You are on page 1of 12

BAB I PENDAHULUAN Alkohol merupakan suatu senyawa kimia yang mengandung gugus OH.

Alkohol dalam masyarakat umum mengacu kepada etanol atau grain alkohol. Etanol dapat dibuat dari fermentasi buah atau gandum dengan ragi. Istilah alkohol sendiri pada awalnya berasal dari bahasa Arab Al Kuhl yang digunakan untuk menyebut bubuk yang sangat halus yang biasanya dipakai untuk bahan kosmetik khususnya eyeshadow. Sejak 5000 tahun yang lalu alkohol digunakan sebagai minuman dengan berbagai tujuan, seperti sarana untuk komunikasi transedental dalam upacara kepercayaan dan untuk memperoleh kenikmatan. Alkohol bersifat depresan terhadap sistem saraf pusat dengan menghambat aktivitas neuronal. Ini berakibat hilangnya kendali diri dan mengarah kepada keadaan membahayakan diri sendiri maupun orang disekitarnya. Diperkirakan alkohol menjadi penyebab 25% kunjungan ke Unit Gawat Darurat rumah sakit.1 Alkohol dapat menyebabkan komplikasi yang serius dalam menangani dan mengobati pasien trauma. Interaksi antara alkohol dengan obat lainnya dapat terjadi, sehingga harus diperhitungkan secara hati-hati penggunaannya dalam obat, operasi, maupun obat anestesi. Akibat penggunaan alkohol dapat muncul masalah kesehatan lainnya seperti gangguan hati, cardiomyopati, gangguan pembekuan darah, gangguan keseimbangan cairan, hingga ketergantungan terhadap alkohol. Ini akan menyebabkan perlunya pertimbangan yang lebih matang dalam menangani pasien dengan alkohol. Mengidentifikasi permasalahan yang dapat timbul akibat penggunaan alkohol pada pasien yang memerlukan pembedahan pada saat perioperatif merupakan suatu tantangan bagi dokter, terutama ahli bedah dan anestesi. Setelah diiidentifikasi, masalah pada pasien dapat ditangani dengan lebih efektif untuk menentukan tindakan pembedahan dan mengurangi efek samping anestesi yang dapat terjadi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Sekitar 14 juta warga Amerika termasuk dalam kriteria alkoholism, membuatnya sebagai peringkat ketiga penyakit yang memerlukan kunjungan ke psikiater dan menghabiskan lebih dari 165 miliar dolar amerika setiap tahunnya akibat penurunan produksi kerja, kematian, dan biaya pengobatan langsung. Diantara mereka 10% wanita dan 20% pria termasuk dalam kriteria penyalahgunaan alkohol, sedangkan 3-5% wanita dan 10% pria dimasukkan dalam ketergantungan alkohol.2 Usia 13-15 tahun merupakan usia yang berisiko dimana pada usia tersebut remaja mulai menjadi peminum. Pengkonsumsi alkohol terbanyak berkisar pada usia 20-35 tahun.2 Lebih dari 50% mengaku alcohol menyebabkan mereka merasa sakit, kehilangan sekolah maupun pekerjaan, ditahan polisi, atau mengalami kecelakaan lalu lintas.2 Pria dilaporkan mengkonsumsi alkohol lebih banyak dibandingkan wanita. Wanita mulai mengkonsumsi alkohol lebih lambat dibandingkan pria. Namun wanita lebih cepat menjadi alkoholik karena rendahnya kadar air dalam tubuh dan tingginya lemak pada wanita dibandingkan pria.2 Karena tingginya kadar alkohol, wanita memiliki risiko yang lebih besar

