Transformasi Kepemimpinan Organisasi Untuk Penguatan Peran Kelembagaan Tingkat Regional
OLEH : NURAMIN SALEH.S.Psi
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI ) Badan Koordinasi (BADKO) Sulawesi Selatan-Barat Periode 1434 H-1436 H / 2013-2015 M 2 KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan kesempatan dan juga telah memberikan petunjuk dan inayah-nya sehingga dapat menyelesaiakan penulisan karya tulis ilmiah dengan dengan Tema Transformasi Kepemimpinan Organisasi Untuk Penguatan Peran Kelembagaan Tingkat Regional, Salawat dan salam keharibaan Nabi Muhammad SAW yang telah menganjurkan umatnya untuk mengajar, belajar dan mendengar serta menekankan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban umat muslim.
Tema karya tulis sebagai prasyarat untuk menjadi kandidat ketua umum HMI Badko Sulselbar dan tema ini sangatlah relevan jika kita melihat realitas yang terjadi dalam internal himpunan mahasiswa islam, sehingga kita sebagai kader HMI dapat dan mampu mengoreksi diri serta mampu menjawab tantangan di masa depan.
Sumber pengambilan materi karya tulis ilmiah ini, telah mengutip berbagai literatur yang relevan dengan pembahasan yang telah menjadi referensi dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa materi makalah dengan tema Transformasi Kepemimpinan Organisasi Untuk Penguatan Peran Kelembagaan Tingkat Regional masih banyak kekurangan dan kekhilafan, sehingga saran perbaikan dalam berbagai sumber sangat dibutuhkan. Akhirul qalam, assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Makassar, 14 September 2013
Yudhi Abdi Wibowo
3 DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1 A. Latar Belakang ...................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................. 4 C. Manfaat Penulisan ................................................................................. 4 BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 5 A. Himpunan Mahasiswa Islam di era kekinian ......................................... 5 B. Transformasi Nilai Khittah Perjuangan dalam Transformasi Kepemimpinan ...................................................................................... 7 C. Back to intellectual intelligence, Upaya meretas krisis intelektual Kader ..................................................................................................... 9 D. Lembaga Kekaryaan, Gerbong Intelektual dan Profesionalisme Kader ..................................................................................................... 12 E. Reeksistensi HMI, Transformasi Kepemimpinan dalam Penguatan Penguatan Peran Kelembagaan Tingkat Regional ................................ 13 BAB III PENUTUP ............................................................................................ 16 A. Kesimpulan .......................................................................................... 16 B. Saran .................................................................................................... 17 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... iii
4 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Organisasi kepemudaan yang mengerucut pada satu lini idealism yaitu organisasi kemahasiswaan sudah saatnya untuk mampu Back to Zero atau dapat ditafsirkan sebagai organisasi yang merakyat dan berjuang untuk rakyat karena secara aksiologis organisasi merupakan sebuah hirarki individu-individu yang melebur dalam satu kelompok dan bermasyarakat. Dalam mewujudkan nilai organisasi kepemudaan maka peran pemimpin sangat substansial untuk menentukan segala kebijakan dan implementasinya serta dalam menciptakan lingkungan yang kondusif. Berbagai terobosan perlu dilakukannya, mulai dari perubahan struktural, aspek keterampilan dalam pemahaman kerjasama internal dengan para bawahannya maupun eksternal yakni dengan pihak lembaga swasta, para stakeholder. Di samping itu, perlu memahami dan melakukan integrative culture dengan cara organisasi dapat melakukan transformasi nilai internal maupun eksternal guna pengembangan organisasi serta mengantisipasi lingkungan yang berkembang dan yang tidak kalah penting adalah pemahaman adanya akuntabilitas moral dan mental yang melekat pada diri seorang pimpinan dan salah satu transformasi nilai yang sangat subtantif dalam organisasi. Sehingga, Transformasi kepemimpinan dalam tubuh organisasi menjadi sebuah keharusan dalam keberlangsungan eksistensi organisasi agar tetap dapat memainkan ritme dalam internal organisasi itu sendiri maupun eksternal organisasi.
