You are on page 1of 20

Pengakuan Dosa [Sopir] A[ng]ku[n]tan

1
Pendidik: Studi Solipsismish

Achdiar Redy Setiawan
Universitas Trunojoyo Madura
Email: achdiar.redy17@gmail.com

Ari Kamayanti
Universitas Brawijaya Malang
Email: arikamayanti@ub.ac.id

Aji Dedi Mulawarman
Universitas Brawijaya Malang
Email: ajidedim@ub.ac.id

Abstract
The mishap in accounting education is often blamed on the philosophy, education system,
learning process, and even accounting students. This research explicates that the key to
mending accounting education should be triggered by accounting lecturers. Through
solipsismish study, we explore our sins as accounting lecturers with kejar setor/targetting
experience-based reflectivity of public transportation driver as metaphor, backed by empirical
study of a semester. The hectic schedule of teaching and other activities, not only as lecturers,
have given heart-felt impact to students learning process and their attitude. It is urged that
accounting lecturers should awaken their consciousness to realize that this profession is not the
same as sopir angkot who are concerned on fulfilling schedules, teaching materials and fee.
A concrete solution referring to the Perhimpunan Indonesias agenda proposed in 1925 is
needed, which ends in the confirmation of national ideology with some notes.

Key Words: Accounting Lecturers, Public Transportation Driver, Solipsismish Study,
Accounting Education, Consciousness, Perhimpunan Indonesia


Awal Kegalauan Hati [Sopir] A[ng]ku[n]tan Pendidik
Di suatu siang di akhir semester, kami bertiga berkumpul di sebuah ruangan dan saling
mencurahkan kegalauan hati tentang apa yang telah kami lakukan selama satu semester ini.
Terdapat beberapa fenomena serupa yang kami alami, seperti kemalasan mahasiswa dan tidak
serius mengerjakan tugas, datang terlambat, hingga sikap kurang berbudi baik. Kami seringkali
menggelengkan kepala terheran-heran membaca sms gaul yang ditujukan pada kami. Tak

1
Derrida menjelaskan tentang differance (Al Fayyadl 2005), yaitu suatu konsep di mana jarak antara kata dapat
memberikan ruang untuk penafsiran yang berbeda. Penggunaan kurung tutup dan buka dalam judul ini erupaya
memberikan ruang tafsiran bagi pembaca untuk melihat arti yang berbeda dari akuntan pendidik
PAK
jarang kami melihat bahwa ini adalah kesalahan mahasiswa; hasil pola asuh serta moda
pergaulan moderen.
Seorang bijak pernah mengatakan bahwa saat kita menunjuk seseorang dengan satu jari
atas kesalahan mereka, maka sebenarnya kita menunjuk kesalahan diri kita dengan tiga jari
lainnya. Ya. Mahasiswa saat ini adalah generasi-X
2
, yaitu mahasiswa-mahasiswa dengan free
will serta sikap egaliter mereka. Apakah ini justifikasi atas perilaku demikian? Sebenarnya, kami
sebagai pendidik mau tidak mau memiliki andil dalam proses pendidikan akuntansi serta hasil
akhir lulusan
3
. Menolak fakta tersebut sama saja dengan melepaskan tanggung jawab serta
mengakui keterpisahan dan jarak antara mahasiswa dan pendidik sebagai suatu kelindanan
sistem, yang bisa jadi merupakan salah satu penyumbang dari fenomena sikap mahasiswa
akuntansi dan pendidikan akuntansi saat ini.
Riset ini adalah suatu upaya mengindentifikasi tiga jari yang mengarah pada kami
sebagai akuntan pendidik. Riset ini bertujuan mengeksplorasi dosa-dosa kami. Upaya
penyadaran bahwa akuntan pendidik memerlukan kesadaran untuk merubah diri telah disarankan
oleh beberapa periset (Mulawarman 2008, Triyuwono 2010, Ludigdo dan Mulawarman 2010,
Setiawan dan Kamayanti 2012, Kamayanti 2012a;2012b), namun riset ini merupakan penjelasan
bagaimana kesadaran tersebut seringkali tergantikan oleh berbagai kepentingan.
Kesadaran yang serta merta muncul di siang itu adalah dampak dari betapa lelah dan
terengah-engahnya kami; dalam mengikuti jadwal serta materi yang harus kami selesaikan
selama satu semester. Menjelang akhir semester, sepucuk surat dari bagian pengajaran

2
Temuan Cermignano et al (1998, p 134) menjelaskan bahwa mahasiswa akuntansi sekarang adalah mahasiswa
generasi X yang seringkali memiliki persepsi bahwa akuntansi membosankan. Dalam hal ini, kesalahan
pendidikan akuntansi dibebankan pada mahasiswa.
3
Tri Pusat Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantoro, salah satu anggota Perhimpunan Indonesia, adalah alam-
keluarga, alam-perguruan dan alam pergerakan-pemuda (Soerjaningrat 1967, p 70). Oleh karena itu, guru/dosen
turut bertanggung jawab atas pendidikan kita.

mengingatkan bahwa kami harus segera mengejar ketinggalan jumlah sesi mengajar apabila
masih kurang dari yang dipersyaratkan. Di saat itu pula kami merasa harus mengejar setoran
layaknya sopir angkutan. Ini menggelitik kami untuk mengambil sopir angkutan sebagai
metafora dalam riset ini untuk menggambarkan tugas kami sebagai akuntan pendidik. Adakah
kesamaannya ataukah perasaan kami hanya ilusi semata?
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka rumusan masalah riset ini adalah bagaimana
kesalahan kami sebagai akuntan pendidik digunakan untuk menjelaskan praktik pendidikan
akuntansi saat ini kami alami, dan bisa jadi merefleksikan praktik pendidikan akuntansi yang
terjadi secara umum. Harapan kami, riset ini bisa memberikan masukan refleksi subyektif pada
pendidik dan pendidikan akuntansi kita.

