You are on page 1of 18

0

Tugas Nephrologi

GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA
STREPTOKOKUS









Oleh :
Dewi Kartika DJ G0005079/B 11 2011
Fitriana Nurwinarsih G0005099/B 12 2011
Novi Imam Persada G0005143/C 21 2011
Teguh Tri W. G0005192/B 25 2011
Triandana Budi Wisesa G0005197/C 19 2011
Bety Nurhajat Jalanita G0007045/C 04 2011
Pramadya Vardhani M. G0007129/C 05 2011



KEPANITERAAN KLINIK SMF / BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2011

1
A. Pendahuluan
Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan
berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi
glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis. Istilah akut,
misal glomerulonefritis akut secara klinik berarti bersifat temporer atau suatu
onset yang bersifat tiba-tiba.
1-3

Glomerulonefritis akut pasca streptokokus didahului oleh infeksi
Streptokokus hemolitikus grup A, jarang oleh streptokokus tipe lain.
Glomerulonefritis akut menyerang semua kelompok umur terutama menyerang
anak pada masa awal usia sekolah dan jarang menyerang anak di bawah 3
tahun.
10

Kasus glomerulonefritis terdapat sekitar 10-15% dari semua penyakit
glomerulus. Sebagian besar kasus (95%) akan sembuh, tetapi 5% diantaranya
dapat mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat.
2
Hipertensi
ringan sampai sedang terlihat pada 6080% pasien GNAPS yang biasanya sudah
muncul sejak awal penyakit. Sekitar 5% pasien rawat inap mengalami hipertensi
ensefalopati.
2,4


B. Definisi
Glomerulonefritis adalah sebuah terminologi yang digunakan untuk menunjukkan
kelainan yang terutama terjadi di glomerulus, bukan pada struktur ginjal lainnya
seperti tubulus, jaringan interstitial, atau sistem vaskular. Glomerulonefritis akut
adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan adanya hematuria yang timbul
mendadak dan proteinuria. Manifestasi klinis lain yang dapat ditemui adalah
hipertensi, edema, dan penurunan fungsi ginjal.
3

Glomerulonefritis akut pasca infeksi menunjukkan adanya suatu reaksi
imunologis yang disebabkan oleh suatu agen. Penyebab yang paling sering adalah
infeksi streptokokus hemolitikus grup A, biasa disebut glomerulonefritis akut
pasca infeksi streptokokus (GNAPS).
1
Glomerulonefritis akut pasca streptokokus
merupakan glomerulonefritis sekunder yang paling sering ditemukan pada anak.
11

2
Hubungan antara glomerulonefritis akut dengan infeksi streptokokus
dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan
timbulnya glomerulonefritis akut setelah terjadinya infeksi skarlatina,
diisolasinya kuman streptokokus beta hemolitikus golongan A, serta
meningkatnya titer anti streptolisin pada serum penderita.
3

Pada pemeriksaan fisik dijumpai hipertensi pada hampir semua pasien
glomerulonefritis pasca streptokokus, dengan tingkat hipertensi beragam bahkan
bisa menimbulkan hipertensi ensefalopati.
8
Hipertensi ensefalopati merupakan
bagian dari hipertensi krisis yaitu tekanan darah yang meningkat mendadak dan
berlebihan dengan akibat terjadi disfungsi serebral. Krisis hipertensi dapat terjadi
baik pada hipertensi akut misalnya pada glomerulonefritis akut pasca
streptokokus atau pada hipertensi kronik.
2


C. Epidemiologi
Insiden aktual GNAPS belum diketahui secara pasti karena tingginya persentase
pasien yang tidak menunjukkan gejala, diperkirakan berkisar antara 50-85%.
Kaplan dkk menemukan bahwa hampir setengah pasien GNAPS selama masa
epidemik adalah asimptomatik.
5-7

Angka kejadian glomerulonefritis akut pasca streptokokus menurun drastis
di Amerika Serikat sejak adanya kemajuan di bidang antibiotika dan kesehatan
masyarakat yang makin baik, tetapi di negara berkembang, glomerulonefritis akut
pasca streptokokus masih tetap merupakan penyakit yang menyerang anak.
Untungnya penyakit ini merupakan penyakit yang self limiting pada sebagian besar
anak dengan kesembuhan yang sempurna, meskipun pada sebagian kecil dapat
mengakibatkan gagal ginjal akut .
1

Glomerulonefritis akut pasca streptokokus dapat terjadi secara epidemik
atau sporadik. Bentuk sporadik bersifat musiman dimana musim dingin dan semi
dikaitkan dengan infeksi pernafasan dan musim panas serta gugur dikaitkan
dengan infeksi kulit pioderma.
4,5,9,12

3
Glomerulonefritis akut menyerang semua kelompok umur terutama
menyerang anak pada masa awal usia sekolah, dilaporkan insiden puncak pada
umur 5 tahun.

