You are on page 1of 82

Deviasi Septum Nasi

Oleh : Muhammad al-Fatih II


Deviasi septum nasi adalah kelainan bentuk septum nasi akibat trauma dan pertumbuhan
tulang rawan yang tidak seimbang. Bentuk septum nasi yang normal adalah lurus dan
berada di tengah rongga hidung kecuali septum nasi orang dewasa yang tidak lurus
sempurna.

Trauma merupakan penyebab terbanyak deviasi septum nasi. Trauma bisa saja kita alami
sesudah lahir, selama partus dan masa janin intrauterin. Ketidakseimbangan pertumbuhan
tulang rawan septum nasi yang terus tumbuh dapat pula menyebabkan deviasi septum
nasi dimana pada saat bersamaan batas atas dan batas bawah septum nasi telah menetap.

Deviasi septum nasi yang ringan tidak menimbulkan gangguan. Gangguan dapat terjadi
pada deviasi septum nasi yang cukup berat. Fungsi hidung akan terganggu dan lama-
kelamaan bisa menyebabkan komplikasi.

Ada 4 bentuk deformitas septum nasi, yaitu :

Deviasi. Deviasi septum nasi berbentuk huruf C dan S.


Dislokasi. Bagian bawah tulang rawan septum nasi keluar dari krista maksila dan masuk
ke dalam rongga hidung.
Penonjolan. Penonjolan tulang dan kartilago septum nasi berbentuk krista dan spina.
Bentuk krista berupa penonjolan yang memanjang dari depan ke belakang. Bentuk spina
berupa penonjolan yang runcing dan pipih.
Sinekia. Sinekia merupakan pertemuan dan perlekatan antara deviasi atau krista septum
nasi dengan konka nasi yang berada di hadapannya sehingga makin memperberat
obstruksi nasi.
Terapi deviasi septum nasi kita sesuaikan dengan keadaan pasien. Apakah deviasi
tersebut menimbulkan keluhan yang nyata buat pasien ? Jika tidak ada gejala atau
keluhan pasien sangat ringan, kita tidak perlu melakukan koreksi septum nasi. Jika ada
keluhan yang nyata maka tindakan koreksi septum nasi perlu kita lakukan.

Tindakan operatif deviasi septum nasi, yaitu :

Reseksi submukosa septum nasi (Submucous Septum Resection/SMR).


Septoplasti atau reposisi septum nasi.
Daftar Pustaka

Nuty W. Nizar & Endang Mangunkusumo. Kelainan Septum dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad
Soepardi, Sp.THT & Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.

Technorati Tags: SR, septum deviasi, rinitis, hidung


December 29, 2007

Tes Pendengaran
Posted by hennykartika under telinga
[3] Comments

Tes Pendengaran
Oleh : Muhammad al-Fatih II
Ada 4 cara yang dapat kita lakukan untuk mengetes fungsi pendengaran penderita, yaitu :

Tes bisik.
Tes bisik modifikasi.
Tes garpu tala.
Pemeriksaan audiometri.
Tes Bisik

Ada 3 syarat utama bila kita melakukan tes bisik, yaitu :

Syarat tempat.
Syarat penderita.
Syarat pemeriksa.
Ada 3 syarat tempat kita melakukan tes bisik, yaitu :

Ruangannya sunyi.
Tidak terjadi echo / gema. Caranya dinding tidak rata, terbuat dari soft board, atau
tertutup kain korden.
Jarak minimal 6 meter.
Ada 4 syarat bagi penderita saat kita melakukan tes bisik, yaitu :

Kedua mata penderita kita tutup agar ia tidak melihat gerakan bibir pemeriksa.
Telinga pasien yang diperiksa, kita hadapkan ke arah pemeriksa.
Telinga pasien yang tidak diperiksa, kita tutup (masking). Caranya tragus telinga tersebut
kita tekan ke arah meatus akustikus eksterna atau kita menyumbatnya dengan kapas yang
telah kita basahi dengan gliserin.
Penderita mengulangi dengan keras dan jelas setiap kata yang kita ucapkan.
Ada 2 syarat bagi pemeriksa saat melakukan tes bisik, yaitu :

Pemeriksa membisikkan kata menggunakan cadangan udara paru-paru setelah fase


ekspirasi.
Pemeriksa membisikkan 1 atau 2 suku kata yang telah dikenal penderita. Biasanya kita
menyebutkan nama benda-benda yang ada disekitar kita.
Teknik pemeriksaan pada tes bisik, yaitu :

Penderita dan pemeriksa sama-sama berdiri. Hanya pemeriksa yang boleh berpindah
tempat. Pertama-tama pemeriksa membisikkan kata pada jarak 1 meter dari penderita.
Pemeriksa lalu mundur pada jarak 2 meter dari penderita bilamana penderita mampu
mendengar semua kata yang kita bisikkan. Demikian seterusnya sampai penderita hanya
mendengar 80% dari semua kata yang kita bisikkan kepadanya. Jumlah kata yang kita
bisikkan biasanya 5 atau 10. Jadi tajam pendengaran penderita kita ukur dari jarak antara
pemeriksa dengan penderita dimana penderita masih mampu mendengar 80% dari semua
kata yang kita ucapkan (4 dari 5 kata).
Kita dapat lebih memastikan tajam pendengaran penderita dengan cara mengulangi
pemeriksaan. Misalnya tajam pendengaran penderita 4 meter. Kita maju pada jarak 3
meter dari pasien lalu membisikkan 5 kata dan penderita mampu mendengar semuanya.
Kita kemudian mundur pada jarak 4 meter dari penderita lalu membisikkan 5 kata dan
penderita masih mampu mendengar 4 kata (80%).
Ada 2 jenis penilaian pada tes pendengaran, yaitu :

Penilaian kuantitatif seperti pemeriksaan tajam pendengaran pada tes bisik maupun tes
bisik modifikasi.
Penilaian kualitatif seperti pemeriksaan jenis ketulian pada tes garpu tala dan audiometri.
Ada 3 jenis ketulian, yaitu :

Tuli sensorineural / sensorineural hearing loss (SNHL).


Tuli konduktif / conductive hearing loss (CHL).
Tuli sensorineural & konduktif / mix hearing loss (MHL).
Tuli sensorineural / sensorineural hearing loss (SNHL) adalah jenis ketulian yang tidak
dapat mendengar suara berfrekuensi tinggi. Misalnya tidak dapat mendengar huruf S dari
kata susu sehingga penderita mendengarnya uu.

Tuli konduktif / conductive hearing loss (CHL) adalah jenis ketulian yang tidak dapat
mendengar suara berfrekuensi rendah. Misalnya tidak dapat mendengar huruf U dari kata
susu sehingga penderita mendengarnya ss.

Ada 3 jenis frekuensi, yaitu :

Frekuensi rendah. Meliputi 16 Hz, 32 Hz, 64 Hz, dan 128 Hz.


Frekuensi normal. Frekuensi yang dapat didengar oleh manusia berpendengaran normal.
Meliputi 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, dan 2048 Hz.
Frekuensi tinggi. Meliputi 4096 Hz dan 8192 Hz.
Tes Bisik Modifikasi

Tes bisik modifikasi merupakan hasil perubahan tertentu dari tes bisik. Tes bisik
modifikasi kita gunakan sebagai skrining pendengaran dari kelompok orang
berpendengaran normal dengan kelompok orang berpendengaran abnormal dari sejumlah
besar populasi. Misalnya tes kesehatan pada penerimaan CPNS.

Cara kita melakukan tes bisik modifikasi, yaitu :

Kita melakukannya dalam ruangan kedap suara.


Kita membisikkan 10 kata dengan intensitas suara lebih kecil dari tes bisik konvensional
karena jaraknya juga lebih dekat dari jarak pada tes bisik konvensional.
Cara kita memperlebar jarak dengan penderita yaitu dengan menolehkan kepala kita atau
kita berada dibelakang penderita sambil melakukan masking (menutup telinga penderita
yang tidak kita periksa dengan menekan tragus penderita ke arah meatus akustikus
eksternus).
Pendengaran penderita normal bilamana penderita masih bisa mendengar 80% dari semua
kata yang kita bisikkan.
Tes Garpu Tala

Ada 4 jenis tes garpu tala yang bisa kita lakukan, yaitu :

Tes batas atas & batas bawah.


Tes Rinne.
Tes Weber.
Tes Schwabach.
Tes Batas Atas & Batas Bawah

Tujuan kita melakukan tes batas atas & batas bawah yaitu agar kita dapat menentukan
frekuensi garpu tala yang dapat didengar pasien dengan hantaran udara pada intensitas
ambang normal.

Cara kita melakukan tes batas atas & batas bawah, yaitu :

Semua garpu tala kita bunyikan satu per satu. Kita bisa memulainya dari garpu tala
berfrekuensi paling rendah sampai garpu tala berfrekuensi paling tinggi atau sebaliknya.
Cara kita membunyikan garpu tala yaitu dengan memegang tangkai garpu tala lalu
memetik secara lunak kedua kaki garpu tala dengan ujung jari atau kuku kita.
Bunyi garpu tala terlebih dahulu didengar oleh pemeriksa sampai bunyinya hampir
hilang. Hal ini untuk mendapatkan bunyi berintensitas paling rendah bagi orang normal /
nilai normal ambang.
Secepatnya garpu tala kita pindahkan di depan meatus akustikus eksternus pasien pada
jarak 1-2 cm secara tegak dan kedua kaki garpu tala berada pada garis hayal yang
menghubungkan antara meatus akustikus eksternus kanan dan kiri.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes batas atas & batas bawah yang kita lakukan, yaitu :

Normal. Jika pasien dapat mendengar garpu tala pada semua frekuensi.
Tuli konduktif. Batas bawah naik dimana pasien tidak dapat mendengar bunyi
berfrekuensi rendah.
Tuli sensorineural. Batas atas turun dimana pasien tidak dapat mendengar bunyi
berfrekuensi tinggi.
Kesalahan interpretasi dapat terjadi jika kita membunyikan garpu tala terlalu keras
sehingga kita tidak dapat mendeteksi pada frekuensi berapa pasien tidak mampu lagi
mendengar bunyi.

Tes Rinne
Tujuan kita melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan antara hantaran tulang
dengan hantaran udara pada satu telinga pasien.

Ada 2 cara kita melakukan tes Rinne, yaitu :

Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya tegak lurus
pada planum mastoid pasien (belakang meatus akustikus eksternus). Setelah pasien tidak
mendengar bunyinya, segera garpu tala kita pindahkan di depan meatus akustikus
eksternus pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya
tes Rinne negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya.
Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tankainya secara tegak
lurus pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan garpu tala di depan meatus
akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah bunyi garpu tala di depan
meatus akustikus eksterna lebih keras daripada di belakang meatus akustikus eksterna
(planum mastoid). Tes Rinne positif jika pasien mendengarnya lebih keras. Sebaliknya
tes Rinne negatif jika pasien mendengarnya lebih lemah.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes Rinne yang kita lakukan, yaitu :

Normal. Jika tes Rinne positif.


Tuli konduktif. Jika tes Rinne negatif.
Tuli sensorineural. Jika tes Rinne positif.
Interpretasi tes Rinne dapat false Rinne baik pseudo positif dan pseudo negatif. Hal ini
dapat terjadi manakala telinga pasien yang tidak kita tes menangkap bunyi garpu tala
karena telinga tersebut pendengarannya jauh lebih baik daripada telinga pasien yang kita
periksa.

Kesalahan pemeriksaan pada tes Rinne dapat terjadi baik berasal dari pemeriksa maupun
pasien. Kesalahan dari pemeriksa misalnya meletakkan garpu tala tidak tegak lurus,
tangkai garpu tala mengenai rambut pasien dan kaki garpu tala mengenai aurikulum
pasien. Juga bisa karena jaringan lemak planum mastoid pasien tebal.

Kesalahan dari pasien misalnya pasien lambat memberikan isyarat bahwa ia sudah tidak
mendengar bunyi garpu tala saat kita menempatkan garpu tala di planum mastoid pasien.
Akibatnya getaran kedua kaki garpu tala sudah berhenti saat kita memindahkan garpu tala
di depan meatus akustikus eksterna.

Tes Weber

Tujuan kita melakukan tes Weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara
kedua telinga pasien.

Cara kita melakukan tes Weber yaitu membunyikan garpu tala 512 Hz lalu tangkainya
kita letakkan tegak lurus pada garis median (dahi, verteks, dagu, atau gigi insisivus)
dengan kedua kakinya berada pada garis horizontal. Menurut pasien, telinga mana yang
mendengar atau mendengar lebih keras.
Jika telinga pasien mendengar atau mendengar lebih keras pada 1 telinga maka terjadi
lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua telinga pasien sama-sama tidak mendengar
atau sama-sama mendengar maka berarti tidak ada lateralisasi.

Ada 3 interpretasi dari hasil tes Weber yang kita lakukan, yaitu :

Normal. Jika tidak ada lateralisasi.


Tuli konduktif. Jika pasien mendengar lebih keras pada telinga yang sakit.
Tuli sensorineural. Jika pasien mendengar lebih keras pada telinga yang sehat.
Misalnya terjadi lateralisasi ke kanan maka ada 5 kemungkinan yang bisa terjadi pada
telinga pasien, yaitu :

Telinga kanan mengalami tuli konduktif sedangkan telinga kiri normal.


Telinga kanan dan telinga kiri mengalami tuli konduktif tetapi telinga kanan lebih parah.
Telinga kiri mengalami tuli sensorineural sedangkan telinga kanan normal.
Telinga kiri dan telinga kanan mengalami tuli sensorineural tetapi telinga kiri lebih parah.
Telinga kanan mengalami tuli konduktif sedangkan telinga kiri mengalami tuli
sensorineural.
Tes Schwabach

Tujuan kita melakukan tes Schwabach adalah untuk membandingkan hantaran tulang
antara pemeriksa dengan pasien.

Cara kita melakukan tes Schwabach yaitu membunyikan garpu tala 512 Hz lalu
meletakkannya tegak lurus pada planum mastoid pemeriksa. Setelah bunyinya tidak
terdengar oleh pemeriksa, segera garpu tala tersebut kita pindahkan dan letakkan tegak
lurus pada planum mastoid pasien. Apabila pasien masih bisa mendengar bunyinya
berarti Scwabach memanjang. Sebaliknya jika pasien juga sudah tidak bisa mendengar
bunyinya berarti Schwabach memendek atau normal.

Cara kita memilih apakah Schwabach memendek atau normal yaitu mengulangi tes
Schwabach secara terbalik. Pertama-tama kita membunyikan garpu tala 512 Hz lalu
meletakkannya tegak lurus pada planum mastoid pasien. Setelah pasien tidak
mendengarnya, segera garpu tala kita pindahkan tegak lurus pada planum mastoid
pemeriksa. Jika pemeriksa juga sudah tidak bisa mendengar bunyinya berarti Schwabach
normal. Sebaliknya jika pemeriksa masih bisa mendengar bunyinya berarti Schwabach
memendek.

Ada 3 interpretasi dari hasil tes Schwabach yang kita lakukan, yaitu :

Normal. Schwabch normal.


Tuli konduktif. Schwabach memanjang.
Tuli sensorineural. Schwabach memendek.
Kesalahan pemeriksaan pada tes Schwabach dapat saja terjadi. Misalnya tangkai garpu
tala tidak berdiri dengan baik, kaki garpu tala tersentuh, atau pasien lambat memberikan
isyarat tentang hilangnya bunyi.
Tuli Konduksi Tes Pendengaran Tuli Sensori Neural
Tidak dengar huruf lunak
Dengar huruf desis Tes Bisik Dengar huruf lunak
Tidak dengar huruf desis
Normal Batas Atas Menurun
Naik Batas Bawah Normal
Negatif Tes Rinne Positif, false positif / false negatif
Lateralisasi ke sisi sakit Tes Weber Lateralisasi ke sisi sehat
Memanjang Tes Schwabach Memendek

Daftar Pustaka

Prof. Dr. dr. Sardjono Soedjak, MHPEd, Sp.THT, dr. Sri Rukmini, Sp.THT, dr. Sri
Herawati, Sp.THT & dr. Sri Sukesi, Sp.THT. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung &
Tenggorok. Jakarta : EGC. 2000.

Technorati Tags: audiometri, garpu tala, rinne, weber, schwabach

December 29, 2007

Otitis Eksterna
Posted by hennykartika under telinga
1 Comment

Otitis Eksterna
Oleh : Muhammad al-Fatih II
Otitis eksterna adalah radang liang telinga akibat infeksi bakteri. Ada 2 jenis yaitu otitis
eksterna akut dan otitis eksterna kronik. Otitis eksterna akut terbagi atas 2 yaitu otitis
eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul) dan otitis eksterna difus.

Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya otitis eksterna, yaitu :

Derajat keasaman (pH). pH basa mempermudah terjadinya otitis eksterna. pH asam


berfungsi sebagai protektor terhadap kuman.
Udara. Udara yang hangat dan lembab lebih memudahkan kuman bertambah banyak.
Trauma. Trauma ringan misalnya setelah mengorek telinga.
Berenang. Perubahan warna kulit liang telinga dapat terjadi setelah terkena air.
1. Otitis Eksterna Akut

Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunkel = Bisul)


Otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul) adalah infeksi pada 1/3 luar liang telinga,
khususnya adneksa kulit, yakni pilosebaseus (folikel rambut & kelenjar sebaseus) dan
kelenjar serumen akibat infeksi bakteri Staphylococcus aureus & Staphyloccus albus.

Gejala otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul), yaitu :

Nyeri hebat. Nyeri ini tidak sesuai dengan besarnya furunkel (bisul). Nyeri timbul saat
kita menekan perikondrium karena jaringan ikat longgar tidak terkandung dibawah kulit.
Gerakan membuka mulut juga menjadi pemicu nyeri karena adanya sendi
temporomandibula.
Gangguan pendengaran. Akibat furunkel (bisul) yang sudah besar dan menyumbat liang
telinga.
Terapi otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul) yang sudah membentuk abses,
yaitu :

Aspirasi. Lakukan aspirasi steril untuk mengeluarkan nanah.


Antibiotik topikal. Berikan salep antibiotik misalnya polymixin B dan bacitracin.
Antiseptik. Berikan asam asetat 2-5% dalam alkohol 2%.
Insisi. Lakukan pada furunkel (bisul) yang berdinding tebal. Pasang salir (drain) untuk
mengalirkan nanah.
Antibiotik sistemik. Biasanya kita tidak perlukan.
Obat simptomatik. Berikan analgetik dan penenang.
Otitis Eksterna Difus

Otitis eksterna difus adalah infeksi pada 2/3 dalam liang telinga akibat infeksi bakteri.
Umumnya bakteri penyebab yaitu Pseudomonas. Bakteri penyebab lainnya yaitu
Staphylococcus albus, Escheria coli, dan sebagainya. Kulit liang telinga terlihat
hiperemis dan udem yang batasnya tidak jelas. Tidak terdapat furunkel (bisul).

Gejalanya sama dengan gejala otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul). Kandang-
kadang kita temukan sekret yang berbau namun tidak bercampur lendir (musin). Lendir
(musin) merupakan sekret yang berasal dari kavum timpani dan kita temukan pada kasus
otitis media.

Terapi otitis eksterna difus, yaitu :

Tampon. Berikan tampon yang mengandung antibiotik.


Antibiotik sistemik. Kadang-kadang perlu kita berikan.
2. Otitis Eksterna Kronik

Otitis eksterna kronik adalah infeksi liang telinga yang berlangsung lama dan ditandai
oleh terbentuknya jaringan parut (sikatriks). Terbentuknya jaringan ini menyebabkan
liang telinga menyempit. Otitis eksterna kronik dapat disebabkan oleh :

Pengobatan. Pengobatan infeksi bakteri dan jamur yang tidak baik.


Trauma berulang.
Benda asing.
Alat bantu dengar (hearing aid). Penggunaan cetakan (mould) pada hearing aid.
Terapi otitis eksterna kronik dengan operasi rekonstruksi liang telinga.

Daftar Pustaka

Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT &
Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006.

Technorati Tags: OE, otitis eksterna, furunkel, otitis

December 29, 2007

Otomikosis
Posted by hennykartika under telinga
Leave a Comment

Otomikosis
Oleh : Muhammad al-Fatih II
Otomikosis adalah radang liang telinga akibat infeksi jamur. Jamur yang paling sering
menyebabkan otomikosis yaitu Aspergilus. Kadang-kadang Candida albicans juga
menjadi penyebabnya. Timbulnya otomikosis dipermudah oleh keadaan lingkungan liang
telinga yang sangat lembab.

Otomikosis kadang-kadang tidak bergejala. Namun ada 2 gejala yang paling sering kita
temukan, yaitu :

Gatal. Rasa gatal di liang telinga.