Studi Solipsismish: Refleksivitas Dosa dan Penggunaan Data Subyektif
Solipsisme yang digagas Bishop Berkeley (1685-1753) mengambil pandangan ontologis
bahwa dunia tidak memiliki keterpisahan dengan apa yang kita pikirkan. Burrell dan Morgan
(1979, p 239) menjelaskan bahwa ontologically, it has no existence beyond the sensations
which he perceives his mind and body. Senada dengan hal tersebut, riset ini dipicu oleh suatu
rasa bersalah mendalam serta kesedihan atas peran kami dalam pendidikan akuntansi. Rasa
(sensations), dalam hal ini rasa berdosa, menjadi bahan baku terbesar dalam koleksi, pengolahan,
analisis hingga penyajian data riset ini.
Pengakuan dosa/rasa/sensations menjadikan solipsime metode yang paling sesuai karena
sebagaimana dijelaskan Hamrick (2003, p 12-44), if Solipsism is to be equated with sins, then it
must explain all particular sinful act... solipsism is sin, but is sin the real problem? Tujuan
solipsisme adalah meyakinkan bahwa subyektifitas kami adalah iman yang tidak perlu
obyektifikasi, sebagaimana dilanjutkan oleh Hamrick (2003, p 51), we must receive neither our
religion nor our ideas in general solely by means of logical examination or by reason. For it is
as clear as one can ever expect something to be that reason is fallible guide.
Berkaitan dengan subyektivitas yang melekat erat pada solipsisme, sehingga sebagaimana
dinyatakan Burrell dan Morgan (1979, p 239-240) bahwa bahaya besar solipsisme adalah
entering an entirely individualistic and subectivist view of reality in which no meaningful
discourse is possible, maka kami mengambil bukti empiris untuk melakukan kontra-kritik
terhadap solipsisme, berupa tugas mahasiswa, aktivitas mahasiswa di jejaring sosial (Twitter),
observasi dan interaksi sesama akuntan pendidik, di samping bukti empiris terkuat dalam
solipsisme, yaitu perasaan kami. Berdasarkan deviasi itu, tentu kami tidak bisa mengklaim
bahwa metode yang kami gunakan adalah solipsisme murni. Untuk alasan tersebut, maka kami
menyebutnya sebagai metode solipsismish
4
. Subyektifitas tetap berperan namun subyektivitas
kami didukung bukti empiris yang tidak sepenuhnya hasil subyektivitas kami.
Bukti empiris riset diambil di beberapa institusi pendidikan baik negeri (dua institusi)
maupun swasta (satu institusi). Dapat diargumentasikan bahwa penyebutan nama institusi
sebenarnya tidak terlalu diperlukan karena yang kami olah adalah data berbasis subyektifitas
sebagai peneliti yaitu rasa dosa. Interaksi dengan mahasiswa yang diobservasipun beragam,
mulai dari S1, S2 dan S3. Data diambil dalam satu rentang semester genap 2012/2013.

Tenggelamnya Kesadaran dalam Kesibukan: Fenomena Kejar Setor
Kami mendapatkan jadwal mengajar yang lumayan padat semester ini. Bisa dibayangkan,
rata-rata tujuh kelas dengan masing-masing tiga SKS. Artinya, seratus lima puluh menit dikali
tujuh yaitu tujuhbelas setengah jam setiap minggu. Belum lagi kesibukan lain kami mengelola

4
Dalam grammar atau tata bahasa, penggunaan ish dilakukan untuk menjelaskan sesuatu yang serupa tetapi tidak
sama. Misalnya kita bisa menyatakan kemerahan dengan reddish, atau keabu-abuan dengan greyish. Oleh
karena itu metode solipsismish menjelaskan bahwa metode yang kami gunakan memang serupa dengan solipsisme
namun tidak sepenuhnya mengambil ciri-ciri solipsisme.
kegiatan di luar mengajar. Akibatnya kami mengindentifikasi berbagai dampak atas kesadaran
yang terdominasi kesibukan seperti layaknya sopir angkutan umum: menyalip seenaknya,
berhenti mendadak, serta mencari tambahan di luar setoran.

Menyalip seenaknya: Saya hendak meng[h]ajar dulu ya...
Kalimat saya menghajar dulu bukan mengajar merupakan kesadaran bawah sadar
akuntan pendidik tentang kekuatan dan otoritasnya dalam kelas. Gurauan ini bukan lagi gurauan
baru di kalangan akuntan pendidik.
Rasa kuasa atau otoritas dosen digunakan saat kami tidak memiliki waktu memadai dalam
penyiapan bahan materi pembelajaran yang akan disampaikan di kelas. Jujur, pada saat kurang
persiapan, kami menggunakan jam terbang dalam penyampaian materi, agak keluar dari poin-
poin materi seharusnya. Bahkan untuk mata kuliah yang dalam metode pembelajarannya diisi
diskusi kelompok di awal sesi kelas, kami baru memanfaatkan kesempatan mahasiswa
berdiskusi itu untuk membaca materi pada hari itu.
Pada saat-saat kurang persiapan, untuk mata kuliah lain yang tidak memasukkan
metode diskusi (dosen menjadi pemandu utama sesi perkuliahan) inilah yang sering
menyusahkan. Materi-materi yang akan disampaikan kadangkala baru dibaca 5-10 menit
sebelum memasuki kelas, selebihnya, ilmu improvisasi dipergunakan. Senjata pamungkasnya
adalah kemampuan bersilat lidah yang inheren lewat asahan jam terbang dengan materi-materi
yang sebelumnya pernah dipelajari (dan juga dipraktikkan).
Pada mata kuliah di kelas S2 pun mengalami ketidakberuntungan serupa. Dalam rangka
meng-update materi kami menggunakan beberapa artikel baru yang amat ingin kami baca
sebelum sesi, namun tentu saja belum sempat kami lakukan. Sedih rasanya saat kami harus
masuk ke sebuah kelas dan baru dapat membaca artikel yang akan didiskusikan bersama saat
mahasiswa yang ditunjuk mempresentasikan artikel tersebut. Namun apa lacur, kami benar-benar
merasa telah memberikan seluruh waktu kami untuk mempersiapkan banyak hal, dan itupun
belum cukup. Belum lagi tumpukan skripsi, tesis dan disertasi yang harus kami baca.
Keterbatasan waktu akhirnya melegitimasi guyonan lain yang sering muncul dosen adalah
separuh dewa separuh manusia. Berdasarkan kekuasaan tersebut, kami menentukan nasib
mahasiswa mendapatkan nilai A, B, atau C, seringkali tanpa pengetahuan memadai
(menggunakan beberapa hasil pekerjaan mahasiswa, bukan dari tumpukan tugas yang terkumpul
selama satu semester) untuk menjustifikasi nilai tersebut. Menghajar dan bukannya mengajar;
serta menyalip seenaknya; itulah rasa yang muncul.