untuk mengalami gangguan kesehatan yang berkaitan dengan alkohol seperti cirosis, cardiomiopaty, dan atropi otak. 2.2 Alkohol Dalam kimia, alkohol (atau alkanol) adalah istilah yang umum untuk senyawa organik apa pun yang memiliki gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon, yang ia sendiri terikat pada atom hidrogen dan/atau atom karbon lain.3 Rumus kimia umum alkohol adalah CnH2n+1OH. Alkohol murni tidaklah dikonsumsi manusia. Alkohol sering dipakai untuk menyebut etanol, yaitu minuman yang mengandung alkohol. Bahan ini dihasilkan dari proses fermentasi gula yang dikandung dari malt dan beberapa buah-buahan seperti hop, anggur dan sebagainya. 2.3 Farmakokinetik Alkohol 2.3.1 Absorpsi Setelah diminum, alkohol kebanyakan diabsorpsi di duodenum melalui difusi. Kecepatan absorpsi bervariasi, tergantung beberapa faktor, antara lain8: a) Volume, jenis, dan konsentrasi alkohol yang dikonsumsi. Alkohol dengan konsentrasi rendah diabsorpsi lebih lambat. Namun alkohol dengan konsentrasi tinggi akan menghambat proses pengosongan lambung. b) Kecepatan minum, semakin cepat seseorang meminumnya, semakin cepat absorpsi terjadi. c) Makanan. Makanan memegang peranan besar dalam absorpsi alkohol. Jumlah, waktu, dan jenis makanan sangat mempengaruhi. Makanan tinggi lemak secara signifikan dapat memperlambat absorpsi alkohol. Efek utama makanan terhadap alkohol adalah perlambatan pengosongan lambung. d) Metabolisme lambung, seperti juga metabolisme hati, dapat secara signifikan menurunkan bioavailabilitas alkohol sebelum memasuki sistem sirkulasi. Namum saat sejumlah besar alkohol di konsumsi, akan menimbulkan gejala seperti sakit kepala, gastritis, mual, pusing, hingga perasaan nyeri saat bangun tidur.6 Pada peminum alkohol kronis dapat terjadi penumpukan produksi lemak (fatty acid). Fatty acis akan membentuk plug pada pembuluh darah kapiler yang mengelilingi sel hati dan akhirnya sel hati mati yang akan berakhir dengan cirrosis hepatis. b) Efek pada sistem Dopamin dan Opioid Alkohol tidak bekerja secara langsung pada reseptor DA, namun secara tidak langsung dengan meningkatkan kadar DA pada sistem mesocorticolimbic. Peningkatan ini memiliki efek terhadap penguatan efek alkohol dalam tubuh. Interaksi alkohol dengan sistem opioid juga tidak langsung dan mengakibatkan pengaktifan sistem opioid. Interaksi ini bersifat menguatkan (kemungkinan melalui reseptor MU). Sistem opioid juga terlibat dalam munculnya kecanduan alkohol. Konsumsi alkohol akut juga memiliki efek terhadap hypothalamic-pituitary axis, kemungkinan dengan melibatkan hormone CRF (corticotrophin releasing factor). Kerja pada tempat ini kemungkinan mendasari efek penekanan stress pada alkohol.

2.5 Interaksi Alkohol Dengan Obat Terdapat dua tipe interaksi alkohol dan obat lain, yaitu interaksi farmakokinetik, dimana alkohol

