You are on page 1of 45

MOLA HIDATIDOSA

A. PENDAHULUAN

Mola Hidatidosa adalah salah satu penyakit trofoblas gestasional (PTG), yang
meliputi berbagai penyakit yang berasal dari plasenta yakni mola hidatidosa
parsial dan komplet, koriokarsinoma, mola invasif dan placental site trophoblastic
tumors
1
. Para ahli ginekologi dan onkologi sependapat untuk mempertimbangkan
kondisi ini sebagai kemungkinan terjadinya keganasan, dengan mola hidatidosa
berprognosis jinak, dan koriokarsinoma yang ganas, sedangkan mola hidatidosa
invasif sebagai borderline keganasan
1
.

Frekuensi Mola banyak ditemukan di Negara negara asia, Afrika dan Amerika
latin dari pada di Negara negara barat. Mola hidatidosa merupakan penyakit
wanita dalam masa reproduksi antara umur 15 tahun sampai 45 tahun
26
. Insidensi
mola hidatidosa dilaporkan Moore dkk (2005) pada bagian barat Amerika Serikat,
terjadi 1 kejadian kehamilan mola dari 1000-1500 kehamilan. Mola hidatidosa
ditemukan kurang lebih 1 dari 600 kasus abortus medisinalis. Di Asia insidensi
mola 15 kali lebih tinggi daripada di Amerika Serikat, dengan Jepang yang
melaporkan bahwa terjadi 2 kejadian kehamilan mola dari1000 kehamilan
26
. Di
negara-negara Timur Jauh beberapa sumber memperkirakan insidensi mola lebih
tinggi lagi yakni 1:120 kehamilan.Penanganan mola hidatidosa tidak terbatas pada
evakuasi kehamilan mola saja, tetapi juga membutuhkan penanganan lebih lanjut
berupa monitoring untuk memastikan prognosis penyakit tersebut.

Mola Hidatidosa adalah neoplasma jinak dari sel trofoblast
3,4
. Pada mola
hidatidosa kehamilan tidak berkembang menjadi janin yang sempurna, melainkan
berkembang menjadi keadaan patologik, seberapa jauh tingkat bahaya mola
terhadap pasien, bagaimana tatalaksananya makalah berikut akan mengungkapkan
berdasarkan studi kasus. Hampir semua wanita dengan penyakit trophoblastic
gestasional yang malignan dapat disembuhkan dengan mempertahankan fungsi
reproduksi. Diskusi berikut terbatas pada mola hidatidosa. Kehamilan mola secara
histologis ditandai dengan kelainan vili khorionik yang terdiri dari proliferasi
trofoblas dengan derajat bervariasi dan edema stroma vilus. Mola biasanya terletak
di rongga uterus, namun kadang-kadang terletak di tuba fallopi dan bahkan
ovarium
5
.


B. DEFINISI

Mola Hidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana seluruh villi korialisnya
mengalami perubahan hidrofobik
2,3,4
. Mola hidatidosa dihubungkan dengan
edema vesikular dari vili khorialis plasenta dan biasanya tidak disertai fetus yang
intak. Secara histologis terdapat proliferasi trofoblast dengan berbagai tingkatan
hiperplasia dan displasia. Vili khorialis terisi cairan, membengkak, dan hanya
terdapat sedikit pembuluh darah
5,6


Mola hidatidosa terbagi atas 2 kategori. Yakni komplet mola hidatidosa dan parsial
mola hidatidosa
4,5
. Mola hidatidosa komplet tidak berisi jaringan fetus. 90 %
biasanya terdiri dari kariotipe 46,XX dan 10% 46,XY. Semua kromosom berasal
dari paternal. Ovum yang tidak bernukleus mengalami fertilisasi oleh sperma
haploid yang kemudian berduplikasi sendiri, atau satu telur dibuahi oleh 2 sperma.
Pada mola yang komplet, vili khoriales memiliki ciri seperti buah angur,dan
terdapat tropoblastik hiperplasia
7
. Pada mola hidatidosa parsial terdapat jaringan
fetus. Eritrosit fetus dan pembuluh darah di vili khorialis sering didapatkan. Vili
khorialis terdiri dari berbagai ukuran dan bentuk dengan stroma tropoblastik yang
menonjol dan berkelok-kelok
7
.



Gambar 1. Mola Hidatidosa


C. EPIDEMIOLOGI
26


Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika, Amerika latin
dibandingkan dengan negara negara barat. Di negara negara barat dilaporkan
1:200 atau 2000 kehamilan dinegara negara berkembang 1:100 atau 600
kehamilan. Soejoenoes dkk (1967) melaporkan 1:85 kehamilan, Rs Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta 1:31 Persalinan dan 1:49 kehamilan; Luat Asiregar
(Medan) tahun 1982 : 11 16 per 1000 kehamilan; Soetomo (Surabaya) : 1:80
Persalinan; Djamhoer Martaadisoebrata (Bandung) : 9-21 per 1000 kehamilan.
Biasanya dijumpai lebih sering pada umur reproduksi (15-45 tahun) dan pada
multipara. Jadi dengan meningkatkan paritas kemungkinan menderita mola lebih
besar
.
A. Mortalitas/Morbiditas
Pada pasien dengan mola hidatidosa, 20% kasus berkembang menjadi
keganasan trophoblastik. Setelah mola sempurna berkembang, invasi
uterus terjadi pada 15% pasien dan metastasis terjadi pada 4% kasus.
Tidak ada kasus choriocarcinoma yang dilaporkan berasal dari mola
parcial, walaupun pada 4% pasien dengan mola parsial dapat berkembang
penyakit trofoblastik gestasional persisten non metastatik yang
membutuhkan kemoterapi.

B. Ras
Insiden kehamilan mola beragam diantara kelompok-kelompok etnis dan
biasanya tertinggi pada negara-negara Amerika Latin, Timur Tengah, dan
Asia Timur.