Berhenti mendadak: Kita akhiri lebih awal tidak apa ya...
Jangan salah! Kami memiliki idealisme! Selalu pada awal semester, kami memiliki mimpi-
mimpi indah bagaimana seharusnya perkuliahan dilakukan, namun dengan beranjaknya waktu
kesadaran ini tergantikan kesibukan lain. Semenjak perkuliahan pertama, waktu pun bergulir.
Minggu ke minggu pun berlalu tanpa terasa. Idealisme di awal pertemuan kemudian diuji
konsistensi ketaatan terhadap rencana pembelajaran yang telah ditabalkan dalam dokumen
kesepakatan kontrak perkuliahan.
Dalam 3-4 minggu awal semua berlangsung sempurna. Segala materi pembelajaran
berbasis pedoman di kontrak perkuliahan yang disepakati berhasil disiapkan dan terealisasi
sesuai idealisme. Gangguan dan godaan mulai muncul saat menginjak bulan ke-2 perkuliahan.
Ada SK pimpinan kampus yang ditujukan kepada kami untuk menjadi panitia kegiatan tertentu.
Tidak hanya 1, namun lebih dari 2, pada saat tidak berselang jauh.
Pelaksanaan tugas pimpinan kampuspun harus mulai dijalankan. Rapat-rapat mulai dihelat.
Celakanya, waktu untuk pelaksanaan persiapan-persiapan kegiatan seringkali berbarengan
dengan jadwal jam mengajar. Sulitnya mencari waktu pengganti jika harus mengosongkan
kelas menjadikan kami meminta permakluman dari mahasiswa tentang kondisi yang ada.
Bentuknya, kami tetap masuk kelas, walaupun tidak penuh. Waktu normal untuk setiap mata
kuliah (3 SKS) adalah 2,5 jam yang biasanya selalu kami isi penuh tidak lagi sanggup terpenuhi.
Semenjak hadirnya kegiatan-kegiatan kedinasan kampus yang bersamaan waktunya tersebut,
rata-rata kami hanya dapat mengisi kelas sekitar 1-1,5 jam saja.
Dengan kesadaran penuh, sebenarnya kami juga seringkali meminta mahasiswa mencari
jadwal pengganti sebagai pengganti kekurangan jam mengajar tersebut. Namun seringkali pula,
yang meluncur dari bibir para peserta kelas adalah :
... tidak usah Bapak/Ibu, kami tidak apa-apa kok tidak penuh 2,5 jam. Kami ikhlas kok,
Pak/Bu...

Jikalaupun mahasiswa dan kami ingin mengganti kuliah, jam tersedia adalah jam di luar
kewajaran (jam malam), yang secara logis menjadi tidak efektif karena sesi malam adalah sesi
lelah setelah sekian jam seharian berkutat di kampus. Tidak ada ruang tersedia untuk
mengganti jadwal di waktu efektif merupakan indikasi betapa sebenarnya seluruh kapasitas
fasilitas kampus telah dimanfaatkan secara optimal.
Deretan kalimat serupa itu pun terlontar hampir di semua kelas yang tidak mampu kami isi
full. Biasanya berhias senyuman lepas tanpa beban. Tidak kalah kocaknya, jawaban celetukan
kami pun bernada guyon:
Dasar mahasiswa. Yaaa begini ini. Saya juga pernah jadi mahasiswa sih. Bahagia ya
kalau dosennya gak masuk atau gak lama-lama kuliahnya.

Kampus kami memiliki peraturan akademik, bahwa untuk dapat dilaksanakan UAS, sebuah mata
kuliah harus memenuhi minimal 12 kali pertemuan (6x sebelum UTS dan 6x sebelum UAS) dari
maksimum 14 kali tatap muka. Sampai dengan menjelang UTS, pertemuan seluruh kelas kami,
secara absensi lengkap 7x pertemuan. Artinya, kami dapat memenuhi seluruh jadwal pertemuan,
walau dengan catatan di atas tadi: untuk pertemuan ke 5, 6 dan 7 sudah mulai tidak full 2,5 jam.
Ya. Fenomena ini sedihnya sering sekali kami alami. Entah ada rapat atau seminar yang
harus kami hadiri, sehingga kami terpaksa meninggalkan kelas lebih awal. Pernah di suatu sore,
jam ke 2 yang seharusnya berakhir jam 12 tepat, kami ditelepon menghadiri rapat penting. Di
ujung sana terdengar suara ...sudahlah tidak perlu sampai jam dua belas, kasih saja mahasiswa
tugas, mereka juga senang aja kok. Di saat seperti ini berhenti seenaknya-pun mendapatkan
legitimasi dari atasan.