Meskipun kejadian GNAPS pernah dilaporkan terjadi pada bayi
umur 8 bulan namun jarang menyerang anak di bawah 3 tahun. Bayi dengan
edema dan proteinuria lebih mungkin ke arah idiopatik nephrosis daripada
GNAPS. Hasil penelitian di multisenter di Indonesia tahun 1988, melaporkan
adanya 170 pasien yang dirawat di Rumah Sakit pendidikan dalam 12 bulan.
Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut
Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan
perempuan berbanding 2 : 1 dan terbanyak pada usia anak 68 tahun (40,6 %).
1,8,9

Kasus glomerulonefritis terdapat sekitar 10-15% dari semua penyakit
glomerulus. Sebagian besar kasus (95%) akan sembuh, tetapi 5% diantaranya
dapat mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat.
3


D. Etiologi
Glomerulonefritis akut pasca streptokokus didahului oleh infeksi
Streptokokus hemolitikus grup A jarang oleh streptokokus tipe lain. Terdapat
lebih dari 80 subtipe kuman streptokokus grup A, dengan protein M dan T di
dinding sel kuman tersebut. Beberapa tipe yang sering menyerang saluran nafas
adalah dari tipe M 1, 2, 4, 12, 18, 25 dan yang menyerang kulit adalah tipe M 49,
55, 57, 60. Kuman streptokokus beta hemolitikus tipe 12 dan 25, dan 49 lebih
bersifat nefritogen daripada yang lain tapi hal ini tidak diketahui sebabnya.
1,2,7


E. Patogenesis
Mekanisme bagaimana terjadinya jejas renal pada GNAPS sampai sekarang belum
jelas, meskipun telah diduga terdapat sejumlah faktor host dan faktor kuman yang
berperan.
2,4

Faktor Host
Fakta yang menunjukkan mengapa hanya 10-15% pasien yang terinfeksi kuman
streptokokus grup A strain nefritogenik menderita GNAPS masih sulit dijelaskan,
4
mungkin oleh karena faktor host yang berperan. Faktor genetik juga berperan,
misalnya alleles HLA-DRW4, HLA-DPA1 dan HLA-DPB1, paling sering
terserang GNAPS. Jadi umur, jenis kelamin, genetik, iklim, sosial ekonomi, gizi
dan sanitasi merupakan faktor resiko terjadinya GNAPS.
2,4,6
Faktor Kuman
Bagian luar kuman streptokokus grup A dibungkus oleh kapsul asam hyaluronat
untuk bertahan terhadap fagositosis dan sebagai alat untuk melekatkan diri pada
sel epitel. Selain itu pada permukaan kuman juga terdapat polimer karbohidrat
grup A, mukopeptide dan protein M. Protein M adalah suatu alpha-helical coiled-
coil dimer yang terlihat sebagai rambut-rambut pada permukaan kuman. Protein M
menentukan apakah strain kuman tersebut bersifat rematogenik atau
nefritogenik.
2,4

GNAPS berawal apabila host rentan yang terpapar kuman streptokokus grup
A strain nefritogenik bereaksi untuk membentuk antibodi terhadap antigen yang
menyerang. Tetapi apa saja komponen antigen streptokokus yang mampu memicu
proses patologik terjadinya GNAPS sampai sekarang belum dapat diidentifikasi
dengan pasti, namun paling tidak telah diketahui 7 komponen antigen streptokokus
yang mungkin berperan, yaitu protein M, endostreptosin, cationic protein,
streptococcal pyrogenic exotosin B, streptokinase, neuramidase, dan nephritis-
associated plasmin receptor. Kemungkinan besar lebih dari 1 agen yang terlibat,
yang bekerja pada stadium yang berbeda.
2,4