C. Umur
Mola hidatidosa lebih sering terjadi pada puncak umur reproduktif.
Wanita pada umur remaja muda atau premenopausal yang paling beresiko.
Wanita dengan umur 35 tahun keatas memiliki peningkatan resiko 3 kali
lipat. Wanita lebih tua dari 40 tahun mengalami peningkatan sebanyak 7
kali lipat dibandingkan wanita yang lebih mudah. Seberapa banyak partus
sepertinya tidak mempengaruhi resiko.

D. Riwayat
Kekambuhan mola hidatidosa dijumpai pada sekitar 1-2% kasus (miller
dkk,1989). Dalam suatu kajian terhadap 12 penelitian yang total
mencakup hampir 5000 kelahiran, frekuensi mola rekuren adalah 1,3%
(Lorret de mola dan Goldfarb,1995). Kim dkk, 1998 mendapatkan angka
kekambuhan 4,3% pada 115 wanita yang ditindaklanjuti di soul,
korea.Tuncer,dkk 1998, menyimpulkan bahwa mungkin terdapat masalah
oosit primer.

E. Faktor Lain
Peran graviditas, paritas, factor reproduksi lain, status estrogen,
kontrasepsi oral, dan faktor makanan dalam resiko penyakit trofoblastik
gestasional masih belum jelas.
D. PATOFISIOLOGI
1,3,4


Teori terjadinya penyakit trofoblas ada 2, yaitu teori missed abortion dan teori
neoplasma dari Park. Teori missed abortion menyatakan bahwa mudigah mati
pada kehamilan 3-5 minggu(missed abortion) karena itu terjadi gangguan
peredaran darah sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim
dari villi dan akhirnya terbentuklah gelembung-gelembung. Teori neoplasma dari
Park menyatakan bahwa yang abnormal adalah sel-sel trofoblas dan juga
fungsinya dimana terjadi resorbsi cairan yang berlebihan ke dalam villi sehingga
timbul gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian
mudigah.

Sebagian dari villi berubah menjadi gelembung gelembung berisi cairan jernih
merupakan kista kista kecil seperti anggur dan dapat mengisi seluruh cavum
uteri. Secara histopatologic kadang kadang ditemukan jaringan mola pada
plasenta dengan bayi normal. Bias juga terjadi kehamilan ganda mola adalah : satu
jenis tumbuh dan yang satu lagi menjadi mola hidatidosa. Gelembung mola
besarnya bervariasi, mulai dari yang kecil sampai yang berdiameter lebih dari 1
cm.


E. FISIOLOGI
2,3


Untuk menahan ovum yang telah dibuahi selama perkembangan sebutir ovum,
sesudah keluar dari ovarium diantarkan melalui tuba uterin ke uterus (pembuahan
ovum secara normal terjadi dalam tuba uterin) sewaktu hamil yang secara normal
berlangsung selama 40 minggu, uterus bertambah besar, tapi dindingnya menjadi
lebih tipis tetapi lebih kuat dan membesar sampai keluar pelvis, masuk ke dalam
rongga abdomen pada masa fetus. Pada umumnya setiap kehamilan berakhir
dengan lahirnya bayi yang sempurna. Tetapi dalm kenyataannya tidak selalu
demikian. Sering kali perkembangan kehamilan mendapat gangguan. Demikian
pula dengan penyakit trofoblast, pada hakekatnya merupakan kegagalan
reproduksi. Di sini kehamilan tidak berkembang menjadi janin yang sempurna,
melainkan berkembang menjadi keadaan patologik yang terjadi pada minggu-
minggu pertama kehamilan, berupa degenerasi hidrofik dari jonjot karion,
sehingga menyerupai gelembung yang disebut molahidatidosa Sebagian dari
villi berubah menjadi gelembung gelembung berisi cairan jernih merupakan kista
kista kecil seperti anggur dan dapat mengisi seluruh cavum uteri. Secara
histopatologic kadang kadang ditemukan jaringan mola pada plasenta dengan
bayi normal. Bisa juga terjadi kehamilan ganda mola adalah : satu jenis tumbuh
dan yang satu lagi menjadi mola hidatidosa. Gelembung mola besarnya bervariasi,
mulai dari yang kecil sampai yang berdiameter lebih dari 1 cm . Pada ummnya
penderita mola hidatidosa akan menjadi baik kembali, tetapi ada diantaranya yang
kemudian mengalami degenerasi keganasan yang berupa karsinoma.

F. KLASIFIKASI
4,5,6

Mola hidatidosa terbagi menjadi :
1. Mola Hidatidosa Sempurna
Villi korionik berubah menjadi suatu massa vesikel vesikel jernih. Ukuran
vesikel bervariasi dari yang sulit dilihat, berdiameter sampai beberapa
sentimeter dan sering berkelompok kelompok menggantung pada tangkai
kecil. Temuan Histologik ditandai oleh:
- Degenerasi hidrofobik dan pembengkakan Stroma Vilus
- Tidak adanya pembuluh darah di vilus yang membengkak
- Proliferasi epitel tropoblas dengan derajat bervariasi
- Tidak adanya janin dan amnion.

Adapun gejala dari mola hidatidosa sempurna adalah :
Perdarahan vagina : Gejala yang paling sering terjadi pada mola
sempurna yaitu perdarahan vagina. Jaringan mola terpisah dari desidua
dan menyebabkan perdarahan. Uterus dapat menjadi membesar akibat
darah yang jumlahnya besar dan cairan merah gelap dapat keluar dari
vagina. Gejala ini terjadi pada 97% kasus Mola hidatidosa.
Hiperemesis: Pasien juga melaporkan mual dan muntah yang hebat.
Ini diakibatkanpeningkatan kadar human chorionic gonadotropin
(HCG).
Hiperthyroidisme: Sekitar 7% pasien juga datang dengan takikardia,
tremor, dan kulit hangat.