Mencari tambahan di luar setoran: Dosen: kerjaan sak dos, bayaran sak sen
Gurauan ini adalah gurauan yang juga tidak asing bagi akuntan pendidik. Apa rasa yang
ditimbulkan dari gurauan mendarah daging ini? Salah satu dampaknya adalah munculnya
fenomena dosen proyekan. Gaji sak sen (satu sen) untuk pekerjaan yang sangat banyak. Bisa
dibayangkan jika satu kelas terdiri dari 30-an mahasiswa, mungkinkah komitmen mengerjakan
evaluasi individu tercapai?
Gurauan di atas juga menimbulkan suatu perilaku fatal yang dekat dengan keserakahan.
Kami jadi teringat kata-kata Michael Douglas di film Wall Street greed is good. Jangan-jangan
kami telah terjebak dalam moda keserakahan yang sama, atau mungkin dengan beda bungkus;
beda legitimasi; bahwa bagaimanapun, kampus tetap nomor satu.
Di siang lain, kami berpapasan dengan dosen lain yang juga hendak mengajar. Kami
saling mencocokkan jumlah pertemuan mengajar, ternyata beliau juga masih belum
menyelesaikan jumlah pertemuan seharusnya. Dengan senyum menyeringai beliau berceletuk
santai, ...biasalah...mroyek.
Gangguan lebih berat muncul pada fase pasca UTS yang berawal dari komunikasi
telpon:
Gimana kabarnya? Sibuk apa sekarang? Kalau longgar, ada kerjaan ini. (lalu detail
pekerjaannya diceritakan). Bisa ya? Kami tunggu jawabannya segera ya...

Di fase inilah kegamangan mulai berkecamuk. Satu sisi, terdapat kesadaran atas tanggung jawab
besar pada mahasiswa untuk memberikan ilmu dan pengetahuan yang komprehensif, serta
penanaman nilai yang juga membutuhkan energi besar untuk menyebarkannya. Sisi lain, tawaran
pekerjaan di luar kampus ini senyatanya juga merupakan pengejawantahan aspek teoritis
akuntansi. Berbagai implementasi akuntansi di dunia praktik akan memberikan perspektif lebih
luas bagi kami dalam memberikan materi ke mahasiswa, dibanding bila hanya sekadar
menyampaikan teori. Jikapun ada faktor tambahan materi atas jasa, itu bukankah variabel utama.
Tidak bisa dipungkiri, kami mendapatkan tambahan penghasilan dari pekerjaan-pekerjaan itu.
Namun, prinsip hidup kami telah mengajarkan bahwa uang bukanlah segala-galanya. Uang
bukanlah penentu utama. Pengalaman hidup telah membuktikan bahwa kami bukanlah manusia
ambisius untuk mencari tambahan penghasilan di luar sana. Pekerjaan-pekerjaan yang datang
selama ini, mayoritas (untuk tidak mengatakan seluruhnya) serupa tawaran kesempatan-
kesempatan untuk terlibat. Ya, kesempatan. Kesempatan mengaplikasikan ilmu dan pengetahuan
yang terkuasai. Dan fakta menyiratkan, di mayoritas pekerjaan itu, kami tidak menempatkan
perolehan materi sebagai variabel utama.
Sebenarnya, jiwa sebagai pendidik lebih kuat menancap di dalam sanubari. Kelas adalah
salah satu tempat membahagiakan dalam hidup kami karena bisa bertukar ilmu dan kesadaran.
Memandangi wajah-wajah peserta didik penuh antusiasme adalah kebahagiaan yang tak dapat
tergantikan dengan tumpukan uang segunung. Lebih-lebih jika itu menyangkut penanaman
kesadaran (batin-spiritual). Ada semacam kepuasan batin jika ajakan kebersamaan memegang
nilai kebaikan disambut dengan tangan terbuka dan senyuman tulus peserta didik.
Pada titik inilah dilema etis menyeruak. Bagaimana menyambut tawaran pekerjaan yang
akan menambah pengalaman Akuntansi di dunia praktis, namun pada saat yang sama, hak
mahasiswa untuk menerima pembelajaran terbaik tidak menjadi aspek periferal. Manajemen
waktu adalah kuncinya. Tapi, sekali lagi ini terlalu teknis, karena manajemen waktu bukan nilai
itu sendiri. Waktu adalah masalah kecelakaan kesadaran bila kami mencoba menyejajarkan
idealisme dengan proyek.
Semenjak hadirnya pekerjaan-pekerjaan di luar kampus, tak terelakkan lagi, kualitas proses
belajar mengajar di seluruh kelas kami tidak sama dengan idelaisme awal. Secara kuantitas, kami
tetap dapat memenuhi jadwal minimal mengajar, yaitu 6 kali pertemuan pasca UTS (total 13x
pertemuan sampai dengan UAS). Artinya, kami hanya kurang 1x jam mengajar untuk semua
kelas. Itupun salah satunya karena ada kendala hari libur (tanggal merah) pada hari di mana
jadwal kelas seharusnya berlangsung.
Dengan demikian, secara absensi perkuliahan, kami dapat memenuhi aturan akademik.
Mahasiswa tidak menjadi korban akibat ketiadaan dosen. Namun secara kualitas, jujur kami
merasakan bahwa perkuliahan tidak optimal. Kami tidak memiliki waktu lebih lama untuk
memperdalam materi, menciptakan varian-varian baru metode pembelajaran. Pada fase ini, jurus
improvisasi menjadi lebih sering diperagakan. Berbekal jam terbang tinggi menghadapi
kerumunan kelas, kami mengisi kelas sekadar memenuhi target materi yang harus tersampaikan
di lembar kontrak perkuliahan.
Kami juga kurang bisa memperhatikan perkembangan anak didik di kelas. Kebiasaan kami
selepas sesi kelas, biasanya kami menerima kunjungan mahasiswa secara intens di ruangan
dan/atau di rumah. Diskusi materi perkuliahan dan nilai-nilai kehidupan menjadi topik hangat di
sela kepulan kopi panas dan aneka camilan. Desakan banyak pekerjaan di semester ini menjadi
penghalang rutinitas jalinan kemanusiaan tersebut. Kami tidak cukup banyak waktu untuk
melayani perbincangan santai di luar kelas pada semester ini.
Sejatinya, ketika memperhatikan hasil ujian tengah semester (UTS) yang kurang
memuaskan ekspektasi kami, telah terbersit beberapa rencana untuk memberikan tambahan
perhatian pada anak didik. Tambahan perhatian berupa alokasi waktu untuk memberikan banyak
latihan soal sudah ada di kepala. Juga pemberian ruang diskusi yang lebih luas di luar sesi
perkuliahan. Apa daya, rencana tinggal rencana. Terbenam di antara tumpukan pekerjaan lain
yang menyita waktu dan pemikiran.