Penuh. Rasa penuh di liang telinga.
Ada 2 cara terapi pada otomikosis, yaitu :

Asam asetat. Berikan larutan asam asetat 2-5% dalam alkohol. Teteskan ke dalam liang
telinga.
Anti jamur. Salep anti jamur kadang-kadang kita berikan untuk mengatasi otomikosis.
Daftar Pustaka

Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT &
Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006.
Technorati Tags: otomikosis, otitis, jamur

December 29, 2007

Otitis Media
Posted by hennykartika under telinga
Leave a Comment

Otitis Media
Oleh : Muhammad al-Fatih II
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh rongga telinga tengah, tuba
Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid.

Otitis media terbagi atas :

Otitis media supuratif : otitis media supuratif akut (OMA) & otitis media supuratif kronik
(OMSK).
Otitis media non supuratif (otitis media serosa, sekretoria, musinosa atau efusi/OME) :
otitis media serosa akut (barotrauma) & otitis media serosa kronik (aerotitis).
Otitis media spesifik : otitis media tuberkulosa & otitis media sifilitika.
Otitis media adhesiva.

Technorati Tags: OMA, OME, otitis, mastoid

December 29, 2007

Otitis Media Akut


Posted by hennykartika under telinga
[5] Comments

Otitis Media Supuratif Akut (OMA)


Oleh : Muhammad al-Fatih II
Otitis media supuratif akut (OMA) adalah otitis media yang berlangsung selama 3
minggu atau kurang karena infeksi bakteri piogenik. Bakteri piogenik sebagai
penyebabnya yang tersering yaitu Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus aureus, dan
Pneumokokus. Kadang-kadang bakteri penyebabnya yaitu Hemofilus influenza, Escheria
colli, Streptokokus anhemolitikus, Proteus vulgaris, Pseudomonas aerugenosa. Hemofilus
influenza merupakan bakteri yang paling sering kita temukan pada pasien anak berumur
dibawah 5 tahun.
otitis media adalah infeksi pada rongga telinga tengah , sering diderita oleh bayi dan
anak-anak, penyebabnya infeksi virus atau bakteri. Pada penyakit bawaan spt down
syndrome dan anak dgn alergi sering terjadi. Terapi antibiotika dan kunjungan ke dr. tht
dalam proses perbaikan sangat disarankan.

Komplikasi yang bisa timbul jika otitis media tidak segera diobati adalah mastoiditis,
perforasi gendang telia dgn cairan yang terus menerus keluar. Komplikasi lebih lanjut
seperti infeksi ke otak walau jarang masih mungkin terjadi, sumbatan pembuluh darah
akibat tromboemboli juga bisa terjadi.

Disarankan segera bawa anak anda bila rewel dan memegang-megang telinga, tidak
nyaman merebah demam dan keluar cairan pada telinga. Bila anda memeriksakan secara
dini otitis media bisa dicegah sebelum memberikan kerusakan lebih lanjut dengan
paracentesis atau miringotomi.

Faktor pencetus terjadinya otitis media supuratif akut (OMA), yaitu :

Infeksi saluran napas atas. Otitis media supuratif akut (OMA) dapat didahului oleh
infeksi saluran napas atas yang terjadi terutama pada pasien anak-anak.
Gangguan faktor pertahanan tubuh. Faktor pertahanan tubuh seperti silia dari mukosa
tuba Eustachius, enzim, dan antibodi. Faktor ini akan mencegah masuknya mikroba ke
dalam telinga tengah. Tersumbatnya tuba Eustachius merupakan pencetus utama
terjadinya otitis media supuratif akut (OMA).
Usia pasien. Bayi lebih mudah menderita otitis media supuratif akut (OMA) karena letak
tuba Eustachius yang lebih pendek, lebih lebar dan lebih horisontal.
Stadium Otitis Media Supuratif Akut (OMA)

Ada 5 stadium otitis media supuratif akut (OMA) berdasarkan perubahan mukosa telinga
tengah, yaitu :

Oklusi tuba Eustachius.


Hiperemis (pre supurasi).
Supurasi.
Perforasi.
Resolusi.
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius

Stadium oklusi tuba Eustachius terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh
retraksi membrana timpani akibat tekanan negatif dalam telinga tengah karena terjadinya
absorpsi udara. Selain retraksi, membrana timpani kadang-kadang tetap normal atau
hanya berwarna keruh pucat atau terjadi efusi.

Stadium oklusi tuba Eustachius dari otitis media supuratif akut (OMA) sulit kita bedakan
dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan virus dan alergi.

2. Stadium Hiperemis (Pre Supurasi)


Stadium hiperemis (pre supurasi) akibat pelebaran pembuluh darah di membran timpani
yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya
sekret eksudat serosa yang sulit terlihat.

3. Stadium Supurasi

Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen (nanah). Selain itu
edema pada mukosa telinga tengah makin hebat dan sel epitel superfisial hancur.
Ketiganya menyebabkan terjadinya bulging (penonjolan) membrana timpani ke arah
liang telinga luar.

Pasien akan tampak sangat sakit, nadi & suhu meningkat dan rasa nyeri di telinga
bertambah hebat. Anak selalu gelisah dan tidak bisa tidur nyenyak.

Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan
ruptur membran timpani akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran
timpani. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan. Nekrosis ini
disebabkan oleh terjadinya iskemia akibat tekanan kapiler membran timpani karena
penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis
vena-vena kecil.

Keadaan stadium supurasi dapat kita tangani dengan melakukan miringotomi. Bedah
kecil ini kita lakukan dengan membuat luka insisi pada membran timpani sehingga nanah
akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran
timpani akan mudah menutup kembali sedangkan ruptur lebih sulit menutup kembali.
Bahkan membran timpani bisa tidak menutup kembali jika membran timpani tidak utuh
lagi.

4. Stadium Perforasi

Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah
yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-
kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan
oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman.

Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu menurun dan bisa tidur
nyenyak.

Jika membran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret (nanah) tetap berlangsung
selama lebih 3 minggu maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika
kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih 1,5-2 bulan maka keadaan itu
disebut otitis media supuratif kronik (OMSK).

5. Stadium Resolusi
Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga perforasi
membran timpani menutup kembali dan sekret purulen tidak ada lagi. Stadium ini
berlangsung jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi
kuman rendah. Stadium ini didahului oleh sekret yang berkurang sampai mengering.

Apabila stadium resolusi gagal terjadi maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif
kronik (OMSK). Kegagalan stadium ini berupa membran timpani tetap perforasi dan
sekret tetap keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.

Otitis media supuratif akut (OMA) dapat menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis
media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa
mengalami perforasi membran timpani.

Gejala Klinik Otitis Media Supuratif Akut (OMA)

Gejala klinik otitis media supuratif akut (OMA) tergantung dari stadium penyakit dan
umur penderita. Gejala stadium supurasi berupa demam tinggi dan suhu tubuh menurun
pada stadium perforasi. Gejala klinik otitis media supuratif akut (OMA) berdasarkan
umur penderita, yaitu :

Bayi dan anak kecil. Gejalanya : demam tinggi bisa sampai 390C (khas), sulit tidur, tiba-
tiba menjerit saat tidur, mencret, kejang-kejang, dan kadang-kadang memegang telinga
yang sakit.
Anak yang sudah bisa bicara. Gejalanya : biasanya rasa nyeri dalam telinga, suhu tubuh
tinggi, dan riwayat batuk pilek.
Anak lebih besar dan orang dewasa. Gejalanya : rasa nyeri dan gangguan pendengaran
(rasa penuh dan pendengaran berkurang).
Terapi Otitis Media Supuratif Akut (OMA)

Terapi otitis media supuratif akut (OMA) tergantung stadium penyakit, yaitu :

Oklusi tuba Eustachius. Terapinya : obat tetes hidung & antibiotik.


Hiperemis (pre supurasi). Terapinya : antibiotik, obat tetes hidung, analgetik &
miringotomi.
Supurasi. Terapinya : antibiotik & miringotomi.
Perforasi. Terapinya : antibiotik & obat cuci telinga.
Resolusi. Terapinya : antibiotik.
Aturan pemberian obat tetes hidung :

Bahan. HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologis untuk anak berusia dibawah 12 tahun.
HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologis untuk anak berusia diatas 12 tahun dan orang
dewasa.
Tujuan. Untuk membuka kembali tuba Eustachius yang tersumbat sehingga tekanan
negatif dalam telinga tengah akan hilang.
Aturan pemberian obat antibiotik :
Stadium oklusi. Berikan pada otitis media yang disebabkan kuman bukan otitis media
yang disebabkan virus dan alergi (otitis media serosa).
Stadium hiperemis (pre supurasi). Berikan golongan penisilin atau ampisilin selama
minimal 7 hari. Golongan eritromisin dapat kita gunakan jika terjadi alergi penisilin.
Penisilin intramuskuler (IM) sebagai terapi awal untuk mencapai konsentrasi adekuat
dalam darah. Hal ini untuk mencegah terjadinya mastoiditis, gangguan pendengaran
sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Berikan ampisilin 50-100 mg/kgbb/hr yang terbagi
dalam 4 dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgbb/hr yang terbagi
dalam 3 dosis pada pasien anak.
Stadium resolusi. Lanjutkan pemberiannya sampai 3 minggu bila tidak terjadi resolusi.
Tidak terjadinya resolusi dapat disebabkan berlanjutnya edema mukosa telinga tengah.
Curigai telah terjadi mastoiditis jika sekret masih banyak setelah kita berikan antibiotik
selama 3 minggu.
Aturan tindakan miringotomi :

Stadium hiperemis (pre supurasi). Bisa kita lakukan bila terlihat hiperemis difus.
Stadium supurasi. Lakukan jika membran timpani masih utuh. Keuntungannya yaitu
gejala klinik lebih cepat hilang dan ruptur membran timpani dapat kita hindari.
Aturan pemberian obat cuci telinga :

Bahan. Berikan H2O22 3% selama 3-5 hari.


Efek. Bersama pemberian antibiotik yang adekuat, sekret akan hilang dan perforasi
membran timpani akan menutup kembali dalam 7-10 hari.
Komplikasi Otitis Media Supuratif Akut (OMA)

Ada 3 komplikasi otitis media supuratif akut (OMA), yaitu :

Abses subperiosteal.
Meningitis.
Abses otak.
Dewasa ini, ketiga komplikasi diatas lebih banyak disebabkan oleh otitis media supuratif
kronik (OMSK) karena maraknya pemberian antibiotik pada pasien otitis media supuratif
akut (OMA).

Daftar Pustaka

Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT &
Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006.

Technorati Tags: OMA, otitis Media Akut, Membrana timpani, stadium

December 29, 2007


Otitis Media Supuratif Kronik
Posted by hennykartika under telinga
[2] Comments

Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)


Oleh : Muhammad al-Fatih II
Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah otitis media yang berlangsung lebih 2 bulan
karena infeksi bakteri piogenik dan ditandai oleh perforasi membran timpani dan
pengeluaran sekret. Dulu kita kenal sebagai otitis media perforata (OMP). Orang awam
biasa menyebutnya congek.

Ada 3 tipe perforasi membran timpani berdasarkan letaknya, yaitu :

Perforasi sentral (sub total). Letak perforasi di sentral dan pars tensa membran timpani.
Seluruh tepi perforasi masih mengandung sisa membran timpani.
Perforasi marginal. Sebagian tepi perforasi langsung berhubungan dengan anulus atau
sulkus timpanikum.
Perforasi atik. Letak perforasi di pars flaksida membran timpani.
Sekret yang keluar dari telinga tengah ke telinga luar dapat berlangsung terus-menerus
atau hilang timbul. Konsistensinya bisa encer atau kental. Warnanya bisa kuning atau
berupa nanah.

Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan kelanjutan dari otitis media supuratif
sub akut dan otitis media supuratif akut (OMA). Hal ini disebabkan oleh :

Terapi. Terapi lambat diberikan atau terapi tidak adekuat.


Kuman. Virulensi kuman tinggi.
Pertahanan. Daya tahan tubuh rendah akibat gizi kurang.
Higiene. Higienitas yang buruk.
Jenis otitis media supuratif kronik (OMSK), yaitu :

Otitis media supuratif kronik (OMSK) benigna / mukosa / aman.


Otitis media supuratif kronik (OMSK) maligna / tulang / bahaya.
Otitis media supuratif kronik (OMSK) aktif. Sekret keluar dari kavum timpani.
Otitis media supuratif kronik (OMSK) tenang. Kavum timpani basah atau kering.
Tabel Perbedaan Antara Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) Benigna & Maligna

Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) Benigna Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)
Maligna
Proses peradangan terbatas pada mukosa. Proses peradangan tidak terbatas pada mukosa.
Proses peradangan tidak mengenai tulang. Proses peradangan mengenai tulang.
Perforasi membran timpani tipe sentral. Perforasi membran timpani paling sering tipe
marginal & atik. Kadang-kadang tipe sub total (sentral) dengan kolesteatoma.
Jarang terjadi komplikasi yang berbahaya. Sering terjadi komplikasi yang berbahaya.
Kolesteatoma tidak ada. Kolesteatoma ada.
Terapi Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)

Terapi otitis media supuratif kronik (OMSK) memiliki beberapa kesulitan. Diantaranya
membutuhkan waktu yang lama, gejala sering berulang, sekret yang keluar tidak cepat
kering dan sekret yang selalu kambuh. Masalah ini dapat disebabkan :

Perforasi membran timpani. Perforasi membran timpani yang permanen menyebabkan


telinga tengah terpapar langsung & terus-menerus oleh dunia luar.
Sumber infeksi. Sumber infeksi yang masih ada dapat terjadi pada nasofaring, faring,
hidung dan sinus paranasalis.
Jaringan patologik. Jaringan patologik yang ireversibel telah terbentuk dalam rongga
mastoid.
Gizi & higiene. Status gizi dan higiene pasien yang kurang.
Terapi otitis media supuratif kronik (OMSK) tergantung dari jenisnya. Prinsip terapi
otitis media supuratif kronik (OMSK) benigna dengan cara konservatif (medikamentosa)
sedangkan otitis media supuratif kronik (OMSK) maligna dengan cara pembedahan.

Ada 3 cara terapi konservatif (medikamentosa) otitis media supuratif kronik (OMSK)
benigna, yaitu :

Obat pencuci telinga. Bahannya H2O2 3%. Berikan selama 3-5 hari. Pengobatan ini kita
berikan bila sekret telinga keluar terus-menerus.
Obat tetes telinga. Lanjutkan memberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotik
& kortikosteroid setelah sekret yang keluar telah berkurang. Jangan berikan selama lebih
1-2 minggu secara berturut-turut. Juga hindari pemberiannya pada otitis media supuratif
kronik (OMSK) tenang. Hal ini disebabkan semua antibiotik tetes telinga bersifat
ototoksik.
Obat antibiotik. Berikan antibiotik oral golongan ampisilin atau eritromisin sebelum hasil
tes resistensi obat kita terima. Berikan eritromisin jika pasien alergi terhadap golongan
penisilin. Berikan ampisilin asam klavulanat bila terjadi resistensi ampisilin.
Selain terapi konservatif (medikamentosa), tindakan pembedahan dapat pula kita lakukan
pada otitis media supuratif kronik (OMSK) benigna. Tindakan ini disebut miringoplasti
atau timpanoplasti. Tujuannya antara lain :

Menghentikan infeksi permanen.


Mencegah komplikasi dan kerusakan pendengaran yang lebih berat.
Memperbaiki perforasi membran timpani dan fungsi pendengaran.
Miringoplasti dan timpanoplasti kita lakukan jika sekret telah kering namun perforasi
membran timpani masih ada. Juga setelah kita melakukan observasi selama 2 bulan.

Tanda yang menunjukkan adanya sumber infeksi, yaitu :

Sekret masih ada.


Infeksi berulang.
Cara mengatasi sumber infeksi, yaitu :
Pengobatan.
Pembedahan : adenoidektomi & tonsilektomi.
Tindakan pembedahan pada otitis media supuratif kronik (OMSK) maligna yang sering
dilakukan yaitu mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti. Adapun terapi
konservatif (medikamentosa) hanya bersifat sementara dan kita berikan sebelum
melakukan tindakan pembedahan. Jika abses subperiosteal retroaurikuler ada, lakukan
insisi abses diwaktu yang berlainan, sebelum melakukan operasi mastoidektomi.

Daftar Pustaka

Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT &
Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006.

Technorati Tags: OMSK, OMK, mastoidektomi, otitis

December 29, 2007

Pemeriksaan telinga
Posted by hennykartika under telinga
Leave a Comment

Anatomi, Histologi & Patologi Telinga


Oleh : Muhammad al-Fatih II
Anatomi Telinga

Ada 3 struktur anatomi telinga yang penting kita ketahui pada pemeriksaan telinga,
yaitu :

Aurikulum.
Meatus akustikus eksterna.
Membrana timpani.
Aurikulum terdiri atas 2 bagian, yaitu :

Bagian yang bertulang rawan terdiri atas heliks, antiheliks, tragus, antitragus, konka dan
sulkus retroaurikuler.
Bagian yang tidak bertulang rawan yaitu lobulus.
Meatus akustikus eksternus terdiri atas 2 bagian, yaitu :

Pars kartilagenus.
Pars osseus.
Pars kartilagenus dari meatus akustikus eksterna merupakan bagian lateral dari meatus
akustikus eksterna dan sebagai kelanjutan dari aurikulum. Struktur ini memiliki rambut,
kelenjar sebaseus dan kelenjar serumenalis. Kulitnya melekat erat pada perikondrium.

Pars osseus dari meatus akustikus eksterna merupakan wilayah medial dari meatus
akustikus eksterna dan sebagai bagian dari os temporale. Struktur ini tidak berambut dan
memiliki bagian sempit yang disebut ismus meatus akustikus eksterna. Juga tidak mobil
terhadap jaringan disekitarnya.

Membrana timpani terdiri atas 2 bagian, yaitu :

Pars tensa.
Pars flaksida.
Pars tensa dari membrana timpani terdiri atas 6 bagian, yaitu :

Manubrium mallei.
Umbo.
Prosesus brevis.
Refleks cahaya.
Plika anterior.
Plika posterior.
Pars flaksida dari membrana timpani yaitu membrana Schrapnelli.

Ciri-ciri membrana timpani, yaitu :

Posisi. Membrana timpani membentuk sudut 450 terhadap bidang horisontal dan sagital.
Tepi bawahnya 6 mm lebih ke medial daripada tepi atas. Letaknya lebih horisontal &
frontal pada bayi dibawah 1 tahun.
Warna. Membrana timpani berwarna putih mengkilat seperti mutiara.
Ukuran. Tingginya 9-10 mm & lebarnya 8-9 mm.
Bentuk. Membrana timpani berbentuk oval dan lebih condong ke anterior.
Histologi Telinga

Pars tensa membrana timpani terdiri atas 3 lapisan, yaitu :

Lapisan luar. Berupa kulit tipis sebagai lanjutan dari kulit meatus akustikus eksternus.
Lapisan medial. Berupa mukosa sebagai lanjutan dari mukosa yang melapisi kavum
timpani.
Lapisan tengah. Berupa membrana propia. Bagian lateralnya tersusun oleh serat radier
sedangkan bagian medialnya tersusun oleh serat sirkuler. Serat sirkuler inilah yang
menyebabkan pars tensa membrana timpani menjadi tegang.
Pars flaksida membrana timpani tidak memiliki membrana propia.

Patologi Telinga

Ada 4 penyebab terjadinya patologi aurikulum, yaitu :


Kongenital. Misalnya fistula preaurikularis kongenital & mikrotia.
Infeksi. Misalnya erisipelas, dermatitis aurikularis, perikondritis & herpes zoster oticus.
Trauma. Misalnya othematoma & pseudothematoma.
Tumor. Misalnya ateroma.
Ada 5 penyebab terjadinya patologi meatus akustikus eksterna, yaitu :

Kongenital. Misalnya atresia kongenital & stenosis kongenital.


Infeksi. Misalnya furunkel, otitis eksterna difusa & granulasi.
Tumor. Misalnya polip, papiloma & karsinoma.
Korpus alienum.
Serumen.
Ada 3 jenis patologi membrana timpani, yaitu :

Perubahan warna.
Perubahan posisi.
Perubahan struktur.
Perubahan warna membrana timpani dari putih mengkilat menjadi merah dapat
disebabkan oleh hiperemia akibat peradangan. Jamur dapat mengubah warnanya menjadi
hitam, kuning atau putih. Selain penyebabnya jamur, perubahan membrana timpani
menjadi putih dapat juga disebabkan oleh asidum borikum pulveratum.

Ada 2 perubahan posisi membrana timpani yang dapat kita temukan, yaitu :

Retraksi.
Bombans.
Ada 5 efek yang dapat kita amati akibat retraksi membrana timpani, yaitu :

Manubrium mallei memendek akibat tertarik ke medial dan posisinya lebih horisontal.
Refleks cahaya berubah bentuk atau menghilang.
Prosesus brevis menonjol keluar.
Plika posterior lebih jelas.
Plika anterior tidak tampak akibat tertutup oleh prosesus brevis yang menonjol.
Ada 2 efek yang dapat kita amati akibat bombans membrana timpani, yaitu :

Bentuknya lebih cembung karena membrana timpani terdorong ke lateral.