Kemampuan organisasi kepemudaan dalam menjaga ritme sangatlah subtantif dikarenakan pengaruh besar organisasi dari masa ke masa perjalanan bangsa hingga kini yang merupakan masa klimaks transisi demokrasi negara indonesi dan kita memahami negara indonesia merupakan negara relatif otonom dalam arti ia bukanlah instrumen dari satu kelas atau fraksi kelas, negara tidak mampu mendesakkan perubahaan struktural mendasar pada orde sosial kecuali ia ditegakkan kembali atas 1 5 dasar keseimbangan kekuasaan sosial dan politik yang baru. 1 Hal ini merupakan validitas atas realitas kekinian negara indonesia dalam masa-masa pra kematangan demokrasi indonesia yang hingga hari ini belum mampu menampakkan auranya dikarenakan kesenjangan sosial ekonomi yang hingga kini dirasakan mayoritas rakyat indonesia sehingga organisasi kepemudaan yang terkhusus pada organisasi kemahasiswaan haruslah mampu memberikan resolusi kepada pemerintah atas kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi di era kontemporer dan tantangan besar yang harus di hadapi organisasi kemahasiswaan di era kontemporer tidak hanya sebatas resolusi melainkan mampu meretas wacana global dunia ketiga yang berkembang. 2
Seperti jika demokrasi indonesia tidak mampu mendapatkan auranya, akan terjadi kemunduran yang signifikan yaitu tenggelamnya demokrasi dan kembalinya otoriterisme menguasai sistem negara indonesia. Hal ini merupakan wacana yang baru dan masih bersifat gerakan laten para elite penguasa, tetapi samuel huntington telah mampu melakukan analisis di 20 tahun sebelum indonesia mengalami dan merasakan demokrasi. Faktor-faktor terjadinya pergeseran dari sistem politik demokratis ke sistem politik otoriter sekurang-kurangnya sama beragamnya dan sebagian bertumpang tindih dengan faktor-faktor penyebab terjadinya pergeseran dari otoriterisme ke demokrasi. 3
Melihat kondisi kebangsaan indonesia yang semakin terpuruk, peranan penting organisasi kemahasiswaan terkhusus Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) haruslah mampu memberikan resolusi dan pressure serta meretas wacana-wacana global neo kapitalisme sebagai mindstream HMI kepada pemerintah dalam meretas kesenjangan sosio-politik yang terjadi pada rakyat indonesia dan memberikan kematangan berdemokrasi kepada rakyat indonesia karena sebagai organisasi
1 Richard J. Robison, "The Transformation of the State in Indonesia," Bulletin of Concerned Asian Scholars, Vol. 3, No. 2 (Januari-Maret 1982). 2 Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada 2004) Cet.I, Hlm.78. 3 Samuel P.Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta, Pustaka utama grafiti, 2001) Cet.II, Hlm.375. 6 kemahasiswaan tertua dan terbesar di Indonesia dan sepanjang perjalanan pasang surutnya peradaban bangsa indonesia, HMI memiliki peranan yang sangatlah penting didalamnya sehingga sejarah perjalanan bangsa tidak dapat dilepaskan dengan sejarah perjuangan HMI. Tetapi di era kekinian, jangankan mampu memberikan resolusi kepada negara indonesia, internalisasi khittah perjuangan saja seakan-akan mengalami kemandulan dikarenakan pengkristalan intelektual yang tidak teraktualisasikan. Hal ini menjadi polemik kompleks dalam tubuh internal HMI karena ekslusivisme yang merasuk dalam tubuh kader dan tidak dapat dinafikkan khittah perjuangan tidak lagi tersakralisasi sehingga tidak salah jika di era kekinian menjadi fase tantangan ke dua bagi internal HMI.
Polemik ini bukanlah hal yang baru di dalam tubuh internal HMI tetapi pasca runtuhnya rezim orde baru di tahun 1998, transformasi nilai yang terimplementasi pada transformasi kepemimpinan HMI mengalami degradasi yang sangat luarbiasa dalam artian, terjadi perubahan paradigma berpikir neo kapitalis ke dalam sendi-sendi structure maupun culture. Banyaknya pergeseran nilai terjadi dalam tubuh kader- kader. Eksistensi HMI telah merapuh dan merunduk bahkan dulunya HMI dicinta tetapi sekarang Himpunan Mahasiswa Islam di Hina, dicaci dan digugat kembali eksistensi dan esensinya sebagai organisasi kader dan organisasi perjuangan serta asas islamnya. 4
Berdasarkan realitas diatas, sudah saatnya-lah HMI haruslah back to basic sehingga nilai dalam transformasi kepemimpinan tidaklah berjalan secara transaksional pragmatisme melainkan mampu secara ideal structure, artinya proporsionalisme struktur menjadi kekuatan karakter (caracter building) HMI dalam menjaga ritme dan eksistensinya. Sehingga, dalam setiap regenerasi kepemimpinan
4 Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI , Suatu Kritik dan Koreksi untuk Kebangkitan Kembali HMI (50 tahun pertama HMI 1947-1997) , (Jakarta, Misaka Galiza, 2005). Cet.I, Hlm.51 7 dalam struktur HMI tidak mengalami degradasi nilai dan akan tetap mampu melahirkan kader-kader potensial guna mengembalikan eksistensi kejayaan HMI.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan dan polemik yang terjadi di internal tubuh HMI guna mengembalikan eksistensi dan kejayaan intelektual intelegensia kader-kader HMI, maka penulis merumuskan masalah-masalah yang berkembang sebagai berikut : 1. Bagaimana kondisi HMI kekinian dan cara HMI dalam menjawab tantangan transformasi nilai dalam setiap transformasi kepemimpinan di tubuh internal organisasi ? 2. Bagaimana cara meretas krisis intelektual kader yang terjadi di era kekinian guna mengembalikan eksistensi intelektual intelegensia kader dan kejayaan HMI ? 3. Apa langkah HMI dalam mengembalikan eksistensi kepemimpinan kelembagaan dalam upaya menjawab dinamika kelembagaan di tingkat regional ?