Dampak pada Kesadaran Akuntan Pendidik (Bukan Sopir Angkutan Umum) pada
Mahasiswa dan Agenda Konkrit ke Depan

Jika kami memang benar-benar berada di kelas baik secara fisik, hati dan jiwa, maka
mahasiswa dapat menangkap semangat dan nilai dengan utuh. Mereka lebih membutuhkan
nilai/values dibandingkan materi, walau dalam hal ini kami sama sekali tidak menafikkan
materi belajar sama sekali. Values tidak bisa ditransfer dengan mentalitas sopir angkutan umum,
di mana pendidik hanya hadir untuk memenuhi kejar setor materi, dengan legitimasi tanda
tangan untuk memenuhi presensi kehadiran. Values hanya akan dapat ditangkap jika pendidik
melakukan proses belajar dengan cinta: cinta akan kebenaran, keberpihakan atas rakyat yang
terjajah dan kesadaran keberadaan akan dan keinginan untuk menjadi abdi Tuhan secara utuh.
Kesungguhan dan kehadiran utuh kami selalu tinggi di awal semester. Memasuki kelas di
pertemuan awal dengan segenap ghirah yang ada melahirkan euforia. Pertemuan awal
5
ini benar-

5
Sependek ingatan yang ada, semenjak kecelakaan sejarah ditugaskan Tuhan untuk menjadi akuntan pendidik,
kami tidak pernah melewatkan sesi pertemuan di Minggu I perkuliahan ini. Agenda-agenda lain selalu kami nomer
benar disiapkan untuk menumbuhkan impresi kuat di memori kognisi dan hati mahasiswa.
Impresi di awal pertemuan sekaligus menjadi penanda keseriusan dan kesungguhan proses
belajar-mengajar.
Adagium tak kenal maka tak sayang kami gunakan di awal tatap muka, sebagai bentuk
perkenalan diri. Sebagai pusat perhatian di kelas, dosen perlu membuka jati dirinya kepada
peserta didik sebagai dasar pemahaman tentang karakter dasar pengajarnya. Perkenalan ini
berlanjut menjadi ajang mengenal satu per satu anggota kelas, perkenalan dua arah.
Menit berikutnya di pertemuan awal biasanya akan kami isi dengan mendiskusikan tentang
dunia akuntansi senyatanya
6
. Sebagai mahasiswa akuntansi tingkat awal, penggalian pemahaman
dan ekspektasi mereka terhadap dunia akuntansi perlu kami dapatkan. Profesi akuntan,
sebagaimana banyak dipahami awam, adalah profesi bergengsi penuh dengan prestise. Gelimang
materi adalah sesuatu yang lekat dan identik dengan profesi akuntan. Bisa jadi, pilihan logis
mahasiswa memilih menempuh perkuliahan di program studi Akuntansi banyak ditentukan salah
satunya oleh strata profesi akuntan di mata masyarakat yang menempati kategori
menjanjikan sebagai sandaran hidup masa depan.
Perspektif yang hidup dalam alam pikir mahasiswa tentang dunia akuntansi yang
menyembul dalam diskusi biasanya sejalan dengan pandangan awam. Terdapat ekspektasi tinggi
di benak mahasiswa tentang masa depannya sebagai manusia. Salah satu ukuran kesuksesan
seseorang: materi, terkandung dalam rahim profesi akuntansi. Jika kelak mereka mentas dari

