You are on page 1of 8

KEBERLANGSUNGAN AIR TERPRODUKSI CBM TERHADAP

LINGKUNGAN


Popik Hidayat (03101002012)
Teknik pertambangan, Universitas Sriwijaya, Jalan Raya Prabumulih-Indralaya, Ogan Ilir
Sumsel, 30662, Indonesia, E-mail: Hidayat.popik@gmail.com


ABSTRAK
Gas metana merupakan sebagai komponen utama, terjadi secara alamiah oleh proses pembentukan batubara
dalam kondisi terperangkap dan terserap didalam batubara dan atau lapisan batubara. Dalam pengolahannya,
proses produksi CBM selalu berkaitan dengan pengolahan air terproduksinya yang berjumlah besar. Pengelolaan
air terproduksi pada pengembangan CBM sampai saat ini harus menjadi fokus lingkungan hidup yakni air
terproduksi yang dibuang langsung ke permukaan (lingkungan) tidak boleh melewati ambang batas yang telah
ditentukan oleh Pemerintah. Dengan jumlah yang demikian besar dan kualitas yang cukup baik membuat air
terproduksi memiliki berbagai kemungkinan dalam pemanfaatannya (untuk memasok irigasi pertanian, enhanced oil
recovery dan pasokan untuk bahan baku air minum). Kualitas air yang cukup baik dapat dibuang langsung ke
lingkungan sebagai penambah debit air untuk irigasi. Namun, untuk pasokan air minum diperlukan teknologi yang
cukup sehingga dapat memenuhi standar baku mutu air minum. Pemanfaatan air tersebut tergantung pada kualitas
air terproduksi, lokasi sumur dan pengolahan air yang efektif.
Kata kunci : Gas metana, pengelolaan, teknologi
ABSTRACT
Methane is the main component , occurs naturally by the process of coal formation in trapped and absorbed
in the state and the coal or coal seam . In processing , the CBM production process is always associated with the
processing of large amounts of water terproduksinya . Produced water management in the development of CBM to
date should be the focus of the environment produced water discharged directly to the surface ( the environment )
can not exceed the threshold set by the Government . With such a large amount and the quality is good enough to
make produced water has a wide range of possibilities in utilization ( for agricultural irrigation supply , enhanced
oil recovery and raw material supply for drinking water ) . The water quality is good enough to be disposed of
directly into the environment as an addition to the discharge of water for irrigation . However , for the supply of
drinking water enough so that the technology required to meet drinking water quality standards . Water use depends
on the quality of the produced water, the location of wells and water treatment are effective.
Keywords : Methane , management , technology