Warnanya merah.
Ada 4 perubahan struktur membrana timpani yang dapat kita temukan, yaitu :

Perforasi. Jenisnya terbagi berdasarkan letak dan bentuk perforasi.


Ruptur. Penyebabnya trauma dengan bentuk bintang dan terdapat bekuan darah.
Sikatriks. Sebagai bekas perforasi yang sudah menutup.
Granulasi.
Berdasarkan letaknya, perforasi membrana timpani terbagi atas sentral, marginal, dan
atik. Sedangkan berdasarkan bentuknya, terbagi atas bulat, oval, jantung, ginjal, subtotal
dan total.
Daftar Pustaka

Prof. Dr. dr. Sardjono Soedjak, MHPEd, Sp.THT, dr. Sri Rukmini, Sp.THT, dr. Sri
Herawati, Sp.THT & dr. Sri Sukesi, Sp.THT. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung &
Tenggorok. Jakarta : EGC. 2000.

http://hennykartika.wordpress.com/2007/12/29/page/2/

PERIKONDRITIS

Pendahuluan
Perikondritis adalah radang pada tulang rawan daun telinga yang terjadi apabila suatu
trauma atau radang menyebabkan efusi serum atau pus di antara lapisan perikondrium
dan kartilago telinga luar (1,2). Umumnya trauma berupa laserasi atau akibat kerusakan
yang tidak disengajakan pada pembedahan telinga(1,3,4). Adakalanya perikondritis
terjadi setelah suatu memar tanpa adanya hematoma(2). Dalam stage awal infeksi, pinna
dapat menjadi merah dan kenyal. Ini diikuti oleh pembengkakan yang general dan
membentuk abses subperikondrial dengan pus terkumpul di antara perikondrium dan
tulang rawan dibawahnya.

Etiologi
Luka akibat terbakar aurikel adalah faktor predisposisi yang paling sering, sehingga 25%
dapat terjadi infeksi. Baru-baru ini juga didapatkan peningkatan infeksi yang disebabkan
oleh tindik telinga.(5). Karena menindik telinga sekarang sebagian dilakukan di pinna,
suatu daerah yang melibatkan porsi kartilago dari aurikel, dapat memberi resiko yang
besar untuk terjadinya perikondritis. Infeksi dari Pseudomonas dapat menyebabkan
deformitas kosmetik yang berat.(3). Suatu furunkel yang tidak memadai pengobatannya
merupakan sumber agen penyebab yang potensial, seperti mikrokokus jenis virulen
(Stafilokokus), Streptokokus, atau Pseudomonas aeruginosa.(1, 6). Infeksi juga dapat
dapat terjadi pada saat aspirasi dan insisi hematoma auris. Cedera pada kartilago juga
dapat disebabkan oleh frostbite.(3). perikondritis juga dapat terjadi sebagai komplikasi
dari pembedahan seperti mastoidectomi atau komplikasi dari hematoma atau otitis
eksterna yang disebabkan oleh berenang di air yang terkontaminasi.(6)

Anatomi
Telinga luar termasuk aurikula atau pinna, dan liang telinga. Telinga luar berfungsi untuk
mengumpulkan dan menghantar gelombang bunyi ke struktur-struktur telinga tengah.
Aurikel terbentuk dari arkus brakial pertama dan kedua pada hari ke 38 dari kehidupan
fetus. Aurikel secara anatomi dikatakan sempurna pada minggu ke 20(3,4). Karena
keunikan anatomi aurikula serta konfigurasi liang telinga yang melengkung atau seperti
spiral, maka telinga luar mampu melindungi membrana timpani dari trauma, benda asing
dan efek termal.(1)
Gambaran klinis
Bagian aurikel yang terlibat membengkak, menjadi merah, terasa panas dan sangat nyeri
tekan.(1,4,5)

Diagnosis
Diagnosis Perikondritis seringkali ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan
fisik. Diagnosisnya mudah, bagian aurikula yang terlibat membengkak, menjadi merah,
terasa panas, dan sangat nyeri tekan. Mungkin terjadi perubahan bentuk yang abnormal
pada telinga. Riwayat trauma pada telinga penting untuk mendiagnosis Perikondritis atau
Kondritis, karena keduanya merupakan hasil dari luka pada kartilago. Diagnosa
Perikondritis tidak akan keliru dengan lepra pada aurikula yang menyebabkan inflamasi
dan perubahan bentuk yang kronik dan dapat didiagnosis dengan biopsy. 1,5,6,9
Diagnosis Banding
Penyakit lain dimana Perikondritis menjadi alternatif diagnosis termasuk pada penyakit
Polikondritis Berulang. Penyakit kedua yang mirip dengan perikondritis adalah
Erisipelas. 5,10
Polikondritis Berulang
Penyakit yang tidak diketahui etiologinya ini menyebabkan peradangan dan destruksi
tulang rawan. Merupakan suatu gangguan tulang rawan generalisata, melibatkan hidung
dan telinga pada 80-90% kasus. Deformitas aurikula menyerupai suatu perikondritis akut
yang infeksius atau suatu telinga bunga kol (cauliflower ear) yang meradang. Hilangnya
tulang rawan menyebabkan telinga menjadi “lemas” dan timbul deformitas hidung
pelana. Peradangan yang bergantian pada kedua telinga (tanpa sebab predisposisi) atau
adanya demam memberi kesan gangguan ini. Dapat ditemukan tinitus dan vertigo,
demikian pula kehilangan pendengaran akibat kolaps meatus akustikus eksternus. Bila
laring, trakea dan bronkus ikut terlibat dapat berakibat suara menjadi serak dan bahkan
kematian akibat kolaps dinding laringotrakea dan bronkus.1
Aktivitas penyakit berfluktuasi dan prognosisnya tak dapat diramalkan. Dapat berupa
serangan tunggal atau dapat pula serangan berulang selama-bertahun-tahun. Pengobatan
berupa salisilat dan steroid pada serangan akut, meskipun terdapat kontroversi mengenai
pemberian steroid. Dapson telah digunakan untuk mencegah serangan ulangan. Struktur-
struktur yang terserang harus dilindungi dari trauma.1
Erisipelas
Erisipelas adalah infeksi pada dermis yang disebabkan oleh Streptokokus β hemolitikus
Grup A yang memberikan gejala berupa nyeri, eritema, bengkak, keras, dan panas.
Eritema dan pembengkakan tidak mengikuti batas anatomis tapi berbatas tegas. Gejala
sistemik berupa demam dan malaise juga dapat ditemukan. Infeksi ini diobati dengan
penisilin oral, karena penyakit ini berjalan dengan progresif dan berpotensi mengurangi
kualitas hidup, penanganan dibutuhkan sedini mungkin.5
Penatalaksanaan
Berikan antibiotik parenteral dan pengobatan topikal untuk infeksi kanalis penyerta.
Pilihan obat disesuaikan dengan hasil biakan atau petunjuk lain mengenai organisme
yang terlibat. Bila kondisi ini tampaknya meluas dan terdapat adanya bukti-bukti adanya
cairan di bawah perikondrium, terdapat indikasi untuk mengeluarkan cairan. Karena
tulang rawan tidak memiliki suplai darah langsung bila dipisahkan dari perikondrium,
maka dapat terjadi nekrosis tulang rawan. Dengan demikian, tulang rawan yang nekrosis
perlu dieksisi dan drainase dipertahankan.1
Komplikasi
Akibat perikondritis dapat terjadi deformitas aurikula yang nyata. Dapat terjadi
komplikasi, yaitu tulang rawan hancur dan menciut serta keriput, sehingga terjadi telinga
lisut (cauliflower ear).1,2
Prognosis
Jika diagnosa ditegakkan dini dan mulai diberikan antibiotik, diharapkan dapat
sepenuhnya sembuh. Pada kasus lanjut, dimana infeksi sampai pada kartilago telinga
(Kondritis), beberapa bagian telinga mungkin mengalami nekrosis dan mesti dilakukan
pembedahan. Akhirnya dibutuhkan bedah plastik untuk mengembalikan bentuk normal
telinga.9
Kesimpulan
Perikondritis adalah radang pada tulang rawan daun telinga yang terjadi apabila suatu
trauma atau radang menyebabkan efusi serum atau pus di antara lapisan perikondrium
dan kartilago telinga luar. Bagian aurikel yang terlibat membengkak, menjadi merah,
terasa panas dan sangat nyeri tekan. Diagnosis Perikondritis seringkali ditegakkan
berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Diagnosis banding dari Perikondritis
adalah Polikondritis berulang dan erisipelas. Penatalaksanaan Perikondritis menggunakan
antibiotik yang sesuai dengan biakan atau petunjuk lain mengenai organisme yang
terlibat. Tindakan bedah dibutuhkan bila ada cairan di bawah perikondrium ataupun
terjadi nekrosis pada tulang rawan telinga. Akibat perikondritis ini dapat terjadi
deformitas aurikula yang nyata. Jika diagnosa ditegakkan dini dan mulai diberikan
antibiotik, diharapkan penyakit ini dapat sepenuhnya sembuh.

http://arbaa-fivone.blogspot.com/2009/02/perikondritis-aurikular.html

Kelainan Pada Telinga Luar DEFINISI


Telinga luar terdiri dari daun telinga (pinna atau aurikel) dan saluran telinga (meatus
auditorius eksternus).
Kelainan pada telinga luar meliputi:
- penyumbatan
- infeksi
- cedera
- tumor.
PENYUMBATAN

Kotoran telinga (serumen) bisa menyumbat saluran telinga dan menyebabkan gatal-gatal,
nyeri serta tuli yang bersifat sementara.
Dokter akan membuang serumen dengan cara menyemburnya secara perlahan dengan
menggunakan air hangat (irigasi). Tetapi jika dari telinga keluar nanah, terjadi perforasi
gendang telinga atau terdapat infeksi telinga yang berulang, maka tidak dilakukan irigasi.
Jika terdapat perforasi gendang telinga, air bisa masuk ke telinga tengah dan
kemungkinan akan memperburuk infeksi. Pada keadaan ini, serumen dibuang dengan
menggunakan alat yang tumpul atau dengan alat penghisap.
Biasanya tidak digunakan pelarut serumen karena bisa menimbulkan iritasi atau reaksi
alergi pada kulit saluran telinga, dan tidak mampu melarutkan serumen secara adekuat.

Anak-anak sering memasukkan benda-benda kecil ke dalam saluran telinganya, terutama


manik-manik, penghapus karet atau kacang-kacangan.
Biasanya benda-benda tersebut oleh dokter dikeluarkan dengan bantuan kait yang
tumpul.
Benda-benda yang masuk terlalu dalam lebih sulit dikeluarkan karena memiliki resiko
menimbulkan cedera pada gendang telinga dan tulang-tulang pendengaran di telinga
tengah.
Kadang manik-manik dari kaca atau logam dikeluarkan dengan cara irigasi.
Jika anak meronta-ronta atau pengeluaran benda sulit dilakukan, bisa dilakukan
pembiusan umum.

OTITIS EKSTERNA

Otitis eksterna adalah suatu infeksi pada saluran telinga.


Infeksi ini bisa menyerang seluruh saluran (otitis eksterna generalisata) atau hanya pada
daerah tertentu sebagai bisul (furunkel).
Otitis eksterna seringkali disebut sebagai telinga perenang (swimmer's ear).

Sejumlah bakteri atau jamur (lebih jarang) bisa menyebabkan otitis eksterna generalisata;
bakteri stafilokokus biasanya menyebabkan bisul.
Orang-orang tertentu (penderita alergi, psoriasis), eksim atau dermatitis pada kulit
kepala) sangat peka terhadap otitis eksterna.
Cedera pada saluran telinga ketika sedang membersihkannya atau masuknya air/bahan
iritan (misalnya hari spray atau cat rambut) bisa menyebabkan otits eksterna.

Saluran telinga bisa membersihkan dirinya sendiri dengan cara membuang sel-sel kulit
yang mati dari gendang telinga melalui saluran telinga.
Membersihkan saluran telinga dengan cotton bud (kapas pembersih) bisa mengganggu
mekanisme pembersihan ini dan bisa mendorong sel-sel kulit yang mati ke arah gendang
telinga sehingga kotoran menumpuk disana.
Penimbunan sel-sel kulit yang mati dan serumen akan menyebabkan penimbunan air
yang masuk ke dalam saluran ketika mandi atau berenang. Kulit yang basah dan lembut
pada saluran telinga lebih mudah terinfeksi oleh bakteri atau jamur.

Gejala-gejala dari otitis eksterna generalisata adalah gatal-gatal, nyeri dan keluarnya
cairan berbau busuk.
Jika saluran telinga membengkak atau terisi oleh nanah dan sel-sel kulit yang mati, maka
bisa terjadi gangguan pendengaran.

Biasanya jika daun telinga ditarik atau kulit didepan saluran telinga ditekan, akan timbul
nyeri.
Dengan menggunakan otoskop, kulit pada saluran telinga tampak merah, membengkak
dan penuh dengan nanah dan sel-sel kulit yang mati.

Bisul menyebabkan nyeri yang hebat.


Jika bisul ini pecah, akan keluar darah dan nanah dari telinga.

Untuk mengobati otitis eksterna generalisata, pertama-tama dilakukan pembuangan sel-


sel kulit mati yang terinfeksi dari saluran telinga dengan alat penghisap atau kapas kering.
Setelah saluran telinga diersihkan, fungsi pendengaran biasanya kembali normal.
Biasanya diberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotik selama bebarapa hari.
Beberapa tetes teling ada yang mengandung kortikosteroid untuk mengurangi
pembengkakan.
Kadang diberikan obat tetes telinga yang mengandung asam asetat untuk mengembalikan
keasaman pada saluran telinga.

Untuk mengurangi nyeri pada 24-48 jam pertama bisa diberikan acetaminophen atau
codein.
Infeksi yang sudah menyebar keluar saluran telinga (selulitis) diobati dengan antibiotik
per-oral (melalui mulut).
Bisul dibiarkan pecah dengan sendirinya karena jika sengaja disayat bisa menyebabkan
penyebaran infeksi.
Obat tetes telinga yang mengandung antibiotik tidak efektif.
Untuk meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan bisa dilakukan pengompresan
hangat (sebentar saja) dan pemberian obat pereda nyeri.

PERIKONDRITIS

Perikondritis adalah suatu infeksi pada tulang rawan (kartilago) telinga luar.

Perikondritis bisa terjadi akibat:


- cedera
- gigitan serangga
- pemecahan bisul dengan sengaja.

Nanah akan terkumpul diantara kartilago dan lapisan jaringan ikat di sekitarnya
(perikondrium).
Kadang nanah menyebabkan terputusnya aliran darah ke kartilago, menyebabkan
kerusakan pada kartilago dan pada akhirnya menyebabkan kelainan bentuk telinga.
Meskipun bersifat merusak dan menahun, tetapi perikondritis cenderung hanya
menyebabkan gejala-gejala yang ringan.

Untuk membuang nanahnya, dibuat sayatan sehingga darah bisa kembali mengalir ke
kartilago.
Untuk infeksi yang lebih ringan diberikan antibiotik per-oral, sedangkan untuk infeksi
yang lebih berat diberikan dalam bentuk suntikan.
Pemilihan antibiotik berdasarkan beratnya infeksi dan bakteri penyebabnya.

EKSIM

Eksim pada telinga merupakan suatu peradangan kulit pada telinga luar dan saluran
telinga, yang ditandai dengan gatal-gatal, kemerahan, pengelupasan kulit, kulit yang
pecah-pecah serta keluarnya cairan dari telinga.

Keadaan ini bisa menyebabkan infeksi pada telinga luar dan saluran telinga.
Dioleskan larutan yang mengandung alumunium asetat (larutan Burow).
Untuk mengatasi gatal-gatal dan peradangan bisa diberikan krim atau salep
corticosteroid.
Jika daerah yang terkena mengalami infeksi, bisa diberikan salep atau obat tetes
antibiotik.
CEDERA

Cedera pada telinga luar (misalnya pukulan tumpul) bisa menyebabkan memar diantara
kartilago dan perikondrium.
Jika terjadi penimbunan darah di daerah tersebut, maka akan terjadi perubahan bentuk
telinga luar dan tampak massa berwarna ungu kemerahan.

Darah yang tertimbun ini (hematoma) bisa menyebabkan terputusnya aliran darah ke
kartilago sehingga terjadi perubahan bentuk telinga.
Kelainan bentuk ini disebut telinga bunga kol, yang sering ditemukan pada pegulat dan
petinju.

Untuk membuang hematoma, biasanya digunakan alat penghisap dan penghisapan


dilakukan sampai hematoma betul-betul sudah tidak ada lagi (biasanya selama 3-7 hari).
Dengan pengobatan, kulit dan perikondrium akan kembali ke posisi normal sehingga
darah bisa kembali mencapai kartilago.

Jika terjadi robekan pada telinga, maka dilakukan penjahitan dan pembidaian pada
kartilagonya.

Pukulan yang kuat pada rahang bisa menyebabkan patah tulang di sekitar saluran telinga
dan merubah bentuk saluran telinga dan seringkali terjadi penyempitan.
Perbaikan bentuk bisa dilakukan melalui pembedahan.

TUMOR

Tumor pada telinga bisa bersifat jinak atau ganas (kanker).

Tumor yang jinak bisa tumbuh di saluran telinga, menyebabkan penyumbatan dan
penimbunan kotoran telinga serta ketulian.
Contoh dari tumor jinak pada saluran telinga adalah:
 Kista sebasea (kantong kecil yang terisi sekresi dari kulit)
 Osteoma (tumor tulang)

 Keloid (pertumbuhan dari jaringan ikat yang berlebihan setelah terjadinya cedera).

Seruminoma (kanker pada sel-sel yang menghasilkan serumen) bisa tumbuh pada sepertia
saluran telinga luar dan bisa menyebar.
Untuk mengatasinya dilakukan pembedahan untuk mengangkat kanker dan jaringan di
sekitarnya.

Kanker sel basal dan kanker sel skuamosa seringkali tumbuh di pada telinga luar setelah
pemaparan sinar matahari yang lama dan berulang-ulang.
Pada stadium dini, bisa diatasi dengan pengangkatan kanker atau terapi penyinaran.
Pada stadium lanjut, mungkin perlu dilakukan pengangkatan daerah telinga luar yang
lebih luas.
Jika kanker telah menyusup ke kartilago, dilakukan pembedahan.