mempengaruhi efek obat, dan interaksi farmakodinamik, alkohol mengubah efek obat, umumnya di sistem saraf pusat (contoh : sedasi). Interaksi farmakokinetik umumnya terjadi di hati, dimana alkohol dan banyak obat-obatan di metabolisme, kebanyakan oleh enzim yang sama. Pada alkohol dosis akut (sekali minum atau beberapa kali minum setelah beberapa jam) dapat menghambat metabolisme obat dengan berkompetisi dengan menggunakan enzim metabolisme yang sama. Interaksi ini akan memperpanjang dan mengubah kemampuan obat, berpotensi meningkatkan risiko terjadinya efek samping obat. Pada peminum alkohol kronis (dalam jangka waktu lama), alkohol akan mengaktifkan enzim metabolisme. Ini akan menurunkan dan mengurangi efek kerja obat. Setelah enzim diaktifkan, mereka akan selalu ada meskipun tanpa adanya alkohol, mempengaruhi metabolisme beberapa obat selama beberapa minggu setelah penghentian konsumsi alkohol. Sejumlah golongan obat dapat menimbulkan interaksi dengan alkohol, termasuk obat anestesi, antibiotic, antidepresan, antihistamin, barbiturate, benzodiazepine, histamine H2 receptor antagonis, muscel relaxan, obat penghilang nyeri golongan non narkotik, antiinflamasi, opioid, warfarin.1,6,8 a. Obat Anastesi Obat-obatan anestesi diberikan mengawali pembedahan untuk membuat pasien tidak nyeri dan tenang. Konsumsi alkohol secara kronik meningkatkan dosis propofol yang diperlukan untuk menurunkan kesadaran pasien. Konsumsi alkohol dalam jangka lama akan meningkatkan risiko kerusakan hati oleh pemakaian gas anestesi seperti enflurane dan halotan. b. Antikoagulan Warfarin berfungsi untuk memperlambat pembekuan darah. Adanya konsumsi alkohol akut mengubah kemampuan warfarin, menyebabkan pasien berpeluang mengalami pendarahan yang mengancam nyawa. Konsumsi alkohol secara kronik menurunkan kerja warfarin, menimbulkan gangguan pembekuan darah. c. Antidepressant Alkohol meningkatkan efek sedasi dari tricyclic anti-depressant seperti amitriptyline, menurunkan kemampuan yang diperlukan dalam mengemudi. Konsumsi alkohol kronic meningkatkan kerja beberapa tricyclic dan menurunkan kerja tricyclic lainnya. sebuah substansi kimia yang disebut tyramine terdapat dalam beberapa bir dan wine, berinteraksi dengan beberapa antidepresan, seperti monoamine oxidase (MAO) inhibitor menyebabkan peningkatan tekanan darah yang berbahaya. d. Antihistamin Obat seperti diphenhydramine dapat digunakan untuk menangani gejala alergi dan insomnia. Alkohol bersifat meningkatkan efek sedasi pada antihistamin. Obat ini menyebabkan kelebihan sedasi dan nyeri kepala pada orang tua. Efek kombinasi dengan alkohol akan sangat signifikan berbahaya pada kelompok ini. e. Penghilang nyeri golongan narkotik Obat golongan ini digunakan untuk nyeri sedang hingga berat. Yang termasuk dalam golongan ini antara lain morfin, codein, propoxyphene, dan meperidine. Kombinasi alkohol dengan opioid meningkatkan efek sedasi kedua substansi tersebut, meningkatkan risiko kematian akibat overdosis. Satu dosis alkohol dapat meningkatkan kemampuan kerja propoxyphene, dan meningkatkan efek samping sedasi. opioid merupakan agen yang memiliki efek seperti opium (sedatif, penghilang nyeri, dan euphoria) yang digunakan untuk pengobatan. Overdosis alkohol dan opioid sangat berbahaya karena mereka dapat menurunkan reflek batuk dan fungsi pernafasan, sehingga berpotensi untuk terjadinya regurgitasi maupun sumbatan jalan nafas.

f. Penghilang nyeri golongan non narkotik Aspirin paling sering dipergunakan oleh orang tua. Beberapa obat jenis ini dapat menyebabkan pendarahan lambung dan menghambat pembekuan darah. Alkohol dapat memperparah efek ini. Orang tua yang mencampurkan alkohol dengan aspirin dalam dosis besar tanpa resep dokter memiliki risiko lebih besar untuk mengalami pendarahan lambung. Aspirin juga meningkatkan kerja alkohol. Konsumsi alkohol secara kronis mengaktifkan enzim yang mengubah acetaminophen menjadi substansi kimia yang dapat menyebabkan kerusakan hati, meskipun acetaminophen dipergunakan dalam kadar therapeutic. Efek ini dapat terjadi dengan 2,6 gr acetaminophen yang diberikan pada pengkonsumsi alkohol berat. g. Sedatif dan hypnotic Interaksi farmakodinamik antara dosis kecil diazepam denga alkohol telah diteliti dengan menggunakan double blind randomized study. Diazepam yang diberikan sebanyak 5 mg dengan pemberian oral pada pasien yang telah disuntikkan alkohol intravena hingga kadar dalam darah 0,5 gram. Dari penelitian ini didapatkan bahwa kombinasi diazepam dan alkohol kebanyakan bersifat addictive tanpa interaksi sinergis yang signifikan. Benzodiazepines seperti diazepam (Valium) pada umumnya digunakan untuk mengobati kecemasan dan insomnia. Karena keamanannya, mereka telah menggantikan barbiturates, yang sebagian besar digunakan untuk perawatan darurat untuk kejang. Dosis Benzodiazepines yang diberikan secara berlebihan sebagai obat penenang disertai dengan adanya alkohol dapat menyebabkan rasa kantuk yang hebat, meningkatkan risiko kecelakaan rumah tangga dan lalu lintas. Lorazepam telah digunakan untuk anticemas dan obat penenang. Kombinasi dari alkohol dan lorazepam dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada jantung dan fungsi pernafasan, oleh karena itu Lorazepam sebaiknya tidak diberikan kepada pasien mabuk h. Relaksasi otot Beberapa obat relaksasi (carisoprodol, cyclobenzaprine, dan baclofen), saat digunakan bersama alkohol dapat menimbulkan reaksi seperti narkotik, seperti kelemahan pada alat gerak, pusing, euphoria, dan kebingungan. Carisopodol dikenal sebagai obat narkotik yang dijual di jalanan. Campuran carisoprodol dengan bir merupakan bahan adiktif yang popular di masyarakat jalanan untuk mendapatkan keadaan euphoria secara cepat. 2.6 Permasalahan Pasien Alkoholik Alkohol secara signifikan berperanan dalam terjadinya trauma. Berdasarkan miller (1984), intoksifikasi (BAC 100 mg/dl) berhubungan dengan 40-50% kecelakaan lalulintas yang fatal. Roizen (1988) melaporkan bahwa antara 20-37% dari semua kasus trauma di Unit Gawat Darurat disebabkan karena penggunaan alkohol.9 Hasil dari tes laboratorium dan pengakuan pasien sangat penting untuk mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan juga untuk menangani lukanya. Permasalahan yang dapat terjadi pada pasien dengan penyalahgunaan alkohol antara lain thrombocytopenia., dimana terjadi penurunan jumlah platelet dalam darah. Dengan menghentikan penggunaan alkohol, trombositosis akan terjadi setelah satu minggu. Karena kedua kondisi ini dapat menyebabkan komplikasi dalam pembedahan, maka sangatlah penting untuk memonitor secara ketat vital sign, fungsi jantung, dan kadar elektrolit selama operasi dan dalam perawatan pasca operasi.