PENDAHULUAN
Menyadari bahwa energi Migas dan Batubara merupakan sumber daya yang tidak
terbarukan, maka pemanfaatannya harus di kelola dengan azas efisien lagi hemat dan mengingat
makin meningkatnya harga minyak dunia menyebabkan sebagian besar negara yang sangat
bergantung pada bahan bakar tersebut saat ini berusaha untuk mencari energy alternative yang
lebih murah dan ramah lingkungan. Suatu kenyataan bahwa kebutuhan energi, khususnya listrik
di Indonesia terus berkembang dan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebutuhan
hidup masyarakat sehari-hari dan menuntut perindustrian Minyak dan Gas Bumi agar dapat
meningkatkan cadangan Unconventional Gas Reservoir untuk dikembangkan. Pengelolaan energi
ke depan harus dilakukan dengan efisien melalui teknologi yang tepat sasaran dalam menopang
pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan [1].
Coal Bed Methane disingkat CBM atau dalam istilah yang telah diserap ke dalam Bahasa
Indonesia oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) menjadi Gas Metana
Batubara (GMB) yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No.36 Tahun 2008 dengan
pengertian Gas Bumi (hidrokarbon) dimana Gas Metana merupakan sebagai komponen utama,
terjadi secara alamiah oleh proses pembentukan Batubara (coalification) dalam kondisi
terperangkap dan terserap (teradsorbsi) didalam Batubara dan/atau lapisan Batubara. Dari hasil
pengkajian pada 10 (sepuluh) cekungan yang ada di Indonesia, potensi CBM di perkirakan
sebesar 453 Triliun Cubic Feet (Tcf), berdasarkan Advanced Resources International,inc. Angka
tersebut di atas menunjukan bahwa CBM sangat potensial untuk di kembangkan di Indonesia [1].
Pengelolaan air terproduksi pada pengembangan CBM sampai saat ini harus menjadi fokus
lingkungan hidup yakni air terproduksi yang dibuang langsung ke permukaan (lingkungan) tidak
boleh melewati ambang batas yang telah ditentukan oleh Pemerintah. Terdapat 3 (tiga) tahapan
utama dalam memproduksi CBM, antara lain; Tahap pengurasan air, dimana sejumlah air dengan
muatan yang besar akan diproduksi bersamaan dengan keluarnya gas CBM. Tahap stabil, sebagai
tahapan produksi stabil yang terjadi setelah pengurangan tekanan reservoir pada tahap pertama
dilakukan dimana dalam tahap ini sejumlah gas yang diproduksi akan meningkat dan jumlah air
yang diproduksikan akan menurun. Tahap penurunan, yaitu terjadi penurunan jumlah gas yang
diproduksi dan produksi air juga rendah

METODE PENELITIAN
Beberapa metode yang digunakan untuk mengelola air CBM antara lain;
Surface Discharge (pembuangan permukaan), air terproduksi dari beberapa sumur dipompa ke
pusat pengolahan kemudian air tersebut dialirkan ke lingkungan. Pelepasan air ke aliran sungai
diatur sesuai dengan baku mutu dan mempertimbangkan erosi yang berlebihan pada aliran
sungai, sehingga debit air yang dibuang diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kriteria
yang telah ditentukan. Pada saat produksi air konstan maka pembuangan pun akan konstant
(inlet=outlet). Bila ada rencana pembuangan air tersebut akan di buang ke sungai, maka sungai
yang akan menjadi tempat pembuangan tersebut mengalami penambahan debit airnya sekitar
10,000 Barrel Per Day (bpd), (1 barrel = 160 liter).
Infiltration impoundments, air terproduksi dari beberapa sumur dipompa ke kolam untuk
diuapkan (evaporasi), penguapan dibantu dengan alat penyemprot atau diresapkan kembali
kedalam akuifer. Sebelum digunakan untuk kebutuhan pertanian maupun rumah tangga terlebih
dahulu di kumpulkan dalam sebuah kolam. Kendala utama dalam pembuatan kolam ini adalah
ketersediaan lahan yang akan dipergunakan untuk membuat kolam tersebut karena area yang
dibutuhkan dalam pembuatan kolam yang cukup luas.

Gambar 1. Contoh Kolam (Pool) Penampungan Air Produksi CBM di Australia

Jika kandungan airnya saline tentu dapat merusak vegetasi, dan jika tidak di filteralisasi (saring)
kadar garamnya tentu akan dapat mencemari air tanah. Kontroversi pembuangan air produksi
CBM di kolam (pool) yakni sebagai cara paling murah namun, dapat merusak lingkungan karena
mampu mengubah perilaku hidrologi area tersebut, mengancam ikan dan kehidupan air lainnya,
serta bisa mengubah iklim lokal karena mengandungan moisture Batubara yang tinggi. Selain itu,
juga dapat mengakibatkan erosi atau penurunan muka air tanah dan vegetasi yang terkait
dengannya. Tampungan produksi air CBM yang mengandung garam dapat mengandung racun
organik atau anorganik, seperti amonia atau hidrogen sulfida yang secara substansial dapat
merusak lingkungan.
Shallow Re-injection (Sumur Injeksi), air terproduksi dari beberapa sumur ditampung ke
kolam kemudian dipompakan ke dalam lapisan akuifer (lapisan Formasi batuan) yang
mempunyai salinitas tinggi melalui sumur injeksi ke dalam tanah pada kedalaman tertentu. Harga
sumur injeksi ini juga cukup mahal yaitu hampir sama dengan harga sumur CBM.

