (3) proporsi serangan yang berhasil (Holling 1965). Masa penanganan inang (Th) adalah lamanya waktu parasitoid mengenali, mengejar, dan memarasit inang serta kegiatan lain yang terkait dengan parasitisasi seperti membersihkan alat mulut dan beristirahat sebelum bergerak mencari inang yang lain (Holling 1965). Nilai penduga Th pada persamaan cakram adalah 1.087 0.135 jam dan pada persamaan acak 2.011 0.182 jam. Berdasarkan nilai Th ini, dalam sehari parasitoid A. dasyni maksimum dapat memarasit sekitar 22 butir telur menurut persamaan cakram dan 12 butir menurut persamaan acak. Kemampuan parasitisasi ini perlu diketahui dalam rangka mengevaluasi potensi suatu spesies parasitoid sebagai agens pengendalian hayati. Namun demikian, hasil yang diperoleh di laboratorium tidak secara langsung dapat diterapkan pada kondisi lapangan. Di lapangan banyak faktor yang mempengaruhi tanggap

fungsional (Parella & Horsburgh 1983; Messina & Hanks 1998) seperti fase pertumbuhan tanaman, cuaca, inang alternatif, dan kompetisi dengan serangga lain. Menurut Rogers (1972), persamaan cakram dan persamaan acak dapat digunakan untuk memerikan seperangkat data yang sama, tapi akan menghasilkan nilai penduga a dan Th yang berbeda seperti terlihat di atas. Perbedaan ini

disebabkan oleh perbedaan asumsi dari kedua persamaan tersebut. Persamaan cakram mengasumsikan banyaknya inang selalu tetap, dan pola pencarian inang dilakukan secara sistematik yaitu inang yang sudah diparasit tidak akan dikunjungi lagi oleh parasitoid. Persamaan acak mengasumsikan jumlah inang berkurang sejalan dengan waktu karena sebagian telah terparasit, serta pola pencarian inang dilakukan secara acak. Sebagai akibatnya, nilai penduga a dan Th yang dihitung dengan persamaan acak lebih tinggi daripada yang dihitung dengan persamaan cakram. Persamaan cakram lebih tepat diterapkan untuk parasitoid yang mampu membedakan status inang yaitu apakah inang telah terparasit atau belum, sedangkan persamaan acak untuk parasitoid yang tidak memiliki kemampuan membedakan status inang (Wang & Ferro 1998). Dalam penelitian selama ini belum pernah dijumpai adanya fenomena superparasitisme pada parasitoid

55 A. dasyni. Hal ini diduga berkaitan dengan kemampuan parasitoid A. dasyni untuk mengenali telur inang yang telah terparasit. Bila demikian halnya, maka persamaan cakram mungkin lebih tepat digunakan untuk memerikan tanggap fungsional parasitoid A. dasyni terhadap telur kepik lada. Pengaturan populasi hama di alam dapat terjadi karena adanya mekanisme terpaut kerapatan yang bersumber dari tanggap fungsional dan tanggap numerik. Tanggap fungsional tipe III bersifat terpaut kerapatan pada selang kerapatan inang tertentu, sehingga diperkirakan mampu memelihara kesetimbangan populasi. Sementara tanggap fungsional tipe II bersifat terpaut kerapatan berkebalikan (inverse density-dependent), yaitu proporsi inang yang terparasit menurun dengan meningkatnya kerapatan inang. Keadaan ini dapat menciptakan ketidakstabilan populasi. Hasil penelitian mendapatkan bahwa parasitoid A. dasyni

memperlihatkan tanggap fungsional tipe II, sehingga diperkirakan tidak mampu mengatur populasi inangnya (Hassell 2000). Oleh karena itu, agar terjadi

kestabilan populasi, tanggap fungsional ini perlu dilengkapi dengan tanggap numerik melalui pelepasan inundasi parasitoid. Kesimpulan Parasitoid A. dasyni memperlihatkan tanggap fungsional tipe II terhadap peningkatan kerapatan inang. Berdasarkan nilai koefisien determinasi, persamaan cakram dan persamaan acak sama sesuainya untuk memerikan tanggap fungsional parasitoid. Jumlah maksimum telur inang yang dapat diparasit menurut

persamaan cakram dan persamaan acak berturut-turut 22 dan 12 butir per hari. Karena parasitoid diduga mampu membedakan telur yang sudah diparasit dengan yang belum, persamaan cakram mungkin lebih tepat untuk digunakan. Daftar Pustaka Collins MD, Ward SA, Dixon AFG. 1981. Handling time and the functional response of Aphelinus thomsoni, a predator and parasite of the aphid Drepanosiphum platanoidis. J Anim Ecol 50:479-487. Deciyanto S, Trisawa IM, Muchyadi. 1993. Parasitism fluctuation of eggparasitoids of pepper bug (Dasynus piperis China) in Bangka. J Spice Medic Crops 1(2):33-36.

56 Hassell MP. 2000. Host-parasitoid population dynamics. J Anim Ecol 69:543566. Holling CS. 1959. Some characteristics of simple types of predations and parasitism. Canad Entomol 91:385-398. Holling CS. 1965. Functional response of predators to prey density and its role in mimicry and population regulation. Mem Entomol Soc Can 45(1):1-60. Houck MA, Strauss RE. 1985. The comparative study of functional responses: experimental design and statistical interpretation. Can Entomol 115: 617629. Juliano SA. 1993. Non-linear curve fitting: predation and functional response curves. Di dalam: Scheiner SM, Gurevitch J, editor. Design and analysis of ecological experiments. New York: Chapman & Hall. hlm 158-183. Laba IW, Kilin D, Trisawa IM. 2004. Tingkat kerusakan dan serangan hama buah lada, Dasynus piperis China pada pertanaman lada di Bangka. J Entomol Indonesia 1(1):34-40. Messina FJ, Hanks JB. 1998. Host plant alters the shape of the functional response of an aphid predator (Coleoptera: Coccinellidae). Environ Entomol 27:1196-1202. Parella MP, Horsburgh RL. 1983. Functional responses of the black hunter thrips, Leptothrips mali (Thysanoptera: Phlaeothripidae), to density of Panonuchus ulmi (Acari: Tetranychidae). Environ Entomol 12:429-433. Pervez A, Omkar. 2005. Functional responses of coccinellid predators: an illustration of a logistic approach. J Insect Sci 5(5):1-6. Rogers DJ. 1972. Random search and insect population models. J Anim Ecol 41: 569-583. SAS Institute. 1990. SAS Users guide. Ver 6 Ed 4 vol II. Cary (North Carolina): SAS Institute Inc. Schenk D, Baker S. 2002. Functional response of a generalist insect predator to one of its prey species in the field. J Anim Ecol 71:524-531. Solomon ME. 1949. The natural control of animal populations. J Anim Ecol 18: 1-35. Suprapto, Thomas. 1989. Aspek biologi pengisap buah lada pada berbagai tingkat umur buah. Pembr Littri 14(4):119-125. Trisawa IM, Rauf A, Kartosuwondo U. 2007. Biologi parasitoid Anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera: Eupelmidae) pada telur Dasynus piperis China (Hemiptera: Coreidae). Hayati 14(3):81-86.

57

Wang B, Ferro DX. 1998. Functional responses of Trichogramma ostriniae (Hymenoptera: Trichogrammatidae) to Ostrinia nubilalis (Lepidoptera: Pyralidae) under laboratory and field condition, Environ Entomol 27(3): 752-758.

You might also like