C. Manfaat Penulisan 1. Manfaat Teoritis Semoga karya tulis ini dapat membukakan kerangka pikir kader upaya dalam mengembalikan eksistensi HMI dan menjawab indikator-indikator kemunduran HMI, baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang. 2. Manfaat Praktis Semoga tulisan ini dapat menambah khasanah intelektual kader sehingga dapat meretas krisis intelektual yang terjadi dalam internat HMI.
8 BAB II PEMBAHASAN
A. Himpunan Mahasiswa Islam di era kekinian Himpunan Mahasiswa Islam lahir 14 Rabiul Awal 1366 Hijriah, bertepatan dengan 5 Februari 1947 Masehi. Dus, pada 14 Rabiul Awal 1434 (kira-kira 26 januari 2013) HMI genap berusia 66 tahun (hijriah) dan 5 Februari 2013 tepat berusia 66 tahun (masehi). Suatu usia yang cukup berumur dan tentu saja mengundang sejumlah konsekuensi. Bagaimanakah kondisi HMI dalam usianya yang telah menginjak 66 tahun tersebut, Banyak instrumen analisa dan perspektif yang dapat kita gunakan untuk memahami kondisi HMI saat ini, diantaranya adalah arkeologi dan geneologi pengetahuan yang diperkenalkan oleh Michel Foucault.
Metode arkeologi memfokuskan kajian pada pernyataan atau wacana dengan sistem prosedur yang memproduksi, mengatur, mendistribusi, mensirkulasi, dan mengoperasikannya. Mengupas wacana sebagai suatu sistem internal dengan prosedur-prosedurnya yang teratur. Sedangkan geneologi memberikan pusat perhatian pada hubungan timbal balik antara sistem kebenaran (pernyataan/wacana) dengan sistem kuasa (mekanisme yang didalamnya suatu rezim politis memproduksi kebenaran). Geneologi tidak berusaha menegakkan pondasi-pondasi epistemologis yang istimewa, tapi ia mau menunjukkan bahwa asal-usul apa yang kita anggap rasional, pembawa kebenaran, berakar dalam dominasi, penaklukan, hubungan kekuatan-kekuatan atau dalam suatu kata, kuasa. 5
Dengan menggunakan perspektif arkelogi dan geneologi pengetahuan, berarti kita akan melihat realitas HMI saat ini sebagai suatu realitas wacana/sistem pengetahuan dimana di dalam sistem wacana/pengetahuan tersebut terdapat prosedur-
5 Peter L.Berger, Thomas Lucmann, tafsir social atas kenyataan, (LP3ES, 1990) Hlm.132 9 prosedur yang memegang kendali atas proses produksi, pengaturan, pendistribusian, pensirkulasian, dan pengoperasian sistem wacana/pengetahuan tersebut serta terdapat sistem kuasa atau relasi kuasa yang mengukuhkan sistem wacana/pengetahuan tersebut. Prosedur-prosedur tersebut kemudian kita sebut sebagai fundamental codes of cultures yang mewakili dimensi nalar dan relasi kuasa mewakili dimensi politis.
Konsekuensi dari perspektif ini adalah bahwa realitas HMI saat ini tidaklah merupakan suatu realitas yang terbentuk dengan sendirinya melainkan terbentuk melalui proses diskursif dimana terjadi proses pengukuhan fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tertentu dan proses peminggiran fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang lainnya. Fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tersebut kemudian berwenang menentukan mana fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang dapat terus eksis, bahkan muncul sebagai pemenang dan menjadi mainstream (arus utama) atau mendominasi wajah realitas namun juga ada fakta-fakta sosial dan pengetahuan yang jadi pecundang dan terpinggirkan (pheripheri) sehingga ia bisa jadi hanya berupa bercak saja atau malah benar-benar tersamar dari wajah realitas. 6 Contohnya, di HMI berkembang beragam wacana keagamaan, wacana keagamaan yang modern-moderat-inklusif nampaknya merupakan pemenang dan wacana keagamaan yang tradisional-radikal-eksklusif merupakan pecundang, tetap berkembang namun tidak menjadi mainstream. Contoh lain, frame berpikir political oriented merupakan pemenang, sementara frame berpikir yang berorientasikan profesi adalah pecundang. Kemudian, orientasi politik-struktural merupakan pemenang, dan orientasi politik-kultural merupakan pecundang. 7 Semangat ketergantungan terhadap senior/alumni adalah pemenang dan semangat independen/mandiri adalah pecundang, serta masih banyak contoh lainnya yang menentukan siapa pemenang dan pecundangnya merupakan kewenangan atau tergantung selera fundamental codes of cultures dan relasi kuasa.