Gambar 2. Diagram Sumur Injeksi Air CBM

Reverse Osmosis (Osmosa Terbalik) atau hyperfiltration adalah proses pengolahan yang
dapat memisahkan kandungan senyawa organik dan anorganik dari air. Teknik ini banyak
digunakan untuk desalinasi air laut dan payau, pengolahan limbah indusri dan lain-lain. Prinsip
osmosa terbalik adalah memindahkan pelarut dari larutan encer ke larutan pekat, dengan
mengalirkan air (pelarut) melalui membrane semi permeable, tekanan yang digunakan harus
lebih besar dari tekanan osmotic (biasanya kira-kira tiga kali lebih besar). Membran yang
digunakan pada proses ini biasanya adalah membran yang porinya sangat kecil atau padat. Bahan
membran yang digunakan adalah selulosa asetat, komposit, polimida dengan modul tubular,
spiral wound, flat sheet atau hallow fiber.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Air produksi CBM menjadi hal wajib yang harus dihasilkan dalam pengembangan CBM ke
depan karena produksi CBM pada setiap sumur diawali dengan produksi air Formasi (tempat
terendapnya Batubara) yang banyak, sehingga dapat berdampak serius terhadap pencemaran
lingkungan apabila tidak dikendalikan dengan ketat dan konsisten. Proses produksi gas CBM
adalah dengan cara merelease/melepaskan air dari reservoir Batubara, yaitu dengan
menggunakan pompa.
Gas CBM yang terdapat pada lapisan Batubara terperangkap pada matriks Batubara dan
sebagian kecil terdapat pada cleat (rekahan) sebagai gas bebas dan terlarut pada air yang berada
di dalam cleat. Agar gas CBM tersebut dapat diproduksikan, maka tekanan reservoir harus lebih
kecil dari critical desorption pressure, yaitu tekanan terendah dimana gas metana yang terdapat
dalam Batubara dapat diproduksikan. Untuk menurunkan tekanan tersebut, maka dilakukan
pekerjaan Dewatering yaitu memproduksikan air sehingga tekanan kritis desorpsi reservoir dapat
tercapai. Setelah tekanan reservoir turun sampai pada tekanan kritis desorpsi akibat
terproduksikannya air dari reservoir, maka gas dapat terbebaskan. Pada kondisi ini, fluida yang
terproduksikan tidak hanya air, tetapi gas yang terakumulasi pada matriks Batubara juga sudah
mulai terbebaskan. Secara umum, pada waktu air terproduksikan dari reservoir pada saat yang
sama gas CBM juga terproduksikan, hal ini disebabkan tekanan gas CBM pada Batubara lebih
kecil jika dibandingkan dengan tekanan air sehingga untuk memproduksi gas CBM tersebut maka
air perlu dikeluarkan.[2]
Air yang keluar dari proses dewatering ini akan menjadi permasalahan sendiri bila tidak
ditangani dengan baik. Dalam pelaksanaannya pembuangan air produksi gas CBM dilakukan
berdasarkan hasil studi Andal dan UKL/UPL yang dibuat pada saat pembuatan Masterplant
produksi gas CBM. Selama masa pengurasan (dewatering), air yang terproduksi sangat besar
sekali, berdasarkan data Lapangan Powder River Basin di Amerika Serikat pada awal dewatering
air terproduksi mencapai 800 bwpd (barrel water per day) sehingga diperlukan penanganan air
terproduksi secara tepat dan ekonomis sesuai dengan kebijakan lingkungan yang seharusnya
sudah ditetapkan oleh Pemerintah [3].
Saat ini telah ada peraturan khusus mengenai pengelolaan air terproduksi CBM yakni
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.02 tahun 2011 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi
Usaha dan/atau kegiatan Explorasi dan eksploitasi Gas Metana Batubara. Memperhatikan
kharakter air terproduksi CBM yang berbeda dengan air terproduksi Migas umumnya, sudah
seharusnya mendapat perlakuan atau aturan khusus dari Pemerintah dalam pengelolaannya.
Berbeda dengan reservoir Gas Konvesional, gas CBM mempunyai tekanan yang lebih kecil.
Gas CBM terbentuk karena proses pembentukan Batubara yang menghasilkan Gas Metana dan
air. Air ini sebagai barier bagi gas CBM untuk dapat mengalir (flowing). Setiap produksi gas
CBM selalu diikuti oleh produksi air. Produksi awal (initial production) gas CBM yang kecil
akan diikuti oleh produksi air yang besar dan pada titik tertentu Gas CBM mencapai puncak
produksinya untuk kemudian turun (decline) sesuai dengan kemampuan reservoirnya, namun di
