You are on page 1of 43

LAPORAN PBL

MODUL II: BENJOLAN PADA LEHER


SISTEM ONKOLOGI

Sabriadi
Siti Fathiyah Sapsuha
Sitti Aulia Hidayat
Trisna
Sri Wahyuni Sahir
Sukma Sucianti
St. Ramlah Andarias
Sulfiah Yusnita
Syamsia
Sri Rahayu Arismawati Ningsih
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2O14
DAFTAR ISI
BAB 1: PENDAHULUAN
II.1. HISTORY TAKING. 1
II.2. MIND MAPPING. 2
BAB II : PEMBAHASAN
II.1. ANATOMI LEHER .. 3
II.2. KELENJAR LIMFA LEHER.. 7
II.3. PENYAKIT DENGAN BENJOLAN PADA LEHER 10
II.4. PATOMEKANISME GEJALA 11
II.5. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS 14
BAB III : KESIMPULAN 39

Daftar pustaka 40











BAB I
PENDAHULUAN
II.1. HISTORY TAKING
Seorang laki-laki 50 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan benjolan
pada leher bagian lateral kiri, yang dirasakan sejak 4 bulan yang lalu. Benjolan ini
mula-mula kecil, yang kemudian membesar dengan cepat. Benjolan teraba keras
tetapi tidak nyeri. Penderita mengeluh telinga berdengung pada sebelah kiri.
Berdasarkan dari skenario gejala klinis dari laki-laki berumur 50 tahun
ini adalah:
benjolan pada leher bagian lateral kiri,
sejak 4 bulan yang lalu.
Benjolan mula-mula kecil, lalu membesar dengan cepat.
Benjolan teraba keras dan tidak nyeri.
telinga berdengung pada sebelah kiri.
































II.2. MIND MAPPING






























Gejala klinis : laki-laki 50
tahun ,benjolan pada leher
bagian lateral kiri, sejak 4
bulan lalu. Benjolan mula-
mula kecil, lalu membesar
dengan cepat. Benjolan
teraba keras dan tidak nyeri.
telinga berdengung pada
sebelah kiri
Anamnesis tambahan : riwayat
merokok, lifestyle, riwayat infeksi
sebelumnya, riwayat
trauma,riwayat keluarga , gejala
lain: epistaksis,hidung tersumbat,
sefalgia, nyeri waktu menelan,
batuk, hemoptisis, suara serak,
sulit bernapas, splenomegali,
gangguan hepar, gangguan
skeletal, gejala sistemik. ,
pemeriksaan fisik:
inspeksi : ukuran , bentuk,
konsistensi, perlengketan
dengan area sekitar dan
lokasinya.
dengan laringoskopi : lihat area
glottis.subglotik, supraglotis

Pemeriksaan tambahan:pemeriksaan
CT, MRI, pemeriksaan histopatologi .
Pemeriksaan hematologi, urinalisis.
Fungsi hepar, pemeriksaan saraf
cranial, pemeriksaan serologi virus EB

Tumor primer atau metastasis tumor
yang menyebabkan pembesaran
limfa regional leher lateral kiri
Karsinoma nasofaring Karsinoma laring Limfoma maligna
Terapi
Radioterapi/kemoterap
i / terapi bedah (Sesuai
jenis dan stadium
tumor)

Pencegahan
Lakukan deteksi diri
Hindari merokok
Perbaiki lifestyle
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. ANATOMI LEHER
Batas-batas anatomik leher adalah sebagai berikut: batas atas adalah balas
bawah mandibula, ujung mastoid, dan garis nukae superior: batas bawah adalah
takik suprasternal, klavikula, dan garis horisontal melalui prosesus spinosus
vertebra servikalis ke tujuh. Untuk tujuan deskriptif, leher dibagi menjadi dua
bagian oleh garis tengah vertikal, dan setiap sisi dibagi menjadi segitiga anterior
dan posterior oleh otot stemokleidomastoideus. Sebagian besar massa terjadi pada
segitiga servikal anterior.

Drainase limfatik kepala dan
leher : Nodi lymphoidei di daerah kepala
dan leher tersusun dalam sebuah
kelompok leher yang terbentang dari
bawah dagu sampai ke belakang kepala
dan sebuah kelompok terminal verticalis
profunda yang tertanarn di dalam sarung
carotis di daerah leher.
Kelompok regional nodi lymphoidei
tersusun sebagai berikut:
- Nodi lymphoidei occipitales:
terletak di atas os occipitale pada
belakang kepala. Menampung limfe dari bagianbelakang kulit kepala.
- Nodi lymphoidei retroauriculares (mastoidei): terletak di belakang telinga
di atas processus mastoideus. Menampung limfe dari kulit kepala di atas
telinga, auricula dan meatus acusticus extemus.
- Nodi lymphoidei parotidei: terletak pada atau di dalam glandula parotidea.
Menampung limfe dari kulit kepala di atas glandula parotidea" kelopak
mata, glandula parotidea, auricula dan meatus acusticus extemus.
- Nodi lymphoidei buccinatorius (faciales): satu atau dua nodi pada pipi di
atas musculus buccinator. Menampung limfe yang akhimya bermuara ke
nodi lymphoidei submandibulares.
- Nodi lymphoidei submandibulares: terletak pada permukaan superfisial
glandula salivaria submandibularis, tepat di bawah pinggir bawah
mandibulae. Menampung limfe dari kulit kepala bagian depary hidung,
pipi, bibir atas dan bawah (kecuali bagian tengah), sinus frontalis,
maxillaris, dan ethmodalis; gigi atas dan bawah (kecuaii incisivus bawah);
dua pertiga bagian anterior iidah (kecuaii ujung lidah); dasar mulut dan
vestibulum; dan gusi.
- Nodi lymphoidei submentales: terletak di dalam trigonum submentale
tepai di bawah dagu. Menampung limfe dari ujung lidah, dasar mulut
bagian anterior, gigi incisivus, bagian tengah bibir bawah, dan kulit di atas
dagu.
- Nodi lymphoidei cervicales anteriores: terletak sepanjang vena jugularis
antedor pada sisi depan leher. Menampung limfe dari kulit dan 1'aringan
superfisial leher bagian depan
- Nodi lymphoidei cervicales superficiales: terletak sepanjang vena jugularis
externa pada sisi lateral leher. Menampung limfe dari kulit di atas angulus
mandibulae, kulit di atas bagian bawah glandula parotidea, dan lobus
auricula.
- Nodi lynphoidei retropharyngeales: terletak di belakang pharyrrx dan di
depan columna vertebralis. Menampung limfe dari nasopharynx, tuba
auditiva, dan columna vertebralis.
- Nodi lymphoidei laryngeales: terletak di depan laryrx. Menampung limfe
dari larynx.
- Nodi lymphoidei tracheales (paratracheales): terletak sepanjang lateral
trachea. Menampung limfe dari struktur yang berdekatan termasuk
glandula thyroidea.
- Nodi lymphoidei cervicales profunda membentuk sebuah rantai vertikal
sepanjang vena jugularis interna di dalam selubung carotis. Menampung
limfe dari semua kelompok regional nodi lymphoidei. Nodus
jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus
mandibulae, terutama berhubungan dengan aliran limfe dari tonsil dan
lidah. Nodus juguloomohyoideus, yang terletak dekat musculus
omohyoideus, terutama berhubungan dengan aliran limfe lidah.Pembuluh
limfe eferen dari nodi lymphoidei cervicales profundi bergabung untuk
membentuk truncus jugularis, yang bermuara ke dalam ductus thoracicus
atau ductus lymphaticus dexter.

Pembuluh darah : Arteria
carotis communis dextra berasal dari
Arteria brachiocephalica dibelakang
articulatio sternoclavicularis dexter.
Arteria carotis communis sinistra
berasal dari arcus aorta di
mediastinum superius. Arteria carotis
communis berjalan ke atas di daerah
leher tertutup oleh pinggir anterior
musculus sternocleido- mastoideus,
dari articulatio sternoclavicularis
sampai pinggir atas cartilago
thyroidea. Disini pembuluh ini bercabang dua menjadi arteria carotis externa dan
interna. Pada tempat percabangan ini, bagian terminal arteria carotis communis
atau bagian permulaan arteria carotis interna tampak melebar, disebut sinus
caroticus. Tunica media sinus lebih tipis dari di tempat lain, namun tunica
adventitia relatif lebih tebal dan mengandung banyak ujung-ujung saraf yang
berasal dari nervus glossopharyngeus.


