You are on page 1of 15

KARSINOMA SINONASAL

Pendahuluan Tumor sinonasal adalah penyakit di mana terjadinya pertumbuhan sel (ganas) pada sinus paranasal dan rongga hidung. Lokasi hidung dan sinus paranasal (sinonasal) merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung

sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, angka kejadian jenis yang ganas hanya sekitar 1% dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepaladan leher. Asal tumor primer juga sulit untuk ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah mencapai tahap lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus. Lokasi rongga hidung dan sinus paranasal membuat tumor sangatdekat dengan struktur vital. Masalah ini diperburuk oleh fakta bahwamanifestasi awal yang terjadi (misalnya epistaksis unilateral, obstruksi nasi)mirip dengan kondisi awal yang umum dikeluhkan tanpa adanya keluhanspesifik lainnya. Oleh karena itu, pasien dan dokter sering mengabaikan

ataumeminimalkan presentasi awal dari tumor dan mengobati tahap awalkeganasan sebagai gangguan sinonasal jinak. Pengobatan keganasansinonasal paling baik dilakukan oleh tim dokter ahli dengan berbagai disiplin ilmu.

Epidemiologi Keganasan sinonasal jarang terjadi. Mereka lebih umum di Asia dan Afrika daripada di Amerika Serikat. Di bagian Asia, keganasan sinonasal adalah peringkat kedua yang paling umum dan kanker leher karsinoma nasofaring belakang. Pria yang terkena 1,5 kali lebih sering dibandingkan wanita, dan 80% dari tumor ini terjadi pada orang berusia 45-85 tahun. Sekitar 6070% dari keganasan sinonasal terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga hidung sendiri. Diperkirakan 10-15% terjadi pada sel-sel udara ethmoid (sinus), dengan minoritas sisa neoplasma ditemukan di sinus frontal dan sphenoid.

Anatomi
1

1. Hidung Secara umum, hidung dapat dibagi atas dua bagian, yaitu bagian luar (eksternal) dan bagian dalam (internal). Di bagian luarnya, hidung dibentuk oleh tulang, kulit dan otot. Osteokartilago hidung dibungkus oleh beberapaotot yang berfungsi dalam pergerakan hidung meski minimal. Kulit yangmelapisi tulang hidung dan tulang rawan hidung merupakan kulit yang tipis dan mudah untuk digerakkan serta mengandun banyak kelenjar sebasea.Sedangkan dibagian dalamnya terdiri atas dua kavum berbentuk seperti terowongan yang dibatasi oleh septum nasi. Setiap kavum nasi terhubung dengan nostril dibagian depan dan choana dibagian belakang. Didalam cavum nasi anterior inferior terdapat vestibulum yang berisi kelenjar sebasea dan rambut hidung dan dibagian 4 lateralnya terdapat tiga susun turbin konka yang disebut konka nasalis superior, media dan inferior. Vaskularisasi hidung berasal dari arteri karotis baik eksterna maupun interna. Persarafan hidung terdiri atas fungsi sensorik dan autonom. Cabang sensorik nya terbagi tiga yaitu, nervus ethmoidalis anterior, cabang ganglionsphenopalatina dan cabang saraf infraorbitalis, sedangkan fungsiautonomnya yang berasal dari serat saraf parasimpatis yang berasal darinervus petrosus superfisial terbesar. Secara umum fungsi hidung terdiri atas fungsi respirasi,

indera penciuman sebab didalamnya terdapat nervus olfaktorius dan bulbusolfaktori, konka dan vaskular didalamnya melembabkan udara inspirasi, cilia dan rambut hidung yang terdapat pada antero inferior cavum nasi melindungi saluran pernapasan atas, memperbaiki kualitas resonansi suara yang dikeluarkan, serta fungsi refleks nasal.

2. Sinus paranasalis Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulangtulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung. Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun. Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum etmoid. Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 thn dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 thn. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk. Tidak adanya gambaran septumn-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal
3

mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdraenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anteroir. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatsan dengan sinus sfenoid. Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalag 2 cmn tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nerbus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid. Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons. Kompleks Ostio-Meatal. Di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang
4

terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila. Fungsi Sinus Paranasal. Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Beberapa pendapat: a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning) Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitive antara sinus dan rongga hidung. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung. b. Sebagai penahan suhu (termal insulators) Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. c. Membantu keseimbangan kepala Bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak bermakna. d. Membantu resonansi suara Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah. e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara Misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. f. Membantu produksi mucus Jumlahnya kecil dibandingkan dengan mucus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mucus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