lain hal air masih tetap berproduksi. Upaya mengeluarkan (release) air ini diperlukan proses
dewatering yaitu suatu proses untuk mengeluarkan air dari resevoir, sehingga gas CBM tersebut
dapat mengalir ke permukaan (biasanya digunakan pompa). Selama masa pengurasan
(dewatering), air yang terproduksi sangat besar. Berdasarkan data Lapangan Powder River Basin
di Amerika Serikat pada tahap awal dewatering air terproduksi mencapai 800 Barel Water Per
Day (bwpd), sehingga diperlukan penanganan air terproduksi secara tepat dan ekonomis sesuai
dengan kebijakan lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah[4].
Jika air ini dibuang langsung ke lingkungan maka akan menimbulkan banyak masalah
karena tingginya kandungan mineral yang terdapat didalamnya. Kualitas air terproduksi CBM
tergantung pada kondisi lingkungannya. Parameter untuk menilai kualitas air tersebut adalah
Total Dissolved Solids (TDS), Electric Conductivity (EC) dan Sodium Adsorption Ratio (SAR),
dimana secara garis besar parameter tersebut berhubungan dengan kandungan garam dan
senyawa kimia yang dapat membentuk kandungan garam [4].
Dengan jumlah yang demikian besar dan kualitas yang cukup baik membuat air terproduksi
memiliki berbagai kemungkinan dalam pemanfaatannya (untuk memasok irigasi pertanian,
enhanced oil recovery dan pasokan untuk bahan baku air minum). Kualitas air yang cukup baik
dapat dibuang langsung ke lingkungan sebagai penambah debit air untuk irigasi. Namun, untuk
pasokan air minum diperlukan teknologi yang cukup sehingga dapat memenuhi standar baku
mutu air minum. Pemanfaatan air tersebut tergantung pada kualitas air terproduksi, lokasi sumur
dan pengolahan air yang efektif [4].
Pada dasarnya, pengembangan CBM tidak mempunyai risiko lingkungan yang tinggi seperti
dengan produksi gas alam dari reservoir konvensional lainnya. Selain dampak dari air terproduksi
terhadap kerusakan lingkungan, akibat dari hasil pengembangan CBM di permukaan antara lain
juga adanya gangguan dari pembangunan jalan dan fasilitas produksi lainnya. Demikian pula
halnya, produksi CBM juga dapat menyebabkan polusi udara yang diakibatkan dari kompresor
pembuangan gas, kebocoran gas Metana, debu serta di lain hal pengoperasian pompa dan mesin
lainnya dapat menimbulkan polusi suara (noice).
Dalam produksi CBM, air menjadi subjek utama yang harus diperhatikan karena terdapat
dalam volume yang besar dan harus dikelola dengan cara ditampung di permukaan atau
direinjeksikan ke bawah permukaan atau bahkan membuangnya langsung ke badan air setelah di
treatment. Pembuangan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya pengikisan lapisan tanah dan
sedimen, membuat habitat air menjadi tidak seimbang (unsustainable), atau dapat pula mengubah
salinitas tanah.
Selain itu, kimia organik dan anorganik yang berasal dari air CBM sampai saat ini belum
diteliti secara komprehensif; yakni kandungan yang terdapat didalamnya seperti fenol atau
arsenik yang dapat merusak lingkungan [2]. Potensi CBM terdapat pada kedalaman yang dangkal
dimana jika pada kedalaman tersebut harus mengambil air dalam volume yang besar, maka besar
kemungkinan untuk dapat mengakibatkan penurunan pada muka air tanah di area tersebut
(dengan catatan tetap memperhatikan lapisan impermeable diantaranya (jika ada)). Penurunan
muka air tanah itu dapat menghilangkan air dari mata air dan sungai sehingga mengakibatkan
produksi air tanah dari sumur menjadi lebih sulit dan mahal dan kemungkinan pencemaran lain
yang terjadi adalah lepasnya (migrasi) gas Metana yang tidak dapat ditangkap oleh sumur CBM
selama proses produksi akan mengakibatkan air tanah tercemar.
Produksi CBM disertai dengan menghasilkan jumlah air yang besar karena air lebih banyak
diproduksi pada awal pemboran CBM. Jumlah air yang dihasilkan oleh sumur CBM yang
dihasilkan tergantung pada beberapa faktor, antar lain: life time (durasi) produksi CBM,
lingkungan pengendapan Formasi area tersebut, kedalaman Batubara, dan jenis Batubaranya.
Volume air yang diproduksi bersama dengan CBM dapat menciptakan masalah pada
pembuangannya.