NASOFARING
Nasofaring terletak di antara
basis kranial dan palatum molle,
menghubungkan rongga hidung dan
daerah orofaring. Dinding supero-
posterior bersambung dan miring
membentuk lengkungan, di antara
kedua dinding tidak terdapat batas
anatomis yang jelas. Lapisan
submukosa area itu kaya akan jaringan
limfatik yang membentuk tonsil
faring, dimana pada masa anak
tampak hiperplasia nyata membentuk
adenoid. Dinding lateral mencakup :
(1) pars anterior tuba timpanofaringeus ; (2) area tuba timpanofaringeus, terdapat
ostium faringeus tuba timpanofaringeus dan torus tubarius bersama jaringan ikat
dibawahnya membentuk pars kartilago tuba timpanofaringeus; (3) pars posterior
tuba timpanofaringeus, yaitu resessus faringeus yang biasa juga disebut fossa
Rosenmulleri.
Dinding anterior : margin posterior septum nasalis dan ostium posterior
nasalis di kedua sisinya, langsung berhubungan dengan kavum nasalis.
Dinding dasar : dorsum palatum molle dan ismus orofaring di
belakangnya.
Drainase limfatik : area nasofaring sangat kaya akan saluran limfatik,
terutama drainase ke kelenjar limfe faringeal posterior paravertebral servical,
kemudian masuk ke kelenjar limfe kelompok profunda servical, terutama meliputi
(1) rantai kelenjar limfe jugularis interna; (2) rantai kelenjar limfe nervi
assesorius; (3) rantai kelenjar limfe arteri dan vena transversalis koli.
Pembuluh darah : berasal dari percabangan level I atau level II arteri
carotis externa, masing-masing adalah : arteri faringeal ascendens, cabang terkecil
arteri carotis externa ; (2) arteri palatina ascendens (3) arteri faringea, salah satu
cabang terminal dari arteri maxillaris nterna (4) arteri pterigoideus.
Persarafan : saraf sensorik berasal dari nervi glossofaringeal dan
vagus. Saraf motorik dan nervus vagus, sedangkan saraf motorik dari nervus
vagus, mempersarafi sebagian otot faring dan palatum molle.
II.2. KELENJAR LIMFA LEHER
Sekitar 75 buah kelenjar limfa terdapat pada setiap sisi leher, kebanyakan
berada pada rangkaian jugularis interna dan spinalis asesorius. Kelenjar limfe
yang selalu terlibat dalam metstasis tumor adalah kelenjar limfe pada rangkaian
jugularis interna, yang terbentang antara klavikula sampai dasar tengkorak.
Rangkaian jugularis interna ini dibagai dalam kelompok superior, media dan
inferior. Kelompok kelenjar limfe yang lain adalah submental, submandibula,
servikalis superficial, retrofaring, pratrakeal, spinalis asesorius, skalenus anterior
dan supraklavikula.
Kelenjar limfa jugularis interna superior menerima aliran limfa yang
berasal dari daerah palatum mole, tonsil, bagian posterior lidah, dasar lidah, sinus
piriformis dan supraglotik laring. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari
kelenjar limfa retrofaring, spinalis asesorius, parotis, servikalis superficial dan
kelenjar limfa submandibula.
Kelenjar limfa jugularis interna media menerima aliran limfa yang berasal
langsung dari subglotik laring, sinus piriformis bagian inferior dan daerah krikoid
posterior. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar limfa juguglaris
interna superior dan kelenjar limfa retrofaring bagian bawah.
Kelenjar limfa jugularis interna inferior menerima aliran limfa yang
berasal langsung dari glandula tiroid, trakea , esophagus bagian servikal. Juga
menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar limfa juguglaris interna superior
dan media, dan kelenjar limfa paratrakea.
Kelenjar limfa submental, terlenta pada segitiga submental di antara
platisma dan m . omohioid di dalam jaringan lunak. Pembuluh aferen menerima
aliran limfa yang berasal dari dagu, bibir bawah bagian tengah, pipi, gusi, dasar
mulut bagian depan dan 1/3 bagian bawah lidah. Pembuluh eferen mengalirkan
limfa ke kelenjar limfa submandibula sisi homolateral atau ontra lateral, kadang-
kadang dapat langsung ke rangkaian kelenjar limfa juguglaris interna.
Kelenjar limfa submandibula, terletak di sekitar kelenjar liur
submandibula dan di dalam kelenjar liurnya sendiri. Pembuluh aferen menerima
aliran limfa yang berasal dari kelenjar liur submandibula, bibir atas, bagian lateral
bibir bawah, rongga hidung , bagian anterior rongga mulut, bagian medial elopak
mata, palatum mole dan 2/3 depan lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke
kelenjar jugularis interna superior
Kelenjar limfa serfikal superficial, terletak di sepanjang vena jugularis
eksterna, menerima aliran limfa yang berasal dari kulit muka, sekitar kelenjar
parotis dan kelenjar limfa oksipital. Pembuluh efereen mengalirkan limfa ke
kelenjar limfa jugularis interna superior.
Kelenjar limfa retrofaring , terletak di antara faring dan fasia prevertebra,
mulai leher dan toraks. Pembuluh aferen menerima aliran limfa dari nasofaring,
hipofaring, telinga tengah dan tuba eustachius. pembuluh eferen megalirkan limfa
ke kelenjar limfa jugularis interna dan kelenjar limfa jugularis interna dan kelenjar
limfa spinal asesoris bagian superior.
Kelenjar limfa paratrakea, menerima aliran limfa yang berasal dari laring
bagian bawah, hipofaring , esophagus bagian servikal, trakea bagian atas dan
tiroid.Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna
inferior atau kelenjar limfe mediastinum superior.
Kelenjar limfa spinal asesoris, terletak di sepanjang saraf spinal asesoris,
menerima aliran limfa yang bersal dari kulit kepala bagian parietal dan bagian
belakang leher. Kelejar limfa parafaring menerima aliran limfa dari nasofaring,
orofaring dan sinus paranasal.pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelnjar limfa
supraklavikula.
Rangkaian kelenjar limfa juguglaris interna mengalirkan limfa ke trunkus
jugularis dan selanjutnya masuk ke duktus torasikus untuk sisi sebelah kiri,
dengan untuk sisi yang sebelah kanan masuk ke duktus limfatius kanan atau
langsung ke system vena pada pertemuan vena jugularis interna dan vena
subklavia. Juga duktus torasikus dan duktus limfatikus kanan menerima aliran
limfa dari kelenjar limfa supraklavikula.
DAERAH KELENJARAN LIMFA LEHER
Letak kelenjar limfa leher menurut Sloan Kattering Memorial Cancer Center
Classification di bagi dalam lima daerah penyebaran kelompok kelenjar, yaitu
daerah :
I. Kelenjar yang terletak di segitiga sub-mental dan submandibula
II. Kelenjar yang terletak di 1/3 atas dan termasu kelenjar limfa jugular
superior, kelenjar digastrik dan kelenjar servikal posterior superior
III. Kelenjar limfa jugularis di antara bifurkasio karotis dan persilangan m.
omohioid dengan m. sternokleidomastoid dan batas posterior m.
sternokleidomastoid
IV. Grup kelenjar di daerah jugularis inferior dan supraklavikula
V. Kelenjar yang berada di segitiga posterior servikal.
Metastasis tumor servikal
Metastasis dari tumor gans yang primernya berada di kelapa dan leher
lebih dari 90% primernya dapat ditentukan dengan pemeriksaan fisik.
Adanya massa tumor yang berada di preaurikula umumnya disebabkan
oleh tumor primer dari kelenjar parotis atau metastatis tumor ganas dari kulit
muka, kepala, dan telinga homolateral.
Massa tumor pada kelenjar yang berada di bawah m sternokleidomastoid
bagian atas dan atau pada kelenjar servikal superior posterior biasnya berasal dari
tumor ganas di nasofaring, orofaring dan bagian posterior sinus maksila.
Pada kelenjar submental dapat berasal dari tumor ganas di kulit hidung
atau bibir, atau dasar mulut bagian bagian anterior.
Pada segitiga submandibula dapat di sebabkan oleh tumor primer pada
kelenjar submandubula atau metastasis tumor yang berasal dari kulit muka
homolateral , bibir, rongga mulut atau sinus paranasal.
Pada daerah kelenjar jugularis interna superior, dapat berasal tumor ganas
di rongga mulut, orofaring posterior, nasofaring, dasar lidah atau laring
Tumor yang tunggal pada daerah jugularis media biasanya berupa tumor
pada subglotis , laring tiroid atau esophagus bagian servikal.
Tumor pada kelenjar limfa suboksipital biasanya berupa metastasis tumor
yang berasal dari kulit kepala bagian posterior atau tumor pimer di aurikula.
Massa tumor di supraklavikula, biasanya oleh karena tumor primer di
infraklavikula, tumor esophagus bagian servikal atau tumor tiroid.
Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala dan leher edisi
keenam hal174-177)
II.3. PENYAKIT DENGAN BENJOLAN PADA LEHER
Benjolan leher adalah setiap massa baik kongenital maupun didapat yang
timbul di segitiga anterior atau posterior leher, di antara klavikula pada bagian
inferior, dan mandibula serta dasar tengkorak pada bagian superior.
Menurut Grace, 2007: 11, benjolan pada leher 50 % berasal darii tiroid,
40 % benjolan leher disebabkan oleh keganasan (80 % merupakan metastasis
yang berasal dari lesi primer di atas klavikula; 20 % neoplasma primer: limfoma,
tumor kelenjar saliva) dan 10 % benjolan leher berasal dari pereadangan atau
kelainan kongenital.
1. Tiroid
Struma, kista, neoplasma
2. Neoplasma
Karsinoma metastasis
Limfoma primer
Tumor kelenjar saliva
Tumor sternokledomastoid
Tumor badan karotis
3. Peradangan
Adenopati infektif akut
Abses kancing leher (collar stud abscess)
Higroma kistik
Kista brankial
Parotitis
4. Kongenital
Kista duktus tiroglosus
Kista dermoid
Tortikolis
5. Vaskular
Aneurisma subklavia
Ektasia subklavia
II.4. PATOMEKANISME GEJALA
a. Benjolan pada leher kiri
Siklus sel normal pada manusia berlangsung melalui suatu siklus sel
yang terdiri dari 4 fase yang ditentukan oleh waktu sintesis DNA, yaitu fase G1,
fase S, fase G2 dan fase M. Setelah mitosis, sel memasuki fase G1, yaitu fase sel
sangat aktif tetapi tidak mensintesis DNA, atau memasuki fase G0 untuk istirahat.
Pada fase G0/G1 kandungan DNA sel adalah diploid (2N). Siklus sel kemudian
berlanjut ke fase S saat terjadi sintesis DNA dan kandungan DNA berubah
menjadi 4N. Fase selanjutnya adalah fase G2 sebelum memasuki fase M di mana
sel membelah diri menjadi 2 sel diploid. Waktu yang diperlukan untuk satu siklus
bergantung pada jenis sel dan perbedaan waktu itu terutama di fase G1, bila perlu
siklus sel berhenti pada fase ini (G1 arrest) atau pada interfase G1/S (Romadhon:
2013)
Sel tumor adalah sel normal dari tubuh kita sendiri yang mengalami
perubahan (transformasi) sehingga bentuk, sifat dan kinetiknya berubah, sehingga
tumbuhnya menjadi autonom, liar, tidak terkendalidan terlepas dari koordinasi
pertumbuhan normal. Akibatnya timbul tumor yang terpisah dari jaringan tubuh
normal (Sukardja, 2010).
Transformasi sel itu terjadi karena mutasi gen yang mengatur
pertumbuhan dan diferensiasi sel, yaitu proto onkogen dan atau supresor gen (anti
onkogen). Kemungkinan terjadinya mutasi itu ditentukan oleh kesetiaan dan
ketekunan gen itu mengadakan replikasi dan reparasi. Aktivasi protoonogen
menjadi onkogen karena ada mutasi gen atau ada insersi gen retrovirus. Inaktivasi
gen supresor terjadi karena ada mutasi gen atau ada protein yang dapat mengikat
produksi gen supresor itu (Sukardja, 2010).
Pada umumnya transformasi itu terjadi karena ada mutasi gen atau
chromosom. Mutasi itu dapat dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu:
a. Translokasi
Pada translokasi gen atau kromosom umumnya berupa translokasi resiprokal,
yaitu pertukaran timbal balik gen atau kromosom pada lengan chromosom
satu dengan lainnya, tanpa ada kehilangan gen. Sebagian dari lengan
kromosom itu pindah letaknya ke kromosom lain. Translokasi ini
menyebabkan perubahan ekspresi gen.
b. Kehilangan, tambahan atau inaktivasi gen
Kehilangan (delation), tambahan (addition), dan inaktivasi gen akan
mengakibatkan gangguan pertumbuhan sel yang tidak terkendali dan
diferensiasi sel yang jelek.
c. Amplifikasi gen
Pada amplifikasi gen terdapat kenaikan jumlah DNA pada kromosom pada
region tertentu.
Selain kerusakan mutasi gen, transformasi sel normal dapat juga terjadi
karenainduksi karsinogen. Fase induksi dibagi menjadi fase inisiasi, promosi,
konversi, progresi, sehingga timbul sel kanker.