Kanker sel basal dan sel skuamosa juga bisa tumbuh di dalam atau menyebar ke saluran
telinga.
Keadaan ini diatasi dengan pembedahan untuk mengangkat kanker dan jaringan di
sekitarnya yang diikuti dengan terapi penyinaran.

http://medicastore.com/penyakit/360/Kelainan_Pada_Telinga_Luar.html

RHINITIS ALERGIKA

Pendahuluan
Background Latar belakang

Rhinitis is defined as inflammation of the nasal membranes 1 and is characterized by a


symptom complex that consists of any combination of the following: sneezing, nasal
congestion, nasal itching, and rhinorrhea. 2 The eyes, ears, sinuses, and throat can also be
involved. Rhinitis didefinisikan sebagai radang selaput hidung 1 dan ditandai oleh gejala
kompleks yang terdiri dari kombinasi berikut ini: bersin, hidung tersumbat, hidung gatal,
dan Rhinorrhea. 2 Mata, telinga, sinus, dan tenggorokan juga dapat terlibat. Allergic
rhinitis is the most common cause of rhinitis. Alergi rhinitis adalah penyebab paling
umum rhinitis. It is an extremely common condition, affecting approximately 20% of the
population. Ini adalah kondisi yang sangat umum, mempengaruhi sekitar 20% dari
populasi. While allergic rhinitis is not a life-threatening condition, complications can
occur and the condition can significantly impair quality of life, 3 , 4 which leads to a
number of indirect costs. Sementara rhinitis alergi bukanlah kondisi mengancam
kehidupan, komplikasi dapat terjadi dan kondisi secara signifikan dapat mengganggu
kualitas hidup, 3, 4 yang mengarah ke sejumlah biaya tidak langsung. The total direct and
indirect cost of allergic rhinitis was recently estimated to be $5.3 billion per year. 5 Total
biaya langsung dan tidak langsung rhinitis alergi baru-baru ini diperkirakan menjadi $ 5,3
milyar per tahun. 5

Pathophysiology Patofisiologi
Allergic rhinitis involves inflammation of the mucous membranes of the nose, eyes,
eustachian tubes, middle ear, sinuses, and pharynx. Rhinitis alergi melibatkan radang
selaput lendir hidung, mata, Eustachio tabung, telinga tengah, sinus, dan tenggorokan.
The nose invariably is involved, and the other organs are affected in certain individuals.
Hidung selalu terlibat, dan organ-organ lain yang terkena dampak dalam individu-
individu tertentu. Inflammation of the mucous membranes is characterized by a complex
interaction of inflammatory mediators but ultimately is triggered by an immunoglobulin
E (IgE)–mediated response to an extrinsic protein. 6 Radang selaput lendir dicirikan oleh
interaksi yang kompleks mediator peradangan tetapi akhirnya dipicu oleh imunoglobulin
E (IgE)-dimediasi respons terhadap protein ekstrinsik. 6

The tendency to develop allergic, or IgE-mediated, reactions to extrinsic allergens


(proteins capable of causing an allergic reaction) has a genetic component.
Kecenderungan untuk mengembangkan alergi, atau IgE-mediated, reaksi terhadap
alergen ekstrinsik (protein yang mampu menyebabkan reaksi alergi) memiliki komponen
genetik. In susceptible individuals, exposure to certain foreign proteins leads to allergic
sensitization, which is characterized by the production of specific IgE directed against
these proteins. Pada individu rentan, pajanan protein asing tertentu menyebabkan
sensitisasi alergi, yang ditandai oleh produksi IgE spesifik diarahkan terhadap protein ini.
This specific IgE coats the surface of mast cells, which are present in the nasal mucosa.
IgE spesifik ini melapisi permukaan sel mast yang terdapat pada mukosa hidung. When
the specific protein (eg, a specific pollen grain) is inhaled into the nose, it can bind to the
IgE on the mast cells, leading to immediate and delayed release of a number of
mediators. 6 , 7 , 8 Ketika protein spesifik (misalnya, butir serbuk sari tertentu) dihirup ke
dalam hidung, dapat berikatan dengan IgE pada sel mast, menyebabkan segera dan
menunda pelepasan sejumlah mediator. 6, 7, 8

The mediators that are immediately released include histamine, tryptase, chymase, kinins,
and heparin. 7 , 8 The mast cells quickly synthesize other mediators, including leukotrienes
and prostaglandin D2. 9 , 10 , 11 These mediators, via various interactions, ultimately lead to
the symptoms of rhinorrhea (ie, nasal congestion, sneezing, itching, redness, tearing,
swelling, ear pressure, postnasal drip). Mediator yang segera dirilis meliputi histamin,
tryptase, chymase, kinins, dan heparin. 7, 8 sel mast cepat yang mensintesis mediator lain,
termasuk prostaglandin D2 dan leukotrienes. 9, 10, 11 ini mediator, melalui berbagai
interaksi, pada akhirnya mengarah pada gejala Rhinorrhea (yaitu, hidung tersumbat,
bersin, gatal, kemerahan, merobek, bengkak, tekanan telinga, postnasal drip). Mucous
glands are stimulated, leading to increased secretions. Kelenjar lendir terangsang,
mengakibatkan peningkatan sekresi. Vascular permeability is increased, leading to
plasma exudation. Permeabilitas vaskular meningkat, yang menyebabkan pengeluaran
plasma. Vasodilation occurs, leading to congestion and pressure. Vasodilasi terjadi, yang
menyebabkan kemacetan dan tekanan. Sensory nerves are stimulated, leading to sneezing
and itching. Sensorik saraf dirangsang, menyebabkan bersin dan gatal. All of these events
can occur in minutes; hence, this reaction is called the early, or immediate, phase of the
reaction. Semua peristiwa ini dapat terjadi dalam beberapa menit; karenanya, reaksi ini
disebut awal, atau langsung, fase reaksi.

Over 4-8 hours, these mediators, through a complex interplay of events, lead to the
recruitment of other inflammatory cells to the mucosa, such as neutrophils, eosinophils,
lymphocytes, and macrophages. 12 This results in continued inflammation, termed the
late-phase response. Selama 4-8 jam, mediator ini, melalui interaksi kompleks peristiwa,
mengarah pada perekrutan sel inflamasi lainnya ke mukosa, seperti neutrofil, eosinofil,
limfosit, dan makrofag. 12 Hal ini mengakibatkan peradangan berlanjut, disebut akhir -
tanggapan fase. The symptoms of the late-phase response are similar to those of the early
phase, but less sneezing and itching and more congestion and mucus production tend to
occur. 12 The late phase may persist for hours or days. Gejala tahap akhir respons yang
mirip dengan fase awal, tetapi kurang bersin dan gatal-gatal dan lebih kemacetan dan
produksi lendir cenderung terjadi. 12 fase Almarhum dapat bertahan selama berjam-jam
atau hari.

Systemic effects, including fatigue, sleepiness, and malaise, can occur from the
inflammatory response. Efek sistemik, termasuk kelelahan, kantuk, dan malaise, dapat
terjadi dari respon peradangan. These symptoms often contribute to impaired quality of
life. Gejala ini sering membantu gangguan kualitas hidup.

Frequency Frekuensi

United States Amerika Serikat

Allergic rhinitis affects approximately 40 million people in the United States. 13 Recent
US figures suggest a 20% cumulative prevalence rate. 14 , 15 Rhinitis alergi mempengaruhi
sekitar 40 juta orang di Amerika Serikat. 13 Recent AS menyarankan angka kumulatif
20% tingkat prevalensinya. 14, 15

International Internasional

Scandinavian studies have demonstrated a cumulative prevalence rate of 15% in men and
14% in women. 16 The prevalence of allergic rhinitis may vary within and among
countries. 17 , 18 , 19 , 20 This may be due to geographic differences in the types and potency
of different allergens and the overall aeroallergen burden. Skandinavia penelitian telah
menunjukkan angka prevalensi kumulatif 15% pada pria dan 14% pada wanita. 16
Prevalensi alergi rhinitis dapat bervariasi di dalam dan antar negara. 17, 18, 19, 20 Hal ini
mungkin disebabkan oleh perbedaan geografis dalam jenis dan potensi alergen yang
berbeda dan keseluruhan beban aeroallergen.

Mortality/Morbidity Mortalitas / Morbiditas

While allergic rhinitis itself is not life-threatening (unless accompanied by severe asthma
or anaphylaxis), morbidity from the condition can be significant. Sementara rhinitis alergi
itu sendiri tidak mengancam kehidupan (kecuali jika disertai dengan asma parah atau
anafilaksis), morbiditas dari kondisi dapat sangat besar. Allergic rhinitis often coexists
with other disorders, such as asthma , and may be associated with asthma exacerbations.
21 , 22 , 23
Rhinitis alergi sering berdampingan dengan gangguan lain, seperti asma, dan
dapat berhubungan dengan eksaserbasi asma. 21, 22, 23

Allergic rhinitis is also associated with otitis media , eustachian tube dysfunction ,
sinusitis , nasal polyps , allergic conjunctivitis , and atopic dermatitis . 1 , 2 , 24 It may also
contribute to learning difficulties, sleep disorders, and fatigue. 25 , 26 , 27 Rhinitis alergi juga
berhubungan dengan otitis media, tuba estachius disfungsi, sinusitis, polip hidung,
konjungtivitis alergi, dan dermatitis atopik. 1, 2, 24 ini juga berkontribusi terhadap kesulitan
belajar, gangguan tidur, dan kelelahan. 25, 26, 27
• Numerous complications that can lead to increased morbidity or even mortality
can occur secondary to allergic rhinitis. Banyak komplikasi yang dapat
mengakibatkan peningkatan kesakitan atau bahkan kematian dapat terjadi
sekunder alergi rhinitis. Possible complications include otitis media, eustachian
tube dysfunction, acute sinusitis, and chronic sinusitis. Kemungkinan komplikasi
termasuk otitis media, disfungsi tuba estachius, sinusitis akut, dan sinusitis kronis.
• Allergic rhinitis can be associated with a number of comorbid conditions,
including asthma, atopic dermatitis, and nasal polyps. Alergi rhinitis dapat
dikaitkan dengan sejumlah kondisi komorbiditas, termasuk asma, dermatitis
atopik, dan polip hidung. Evidence now suggests that uncontrolled allergic rhinitis
can actually worsen the inflammation associated with asthma 21 , 22 , 23 or atopic
dermatitis. 24 This could lead to further morbidity and even mortality. Sekarang
bukti menunjukkan bahwa tak terkendali rhinitis alergi benar-benar dapat
memperburuk peradangan yang dihubungkan dengan asma 21, 22, 23 atau atopic
dermatitis. 24 Hal ini bisa mengakibatkan lebih kesakitan dan bahkan kematian.
• Allergic rhinitis can frequently lead to significant impairment of quality of life.
Rhinitis alergi sering dapat mengakibatkan gangguan signifikan kualitas hidup.
Symptoms such as fatigue, drowsiness (due to the disease or to medications), and
malaise can lead to impaired work and school performance, missed school or
work days, and traffic accidents. Gejala seperti kelelahan, mengantuk (karena
penyakit atau obat-obatan), dan malaise dapat menyebabkan gangguan kerja dan
kinerja sekolah, sekolah atau kehilangan hari kerja, dan kecelakaan lalu lintas.
The overall cost (direct and indirect) of allergic rhinitis was recently estimated to
be $5.3 billion per year. 5 Biaya keseluruhan (langsung dan tidak langsung) dari
rhinitis alergi baru-baru ini diperkirakan menjadi $ 5,3 milyar per tahun. 5

Race Race

Allergic rhinitis occurs in persons of all races. Rhinitis alergi terjadi pada orang-orang
dari semua ras. Prevalence of allergic rhinitis seems to vary among different populations
and cultures, which may be due to genetic differences, geographic factors or
environmental differences, or other population-based factors. Prevalensi rhinitis alergi
tampaknya bervariasi di antara populasi dan budaya yang berbeda, yang mungkin
disebabkan oleh perbedaan genetik, faktor-faktor geografis atau perbedaan lingkungan,
atau faktor-faktor berdasarkan populasi.

Sex Sex

In childhood, allergic rhinitis is more common in boys than in girls, but in adulthood, the
prevalence is approximately equal between men and women. Masa kanak-kanak, rhinitis
alergi lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan, tetapi di masa dewasa,
prevalensi kira-kira sama antara laki-laki dan perempuan.
Age Usia

Onset of allergic rhinitis is common in childhood, adolescence, and early adult years,
with a mean age of onset 8-11 years, but allergic rhinitis may occur in persons of any age.
Serangan alergi rhinitis adalah umum pada masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa awal
tahun, dengan rata-rata onset usia 8-11 tahun, tetapi alergi rhinitis dapat terjadi pada
orang-orang dari segala usia. In 80% of cases, allergic rhinitis develops by age 20 years.
28
The prevalence of allergic rhinitis has been reported to be as high as 40% in children,
subsequently decreasing with age. 14 , 15 In the geriatric population, rhinitis is less
commonly allergic in nature. Dalam 80% kasus, alergi rhinitis berkembang dengan usia
20 tahun. 28 Prevalensi rhinitis alergi telah dilaporkan setinggi 40% pada anak-anak,
kemudian menurun seiring bertambahnya usia. 14, 15 Dalam populasi geriatri, rhinitis
kurang umum alergi di alam.

Clinical Klinis
History Sejarah

Obtaining a detailed history is important in the evaluation of allergic rhinitis. Perolehan


sejarah yang rinci adalah penting dalam evaluasi alergi rhinitis. Important elements
include an evaluation of the nature, duration, and time course of symptoms; possible
triggers for symptoms; response to medications; comorbid conditions; family history of
allergic diseases; environmental exposures; occupational exposures; and effects on
quality of life. Unsur penting meliputi evaluasi sifat, durasi, dan waktu saja gejala;
mungkin pemicu gejala; respons terhadap obat-obatan; kondisi komorbiditas; riwayat
keluarga penyakit alergi; eksposur lingkungan; kerja eksposur dan efek terhadap kualitas
hidup. A thorough history may help identify specific triggers, suggesting an allergic
etiology for the rhinitis. Sejarah menyeluruh dapat membantu mengidentifikasi memicu
tertentu, menunjukkan adanya etiologi untuk alergi rhinitis.

Symptoms that can be associated with allergic rhinitis include sneezing, itching (of nose,
eyes, ears, palate), rhinorrhea, postnasal drip, congestion, anosmia, headache, earache,
tearing, red eyes, eye swelling, fatigue, drowsiness, and malaise. 2 Gejala yang dapat
berhubungan dengan alergi rhinitis meliputi bersin, gatal-gatal (hidung, mata, telinga,
langit-langit), Rhinorrhea, postnasal drip, kemacetan, anosmia, sakit kepala, sakit telinga,
merobek, mata merah, mata bengkak, kelelahan, mengantuk, dan malaise . 2

• Symptoms and chronicity Gejala dan chronicity


o Determine the age of onset of symptoms and whether symptoms have
been present continuously since onset. Tentukan usia onset gejala dan
gejala apakah terus-menerus telah hadir sejak awal. While the onset of
allergic rhinitis can occur well into adulthood, most patients develop
symptoms by age 20 years. 28 Sementara serangan alergi rhinitis dapat
terjadi dengan baik sampai dewasa, sebagian besar pasien menunjukkan
gejala pada umur 20 tahun. 28
o Determine the time pattern of symptoms and whether symptoms occur at a
consistent level throughout the year (ie, perennial rhinitis), only occur in
specific seasons (ie, seasonal rhinitis), or a combination of the two.
Tentukan pola waktu gejala dan apakah gejala-gejala muncul pada tingkat
yang konsisten sepanjang tahun (yaitu, abadi rhinitis), hanya terjadi pada
musim tertentu (yakni, rhinitis musiman), atau kombinasi dari keduanya.
During periods of exacerbation, determine whether symptoms occur on a
daily basis or only on an episodic basis. Selama periode eksaserbasi,
menentukan apakah gejala-gejala muncul pada setiap hari atau hanya pada
dasar episodik. Determine whether the symptoms are present all day or
only at specific times during the day. Tentukan apakah gejala yang hadir
sepanjang hari atau hanya pada waktu tertentu di siang hari. This
information can help suggest the diagnosis and determine possible
triggers. Informasi ini dapat membantu menunjukkan diagnosis dan
menentukan mungkin pemicu.
o Determine which organ systems are affected and the specific symptoms.
Menentukan sistem organ yang terkena dan gejala spesifik. Some patients
have exclusive involvement of the nose, while others have involvement of
multiple organs. Beberapa pasien memiliki keterlibatan eksklusif hidung,
sementara yang lain telah keterlibatan berbagai organ. Some patients
primarily have sneezing, itching, tearing, and watery rhinorrhea (the
classic hayfever presentation), while others may only complain of
congestion. Beberapa pasien terutama yang bersin, gatal, merobek, dan
berair Rhinorrhea (demam klasik presentasi), sedangkan yang lain
mungkin hanya mengeluh kemacetan. Significant complaints of
congestion, particularly if unilateral, might suggest the possibility of
structural obstruction, such as a polyp, foreign body, or deviated septum.
Signifikan keluhan kemacetan, terutama jika sepihak, mungkin
menyarankan kemungkinan obstruksi struktural, seperti polip, benda
asing, atau deviated septum.
• Trigger factors Faktor-faktor pemicu
o Determine whether symptoms are related temporally to specific trigger
factors. Tentukan apakah gejala temporal terkait faktor pemicu tertentu.
This might include exposure to pollens outdoors, mold spores while doing
yard work, specific animals, or dust while cleaning the house. Ini mungkin
mencakup pemaparan ke luar serbuk sari, jamur spora sambil melakukan
pekerjaan halaman, binatang tertentu, atau debu ketika membersihkan
rumah.
o Irritant triggers such as smoke, pollution, and strong smells can aggravate
symptoms in a patient with allergic rhinitis. Memicu iritasi seperti asap,
polusi, dan bau kuat dapat memperburuk gejala pada pasien dengan
rhinitis alergi. These are also common triggers of vasomotor rhinitis. Ini
juga pemicu Common vasomotor rhinitis. Many patients have both
allergic rhinitis and vasomotor rhinitis. Banyak pasien memiliki keduanya
alergi dan vasomotor rhinitis rhinitis.
o Other patients may describe year-round symptoms that do not appear to be
associated with specific triggers. Pasien lain mungkin menggambarkan
sepanjang tahun gejala yang tidak tampak berhubungan dengan pemicu
tertentu. This could be consistent with nonallergic rhinitis, but perennial
allergens, such as dust mite or animal exposure, should also be considered
in this situation. Hal ini bisa konsisten dengan nonallergic rhinitis, tapi
abadi alergen, seperti tungau debu atau binatang eksposur, juga harus
dipertimbangkan dalam situasi ini. With chronic exposure and chronic
symptoms, the patient may not be able to associate symptoms with a
particular trigger. Pemaparan kronis dan gejala kronis, pasien mungkin
tidak dapat menghubungkan gejala dengan pemicu tertentu.
• Response to treatment Terhadap pengobatan
o Response to treatment with antihistamines supports the diagnosis of
allergic rhinitis, although sneezing, itching, and rhinorrhea associated with
nonallergic rhinitis can also improve with antihistamines. 29 Respon untuk
pengobatan dengan antihistamin mendukung diagnosa rhinitis alergi,
meskipun bersin, gatal, dan Rhinorrhea berhubungan dengan rhinitis
nonallergic juga dapat meningkatkan dengan antihistamin. 29
o Response to intranasal corticosteroids supports the diagnosis of allergic
rhinitis, although some cases of nonallergic rhinitis (particularly the
nonallergic rhinitis with eosinophils syndrome [NARES]) also improve
with nasal steroids. Respon untuk intranasal kortikosteroid mendukung
diagnosa rhinitis alergi, meskipun beberapa kasus nonallergic rhinitis
(terutama eosinofil nonallergic rhinitis dengan sindrom [NARES]) juga
meningkatkan dengan hidung steroid.
• Comorbid conditions Kondisi komorbiditas
o Patients with allergic rhinitis may have other atopic conditions such as
asthma 21 , 22 or atopic dermatitis. 24 Of patients with allergic rhinitis, 20%
also have symptoms of asthma. Pasien dengan rhinitis alergi atopik lain
mungkin memiliki kondisi seperti asma 21, 22 atau atopic dermatitis. 24 Dari
pasien dengan rhinitis alergi, 20% juga memiliki gejala asma.
Uncontrolled allergic rhinitis may cause worsening of asthma 23 or even
atopic dermatitis. 24 Explore this possibility when obtaining the patient
history. Rhinitis alergi tidak terkontrol dapat menyebabkan asma
memburuk 23 atau bahkan atopic dermatitis. 24 Explore kemungkinan ini
ketika mendapatkan sejarah pasien.
o Look for conditions that can occur as complications of allergic rhinitis.
Lihat kondisi yang dapat terjadi sebagai komplikasi dari rhinitis alergi.
Sinusitis occurs quite frequently. Sinusitis terjadi cukup sering. Other
possible complications include otitis media, sleep disturbance or apnea,
dental problems (overbite), and palatal abnormalities. Komplikasi lain
yang mungkin termasuk otitis media, atau gangguan tidur apnea, masalah
gigi (overbite), dan kelainan palatal. The treatment plan might be different
if one of these complications is present. Rencana perawatan mungkin akan
berbeda jika salah satu komplikasi ini hadir. Nasal polyps occur in
association with allergic rhinitis, although whether allergic rhinitis
actually causes polyps remains unclear. Polip hidung terjadi dalam
hubungannya dengan alergi rhinitis, rhinitis alergi meskipun apakah
sebenarnya penyebab polip tetap tidak jelas. Polyps may not respond to
medical treatment and might predispose a patient to sinusitis or sleep
disturbance (due to congestion). Polip mungkin tidak merespon untuk
perawatan medis dan mungkin mempengaruhi pasien untuk sinusitis atau
gangguan tidur (karena kongesti).
o Investigate past medical history, including other current medical
conditions. Menyelidiki riwayat medis masa lalu, termasuk saat ini
kondisi-kondisi medis lainnya. Diseases such as hypothyroidism or
sarcoidosis can cause nonallergic rhinitis. Penyakit-penyakit seperti
hipotiroidisme atau sarcoidosis dapat menyebabkan rhinitis nonallergic.
Concomitant medical conditions might influence the choice of medication.
Seiring kondisi medis yang mungkin mempengaruhi pilihan pengobatan.
• Family history Sejarah keluarga
o Because allergic rhinitis has a significant genetic component, 30 a positive
family history for atopy makes the diagnosis more likely. Karena rhinitis
alergi memiliki komponen genetik yang signifikan, 30 riwayat keluarga
yang positif untuk atopi membuat diagnosis lebih mungkin.
o In fact, a greater risk of allergic rhinitis exists if both parents are atopic
than if one parent is atopic. Pada kenyataannya, risiko yang lebih besar
rhinitis alergi ada jika kedua orang tua atopik daripada jika salah satu
orangtua yang atopik. However, the cause of allergic rhinitis appears to be
multifactorial, and a person with no family history of allergic rhinitis can
develop allergic rhinitis. Namun, penyebab alergi rhinitis tampaknya
multifaktor, dan orang yang tidak mempunyai riwayat keluarga alergi
rhinitis rhinitis alergi dapat berkembang.
• Environmental and occupational exposure Lingkungan dan pekerjaan pajanan
o A thorough history of environmental exposures helps to identify specific
allergic triggers. Sejarah menyeluruh paparan lingkungan membantu untuk
mengidentifikasi pemicu alergi tertentu. This should include investigation
of risk factors for exposure to perennial allergens (eg, dust mites, mold,
pets). 31 , 32 Risk factors for dust mite exposure include carpeting, heat,
humidity, and bedding that does not have dust mite–proof covers. Ini
harus mencakup pemeriksaan faktor risiko abadi paparan alergen
(misalnya, debu tungau, jamur, hewan peliharaan). 31, 32 Faktor risiko untuk
eksposur Kutu termasuk karpet, panas, kelembaban, dan tidur yang tidak
memiliki bukti kutu debu meliputi . Chronic dampness in the home is a
risk factor for mold exposure. Kronis kelembaban dalam rumah adalah
faktor risiko untuk eksposur cetakan. A history of hobbies and recreational
activities helps determine risk and a time pattern of pollen exposure.
Sejarah hobi dan kegiatan rekreasi membantu menentukan risiko dan
waktu pemaparan pola serbuk sari.
o Ask about the environment of the workplace or school. Tanyakan tentang
lingkungan tempat kerja atau sekolah. This might include exposure to
ordinary perennial allergens (eg, mites, mold, pet dander) or unique
occupational allergens (eg, laboratory animals, animal products, grains
and organic materials, wood dust, latex, enzymes). Ini mungkin mencakup
pemaparan alergen abadi biasa (misalnya, tungau, jamur, binatang
peliharaan ketombe) atau kerja unik alergen (misalnya, laboratorium
hewan, produk-produk hewani, biji-bijian dan bahan organik, debu kayu,
lateks, enzim).
• Effects on quality of life Efek terhadap kualitas hidup
o An accurate assessment of the morbidity of allergic rhinitis cannot be
obtained without asking about the effects on the patient's quality of life.
Penilaian yang akurat dari morbiditas rhinitis alergi tidak dapat diperoleh
tanpa bertanya tentang efek pada pasien kualitas hidup. Specific validated
questionnaires are available to help determine effects on quality of life. 3 , 4
Kuesioner divalidasi spesifik tersedia untuk membantu menentukan efek
terhadap kualitas hidup. 3, 4
o Determine the presence of symptoms such as fatigue, malaise, drowsiness
(which may or may not be related to medication), and headache. Tentukan
adanya gejala seperti kelelahan, malaise, mengantuk (yang mungkin atau
mungkin tidak terkait dengan obat-obatan), dan sakit kepala.
o Investigate sleep quality and ability to function at work. Selidikilah
kualitas tidur dan kemampuan untuk berfungsi di tempat kerja.