Mekanisme Imunopatogenik GNAPS
Terjadinya glomerulonefritis akut diperantarai secara imunologis. Patogenesis
glomerulonefritis akut pasca streptokokus berhubungan dengan reaksi inflamasi
yang disebabkan oleh deposisi komplek imun di sepanjang membran
glomerulus.
1,2,13
Glomerulonefritis akut pasca streptokokus adalah penyakit
imunologik akibat reaksi antigen antibodi yang terjadi dalam sirkulasi atau in situ
dalam glomerulus. Proses inflamasi yang mengakibatkan terjadinya jejas renal
dipicu oleh aktivasi plasminogen menjadi plasmin oleh streptokinase yang
kemudian diikuti oleh aktivasi kaskade komplemen, deposisi kompleks antigen
5
antibodi yang telah terbentuk sebelumnya ke dalam glomerulus, dan antibodi anti
streptokokus yang telah terbentuk sebelumnya berikatan dengan molekul tiruan
(molecul mimicry) dari protein renal yang menyerupai antigen streptokokkus
(jaringan glomerulus yang normal yang bersifat auto antigen bereaksi dengan
circulating Ab yang terbentuk sebelumnya untuk melawan Ag streptokokus).
Sistem imun humoral dan kaskade komplemen akan aktif bekerja apabila
terdapat deposit subepitel C3 dan IgG dalam membran basal glomerulus. Kadar C3
dan C5 yang rendah dan kadar komplemen jalur klasik (C1q, C2 dan C4) yang
normal menunjukkan bahwa aktivasi komplemen melalui jalur alternatif. Deposisi
IgG terjadi pada fase berikutnya yang diduga oleh karena Ab bebas berikatan
dengan komponen kapiler glomerulus, membran basal atau terhadap Ag
streptokokus yang terperangkap dalam glomerulus. Aktivasi C3 glomerulus
memicu aktivasi monosit dan neutrofil. Infiltrat inflamasi tersebut secara
histologik terlihat sebagai glomerulonefritis eksudatif. Produksi sitokin oleh sel
inflamasi memperparah jejas glomerulus. Hiperselularitas mesangium dipacu oleh
proliferasi sel glomerulus akibat induksi oleh mitogen lokal. Gejala
glomerulonefritis akut pasca streptokokus biasanya berlangsung singkat. Dengan
berakhirnya serangan Ag streptokokus, maka reaksi inflamasi akan mereda dan
struktur glomerulus kembali normal.
2,4,5,12










Gambar 1: Mekanisme
imunopatogenik GNAPS
4

6
Pada keadaan normal, peredaran darah serebral senantiasa dijaga dalam batas
tertentu oleh suatu sistem yang disebut autoregulasi. Bila terjadi penurunan
tekanan darah sistemik akan terjadi vasodilatasi, sedangkan sebaliknya akan terjadi
vasokonstriksi pembuluh darah serebral. Bila tekanan darah sistemik meningkat
terus maka kemampuan vasokonstriksi pembuluh darah otak tidak dapat
dipertahankan dan terjadilah peregangan serta vasodilatasi. Keadaan ini
menyebabkan hiperperfusi jaringan otak dan perembesan cairan ke jaringan
perivaskular. Akibatnya terjadi edema serebri dengan gejala hipertensi
ensefalopati.
2

Berbeda dengan orang dewasa, pada anak hipertensi sekunder merupakan
bentuk hipertensi yang paling sering ditemukan. Hampir 80% penyebabnya berasal
dari penyakit ginjal.
1
Tekanan darah (TD) normal pada anak bervariasi, oleh karena banyak
faktor yang mempengaruhinya, antara lain umur, jenis kelamin, tinggi dan berat
badan. Dengan bertambahnya umur, berat badan dan tinggi badan ikut pula
bertambah sampai anak mencapai usia dewasa. Keadaan ini akan berpengaruh
terhadap tekanan darah anak.
1

Baik tekanan darah sistolik maupun diastolik penting untuk diagnosis
hipertensi. Bila ada perbedaan angka TD sistolik dan diastolik yang diambil adalah
TD yang lebih tinggi. TD sistolik ditentukan pada bunyi korotkoff 1 (K1) saat
detak bunyi terdengar paling awal pada stetoskop dan TD diastolik saat bunyi
hilang (K5).
14

Pada publikasi yang keempat dari National High Blood Pressure
Education Program (NHBPEP) Working Group on Children and Adolescent telah
diadakan sedikit perubahan pada definisi dan klasifikasi hipertensi pada anak dan
remaja:
14

1. TD normal TD sistolik atau diastolik <90 persentil menurut gender, umur
dan tinggi badan anak
2. Pra hipertensi TD sistolik atau diastolik 90-95 persentil atau pada anak
remaja TD 120/80 mmHg meskipun <95 persentil dianggap pra hipertensi
7
3. Hipertensi TD sistolik dan atau diastolik 95 persentil menurut gender,
umur dan tinggi badan pada 3 kali pemeriksaan pada saat yang berbeda.
4. Hipertensi stadium 1 TD 95 persentil sampai 99 persentil plus 5 mmHg
5. Hipertensi stadium 2 TD > 99 persentil plus 5 mmHg
Krisis hipertensi bila 50% di atas TD 95 persentil. Pada anak di atas 6 tahun secara
praktis dipakai kriteria TD sistolik > 180 mmHg atau TD diastolik >120 mmHg
atau meskipun <180/120 mmHg tetapi disertai dengan gejala ensefalopati,
dekompensasi jantung atau edema papil pada mata.
14