Perubahan-perubahan tersebut di atas, dapat dilihat pada bagan berikut:
diferensiasi
Sel normal Sel kanker




Sinar UV Onkogen
Virus
Hormon Transformasi gen
Iritasi kronis
Kimia
Proto onkogen

Proses:
- Inisiasi
- Promosi
- Progresi
b. Telinga berdengung
Tinnitus dan pendengaran menurun : masing-masing menempati 51,5-
62,5% dan 50%. Penyebabnya adalah tumor di resesus faringeus dan dinding
lateral nasofaring menginfiltrasi, menekan tuba eustaki, menyebabkan tekanan
negative di dalam kavum timpani, hingga terjadi otitis media transudatif.bagi
psien dengan gejala ringan , tindakan dilatasi tuba eustaki dapat meredakan
sementara. Menurunnya kemampuan pendengaran karena hambatan konduksi,
umumnya disertai rasa penuh di dalam telinga.



II.5. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
II.5.1. KARSINOMA NASOFARING
Anatomi Nasofaring
Nasofaring terletak di antara basis kranial dan palatum mole,
menghubungkan rongga hidung dan orofaring. Rongga nasofaring menyerupai
sebuah kubus yang tidak beraturan, diameter atas-bawah dan kiri-kanan masing-
masing sekitar 3 cm, diameter depan-belakang 2-3 cm, dapat dibagi menjadi
dinding anterior, superior, posterior, inferior, dan 2 dinding lateral yang simetri
bilateral (Desen, 2013: 263).
Dinding supero-posterior: dinding superior dan posteroir bersambung dan
mirirng membentuk lengkungan, di antara kedua dinding tidak terdapat batas
anatomis yang jelas, maka secara klinis sering disebut sebagai dinding supero-
posterior, yaitu batas dari atas lubang hidung posterior ke posterior, hingga taraf
palatum molle. Lapisan submukosa area itu kaya akan jaringan limfatik
membentuk tonsil faring. Dinding posterior setinggi vertebra servikal 1,2, kedua
sisinya adalah batas posterior resesus faring (Desen, 2013: 264).
Dinding lateral mencakup (1) pars anterior tuba timpanofaringeus; (2)
area tuba timpanofaringeus, terdapat ostium faringeus tuba timpanofariungeus
(membentuk segitiga, sekitar 1 cm dari ujung posterior konka nasalis inferior) dan
torus tubarius di sebelah posterosuperiornya bersama jaringan ikat di bawahnya
membentuk pars kartilago tuba timpanofaringeus; (3) pars anterior tuba
timpanofaringeus yaitu resesus faringeus (disebut juga fossa Rosenmulleri),
terletak disebelah posterosuperior torus tubarius, berhubungan dengan dinding
posterior atap nasofaring. Resesus ini di dalamnya sekitar 1 cm, membentuk
lekukan berbentuk kerucut(Desen, 2013: 264).
Dinding anterior terdiri atas margin posterior septum nasalis dan ostium
posterior nasalis di kedua sisinya, langsung berhubungan dengan kavum nasalis.
Dinding dasar yaitu dorsum palatum mole dan ismus orofaring di belakangnya
(Desen, 2013: 264).
Drainase limfatik: area nasofaring sangat kaya akan saluran limfatik,
terutama drainase ke kelenjar limfe faringeal posterior paravertebral servikal
(disebut juga kelenjar limfe Rouviere, sebagai kelenjar limfe terminal pertama
drainase kanker nasofaring), kemudian pertama drainase kanker nasofaring),
kemudian masuk ke kelenjar limfe kelompok profunda servikal, terutama
meliputi: (1) rantai kelenjar limfe jugularis interna; (2) rantai kelenjar limfe nervi
asesorius 9terletak dalam segitiga posterior leher); (3) rantai kelenjar limfe arteri
dan vena transversalis koli (di fosa supraklavikular) (Desen, 2013: 264).
Pembuluh darah berasal dari percabangan level I atai level II arteri
karotis eksterna, masing-masing adalah: (1) arteri faringeal asendens, cabang
terkecil arteri karotis eksterna; (2) arteri palatina asendens; (3) arteri faringea,
salah satu cabang terminal dari arteri maksillaris interna; (4) arteri pterigoideus,
juga adalah cabang akhir arteri maksillaris interna.
Persarafan nasofaring terdiri atas saraf sensorik yang berasal dari nervi
glosofaringeal dan vagus. Saraf motorik dari nervus vagus, mempersarafi
sebagian otot faring dan paltum mole (Desen, 2013: 264).