Physical Fisik

The physical examination should focus on the nose, but examination of facial features,
eyes, ears, oropharynx, neck, lungs, and skin is also important. Pemeriksaan fisik harus
fokus pada hidung, tetapi pemeriksaan fitur wajah, mata, telinga, oropharynx, leher, paru-
paru, dan kulit juga penting. Look for physical findings that may be consistent with a
systemic disease that is associated with rhinitis. Cari temuan fisik yang mungkin
konsisten dengan penyakit sistemik yang berhubungan dengan rhinitis.

• General facial features Fitur wajah Umum


o "Allergic shiners" are dark circles around the eyes and are related to
vasodilation or nasal congestion. 2 , 33 "Alergi shiners" adalah lingkaran
gelap di sekitar mata dan terkait dengan vasodilasi atau hidung tersumbat.
2, 33

o "Nasal crease" is a horizontal crease across the lower half of the bridge of
the nose that is caused by repeated upward rubbing of the tip of the nose
by the palm of the hand (ie, the "allergic salute"). 2 , 33 "Nasal lipatan"
adalah lipatan horizontal di bagian bawah jembatan hidung yang
disebabkan oleh menggosok ke atas berulang-ulang dari ujung hidung
dengan telapak tangan (yaitu "alergi hormat"). 2, 33
• Nose Hidung
o The nasal examination is best accomplished with a nasal speculum or an
otoscope with nasal adapter. Ujian hidung terbaik dicapai dengan
spekulum hidung atau hidung otoscope dengan adaptor. In the specialist's
office, a rigid or flexible rhinolaryngoscope may be used. Di kantor
spesialis, yang kaku atau fleksibel rhinolaryngoscope dapat digunakan.
o The mucosa of the nasal turbinates may be swollen (boggy) and have a
pale, bluish-gray color. Mukosa hidung dapat turbinates bengkak (berawa)
dan memiliki pucat, warna abu-abu kebiruan. Some patients may have
predominant erythema of the mucosa, which can also be observed with
rhinitis medicamentosa, infection, or vasomotor rhinitis. Beberapa pasien
mungkin memiliki dominan eritema mukosa, yang juga dapat diamati
dengan medicamentosa rhinitis, infeksi, atau vasomotor rhinitis. While
pale, boggy, blue-gray mucosa is typical for allergic rhinitis, mucosal
examination findings cannot definitively distinguish between allergic and
nonallergic causes of rhinitis. Sementara pucat, seperti rawa, biru-abu-abu
mukosa adalah khas untuk rhinitis alergi, temuan pemeriksaan mukosa
pasti tidak dapat membedakan antara alergi dan penyebab nonallergic
rhinitis.
o Assess the character and quantity of nasal mucus. Menilai karakter dan
jumlah lendir hidung. Thin and watery secretions are frequently associated
with allergic rhinitis, while thick and purulent secretions are usually
associated with sinusitis; however, thicker, purulent, colored mucus can
also occur with allergic rhinitis. Tipis dan sekresi berair sering dikaitkan
dengan alergi rhinitis, sedangkan sekresi purulen tebal dan biasanya terkait
dengan sinusitis, namun lebih tebal, bernanah, lendir berwarna juga dapat
terjadi dengan rhinitis alergi.
o Examine the nasal septum to look for any deviation or septal perforation,
which may be present due to chronic rhinitis, granulomatous disease,
cocaine abuse, prior surgery, topical decongestant abuse, or, rarely, topical
steroid overuse. Nasal septum memeriksa untuk mencari setiap deviasi
atau perforasi septum, yang dapat hadir karena rhinitis kronis, penyakit
granulomatosa, penyalahgunaan kokain, sebelum operasi, dekongestan
topikal pelecehan, atau, jarang, topikal steroid berlebihan.
o Examine the nasal cavity for other masses such as polyps or tumors.
Memeriksa rongga hidung massa lain seperti polip atau tumor. Polyps are
firm gray masses that are often attached by a stalk, which may not be
visible. Polip adalah massa abu-abu perusahaan yang sering terikat oleh
tangkai, yang mungkin tidak terlihat. After spraying a topical
decongestant, polyps do not shrink, while the surrounding nasal mucosa
does shrink. Setelah penyemprotan sebuah dekongestan topikal, polip
tidak mengecil, sementara mukosa hidung sekitarnya tidak menyusut.
• Ears, eyes, and oropharynx Telinga, mata, dan oropharynx
o Perform otoscopy to look for tympanic membrane retraction, air-fluid
levels, or bubbles. Melakukan otoscopy untuk mencari membran timpani
pencabutan, udara tingkat cairan, atau gelembung. Performing pneumatic
otoscopy can be considered to look for abnormal tympanic membrane
mobility. Pertunjukan pneumatik otoscopy dapat dipertimbangkan untuk
mencari mobilitas normal membran timpani. These findings can be
associated with allergic rhinitis, particularly if eustachian tube dysfunction
or secondary otitis media is present. Temuan ini dapat dikaitkan dengan
rhinitis alergi, terutama jika tuba estachius disfungsi atau sekunder otitis
media hadir.
o Ocular examination may reveal findings of injection and swelling of the
palpebral conjunctivae, with excess tear production. Okular dapat
mengungkapkan temuan pemeriksaan injeksi dan pembengkakan palpebral
conjunctivae, dengan kelebihan produksi air mata. Dennie-Morgan lines
(prominent creases below the inferior eyelid) are associated with allergic
rhinitis. 34 Dennie-Morgan baris (menonjol lipatan di bawah kelopak mata
inferior) yang berhubungan dengan alergi rhinitis. 34
o The term "cobblestoning" is used to describe streaks of lymphoid tissue on
the posterior pharynx, which is commonly observed with allergic rhinitis.
Istilah "cobblestoning" digunakan untuk menggambarkan jaringan limfoid
berkas pada faring posterior, yang umumnya diamati dengan rhinitis
alergi. Tonsillar hypertrophy can also be observed. Tonsillar hipertrofi
juga dapat diamati. Malocclusion (overbite) and a high-arched palate can
be observed in patients who breathe from their mouths excessively. 35
Malocclusion (overbite) dan langit-langit melengkung tinggi dapat diamati
pada pasien yang bernapas dari mulut mereka secara berlebihan. 35
• Neck: Look for evidence of lymphadenopathy or thyroid disease. Leher: Cari
bukti limfadenopati atau penyakit tiroid.
• Lungs: Look for the characteristic findings of asthma. Paru-paru: Cari
karakteristik temuan asma.
• Skin: Evaluate for possible atopic dermatitis. Kulit: Evaluasi untuk kemungkinan
atopic dermatitis.
• Other: Look for any evidence of systemic diseases that may cause rhinitis (eg,
sarcoidosis, hypothyroidism, immunodeficiency, ciliary dyskinesia syndrome,
other connective tissue diseases). Lain: Cari bukti penyakit sistemik yang dapat
menyebabkan rhinitis (misalnya, sarcoidosis, hipotiroidisme, immunodeficiency,
ciliary dyskinesia sindrom, penyakit jaringan ikat lainnya).

Causes Penyebab
The causes of allergic rhinitis may differ depending on whether the symptoms are
seasonal, perennial, or sporadic/episodic. Penyebab alergi rhinitis mungkin berbeda
tergantung pada apakah gejala musiman, abadi, atau sporadis / episodik. Some patients
are sensitive to multiple allergens and can have perennial allergic rhinitis with seasonal
exacerbations. Beberapa pasien yang peka terhadap berbagai alergen dan dapat memiliki
alergi rhinitis abadi dengan eksaserbasi musiman. While food allergy can cause rhinitis,
particularly in children, it is rarely a cause of allergic rhinitis in the absence of
gastrointestinal or skin symptoms. Meskipun alergi makanan dapat menyebabkan rhinitis,
terutama pada anak-anak, jarang penyebab alergi rhinitis dengan tidak adanya gejala
gastrointestinal atau kulit.

• Seasonal allergic rhinitis is commonly caused by allergy to seasonal pollens and


outdoor molds. Rhinitis alergi musiman umumnya disebabkan oleh alergi serbuk
sari musiman dan luar cetakan.
o Pollens (tree, grass, and weed) Serbuk sari (pohon, rumput, dan gulma)
 Tree pollens, which vary by geographic location, are typically
present in high counts during the spring, although some species
produce their pollens in the fall. Pohon serbuk sari, yang bervariasi
berdasarkan lokasi geografis, biasanya hadir dalam menghitung
tinggi selama musim semi, walaupun beberapa spesies
menghasilkan serbuk sari mereka di musim gugur. Common tree
families associated with allergic rhinitis include birch, oak, maple,
cedar, olive, and elm. Pohon umum keluarga berhubungan dengan
alergi rhinitis termasuk birch, oak, maple, cedar, zaitun, dan elm.
 Grass pollens also vary by geographic location. Rumput serbuk
sari juga berbeda-beda menurut lokasi geografis. Most of the
common grass species are associated with allergic rhinitis,
including Kentucky bluegrass, orchard, redtop, timothy, vernal,
meadow fescue, Bermuda, and perennial rye. Sebagian besar
spesies rumput Common berhubungan dengan alergi rhinitis,
termasuk Kentucky bluegrass, kebun, Redtop, timothy, vernal,
padang rumput Fescue, Bermuda, dan abadi rye. A number of
these grasses are cross-reactive, meaning that they have similar
antigenic structures (ie, proteins recognized by specific IgE in
allergic sensitization). Sejumlah rumput ini cross-reaktif, yang
berarti bahwa mereka memiliki struktur antigen yang sama (yaitu,
protein yang diakui oleh IgE spesifik dalam sensitisasi alergi).
Consequently, a person who is allergic to one species is also likely
to be sensitive to a number of other species. Akibatnya, seseorang
yang alergi terhadap satu spesies juga cenderung sensitif terhadap
sejumlah spesies lain. The grass pollens are most prominent from
the late spring through the fall but can be present year-round in
warmer climates. Serbuk sari rumput yang paling menonjol dari
akhir musim semi melalui musim gugur tetapi dapat hadir
sepanjang tahun di iklim hangat.
 Weed pollens also vary geographically. Gulma serbuk sari juga
bervariasi secara geografis. Many of the weeds, such as short
ragweed, which is a common cause of allergic rhinitis in much of
the United States, are most prominent in the late summer and fall.
Banyak rumput liar, seperti ragweed pendek, yang merupakan
penyebab umum alergi rhinitis di sebagian besar Amerika Serikat,
yang paling menonjol di akhir musim panas dan gugur. Other weed
pollens are present year-round, particularly in warmer climates.
Serbuk sari rumput lain yang hadir sepanjang tahun, terutama di
iklim hangat. Common weeds associated with allergic rhinitis
include short ragweed, western ragweed, pigweed, sage, mugwort,
yellow dock, sheep sorrel, English plantain, lamb's quarters, and
Russian thistle. Common gulma yang berhubungan dengan alergi
rhinitis termasuk ragweed pendek, barat ragweed, pigweed, sage,
mugwort, kuning dermaga, domba coklat kemerah-merahan,
Inggris pisang raja, domba tempat tinggal, dan Rusia thistle.
o Outdoor molds Outdoor cetakan
 Atmospheric conditions can affect the growth and dispersion of a
number of molds; therefore, their airborne prevalence may vary
depending on climate and season. Kondisi atmosfer dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan penyebaran dari sejumlah
cetakan, sehingga mereka prevalensi udara dapat bervariasi,
tergantung pada iklim dan musim.
 For example, Alternaria and Cladosporium are particularly
prevalent in the dry and windy conditions of the Great Plains
states, where they grow on grasses and grains. Sebagai contoh,
Alternaria dan Cladosporium sangat lazim dalam kondisi kering
dan berangin dari Great Plains negara, di mana mereka tumbuh di
rumput dan biji-bijian. Their dispersion often peaks on sunny
afternoons. Dispersi mereka sering puncak di sore yang cerah.
They are virtually absent when snow is on the ground in winter,
and they peak in the summer months and early fall. Mereka hampir
tidak ada saat salju di tanah di musim dingin, dan mereka
puncaknya pada bulan-bulan musim panas dan awal musim gugur.
 Aspergillus and Penicillium can be found both outdoors and
indoors (particularly in humid households), with variable growth
depending on the season or climate. Aspergillus dan Penicillium
dapat ditemukan baik di luar dan dalam ruangan (terutama di
lembab rumah tangga), dengan pertumbuhan variabel tergantung
pada musim atau iklim. Their spores can also be dispersed in dry
conditions. Spora mereka juga dapat terdispersi dalam kondisi
kering.
• Perennial allergic rhinitis is typically caused by allergens within the home but can
also be caused by outdoor allergens that are present year-round. 36 In warmer
climates, grass pollens can be present throughout the year. Alergi rhinitis abadi
biasanya disebabkan oleh alergen dalam rumah tetapi juga dapat disebabkan oleh
alergen outdoor yang hadir sepanjang tahun. 36 Dalam iklim hangat, serbuk sari
rumput dapat hadir sepanjang tahun. In some climates, individuals may be
symptomatic due to trees and grasses in the warmer months and molds and weeds
in the winter. Dalam beberapa iklim, orang mungkin gejala karena pohon-pohon
dan rumput di bulan yang lebih hangat dan jamur dan rumput liar di musim
dingin.
o House dust mites Tungau debu rumah
 In the United States, 2 major house dust mite species are associated
with allergic rhinitis. Di Amerika Serikat, 2 besar spesies tungau
debu rumah berhubungan dengan alergi rhinitis. These are
Dermatophagoides farinae and Dermatophagoides pteronyssinus .
31
Ini adalah Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides
pteronyssinus. 31
 These mites feed on organic material in households, particularly
the skin that is shed from humans and pets. Tungau ini memakan
bahan organik di rumah tangga, terutama kulit yang adalah gudang
dari manusia dan hewan peliharaan. They can be found in carpets,
upholstered furniture, pillows, mattresses, comforters, and stuffed
toys. Mereka dapat ditemukan di karpet, kain mebel, bantal, kasur,
selimut, dan boneka mainan.
 While they thrive in warmer temperatures and high humidity, they
can be found year-round in many households. Sementara mereka
berkembang dalam suhu hangat dan kelembaban yang tinggi,
mereka dapat ditemukan sepanjang tahun di banyak rumah tangga.
On the other hand, dust mites are rare in arid climates. Di sisi lain,
debu tungau jarang terjadi pada iklim kering.
o Pets Pets
 Allergy to indoor pets is a common cause of perennial allergic
rhinitis. 31 , 32 Alergi terhadap hewan peliharaan dalam ruangan
adalah penyebab umum alergi rhinitis abadi. 31, 32
 Cat and dog allergies are encountered most commonly in allergy
practice, although allergy has been reported to occur with most of
the furry animals and birds that are kept as indoor pets. Kucing dan
anjing alergi yang paling sering ditemui dalam praktik alergi,
meskipun alergi telah dilaporkan terjadi dengan sebagian besar
berbulu binatang dan burung yang dipelihara sebagai hewan
peliharaan di dalam ruangan.
o Cockroaches: While cockroach allergy is most frequently considered a
cause of asthma, particularly in the inner city, it can also cause perennial
allergic rhinitis in infested households. 37 , 38 Kecoak: Sementara alergi
kecoa adalah yang paling sering dianggap sebagai penyebab asma,
terutama di pusat kota, hal itu juga dapat menyebabkan alergi rhinitis
abadi dalam rumah tangga penuh. 37, 38
o Rodents: Rodent infestation may be associated with allergic sensitization.
39 , 40 , 41
Pengerat: Rodent kutu dapat berhubungan dengan sensitisasi alergi.
39, 40, 41

• Sporadic allergic rhinitis, intermittent brief episodes of allergic rhinitis, is caused


by intermittent exposure to an allergen. Sporadis alergi rhinitis, sesekali episode
singkat alergi rhinitis, disebabkan oleh paparan intermiten ke alergi. Often, this is
due to pets or animals to which a person is not usually exposed. Sering kali, hal
ini disebabkan hewan peliharaan atau hewan untuk seseorang yang biasanya tidak
terkena. Sporadic allergic rhinitis can also be due to pollens, molds, or indoor
allergens to which a person is not usually exposed. Sporadis rhinitis alergi juga
dapat disebabkan oleh serbuk sari, jamur, atau alergen dalam ruangan yang
seseorang biasanya tidak terkena. While allergy to specific foods can cause
rhinitis, an individual affected by food allergy also usually has some combination
of gastrointestinal, skin, and lung involvement. Sementara alergi terhadap
makanan tertentu dapat menyebabkan rhinitis, seorang individu dipengaruhi oleh
alergi makanan juga biasanya memiliki beberapa kombinasi gastrointestinal, kulit,
dan paru-paru keterlibatan. In this situation, the history findings usually suggest
an association with a particular food. Dalam situasi ini, sejarah biasanya temuan
menunjukkan asosiasi dengan makanan tertentu. Watery rhinorrhea occurring
shortly after eating may be vasomotor (and not allergic) in nature, mediated via
the vagus nerve. Berair Rhinorrhea terjadi tak lama setelah makan dapat
vasomotor (dan tidak alergi) di alam, yang ditengahi melalui saraf vagus. This
often is called gustatory rhinitis. Hal ini sering disebut gustatory rhinitis.
• Occupational allergic rhinitis, which is caused by exposure to allergens in the
workplace, can be sporadic, seasonal, or perennial. Occupational rhinitis alergi,
yang disebabkan oleh paparan alergen di tempat kerja, dapat sporadis, musiman,
atau abadi. People who work near animals (eg, veterinarians, laboratory
researchers, farm workers) might have episodic symptoms when exposed to
certain animals, daily symptoms while at the workplace, or even continual
symptoms (which can persist in the evenings and weekends with severe
sensitivity due to persistent late-phase inflammation). Orang-orang yang bekerja
di dekat hewan (misalnya, dokter hewan, laboratorium peneliti, pekerja pertanian)
mungkin memiliki gejala episodik saat berhubungan dengan hewan tertentu,
gejala sehari-hari sementara di tempat kerja, atau bahkan terus-menerus gejala
(yang bisa terus berada di malam hari dan akhir pekan dengan sensitivitas yang
parah akibat untuk gigih akhir fase inflamasi). Some workers who may have
seasonal symptoms include farmers, agricultural workers (exposure to pollens,
animals, mold spores, and grains), and other outdoor workers. Beberapa pekerja
yang mungkin termasuk gejala musiman petani, pekerja pertanian (paparan serbuk
sari, binatang, spora jamur, dan biji-bijian), dan pekerja outdoor lainnya. Other
significant occupational allergens that may cause allergic rhinitis include wood
dust, latex (due to inhalation of powder from gloves), acid anhydrides, glues, and
psyllium (eg, nursing home workers who administer it as medication). Alergen
pekerjaan penting lainnya yang dapat menyebabkan rhinitis alergi meliputi debu
kayu, lateks (karena menghirup bedak dari sarung tangan), asam anhidrida,
perekat, dan psyllium (misalnya, panti jompo pekerja yang mengelola sebagai
obat).

http://emedicine.medscape.com/article/134825-overview

Rinitis Alergi / Alergi Hidung

Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien-pasien yang memiliki atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi atau terpapar
dengan allergen (zat/materi yang menyebabkan timbulnya alergi) yang sama serta
meliputi mekanisme pelepasan mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
allergen yang serupa (Von Pirquet, 1986)
Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin-bersin,
keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh IgE (WHO ARIA tahun 2001).