F. Manifestasi Klinis
Glomerulonefritis akut pasca streptokokus biasanya didahului oleh infeksi
saluran nafas atas atau kulit oleh kuman streptokokus dari strain nefritogenik.
3,15

Onset GNAPS biasanya timbul mendadak. Masa laten antara faringitis dan
timbulnya glomerulonefritis akut pasca streptokokus biasanya 10 hari (1-2
minggu) dan pada penyakit kulit dalam waktu 21 hari (3-6 minggu). Sebagian
besar pasien biasanya tidak ingat kejadian faringitis atau impetigo sebelumnya dan
orang tua pasien biasanya juga tidak memperhatikan adanya penyakit tersebut
karena tidak menganggapnya penting.
1,4,7,9
Gejala glomerulonefritis akut pasca streptokokus sangat bervariasi.
Sebagian besar kasus menunjukkan gejala yang ringan, yaitu tanpa gejala sama
sekali dimana penyakit ditemukan secara kebetulan pada saat pemeriksaan
urinalisis. Sebagian kecil lainnya berupa gejala yang sangat berat dimana anak
tampak sakit parah.
6,9,12,15-17
Manifestasi klinis yang dapat ditemui adalah suatu sindrom nefritis akut
yaitu suatu gejala klinis yang terdiri dari penimbunan cairan (edema perifer, edema
paru, gagal jantung kongestif), hematuria (mikroskopik atau makroskopik),
proteinuria serta penurunan fungsi ginjal (anuria, oliguria, peningkatan kadar
kreatinin darah) juga hipertensi.
1,2,18,19
Edema ditemukan pada sebagian besar
pasien terutama tampak di sekitar mata dan ini merupakan gejala yang lebih jelas
dilihat oleh orang tua daripada dokter. Edema yang terjadi tidak masif seperti pada
8
sindrom nefrotik. Asites ditemukan pada 35% pasien. Edema biasanya hanya
beberapa hari meskipun ada yang menetap selama 2 minggu bendungan sirkulasi
secara klinis bisa nyata dengan takipne dan dispne. Gejala-gejala tersebut dapat
disertai dengan oliguria sampai dengan anuria karena penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG).
7,8
Hipertensi ringan sampai sedang terlihat pada 6080% pasien yang
biasanya sudah muncul sejak awal penyakit. Sekitar 5% pasien rawat inap
mengalami hipertensi ensefalopati. Gejala dini hipertensi ensefalopati yang
merupakan gejala prodromal, terjadi 12-48 jam sebelumnya adalah keluhan sakit
kepala yang makin lama makin hebat, mual, muntah, dan gangguan penglihatan
seperti kabur dan diplopia bahkan sampai buta sementara. Selanjutnya terjadi
mental confusion, penurunan kesadaran yang makin berat, kejang umum atau
fokal.
2,4,7,17,18
Defisit neurologik fokal dapat dijumpai misalnya hemiparesis, afasia,
refleks asimetri, dan nistagmus. Gejala neurologik fokal tersebut bersifat
sementara. Bila kelainan tersebut menetap, maka diagnosis hipertensi ensefalopati
dipertanyakan. Timbulnya hipertensi ensefalopati tidak hanya ditentukan oleh
derajat hipertensi tapi juga oleh kecepatan peningkatan tekanan darah.
2,17

Gejala non spesifik berupa demam, malaise, nafsu makan menurun, lesu,
dan gejala gastrointestinal yaitu mual, muntah, dan nyeri perut. Gejala ini tampak
pada seperempat kasus dan biasanya singkat.
7
Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemui ruam di kulit, artritis/artralgia, ulkus di mulut, otitis media, limfadenopati,
dan hepatosplenomegali.
8,9,18


Gejala-gejala glomerulonefritis akut pasca streptokokus biasanya akan
mulai menghilang secara spontan dalam 12 minggu sejalan dengan perbaikan
fungsi ginjal yang ditandai dengan peningkatan diuresis, edema akan berkurang
dan kadar ureum dan kreatinin darah akan kembali normal.
4
Literatur lain
menyebutkan bahwa manifestasi klinis GNAPS akan menghilang dalam waktu 6-8
minggu.
13
Gross hematuria biasanya menghilang dalam 1-3 minggu, sedangkan
kelainan urin mikroskopik termasuk proteinuria dan hematuria akan menetap lebih
9
lama sekitar beberapa bulan sampai 1 tahun atau bahkan lebih lama lagi.
4,8,15