Histologi Nasofaring
Definisi Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah
nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang berasal dari epitel mukosa,
jaringan penyangga/ lunak atau kelenjar yang terdapat pada nasofaring.
Karsinoma nasofaring disebut juga sebagai tumor Kanton (Desen 2013: 263).
Epidemiologi Karsinoma Nasofaring
Insidens karsinoma nasofaring tertinggi di dunia di jumpai pada
penduduk daratan Cina bagian selatan, khususnya suku Kanton di Provinsi Guang
Dong dengan angka rata-rata 30-50/100.000 penduduk per tahun. Insidens
karsinoma nasofaring juga banyak pada daerah yang banyak dijumpai imingran
Cina, misalnya di Hong Kong, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia dan
Indonesia. Sedangkan insiden yang terendah pada bangsa Kaukasin, Jepang dan
India (Asroel, 2002).
Penderita karsinoma nasofaring lebih sering dijumpai pada pria
dibanding pada wanita dengan ratio 2-3:1. Penyakit ini ditemukan terutama pada
usia yang masih produkti (30-60 tahun), dengan usia terbanyak adalah 40-50
tahun (Asroel, 2002).
Etiologi
Menurut Desen, 2013: 267-269, terjadinya karsinoma nasofaring mungkin
multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin mencakup banyak tahap. Faktor
yang mungkin terkait dengan timbulnya kanker nasofaring adalah:
1. Kerentanan genetik, walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor
genetic, tetapi kerntanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok
masyrakat tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis
korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode
enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan
terhadap karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar
karsinoma nasofaring.
2. Virus Eipstein-Barr, Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung
antara karsinoma nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr
(EBV). Serum pasien-pasien orang asia dan afrika dengan karsinoma
nasofaring primermaupun sekunder telah dibuktikan mengandung antibody Ig
G terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap
antigen dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering
dengan titer yang tinggi. Hubungan ini juga terdapat pada pasien Amerika
yang mendapat karsinoma nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini
berhubungan dengan karsinoma nasofaring tak berdifrensiasi dan karsinoma
nasofaring non-keratinisasi yang aktif (dengan mikroskop cahaya) tetapi
biasanya tidak dengan tumor sel skuamosa atau elemen limfoid dalam
limfoepitelioma.
3. Faktor Lingkungan, menurut laporan luar negeri, orang cina generasi pertama
(Umumnya penduduk kanton ) yang bermigrasi ke Amerika Serikat, Kanada
memiliki angka kematian akibat karsinoma nasofaring 30 kali lebih tinggi
dari penduduk kulit putih setempat, sedangkan pada generasi kedua turun
menjadi 15 kali, generasi ketiga belum ada angka pasti, tetapi secara
keseluruhan cenderung menurun. Dalam pada itu, orang kulit putih yang lahir
d Asia Tenggara, angka kejadian nasofaring meningkat. Sebabnya selain pada
sebagian orang terjadi perubahan pada hubungan darah, jelas factor lingungan
juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut
berkaitan dengan timbulnya karsinoma nasofaring:
Golongan Nitrosamin,diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin.
Hodrokarbon aromatic
Unsur renik, diantaranya nikel sulfat.
Mnurut Asroel, 2002 mediator di bawah ini yang dianggap berpengaruh
terhadap timbulnya karsinoma naofaring yaitu:
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin
2. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Sering kontak dengan zt-zat yang dianggap karsinogen, seperti:
Benzopyrenen
Benzoanthracene
Gas kimia
Asap industri
Asap kayu
Beberapa ekstrak tumbuhan
4. Ras dan keturunan
5. Radang kronis daerah nasofaring
6. Profil HLA
Gejala dan Tanda
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala
nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata, dan syaraf, serta metastasis atau
gejala di leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan
hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat kalau perlu dengan
nasofaringoskop, karena seringa gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh
atau tumor tidak tampak karena masih terdapat dibawah mukosa (creeping tumor)
(Soepardi dkk, 2012: 160).
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat
asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan dapat
berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).
Tidak jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini baru kemudian disadari
bahwa penyebabnya adalah karsinma nasofaring (Soepardi dkk, 2012: 160).
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lobang, maka gangguan beberapa lobang, dari beberapa saraf otak dapat
terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum
akan mengenai saraf otak ke II, IV, VI dan dapat pula ke V, shingga tidak jarang
gejala diplopia lah yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia
trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum
terdapat keluhan lain yang berarti (Soepardi dkk, 2012: 160).
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan
XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh
dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah
mengenai seluruh syaraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai
dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian biasanya
prognosisnya buruk (Soepardi dkk, 2012: 160).
Metastase kekelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang
mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain.
Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau
LHN telah diteliti di RRC yaitu tiga bentuk yang mencurigakan pada naofaring
seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan mukosistis
berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun-tahun kemudian
akan menjadi karsinoma nasofaring (Soepardi dkk, 2012: 160).

Diagnosis
Menurut American Cancer Society, untuk diagnosis kanker nasofaring
terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Jika terdapat tanda dan gejala kanker nasofaring, maka perlu dilakukan
anamnesis lengkap tentang kemungkinan faktor resiko.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat adanya tanda dari kanker
nasofaring atau gangguan kesehatan lainnya. Selama pemeriksaan, perhatian
harus lebih dutujukan pada pemeriksaan pada area kepala dan leher yaitu
hidung, mulut dan kerongkongan, otot-otot pada wajah dan kelenjar limfe
pada leher.
2. Pemeriksaan nasofaring
Nasofaring terletak pada bagian dalam dari kepala dan tidak mudah terlihat,
sehingga memerlukan pemeriksaan khusus. Terdapat dua jenis pemeriksaan
untuk melihat nasofaring, yaitu:
Pemeriksaan nasopharyngocsopy indirect, menggunakan cermin dan
senter yang diletakkan pada bagian belakang dari kerongkongan untuk
melihat nasofaring dan area sekitarnya.
Pemeriksaan nasopharyngocsopy direct, menggunakan fiber optic scope
yang disebut nasopharyngocsope untuk melihat area nasofaring secara
langsung.
3. Biopsi
Biopsi dilakukan dengan mengambil sel dari daerah yang abnormal dan
meihatnya di bawah mikroskop untuk memastikan diagosis.
4. Endoscopic biopsi
5. Fine Needle Aspiration (FNA)
Jika terdapat benjolan pada leher, FNA dilakukan untuk mengetahui
penyebab dari benjolan tersebut. Benjolan pada leher dapat berupa respon
dari suatu infeksi, metastasis dari tempat lain (misalnya kanker nasofaring),
atau limfoma.
6. Imaging test yang terdiri atas:
X-Ray dada
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat adanya metastasis ke paru-paru
setelah ditegakkannya diagnosis karsinoma nasofaring.
CT Scan
Makna klinis aplikasinya adalah membantu diagnosis, memastikan luas
lesi, penetapan stadium, secara tepat menetapkan zona target terapi,
merancang medan dan radiasi serta memonitor kondisi remisi tumor
pasca terapi dan pemeriksaan tindak lanjut.
MRI
MRI selain dengan jelas memperlihatkan lapisan strukur nasofaring dan
luas lesi, juga dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang.
Positron emission tomogrphy (PET)
Menggunakan pencitraan biologis metabolisme glukosa dari zat kontras
18-FDG dan penvcitraan anatomis dari CT yang dipadukan hingga
mendapatkan gambar PET-CT.
7. Pemeriksaan Epstein-Barr Virus (EBV) DNA level
Parameter rutin yang diperiksa untuk penapisan kanker nasofaring adalah
VCA-IgA, EA-IgA, EBV-DNAseAb. Hal positif pada kanker nasofaring
berkaitan dengan kadar dan perubahan antibodi tersebut.