2.7 Perioperatif Pasien Dalam Pengaruh Alkohol Pada pasien yang telah biasa mengkonsumsi alkohol terjadi keruskan pada hati. Akibat dari hilangnya kapasitas hati ini akan menunjukkan respon yang tidak sesuai terhadap stres saat operasi, meningkatkan risiko pendarahan, hingga kematian. Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan operasi harus dipertimbangkan secara matang. Faktor risiko dalam pembedahan bergantung pada derajat disfungsi hati, jenis operasi, dan keadaan pasien sebelum operasi. Faktor comorbid seperti coagulopathy, volume intravascular, fungsi ginjal, elektrolit, keadaan kardiovaskular, dan nutrisi harus diidentifikasi terlebih dahulu sebelum dilakukan operasi. Persiapan yang optimal, akan menurunkan kematian dan komplikasi karena operasi. 2.7.1 Preoperative Sangatlah penting untuk mengidentifikasi pasien dengan gangguan penyalahgunaan alkohol sebelum operasi. Cara skrining untuk mendeteksi kadar penggunaan alkohol antara lain dengan melakukan tes skrining frekuensi dan kuantitas (contohnya the Alkohol Use Disorders Identification Test) dan skrining untuk mengetahui adanya penyalahgunaan maupun ketergantungan (contohnya the CAGE Questionnaire).10 Riwayat penggunaan alkohol sebelumnya, kondisi mental, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium harus dinilai. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan antara lain complete blood count, platelet count, elektrolit, blood urea nitrogen, creatinine, glucose, enzim hati, albumin, bilirubin, tes pembekuan, kalsium, magnesium, phosphorus, dan electrocardiogram. Detoksifikasi preoperative pada pasien dengan penggunaan alkohol dapat menurunkan risiko kematian selama operasi. Beberapa pasien mungkin tidak dapat melakukan detoksifikasi sebelum operasi karena merupakan kasus emergensi, untuk itu terapi propilaksis (contohnya pemberian dosis benzodiasepin terjadwal selama periode perioperatif) dapat mencegah timbulnya alkohol withdrawal. Terapi harus segera dimulai setelah menurunnya konsumsi alkohol. Melakukan profilaksis lebih awal dan adekuat dapat menurunkan komplikasi postoperatif dan mempersingkat waktu perawatan di ICU (intensive care unit). 10 2.7.2 Intraoperative Pasien dengan penggunaan alkohol memerlukan perhatian serius selama operasi. Adanya peningkatan keperluan analgesia dan anesthesia serta adanya stress pembedahan dapat terjadi selama operasi. Penghitungan dosis obat anestesi yang diberikan pada pasien alkoholik berbeda dengan pasien non-alkoholik karena perlu diperhatikan adanya perubahan kerja obat, seperti halnya propanolol dan Phenobarbital yang durasi kerjanya bertambah panjang dengan adanya alkohol. Karena patofisiologi yang mirip, respon stress pada pembedahan dan alkohol withdrawal memiliki efek aditif. Respon stress pembedahan merangsang perubahan fisiologis multiple yaitu: peningkatan denyut jantung, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan kadar katekolamin pada plasma. Tingkat keparahan dari gejala withdrawal berkorelasi dengan kadar katekolamin plasma. Peningkatan frekuensi perdarahan yang memerlukan transfusi didapati pada postoperatif pasien alkoholisme. Pasien alkoholisme yang mengalami hipoksemia atau hipotensi intraoperatif lebih rentan mengalami delirium postoperatif. Pasien dengan penyalahgunaan alkohol umumnya telah terjadi gangguan hati sehingga pemilihan obat sebisa mungkin menghindari semakin beratnya kerja hati. Anestesi umum menurunkan aliran darah total hati. Dari semua gas anestesi, halothane dan enflurane dapat menurunkan aliran darah arteri hepatic melalui vasodilasi pembuluh darah dan efek ringan inotropic negative.