2. Mola Hidatidosa Parsial
Apabila perubahan hidatidosa bersifat fokal dan kurang berkembang, dan
mungkin tampak sebagai jaringan janin. Terjadi perkembangan hidatidosa
yang berlangsung lambat pada sebagian villi yang biasanya avaskular,
sementara villi villi berpembuluh lainnya dengan sirkulasi janin plasenta
yang masih berfungsi tidak terkena. Pasien dengan mola parsial tidak
memiliki manifestasi klinis yang sama pada mola sempurna. Pasien ini
biasanya datang dengan tanda dan gejala yang mirip dengan aborsi inkomplit
atau missed abortion yakni Perdarahan vagina dan hilangnya denyut jantung
janin. Pada mola parsial, jaringan fetus biasanya didapatkan, eritrosit dan
pembuluh darah fetus pada villi merupakan penemuan yang seringkali ada.
Komplemen kromosomnya yaitu 69,XXX atau 69,XXY. Ini diakibatkan dari
fertilisasi ovum haploid dan duplikasi kromosom haploid paternal atau akibat
pembuahan dua sperma. Tetraploidi juga biasa didapatkan. Seperti pada mola
sempurna, ditemukan jaringan trofoblastik hyperplasia dan pembengkakan
villi chorionic.



G. ETIOLOGI

Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui, faktor faktor yang dapat
menyebabkan antara lain
1,2,5
:
1. Faktor ovum : ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi
terlambat dikeluarkan.
2. Imunoselektif dari Tropoblast
3. keadaan sosioekonomi yang rendah
4. paritas tinggi
5. kekurangan protein
6. infeksi virus dan factor kromosom yang belum jelas.


H. GEJALA KLINIS
6,7


a. Amenorrhoe dan tanda tanda kehamilan
b. Perdarahan pervaginam dari bercak sampai perdarahan berat merupakan gejala
utama dari mola hidatidosa, sifat perdarahan bisa intermiten selama berapa
minggu sampai beberapa bulan sehingga dapat menyebabkan anemia defisiensi
besi.
c. Uterus sering membesar lebih cepat dari biasanya tidak sesuai dengan usia
kehamilan.
d. Tidak dirasakan tanda tanda adanya gerakan janin maupun ballotement.
e. Hiperemesis ,pasien dapat mengalami mual dan muntah cukup berat.
f. Preklampsi dan eklampsi sebelum minggu ke 24
g. Keluar jaringan mola seperti buah anggur, yang merupakan diagnosa pasti
h. Tirotoksikosis



I. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
seperti laboratorium, USG dan histologis. Pada mola hidatidosa yang komplet
terdapat tanda dan gejala klasik yakni
2,3,4
:
1. Perdarahan vaginal
Gejala klasik yang paling sering pada mola komplet adalah perdarahan
vaginal. Jaringan mola terpisah dari desidua, menyebabkan perdarahan.
Uterus membesar (distensi) oleh karena jumlah darah yang banyak, dan
cairan gelap bisa mengalir melalui vagina. Gejala ini terdapat dalam 97%
kasus.

2. Hiperemesis
Penderita juga mengeluhkan mual dan muntah yang berat. Hal ini
merupakan akibat dari peningkatan secara tajam hormon -HCG.

3. Hipertiroid
Setidaknya 7% penderita memiliki gejala seperti takikardi, tremor dan
kulit yang hangat.

Kebanyakan mola sudah dapat dideteksi lebih awal pada trimester awal sebelum
terjadi onset gejala klasik tersebut, akibat terdapatnya alat penunjang USG yang
beresolusi tinggi
3,4,5
. Gejala mola parsial tidak sama seperti komplet mola.
Penderita biasanya hanya mengeluhkan gejala seperti terjadinya abortus inkomplet
atau missed abortion, seperti adanya perdarahan vaginal dan tidak adanya denyut
jantung janin
5
. Dari pemeriksaan fisik pada kehamilan mola komplet didapatkan
umur kehamilan yang tidak sesuai dengan besarnya uterus (tinggi fundus uteri).
Pembesaran uterus yang tidak konsisten ini disebabkan oleh pertumbuhan
trofoblastik yang eksesif dan tertahannya darah dalam uterus. Didapatkan pula
adanya gejala preeklamsia yangt erjadi pada 27% kasus dengan karakteristik
hipertensi ( TD > 140/90 mmHg), protenuria (>300mg.dl), dan edema dengan
hiperefleksia. Kejadian kejang jarang didapatkan. Kista theca lutein,yakni kista
ovarii yang diameternya berukuran > 6 cm yang diikuti oleh pembesaran ovarium.
Kista ini tidak selalu dapat teraba pada pemeriksaan bimanual melainkan hanya
dapat diidentifikasi dengan USG. Kista ini berkembang sebagai respon terhadap
tingginya kadar betaHCG dan akan langsung regresi bila mola telah dievakuasi.

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan antara lain kadar beta HCG yang
normal. Bila didapatkan > 100.000 mIU/mL merupakan indikasi dari pertumbuhan
trofoblastik yang banyak sekali dan kecurigaan terhadap kehamilan mola harus
disingkirkan. Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi disertai dengan
kecenderungan terjadinya koagulopati.sehingga pemeriksaan darah lengkap dan
tes koagulasi dilakukan. Dilakukan juga pemeriksaan tes fungsi hati, BUN dan
kreatinin serta thyroxin dan serum inhibin A dan activin
7,8
.

Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan standar untuk
mengidentifikasi kehamilan mola
6,7,8
. Dari gambaran USG tampak gambaran
badai salju (snowstorm) yang mengindikasikan vili khoriales yang hidropik.
Dengan resolusi yang tinggi didapatkan massa intra uterin yang kompleks dengan
banyak kista yang kecil-kecil. Bila telah ditegakkan diagnosis mola
hidatidosa,maka pemeriksaan rontgen pulmo harus dilakukan karena paru - paru
merupakan tempat metastasis pertama bagi PTG. Pemeriksaan histologis
memperlihatkan pada mola komplet tidak terdapat jaringan fetus,terdapat
proliferasi trofoblastik, vili yang hidropik, serta kromosom 46,XX atau 46,XY.
Sebagai tambahan pada mola komplet memperlihatkan peningkatan faktor
pertumbuhan, termasuk c-myc, epidermal growth factor, dan c-erb B-2,
dibandingkan pada plasenta yang normal. Pada mola parsial terdapat jaringan fetus
beserta amnion dan eritrosit fetus
8,9
.

Berdasarkan anamnesis: ada kehamilan disertai gejala dan tanda kehamilan muda
yangberlebihan, perdarahan pervaginam berulang cenderung berwarna coklat dan
kadang bergelembung seperti busa.
Pemeriksaan fisik
6,7

Inspeksi : muka dan kadang-kadang badan kelihatan kekuningan yang disebut
muka mola(mola face).
Palpasi : Uterus membesar tidak sesuai dengan tuanya kehamilan, teraba
lembek Tidak terababagian-bagian janin dan ballotement dan gerakan janin.
Auskultasi : tidak terdengar bunyi denyut jantung janinPemeriksaan dalam :
Memastikan besarnya uterus, Uterus terasa lembek, Terdapat perdarahan
dalam kanalis servikalis.

Hasil Penemuan Fisik
6,7


I) Mola sempurna
1) Ukuran yang tidak sesuai dengan umur gestasi
Pembesaran uterus lebih besar daripada biasanya pada usia gestasi tertentu
merupakan tanda yang klasik dari mola sempurna. Pembesaran tidak
diharapkan disebabkan oleh pertumbuhan trofoblastik berlebih dan darah
yang tertampung. Namun, pasien yang datang dengan ukuran sesuai
dengan umur kehamilan bahkan lebih kecil tidak jarang ditemukan.

2) Preeklampsia: Sekitar 27% pasien dengan mola sempurna mengalami
toxemia ditandai oleh adanya hipertensi (tekanan darah [BP] >140/90 mm
Hg), proteinuria (>300 mg/d), dan edema dengan hyperreflexia. Kejang
jarang terjadi.

3) Kista teca lutein: Merupakan kista ovarium dengan diameter lebih besar
dari 6 cm dan diikuti dengan pembesaran ovarium. Kista ini biasanya tidak
dapat dipalpasi pada pemeriksaan bimanual namun dapat teridentifikasi
dengan USG. Pasien biasanya mengeluhkan nyeri pelvis. Karena adanya
peningkatan ukuran ovarium, terdapat resiko torsi. Kista ini berkembang
akibat adanya kadar beta-HCG yang tinggi.
II) Mola Parsial
1) Lebih sering tidak memperlihatkan tanda fisik. Paling sering ditemukan
dengan USG
2) Pembesaran uterus dan preeklampsia dilaporkan terjadi hanya pada 3%
kasus
3) Kista Theca lutein, hiperemesis, and hiperthyroidism jarang terjadi.

III) Mola Kembar
1) Gestasi kembar dengan mola sempurna dan janin dengan plasenta normal
telah dilaporkan.Kasus bayi lahir dengan sehat (dengan kembar mola)
pada keadaan seperti ini juga pernah dilaporkan.

2) Wanita dengan gestasi normal dan mola beresiko untuk menjadi persisten
dan cenderung dapat bermetastasis. Mengakhiri kehamilan merupakan
pilihan yang direkomendasikan.

3) Kehamilan dapat dilanjutkan selama status maternal stabil, tanpa
perdarahan, thyrotoxikosis,atau hipertensi berat. Pasien sebaiknya diberi
tahu mengenai resiko dari morbiditas maternal akibat komplikasi mola
kembar.

4) Diagnosis genetic prenatal melalui sampling chorionic villus atau
amniosentesis direkomendasikan untuk mengevaluasi kariotype fetus.II
LaboratoriumPengukuran kadar Hormon Karionik Ganadotropin (HCG)
yang tinggi maka uji biologik dan imunologik (Galli Mainini dan Plano
test) akan positif setelah titrasi (pengeceran) : Galli Mainini 1/300 (+) maka
suspek mola hidatidosa
Radiologik

- Plain foto abdomen-pelvis : tidak ditemukan tulang janin
- USG : ditemukan gambaran snow strom atau gambaran seperti badai salju.


Uji Sonde (cara Acosta-sison)
Tidak rutin dikerjakan. Biasanya dilakukan sebagai tindakan awal curretage.

Histopatologik
Dari gelembung-gelembung yang keluar, dikirim ke Lab. PatologiAnatomi

J. DIAGNOSA BANDING
- Kehamilan ganda
- Abortus iminens
- Hidroamnion
- Kario Karsinoma

K. KOMPLIKASI
- Perdarahan hebat
- Keganasan (PTG)
- Perdarahan yang hebat sampai syok
- Perdarahan berulang-ulang yang dapat menyebabkan anemia
- Infeksi sekunder
- Perforasi karena tindakan atau keganasan