Penggolongan Stadium
Untuk penetuan stadium dipakai sistim TNM menurut UICC (2002).
T Tumor primer
T0 Tidak tampak tumor.
T1 Tumor terbatasdi nasofaring
T2 Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a Perluasan tumor ke orofaring dan atau rongga hidung
tanpa perluasan ke parafaring
T2b Disertai perluasan ke parafaring
T3 Tumor menginvasi struktur tulang dan atau sinus
paranasal
T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau
terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa
intratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikor.
N Pembesaran kelenjar getah bening regional
Nx Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai
N0 Tidak ada pembesaran
N1 Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan
ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di
atas fossa supraklavikula
N2 Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan
ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di
atas fossa supraklavikula
N3 Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan
ukuaran lebih dari 6 cm, atau terletak di dalam fossa
supraklavikula
N3a Ukuran lebih dari 6 cm
N3b Di dalam fossa supraklavikula
M Matastasis jauh
Mx Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak ada metastasis jauh
Mx Terdapat metastasis jauh

Pelatalaksanaan
Stadim 1 : Radioterapi
Stadium II dan III : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N < 6 cm : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N > 6 cm: Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi.
1. Terapi
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada
penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan computer. Dosis radiasi dosis
iradiasi nasofaring 66-70 Gy/33-35 kali / 6,5-7 minggu; bagi pasien dengan
kelenjar limfe leher positif diberikan dosis kuratif 60-70 Gy/30-35 kali /6-7
minggu; pasien dengan kelenjar limfe leher negative diberi dosis preventif 50-56
Gy/25-28 kali/ 5-5,5 minggu.
Reaksi radiasi berupa reaksi sistemikatau local akibat radiasi yang bersifat
temporer dan reversible dapat berupa insomnia, pusing , fatig, mual , muntah,
dyspepsia, kelainan pengecapan,dll. Reaksi local dapat berupa reaksi akut kulit,
mukosa orngga mulut dan kelenjar parotis, derajat reaksi berkaitan dengan metode
fraksinansi radiasi, lokasi dan luas permukaan iradiasi. Rudapaksa radiasi adalah
rudapaksa permanen ireversibel pada jaringan organ akibat paparan radiasi seperti
rudapaksa kelenjar parotis , otitis media radiasi , dll (onkologi klinis hal : 275-
276)
Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian
tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti
virus. Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan
kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terpai adjuvant (tambahan). Bebagai
macam kombinasi diebangkan, yang trbaik sampai saat ini adalah kombinasi
dengan Cis-platinum sebagai inti.
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil
saat ini sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan.
Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan
epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi
memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan
mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang
bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan
kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring.
Kemoterapi meliputi kemoterapi neoadjuvan, kemoterapi adjuvant dan kemoterapi
konkomitan . formula kemoterapi yang sering dipakai adalah : PF (DDP + 5 FU),
karboplatin +5FU , paklitaksel + DDP , paklitaksel +DDP+5FU dan DDP
+gemsitabin, dll
DDP:80-100 mg/m
2
iv drip hari pertama (mulai sehari sebelum kemoterapi
lakukan hidrasi 3 hari)
5FU:800-1000mg/m
2
/d iv drip, hari ke 3-5 lakukan infuse kontinu intravena
Ulangi setiap 21 hari atau
Karboplatin : 300mg/m
2
atau AUC = 6iv drip, hari pertama.
5FU:800-1000 mg/ m
2/
d, iv drip , hari ke 1-5 infus intravena kontinu.
Ulangi setiap 21 hari. (onkologi klnik hijau hal 276)
Efek samping kemoterapi .
Obat sitotoksik yang menyerang sel kanker sifatnya cepat membelah. Namun,
terkadang obat ini juga memiliki efek pada sel-sel tubuh normal yang juga
mempunyai sifat cepat membelahseperti rambut, sumsum tulang , mukosa , kulit
dll. Obat ini juga dapat bersifat toksik pada beberapa organ seperti jantung , hati,
ginjal, dan system saraf.
Pada sumsum tulang dapat terjadi supresi sumsum tulang yang menyebabkan
trombositopenia, anemia dan leucopenia. Mukositis dapat terjadi pada rongga
mulut (stomatitis. Tenggorok (esofagitis)dll. Umumnya mukositis terjadi pada
hari ke 5-7 setelah kemoterapi. Mual dan muntah terjadi Karena peradangan dari
sel-sel mukosa (mukositis ) yang melapisis saluran cerna . muntah dapat terjadi
secara akut , dalam 0-24 jam setelah kemoterapi, atau tertunda, 24-96 jam setelah
kemoterapi.diare terjadi akibat kerusakan sel epitel saluran cerna sehingga absorbs
tidak adekuat . alopesia sering terjadi akibat efek letal obat terhadap sel-sel folikel
rambut.
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di
leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah
penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi tumor induk sisa
(residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang
berat akibat operasi.
2. Perawatan Paliatif
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi.
Mulut rasa kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun minor
sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan pasien
untuk makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi dan
mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang
keluarnya air liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur,
rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala,
kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual.
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap
dimana tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul
metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua
keadaan tersebut diatastidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain
pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Paisen
akhirnya meninggal dalam keadaan umum yang buruk , perdarahan dari hidung
dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-lata vital
akibat metastasis tumor (Soepardi, 2012:161-162).
II.5.2. KARSINOMA LARING
Karsinoma laring adalah tumor ganas kepala leher yang sering ditemukan.
Belakangan ini angka kejadiannya cenderung naik. Terapi kanker laring terutama
dengan operasi dan radiasi. Pada waktu terapi radiasi kanker laring harus
diupayakan menjaga atau merekonstruksi fungsi vokal pasien, meningkatkan
kualitas hidup pasien.
Anatomi dan faal:
Laring adalah saluran pernapasan dan organ produksi suara, terletak di
tengah leher pada tingkatan vertebra servikal ke 4-5. Ke atas melalui apertura
laring berhubungan dengan trakea. Di depannya terdapat kulit, fasia superfisial,
fasia profunda koli dan kelompok otot subhioid yang menutupinya. Di kedua
sisinya bersentuhan dengan pembuluh darah, saraf dan lobus lateral kelenjar tiroid
leher


Epidemiologi
Belakangan ini, jumlah pasien kanker laring cenderung meningkat. Kanker
laring umumnya terjadi pada usia 50-69 tahun, pria jauh lebih tinggi dari wanita,
di kawasan timjur laut China, ratio pria:wanita pasien kanker laring adalah 2:1
(tahun1986), di kota shanghai adalah 6,75:1 (tahun1986), di Guangdong 11,2:1
(tahun 1992), Italia 32:1, Brasil 12:1, jepang 9.6:1
Etiologi
Hingga kini, etiologi kanker laring belum sepenuhnya dipahami, umunya
dianggap sebagai kanker laring berkaitan dengan faktor berikut ini:
1. Merokok
Yang paling erat dengan kejadian kanker laring adalah merokok, dari
pasien kanker laring yang merokok sekitar 95%. Usia terjadinya penyakit
di kalangan pasien kanker laring dengan riwayat merokok dibandingkan
yang tidak merokok lebih kecil sekitar 10 tahun

2. Infeksi virus
Kejadian kanker laring mungkin berkaitan dengan infeksi virus paliloma
humanus (HPV), tipe patologi kanker laring dan tipe HPV memiliki kaitan
tertentu

3. Onkogen, gen supresir tumor
Riset genetik kanker laring menunjukkan : timbul dan berkembangnya
kanker laring berkaitan dengan mutasi, replika onkogen, myc dll dan
inaktivasi supresor gen p53

4. Hormon kelamin
Ratio pasien pria:wanita kanker laring adalah 5-10:1, reseptor hormon
estrogen ER jaringan kanker laring terdeteksi positif pada 68-80%, angka
positif reseptor testosteron adalah 50-100%, pertanda timbul dan
berkembangnya kanker laring berkaitan dengan hormon kelamin

Patologi
Klasifikasi tipe patologi umum kanker laring dapat dibagi menjadi tipe
ulserasi, kembang kol, nodular, dan plakat. Lebih dari 90% kanker laring adalah
karsinoma sel skuamosa, kemudian karsinoma in situ, adenokarsinoma, sarkoma,
dll