Isoflurane merupakan pilihan yang paling aman dibandingkan halotan pada pasien dengan penyakit hati karena dapat meningkatkan aliran darah heparik. Efek obat yang bekerja menghambat neuromuscular dapat memanjang pada pasien dengan penyakit hati. Atracurium direkomendasikan sebagai obat pilihan karena ia tidak diekskresikan melalui hati maupun ginjal. Obat-obatan seperti morfin, meperidine, benzodiazepine, dan barbiturate harus dipergunakan dengan hati-hati karena mereka di metabolism di hati. Secara umum, dosis mereka hendaknya diturunkan 50%. Fentanyl merupakan narcotic yang lebih sering digunakan11. Pada kondisi intoksikasi alkohol akut dengan kesadaran menurun dengan risiko aspirasi dan pneumonia, serta membutuhkan pembedahan live-saving, prosedur yang direkomendasikan 12: a. Transquilizer : diazepam IV (10 15 mg; maksimal 0,15mg/kgBB) atau midazolam (0,12mg/kgBB) atau promethazine. b. Kontrol isi lambung : H1 dan H2 bloker, promethazine dan ranitidine IV; pengosongan lambung : metoclopramide (5 mg IV). c. Intubasi endotrakea : bila memungkinkan dengan awake intubation. d. Rapid sequence induction : thiopental 4 mg/kgBB atau midazolam 0,25/kgBB. e. Relaksasi : paralisis : dosis besar vecuronium0,15 mg/kgBB. f. Maintenance dengan agen inhalasi : respirasi kendali, disarankan dengan enfluran. Isofluran kurang memuaskan karena fenomena alkoholic withdrawal. 2.7.3 Pascaoperative Pasien dengan penyalahgunaan alkohol memerlukan perhatian secara intensif untuk mendeteksi withdrawal syndrome dan meminimalkan komplikasi. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan mortalitas dan morbiditas postoperasi pada pasien dengan penyalahgunaan alkohol. Bila dibandingkan dengan pasien tanpa penggunaan alkohol, pasien dengan penyalahgunaan alkohol memiliki waktu yang lebih lama untuk tinggal di ruang perawatan intensif dan rumah sakit. Kompllikasi postoperasi yang paling sering ditemukan pada pasien ini adalah infeksi, pendarahan, dan gangguan kerja kardiopulmonal. Beberapa mekanisme patogenik yang diperkirakan berperanan dalam meningkatkan terjadinya komplikasi telah dipelajari, diantaranya ketidakmampuan sistem imun, ketidakseimbangan hemostatik, dan kegagalan penyembuhan luka. Penyalahgunaan alkohol kronis telah diketahui menyebabkan terjadinya cardiomyopaty, dan pasien dengan alkohol mengalami penurunan volume curah jantung. Penekanan fungsi jantung dapat memicu meningkatnya risiko terjadinya iskemik dan aritmia. Perioperative aritmia dapat terjadi tanpa adanya penyakit jantung sebelumnya. Meningkatnya waktu dan episode pendarahan sehingga memerlukan transfuse telah sering terjadi postoperasi pada pasien dengan penyalahgunaan alkohol. Pengguna alkohol kronis mengalami penurunan aktifitas dan proliferasi sel T, sehingga terjadi perlambatan penyembuhan luka.11 Pada pasien dengan sirosis, kegagalan hati merupakan penyebab kematian postoperasi yang paling sering. Obat sedatif dan penghilang nyeri harus diberikan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya encepalopati hepatic. Fungsi ginjal harus seIalu diawasi karena adanya risiko hepatorenal sindrom dan perpindahan cairan yang dapat terjadi setelah operasi. Pemberian makanan melalui enteral secepatnya diyakini akan meningkatkan keberhasilan pengobatan.12