L. PENATALAKSANAAN
1,5,6,12,13
.
1. Evakuasia
a. Perbaiki keadaan umum.
b. Bila mola sudah keluar spontan dilakukan kuret atau kuret isap. Bila
Kanalis servikalis belum terbuka dipasang laminaria dan 12 jam kemudian
dilakukan kuret.
c. Memberikan obat-obatan Antibiotik, uterotonika dan perbaiki keadaan
umum penderita.
d. 7-10 hari setelah kerokan pertama, dilakukan kerokan ke dua untuk
membersihkan sisa-sisa jaringan.
e. Histerektomi total dilakukan pada mola resiko tinggi usia lebih dari 30
tahun, Paritas 4 atau lebih, dan uterus yang sangat besar yaitu setinggi
pusat atau lebih.
2. Pengawasan Lanjutan
a. Ibu dianjurkan untuk tidak hamil dan dianjurkan memakai kontrasepsi oral
pil.
b. Mematuhi jadwal periksa ulang selama 2-3 tahun :Setiap minggu pada
Triwulan pertama. Setiap 2 minggu pada Triwulan kedua, Setiap bulan pada
6 bulan berikutnyaSetiap 2 bulan pada tahun berikutnya, dan selanjutnya
setiap 3 bulan.
c. Setiap pemeriksaan ulang perlu diperhatikan :
1. Gejala Klinis : Keadaan umum, perdarahan
2. Pemeriksaan dalam :Keadaan Serviks, Uterus bertambah kecil atau
tidak
3. Laboratorium Reaksi biologis dan imunologis :1x seminggu sampai
hasil negatif 1x2 minggu selama Triwulan selanjutnya1x sebulan
dalam 6 bulan selanjutnya 1x3 bulan selama tahun berikutnya Kalau
hasil reaksi titer masih (+) maka harus dicurigai adanya
keganasan3. Sitostatika Profilaksis Metoreksat 3x 5mg selama 5
hari



PENYAKIT TROFOBLASTIK GESTASIONAL


I. PENDAHULUAN

Penyakit trofoblastik gestasional adalah sekelompok penyakit yang berasal dari
khorion janin.
1,2,3,4,5,6,
Terdiri dari mola hidatidosa, mola invasif, koriokarsinoma
dan tumor trofoblastik plasental site ( PSTT) yang ditandai oleh proliferasi
jaringan trofoblastik yang abnormal.
3
Mola hidatidosa merupakan bentuk jinak
dari penyakit trofoblas gestasional dan dapat mengalami transformasi menjadi
bentuk ganasnya yaitu koriokarsinoma.
2
Koriokarsinoma tidak selalu berasal dari
molahidatidosa namun tidak jarang berasal dari kehamilan normal, prematur,
abortus maupun kehamilan ektopik yang jaringan trofoblasnya mengalami
konversi menjadi tumor trofoblas ganas. Bila seorang wanita menderita
koriokarsinoma dan mempunyai riwayat kehamilan biasa dan mola sebelumnya,
maka dengan pemeriksaan DNA kita dapat menentukan apakah koriokarsinoma ini
berasal dari mola atau kehamilan biasa.
2

Plasental site trofoblastik tumor (PSTT) merupakan bentuk lain dari tumor
trofoblas gestasional (TTG) yang berasal dari sel-sel trofoblas pada tempat
implantasi plasenta, gambaran klinik tidak sama dengan tumor trofoblas
gestasional yang lain. Kelainan ini adalah yang merupakan neoplasma, sementara
yang lain merupakan plasenta yang pembentukannya abnormal. Semua lesi
trofoblastik dikumpulkan pada satu rubrik penyakit trofoblas gestasional (PTG)
tanpa aplikasi istilah patologis tertentu. Tetapi penelitian sitogenetik,
imunohistokimia menunjukkan perbedaan yang jelas dalam etiologi morfologi
dan prilaku klinis setiap lesi. Penelitian ini menunjukkan pentingnya suatu
klasifikasi histologis yang seragam untuk memastikan penanganan klinis yang
cocok. Tetapi istilah PTG tetap memiliki kegunaan klinis karena prinsip
monitoring hCG dalam follow up dan kemoterapi dari penyakit metastatik/
persistennya mirip.
3,4


Di negara-negara yang sudah maju pengelolaan mola hidatidosa dan TTG tidak
merupakan masalah karena sebagian besar telah terdiagnosis pada stadium dini,
sebaliknya di negara-negara yang sedang berkembang karena pada umumnya
diagnosis terlambat maka penyulit-penyulit seperti perdarahan dan tirotoksikosis
masih menjadi salah satu penyebab kematian ibu.
2,3

B. MORFOLOGI DAN IMUNOHISTOKIMIA TROFOBLAS NORMAL

Kehamilan normal adalah suatu allogarft dengan separuh kromosom berasal dari
ibu dan separuh lainnya berasal dari paternal. Sel trofoblas dari kehamilan normal
(sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas) pada awalnya menunjukkan sifat-sifat ganas;
cepat membelah, menginvasi bahkan bermetastasis (kapiler paru). Sesudah 9
bulan serangkaian kejadian terjadi yang memisahkan graft plasenta dari ibu secara
sempurna. Dengan demikian terminasi kehamilan berlangsung dengan baik dan
pertumbuhan sel trofoblas dapat terkontrol dan berhenti secara spontan.
Koriokarsinoma merupakan pertumbuhan yang tak terkontrol dan neoplastik dari
trofoblas; sito dan sinsitiotrofoblas dalam kuantitas yang berbeda.
5,6,7,8


Pada plasenta normal, tumor yang tumbuh berkaitan dengan villi korionik yang
disebut sebagai trofoblas villus dan trofoblas pada lokasi lain disebut trofoblas
ekstravillus. Ada 3 tipe sel yang diketahui, yaitu : sitotrofoblas, sinsitiotrofoblas,
dan trofoblas intermediet. Trofoblas villus terdiri dari sitotrofoblas dan
sinsitiotrofoblas dan sedikit trofoblas intermediet. Sebaliknya trofoblas
ekstravillus yang menginfiltrasi desidua, miometrium dan arteri spiralis di
plasental site terutama terdiri dari trofoblas intermediet dengan sedikit
sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas.
5,6,7,8