Kemungkinan nefritis kronis harus dipertimbangkan bila dijumpai hematuria
bersama-sama proteinuria yang bertahan setelah 12 bulan.
9


Gambar Perjalanan penyakit GNAPS
4

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada glomerulonefritis akut pasca streptokokus
meliputi pemeriksaan laboratorium darah, urin, radiologis, dan biopsi
ginjal.
1,2,11,12,15
Pemeriksaan urin sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Urin
menjadi sangat berkurang, pekat dengan warna mulai kelabu sampai merah coklat.
Pada pemeriksaan urinalisis, proteinuria dan hematuria merupakan gambaran
laboratorium yang paling sering ditemukan. Proteinuria berkisar +1 sampai +4.
1

Hematuria mikroskopik ditemukan pada hampir semua pasien (di Indonesia
99,3%), hematuria gros (di Indonesia 53,6%) terlihat sebagai urin bewarna merah
10
kecoklatan seperti warna coca cola. Pemeriksaan mikroskopik urin menunjukkan
banyak sel darah merah dan sel darah putih. Leukosit polimorfonuklear, sel epitel
renal dan torak eritrosit sering dijumpai.
2,4,11
Pemeriksaan darah meliputi pemeriksaan darah rutin, fungsi ginjal,
komplemen, dan bukti adanya infeksi streptokokus. Anemia biasanya tampak
sebagai anemia normositik normokrom. Di Indonesia, 61% menunjukkan
hemoglobin < 10 gr/dl. Anemia disebabkan oleh proses hemodilusi karena pada
keadaan ini terjadi overload cairan.
20
Jumlah sel darah putih dan trombosit normal
meskipun beberapa penderita menunjukkan leukositosis dan jarang sekali
trombositopenia. Sebagian besar pasien glomerulonefritis akut pasca
streptokokkus yang rawat inap (sekitar 50%) menunjukkan kenaikan kadar ureum
dan kreatinin serum. Profil elektrolit biasanya normal, hiperkalemia dan asidosis
metabolik hanya terjadi pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal yang berat.
Kadar C3 (Komplemen ketiga) menurun pada 8090% pasien (di Indonesia
66,7%) dan akan kembali normal dalam 6-10 minggu setelah onset.
2,3,5,10,13

Penurunan kadar C3 tidak berhubungan dengan parahnya penyakit dan
kesembuhan. Lebih dari 90% pasien GNAPS dengan kadar C3 rendah, hanya 10%
pasien GNAPS dengan kadar C3 yang normal.
9,12
Bukti adanya infeksi
streptokokus harus dicari dengan biakan tenggorok dan kulit atau dengan
pemeriksaan kadar ASTO. Kultur positif ditemukan streptokokus hanya terdapat
pada 10-15% kasus GNAPS. Kenaikan titer antibodi terhadap Streptolisin O
ditemukan pada 80% anak dengan riwayat faringitis (di Indonesia 66,7%) terlihat
dalam 1014 hari setelah terjadi infeksi streptokokus dan menetap selama 4-6
minggu.
2,4,9,11,19

Pemeriksaan radiologis pada glomerulonefritis akut pasca streptokokus
meliputi pemeriksaan rontgen thorak dan USG ginjal. Gambaran keduanya tidak
spesifik. Foto thorak umumnya menggambarkan adanya kongesti vena sentral
daerah hilus dan ada tidaknya kardiomegali. Pada USG ginjal terlihat besar dari
ukuran ginjal yang biasanya normal.
2,12,18
11
Pemeriksaan EKG adanya elevasi atau depresi segmen ST dengan
gelombang T yang datar atau terbalik biasanya ditemukan pada pasien dengan
edema tetapi EKG pada umumnya tidak berguna dalam tata laksana GNAPS.
Meskipun demikian, monitoring EKG sangat diperlukan pada kasus yang disertai
dengan oliguria hebat atau gagal ginjal akut.
11,18
Biopsi ginjal dilakukan pada pasien yang mempunyai riwayat keluarga
dengan penyakit ginjal, pasien dengan gambaran atipikal mencakup proteinuria
masif dan persisten (>500 mg/m
2
/hari), disertai hematuria
mikroskopik/makroskopik, kadar C3 yang rendah lebih dari 3 bulan, hipertensi
menetap > 3 bulan, sindrom nefrotik, dan peningkatan kadar kreatinin yang cepat
tanpa ada resolusi. Biopsi ginjal tidak diperlukan pada sebagian besar penderita
GNAPS.
2,4,7,18,22