Etiologi Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh banyak faktor (multifaktor) dan bersifat individual atau tidak sama pada setiap orang. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tumor sinonasalantara lain : 1. Penggunaan tembakau. Penggunaan tembakau (termasuk di dalamnya adalah rokok, cerutu,rokok pipa, mengunyah tembakau, menghirup tembakau) adalah faktor resiko terbesar penyebab kanker pada kepala dan leher. 2. Alkohol. Peminum alkohol berat dengan frekuensi rutin merupakan faktor resiko kanker kepala dan leher. 3. Inhalan spesifik . Menghirup substansi tertentu, terutama pada lingkungan kerja, mungkin dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker kavum nasi dan sinus paranasal, termasuk diantaranya adalah : a. Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan kulit/kulitsintetis, dan tepung. b. c. d. Debu logam berat : kromium, asbesc. Uap isoprofil alkohol, pembuatan lem, formaldehyde, radiumd. Uap pelarut yang digunakan dalam memproduksi furniture dansepatu.

4. Sinar ionisasi : Sinar radiasi; Sinar UV 5. Virus : Virus HPV, Virus Epstein-barr
6

6. UsiaPenyakit keganasan ini lebih sering didapatkan pada usia antara 45 tahunhingga 85 tahun. 7. Jenis KelaminKeganasan pada kavum nasi dan sinus paranasalis ditemukan dua kalilebih sering pada pria dibandingkan pada wanita. Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap setelahnya. Paparan terhadap thorotrast,agen kontras radioaktif juga menjadi faktor resiko tambahan.

Patofisiologi Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor seperti yang sudah dipaparkan diatas semisal bahan dan bersifat individual. Faktor resiko terjadinya tumor sinonasal seperti bahan kimia kerusakan inhalan, debu industri, pada gen sinar yang

karsinogen

ionisasi dan lainnya dapat mengatur pertumbuhan

menimbulkan tubuh

ataupun dan

mutasi

yaitu gen proliferasi

diferensiasi.

Dalam proses

diferensiasi ada dua kelompok gen yang memegang peranan penting, yaitu gen yang memacu diferensiasi (proto-onkogen) dan yang menghambat diferensiasi (anti-onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu sel normal menjadi sel kanker oleh karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu fase inisiasi dan fase promosi serta progresi. Pada fase inisiasi terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang memancing sel menjadi gana sakibat suatu onkogen, sedangkan pada fase promosi sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi ganas akibat terjadinya kerusakan gen. Sel yang tidak melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh promosi sehingga tidak berubah menjadi sel kanker. Inisiasi dan promosi dapat dilakukan oleh karsinogen yang sama atau diperlukan karsinogen yang berbeda. Sejak terjadinya kontak dengan karsinogen hingga timbulnya selkanker memerlukan waktu induksi yang cukup lama yaitu sekitar 15-30tahun. Pada fase induksi ini belum timbul kanker namun telah terdapat perubahan pada sel seperti displasia. Fase selanjutnya adalah fase in situ dimana pada fase ini kanker mulai timbul namun pertumbuhannya masih terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh dan belum menembus membran basalis. Fase in situ ini berlangsung sekitar 5-10 tahun. Sel kanker yang bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane basalis dan masuk ke jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga dengan fase invasif yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi
7

(penyebaran) sel-sel kanker menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe regional dan atau ke organ-organ jauh dalam kurun waktu 1-5 tahun. Sel-sel kanker ini akan tumbuh terus tanpa batas sehinggamenimbulkan kelainan dan gangguan. Sel kanker ini akan mendesak (ekspansi) ke sel-sel normal sekitarnya, mengadakan infiltrasi, invasi, sertametastasis bila tidak didiagnosis sejak dini dan di berikan terapi.

Manifestasi Klinis Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah perluasannya. Tumor di sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar, mendorong atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi atau orbita. Tergantung dari perluasan tumor, gelaja dikategorikan sebagai berikut : 1. Gejala nasal. Obstruksi hidung unilateral dan rinore. Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik. 2. Gejala orbita. Perluasan tumor kea rah orbita menimbulkan gejala diplopia, proptosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora. 3. Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak pas atau gigi geligi goyang. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut. 4. Gejala fasial. Perluasan kedepan akan menyebabkan penonjolan pipi. Disertai nyeri, anesthesia atau parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus. 5. Gejala intracranial. Perluasan tumor ke intracranial menyebabkan sakit kepala hebat oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai di fossa kranii media maka saraf cranial lainnya juga terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus

pterigoideus disertai anetesia dan parestesi daerah yang di persyarafi nervus maksilaris dan mandibularis. Saat pasien berobat biasanya tumor sudah dalam fase lanjut. Hal lain yang juga dapat menyebabkan diagnosis terlambat adalah karena gejala dininya mirip dengan rhinitis atau sinusitis kronis sehingga sering di abaikan pasien maupun dokter.