sekian-kan demi fokus pada pertemuan I. Kami selalu datang tepat waktu untuk masuk dan keluar kelas-nya khusus
untuk fase awal ini.
6
Apapun mata kuliahnya, jika diberi kelas di jurusan Akuntansi, terutama di semester-semester awal, kami akan
selalu mendiskusikan tentang topik ini. Bahkan di kelas-kelas semester atas yang tidak pernah kami masuki sebagai
pengajar, kami juga tidak meluputkan kesempatan membincang seputar pemahaman dunia akuntansi di mata
mahasiswa.
kampus, ada harapan perbaikan taraf hidup diri dan keluarga berbekal pengetahuan dan
keterampilan akuntansi yang berhasil direngkuh.
Bayangan tentang semua keindahan profesi akuntansi sejurus kemudian coba kami
elaborasikan dengan pengalaman praktis sebagai akuntan. Sebagai seseorang yang lebih dahulu
berkecimpung menggeluti dunia praksis akuntansi, share pengalaman kepada calon akuntan
penting dilakukan. Sebagai tambahan sekaligus penyeimbang informasi. Bahwa dunia akuntansi
memang benar menjanjikan gemerlap keindahan duniawi, namun pada saat yang sama juga
menyediakan peluang untuk menabrak nilai hakiki yang kita yakini sebagai kebenaran.
Berbagai pengalaman kami (dan juga kolega) bergelut dengan seputar ke-akuntansi-an
terpaparkan. Pengalaman-pengalaman batin spiritual yang mengiringi tugas kesejarahan juga
menjadi bagian tak terpisahkan. Tujuannya tidak lain adalah berbagi kesadaran. Sasaran tidak
hanya kesadaran kognitif rasional an sich, namun lebih substansial adalah kesadaran batin
sipritual, bahwa Akuntan(si) adalah persimpangan: menuju jalan kebahagiaan (karena iming-
iming duniawi) atau kesengsaraan (karena seringkali harus berjibaku dengan nir-nilai). Jalan
ke surga atau neraka, menuju putih atau hitam. Sebuah pilihan yang jika direnungkan
mendalam bisa jadi akan lebih banyak menyediakan potensi menuju neraka, menuju hitam
dari pada sebaliknya.
Dalam realitas penuh dilema yang terpampang inilah, kami berusaha membuka mata
mahasiswa tentang pentingnya nilai untuk digenggam dan dipeluk erat. Nilai-nilai yang
diyakini sebagai kebenaran, sebagai penyelamat kehidupan, penting untuk terus digelorakan.
Bangku kuliah tidak hanya ranah menanamkan ilmu dan pengetahuan (akuntansi), namun yang
tidak kalah penting (bahkan jauh lebih penting) adalah indoktrinasi nilai-nilai kebaikan hidup
yang konsisten dan persisten. Kami selalu berapi-api di kelas ketika tiba pada urusan nilai ini.
Mengingatkan calon-calon akuntan ini tentang banyaknya ruang abu-abu (bahkan seringkali
mengarah kepada hitam) dalam dunia akuntansi. Kalimat penting di akhir sesi adalah
idealisme tidak dapat digadaikan hanya untuk kepentingan dunia dan menegasikan ukhrowi.
Setelah sesi perkenalan diri dan akuntansi kelar, musyawarah draf kontrak perkuliahan
menempati urutan berikutnya pertemuan awal ini. Draf yang dirancang sang dosen adalah media
pencangkokan efektif pula tentang relasi saling pengertian antara dosen-mahasiswa dalam proses
belajar-mengajar. Dimulai dengan pengudaran gambaran umum, tujuan dan target mata kuliah.
Metode pembelajaran yang akan digunakan pun dimintakan kesepakatan. Last but not least,
penanaman tentang pengarusutamaan nilai kembali menjadi titik tekan krusial
7
. Iklim dan aura
positif yang berporos pada nilai universal kebaikan menjadi pegangan kesepakatan bersama.
Sesi tatap muka pertama (juga pertemuan-pertemuan berikutnya) ini lalu akan diisi dengan
permunajatan bersama kepada Tuhan, Sang Maha Segala. Hal ini bertindak pula sebagai pagar
yang akan melingkupi segala niatan akan proses belajar satu semester ke depan. Permohonan
agar selalu dilimpahkan ilmu yang barokah dan manfaat, bagi diri dan lingkungan.
Sebenarnya tidak pula hanya pada awal semester. Di saat-saat tertentu, di mana kami
merasa tidak terhimpit oleh beban pekerjaan lain, kami merasa bisa secara utuh melakukan
transfer nilai dan materi. Kami dapat berkilah, di samping dosa-dosa, tetap ada kebaikan-
kebaikan terjadi saat kami dapat secara utuh berada di dalam kelas. Dampak nyatanya dapat

7
Rancangan draf kontrak perkuliahan selalu memasukkan pentingnya nilai-nilai kebaikan ini dalam proses
pembelajaran. Nilai akhir (angka/huruf kuantitatif sebagai ukuran penilaian) hanyalah hasil akhir yang tidak terlalu
penting diperbincangkan. Jauh lebih substansial untuk didiskusikan adalah proses menuju nilai akhir. Kami selalu
mewanti-wanti tentang hukum alam sebuah proses: proses yang baik akan berbuah nilai (akhir) baik. Jika nilai
(angka/huruf akhir) baik yang diinginkan, maka prosesnya juga harus selaras dengan nilai-nilai kebaikan. Hal ini
dapat diartikan pula sebagai penanaman optimisme dan kepercayaan diri peserta didik. Bahwa kemampuan kognisi
dalam menyerap materi perkuliahan bukanlah satu-satunya aspek penilaian. Kemampuan intelektual mahasiswa
seringkali given. Ketika otak tidak begitu memadai, kami seringkali berpesan: ... Saya orang yang lebih
menghargai proses yang baik, cara mencapai nilai yang baik. Kemampuan menguasai materi bukanlah segala-
galanya... Saya lebih menghargai mahasiswa yang mendapatkan nilai 50 tapi jujur mengerjakan sendiri daripada
dapat 100 tetapi hasil mencontek dan berbuat curang ...
dibaca melalui gejala dunia maya, salah satunya adalah media sosial Twitter melalui kicauan
(twit). Kicauan dapat diinterpretasikan sebagai pembentukan realita yang diyakini kebenarannya,
baik oleh pengicau maupun pengikutnya
8
. Temuan menarik kicauan (Gambar 1) didapatkan dari
laman mahasiswa yang kami asuh, yang merefleksikan terjadinya transfer values:
Gambar 1. Laman Twitter

Sumber: www.twitter.com

Tentu saja kita tidak bisa saja berhenti dalam kesadaran seperti ini, pengetahuan bahwa idealisme
kami selalu dapat terkompromikan dengan kepentingan-kepentingan selain pengajaran. Perlu
suatu agenda konkrit perubahan atas kondisi ini. Kami kemudian teringat gagasan Perhimpunan
Indonesia (PI) tahun 1925 tentang langkah-langkah revolusi. PI bermula dari sebuah organisasi
mahasiswa Indonesia di Belanda bernama Indische Vereeniging yang terbentuk saat pemuda-
pemuda Indonesia belajar di negara tersebut. Pergerakan PI menjadi revolusioner saat
Mohammad Hatta turut aktif sebagai organisatoris. Agenda PI terdiri dari tiga langkah (Ingleson
1983), pertama, melakukan penyadaran agar mahasiswa Indonesia memiliki rasa sebagai orang
Indonesia dan mengembangkan komitmen yang bulat kepada Indonesia yang bersatu dan

8
Twitter adalah suatu jejaring sosial yang memungkinkan anggotanya untuk saling mengikuti status orang lain saat
ia berkicau. Jika pengikut yang bersangkutan berjumlah sekian orang, maka sekian orang itu pulalah yang dapat
membaca kicauan tersebut. Bahkan pengikut dan mentwit ulang kicauan ke pengikut yang lain.