Pada penderita hipertensi kronk, hipertensi ensefalopati (HE) timbul pada
tingkat hipertensi ang lebih tinggi karena telah ada pergeseran autoregulasi
pembuluh darah otak sedangkan pada anak yang normotensif gejala HE dapat
timbul pada tingkat yang lebih rendah. Pemeriksaan funduskopi pada anak jarang
memperlihatkan gambaran perdarahan maupun edema papil. Pemeriksaan punksi
lumbal menunjukkan peninggian tekanan intrakranial tetapi komposisi cairan
serebrospinal normal. Punksi lumbal tidak perlu dilakukan pada penderita HE
kecuali bila dicurigai adanya perdarahan intrakranial. Pemeriksaan EEG dan foto
kepala tidak membantu dalam menegakkan diagnosis HE tetapi bisa untuk
menyingkirkan kelainan intrakranial yang lain. Dalam keadaan meragukan,
pemeriksaan CT-Scan dan MRI dapat membantu diagnosis HE walaupun
penggunaannya masih sangat terbatas.
14

Kriteria yang paling tepat untuk diagnosis HE adalah hilangnya gejala dengan
cepat setelah tekanan darah diturunkan. Bila hal ini tidak terjadi, maka diagnosis
HE patut diragukan. Diagnosis banding yang perlu dipikirkan adalah perdarahan
ntraserebral atau subarakhnoid, tumor intrakranial, trauma kepala, ensefalitis,
ensefalopati uremik dan toksik.
14

12
Diagnosis glomerulonefritis akut pasca streptokokus ditegakkan bila
ditemukan salah satu manifestasi klinis sindrom nefritis akut, yang terdiri dari
penimbunan cairan (edema perifer, edema paru, gagal jantung kongestif),
hipertensi, hematuria (mikroskopik atau makroskopik), proteinuria serta
penurunan fungsi ginjal (anuria, oliguria, peningkatan kadar kreatinin serum),
yang timbul setelah infeksi streptokokus, peningkatan kadar ASTO, serta
penurunan kadar komplemen C3.
1


H. Penatalaksanaan
Pengobatan terpenting glomerulonefritis akut pasca streptokokus adalah suportif.

Pasien harus beristirahat di tempat tidur hingga gejala hematuria makroskopik,
edema, dan hipertensi menghilang. Makanan rendah garam (1 gram/hari),
diberikan bila ada edema, hipertensi, atau kongesti sirkulasi. Bila kadar ureum
darah tinggi, atau mengatasi hipertensi yang timbul, diberikan makanan rendah
protein yaitu 0,5 1 gram/kgBB/hari.
1,2,9,11

Balance cairan perlu dihitung setiap hari. Pengukuran berat badan merupakan
indikator penting dalam balance cairan. Restriksi cairan tidak perlu dilakukan bila
produksi urin kurang dari 200 300 ml.
4,11

Diuretik diperlukan untuk mengatasi retensi cairan dan hipertensi. Hipertensi
ringan diberikan furosemid dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari per oral, 1-2 kali
sehari.
2
Jika dengan pemberian diuretik, hipertensi belum dapat teratasi, dapat
diberikan inhibitor Enzim Convertase yaitu Captopril dengan dosis 0,3-2
mg/kg/hari. Sebagian besar pasien hanya memerlukan terapi anti hipertensi jangka
pendek (beberapa hari sampai beberapa minggu).
1

Pasien dengan gejala hipertensi ensefalopati memerlukan terapi anti hipertensi
yang agresif.
1
Anak yang datang dengan krisis hipertensi dimana tekanan darah
meningkat tinggi secara tiba-tiba (>160/120 mmHg), diberi Calsium Channel
Blocker (Nifedipin Sublingual) yang diberikan dengan dosis 0,1 mg/kgBB,
dinaikkan 0,1 mg/kgBB/kali setiap 5 menit pada 30 menit pertama. Lalu setiap 15
menit pada 1 jam pertama, selanjutnya setiap 30 menit sampai tekanan darah
13
stabil. Bila sudah stabil, diberikan Nifedipin rumat 0,2- 1 mg/kgBB/hari 3-4 x.
Pengobatan lini kedua adalah pemberian drip Klonidin 0,002 mg/kgbb/8 jam
dalam 100 ml Glukosa 5% (maksimal 0,006 mg/kgbb/8 jam), ditambah Lasix 1
mg/kgbb/kali intravena dan Captopril oral 0,3 mg/kgbb/kali (maksimal 2
mg/kgbb/kali) 2-3 kali/hari. Bila tekanan darah sudah stabil, drip Klonidin
dihentikan, Captopril tetap dilanjutkan.
2,17,23