Epidemiologi
Di amerika serikat terdapat hampir sekitar 20 % rata-rata angka kejadian penderita
rhinitis alergi.

Etiologi / Patofisiologi
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang diawali oleh dua tahap sensitisasi yang
diikuti oleh reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu

• Immediate Phase Allergic Reaction

Berlangsung sejak kontak dengan allergen hingga 1 jam setelahnya

• Late Phase Allergic Reaction

Reaksi yang berlangsung pada dua hingga empat jam dengan puncak 6-8 jam setelah
pemaparan dan dapat berlangsung hingga 24 jam.

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas

• Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur
• Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang
• Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
atau sengatan lebah
• Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan

Dengan masuknya allergen ke dalam tubuh kita, reaksi alergi dibagi menjadi tiga tahap
besar
Respon Primer, terjadi eliminasi dan pemakanan antigen, reaksi non spesifik
Respon Sekunder, reaksi yang terjadi spesifik, yang membangkitkan system humoral,
system selular saja atau bisa membangkitkan kedua system terebut, jika antigen berhasil
dihilangkan maka berhenti pada tahap ini, jika antigen masih ada, karena defek dari
ketiga mekanisme system tersebut maka berlanjut ke respon tersier
Respon Tertier , Reaksi imunologik yang tidak meguntungkan

Gejala Klinis
Gejala klinis yang khas adalah terdapatnya serangan bersin yang berulang-ulang
terutama pada pagi hari, atau bila terdapat kontak dengan sejumlah debu. Sebenarnya
bersin adalah mekanisme normal dari hidung untuk membersihkan diri dari benda asing,
tetapi jika bersin sudah lebih dari lima kali dalam satu kali serangan maka dapat diduga
ini adalah gejala rhinitis alergi. Gejala lainnya adalah keluar ingus (rinore) yang encer
dan banyak. Hidung tersumbat, mata gatal dan kadang-kadang disertai dengan
keluarnya air mata.
Beberapa gejala lain yang tidak khas adalah
allergic shiner bayangan gelap di bawah mata yang disebut.
allergic salute Gerakan mengosok-gosokan hidung pada anak- anak
allergi crease, timbulnya garis pada bagian depan hidung.

Beberapa pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan adalah

• Pemeriksaan nasoendoskopi
• Pemeriksaan sitologi hidung
• Hitung eosinofil dalam darah tepi
• Uji kulit allergen penyebab

Penatalaksanaan

• Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebab
• Pengobatan, penggunaan obat antihistamin H-1 adalah obat yang sering dipakai
sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi atau dengan kombinasi
dekongestan oral. Obat Kortikosteroid dipilih jika gejala utama sumbatan hidung
akibat repon fase lambat tidak berhasil diatasi oleh obat lain
• Tindakan Operasi (konkotomi) dilakukan jika tidak berhasil dengan cara diatas
• Penggunaan Imunoterapi.

http://www.klikdokter.com/illness/detail/66

Rinitis Alergika secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung, terjadi
setelah paparan alergen melalui peradangan mukosa hidung yang diperantarai IgE.
Respons hidung terhadap stimuli dari luar diperankan pertama-tama oleh mukosa
kemudian baru oleh bentuk anatomi tulang. Fungsi utama hidung adalah untuk saluran
udara, penciuman, humidifikasi udara yang dihirup, melindungi saluran napas bawah
dengan cara filtrasi partikel, transport oleh silia mukosa, mikrobisidal, antivirus,
imunologik, dan resonan suara. Reaksi mukosa hidung akan menimbulkan gejala
obstruksi aliran udara, sekresi, bersin, dan rasa gatal. Bila tidak terdapat deformitas
tulang hidung maka sumbatan hidung disebabkan oleh pembengkakan mukosa dan sekret
yang kental. Penelitian epidemiologik memperlihatkan bahwa penyakit alergi dapat
diobservasi mulai dari waktu lahir sampai kematian. Sesuai dengan umur penderita,
dapat dibedakan penampakan dan lokalisasi jenis alergi.

PATOFISIOLOGI
Gejala rinitis alergik dapat dicetuskan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah pajanan
udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau masakan, bubuk detergen,
serta bau minuman beralkohol. Umumnya faktor pencetus ini berupa iritan non spesifik.

Alergen penyebab pada bayi dan anak sering disebabkan oleh makanan alergen ingestan,
sedangkan alergen inhalan lebih berperan dengan bertambahnya usia. Manifestasi klinis
reaksi hipersensitivitas tipe I pada telinga, hidung dan tenggorok anak menjelang usia 4
tahun jarang ditemukan.

Gejala rinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor :

Alergen, Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis
alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen hirupan
utama penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia, sedang pada bayi dan balita,
makanan masih merupakan penyebab yang penting.

Polutan, Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis. Polusi


dalam ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar termasuk gas
buang disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida. Mekanisme terjadinya rinitis
oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui lebih jelas.

• Aspirin, Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis
alergika pada penderita tertentu.

Manifestasi alergi pada hidung paling sering terjadi dibandingkan dengan organ lain,
karena fungsi hidung sebagai penyaring partikel dan alergen hirup untuk melindungi
saluran pernapasan bagian bawah. Partikel yang terjaring di hidung akan dibersihkan oleh
sistem mukosilia.

Histamin merupakan mediator penting pada gejala alergi di hidung. Hal ini
berbeda dengan alergi saluran napas bagian bawah (lihat bab tentang asma bronkial dan
reaksi hipersensitivitas). Histamin bekerja langsung pada reseptor histamin selular, dan
secara tidak langsung melalui refleks yang berperan pada bersin dan hipersekresi. Melalui
sistem saraf otonom, histamin menimbulkan gejala bersin dan gatal, serta vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan gejala beringus encer (watery
rhinorrhoe) dan edema lokal. Reaksi ini timbul segera setelah beberapa menit pasca
pajanan alergen.

Refleks bersin dan hipersekresi sebetulnya adalah refleks fisiologik yang


berfungsi protektif terhadap antigen yang masuk melalui hidung. Iritasi sedikit saja pada
daerah mukosa dapat seketika menimbulkan respons hebat di seluruh mukosa hidung.
Newly formed mediator adalah mediator yang dilepas setelah terlepasnya histamin,
misalnya leukotrien (LTB4, LTC4), prostaglandin (PGD2), dan PAF. Efek mediator ini
menyebabkan vasodilatasi dan meningkatnya permeabilitas vaskular sehingga
menyebabkan gejala hidung tersumbat (nasal blockage), meningkatnya sekresi kelenjar
sehingga menimbulkan gejala beringus kental (mucous rhinorrhoe).
Kurang lebih 50% rinitis alergik merupakan manifestasi reaksi hipersensitivitas
tipe I fase lambat. Gejala baru timbul setelah 4-6 jam pasca pajanan alergen akibat reaksi
inflamasi jaringan yang berkepanjangan. Prostaglandin (PGD2) banyak terdapat di sekret
hidung ketika terjadi fase cepat, tetapi tidak terdapat pada fase lambat, karena mediator
ini banyak dihasilkan oleh sel mast. Fase cepat diperankan oleh sel mast dan basofil,
sedangkan fase lambat lebih diperankan oleh basofil.

Gejala rinitis alergik fase lambat seperti hidung tersumbat, kurangnya penciuman, dan
hiperreaktivitas lebih diperankan oleh eosinofil. Mekanisme eosinofilia lokal pada hidung
masih belum sepenuhnya dimengerti. Beberapa teori mekanisme terjadinya eosinofilia
antara lain teori meningkatnya kemotaksis, ekspresi molekul adhesi atau bertambah
lamanya hidup eosinofil dalam jaringan.

Sejumlah mediator peptida (sitokin) berperan dalam proses terjadinya eosinofilia. Sitokin
biasanya diproduksi oleh limfosit T, tapi dapat juga oleh sel mast, basofil, makrofag, dan
epitel. IL-4 berperan merangsang sel limfosit B melakukan isotype switch untuk
memproduksi IgE, di samping berperan juga meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada
epitel vaskuler (VCAM-1) yang secara selektif mendatangkan eosinofil ke jaringan. IL-3
berperan merangsang pematangan sel mast. IL-5 berperan secara selektif untuk
diferensiasi dan pematangan eosinofil dalam sumsum tulang, mengaktifkan eosinofil
untuk melepaskan mediator, dan memperlama hidup eosinofil dalam jaringan. Akibat
meningkatnya eosinofil dalam jaringan maka terjadilah proses yang berkepanjangan
dengan keluhan hidung tersumbat, hilangnya penciuman, dan hiperreaktivitas hidung.

Secara klasik rinitis alergika dianggap sebagai inflamasi nasal yang terjadi dengan
perantaraan IgE. Pada pemeriksaan patologi, ditemukan infiltrat inflamasi yang terdiri
atas berbagai macam sel. Pada rinitis alergika selain granulosit, perubahan kualitatif
monosit merupakan hal penting dan ternyata IgE rupanya tidak saja diproduksi lokal pada
mukosa hidung. Tetapi terjadi respons selular yang meliputi: kemotaksis, pergerakan
selektif dan migrasi sel-sel transendotel. Pelepasan sitokin dan kemokin antara lain IL-8,
IL-13, eotaxin dan RANTES berpengaruh pada penarikan sel-sel radang yang selanjutnya
menyebabkan inflamasi alergi.

Aktivasi dan deferensiasi bermacam-macam tipe sel termasuk: eosinofil, sel CD4+T, sel
mast, dan sel epitel. Alergen menginduksi Sel Th-2, selanjutnya terjadi peningkatan
ekspresi sitokin termasuk di dalamnya adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10 yang
merangsang IgE, dan sel Mast. Selanjutnya sel Mast menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, dan
tryptase pada epitel. Mediator dan sitokin akan mengadakan upregulasi ICAM-1.
Khemoattractant IL-5 dan RANTES menyebabkan infiltrasi eosinofil, basofil, sel Th-2,
dan sel Mast. Perpanjangan masa hidup sel terutama dipengaruhi oleh IL-5.

Pelepasan mediator oleh sel-sel yang diaktifkan, di antaranya histamin dan cystenil-
leukotrien yang merupakan mediator utama dalam rinitis alergika menyebabkan gejala
rinorea, gatal, dan buntu. Penyusupan eosinofil menyebabkan kerusakan mukosa
sehingga memungkinkan terjadinya iritasi langsung polutan dan alergen pada syaraf
parasimpatik, bersama mediator Eosinophil Derivative Neurotoxin (EDN) dan histamin
menyebabkan gejala bersin.

Terdapat hubungan antara system imun dan sumsum tulang. Fakta ini membuktikan
bahwa epitel mukosa hidung memproduksi Stem Cell Factor (SCF) dan berperan dalam
atraksi, proliferasi, dan aktivasi sel Mast dalam inflamasi alergi pada mukosa hidung.
Hipereaktivitas nasal merupakan akibat dari respons imun di atas, merupakan tanda
penting rinitis alergika.

TANDA DAN GEJALA KLINIS

Manifestasi utama adalah rinorea, gatal hidung, bersin-bersin dan sumbatan hidung.
Pembagian rinitis alergika sebelum ini menggunakan kriteria waktu pajanan menjadi
rinitis musiman (seasonal allergic rhinitis), sepanjang tahun (perenial allergic rhinitis),
dan akibat kerja (occupational allergic rhinitis). Gejala rinitis sangat mempengaruhi
kualitas hidup penderita. Tanda-tanda fisik yang sering ditemui juga meliputi
perkembangan wajah yang abnormal, maloklusi gigi, allergic gape (mulut selalu terbuka
agar bisa bernafas), allergic shiners (kulit berwarna kehitaman dibawah kelopak mata
bawah), lipatan tranversal pada hidung (transverse nasal crease), edema konjungtiva,
mata gatal dan kemerahan. Pemeriksaan rongga hidung dengan spekulum sering
didapatkan sekret hidung jernih, membrane mukosa edema, basah dan kebiru-biruan
(boggy and bluish).

Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi antara lain kesulitan belajar dan masalah
sekolah, kesulitan integrasi dengan teman sebaya, kecemasan, dan disfungsi keluarga.
Kualitas hidup ini akan diperburuk dengan adanya ko-morbiditas. Pengobatan rinitis juga
mempengaruhi kualitas hidup baik positif maupun negatif. Sedatif antihistamin
memperburuk kualitas hidup, sedangkan non sedatif antihistamin berpengaruh positif
terhadap kualitas hidup. Pembagian lain yang lebih banyak diterima adalah dengan
menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup, menjadi intermiten ringan-sedang-
berat, dan persisten ringan-sedang-berat.

Manifestasi klinis rinitis alergik baru ditemukan pada anak berusia di atas 4-5 tahun dan
insidensnya akan meningkat secara progresif dan akan mencapai 10-15% pada usia
dewasa. Manifestasi gejala klinis rinitis alergik yang khas ditemukan pada orang dewasa
dan dewasa muda. Pada anak manifestasi alergi dapat berupa rinosinusitis berulang,
adenoiditis, otitis media, dan tonsilitis.

Sesuai dengan patogenesisnya, gejala rinitis alergik dapat berupa rasa gatal di hidung dan
mata, bersin, sekresi hidung, hidung tersumbat, dan bernapas melalui mulut. Sekret
hidung dapat keluar melalui lubang hidung atau berupa post nasal drip yang ditelan.
Hidung tersumbat dapat terjadi bilateral, unilateral atau bergantian. Gejala bernapas
melalui mulut sering terjadi pada malam hari yang dapat menimbulkan gejala
tenggorokan kering, mengorok, gangguan tidur, serta gejala kelelahan pada siang hari.
Gejala lain dapat berupa suara sengau, gangguan penciuman dan pengecapan, dan gejala
sinusitis. Gejala kombinasi bersin, ingusan, serta hidung tersumbat adalah gejala yang
paling dirasakan mengganggu dan menjengkelkan.

Anak yang menderita rinitis alergik kronik dapat mempunyai bentuk wajah yang khas.
Sering didapatkan warna gelap (dark circle atau shiners) serta bengkak (bags) di bawah
mata. Bila terdapat gejala hidung tersumbat yang berat pada anak, sering terlihat mulut
selalu terbuka yang disebut sebagai adenoid face. Keadaan ini memudahkan timbulnya
gejala lengkung palatum yang tinggi, overbite serta maloklusi. Anak yang sering
menggosok hidung karena rasa gatal menunjukkan tanda yang disebut allergic salute.

Menurut saat timbulnya, maka rinitis alergik dapat dibagi menjadi rinitis alergik
intermiten (seasonal-acute-occasional allergic rhinitis) dan rinitis alergik persisten
(perennial-chronic-long duration rhinitis).

Rinitis alergik intermiten

Rinitis alergik intermiten mempunyai gejala yang hilang timbul, yang hanya berlangsung
selama kurang dari 4 hari dalam seminggu atau kurang dari empat minggu. Rinitis alergik
musiman yang sering juga disebut hay fever disebabkan oleh alergi terhadap serbuk
bunga (pollen), biasanya terdapat di negara dengan 4 musim. Terdapat 3 kelompok
alergen serbuk bunga yaitu: tree, grass serta weed yang tiap kelompok ini berturut-turut
terdapat pada musim semi, musim panas dan musim gugur.

Penyakit ini sering terjadi yaitu pada sekitar 10% populasi, biasanya mulai masa anak dan
paling sering pada dewasa muda yang meningkat sesuai bertambahnya umur dan menjadi
masalah pada usia tua. Gejala berupa rasa gatal pada mata, hidung dan tenggorokan
disertai bersin berulang, ingus encer dan hidung tersumbat. Gejala asma dapat terjadi
pada puncak musim. Gejala ini akan memburuk pada keadaan udara kering, sinar
matahari, serta di daerah pedesaan.

Rinitis alergik persisten

Rinitis alergik persisten mempunyai gejala yang berlangsung lebih dari 4 hari dalam
seminggu dan lebih dari 4 minggu. Gejala rinitis alergik ini dapat terjadi sepanjang tahun,
penyebabnya terkadang sama dengan rinitis non alergik. Gejalanya sering timbul, akan
tetapi hanya sekitar 2-4 % populasi yang mengalami gejala yang berarti. Rinitis alergik
biasanya mulai timbul pada masa anak, sedangkan rinitis non alergik pada usia dewasa.
Alergi terhadap tungau debu rumah merupakan penyebab yang penting, sedangkan jamur
sering pada pasien yang disertai gejala asma dan kadang alergi terhadap bulu binatang.
Alergen makanan juga dapat menimbulkan rinitis tetapi masih merupakan kontroversi.
Pada orang dewasa sebagian besar tidak diketahui sebabnya.

Gejala rinitis persisten hampir sama dengan gejala hay fever tetapi gejala gatal kurang,
yang mencolok adalah gejala hidung tersumbat. Semua penderita dengan gejala menahun
dapat bereaksi terhadap stimulus nonspesifik dan iritan.

Sedangkan klasifikasi rinitis alergik yang baru menurut ARIA terdapat dua jenis sesuai
dengan derajat beratnya penyakit. Rinitis alergik dibagi menjadi rinitis alergik ringan
(mild) dan rinitis alergik sedang-berat (moderate-severe). Pada rinitis alergik ringan,
pasien dapat melakukan aktivitas sehari-harinya (seperti bersekolah, bekerja,
berolahraga) dengan baik, tidur tidak terganggu, dan tidak ada gejala yang berat.
Sebaliknya pada rinitis alergik sedang-berat, aktivitas sehari-hari pasien tidak dapat
berjalan dengan baik, tidur terganggu, dan terdapat gejala yang berat.

DIAGNOSA

Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan uji
laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat
keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas atas
merupakan kunci penting dalam membuat diagnosis rinitis alergika. Pemeriksaan fisik
meliputi gejala utama dan gejala minor. Uji laboratorium yang penting adalah
pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total, IgE spesifik, dan pemeriksaan
eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi nasal masih terbatas pada bidang
penelitian.

Riwayat atopi dalam keluarga merupakan faktor predisposisi rinitis alergik yang
terpenting pada anak. Pada anak terdapat tanda karakteristik pada muka seperti allergic
salute, allergic crease, Dennie’s line, allergic shiner dan allergic face seperti telah
diuraikan di atas, namun demikian tidak satu pun yang patognomonik. Pemeriksaan THT
dapat dilakukan dengan menggunakan rinoskopi kaku atau fleksibel, sekaligus juga dapat
menyingkirkan kelainan seperti infeksi, polip nasal atau tumor. Pada rinitis alergik
ditemukan tanda klasik yaitu mukosa edema dan pucat kebiruan dengan ingus encer.
Tanda ini hanya ditemukan pada pasien yang sedang dalam serangan. Tanda lain yang
mungkin ditemukan adalah otitis media serosa atau hipertrofi adenoid.

Meskipun tes kulit dapat dilakukan pada semua anak tetapi tes kulit kurang bermakna
pada anak berusia di bawah 3 tahun. Alergen penyebab yang sering adalah inhalan seperti
tungau debu rumah, jamur, debu rumah, dan serpihan binatang piaraan, walaupun alergen
makanan juga dapat sebagai penyebab terutama pada bayi. Susu sapi sering menjadi
penyebab walaupun uji kulit sering hasilnya negatif. Uji provokasi hidung jarang
dilakukan pada anak karena pemeriksaan ini tidak menyenangkan.
Pemeriksaan sekret hidung dilakukan untuk mendapatkan sel eosinofil yang meningkat
>3% kecuali pada saat infeksi sekunder maka sel neutrofil segmen akan lebih dominan.
Gambaran sitologi sekret hidung yang memperlihatkan banyak sel basofil, eosinofil, juga
terdapat pada rinitis eosinofilia nonalergik dan mastositosis hidung primer.

DIAGNOSA BANDING

Rinitis alergika harus dibedakan dengan :

1. Rinitis vasomotorik
2. Rinitis bakterial
3. Rinitis virus

KOMPLIKASI

Sinusitis kronis (tersering)•

Poliposis nasal•

Sinusitis dengan trias asma (asma, sinusitis dengan poliposis nasal dan sensitive
terhadap aspirin)•

Asma•

Obstruksi tuba Eustachian dan efusi telingah bagian tengah•

Hipertyopi tonsil dan adenoid•

Gangguan kognitif•

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan rinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran alergen, farmakoterapi


dan imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam penatalaksanaan rinitis
alergika, penghindaran alergen hendaknya merupakan bagian terpadu dari strategi
penatalaksanaan, terutama bila alergen penyebab dapat diidentifikasi. Edukasi sebaiknya
selalu diberikan berkenaan dengan penyakit yang kronis, yang berdasarkan kelainan
atopi, pengobatan memerlukan waktu yang lama dan pendidikan penggunaan obat harus
benar terutama jika harus menggunakan kortikosteroid hirupan atau semprotan.
Imunoterapi sangat efektif bila penyebabnya adalah alergen hirupan. Farmakoterapi
hendaknya mempertimbangkan keamanan obat, efektifitas, dan kemudahan pemberian.
Farmakoterapi masih merupakan andalan utama sehubungan dengan kronisitas penyakit.
Tabel 3 menunjukkan obat-obat yang biasanya dipakai baik tunggal maupun dalam
kombinasi. Kombinasi yang sering dipakai adalah antihistamin H1 dengan dekongestan.