KESIMPULAN

Para ahli lingkungan (J. Berton Fisher Exponent, Inc. Tulsa) percaya bahwa ekstraksi,
produksi, dan distribusi CBM dapat memiliki dampak pada masyarakat pertanian atau
perkebunan pedesaan disekitarnya karena akibat dari akitivitas produksi CBM yang dilakukan
oleh perusahaan yang masuk ke tanah pribadi dengan pembangunan sumur bor, jalan, saluran
pipa, dan kompresor yang secara langsung atau tidak langsung dapat mengganggu pemilik tanah.
Sebagaimana dengan aktivitas migas lainnya, pengembangan CBM juga dapat mempengaruhi
tanah, air, satwa liar, ekosistem lain dan masyarakat dalam berbagai cara.

Dukungan pemerintah dan penduduk setempat merupakan faktor lain yang ikut
mempercepat proses percepatan pengembangan CBM ini kedepan sebagai pasokan energi
alternative yang ramah lingkungan dan harus dilakukan dengan efisien melalui teknologi yang
tepat sasaran dalam menopang pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Janry Efriyanto- Sustainability Air Terproduksi CBM Terhadap Lingkungan (2012)
(http://www.scribd.com/doc/113850876/Sustainability-Air-Terproduksi-CBM-Terhadap-
Lingkungan) diakses 2014.
[2] Alpen-Energi lain dari Lapisan Batubara (2014)
(http://www.alpensteel.com/component/content/article/51-113-energi-lain-lain/3048--
energi-lain-dari-lapisan-batubara-coal-bed-methane.pdf), diakses 2014.
[3] Imam Budiharjo-Mengenal Coal Bed Methane (2010)
(http://imambudiraharjo.wordpress.com/2010/01/19/mengenal-cbm-coal-bed-methane/),
diakses 2014.
[4] Ibrahim Lubis-Potensi Coal Bed Methane Sebagai Alternatif di Indonesia (2009).
(http://ibrahimlubis.wordpress.com/2009/03/10/potensi-coal-bed-methane-cbm-sebagai-
energi-alternatif-di-indonesia/), diakses 2014.

You might also like