Metastasis

(1) Metastasis kelenjar limfe : metastasis kelenjar limfe berkaitan dengan
lokasi lesi primer kanker laring, kebanyakan terjadi pada kelompok
kelenjar limfe area II leher dari untaian kelenjar limfe jugularis interna
ipsilateral
(2) Metastasis jauh : metastasis sistemik 1-4%. Lokasi terbanyak ke paru,
berikutnya bertutut-turut adalah hati, tulang, kulit. Dari laporan autopsi
angka metastasis jauh dapat mencapai 30%
Kekhasan klinis
Manifestasi klinis utama ketika pasien kanker laring berkonstulasi adalah :
suara parau, terasa benda asing di tenggorokan, batuk dan terasa benda asing di
tenggorokan, batuk dan hemoptisis, sukar bernapas, tumor di leher, dll.
Manifestasi tersebut bervariasi menurut lokasi dan stadium tumornya
Diagnosis
Suara serak atau terasa benda asing di tekak tanpa sebeb jelas, setelah
diobati gejalanya keluhan tidak berkurang, usia pasien di atas 40 tahun, dengan
riwayat merokok harus dipikirkan kemungkinan kanker laring. Selain anamnesis
cermat, harus dilakukan pemeriksaan berikut ini
1. Pemeriksaan klinis
(1) Penampilan luar laring: kanker laring dini morfologi tak berubah, pada
stadium lanjut tumor mendesak atay menifiltrasi kartilago tiroidea,
hingga morfologi laring bertambah lebar, deformasi dan insisura
kartilago tiroidea superior lenyap. Selain itu suara gesekan dengan
bertebra servikal ketika kartilago tiroidea digerakkan ke kiri dan ke
kanan lenyap
(2) Pemeriksaan kelenjar limfe leher: perhatikan untaian kelenjar limfe
jugularis interna kedua sisi dan kelenjar limfe laring, pretrakea apakah
membesar
2. Pemeriksaan laringoskop
(1) Laringoskopi indirek: metode pemeriksaan paling sering dan dasar
(2) Laringoskopi serat optik : dapat melihat jelas bagian yang sulit dilihat
dengan laringoskopi indirek
3. Pemeriksaan sinar X
(1) Ronsen polos laring formal, lateral
(2) Foto menelan barium
Kini pemeriksaan sinar X laring sudah jarang digunakan
4. Pemeriksaan CT dan MRI
CT laring dapat secara lebih baik menunjukkan keberadaan tumor,
tepinya, lokasinya, lingkup invasinya, jaringan lunak atau kartilago serta
infiltrasi ke kelenjar limfe, dll. Kelebihan MRI laring adalah daya beda
terhadap jaringan lunak lebih tinggi dari CT

5. Pemeriksaan patologi
Pemeriksaan patologi merupakan pemeriksaan diagnostik penentu sifat
kanker laring, termasuk pemeriksaan sitologi deskuamasi dan pemeriksaan
biopsi

Diagnosis Banding
1. TB laring
2. Nodul dan polip pita suara
3. Papiloma laring
4. Karatosis dan leukoplakia laring
5. Amiloidosis laring
Terapi
Prinsip dalam memilih metode terapi
Terapi kanker laring terutama dengan operasi dan radioterapi. Prinsip
umum terapi kanker laring adalah pada stadium dini lokal (lesi T1 dan T2)
terutama dengan operasi dan radioterapi; stadium lanjut lokal (T3 dan T4)
dengan terapi kombinasi operasi dan radiokemoterapi. Selain itu perlu
memperhatikan hal-hal berikut :
(1) Untuk lesi T1 Dan T2, dapat dipilih radioterapi, laringektomi parsial dan
operasi laser dengan laringoskop penyangga, masing-masing memiliki
keunggulan
(2) Kanker area subglotis, umumnya laringektomi total
(3) Bila terdapat metastasis kelenjar limfe leher harus dilakukan pembersihan
leher
(4) Semua lesi dengan patologik adenokarsinoma terutama diterapi operasi
(5) Terapi konservasi fungsi laring. Untuk lesi stadium lanjut lokal, diterapi
dengan kombinasi kemoterapi dan radioterapi. Bila pasca terapi tumor
tidak banyak berubah atau timbul rekurensi lokal, lakukan laringektomi
total untuk salvasi. Keunggulannya adalah sebagian pasien setelah terapi
dapat mempertahankan fungsi fonasi laring
Prognosis
Hasil terapi kanker laring cukup baik, semakin dini stadium klinis, prognosis
semakin baik. Kanker laring stadium dini dan sedang setelah diterapi secera angka
survival 5 tahun berkisar 70-80%. Seleksi metode terapi yang tepat juga
merupakan faktor penting peningkat efektivitas terapi kanker laring

II.6. LANGKAH DIAGNOSTIK
Anamnesis
anamnesis lengkap tentang kemungkinan faktor resiko misalnya riwayat
keluarga menderita penyakit sebelumnya, riwayat merokok dan mengonsumsi
makanan yang mengandung nitrosamine (ikan asin) tersu menerus . riwayat
infeksi virus EB dan riwayat trauma serta gejala penyerta seperti epistaksis,
hidung tersumbat, tinnitus, sefalgia, batuk, sesak, suara serak

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat adanya tanda dari kanker
nasofaring atau gangguan kesehatan lainnya. Selama pemeriksaan, perhatian
harus lebih dutujukan pada pemeriksaan pada area kepala dan leher yaitu
hidung, mulut dan kerongkongan, otot-otot pada wajah dan kelenjar limfe
pada leher.
Pemeriksaan nasofaring
Nasofaring terletak pada bagian dalam dari kepala dan tidak mudah terlihat,
sehingga memerlukan pemeriksaan khusus. Terdapat dua jenis pemeriksaan
untuk melihat nasofaring, yaitu:
Pemeriksaan nasopharyngocsopy indirect, menggunakan cermin dan
senter yang diletakkan pada bagian belakang dari kerongkongan untuk
melihat nasofaring dan area sekitarnya.
Pemeriksaan nasopharyngocsopy direct, menggunakan fiber optic scope
yang disebut nasopharyngocsope untuk melihat area nasofaring secara
langsung.
Pemeriksaan laring
o Laringoskopi direk
o Laringoskopi indirek
Selain itu dilakukan pemeriksaan fisik pada spleen dan hepat untuk
menilai adanya splenomegali serta hepatomegali.


Pemeriksaan penunjang
Biopsi
Biopsi dilakukan dengan mengambil sel dari daerah yang abnormal dan
meihatnya di bawah mikroskop untuk memastikan diagosis.
Endoscopic biopsi
Fine Needle Aspiration (FNA)
Jika terdapat benjolan pada leher, FNA dilakukan untuk mengetahui
penyebab dari benjolan tersebut. Benjolan pada leher dapat berupa respon
dari suatu infeksi, metastasis dari tempat lain (misalnya kanker nasofaring),
atau limfoma.
Imaging test yang terdiri atas:
X-Ray dada
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat adanya metastasis ke paru-paru
setelah ditegakkannya diagnosis karsinoma nasofaring.
CT Scan
Makna klinis aplikasinya adalah membantu diagnosis, memastikan luas
lesi, penetapan stadium, secara tepat menetapkan zona target terapi,
merancang medan dan radiasi serta memonitor kondisi remisi tumor
pasca terapi dan pemeriksaan tindak lanjut.
MRI
MRI selain dengan jelas memperlihatkan lapisan strukur nasofaring dan
luas lesi, juga dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang.
Positron emission tomogrphy (PET)
Menggunakan pencitraan biologis metabolisme glukosa dari zat kontras
18-FDG dan penvcitraan anatomis dari CT yang dipadukan hingga
mendapatkan gambar PET-CT.
Pemeriksaan Epstein-Barr Virus (EBV) DNA level
Parameter rutin yang diperiksa untuk penapisan kanker nasofaring adalah
VCA-IgA, EA-IgA, EBV-DNAseAb. Hal positif pada kanker nasofaring
berkaitan dengan kadar dan perubahan antibodi tersebut.