6 Ibid...... hlm.155 7 Ibid.......hlm.163 10 B. Transformasi Nilai Khittah Perjuangan dalam Transformasi Kepemimpinan Ketika sistem pengetahuan yang tergoreskan diatas menjadi relasi fundamental dalam setiap transformasi nilai dan transformasi kepemimpinan dalam tubuh HMI, maka dengan fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang dimilikinya sudah demikian eksis dan tidak ada perlawanan terhadapnya, maka anggota HMI saat ini sesungguhnya tidak lebih dari robot-robot yang digerakkan secara otomatis oleh fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tersebut. Ia dideterminasi cara berpikir dan tindakannya oleh fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tersebut. anggota HMI tidak lebih sebagai pelanjut tradisi tanpa inovasi. Fundamental codes of cultures dan relasi kuasa ada yang buruk, dan tentu ada juga yang baik. Namun pasti ada fundamental codes of cultures dan relasi kuasa (yang buruk) yang menyebabkan kader HMI saat ini demikian pasrah pada memory of the past, pada kenangan masa lalu. Menggantungkan eksistensinya pada kebesaran seniornya, berlindung di balik keagungan sejarah HMI yang tidak pernah dibuatnya namun ia terus asyik memparasitkan diri menghisap keberkahan darinya.
Inilah potret kader HMI yang kehilangan kritisismenya, tuli terhadap memory of the future (cita-cita masa depan) dan mengambil sikap resist to change, menolak perubahan. Kader HMI lupa bahwa pernyataan senior/masa lalu memang ada benarnya namun banyak juga yang sudah tidak benar lagi karena zaman telah berubah. Dalam konteks ini, pernyataan almarhum Nurcholish Madjid agar HMI dibubarkan saja menemukan pembenar karena beliau melihat bahwa relevansi HMI bagi masa kini dan apalagi bagi masa depan sudah jauh berkurang, kalaupun bukannya tidak ada lagi. HMI tidak lagi menjadi elemen penggerak kemajuan melainkan kekuatan status quo dan bahkan sebaliknya menggerakkan pada kemunduran. 8
8 Agussalim Sitompul, sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam 1947-1975 (Surabaya, Bina Ilmu) Cet.I, Hlm.198 11 Dengan demikian siapakah yang patut disalahkan atas kondisi HMI yang katanya mengalami kemunduran, mengalami konflik perpecahan di tubuh PB HMI yang terjadi tiga kali berturut-turut, dan kelemahan lainnya dari organisasi HMI saat ini, Tidak ada seorang pun yang perlu disalahkan karena kondisi HMI saat ini merupakan produk fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang hidup dalam tubuh HMI. Fundamental codes of cultures dan relasi kuasa dapat bersemayam dan dikukuhkan dalam media seperti doktrin organisasi, aturan organisasi (AD, ART dan penjabarannya), dalam pola pendanaan aktivitas HMI, dan dalam pola interaksi keseharian antara kader dan pengurus HMI atau antara kader/pengurus dengan alumninya. Semuanya terbentuk melalui proses historis yang agak sulit dikendalikan oleh orang per orang, hanya tanggung jawab kolektif (generasi) yang dapat menghadapinya. Persoalannya adalah telah terdapat sejumlah generasi yang tidak menyadari bahwa ada fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang bekerja di tubuh HMI, yang disamping mengusung kebesaran HMI namun juga bekerja menghancurkan HMI, menghantarkan HMI pada ketidakrelevanannya dengan zaman. 9
Menyadari hal tersebut, sudah sepatutnya generasi sekarang mengembangkan kesadaran untuk mengenali fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tersebut, mengambil sikap dan tindakan terhadapnya. Iktiar inilah yang merupakan upaya menghadirkan suatu HMI Baru dan merupakan suatu bentuk rasa tanggung jawab sebagai kader HMI yang cinta akan organisasinya. HMI Baru adalah HMI yang terbebas dari fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang buruk yang menyebabkan ia tertawan oleh masa lalu, dan menebalkan fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang baik serta menanamkan benih suatu fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang baru sehingga HMI dapat menyambut kelahirannya kembali dan dengan penampilan meyakinkan mewarnai zaman yang telah berubah
9 Natsar Desi Mahnudi, Rekonstruksi Pemikiran dan Pergerakan Himpunan Mahasiswa Islam, (LPMI, 2006) Cet.I Hlm.. 12 ini. Ikhtiar untuk melaksanakan hal ini membutuhkan komitmen kuat dan terfasilitasi dengan baik sehingga forum penghimpun organisasi (MUSDA) HMI dalam ruang lingkup wilayah sulselbar dan inilah moment yang sangatlah tepat sebuah implementasi tranformasi nilai yang bersandar pada khittah perjuangan karena Musda Badko merupakan wadah yang paling tepat untuk kembali membangun dasar-dasar HMI Baru tersebut. Karena disana transformasi kepemimpinan yang akan berlangsung dan semoga doktrin organisasi sebagai khittah perjuangan (NDP), aturan main yang mendasar dari organisasi (AD, ART dan penjabarannya), program kerja serta nakhoda baru organisasi menjadi mindstreem para kader untuk mengembalikan kejayaan HMI.