BAB III LAPORAN KASUS IDENTITAS Nama : I Wayan Suberata Umur : 35 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Suku : Bali Agama : Hindu Bangsa : Indonesia Alamat : Br. Tubuh, Batubulan, Gianyar Status : Menikah No CM : 01244890 Diagnosis Bedah : CKS - SDH frontotemporoparietal (D) - SDH Frontal (S) Tindakan : Trepanasi evakuasi cloth MRS : 15 Desember 2008 (pkl. 22.59 wita) Dilakukan Operasi : 16 Desember 2008 (pkl. 06.30 wita) STATUS PASIEN ANAMNESIS Anamnesis Khusus Pasien rujukan RSU Premagana, datang tidak sadar dengan keluhan penurunan kesadaran. Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas sekitar 1 jam SMRS. Riwayat sadar tidak ada. Riwayat muntah ada. Riwayat minum alkohol dikatakan ada, sebanyak 2 botol 1 jam sebelum kecelakaan. MOI : tidak jelas. Anamnesis Umum Riwayat penyakit sistemik : tidak ada Riwayat pemakaian obat : tidak ada Riwayat operasi sebelumnya : tidak ada Kebiasaan merokok : ada Riwayat penyalahgunaan alkohol : ada Riwayat pemakaian obat terlarang : tidak ada Riwayat alergi obat dan makanan : tidak ada Riwayat asma : tidak ada III. Pemeriksaan fisik Status present Keadaan umum : Kesadaran : E2V2M5 Nadi : 82x/menit Tekanan darah : 130/90mmHg Respirasi : 24 x/menit Saturasi O2 : 93 % Temperatur axilla : 36o C

Berat badan : 60 kg Tinggi badan : 168 cm Status General : SSP : ( GCS : E2V2M5 ) Sirkulasi : TD: 130/90mmHg N : 82 x/menit S1S2 tunggal reguler murmur (-) Respirasi : RR 24 x/ mnt Gerak dada simetris Suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/Saluran cerna : Jejas (-), distensi (+), BU (+) N Hepatobilier : Normal Ginjal : Normal Metabolik : alkoholik state Hematologi : Normal Musculoskeletal : Normal Pemeriksaan penunjang : CT Scan kepala : cepalhematome - SDH frontotemporo (D) - SDH frontal (S) - Laserasi bifrontobasal - Midline shift (+) ke kiri Foto Thorax AP : kesan : thorax normal Darah Lengkap : WBC : 16,0 RBC : 4,19 HGB : 12,9 HCT : 31,7 PLT : 188 - Kimia Darah AST : 169 ALT : 79 ALB : 3,3 BUN : 5,2 CREA : 0,92 BS : 110 Na : 144,2 K : 4,47 Ca : 8,5