merdeka. Kedua, gambaran tentang gambaran Indonesia yang diciptakan oleh pemerintah
Belanda perlu dihapuskan. PI harus membuka mata rakyat Belanda tentang watak opresif
pemerintah kolonial dan meyakinkan rakyat tentang kebenaran kaum nasionalis. Ketiga, perlu
dikembangkan suatu ideologi yang kuat dan bebas dari pembatasan-pembatasan Islam dan
komunisme. Kami tidak sepenuhnya menyetujui poin ketiga ini, walau kami memahami lahirnya
agenda ketiga dikarenakan pertentangan yang hebat antara Syarekat Islam (SI) dan Komunis saat
itu. Perlu digarisbawahi bahwa bagi kami, kata kunci yang penting pada poin ketiga adalah
bahwa kebebasan itu tidak boleh tidak terbatas.
Pengakuan dosa kami sebenarnya merupakan cerminan dari bentuk ketidaktepatan
struktur model pendidikan yang megarah pada komodifikasi pendidikan. Komodifikasi
merupakan bentuk kebebasan (baca: pasar bebas dalam pendidikan) yang mulai kehilangan
batas-batas nilai yang dianutnya. Jumlah kelas yang sekian banyak membebani serta kurikulum
yang padat merupakan salah satu bukti bahwa pendidikan diarahkan untuk mengakomodasi
kepentingan pasar,bukan kepentingan nilai.
Agenda pertama tentang penyadaran bahwa kita adalah manusia Indonesia yang
sebaiknya bertindak atas nama kepentingan Indonesia, telah sering terlontar dalam kajian
pendidikan akuntansi kritis (Triyuwono 2010, Mulawarman 2008, Mulawarman dan Ludigdo
2010, Kamayanti 2012a, 2012b). Agenda kedua belum sepenuhnya terlaksana, walau dalam hal
diskursus akademik, publikasi tulisan hasil penelitian pendidikan akuntansi kritis juga telah
dilakukan. Tentu saja gaung agenda kedua akan sulit terdengar, apabila IAI-KAPd tetap
bersikukuh untuk mengadopsi Standar Pendidikan Akuntansi Indonesia (SPAI) sesuai
permintaan IFAC. Bagaimana mungkin kita dapat meyakinkan jati diri kita (sebagai bangsa
berdikari) apabila pendidikan Indonesia masih mengekor pendidikan Barat?
Agenda ketiga membutuhkan energi lebih besar. Bisa jadi agenda ketiga PI yang hendak
menghilangkan pembatasan antara agama dengan ilmu mengakibatkan kemunduran yang saat
ini kita alami. Kebebasan yang benar-benar bebas bisa jadi membentuk paham liberal sehigga
memurukkan pendidikan akuntansi dalam jejaring kapitalis, karena saat agama dan Tuhan jauh
dari akuntansi, maka faham materialis dapat dengan mudah masuk. Agenda ketiga PI bisa jadi
memang kemudian hari (saat ini) memecah pemikiran ekonomi di Indonesia menjadi tiga, yaitu
ekonomi liberal, kerakyatan dan abu-abu
9
.
Pendidikan akuntansi ber-ideologi atau ber-nilai kebaikan asasi (apalagi dan
sekaligus Berketuhanan) bisa jadi masih jauh panggang dari api. Rekonstruksi pendidikan
akuntansi berbasis Pancasila, misalnya, hanya menjadi pemanis saja, apalagi bila kita berharap
sebagai akuntansi berbasis beragama (tentu saja bila kita masih percaya agama adalah kemestian
sejarah sekaligus kedirian lintas jaman). Gairah untuk membangun ideologi memang ada, namun
tidak cukup besar untuk melakukan rekonstruksi utuh. Ujung-ujungnya, kita kembali pada model
semula yaitu menjadi follower setia yang semakin kehilangan jati diri. Kami merasa bahwa
pendidikan akuntansi Indonesia harus segera memiliki tiga agenda ala PI tahun 1925 dengan
perbaikan substansial atas konsep bebas yang tidak tak terbatas, agar kami dan pendidik-
pendidik akuntansi lain tidak semakin terpuruk dalam dosa.





Refleksi Sementara

9
Tiga cabang pemikiran ekonomi tersebut terdiri dari Ekonomi Liberal Indonesia ala Soemitro Djojohadikoesoemo
dan Mafia Berkeley, Ekonomi kerakyatan ala Hatta yang kemudian diterjemahkan di era orde baru oleh Mubyarto,
Sri Tua Arif, Sri Edi Swasono, dll., sedangkan Ekonomi abu-abu adalah era di mana kebijakan tidak jelas
berorientasi ke mana, seperti era reformasi saat ini. Suara kebenaran hati bernurani ke-Indonesia-an yang mungkin
datang terlambat dapat dijelaskan melalui pemikiran Soedjatmoko (dalam Tuhulele 1988) yang muncul di akhir
hidupnya, yaitu bahwa membangun peradaban maupun membangun Indonesia tidak cukup dengan kebebasan
karena hanya agamalah yang bisa menjadi solusi.
Riset ini menunjukkan hasil yang satir. Dapatkah kita menertawakan diri sesekali dan
menyalahkan diri kita sendiri atas pendidikan akuntansi Indonesia? Bisakah kita beranjak dari
mentalitas sopir angkutan umum menuju mentalitas the true akuntan pendidik? Atau mungkin,
dan jangan-jangan, konsep pendidikan dengan jam yang ketat, materi yang padat serta jumlah
pertemuan menjadi pagar yang kaku dan bahkan mendorong terjadinya mentalitas sopir angkutan
umum? Toh jelas terbukti secara empiris bahwa pendidikan akuntansi jika berhati mampu
mentransfer nilai/value yang justru dibutuhkan untuk membentuk karakter tidak hanya peserta
didik namun juga akuntan pendidik?
Pada akhirnya, harus kami akui, dalam kesadaran penuh bahwa apa yang kami lakukan
dalam mendidik anak bangsa ini adalah kondisi nir-ideal. Inilah pengakuan dosa kami selaku
akuntan pendidik yang ditugaskan negara untuk mengabdi dan mengkhidmadkan diri kepada
calon-calon pemimpin bangsa di kampus. Walau secara formal prosedural, kami dianggap
berhasil memenuhi kewajiban mengajar di kelas-kelas perkuliahan, kami merasakan ada
ketidakpuasan yang mengiringi pencapaian pengguguran kewajiban formal tersebut.
Di akhir perkuliahan, permohonan maaf sudah terlontarkan kepada seluruh mahasiswa di
kelas, bahwa kami, dosen yang dhoif ini, tidak dapat memberikan yang terbaik. Kepada Allah
SWT sebagai pemutus takdir sebagai pendidik, juga tak kurang-kurang memohon ampun.
Semoga ada jalan untuk keluar dari belitan dilema etis di masa-masa mendatang melalui tiga
agenda penyadaran tentang hakikat manusia Indonesia pada akuntan pendidik kita, penyadaran
kepada dunia internasional tentang hakikat manusia Indonesia serta penegakan ideologi
nasionalisme (bila ini masih penting, apalagi agama?).
Bagi kami, pandangan mendasar Jensen dan Meckling (1994) bahwa pusat kemanusiaan
yang menjadi dasar pemikiran akuntansi dan akuntan pendidik adalah pragmatisme dan self-
interest, tidak mungkin menjadi salah satu solusi. Hal ini karena seperti dijelaskan oleh William
James (1842-1910), pencetus filsafat pragmatisme, kebenaran pragmatisme selalu diukur dari
kepercayaan atas kebenaran hanya bila kebenaran itu berguna. Bagi kami, yang terpenting
sebagai akuntan pendidik seperti diwahyukan dalam Al Baqarah ayat 2 al haqqu mirrobbiq,
pandangan kebenaran menurut kami bukan karena pragmatisme sempit seperti itu, tapi
kebenaran adalah apa saja yang datang dari Tuhan, baik berguna atau tidak sekarang ini dalam
kehidupan praktis.
Terlepas dari permohonan maaf kami yang selalu kami ulang pada setiap akhir semester,
teringat suatu hadist Rasululloh SAW (HR. Thabrani): Tidak menjadi dosa besar sebuah dosa
bila disertai dengan istighfar dan bukan dosa kecil lagi suatu perbuatan bila dilakukan terus-
menerus. Ah...jangan-jangan...? Atau (seperti ditegaskan Babe pemenang Stand-Up Commedy
Indonesia 3) Ah... sudahlah...?