Diagnosis Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak dirongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan. Biopsi tumor sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau melalui operasi CaldwelLuc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal. Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya angofibroma, jangan lakukan biopsi karena akan sangat sulit menghentikan perdarahan yang terjadi. Diagnosis adalah dengan angiografi. Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar leher 1. Pemeriksaan fisik. Saat memeriksa pasien, pertama- tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila. 2. Pemeriksaan penunjang Radiologic imaging Radiologic imaging penting untuk menentukan staging. Plain film menunjukkan destruksi tulang, meskipun demikian pada beberpa kasus dapat menunjukkan keadaan normal. Screening computed tomography (CT) scan lebih akurat daripada plain film untuk menilai struktur tulang sinus paranasal dan lebih murah daripada plain film. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri persisten yang
9

berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal dan dengan simtomp persisten setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya dilakukan pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras atau magnetic resonance imaging (MRI). CT scanning merupakan pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri carotid. MRI dipergunakan untuk membedakan sekitar tumor dengan soft tissue, membedakan sekresi di dalam nasal yang tersumbat dari space occupying lesion, menunjukkan penyebaran perineural, membuktikan keunggulan imaging pada sagital plane, dan tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image terdepan untuk mengevaluai foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale dan optic canal. Sagital image berguna untuk menunjukkan replacement signal berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave signal berintensitas tinggi dari lemak di dalam pterygopalatine fossa oleh signal tumor yang mirip dengan otak. Positron emission tomography (PET) sering digunakan untuk keganasan kepala dan leher untuk staging dan surveillance. Kombinasi PET/CT scan ditambah dengan anatomic detail membantu perencanaan pembedahan dengan cara melihat luasnya tumor. Meskipun PET ini banyak membantu dalam menilai keganasan kepala dan leher tetapi sangat sediki kegunaannya untuk menilai keganasan pada nasal dan sinus paranasal. Angiography dengan carotid-flow study digunakan untuk penderita yang akan menjalani operasi dengan tumor yang telah mengelilingi arteri karotid. Tes balloon exclusion digunakan dengan single-photon emission CT (SPECT), xenon CT scan atau trnascranial Doppler, dianjurkan apabila diduga terjadi resiko infark otak iskemik jika areteri karotid internal dikorbankan. Tes ini tidak dapat memprediksi iskemik pada area marginal (watershed) atau fenomena embolik CT scan dada dan abdomen direkomendasikan untuk pasien dengan tumor yang bermetastasis secara hematogen, seperti sarkoma, melanoma dan karsinoma kistik adenoid. Penilaian metastasis penting jika reseksi luas dipertimbangkan untuk
10

dilakukan. Lumbar dan brain puncture serta spine imaging direkomendasikan jika tumor telah menginvasi meningen atau otak.

Penatalaksanaan Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh timspesialis menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Setiap pasien menerima rencana pengobatan yang disesuaikan untuk memenuhikebutuhannya. Pilihan pengobatan utama untuk tumor sinus paranasal meliputi : 1. Pembedahan Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan reseksi bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan staging dari masing-masing tumor. Secara umum, terapi Terkadang, bedah dilakukan pada lesi jinak atau lesi dini (T1-T2).

pembedahan dengan margin/batas yang luas tidak dapat dilakukan karena

dekatnya lokasi tumor dengan struktur-struktur penting padadaerah kepala, serta batas tumor yang tidak jelas. Radiasi post operatif sangat dianjurkan untuk mengurangi insiden kekambuhan lokal. Pada beberapa kasus eksisi paliatif ataupun debulking perlu dilakukan untuk mengurangi nyeri yang hebat, ataupun untuk membebaskan dekompresi saraf optik dan rongga orbita, serta untuk drainase sinus paranasalis yang mengalami obstruksi. Jenis reseksi dan pendekatan bedah yang akan dilakukan bergantung pada ukuran tumor danletaknya/ekstensinya. Tumor yang berlokasi di kavum nasi dapat dilakukan sublabial, berbagai sinus

pendekatan bedah seperti reseksi endoskopi nasal,

transnasal,

paranasalis, lateral rhinotomy atau kombinasi dari terbuka (open surgery). Tumor tahap lanjut

bedah endoskopi dan bedah membutuhkan tindakan

mungkin

eksenterasi orbita, totalataupun parsial maksilektomi ataupun reseksi anterior cranial base,dan kraniotomi. Maksilektomi kadang-kadang direkomendasikan untuk tatalaksana kanker sinus paranasal, dan umumnya dapat menyelamatkan organ vital seperti mata yang berada dekat dengan kanker sedangkan reseksi kraniofasial

atau skull base surgery sering direkomendasikan untuk keganasan pada sinus paranasal. Terapi ini mengharuskan untuk membebaskan beberapa jaringan tambahan disamping dilakukannya maksilektomi.
11