Dalam melakukan evaluasi penderita hipertensi ensefalopati perlu diingat
bahwa yang terpenting adalah secepatnya menurunkan tekanan darah penderita.
Tahapan penanggulangan hipertensi ensefalopati adalah menurunkan tekanan
darah secepatnya dengan obat anti hipertensi parenteral atau oral dan bila
hipertensi telah dapat diatasi dan telah stabil, pemberian obat parenteral segera
diteruskan dengan obat per oral, mencari dan menanggulangi kelainan organ target
yang lain misalnya kelainan jantung kongestif, dan menanggulangi etiologi
hipertensi.
2

Antibiotik diberikan untuk mencegah penyebaran penyakit dan dapat
menghindari terjadinya penularan dan wabah yang meluas. Antibiotika (Penisilin
atau Eritromisin) selama 10 hari diperlukan untuk eradikasi streptokokus.
Walaupun begitu pemberian terapi Penisilin 10 hari sekarang sudah bukan
merupakan terapi baku emas lagi, sebab resistensi yang makin meningkat dan
sebaiknya diganti dengan antibiotik golongan Sefalosporin yang lebih sensitif
dengan lama terapi yang lebih singkat.
2

Pasien hipertensi ensefalopati yang disertai dengan kejang, memerlukan
antikonvulsan. Terapi yang sudah digunakan secara luas untuk mengatasi kejang
adalah Diazepam dengan dosis 0,3 mg/kgbb intravena atau Phenobarbital dengan
dosis 5-7 mg/kgbb secara intramuskular.
11

Pada gagal ginjal akut harus dilakukan restriksi cairan, pengaturan nutrisi
dengan pemberian diet yang mengandung kalori yang adekuat, rendah protein,
rendah natrium, serta restriksi kalium dan fosfat. Pada keadaan sembab paru atau
gagal jantung kongestif akibat overload cairan perlu dilakukan restriksi cairan,
diuretik, dan kalau perlu dilakukan dialisis akut atau terapi pengganti ginjal.
2,18

14
Edukasi penderita dan keluarganya sangat penting. Perlu dijelaskan tentang
sifat, perjalanan penyakit, dan prognosisnya. Mereka perlu memahami bahwa
meskipun kesembuhan yang sempurna diharapkan, masih ada kemungkinan kecil
terjadinya kelainan yang menetap bahkan memburuk.
Perlu dijelaskan rencana pemantauan selanjutnya. Pengukuran tekanan darah
dan urinalisis diperlukan dalam pemantauan. Pemeriksaan dilakukan dengan
interval 4-6 minggu untuk 6 bulan pertama, kemudian tiap 3-4 bulan sampai
proteinuria dan hematuria menghilang dan tekanan darah normal untuk selama 1
tahun.
2

I. Prognosis
Glomerulonefritis akut pasca streptokokus biasanya sembuh sempurna
meskipun proteinuria memerlukan waktu 3-6 bulan untuk menghilang dan sampai
1 tahun untuk hematuria. Hanya sekitar 1-5% menjadi RPGN (Rapidly
Progressive Glomerulonefritis, glomerulonefritis progresif cepat).
2,7,20

Sembab biasanya menghilang dalam 5-10 hari, tekanan darah kembali normal
dalam 2-3 minggu meskipun kadang-kadang tekanan darah menetap sampai 6
minggu dan kemudian akan kembali normal. Kadar C3 kembali normal dalam 8-
10 minggu pada lebih 95% penderita.
2
Kelainan urin membaik dalam waktu yang
beragam. Proteinuria menghilang dalam 2-3 bulan pertama atau menurun secara
pelan sampai 6 bulan. Proteinuria intermitten atau postural dapat berlangsung
sampai 1-2 tahun setelah onset. Hematuria makroskopik menghilang dalam 1-3
minggu, tetapi dapat terjadi eksaserbasi karena aktivitas fisik.
2

Hematuria mikroskopik biasanya menghilang setelah 6 bulan, tetapi dapat
menetap sampai 1 tahun, dan bahkan pernah dilaporkan adanya hematuria
berkepanjangan sampai 1-3 tahun. Beberapa mengalami jejas yang hebat sehingga
dapat mengakibatkan gagal ginjal kronik dan progresif. Harus dipertimbangkan
terjadinya kelainan ginjal kronik bila hematuria dan proteinuria menetap sampai
lebih 12 bulan. Prognosis penderita glomerulonefritis akut pasca streptokokus
dewasa lebih buruk daripada anak-anak.
2