C. Back to intellectual intelligence, Upaya meretas krisis intelektual Kader HMI yang sudah memproklamirkan fungsinya sebagai organisasi kader, mau tidak mau menjadikan perkaderan sebagai jantung kehidupan organisasinya. Namun sebetulnya aspek perkaderan di HMI mulai dibenahi secara serius pada akhir tahun 50-an dimana HMI sudah bertahun-tahun menjalankan peranannya, jadi perkaderan di HMI tidak lahir berbarengan dengan kelahiran HMI itu sendiri, melainkan lahir seiring proses waktu dan perubahan zaman. Awalnya hal itu baru mulai terpikirkan oleh para kader (PB HMI) ketika masa kepengurusan Ismail Hasan Metareum (periode 1957-1960), dan masih berupa wacana-wacana yang digulirkan oleh PB HMI sendiri. Ismail Hasan yang merupakan penggagas utama ide perkaderan formal di HMI menginginkan agar HMI tidak menjadi tempat berkumpul orang yang punya kesamaan hoby atau aktivitas saja, tapi menjadi second campus bagi para anggotanya. Selain itu, yang menjadi faktor penting pendorong gagasan diadakannya perkaderan formal di HMI adalah karena waktu itu Ismail Hasan melihat adanya perbedaan aliran pemikiran dalam dinamika pergerakan aktivitas HMI, dimana ada anggotanya yang punya background lingkungan pesantren dan ada juga yang cenderung sekuler. 10
10 Agussalim Sitompul, Histiografi HMI 1947-1993 (Jakarta, Miska Galiza, 2008). Cet.I, Hlm.152 13 Berawal dari itulah sampai hingga saat ini kita merasakan sebuah sistem perkaderan meskipun dalam masa ke masa sistem perkaderan menggunakan metodologi yang berbeda. Tetapi di era kekinian, seakan HMI tidak lagi mampu melahirkan motodologi perkaderan modern dan tidak terkikis oleh zaman melainkan terlahir sinkronisasi antara sistem perkaderan HMI dan perkembangan zaman. Hal ini terbukti banyaknya degradasi nilai kader hingga yang sangat miris adalah tradisi intelektual HMI yang memudar. Sejatinya kader-kader HMI adalah pewaris tradisi intelektual. Namun dewasa ini kegiatan-kegiatan keilmuan di HMI sangat minim sekali. Padahal dahulunya tradisi intelektual HMI merupakan salah satu andalan yang menjadi nilai lebih dan nilai jual HMI serta kader-kadernya ditengah masyarakat dan mahasiswa. Hal ini menyebabkan mahasiswa cerdas dan pintar jarang mau masuk HMI karena mereka melihat tradisi intelektual di HMI tidak mendukung kebutuhannya sehingga mereka memutuskan untuk aktif di organisasi lain yang dapat mendukung pengembangan intelektual mereka. 11
Dalam situasi seperti inilah seharusnya HMI mampu melakukan satu upaya introspeksi diri di dalam menatap sistem perkaderannya. Sebab dengan persinggungan dengan kekuasaan menyebabkan HMI kehilangan indenpendensi dan ruh, HMI seringkali melibatkan diri dalam peran-peran yang tidak populis, karena keterlibatannya hanya sebatas makelar politik bagi kepentingan kekuasaan. Prinsipnya, HMI tidak lagi seksi di dalam medorong ide-ide yang kontekstual bagi kepentingan ummat, namun HMI justru terjebak dalam bingkai kekuasaan. Sehingga dari ini HMI menuai kritik des terpinggirkan dari elan gerakannya bahkan HMI disinyalir terpuruk dari moment arus globalisasi dan modernisasi. Tradisi
11 Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI , Suatu Kritik dan Koreksi untuk Kebangkitan Kembali HMI (50 tahun pertama HMI 1947-1997) , (Jakarta, Misaka Galiza, 2005). Cet.I, Hlm.55 14 intelektualisme yang menjadi ranah khittah perjuangan HMI yang di bangun dari dasar Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) malah juga praktis kehilangan pengaruh. 12
Sehingga Perkaderan HMI di masa datang harus benar-benar berkualitas. Dalam bahasa yang cukup menggugah, yakni bagaimana kita senantiasa Mengembangkan Perkaderan, dan Membangun Peradaban. Kualitas perkaderan itu sangat ditentukan oleh kemampuan kita untuk menjauhkan diri dari formalisme perkaderan. Karena perkaderan formalisme akan menggiring dinamika perkaderan HMI sekedar menjadi pertrainingan. Bagi HMI, sekedar pertrainingan adalah reduksi yang sangat berbahaya bagi totalitas perkaderan HMI yang sesungguhnya. Perkaderan formal penting sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan administratif struktural yang bersifat formal, serta kerangka-kerangka dasar yang harus dikembangkan lebih lanjut. Sementara perkaderan non-formal dan informal adalah medan yang lebih luas untuk proses penempaan kualitas kader-kader. Intelektualitas, profesionalitas, loyalitas, religiusitas dan integritas para kader diasah lebih tajam dalam perkaderan yang non formal dan informal. seperti up-grading, follow up, diskusi, seminar, riset dan sebagainya. Agenda lainnya adalah meningkatnya kuantitas dan kualitas pelaksanaan LK II, LK III dan pusdiklat, sehingga produk dari rekruitmen dapat terserap dan dikembangkan kualitasnya secara maksimal. Dalam rangka peningkatan kualitas perkaderan (formal), maka pemahaman segenap pelaku training terhadap pedoman perkaderan perlu ditingkatkan. Selain itu, kualitas instruktur dan pengelola training wajib diperhatikan, misalnya dengan memperbanyak pelaksanaan Sekolah Pengelola Latihan dan Sekolah Instruktur.