Trofoblas ekstravilus terdiri dari sel mononukleasi dengan sitoplasma eosinofilik
padat. Secara imunologis kimia tercat positif untuk hPL & sitokeratin, sedikit
lemah untuk hCG dan untuk plasental alkalin fosfatase (PLAP). Istilah trofoblas
intermediet telah diajukan untuk trofoblas nonvilus. Fungsi dan perbedaan
fisiologis dari tipe-tipe ini masih diteliti.
1


Sitotrofoblas / sel Langhans adalah sel trofoblas germinatif , sementara
sinsitiotrofoblas adalah sel yang sangat berdiferensiasi yang berhadapan dengan
sirkulasi ibu dan menghasilkan hormon plasenta. Trofoblas intermediet memiliki
gambaran morfologi dan fungsional sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas.
5,6,7,8

A. Gambaran mikroskopis
Pada gestasi normal, sitotrofoblas terdiri dari sel epitel primitif yang uniform
dan poligonal seperti berbentuk oval.Sitotrofoblas memiliki nukleus tunggal,
sitoplasma jernih sampai granuler dan batas sel yang jelas dan aktivitas
mitotic terlihat jelas. Sinsitiotrofoblas terdiri dari sel multinuklear, besar,
dengan sitoplasma amfofilik dengan vakuol multiple yang bervariasi
ukurannya dan beberapa dengan lakuna. Nukleus sinsitiotrofoblas berwarna
gelap dan terkadang piknotik dan tidak ada aktivitas mitotik.

Trofoblas intermediet umumnya adalah sel mononuklear, tetapi terkadang ada
juga yang mempunyai inti lebih dari satu. Bentuknya dapat bervariasi, mulai
dari sel polyhedral sampai berbentuk spindel, sel bipolar dengan proses
sitoplasmik. Sitoplasmanya banyak dan berwarna eosinofilik sampai
amfofilik. Vakuolnya kecil dan terpisah dapat ditemukan pada sitoplasma
trofoblas intermediet. Nukleus trofoblas intermediet memiliki batas nukleus
ireguler dan hiperkromatik, terkadang berlobulasi/ membentuk celah yang
dalam. Nukleus trofoblas intermediet lebih kecil dan lebih jelas bila
dibandingkan dengan sitotrofoblas.

Trofoblas intermediet menginfiltrasi desidua, miometrium dan pembuluh
darah, menyelip diantara sel normal. Material fibrinoid eosinofilik terkadang
terkumpul disekitar trofoblas intermediet.
5,6,7,8


B. Imunohistokimia

Sejumlah besar hormon protein, steroid dan eosin seperti hCG, hPL, Pregnancy
spesifik B1 glikoprotein (SP-1), plasental protein G, pregnancy associated
plasma protein A, estradiol, progesterone dan plasental alkaline fosfatase dapat
dilokalisir di plasenta. Kebanyakan produk ini dihasilkan oleh sitotrofoblas.
1.


Trofoblas intermediet mengandung hPL dalam jumlah besar yang mulai pada
hari ke 12 dan tetap ada sampai 6 minggu setelah itu menghilang. Sitotrofoblas
tidak mempunyai hCG/ hPL. Sinsitiotrofoblas mengandung hCG dalam jumlah
besar pada hari ke 12 sampai minggu ke 8-10. Pada plasental site , hPL
membantu membedakan trofoblas intermediet dengan desidua dan sel otot
polos. Karena sel trofoblas juga adalah sel epitel, maka imunohistokimia untuk
keratin juga membantu mengidentifikasi jaringan lain.
5,6,7,8

C. STANDARISASI TERMINOLOGI

Sebelum 1982 dipergunakan berbagai istilah dalam PTG sehingga menyulitkan
perbandingannya. Sebagai upaya untuk menyeragamkan terminologi pada tahun
1983, WHO mengusulkan suatu system yang diterima secara luas. Terminologi
WHO menyatakan bahwa diagnosis bentuk ganas dari PTG ditegakkan
berdasarkan parameter klinis atau biokimiawi dan bukan atas dasar pemeriksaan
histopatologi dan yang lain secara klinis. Umumnya diagnosis histopatologi tidak
diperlukan, karena tumor marker untuk penyakit ini yakni hCG bila diperiksa
dengan cara RIA mempunyai spesifitas dan sensitivitas yang sangat tinggi.
8,9,10,11

A. Klasifikasi histopatologi
1. Mola hidatidosa
2. Mola invasif
3. Koriokarsinoma
4. PSTT

B. Klasifikasi klinis
1. Penyakit trofoblas gestasional
2. Tumor trofoblas gestasional
3. Metastatik trofoblas gestasional

C. Klasifikasi FIGO
Pembagian stadium dari FIGO 1982 sifatnya sederhana dan menggunakan
kriteria yang sama dengan keganasan ginekologi yang lain. Pembagian ini
mengacu pada pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan radiologi dan
tidak menggunakan langkah-langkah rumit yang mungkin tidak dapat
dilakukan dinegara-negara yang sedang berkembang.
9

Tabel 1. Klasifikasi FIGO
Stadium I Tumor semata-mata terdapat dalam uterus
Stadium II Tumor menyebar ke adneksa, atau keluar dari uterus namun
terbatas pada struktur genital
Stadium III Tumor menyebar ke paru-paru dengan atau tanpa penyebaran
ke traktus genitalis
Stadium IV Tumor menyebar ke tempat-tempat lain

Pada tahun 1991, FIGO menambahkan faktor prognostik kedalam sistem staging
anatomik yang klasik dengan faktor prognostik , yaitu nilai hCG urin > 100.000
mIU/ml dan hCG serum > 40.000 mIU/ml dan lamanya waktu dari terminasi
kehamilannya hingga terdiagnosis >6 bulan 15. Staging harus berdasarkan riwayat
kehamilan, pemeriksaan klinis, pendekatan laboratorium dan radiologis.