Pemilihan obat-obatan

Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain :

1. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.


2. Tidak menimbulkan takifilaksis.
3. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun
demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.
4. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan dengan
adanya efek samping sistemik.

Jenis obat dan efek terapetik.

Jenis obat BersinRinoreaBuntuGatal hidungKeluhan mata


Antihistamin H1Oral ++ ++ + +++ ++

Intranasal ++ ++ + ++ 0

Intraokuler 0 0 0 0 +++
Kortikosteroid intranasal+++ +++ +++ ++ ++
KromolinIntranasal + + + + 0

Intraokuler 0 9 0 0 ++
DekongestanIntranasal 0 0 +++ 0 0

Oral 0 0 + 0 0
Antikolinergik 0 ++ 0 0 0
Antilekotrien 9 + ++ 0 ++

Penatalaksanaan rinitis alergik pada anak terutama dilakukan dengan penghindaran


alergen penyebab dan kontrol lingkungan. Medikamentosa diberikan bila perlu, dengan
antihistamin oral sebagai obat pilihan utama. Imunoterapi pada anak diberikan secara
selektif dengan tujuan pencegahan. Jenis-jenis terapi medikamentosa akan diuraikan di
bawah ini
Antihistamin-H1 oral

Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok reseptor H1 sehingga mempunyai


aktivitas anti alergi. Obat ini tidak menyebabkan takifilaksis. Antihistamin-H1 oral dibagi
menjadi generasi pertama dan kedua. Generasi pertama antara lain klorfeniramin dan
difenhidramin, sedangkan generasi kedua yaitu setirizin/levosetirizin dan
loratadin/desloratadin.

Generasi terbaru antihistamin-H1 oral dianggap lebih baik karena mempunyai rasio
efektifitas/keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta
bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat
generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti hidung.

Efek samping antihistamin-H1 generasi pertama yaitu sedasi dan efek antikolinergik.
Sedangkan antihistamin-H1 generasi kedua sebagian besar tidak menimbulkan sedasi,
serta tidak mempunyai efek antikolinergik atau kardiotoksisitas.

Antihistamin-H1 lokal

Antihistamin-H1 lokal (misalnya azelastin dan levokobastin) juga bekerja dengan


memblok reseptor H1. Azelastin mempunyai beberapa aktivitas anti alergik.
Antihistamin-H1 lokal bekerja sangat cepat (kurang dari 30 menit) dalam mengatasi
gejala hidung atau mata. Efek samping obat ini relatif ringan. Azelastin memberikan rasa
pahit pada sebagian pasien.

Kortikosteroid intranasal

Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,


mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal.
Obat ini merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan
efektif terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek
maksimal terlihat setelah beberapa hari.

Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena


efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang
efek samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis
steroid topikal hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan
sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan
keluhan hidung tersumbat yang menonjol.
Kortikosteroid oral/IM

Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison, metilprednisolon,


prednisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason) poten untuk mengurangi
inflamasi dan hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika
memungkinkan, kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian
kortikosteroid oral/IM. Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping
sistemik mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan
untuk rinitis alergik pada anak. Pada anak kecil perlu dipertimbangkan pemakaian
kombinasi obat intranasal dan inhalasi.

Kromon lokal (‘local chromones’)

Kromon lokal (local chromones), seperti kromoglikat dan nedokromil, mekanisme


kerjanya belum banyak diketahui. Kromon intraokular sangat efektif, sedangkan kromon
intranasal kurang efektif dan masa kerjanya singkat. Efek samping lokal obat ini ringan
dan tingkat keamanannya baik.

Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai stabilisator sel mast dapat diberikan
pada anak yang kooperatif. Obat ini biasanya diberikan 4 kali sehari dan sampai saat ini
tidak dijumpai efek samping.

Dekongestan oral

Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat


simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini
pada pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain
hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan
membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis.
Dekongestan oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada
kombinasi dengan antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek
samping juga bertambah.

Dekongestan intranasal

Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan


xilometazolin) juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala
kongesti hidung. Obat ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral.
Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis
medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti sediaan oral tetapi lebih ringan.

Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak
di bawah usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit.
Pada dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat.

Antikolinergik intranasal

Antikolinergik intranasal (misalnya ipratropium) dapat menghilangkan gejala beringus


(rhinorrhea) baik pada pasien alergik maupun non alergik. Efek samping lokalnya ringan
dan tidak terdapat efek antikolinergik sistemik. Ipratropium bromida diberikan untuk
rinitis alergik pada anak dengan keluhan hidung beringus yang menonjol.

Anti-leukotrien

Anti-leukotrien, seperti montelukast, pranlukast dan zafirlukast, akan memblok reseptor


CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam
kombinasi dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai
obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.

Jenis obat yang sering digunakan :

Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4 kali/hari

Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; >
6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.

Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2–5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari;
> 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.

Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30 mg/hari, 2
kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4 kali/hari.

Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 5–11 tahun : 1 semprotan 2
kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.

Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15 mg/hari, 4
kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari 4 kali/hari.
Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari.

Kortikosteroid intranasal
Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih parah. Efektif
untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik.

Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4 tahun : 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari.

Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11 tahun : 1
semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.

Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6 tahun : 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang rendah dan
keamanannya lebih baik.

Leukotrien antagonis

Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.

Rinitis alergik pada masa anak akan bertambah berat dengan bertambahnya usia.
Kadangkala rinitis alergik dapat merupakan masalah pada usia tua. Dengan mengetahui
faktor penyebab, dengan penghindaran dapat mengurangi kekerapan timbulnya gejala.
Penggunaan beberapa jenis medikamentosa profilaksis juga dapat mengurangi gejala
yang timbul.

Cetirizine (Zyrtec)

Low-sedating second-generation medication with fewer adverse effects than first-


generation medications. Selectively inhibits peripheral histamine H1 receptors. Available
as syr (5 mg/5 mL) and 5- or 10-mg tab.

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Adult

5-10 mg PO qd
Pediatric

6-12 months: 2.5 mg PO qd; not to exceed 2.5 mg/d


12-24 months: 2.5 mg PO qd; may increase to 2.5 mg PO bid, if needed
2-5 years: 2.5-5 mg PO qd or divided bid; not to exceed 5 mg/d
>6 years: 5-10 mg PO qd or divided bid

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Increases toxicity of CNS depressants; theophylline decreases clearance of cetirizine

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Documented hypersensitivity

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Pregnancy

B – Fetal risk not confirmed in studies in humans but has been shown in some studies in
animals

Precautions

Reduce dose in patients with kidney disease; may cause sedation in 5-15% of patients

Levocetirizine (Xyzal)

Histamine H1-receptor antagonist. Active enantiomer of cetirizine. Peak plasma levels


are reached within 1 h, and half-life is about 8 h. Available as a 5-mg breakable (scored)
tab. Indicated for seasonal and perennial AR

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Adult

5 mg PO qd in evening
CrCl 50-80 mL/min: 2.5 mg (half tab) PO qd in evening
CrCl 30-49 mL/min: 2.5 mg PO qod
CrCl 10-29 mL/min: 2.5 mg PO 2 times/wk

Pediatric

<6 years: Not established


6-11 years: 2.5 mg (half tab) PO qd in evening
>12 years: Administer as in adults

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Coadministration with CNS depressants (eg, alcohol, sedative-hypnotics) may increase


somnolence; ritonavir increased plasma AUC of measurable cetirizine by 42% and half-
life by 53%

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Documented hypersensitivity; CrCl <10 mL/min or hemodialysis; children aged 6-11 y


with renal impairment

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Pregnancy

B – Fetal risk not confirmed in studies in humans but has been shown in some studies in
animals

Precautions
Common adverse effects include somnolence, nasopharyngitis, fatigue, xerostomia, and
pharyngitis in adults and children >12 y; pyrexia, somnolence, cough, and epistaxis
commonly observed in children 6-12 y; caution with activities requiring mental alertness

Loratadine (Claritin)

Nonsedating second-generation antihistamine. Fewer adverse effects than with first-


generation medications. Selectively inhibits peripheral histamine H1 receptors. Available
as tab, disintegrating tab (Reditab), syr (5 mg/5 mL), or combined with pseudoephedrine
in 12- or 24-h preparations. The only one that is presently available without a prescription

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Adult

Loratadine: 10 mg/d PO
Loratadine and pseudoephedrine:
Claritin-D 12 Hour: 5 mg with 120 mg pseudoephedrine; 1 tab PO bid
Claritin-D 24 Hour: 10 mg with 240 mg pseudoephedrine; 1 tab PO qd

Pediatric

Loratadine:
<2 years: Not established
2-5 years: 5 mg PO qd
>6 years: Administer as in adults
Loratadine and pseudoephedrine:
<12 years: Not established
>12 years: Administer as in adults

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Ketoconazole, erythromycin, procarbazine, cimetidine, and alcohol may increase


loratadine levels

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Documented hypersensitivity

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Pregnancy

B – Fetal risk not confirmed in studies in humans but has been shown in some studies in
animals

Precautions

May cause headaches; initiate therapy at lower dose in liver and renal impairment

Desloratadine (Clarinex)

Nonsedating second-generation antihistamine. Fewer adverse effects than with first-


generation antihistamines. Selectively inhibits peripheral histamine H1 receptors.
Relieves nasal congestion and systemic effects of seasonal allergies. Long-acting tricyclic
histamine antagonist selective for H1-receptor. Major metabolite of loratadine, which,
after ingestion, is extensively metabolized to active metabolite 3-hydroxydesloratadine.
Available as tabs, syr (0.5 mg/mL), or PO disintegrating Reditabs (2.5 and 5 mg).

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Adult

Desloratadine: 5 mg PO qd
Desloratadine and pseudoephedrine:
Clarinex-D 24 Hour: 5 mg with 240 mg pseudoephedrine; 1 tab PO qd

Pediatric

6-11 months: 1 mg (2 mL of syr) PO qd


1-5 years: 1.25 mg (2.5 mL of syr) PO qd
6-11 years: 2.5 mg (5 mL of syr or Reditab) PO qd
>12 years: Administer as in adults
• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Limited data exist; erythromycin and ketoconazole increase desloratadine and 3-


hydroxydesloratadine plasma concentrations, but no increase of clinically relevant
adverse effects, including QTc, has been observed

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Documented hypersensitivity to desloratadine or loratadine

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Pregnancy

C – Fetal risk revealed in studies in animals but not established or not studied in humans;
may use if benefits outweigh risk to fetus

Precautions

Decrease dose in hepatic impairment; rarely causes pharyngitis or dry mouth

Fexofenadine (Allegra)

Nonsedating second-generation medication with fewer adverse effects than first-


generation medications. Competes with histamine for H1 receptors in GI tract, blood
vessels, and respiratory tract, reducing hypersensitivity reactions. Available in qd and bid
preparations. Also available combined with pseudoephedrine.

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Adult
Fexofenadine: 60 mg PO bid (IR) or 180 mg/d PO (SR)
Fexofenadine and pseudoephedrine:
Allegra-D 12 Hour: 60 mg with 120 mg pseudoephedrine; 1 tab PO bid
Allegra-D 24 Hour: 180 mg with 240 mg of pseudoephedrine; 1 tab PO qd

Pediatric

<6 years: Not established


6-11 years: 30 mg PO bid
>12 years: Administer as in adults

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Levels may increase with coadministration of erythromycin and ketoconazole

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Documented hypersensitivity

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Pregnancy

C – Fetal risk revealed in studies in animals but not established or not studied in humans;
may use if benefits outweigh risk to fetus

Precautions

Adjust dose in renal impairment (can be used safely in hepatic impairment without dose
reduction)

Intranasal antihistamines

These agents are an alternative to oral antihistamines to treat AR. Currently, azelastine is
the only agent available in the United States.
Azelastine (Astelin)

An effective antihistamine delivered via the intranasal route. Mechanism is similar to PO


antihistamines. Systemic absorption occurs and may cause sedation, headache, and nasal
burning.

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Adult

2 sprays/nostril bid (137 mcg/spray)

Pediatric

<5 years: Not established


5-11 years: 1 spray/nostril bid (137 mcg/spray)
>12 years: Administer as in adults

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Potentiates CNS depression with alcohol and other CNS depressants; caution with
concurrent use of oral antihistamines; when administered PO, serum levels are increased
by cimetidine; no effect on QTc when administered PO with ranitidine, theophylline,
ketoconazole, or erythromycin

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Documented hypersensitivity

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Pregnancy
C – Fetal risk revealed in studies in animals but not established or not studied in humans;
may use if benefits outweigh risk to fetus

Precautions

Avoid contact with eyes; may cause sedation

Intranasal corticosteroids

This class of medications is most effective. Intranasal corticosteroids are potent anti-
inflammatory agents shown to decrease AR symptoms in more than 90% of patients.
Presently, 9 medications are available in this class, and all are essentially equivalent in
efficacy, although few head-to-head studies have been performed. Mometasone
(Nasonex) and fluticasone furoate (Veramyst) have been demonstrated to have a
somewhat faster onset of action; however, after one week, no difference is found between
medications. Most can be used on a once-daily basis, and all have a similar safety profile.
Nasonex is the only medication that did not show an affect on growth at one year.
Veramyst did not show a growth affect in a 2-week study that is designed to evaluate for
growth affects. A longer study is scheduled to begin in late 2007.

Beclomethasone (Beconase, Vancenase)

May decrease number and activity of inflammatory cells, resulting in decreased nasal
inflammation.

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Adult

2-4 sprays/nostril bid (42 mcg/spray); titrate to lowest effective dose

Pediatric

<6 years: Not established


6-11 years: 1-2 sprays/nostril bid
>12 years: Administer as in adults

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions
None reported

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Documented hypersensitivity

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Pregnancy

C – Fetal risk revealed in studies in animals but not established or not studied in humans;
may use if benefits outweigh risk to fetus

Precautions

May cause adrenal suppression if overused; monitor for growth suppression in children;
most common adverse effect is local irritation; exercise great caution when using nasal
and inhaled corticosteroids because doses are additive and adverse effects are much more
likely to occur as a result; cushingoid symptoms (eg, round [moon] face, weight gain)
may occur with high doses

Budesonide (Rhinocort Aqua)

May decrease number and activity of inflammatory cells, resulting in decreased nasal
inflammation.

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Adult

1-4 sprays/nostril qd or divided bid; titrate to lowest effective dose (32 mcg/spray); not to
exceed 4 sprays/nostril/d

Pediatric
<6 years: Not established
6-11 years: 1 spray/nostril qd; may increase to 2 sprays/nostril qd if needed
>12 years: Administer as in adults

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

None reported

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Documented hypersensitivity

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Pregnancy

C – Fetal risk revealed in studies in animals but not established or not studied in humans;
may use if benefits outweigh risk to fetus

Precautions

May cause adrenal suppression if overused; monitor for growth suppression in children;
most common adverse effect is local irritation; exercise great caution when using nasal
and inhaled corticosteroids because doses are additive and adverse effects are much more
likely to occur as a result; cushingoid symptoms (eg, round [moon] face, weight gain)
may occur with high doses

Ciclesonide (Omnaris)

Corticosteroid nasal spray indicated for AR. Prodrug that is enzymatically hydrolyzed to
pharmacologic active metabolite C21-desisobutyryl-ciclesonide following intranasal
application. Corticosteroids have a wide range of effects on multiple cell types (eg, mast
cells, eosinophils, neutrophils, macrophages, lymphocytes) and mediators (eg,
histamines, eicosanoids, leukotrienes, cytokines) involved in allergic inflammation. Each
spray delivers 50 mcg.
• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Adult

2 sprays (50 mcg/spray) in each nostril qd (ie, 200 mcg/d)

Pediatric

<12 years: Not established


>12 years: Administer as in adults

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Data limited; PO ketoconazole increases desciclesonide AUC by approximately 3.5-fold


at steady state

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Documented hypersensitivity

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Pregnancy

C – Fetal risk revealed in studies in animals but not established or not studied in humans;
may use if benefits outweigh risk to fetus

Precautions

Caution when replacing systemic corticosteroids because of risk of adrenal insufficiency;


may decrease growth velocity in pediatric patients; caution with active or quiescent
tuberculosis infection or with untreated fungal, viral, or bacterial infections; rare
instances of wheezing, nasal septum perforation, cataracts, glaucoma, and increased
intraocular pressure reported
Flunisolide (Nasalide, Nasarel)

May decrease number and activity of inflammatory cells, resulting in decreased nasal
inflammation.

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Adult

2 sprays/nostril bid or tid; not to exceed 8 sprays/d (25 mcg/spray)

Pediatric

<6 years: Not established


6-14 years: 2 sprays/nostril bid; not to exceed 4 sprays/d

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

None reported

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Documented hypersensitivity

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Pregnancy

C – Fetal risk revealed in studies in animals but not established or not studied in humans;
may use if benefits outweigh risk to fetus

Precautions
May cause adrenal suppression if overused; monitor for growth suppression in children;
most common adverse effect is local irritation; exercise great caution when using nasal
and inhaled corticosteroids because doses are additive and adverse effects are much more
likely to occur as a result; cushingoid symptoms (eg, round [moon] face, weight gain)
may occur with high doses

Fluticasone propionate (Flonase)

May decrease number and activity of inflammatory cells, resulting in decreased nasal
inflammation.

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Adult

1-2 sprays/nostril qd or 1 spray/nostril bid (50 mcg/spray); titrate to lowest effective


dose; not to exceed 4 sprays (200 mcg)/d

Pediatric

<4 years: Not established


>4 years: 1 spray/nostril qd; may increase to 2 sprays/nostril if needed

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Coadministration with other corticosteroids could increase risk of hypercorticism and/or


suppression of HPA; coadministration with CYP450 3A4 isoenzyme inhibitors (eg,
amprenavir, atazanavir, darunavir, delavirdine, fosamprenavir, indinavir, ketoconazole,
nelfinavir, ritonavir, tipranavir) decreases fluticasone elimination and increases plasma
fluticasone levels, case reports of iatrogenic cushingoid symptoms have been reported

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Documented hypersensitivity
• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Pregnancy

C – Fetal risk revealed in studies in animals but not established or not studied in humans;
may use if benefits outweigh risk to fetus

Precautions

May cause adrenal suppression if overused; monitor for growth suppression in children;
most common adverse effect is local irritation; exercise great caution when using nasal
and inhaled corticosteroids because doses are additive and adverse effects are much more
likely to occur as a result; cushingoid symptoms (eg, round [moon] face, weight gain)
may occur with high doses

Fluticasone furoate (Veramyst)

Intranasal corticosteroid. Indicated for seasonal and perennial allergic rhinitis. Relieves
nasal symptoms associated with allergic rhinitis. Has also demonstrated improvement in
allergic eye symptoms. Contains 27.5 mcg/spray.