Dari pendalaman sistem perkaderan ini, secara tidak langsung Mindset dan paradigma berpikir kader HMI akan mampu meretas krisis intelektual kader yang
12 Saifudin al Mughniy, Pembangkangan Civil Soceity manifestasi politik kaum pinggiran (Makassar, Kalam Nusantara, 2010) Cet.I, Hlm.120 15 terjadi dalam tubuh internal perkaderan HMI sehingga secara ekstra organisasi yang dimana kader HMI yang juga merupakan mahasiswa sebagai warga masyarakat yang sedang menempuh proses pendidikan tertinggi, maka dengan sendirinya mahasiswa dipandang sebagai kaum intelektual. Didalam golongan kaum cendekiawan itu sendiri, mahasiswa dianggap sebagai pihak yang sedang mempersiapkan diri untuk menjadi warga intelektual yang sepenuhnya. 13
D. Lembaga Kekaryaan, Gerbong Intelektual dan Profesionalisme Kader Terbentuknya Lembaga Kekaryaan sebagai satu dari institusi HMI terjadi pada kongres ke-7 HMI di Jakarta pada tahun 1963 dengan di putuskannya mendirikan beberapa lembaga khusus (sekarang Lembaga Kekaryaan) dengan pengurus pusatnya ditentukan berdasarkan kota yang mempunyai potensi terbesar pada jenis aktivitas lembaga kekaryaan yang bersangkutan diantaranya, (1) Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI) pusatnya di Surabaya, (2) Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) pusatnya di Bandung, (3) Lembaga Pembangunan Mahasiswa Islam (LPMI) pusatnya di Makasar, (4) Lembaga Seni Budaya Mahasiswa Islam (LSMI) pusatnya di Yogyakarta. Dan kondisi politik tahun enam puluhan yang berorientasi massa, lembaga kekaryaan pun semakin menarik bagi anggota sebagai satu faktor berkembang pesatnya lembaga kekaryaan ditunjukkan dari adanya hasil penelitian yang menginginkan dipertegasnya status lembaga Kekaryaan, struktur organisasi dan wewenang lembaga kekaryaan dan keinginan untuk menjadi lembaga kekaryaan otonomi penuh terhadap organisasi induk HMI.
Seiring perkembangan kader secara proporsional dan profesional berdasarkan pengembangan disiplin ilmu yang digeluti, tercatat telah banyak lembaga kekaryaan yang pernah ada dan berkembang dalam mengisi dinamika intelektual di HMI. Tercatat ada Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI), Lembaga Pers
13 Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa Antra Moral dan Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) Hal 46 16 Mahasiswa Islam (LAPMI), Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI), Lembaga pendidikan Mahasiswa Islam (LAPENMI), Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI), Lembaga Teknologi Mahasiswa Islam (LTMI), Lembaga Seni Budaya Mahasiswa Islam (LSMI), Lembaga Astronomi Mahsiswa Islam (LAMI), Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam (LEMI), Lembaga Hukum Mahasiswa Islam (LHMI) dan Lembaga Penelitian Mahasiswa Islam (LEPMI).