Kontraindikasi absolut untuk terapi pembedahan adalah pasiendengan gangguan nutrsi, adanya metastasis jauh, invasi tumor ganaske fascia prevertebral, ke sinus kavernosus, dan keterlibatan arterikarotis pada pasien-pasien dengan resiko tinggi, serta adanya invasi bilateral tumor ke nervus optik dan chiasma optikum. Keuntungan dari pendekatan bedah endoskopik adalah mencegah insisi pada daerahwajah, morbiditas rendah, dan lamanya perawatan di rumahsakit lebih singkat. Reseksi luas dari tumor kavum nasi dan sinus paranasalis dapatmenyebabkan kecacatan/kerusakan bentuk wajah, gangguan berbicaradan kesulit an menelan. Tujuan utama dari rehabilitasi post pembedahan adalah penyembuhan luka, angka

penyelamatan/preservasi danrekonstruksi dari bentuk wajah, restorasi pemisahan oronasal, hinggamemfasilitasi kemampuan berbicara, menelan, dan pemisahan

kavumnasi dan kavum cranii. 2. Radioterapi Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan sendiri pada stadium I dan II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam setiap tahap penyakit sebagai adjuvant radioterapi (terapi radiasi yangdiberikan setelah dilakukannya terapi utama seperti pembedahan). Padatahap awal kanker sinus paranasal, radioterapi dianggap sebagai terapilokal alternatif untuk operasi. Radioterapi melibatkan penggunaan energitinggi, penetrasi sinar untuk menghancurkan sel-sel kanker di zona yang akan diobati. Terapi radiasi juga digunakan untuk terapi paliatif dapat pada berupa

pasien dengan kanker tingkat lanjut. Jenis terapi radiasi yang diberikan teleterapi (radiasi eksternal) maupun brachyterapi (radiasi internal). 3. Kemoterapi

Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadiumlanjut. Selain terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-selkanker beredar dalam tubuh adalah dengan menggunakan terapi sistemik (terapi yang mempengaruhi seluruh tubuh) dalam bentuk suntikan atauobat oral. Bentuk pengobatan ini disebut kemoterapi dan diberikan dalamsiklus (setiap obat atau kombinasi obat-obatan biasanya diberikan setiaptiga sampai empat minggu). Tujuan kemoterapi untuk terapi tumor sinonasal adalah sebagai terapi tambahan (baik sebagai adjuvant maupunneoadjuvant), kombinasi dengan radioterapi (concomitant), ataupunsebagai terapi paliatif. Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri
12

akibattumor, mengurangi obstruksi, ataupun untuk debulking pada lesi-lesi massif eksternal. Pemberian kemoterapi dengan radiasi diberikan pada pasien- pasien dengan resiko tinggi untuk rekurensi seperti pasien dengan hasil PAmargin tumor positif setelah dilakukan reseksi, penyebaran perineural,ataupun penyebaran ekstrakapsular pada metastasis regional.

Komplikasi Komplikasi mengobati keganasan sinus berhubungan dengan pembedahan dan rekonstruksi. Komplikasi bedah termasuk perdarahan klinis signifikan, kebocoran LCS, infeksi, anosmia, dysgeusia, dan kerusakan saraf kranial lainnya. Perdarahan Perdarahan dapat terjadi jika kontrol dari kapal besar yang terlupakan. Masalah ini dapat terjadi jika arteri pada awalnya di vasospasme dan jika tidak ada perdarahan aktif dicatat sampai setelah operasi. Arteri ethmoid dan sphenopalatina anterior dan posterior dapat dibakar, dipotong, atau diikat untuk mencegah atau mengendalikan perdarahan. Jika diperlukan, radiologi intervensi dapat diminta untuk membantu dengan intra-arteri melingkar untuk mengontrol perdarahan. Kebocoran CSF Selama operasi, kebocoran LCS dapat terjadi dekat dasar tengkorak. Manajemen yang tepat dimulai dengan identifikasi.Gejala mungkin termasuk Rhinorrhea jelas, rasa asin di mulut, tanda halo, atau tanda reservoir. Setelah mencatat, identifikasi kebocoran dapat dibuat endoskopi atau dengan injeksi intratekal dari fluorecin. Tes, seperti tes untuk tau atau beta transferin, mungkin yang paling spesifik, tapi mungkin butuh beberapa hari untuk hasil untuk diproses. Manajemen konservatif dengan istirahat dan menguras lumbal dapat digunakan untuk 5 hari pertama di samping penempatan pada antibiotik. Jika resolusi tidak terjadi, intervensi bedah harus digunakan, termasuk menambal dengan allograft kulit, tulang turbinate, dan mukosa hidung. Flaps mukosa dapat dinaikkan dan digunakan untuk menutup kebocoran dengan tulang atau tulang rawan interpositioned. Untuk kebocoran besar, menguras tulang belakang mungkin diperlukan untuk memungkinkan mengintegrasikan.
13