II.5.3.LIMFOMA MALIGNA
LIMFOMA MALIGNA
Limfoma maligna adalah tumor ganas primer dari kelenjar limfe dan
jaringan limfatik di organ lainnya. Ia merupakan salah satu keganasan sistem
hematopoietik, terbagi menjadi 2 golongan besar, yaitu Limfoma Hodgkin (HL)
dan Limfoma NonHodgkin (NHL). Sekitar 90% limfoma Hodgkin timbul dari
kelenjar limfe, hanya 10% timbul di jaringan limfatik di luar kelenjar limfe.
Sedangakan limfoma nonHodgkin 60% timbul di kelenjar limfe, 40% dari
jatingan limfatik di luar kelenjar.
Etiologi
Terdapat kaitan jelas antara HL dan virus EB. Pada kelompok terinfeksi
HIV, insiden HL agak meningkat dibanding masyarakat umum, selain itu
manifestasi klinis HL yang terkait HIV sangat kompleks, sering kali terjadi
stadium lanjut penyakit, mengenai regio yang jarang ditemukan, seperti sumsum
tulang, kulit, meningen, dll.
Infeksi virus dan regulasi abnormal imunitas berkaitan dengan timbulnya
NHL, bahkan kedua mekanisme tersebut saling berinteraksi. Virus RNA, HTLV-1
berkaitan dengan leukemia sel T dewasa; virus HIV menyebabkan AIDS, defek
imunitas yang diakibatkan berkaitan dengan timbulnya limfoma sel B keganasan
tinggi; virus hepatitis C (HCV) berkaitan dengan limfoma sel B indolen. Gen dari
virus DNA, EBV telah ditemukan terdapat di dalam genom sel limfoma Burkitt
Afrika; infeksi kronis Helicobacter Pylori berkaitan jelas dengan timbulnya
limfoma lambung, terapi eliminasi H. Pylori dapat menghasilkan remisi pada 1/3
lebih kasus limfoma lambung. Obat seperti fenitoin dan radiasi dapat
menimbulkan setiap fase penyakit dari penyakit limfoproliferatif hingga limfoma.
Patologi
Pemeriksaan histopatologik merupakan dasar utama diagnosis pasti
limfoma, biopsi kelenjar limfe utuh sangat penting bagi diagnosis pasti limfoma.
Pada umumnya dasar untuk menegakkan diagnosis limfoma secara histologik
terutama adalah destruksi struktur normal kelenjar limfe, dan atipia selular.
Limfoma Hodgkin (HL)
Karakteristik histologis utama HL adalah sel datia tumor berinti tunggal,
inti banyak atau berinti sepasang simetris (secara terpisah disebut dengan sel
Hodgkin atau sel Reed-Sternberg) yang tersebar sporadis, dengan latar belakang
berbagai jenis sel radang reaktif nonneoplastik, termasuk limfosit, sel plasma,
granulosit eosinofilik dan unsur selular lain dan matriks fibrosis. Klasifikasi Rye
tahun 1969 membagi HL menjadi 4 jenis, yaitu pre dominan limfositik (LP),
nodular sklerosis (NS), sel campuran (MC) dan deplesi limfositik (LD). Menurut
klasifikasi baru WHO, HL dapat dibagi menjadi : HL jenis predominan limfosit
nodular dan HL klasik, yang terakhir lebih lanjut dibagi menjadi jenis nodular
sklerosis, jenis klasik sarat limfosit, jenis sel campuran, dan jenis deplesi limfosit.
1. Limfoma Hodgkin jenis predominan limfosit nodular (NLPHL)
NLPHL merupakan neoplasia sel B monoklonal yang ditandai proliferasi
pleomorfik nodular atau nodular dan difus, sel panas yang tersebar sporadis dalam
jaringan neoplastik seringkali berbeda dari morfologi sel Reed-Sternberg klasik,
seringkali berupa sel sangat besar berinti tunggal, sedikit plasma, inti sering
tampak terlipat atau lobular, disebut sebagai sel popkon (popcorn cell) atausel RS
deformasi limfositik dan/atau histiositik (sel L/H).
2. Limfoma Hodgkin klasik
Karakteristik HL klasik adalah terdapatnya sel Reed-Sternberg klasik atau sel
Hodgkin berinti tunggal dalam jaringan neoplasia, sel tumor berekspresi
immunologik CD30 positif, CD 15 juga umumnya positif. Berdasarkan jumlah
limfosit kecil, sel plasma, fibroblas dan serat kolagen dan karakteristik sebukan
reaktif lain di latar belakangnya dan morfologi sel HRS. HL klasik dapat dibagi
menjadi 4 subtipe histologik: HL klasik kaya sel limfosit, HL nodular sklerosis,
HL sel campuran dan HL deplesi limfosit.
Limfoma nonHodgkin
Morfologi limfoma nonHodgkin kompleks dan bervariasi. Dengan perkembangan
biologi, imunologi dan genetika molekular, formula klasifikasi yang baru akan
lebih sesuai penggunaan klinis. Pewarnaan histopatologik dan immunohistokimia
merupakan keharusan dalam diagnosis patologik, pemeriksaan ciri genetika
molekular akan membantu klasifikasi lebih lanjut.
1. Formulasi kerja terhadap limfoma nonHodgkin (working formulation)
Formulasi kerja merupakan suatu sistem klasifikasi limfoma nonHodgkin
yang dikemukakan tahun 1982, klasifikasi ini terutama didasarkan pada kriteria
morfologi (pola pertumbuhan kelenjar limfe dan karakteristik sitologik sel tumor)
dan sifat progresivitas biologik, bermanfaat tertentu dalam memprediksi survival
dan kurabilitas pasien.
2. Klasifikasi Limfoma dari WHO tahun 2001
Dengan kemajuan imunologi dan genetika, para ahli tumor memahami
kombinasi 3 hal yaitu morfologi, imunologi dan genetika untuk
mengklasifikasikan NHL, hingga mungkin lebih berguna dalam mengarahkan
tindakan klinis. Tahun 2001, atas dasar klasifikasi REAl, para ahli di bidang
patologi, hematologi, dan onkologi dari 100 lebih negara di dunia bersama-sama
telah menetapkan klasifikasi limfoma menurut WHO. Neoplasia jaringan limfoid
dalam klasifikasi WHO tahun 2001 dibagi menjadi 3 golongan besar: neoplasia
sel B, neoplasia sel T dan sel NK, dan limfoma Hodgkin.
Banyak neoplasia jaringan limfoid dapat tampil sebagai limfoma dan
leukemia, misalnya leukemia limfositik kronis sel B dan limfoma limfosit kecil,
limfoma limfoblastik dan leukemia limfoblastik, limfoma Burkitt dan leukemia
Burkitt. Oleh karena itu, klasifikasi WHO mencakup limfoma dan leukemia
limfositik.
Manifestasi klinis
Gejala dan tanda fisik
Manifestasi klinis limfoma maligna bervariasi, karena jaringan limfatik
tersebar luas dalam tubuh, jaringan limfatik di bagian manapun dapat menjadi lesi
primer atau dalam perjalanan penyakit mengalami invasi, kelainan di bagian
tubuh berbeda dapat menunjukkan menifestasi berbeda. Selain itu, limfoma
maligna stadium lanjut dapat menginvasi jaringan di luar limfatik, maka gejalanya
pun lebih rumit lagi.
1. Limfadenopati
Yang tampil dengan gejala pertama adalah pembesaran kelenjar limfe
superfisial menempati 60% lebih, diantaranya yang mengenai kelenjar limfe
bagian leher menempati 60-80%, disusul bagian axilla menempati 6-20%,
inguinal 6-12%, yang mengenai kelenjar limfe mandibula, pre atau retro aurikuler,
dll. pembesaran kelenjar limfe seringkali asimetri, konsistensi padat dan kenyal,
tidak nyeri, pada stadium dini tidak saling melekat, pembesaran kelenjar limfe
profunda, dapat menimbulkan tanda invasi dan kompressi setempat. Bila kelenjar
limfe mediastinal terkena dapat timbul sindrom kompressi mediastinum, invasi
paru, atelektasis, hidrotoraks. Bila kelenjar limfe retroperitoneal terkena dapat
timbul nyeri abdomen, lumbago, massa abdomen, gangguan bab dan bak,
hematuria. Bila kelenjar limfe saluran cerna terkena dapat timbul nyeri abdomen,
diare, massa abdomen, ileus, hematokesia, perforasi intestinal, sindrom
malabsorbsi. Bila tonsil dan jaringan limfatik lingkar faring terkena dapat timbul
pembesaran tonsil, massa faring, nasofaring, gangguan bernapas, dan mudah
mengenai kelenjar limfe gaster dan retroperitoneal.
2. Kelainan limpa
Umumnya ditemukan pada limfoma Hodgkin, dapat timbul splenomegali,
hipersplensime.
3. Kelainan hati
Terjadi pada stadium lanjut, hepatomegali dan ganguan fungsi hati. Sebagian
pasien dapat menderita ikterus obstruktif akibat limfadenopati portal atau
akumulasi cairan empedu intrahepatik.
4. Kelainan skeletal
Kelainan tulang rangka menempati sekitar 0-15%, paling sering ditemukan
pada vertebra torakal dan lumbal, lalu costa dan cranium. Manifestasi berupa
nyeri tulang, fraktur patologis, dll. pada limfoma nonHodgkin lebih sering
ditemukan invasi sumsum tulang.
5. Destruksi kulit
Kelainan kulit ada yang spesifik dan nonspesifik. Kelainan spesifik adalah
invasi kulit limfoma maligna, tampil bervariasi, massa, nodul, plakat, ulkus,
papel, makula, adakalanya berupa eritroderma maligna. Yang nonspesifik hanya
transformasi dari dermatitis biasa, gejalanya berupa pruritus, prurigo, herpes
zooster, iktiosis akuisita, dll.
6. Kelainan sistem neural
Yang sering ditemukan adalah paralisis neural, sefalgia, serangan epileptik,
peninggian tekanan intrakranial, kompressi spinal dan paraplegia, juga dapat
terjadi leukoensefalopati multipel dan serebelopati subakut, dll.
Pada stadium lanjut ketika limfoma menginvasi bagian diluar jaringan
limfatik, dapat timbul aneka manifestasi klinis seperti hepatomegali, ikterus, nyeri
tulang, fraktur patologis, ginekomastia, eksoftalmus, massa di kulit, hidrotoraks,
hidroperikard, massa pulmonal,paralisis tungkai dan saraf kranial, paraplegia.
7. Gejala sistemik
(1) Demam dapat berupa demam ireguler, atau demam rekuren periodik
spesifik, kausa demam mungkin terkait dengan msuknya sel ganas ke
dalam sirkulasi.
(2) Keringat malam sangat menonjol
(3) Penurunan berat badan dalam setengah tahun berat badan menurun 10%
lebih tanpa kausa spesifik.
Sebagian kasus ketika timbul penyakit atau dalam perjalanan penyakit
timbul pruritus kulit (dengan atau tanpa ruam kulit). Limfoma sendiri
memiliki gejala relatif khas berupa demam, keringat dingin dan penurunan
berat badan, terdapat salah satu dari 3 gejala itu disebut memiliki gejala B.
Gejala sistemik pada limfoma Hodgkin lebih banyak dibandingkan limfoma
nonHodgkin.
Perubahan Hematologik
Pada limfoma Hodgkin sering terdapat anemia normositik normokrom,
kausa anemia sering kali adalah menurunnya produksi dan peningkatan destruksi,
tapi anemia hemolitik dengan tes Coomb positif tidak sampai 1%. Granulosit
sering meningkat hingga timbul leukositosis, sebagian pasien dapat menunjukkan
peningkatan eosinofil granulosit, limfosit sering menurun, terutama pada stadium
lanjut, jumlah absolut limfosit dapat<1 x 10/L.
Apusan sumsum tulang HL sering menunjukkan hiperproliferasi
granulosit, sering disertai peningkatan histiosit dan sel plasma, sehingga
menyerupai gambaran sumsum tulang infeksius.
Pada NHL sering terdapat invasi sumsum tulang, jika dilakukan biopsi
pungsi krista iliaka posterior superior berkali-kali, pada jenis limfosit kecil dan
jenis lainnya dapat ditemukan setidaknya 50-60& mengalami invasi sumsum
tulang, sedangkan pada limfoma sel B besar difus (DLBCL) hanya 10%
mengalami invasi sumsum tulang.
KLASIFIKASI STADIUM
Kriteria klasifikasi stadium klinis, kini masih memakai patokan yang
ditentukan Ann Arbor tahun 1971 sebagai berikut :
Stadium I : mengenai 1 regio kelenjar limfe atau 1 lokasi ekstranodi
Stadium II : mengenai 2 regio lebih kelenjar limfe, tapi semuanya masih di
satu sisi diafragma (II), atau selain itu juga terdapat invasi organ
ekstranodi terlokalisasi di sisi yang sama
Stadium III : terdapat invasi regio kelenjar limfe di atas dan bawah diafragma,
dapat disertai invasi dengan ekstranodi terlokalisasi, atau disertai
invasi limpa, atau keduanya terkena.
Stadium IV : invasi jaringan atau organ ekstranodi difus atau disseminata, tak
peduli ada atau tidak ada invasi kelenjar limfe.
A : tanpa simtom B
B : terdapat simptom B (demam >38 derajat, keringat malam atau
dalam 6 bulan berat bdan turun 10% tanpa etiologi lain yang dapat
menjelaskan
E : satu organ ekstranodal di area dekat kelenjar limfe
X : terdapat massa besar yaitu diatas bidang T5-6 massa
supradiafragma melebihi 1/3 diameter thorax atau diameter massa
melebihi 10 cm.
TERAPI LIMFOMA HODGKIN
Kemoterapi dan radioterapi merupakan metode sangat efektif terhadap
limfoma Hodgkin.Namun dalam hal aplikasi radioterapi, kemoterapi ataupun
kombinasi keduanya, berdasarkan stadium klinis pasien dan faktor prognosis,
masih terdapat pilihan yang berlainan. Dewasa ini cenderung pada terapi
kombinasi (CMT) bertumpu pada kemoterapi kombinasi dipadukan dengan
radioterapi