Hidup ini diakhiri kematian
Sekaligus dapat menembus kematian
Hidup ialah kreativitas dan semangat
Maka bila kau benar-benar hidup
Hiduplah penuh kreativitas dan gairah
Jelajahi seluruh alam semesta
Tumpas hingga tuntas segala yang nista
Lalu ciptakan dunia baru
Sebagai penjelmaan imajinasimu
Bagi yang bebas
Sungguh membosankan
Untuk hidup di dunia orang lain
Mereka yang tak mampu mencipta
Tidak berharga di mata kita
Sederajat dengan yang tidak bertuhan
Sederajat dengan yang tidak berpengalaman
Ia tak sempat turut menikmati keindahan
Ia tak sempat turut menikmati buah dari pohon kehidupan
Wahai manusia yang berakal
Jangan jadikan dirimu majal!
Asah dirimu setajam pedang
Tentukan sendiri arah hidup yang hendak kau jelang

(Iqbal 1997)

Wallahu alam bi as shawaab

Daftar Pustaka

Al Fayyadl, M. 2005. Derrida. Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta.
Burrel, G dan G Morgan. 1979. Sociological Paradigms and Organizational Analysis: Elements
of the sociology of Corporate Life. Ashgate Publishing Company. USA.
Cermignano, GP., JM Hargadon and DA McMullen. 1998. The Games Accounting
Professors Play: communicating with Generation X. Advances in Accounting Education.
Vol 1. p 133-146.
Hamrick, MB 2003. Solipsistic Sin. Tesis tidak dipublikasikan. University of Tennessee at
Chattanooga Philosophy and Religion. USA.
Ingleson, J. 1983. Jalan ke Pengasingan: Pererakan Nasionalis Indonesia 1927-1934. LP3ES.
Jakarta.
Iqbal, MA. 1997. Javid Nama: Kitab Keabadian. Terjemahan. Panji Mas. Jakarta.
Jensen, MC dan WH Meckling. 1994, The Nature of Man, Journal of Applied Corporate
Finance. Summer, vol 7, no 2. pp. 4-19.
Kamayanti, A. 2012a. Liberating Accounting Education: through Beauty and Beyond.
LAMBERT Publishing Company. Germany.
Kamayanti, A. 2012b. Developing Conscious Accounting Educators: a Theatrical Perspective.
Tesis tidak dipublikasikan. Universitas Brawijaya Malang.
Mulawarman AD. 2008.Pendidikan Akuntansi Berbasis Cinta: Lepas dari Hegemoni Korporasi
Menuju Pendidikan yang Memberdayakan dan Konsepsi Pembelajaran yang Melampaui.
Ekuitas.Vol 12, No. 2.p 142-158.
Mulawarman, AD. and U Ludigdo. 2010. Metamorfosis Kesadaran Etis Holistik Mahasiswa
Akuntansi: Implementasi Pembelajaran Etika Bisnis dan Profesi Berbasis Integrasi IESQ.
Jurnal Akuntansi Multiparadigma. 2 (2)
Setiawan, AR dan A Kamayanti. 2012. Mendobrak Reproduksi Dominasi Maskulinitas dalam
Pendidikan Akuntansi: Internaliasasi Pancasila dalam Pembelajaran Fraud Accounting.
Proceeding Konferensi Nasional Pendidikan Akuntansi Indonesia. 18-20 April.
Soerjaningrat, S. 1967. Bagian Kedua: Kebudajaan. Jogjakarta: Madjelis Luhur Persatuan
Taman Siswa.
Tuhuleley, S. 1988. Permasalahan Abad XXI: Sebuah Agenda (kumpulan karangan). LP3M.
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Triyuwono, I. 2010. Mata Ketiga: S Lan, Sang Pembebas Sistem Pendidikan Tinggi
Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma.1 (1).p 1-18.

You might also like