cangkok

dan

teknik

penyegelan

untuk

memperkuat

dan

Epiphora Epiphora adalah komplikasi umum dari operasi yang disebabkan oleh obstruksi pada saluran keluar lacrimalis. Hal ini dapat terjadi karena kerusakan pada puncta lacrimalis, karung, atau saluran.Perawatan harus diambil untuk marsupialize duktus lakrimal jika terkoyak atau rusak dalam operasi untuk mencegah obstruksi.Tindak lanjut

dacryocystorhinostomy endoskopik atau terbuka mungkin diperlukan. Diplopoia Diplopia adalah komplikasi yang dikenal dalam setiap operasi yang melibatkan kerucut orbital. Perbaikan yang tepat dari lantai orbital adalah kunci untuk mencegah komplikasi ini, tetapi dalam beberapa kasus itu tidak dapat dihindari bahkan dengan teliti rekonstruksi. Dalam kasus diplopia, lensa prisma biasanya metode yang paling sederhana untuk koreksi, sebagai koreksi bedah dengan oftalmologi dapat rumit oleh jaringan parut dari operasi sebelumnya dan pengobatan radiasi. Konsultasi Oftalmologi adalah standar perawatan. Rekonstruksi Dalam kasus yang ideal, rekonstruksi mempertahankan bentuk dan fungsi. Sebuah flap rektus bebas atau jaringan lain yang jauh mungkin diperlukan untuk melindungi struktur vital, atau prostetik wajah dapat digunakan. Prostesis wajah dapat ditawarkan untuk meningkatkan hasil kosmetik, tetapi pemeliharaan teliti dari prostesis oleh tim dan pasien adalah keharusan. Pengrusakan wajah adalah salah satu keprihatinan pasien yang paling penting dan dapat menyebabkan stres sosial dan psikologis yang cukup besar. Hasil ini harus ditangani pada awalnya dan secara berkelanjutan.

Prognosis Tingkat ketahanan hidup bagi pasien dengan rata-rata kanker sinus maksilaris sekitar 40% selama 5 tahun. Tahap awal tumor memiliki angka kesembuhan hingga 80%. Pasien dengan tumor dioperasi diobati dengan radiasi memiliki tingkat kelangsungan hidup kurang dari 20%. Tingkat ketahanan hidup untuk tumor ethmoid telah sedikit meningkat karena kemajuan di tengkorak-basis operasi.

14

DAFTAR PUSTAKA

1. Arsyad efiaty dkk, 2007, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher: edisi 6, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

2. L . Adams, George, MD et all. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT : edisi 6, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran

3. Tumor Sinonasal , diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/847189overview#showall

4. Malignant Tumor of the Nasal Cavity, diunduh http://emedicine.medscape.com/article/846995-overview#showall

5. L Smith, Stacey et all, Sinonasal Teratocarcinosarcoma of the Head and Neck arch Otolaringol Head Neck Surg,2008 ; 134 (6):592-595, diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/

6. Vivanco blanca et all, Benign Lesions in Mucosa Adjacent to Intestinal-Type Sinonasal Adenocarcinoma, diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/

7. Kazi Shameemus et all, Clinicopathological study of sinonasal malignancy, Bangladesh J Otorhinolaryngol 2009; 15(2): 55-59. Diunduh dari : http://www.banglajol.info/index.php/BJO/article/view/5058

8. Paranasal Sinus Cancer Gale Encyclopedia of Cancer | 2002 | Slomski, Genevieve | 700+ word diunduh dari : http://www.encyclopedia.com/doc/1G2-3405200357.html

15

You might also like