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan :
1. Riwayat kemoterapi pada PTG sebelumnya.
2. Jika tumor ditempat implantasi plasenta (harus dilaporkan terpisah).
3. Konfirmasi histologik tidak bermakna
15


D. Sistem Hammond
1. Low metastatik
2. Low-risk metastatik
3. High risk metastatik

Klasifikasi klinis dari GTT ( Hammond dkk 1973 )
a. Non- metastatik.

b. Metastatik.

c. Risiko rendah.
1. hCG < 100.00 IU/ urin 24 jam urine atau < 40.000 m IU/ml serum.
2. Gejala ada kurang dari 4 bulan No brain or liver metastases.
3. Tidak ada riwayat kemoterapi.
4. Kehamilan sebelumnya bukan kehamilan aterm ( mola, ektopik,
abortus) .

d. Risiko tinggi .
1. hCG > 100.000 IU/ urin 24 jam atau > 40.000 ml/ml serum.
2. Gejala ada > 4 bulan .
3. Adanya metastasis ke otak atau hepar.
4. Gagal kemoterapi sebelumnya.
5. Kehamilan sebelumnya aterm.

E. Klasifikasi WHO
15

1. Mola hidatidosa :
- Komplet
- Parsial
2. Koriokarsinoma
3. Mola hidatidosa invasif
4. Tumor trofoblas di tempat implantasi plasenta
5. Tumor trofoblas:
- Ekstragragasi plasenta
- Nodul plasenta
6. Lesi trofoblas yang tidak terklasifikasi

F. Sistem Skor WHO
Tabel 2. Sistem Skor WHO
Faktor 0 1 2 4
Usia < 39 > 39 - -
Kehamilan sebelumnya Mola Abortus Aterm
Interval antara
kehamilan dengan
mulainya kemoterapi
<4 4-6 7-12 >12
ABO grup (wanita ><
pria)
OXO
AXO
B
AB

Hcg (mIU/ml) < 10
3
10
3
-10
4
10
4
-10
5
>10
5

Besar tumor, termasuk
uterus (cm)
3-5 >5
Metastasis Lien, ginjal GIT, hepar Otak
Jumlah metastasis 1-4 5-8 >8
Riwayat kemoterapi
sebelumnya
1 obat 2

Klasifikasinya adalah sebagai berikut :
1. Risiko rendah, skor total 4
2. Risiko sedang, skor total 5-7
3. Risiko tinggi, skor total 8

Terapi utama :sitostatika
- risiko rendah diberikan kemoterapi tunggal a.l
1.MTX 20 mg/hari selama 5 hari IM
2.Act-D 12 mg/kg BB selama 5 hari IV
3.etoposid : 200 mg/m2 per oral atau 100 mg/m2 IV dilarutkan dalam NaCl
0,9%

- risiko sedang diberikan kemoterapi kombinasi a.l
1.MTX /lekovorin + act D
2.Act.D + etoposid
3.MTX /lekovorin + act D + klorambusil
4.MTX /lekovorin + act D + siklofosfamid
5.etoposid + MTX/lekovorin + Act-D

- risiko tinggi
1.sisplatinum +etoposid
2.EMA-CO (EMA + onkovin + siklofosfamid)
3.vinkristin, MTX/lekovorin, sisplatinum pengobatan kemoterapi masih
dilanjutkan 2-4 seri setelah kadar B hCG normal

G. Berdasarkan faktor - faktor prognosis
Adanya faktor prognosis yang harus diperhitungkan dalam menetapkan
pilihan terapi, diketahui kegagalan-kegagalan pada pemberian sitostatika
tunggal pada tumor trofoblas gestasional. Ini dapat dipakai untuk
penggolongan pasien; mana yang memerlukan sitostatika tunggal, dan mana
yang memerlukan kemoterapi kombinasi.
4


Dari berbagai analisis multivariat ternyata keadaan-keadaan yang
memperburuk prognosis adalah :
1. Diagnosis yang sangat terlambat ditegakkan
2. Kadar hCG tinggi
3. Kegagalan pemberian kemoterapi sebelumnya
4. Adanya metastasis lain diluar paru-paru dan vagina
5. Jumlah dan ukuran metastasis
6. Jenis kehamilan sebelumnya
7.Mungkin juga tumor dan golongan darah ABO pasien dan
suaminya
9,10,11,13

PLASENTAL SITE TROFOBLASTIK TUMOR

Plasental Site trofoblastik Tumor ( PSTT ) adalah tumor trofoblas non villus yang
menginfiltrasi plasental site pada kehamilan normal,
3
yang terdiri dari trofoblas
intermediet, umumnya jinak tetapi dapat pula ganas, mirip infiltrasi tumor ke
endometrium dan miometrium pada plasental bed dan tidak ada pola bifasik
seperti koriokarsinoma. Ia merupakan bentuk penyakit trofoblast gestasional yang
terjarang.
2


Tumor tumor tipe ini sudah dikenal selama bertahun-tahun dan dikenal dengan
istilah chorioepitelioma atipikal, sincitioma, dan corionepitheliosis. Belakangan
ini, Kurman, Scully & Norris mengemukakan 12 kasus dengan lesi yang
terlokalisir dan kadang-kadang dapat dihilangkan dengan kuretase sederhana.
Mereka mengajukan istilah trofoblastik pseudotumor. Tetapi dalam beberapa
tahun ini telah jelas bahwa tumor ini kadang-kadang bersifat agresif meskipun
terlokalisir dan dapat pula bermetastasis.
6,7


Walaupun diketahui bahwa tumor ini merupakan bentuk atipikal dari
koriokarsinoma tetapi lebih suka digunakan istilah plasental site trofoblastik
tumor yang mencerminkan kesamaan morfologinya dengan trofoblas pada
plasental site.
2