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Adult

110 mcg intranasally qd initially (ie, 2 sprays each nostril qd); once symptoms improve,
may decrease to 55 mcg qd (ie, 1 spray each nostril qd)

Pediatric

<2 years: Not established


2-11 years: 55 mcg intranasally qd (ie, 1 spray each nostril qd)
>12 years: Administer as in adults

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions
Coadministration with other corticosteroids could increase risk of hypercorticism and/or
suppression of HPA; coadministration with CYP450 3A4 isoenzyme inhibitors (eg,
amprenavir, atazanavir, darunavir, delavirdine, fosamprenavir, indinavir, ketoconazole,
nelfinavir, ritonavir, tipranavir) decreases fluticasone elimination and increases plasma
fluticasone levels, case reports of iatrogenic cushingoid symptoms have been reported

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Documented hypersensitivity

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Pregnancy

B – Fetal risk not confirmed in studies in humans but has been shown in some studies in
animals

Precautions

Prime before using for first time by shaking contents and releasing 6 test sprays into air
away from face; common adverse effects include headache, nose bleed, and nasal sores;
fever occurred more frequently in children aged 2-11 years compared with placebo;
epistaxis or sensations of nasal burnings may occur; local candidal infections of
nasopharynx have been reported with topical steroid use; always consider potential risk
of suppression of HPA when using large dose for prolonged periods; rare cases of
cataract, glaucoma, and increased intraocular pressure have been reported following
intranasal use of corticosteroids; concomitant use of intranasal corticosteroids and other
inhaled and/or systemically absorbed corticosteroids may cause hypercorticism and/or
HPA suppression; if exposed to measles or chickenpox, consider prophylactic therapy

Mometasone (Nasonex)

May decrease number and activity of inflammatory cells, resulting in decreased nasal
inflammation. Demonstrated no mineralocorticoid, androgenic, antiandrogenic, or
estrogenic activity in preclinical trials. Decreases rhinovirus-induced up-regulation in
respiratory epithelial cells and modulate pretranscriptional mechanisms. Reduces
intraepithelial eosinophilia and inflammatory cell infiltration (eg, eosinophils,
lymphocytes, monocytes, neutrophils, plasma cells).
• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Adult

2 sprays (50 mcg/spray) each nostril qd

Pediatric

<2 years: Not established


2-11 years: 1 spray (50 mcg/spray) each nostril qd
>12 years: Administer as in adults

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

None reported

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Documented hypersensitivity

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Pregnancy

C – Fetal risk revealed in studies in animals but not established or not studied in humans;
may use if benefits outweigh risk to fetus

Precautions

May cause adrenal suppression if overused; monitor for growth suppression in children;
most common adverse effect is local irritation; exercise great caution when using nasal
and inhaled corticosteroids because doses are additive and adverse effects are much more
likely to occur as a result; cushingoid symptoms (eg, round [moon] face, weight gain)
may occur with high doses; use with caution in patients with active or quiescent
tuberculosis of the respiratory tract; untreated fungal, bacterial, systemic viral infections;
or ocular herpes; rare instances of nasal septum perforation and increased IOP have been
reported; nasal and inhaled corticosteroids have been associated with development of
glaucoma and/or cataracts

Triamcinolone (Nasacort AQ)

May decrease number and activity of inflammatory cells, resulting in decreased nasal
inflammation.

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Adult

2 sprays/nostril/d initially; titrate to lowest effective dose

Pediatric

<6 years: Not established


6-11 years:
Nasacort: 2 sprays/nostril/d
Nasacort AQ: 1-2 sprays/nostril/d; titrate to lowest effect dose
>12 years: Administer as in adults

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

None reported

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Documented hypersensitivity

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Pregnancy

C – Fetal risk revealed in studies in animals but not established or not studied in humans;
may use if benefits outweigh risk to fetus

Precautions

May cause adrenal suppression if overused; monitor for growth suppression in children;
most common adverse effect is local irritation; exercise great caution when using nasal
and inhaled corticosteroids because doses are additive and adverse effects are much more
likely to occur as a result; cushingoid symptoms (eg, round [moon] face, weight gain)
may occur with high doses

Intranasal decongestants

Decongestants are effective for short-term symptom control. They decrease nasal
discharge and congestion and are available without a prescription. The 2 medications in
this group are oxymetazoline hydrochloride (Afrin) and ipratropium bromide (Atrovent).
Oxymetazoline hydrochloride is an addictive medication that is effective in shrinking
nasal membranes and is not recommended for long-term use. Use of oxymetazoline
hydrochloride for more than 7-10 d is habit forming. Patients can be addicted for years at
a time. Addiction is termed rhinitis medicamentosa. Ipratropium bromide can be used for
a prolonged period of time.

Ipratropium bromide 0.03% or 0.06% (Atrovent)

Anticholinergic used for reducing rhinorrhea in patients with AR or vasomotor rhinitis.


An excellent medication for decreasing rhinitis. Nonaddictive and lasts for 12 hours.
Does not shrink the nasal mucosa, but inhibits secretion that causes rhinitis. Used alone
or in conjunction with other medications.

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Adult

2 sprays/nostril bid/tid (21 mcg/spray)

Pediatric
<6 years: Not established
>6 years: Administer as in adults

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Drugs with anticholinergic properties (eg, dronabinol) may increase toxicity; albuterol
increases effects

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Documented hypersensitivity

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Pregnancy

B – Fetal risk not confirmed in studies in humans but has been shown in some studies in
animals

Precautions

Avoid contact with eyes; caution in narrow-angle glaucoma, prostatic hypertrophy, and
bladder neck obstruction

Intranasal mast cell stabilizers

These are effective therapy for AR in approximately 70-80% of patients. They produce
mast cell stabilization and antiallergic effects by inhibiting mast cell degranulation. They
have no direct anti-inflammatory or antihistaminic effects and minimal bronchodilator
effects. They are effective for prophylaxis. They also clean out antigens mechanically,
similar to saline. These products are now available over the counter.

Cromolyn sodium (Nasalcrom)


Used on a daily basis for seasonal or perennial AR. Significant effect may not be seen for
4-7 d. Administer just before exposure in patients with isolated and predictable periods of
exposure (eg, animal allergy, occupational allergy). Generally less effective than nasal
corticosteroids. Protective effect lasts 4-8 h; thus, frequent dosing is necessary. If desired,
may be used with other medicines, including other allergy medicines.

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Adult

1 spray/nostril q4-6h (5.3 mg/spray)

Pediatric

<2 years: Not established


>2 years: Administer as in adults

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

None reported

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Documented hypersensitivity

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Pregnancy

B – Fetal risk not confirmed in studies in humans but has been shown in some studies in
animals

Precautions
May take up to 4 wk for maximum efficacy; may cause nasal irritation; do not use in
severe renal or hepatic impairment; symptoms may recur when drug is withdrawn

Antileukotrienes

Montelukast has been approved as monotherapy for allergic rhinitis. It has been shown to
be most effective in patients in whom significant congestion is a primary complaint. It
has also been shown to work as adjunctive therapy with present second-generation
antihistamines to provide greater relief of symptoms than antihistamines alone. It is
beneficial in patients with symptoms in whom present antihistamines are not adequate. A
study has shown a combination with cetirizine is as effective as an intranasal
corticosteroid. Antileukotriene can also be added to the treatment plan in patients
receiving antihistamines and intranasal therapy.

Montelukast (Singulair)

Inhibits airway cysteinyl leukotriene receptors. Because these receptors are found
throughout the airway, the medication can mediate the effect in the upper and lower
airway.

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Adult

10 mg PO qhs

Pediatric

6-23 months: 4 mg (oral granules) PO qhs


2-5 years: 4 mg (chewable tab) PO qhs
6-14 years: 5 mg (chewable tab) PO qhs
>15 years: Administer as in adults

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Substrate of CYP2C9 and CYP3A4; rifampin, phenobarbital, or carbamazepine may


increase clearance
• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Documented hypersensitivity

• Dosing
• Interactions
• Contraindications
• Precautions

Pregnancy

B – Fetal risk not confirmed in studies in humans but has been shown in some studies in
animals

Precautions

Not indicated to reverse acute asthma attacks; not for use as monotherapy in management
of exercise-induced bronchospasm

http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/17/rinitis-alergika/

Alergi rhinitis
Definition Definisi

Allergic rhinitis is a collection of symptoms, mostly in the nose and eyes, which occur
when you breathe in something you are allergic to, such as dust, dander, or pollen. Alergi
rhinitis adalah kumpulan gejala, terutama di hidung dan mata, yang terjadi saat Anda
menghirup sesuatu yang Anda alergi, seperti debu, ketombe, atau serbuk sari.

This article focuses on allergic rhinitis due to outdoor triggers, such as plant pollen.
Artikel ini berfokus pada rhinitis alergi karena memicu outdoor, seperti serbuk sari
tanaman. This type of allergic rhinitis is commonly called hay fever. Jenis rhinitis alergi
ini biasanya disebut sebagai demam jerami.

For information on other types of allergies, see: Untuk informasi tentang jenis alergi lain,
lihat:

• Allergies Alergi
• Allergy to mold, dander, dust Alergi terhadap jamur, ketombe, debu
• Asthma Asma

Alternative Names Nama Alternatif

Hay fever; Nasal allergies Hay demam; Nasal alergi

Causes Penyebab

An allergen is something that triggers an allergy. Sebuah penyebab alergi adalah sesuatu
yang memicu alergi. When a person with allergic rhinitis breathes in an allergen such as
pollen or dust, the body releases chemicals, including histamine. Ketika seseorang
dengan alergi rhinitis bernafas dalam alergen seperti serbuk sari atau debu, tubuh
melepaskan zat kimia, termasuk histamin. This causes allergy symptoms such as itching,
swelling, and mucus production. Hal ini menyebabkan gejala alergi seperti gatal,
bengkak, dan produksi lendir.

Hay fever involves an allergic reaction to pollen. Demam melibatkan reaksi alergi
terhadap tepung sari. (A similar reaction occurs with allergy to mold, animal dander,
dust, and similar inhaled allergens.) (Yang sama terjadi dengan reaksi alergi terhadap
jamur, ketombe binatang, debu, dan yang sejenis alergen hirup.)

The pollens that cause hay fever vary from person to person and from region to region.
Yang serbuk sari yang menyebabkan demam bervariasi dari orang ke orang dan dari satu
wilayah ke wilayah. Large, visible pollens are seldom responsible for hay fever. Besar,
terlihat serbuk sari yang jarang bertanggung jawab atas jerami demam. Tiny, hard to see
pollens more often cause hay fever. Kecil, sulit untuk melihat serbuk sari lebih sering
menyebabkan demam. Examples of plants commonly responsible for hay fever include:
Contoh tanaman umumnya bertanggung jawab atas jerami demam meliputi:

• Trees (deciduous and evergreen) Pohon (gugur dan evergreen)


• Grasses Rumput
• Ragweed Ragweed

The amount of pollen in the air can play a role in whether hay fever symptoms develop.
Jumlah serbuk sari di udara dapat memainkan peran dalam apakah gejala demam
berkembang. Hot, dry, windy days are more likely to have increased amounts of pollen in
the air than cool, damp, rainy days when most pollen is washed to the ground. Panas,
kering, berangin hari lebih cenderung telah meningkatkan jumlah serbuk sari di udara
dari dingin, lembab, hari hujan ketika sebagian besar serbuk sari dicuci ke tanah.

Some disorders may be associated with allergies. Beberapa kelainan dapat berhubungan
dengan alergi. These include eczema and asthma . Ini termasuk eksim dan asma.
Allergies are common. Alergi adalah umum. Your genes and environmental may make
you more prone to allergies. Gen dan lingkungan Anda mungkin akan membuat Anda
lebih rentan terhadap alergi.

Whether or not you are likely to develop allergies is often passed down through families.
Apakah Anda akan cenderung untuk mengembangkan sering alergi diturunkan melalui
keluarga. If both your parents have allergies, you are likely to have allergies. Jika kedua
orang tua Anda memiliki alergi, Anda cenderung memiliki alergi. The chance is greater if
your mother has allergies. Kesempatan lebih besar jika ibumu memiliki alergi.

Symptoms Gejala

Symptoms that occur shortly after you come into contact with the substance you are
allergic to may include: Gejala yang terjadi tak lama setelah anda kontak dengan
substansi Anda alergi meliputi:

• Itchy nose, mouth, eyes, throat, skin, or any area Gatal hidung, mulut, mata,
tenggorokan, kulit, atau daerah
• Problems with smell Masalah dengan bau
• Runny nose Pilek
• Sneezing Bersin
• Tearing eyes Mata robek

Symptoms that may develop later include: Gejala yang mungkin berkembang kemudian
meliputi:

• Stuffy nose (nasal congestion) Hidung tersumbat (hidung tersumbat)


• Coughing Batuk
• Clogged ears and decreased sense of smell Tersumbat telinga dan penurunan
indra penciuman
• Sore throat Sakit tenggorokan
• Dark circles under the eyes Lingkaran hitam di bawah mata
• Puffiness under the eyes Bengkak di bawah mata
• Fatigue and irritability Kelelahan dan mudah marah
• Headache Headache
• Memory problems and slowed thinking Masalah memori dan memperlambat
berpikir

Exams and Tests Ujian dan Tes

The health care provider will perform a physical exam and ask you questions about your
symptoms. Penyedia perawatan kesehatan akan melakukan pemeriksaan fisik dan
menanyakan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala. Your history of symptoms is
important in diagnosing allergic rhinitis, including whether the symptoms vary according
to time of day or the season, exposure to pets or other allergens, and diet changes. Sejarah
Anda gejala penting dalam mendiagnosis alergi rhinitis, termasuk apakah gejala
bervariasi menurut waktu siang atau musim, kontak dengan hewan peliharaan atau
alergen lainnya, dan perubahan pola makan.

Allergy testing may reveal the specific substances that trigger your symptoms. Alergi
pengujian dapat mengungkapkan substansi spesifik yang memicu gejala. Skin testing is
the most common method of allergy testing. Kulit pengujian adalah metode yang paling
umum dari alergi pengujian. See the article on allergy testing for detailed information.
Lihat artikel pengujian alergi untuk informasi rinci.

If your doctor determines you cannot undergo skin testing, special blood tests may help
with the diagnosis. Jika dokter Anda menentukan Anda tidak dapat menjalani tes kulit,
tes darah khusus dapat membantu diagnosis. These tests can measure the levels of
specific allergy-related substances, especially one called immunoglobulin E (IgE). Tes ini
dapat mengukur tingkat tertentu yang berhubungan dengan zat-zat alergi, terutama yang
disebut imunoglobulin E (IgE).

A complete blood count (CBC), specifically the eosinophil white blood cell count, may
also help reveal allergies. Hitung darah lengkap (CBC), khususnya eosinophil jumlah sel
darah putih, dapat juga membantu menunjukkan alergi.

Treatment Perawatan

The best treatment is to avoid what causes your allergic symptoms in the first place.
Pengobatan terbaik adalah menghindari apa yang menyebabkan gejala alergi Anda di
tempat pertama. It may be impossible to completely avoid all your triggers, but you can
often take steps to reduce exposure. Mungkin mustahil untuk sepenuhnya menghindari
semua memicu Anda, tetapi Anda dapat sering mengambil langkah-langkah untuk
mengurangi eksposur.

There are many different medications available to treat allergic rhinitis. Ada banyak obat
yang berbeda tersedia untuk mengobati alergi rhinitis. Which one your doctor prescribes
depends on the type and severity of your symptoms, your age, and whether you have
other medical conditions (such as asthma). Yang mana yang diresepkan dokter tergantung
pada jenis dan tingkat keparahan dari gejala anda, umur Anda, dan apakah Anda
memiliki kondisi medis lainnya (seperti asma).

For mild allergic rhinitis, a nasal wash can be helpful for removing mucus from the nose.
Untuk rhinitis alergi ringan, mencuci hidung dapat membantu untuk mengeluarkan lendir
dari hidung. You can purchase a saline solution at a drug store or make one at home using
one cup of warm water, half a teaspoon of salt, and pinch of baking soda. Anda dapat
membeli larutan garam di toko obat atau membuat satu di rumah dengan menggunakan
satu cangkir air hangat, setengah sendok teh garam, dan sejumput baking soda.

Treatments for allergic rhinitis include: Pengobatan untuk alergi rhinitis meliputi:

ANTIHISTAMINES Antihistamin
Antihistamines work well for treating allergy symptoms, especially when symptoms do
not happen very often or do not last very long. Antihistamin bekerja dengan baik untuk
mengobati gejala alergi, terutama bila gejala tidak terjadi terlalu sering atau tidak
berlangsung lama.

• Antihistamines taken by mouth can relieve mild to moderate symptoms, but can
cause sleepiness. Antihistamin diambil oleh mulut dapat meredakan gejala ringan
sampai sedang, tetapi dapat menyebabkan kantuk. Many may be bought without a
prescription. Banyak dapat dibeli tanpa resep. Talk to your doctor before giving
these medicines to a child, as they may affect learning. Bicaralah dengan dokter
sebelum memberikan obat ini kepada seorang anak, karena dapat mempengaruhi
belajar.
• Newer antihistamines cause little or no sleepiness. Newer antihistamin
menyebabkan sedikit atau tidak ada kantuk. Some are available over the counter.
Beberapa yang tersedia di atas meja. They usually do not interfere with learning.
Mereka biasanya tidak mengganggu belajar. These medications include
fexofenadine (Allegra), and cetirizine (Zyrtec). Obat-obat ini termasuk
fexofenadine (Allegra), dan cetirizine (Zyrtec).
• Azelastine (Astelin) is a antihistamine nasal spray that is used to treat allergic
rhinitis. Azelastine (Astelin) adalah antihistamin semprot hidung yang digunakan
untuk mengobati alergi rhinitis.

CORTICOSTEROIDS Kortikosteroid

• Nasal corticosteroid sprays are the most effective treatment for allergic rhinitis.
Kortikosteroid nasal semprotan perawatan yang paling efektif untuk alergi
rhinitis.
• They work best when used nonstop, but they can also be helpful when used for
shorter periods of time. Mereka bekerja baik jika digunakan tanpa henti, tetapi
mereka juga dapat membantu ketika digunakan untuk periode waktu yang lebih
pendek.
• Many brands are available. Banyak merek yang tersedia. They are safe for
children and adults. Mereka adalah aman untuk anak-anak dan orang dewasa.

DECONGESTANTS Dekongestan

• Decongestants may also be helpful in reducing symptoms such as nasal


congestion. Dekongestan juga dapat membantu dalam mengurangi gejala-gejala
seperti hidung tersumbat.
• Nasal spray decongestants should not be used for more than 3 days. Nasal spray
dekongestan tidak boleh digunakan selama lebih dari 3 hari.
• Be careful when using over-the-counter saline nasal sprays that contain
benzalkonium chloride. Berhati-hatilah ketika menggunakan over-the-counter
saline nasal spray yang mengandung benzalkonium klorida. These may actually
worsen symptoms and cause infection. Ini mungkin benar-benar memperburuk
gejala dan menyebabkan infeksi.
OTHER TREATMENTS PERAWATAN LAIN

• The leukotriene inhibitor Singulair is a prescription medicine approved to help


control asthma and to help relieve the symptoms of seasonal allergies. Inhibitor
yang leukotriene Singulair adalah obat resep disetujui untuk membantu
mengendalikan asma dan membantu meringankan gejala-gejala alergi musiman.

Specific illnesses that are caused by allergies (such as asthma and eczema) may require
other treatments. Penyakit tertentu yang disebabkan oleh alergi (seperti asma dan eksim)
mungkin memerlukan perawatan lain.

ALLERGY SHOTS ALLERGY SHOTS

Allergy shots (immunotherapy) are occasionally recommended if the allergen cannot be


avoided and if symptoms are hard to control. Suntikan alergi (immunotherapy) kadang-
kadang dianjurkan bila penyebab alergi tidak dapat dihindari dan jika gejala sulit untuk
dikendalikan. This includes regular injections of the allergen, given in increasing doses
(each dose is slightly larger than the previous dose) that may help the body adjust to the
antigen . Ini termasuk suntikan reguler dari penyebab alergi, yang diberikan dalam
meningkatkan dosis (setiap dosis sedikit lebih besar dari dosis sebelumnya) yang dapat
membantu tubuh menyesuaikan diri dengan antigen.

Outlook (Prognosis) Outlook (Prognosis)

Most symptoms of allergic rhinitis can be treated. Kebanyakan gejala rhinitis alergi dapat
diobati. More severe cases require allergy shots. Kasus yang lebih parah memerlukan
suntikan alergi.

Some people (particularly children) may outgrow an allergy as the immune system
becomes less sensitive to the allergen. Beberapa orang (terutama anak-anak) dapat
mengatasi alergi ketika sistem kekebalan tubuh menjadi kurang sensitif terhadap alergi.
However, as a general rule, once a substance causes allergies for an individual, it can
continue to affect the person over the long term. Namun, sebagai aturan umum, sekali
suatu zat penyebab alergi bagi seorang individu, ia dapat terus mempengaruhi orang
dalam jangka panjang.

Possible Complications Kemungkinan Komplikasi

• Sinusitis Sinusitis

When to Contact a Medical Professional Ketika ke Kontak Profesional


Medis

Call for an appointment with your health care provider if severe symptoms of allergies or
hay fever occur, if previously successful treatment has become ineffective, or if your
symptoms do not respond to treatment. Panggilan untuk membuat janji dengan dokter
jika gejala yang parah alergi atau demam terjadi, jika sebelumnya berhasil perawatan
telah menjadi tidak efektif, atau jika gejala tidak menanggapi pengobatan.

Prevention Pencegahan

Symptoms can sometimes be prevented by avoiding known allergens. Gejala terkadang


dapat dicegah dengan menghindari alergen. During the pollen season, people with hay
fever should remain indoors in an air-conditioned atmosphere whenever possible: Selama
musim serbuk sari, orang-orang dengan jerami demam harus tetap di dalam rumah dalam
suasana ber-AC bila memungkinkan:

• Most trees produce pollen in the spring. Kebanyakan pohon menghasilkan serbuk
sari di musim semi.
• Grasses usually produce pollen during the late spring and summer. Rumput
biasanya menghasilkan serbuk sari pada akhir musim semi dan musim panas.
• Ragweed and other late-blooming plants produce pollen during late summer and
early autumn. Ragweed dan terlambat berkembang lainnya menghasilkan serbuk
sari tanaman selama akhir musim panas dan awal musim gugur.

http://www.sjhsyr.org/sjhhc/hidc07/Encyclopedia/1/000813.htm

You might also like