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Noer MS. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Jakarta: Badan penerbit
IDAI; 2002. h. 323-53.
2. Noer MS. Glomerulonefritis akut pasca streptokokus. Diajukan pada
Simposium dan Workshop Sehari di Hotel Sahid Jaya Makasar tanggal 27-28
Mei 2006.
3. Nini Soemyarso. Glomerulonephritis akut. Diunduh dari : www.yahoo.com
pada tanggal 6 September 2007.
4. Smith JM, Faizan MK, Eddy AA. The child with acut nephrotic syndrome.
Dalam: Web NAJ, Postlethwaite RJ, penyunting. Clinical paediatric
nephrology. Ed. 3. Oxford, Oxford University Press; 2003. h. 367-79.
5. Travis LB. Glomerulonefritis akut pasca infeksi. Dalam: Rudolph AM, wahab
samik, alih bahasa. Buku ajar pediatri. Vol 2. Jakarta, Penerbit EGC; 2007. h.
1487-94.
6. Brouhard BH, Travis LB. Acute postinfectious glomerulonephritis. Dalam:
Edelman CM, penyuting. Pediatric kidney disease. Ed 2. Boston, Little,
Brown company; 1992. h. 1200-15.
7. Barnett HL Gauthier MB, Edelman CM. Clinical acute glomerulonephritis.
Nephrology and urology for the pediatrician. Boston, Little, Brown company;
1988. h. 109-22.
8. Lumbanbatu SM. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus. Jakarta. Sari
Pediatri 2003;5(2);58-63.
9. Rudolph AM, Colin D. Glomerular Disease. Rudolphs Pediatric. Ed 21.
McGraw-Hill; 2003. h. 6465-71.
10. Data Rekam Medis IRNA D IKA. Jumlah Penderita GNAPS yang dirawat di
Bangal IKA periode tahun 2002-2006. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
Unand/RSUP M Djamil Padang. 2006.
16
11. James JA. Acute glomerulonephritis. Renal disease in childhood. Saint louis,
The mosby company; 1986. h. 191-211.
12. Papanagnou D. Glomerulonephritis, acute. Diunduh dari:
http://www.emedicine.com/med/topic879.htm pada tanggal 4 Februari 2008.
13. Richard AC, Schnaper HW. Glomerular disease. Dalam: Green TP, Franklin
WH, Tanz RR, penyunting. Pediatrics just the facts. Norhwestern, University
Feinberg scholl of medicine; 2007. h. 441-44.
14. Alatas H. Hipertensi ensefalopati. Diajukan pada Simposium dan Workshop
Sehari di Hotel Sahid Jaya Makasar tanggal 27-28 Mei 2006.
15. Davis ID, Avner ED. Glomerulonephritis associated with infections. Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelsons textbook of
pediatrics. Ed. 17. Pennsylvania: Saunders; 2004. h. 1740-1.
16. Andreoli SP. Chronic glomerulonephritis in childhood. Dalam: Alon US,
penyunting. The pediatric clinic of north America. Vol 42. Philadelphia,
Saunders company; 1995. h. 1487-99.
17. Kurniawan R, Rauf S. Hypertensive encephalopathy and acute renal failure in
acute post streptococcal glomerulonephritis patient. J med nus. Vol 27 No.3,
Juli-September 2006. h. 177-79.
18. Kei N, Tse C. Acute glomerulonephritis and rapidly progressive
glomerulonephritis. Dalam: Chiu MC, Yap HK. Practical paediatric
nephrology. Singapore, national university of Singapore; 2005. h.103-8.
19. Smith HW. The glomerulopathies. Dalam: Papper S, Ed 2. Boston, The little,
brown company; 1988. h. 171-215.
20. Pudjiastuti P. Anemia pada beberapa penyakit ginjal. Dalam: Pendekatan
praktis pucat: masalah kesehatan yang terabaikan pada bayi dan anak. Jakarta,
Departemen IKA FKUI/RSCM; 2007, h. 49-58.
21. Jaggi P, Shulman ST. Group A streptococcal infections. Diunduh dari:
http://pedsinreview.aappublications.org pada tanggal 17 Oktober 2008.
17
22. Cho BS. Investigation of proteinuria and haematuria. Dalam: Chiu MC, Yap
HK. Practical paediatric nephrology. Singapore, National University of
Singapore; 2005. h. 96-102.
23. Alatas H. Diagnosis and management of hypertensive encephalopathy.
Diajukan pada Simposium dan Workshop Sehari di Hotel Sahid Jaya Makasar
tanggal 27-28 Mei 2006.

You might also like