Terapi limfoma non Hodgkin
Metode terapi terpenting adalah kemoterapi terutama terhadap tingkat keganasan
sedang dan tinggi. Radioterapi juga memiliki peranan tertentu terhadap terapi
NHL.Sdangkan operasi juga merupakan pilihan berguna dalam terapi gabungan
terhadap sebagian lesi ekstranodus. Terapi pada NHL berkaitan dengan subtype
patologiknya.
1. Limfoma indolen ( tingkat keganasan rendah)
Limfoma indolen memiliki sifat biologis tumor relative tenang , survival
relative panjang. Limfoma indolen stadium I-II umumnya diradioterapi (
area terkena + area drainase)
Sebelum radioterapi berikan kemoterapi dengan formula FND
kemungkinan dapat meningkatkan masa survival bebas penyakit jangka
panjang.
Stadium IIIA pasca kemoterapi ditambah radioterapi lokal dapat
memperbaiki masa survival tanpa penyakit
Stadium IIIB-IV kemoterapi obat tunggal, kemoterapi kombinasi atau
paduan kemo/radioterapi
2. Limfoma agresif (tingkat kegansan sedang)
Bila lesi terlokalisasi (stadium I dan II) dan tanpa faktor prognostic yang
tidak baik dapat dipikirkan pasca 3-4 kur diberikan radioterapi area
terkena.
Bila lesi terlokalisasi (stadium I dan II) dengan faktor prognostic yang
tidak baik atau kasus stadium III-IV secara umum dipikirkan kemoterapi
6-8 kur atau pasca remisi total ditambah 2 kur , pasca kemoterapi
diberikan radioterapi area terkena dapat meningkatkan survival bebas
penyakit.
3. Limfoma sangat agresi ( tingkat kegansan tinggi)
(1) Limfoma limfoblastik : yang penting dalam terapi ini adalah
intensitas dosis tinggi dan lama terapi panjang, termasuk beberapa
tahap yaitu induksi remisi, terapi intensifikasi dan terapi
pemeliharaan. Formula BFM 90 adalah salah satu formula
dengan efektivitas relative baik dewasa ini. Keseluruhan siklus
memerlukan 2-3 tahun
(2) Limfoma burkitt: terapi terutama harus dosis tinggi dan siklus
pendek , juga harus memperhatikan terapi preventif system saraf
pusat . formula CODOX-M/IVAC atau hiper CVAD/MTX-Ara-C
4. Terapi limfoma non Hodgkin refrakter rekuren
Diberikan formula dengan obat non-resistensi silang dan / atau radioerapi
area terkena terhadap lokasi residif

BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan gejala dan umur penderita pada skenario di atas, maka
kelompok kami mengambil beberapa differential diagnosis yaitu karsinoma
nasofaring, karsinoma laring dan melanoma maligna Akan tetapi diperlukan
beberapa pemeriksaan lanjutan untuk lebih memastikan tentang differential
diagnosis tersebut.






















DAFTAR PUSTAKA
American Cncer Society. 2011. Nasopharyngeal Cancer. Atlanta, Ga: American
Cancer Society; 2011.
Asroel, A Harry. 2012. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma
Nasofaring. Usu Digital Library: Fakultas Kedokteran Bagian
Tenggorokan, Hidung dan Telinga Universitas Sumatra Utara
Desen, Wan. 2013. Buku Ajar Onkologi Klinik Edisi 2. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Grace, A. Pierce dan Neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi 3.
Jakarta: Erlangga
Soepardi, Efiaty Arsya, dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Sukardja, I dewa gede. Onkologi klinik edisi 2. 2000 Surabaya:airlangga
university press
Sudoyo, w.dkk. buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 2 edisi V. 2009. Jakarta:
interna publishing

You might also like