Lembaga kekaryaan dapat dikatakan sebagai gerbong intelektual dan profesionalisme kader, karena dalam lembaga kekaryaan, kader dapat mengasah intelektualitas berdasarkan disiplin ilmu yang digeluti dan lembaga kekaryaan dapat menjadi sarana metakomunikasi yang berlangsung di masyarakat indonesia, karena insan-insan yang terlibat dalam proses komunikasi sosial di negeri ini bersifat plural dan heterogen dan kebhinekaan budaya yang berkadar tinggi. 14 Sehingga lembaga kekaryaan dapat menjadi bagian vital dalam organisasi dalam rangka menopang pembangunan nasional, terutama pembinaan manusia indonesia seutuhnya, merupakan conditio sine qua non untuk mengkaji, menyelidiki, dan meneliti komunikasi di indonesia, sebagai kegiatan untuk menjawab tantangan-tantangan; gejolak ekonomi, kemelut politik, penetrasi budaya asing dan sebagainya. 15 Inilah yang menjadi dasar pemikiran sehingga mengapa lembaga kekaryaan yang berkembang dalam HMI dapat menjadi gerbong intelektual jikalau dijadikan icon intelektual kader dalam implementasi bermasyarakat.
E. Reeksistensi HMI , Transformasi Kepemimpinan dalam Penguatan Penguatan Peran Kelembagaan Tingkat Regional Transformasi Kepemimpinan dalam suatu organisasi merupakan sebuah langkah taktis guna menjaga ritme eksistensi organisasi HMI karena ini adalah
14 Jurnal ilmiah disampaikan pada forum sosial budaya, pusat penelitian dan pengabdian masyarakat, universitas islam nusantara, bandung, 8 februari 1985. 15 Onong uchjana effendy, dinamika komunikasi (Bandung, PT.Remaja Rosdakarya, 1992) Cet.II, Hlm.35. 17 metodologi modern dalam kepemimpinan yang sangatlah demokratis karena gaya kepemimpinan yang berupaya mentransformasikan nilai-nilai yang dianut oleh bawahan dan regenerasi kader untuk mendukung visi dan tujuan organisasi. Melalui transformasi nilai-nilai tersebut, dapat meciptakan hubungan baik antar anggota organisasi dapat dibangun sehingga muncul iklim saling percaya diantara anggota organisasi. sebagai organisasi yang besar, HMI haruslah melakukan tranformasi nilai kepada kadernya sehingga dalam kepemimpinan transformatif dapat teraktualkan dengan baik hingga regenerasi dapat menjadikan kiblat kepemimpinan dalam transformasi kepemimpinan nantinya. Hal ini merupakan sebuah kenisyaaan dalam organisasi, karena jika langkah estafet kepengurusan HMI tidak menjadikan kepemimpinan transformatif sebagai acuan, maka regenerasi akan terjadi status quo. 16
Memahami kompleksitas dalam kepemimpinan, sehingga dalam penguatan kelembagaan di tingkat regional haruslah berjalan secara transformatif guna menjaga ritme organisasi. hal ini sangatlah urgen karena mampu mengurangi sejumlah konflik yang sering terjadi dalam suatu organisasi. 17 tranformasi kepemimpinan akan bersinergi dalam tubuh internal yang bersifat regenerasi, keberhasilan maupun kegagalan organisasi dapat ditinjau dalam berbagai aspek seperti; (1) memahami visi dan misi organisasi, (2) memahami lingkungan organisasi melalui analisis lingkungan strategis (swot), (3) merumuskan rencana strategis organisasi; (4) menginternalisasikan visi, misi, kondisi lingkungan strategis, dan rencana startegis pada seluruh anggota organisasi,(5) mengendalikan rencana strategis melalui manajemen pengawasan yang tepat. 18
16 Jurnal Imiah, Latihan Badan Pengelola Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Jember, (Bondowoso, Hand Out Basic Training, 2009). 17 Rivai Veithzal, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, (Jakarta, PT.Rajawali Pers, 2003) Cet.II, Hlm.63. 18 Mahyudin H, Kepemimpinan Masyarakat Madani, (Jakarta, Nim Press,2004) Cet.I, Hlm.93. 18 Berdasarkan pemaparan diatas, maka penulis menganggap Visi ; Penguatan nilai kekaderan dalam tata kelola organisasi merupakan representatif kegalauan kader- kader dan KAHMI yang memiliki hasrat kuat untuk melihat reeksistensi HMI yang mampu mengawal perjalanan bangsa dari masa ke masa. Dan Misi; (1) Pengawalan perkaderan ditingkat cabang melalui badan pengelola latihan, (2) Kemandirian organisasi melalui lembaga kekaryaan, (3) Sintergitas kepemimpinan kelembagaan dalam upaya menjawab dinamika kelembagaan di tingkat regional. Penulis menganggap misi ini merupakan langkah taktis untuk melakukan penguatan kelembagaan di tingkat regional terkhusus pada ruang lingkup BADKO Sulselbar, peningkatan kualitas kader guna mampu memposisikan diri kader-kader dalam persaingan global di era kontemporer ini dan melahirkan kemandirian/melepas belenggu ketergantungan organisasi terhadap pemerintah dan lebih melekatkan diri independensi organisasi.