- AGD pH : 7,249 pCO2 : 52,4 pO2 : 185,4 Na : 127 K : 3,87 Kesimpulan : ASA II E V. Persiapan Pra-anestesia -Persiapan di ruangan UGD Bedah Surat perjanjian operasi sudah ditandatangani Persiapan psikis: penjelasan mengenai rencana anestesi dan pembedahan yang direncanakan kepada keluarga. Persiapan fisik: memasang IVFD, O2 100%, melepaskan pakaian pasien, serta aksesoris yang dikenakan. -Persiapan di Ruang OK IRD Periksa kembali identitas pasien dan surat persetujuan operasi Evaluasi ulang status present TD : 130/90 mmHg N : 82 kali/menit R : 24 kali/menit Persiapan obat anestesi Persiapan obat dan alat resusitasi VI. Pengelolaan Anestesia Jenis anestesi : Anestesi umum dengan OTT Teknik anestesi : a. Pasien tidur telentang, pasang monitor a. Preoksigenasi dengan O2 100% 8 lpm selama 3 menit b. Induksi dengan pentothal 300 mg dan relaksasi dengan ecron 10 mg secara intravena c. Dengan laringoscop, dilakukan intubasi dengan PET no 7,5, cuff (+), kinking, kemudian dihubungkan dengan sirkuit anestesi d. Maintenance dengan O2 2 L/mnt, N2O 2 L/mnt, sevoflurane 2 vol % Respirasi : Kendali Posisi : Telentang Obat-obatan anestesi yang diberikan : Premedikasi : Medikasi : penthotal 350 mg Ecron 16 mg Fentanyl 300 mcg Metamizole 1 gr Sulfat atropine 1 mg Prostigmin 2 mg Komplikasi selama pembedahan : tidak ada

Lama operasi : 4 jam 30 menit Lama anestesia : 5 jam Keadaan akhir setelah pembedahan : TD : 110/70 mmHg Nadi : 70 x/mnt Respirasi : 20 x/mnt Rekapitulasi cairan durante operasi Cairan Masuk : Koloid : 900 cc Kristaloid : 900 cc Cairan Keluar : Urine : 250 cc/5 jam Perdarahan : 600 cc Aldrete Skor: Penilaian Dari OK ke RR Dari RR ke Ruangan Aktivitas 2 2 Respirasi 2 2 Sirkulasi 2 2 Kesadaran 1 1 Warna 2 2 Jumlah 9 9 BAB IV PEMBAHASAN Alkohol merupakan minuman keras yang dapat menimbulkan ketergantungan. Alkohol bersifat depresan terhadap sistem saraf pusat yang berakibat pada hilangnya kendali diri dan mengarah kepada keadaan membahayakan diri sendiri maupun orang disekitarnya. Pengkonsumsi alkohol terbanyak berkisar pada usia 20-35 tahun. Pria dilaporkan mengkonsumsi alkohol lebih banyak dibandingkan wanita. Pasien laki-laki, usia 35 tahun, rujukan RSU Premagana dengan penurunan kesadaran. Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas sekitar 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Mekanisme of injury (MOI) tidak jelas. Dari heteroanamnesa diketahui bahwa pasien baru 1 Jam sebelum kejadian mengkonsumsi minuman beralkohol bersama teman-temannya sebanyak 2 botol. Pasien dikonsulkan dari UGD bedah dengan diagnosa SDH frontotemporoparietal (D) dan SDH frontal (S). Direncanakan trepanasi evakuasi cloth emergency. Dari anestesi, dilakukan persiapan perioperatif. Mengingat pentingnya mengidentifikasi pasien dengan gangguan penyalah gunaan alkohol sebelum operasi maka perlu dilakukan skrining. Cara skrining untuk mendeteksi kadar penggunaan alkohol antara lain dengan melakukan tes skrining frekuensi dan kuantitas (contohnya the Alkohol Use Disorders Identification Test) dan skrining untuk mengetahui adanya penyalahgunaan maupun ketergantungan (contohnya the CAGE Questionnaire). Pada pasien yang tidak mungkin melakukan detoksifikasi sebelum operasi emergensi, dapat dilakukan terapi propilaksis (contohnya pemberian dosis benzodiasepin terjadwal selama periode perioperatif). Terapi harus segera dimulai setelah menurunnya konsumsi alkohol. Pemeriksan lainnya yang diperlukan antara lain anamnesa lengkap tentang