19 BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Kondisi HMI di era kontemporer ini sangatlah goyah dikarenakan perkembangan zaman globalisasi yang berhasil menkapitalkan dan meliberalkan sosio-cultural dan sosio-ekonomi masyarakat bahkan telah merasuk dalam identitas struktural dan kultural HMI, degradasi nilai dalam transformasi kepemimpinan menjadi salah satu alasan sampai mengapa HMI seakan tidak mampu lagi bersaing dan memberikan sumbangsih ide-ide buat bangsa indonesia. Berdasarkan polemik dari rumusan masalah yang berkembang dalam pembahasan, maka penulis menyimpulkan :
1. Konsekuensi dari perspektif ini adalah bahwa realitas HMI saat ini tidaklah merupakan suatu realitas yang terbentuk dengan sendirinya melainkan terbentuk melalui proses diskursif dimana terjadi proses pengukuhan fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tertentu dan proses peminggiran fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang lainnya. 2. Internalisasi khittah perjuangan saja seakan-akan mengalami kemandulan dikarenakan pengkristalan intelektual yang tidak teraktualisasikan. Hal ini menjadi polemik kompleks dalam tubuh internal HMI karena ekslusivisme yang merasuk dalam tubuh kader dan tidak dapat dinafikkan khittah perjuangan tidak lagi tersakralisasi sehingga tidak salah jika di era kekinian menjadi fase tantangan ke dua bagi internal HMI. 3. Lembaga kekaryaan menjadi bagian vital dalam organisasi dalam rangka menopang pembangunan organisasi, terutama pembinaan kader-kader seutuhnya, merupakan conditio sine qua non untuk mengkaji, menyelidiki, dan meneliti komunikasi di indonesia, sebagai kegiatan untuk menjawab tantangan-tantangan 20 B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang ada sehingga penulis menganggap ada beberapa saran yang urgen dalam menanggapi polemik-polemik dari kesimpulan yang berkembang : 1. Sudah persepsi ketergantungan terhadap senior/alumni adalah pemenang dan semangat independen/mandiri adalah pecundang harus dihilangkan dalam mindset kader-kader, karena pengaruh yang signifikan akan membentuk secara negatif (pragmatis) dalam mindset kader sehingga kemandirian kader dalam berintelektual menjadi rapuh dan sebaliknya, senior/alumni juga janganlah memberikan pendidikan pragmatisme kepada kader melainkan memberikan pendidikan culture kepada kader. seharusnya HMI mampu melakukan satu upaya introspeksi diri di dalam menatap sistem perkaderannya 2. Sudah sepatutnya generasi sekarang mengembangkan kesadaran untuk mengenali fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tersebut, mengambil sikap dan tindakan terhadapnya. Iktiar inilah yang merupakan upaya menghadirkan suatu HMI Baru dan merupakan suatu bentuk rasa tanggung jawab sebagai kader HMI yang cinta akan organisasinya. 3. Lembaga kekaryaan HMI dapat dikatakan sebagai gerbong intelektual dan profesionalisme kader, karena dalam lembaga kekaryaan, karena kader dapat mengasah intelektualitas berdasarkan disiplin ilmu yang digeluti dan lembaga kekaryaan dapat menjadi sarana metakomunikasi yang berlangsung di masyarakat indonesia.
21 DAFTAR PUSTAKA
Agussalim Sitompul, sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam 1947- 1975, Surabaya, Bina Ilmu.
Agussalim Sitompul, Histiografi HMI 1947-1993, Jakarta, Miska Galiza, 2008.
Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI , Suatu Kritik dan Koreksi untuk Kebangkitan Kembali HMI (50 tahun pertama HMI 1947-1997) , Jakarta, Misaka Galiza, 2005.
Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa Antra Moral dan Politik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Jurnal Imiah, Latihan Badan Pengelola Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Jember, Bondowoso, Hand Out Basic Training, 2009.
Jurnal ilmiah disampaikan pada forum sosial budaya, pusat penelitian dan pengabdian masyarakat, universitas islam nusantara, bandung, 8 februari 1985.
Mahyudin H, Kepemimpinan Masyarakat Madani, Jakarta, Nim Press,2004.
Onong uchjana effendy, dinamika komunikasi, Bandung, PT.Remaja Rosdakarya, 1992. Peter L.Berger, Thomas Lucmann, tafsir social atas kenyataan, LP3ES, 1990. 22
Richard J. Robison, "The Transformation of the State in Indonesia," Bulletin of Concerned Asian Scholars, Vol. 3, No. 2 Januari-Maret 1982.
Rivai Veithzal, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, Jakarta, PT.Rajawali Pers, 2003. Saifudin al Mughniy, Pembangkangan Civil Soceity manifestasi politik kaum pinggiran, Makassar, Kalam Nusantara, 2010.
Samuel P.Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta, Pustaka utama grafiti, 2001.
Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada 2004.