penyakit lain yang sedang atau pernah di derita, riwayat alergi dan operasi sebelumnya, pemeriksaan fisik secara menyeluruh, dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan antara lain complete blood count, platelet count, elektrolit, blood urea nitrogen, creatinine, glucose, enzim hati, albumin, bilirubin, tes pembekuan, kalsium, magnesium, phosphorus, dan elektrokardiogram. Pada pasien ini mengingat mengalami kedaruratan, cukup dilakukan terapi propilaksis, namun hal ini belum umum dilakukan. Pasien saat diperiksa berada dalam keadaan tidak sadar sehingga digunakan heteroanamnesa dari orang terdekat pasien, yaitu istrinya. Pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan fisik berada dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium juga dalam batas normal. Tidak dilakukan pemeriksaan tambahan seperti penghitungan kadar alkohol dalam darah (BAC). Pasien dengan penggunaan alkohol memerlukan perhatian serius selama operasi. Adanya peningkatan keperluan terhadap obat anestesi dan analgesia serta adanya stress pembedahan perlu mendapat perhatian serius selama operasi. Penghitungan dosis obat anestesi yang diberikan pada pasien alkoholik berbeda dengan pasien non alkoholik karena perlu memperhatikan adanya perubahan kerja obat, seperti halnya propanolol dan Phenobarbital yang durasi kerjanya bertambah panjang dengan adanya alkohol. Untuk relaksasi otot, dapat dipergunakan vecuronium dalam dosis besar. Jenis anestesi yang dipilih hendaknya dengan anastesi umum dengan respirasi kendali. Pada pasien ini tidak dilakukan pemberian obat-obat premedikasi dengan alasan pasien berada dalam keadaan tidak sadar. Jenis anestesi yang dipilih adalah anestesi umum dengan respirasi kendali, dimana digunakan penthotal 300 mg untuk induksi dan ecron yang mengandung vecuronium untuk mendapatkan efek relaksasi ototnya. Penelitian menunjukkan adanya peningkatan mortalitas dan morbiditas postoperasi pada pasien dengan penyalahgunaan alkohol. Untuk itu diperlukan pengawasan postopertif yang bersifat intensif. Pada pasien ini dilakukan perawatan di MS untuk mendapatkan perawatan dan pengawasan intensif untuk mencegah munculnya komplikasi seperti infeksi, pendarahan, dan gangguan kerja kardiopulmonal yang umum terjadi pada pasien alkoholik. DAFTAR PUSTAKA 1. Anonym. Alcohol-medication interaction. Beyond the ABC. Available : http://www.aadac.com/documents/beyond_abcs_alcohol_medical_interaction.pdf (acessed : Desember, 24 2008) 2. Friedlander AH. Marder SR. Pisegna JR. Yagiela JA. Alcohol abuse and dependence : psychopathology, medical management and dental implications. J Am Dent Assoc, Vol 134, No.6, pp 731-740 3. Anonim. Alcoholism. Available: http://en.wikipedia.org/wiki/alcoholism (acessed : Desember, 21 2008) 4. Anonym. Belajar online-pengantar alcohol. Situs Web Kimia Indonesia. Available : http://www.chem-is-try.org/?sect=belajar&ext=alkohol01_01 (accessed : Desember, 24 2008) 5. Anonym. Blood alcohol content. Available : http://en.wikipedia.org/wiki/Blood_alcohol_content (acessed : Desember, 24 2008) 6. Ramchandani VA. Alcohol : Neurobiology and Pharmacology. Alcohol Medical Scolars Program. Available : http://www.alcoholmedicalscholars.org/pharm-out.htm (acessed : Desember, 24 2008)

7. Steveninck AL. Gieschke R. Schoemaker HC. Pieters MSM. Kroon JM. Breimer DD. Cohen AF. Pharmacodynamic interactions of diazepam and intravenous alcohol at pseudo steady state. Psychopharmacology (1993) 110: 471-478 8. Weathermon R. Crabb DW. Alcohol and medication interactions. Alcohol research and health. Vol.23, no.1, 1999, pp.40-54 9. Gordis E. Alcohol metabolism. National institute on alcohol abuse and alcoholism. Available : http://alcoholism.about.com/cs/alerts/l/blnaa35.htm (acessed : Desember, 21 2008) 10. Gordon, AJ., Olstein, J., Conigliaro, J. Identification and Treatment of Alcohol Use Disorder in the Perioperative Period. In : Postgraduate Medicine Vol 119. No 2. July-August 2006 11. Haranath SP. Perioperative management of the patient with liver disease. Available : www.emedicine.com/perioperative _care/i/93.htm (accessed : desember, 21 2008) 12. Collins, VJ. Management of the Alcohol Dependent Patient. In : Collins, VJ. Physiologic and Pharmacologic Bases of Anesthesia. William & Wilkins. Pennsylvania. 1996; 621-32.

You might also like