PSTT adalah penyakit yang unik, Marchand pada tahun 1895 dan Ewing tahun
1910 membuat klasifikasi jinak dan ganas dari penyakit trofoblas berdasarkan
hasil observasinya. Lesi ini yang sekarang disebut PSTT secara periodik
ditemukan kembali dan diberi nama baru sejak deskripsi pertama dilaporkan.
Kurman baru-baru ini menamainya sebagai kumpulan jinak dari sinsitiotrofoblas
dan pada tahun 1976 disebutnya sebagai tanda tumor trofoblas. Laporan kasus
berikutnya membicarakan bukti tentang potensi keganasan dengan keluaran fatal
dan tumor ini di namai ulang dengan PSTT pada tahun 1981.
6,7

Tumor ini ditandai dengan populasi sel monomorfik yang terdiri dari sel trofoblas
intermediet. Dari laporan Kurman dkk maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada
2 pola diferensiasi trofoblas yang dapat dikonseptualisasikan. Sitotrofoblas dapat
dianggap sebagai induk sel yang dapat berkembang menjadi sinsitiotrofoblas
yang mensintesis dan mensekresikan beberapa hormon kehamilan.
Konseptualisasi sitotrofoblas sebagai sel induk memunculkan pemahaman
diferensiasi sel di ruang intervillus, sel ini terjadi bersamaan dengan infiltrasi
miometrium sehingga timbul tempat implantasi. Shih dan Kurman melaporkan
bahwa sitotrofoblas dan kaitannya dengan sinsitiotrofoblas serta 2 pola
diferensiasi. Trofoblas intermediet terlihat dikolom T dan ruang intervillus ketika
ia bermigrasi ke lempeng basal dan menginvasi arteri spiralis. Baru-baru ini
ditemukan berdasarkan penelitan menemukan hubungan antara molekul adhesi sel
melanoma dan trofoblas intermediet. Molekul adhesi sel melanoma (MELCAM)
termasuk pada keluarga gen imunologis utama dan dapat di identifikasi dengan
antibodi monoklonal . Molekul adhesi spesifik ini dapat membedakan trofoblas
intermediet dari sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas.
6,7

Tipe sel Trofoblast
berdasarkan
trimester Tipe sel
trofoblast
Trimester I
hCG hPL
Trimester II
hCG
hPL
Trimester III
hCG hPL
Sitotrofoblast - - - - - -
Trofoblast
intermediet
+ ++ - +++ + +/++
Sinsitiotrofoblast ++++ + ++ +++ + +++

A. Gambaran klinis
Spektrum klinis PSTT sangat luas. Tumor ini paling sering ditemukan pada
usia reproduktif yang dapat memperlihatkan amenorea / perdarahan uterus
abnormal beberapa bulan atau beberapa tahun setelah kehamilan normal
(95%), sedikit yang berasal dari abortus atau yang jarang mola hidatidosa.
2,3
Uterus biasanya membesar dan kadar protein hamil serum seperti hCG, hPL
meningkat walaupun hCG jarang setinggi koriokarsinoma.
3
Hasil tes
kehamilan tergantung pada tes yang digunakan, tetapi biasanya memberikan
hasil positif, jarang berhubungan dengan virilisasi.
2
Dengan kuretase akan
diperoleh desidua atau miometrium yang terinfiltasi oleh sel-sel trofoblas
dengan gambaran sitoplasma eosinofilik yang bertumpuk dan nukleus yang
pleomorfik (dapat mononukleus ataupun multinukleus) dan seringkali
bergerombol atau berbentuk tali dan memisahkan serabut otot polos. Akan
sulit, bahkan tidak mungkin untuk membedakan antara reaksi berlebihan
plasental site dengan PSTT pada kuretase endometrium, karena jaringan yang
kurang mencukupi atau adanya nekrotik yang berlebihan.

Pemeriksaan terhadap spesimen histerektomi menunjukkan perbedaan yang
jelas antara PSTT dan koriokarsinoma. PSTT membentuk massa yang
mengalami nekrosis, tetapi perdarahannya kurang menyolok. Keadaan ini
mencerminkan kurangnya invasi vaskuler dan infiltrasinya dominan pada
jaringan intertisial. Prosesnya bahkan dapat menginfiltrasi sampai ke organ
yang berdekatan, seperti ovarium dan parametrium. Metastase jauh dapat
terjadi di peritoneum, hepar, pankreas, paru-paru dan otak. Karena invasi
vaskuler bukan merupakan kriteria keganasan, tampaknya jumlah mitosis > 5
per lapangan pandang besar dapat memprediksi tumor dengan potensi
metastase.
3


B. Temuan makroskopis.

Ukuran lesi bervariasi dari hanya terlihat secara makroskopis sampai
pembesaran noduler yang difus dari miometrium. Terkadang berbatas jelas/
bisa tidak berbatas. Dan dapat polipoid menjulur ke kavum uteri/ hanya di
miometrium. Permukaan irisannya lembut & mengandung area fokal
hemoragik dan nekrosis. Invasi sering meluas ke serosa uteri dan jarang ke
struktur adneksa.
6,7

C. Temuan mikroskopis
Sel predominan pada PSTT adalah trofoblas intermediet dan gambaran
populasi seluler adalah monomorfik. Juga ada sel sinsitiotrofoblas besar
yang tersebar. Sinsitiotrofoblas adalah komponen minor yang terkadang jika
ada dapat memiliki nucleus multinuklear. Sel trofoblas intermediate
menginvasi secara tunggal/ dalam bentuk pita dan lembaran yang ditandai
dengan pemisahan dari serat otot dan grup serat-serat. Walaupun beberapa
tumor menyebabkan destruksi relatif, yang lainnya berkaitan dengan
nekrosis relatif. Banyak sel trofobas intermediet yang berbentuk spindel
sehingga mirip dengan sel otot. Trofoblas intermediet memiliki nukleus
hiperkromatik irreguler dan sitoplasma eosiamfofilik serta terkadang ada
vakuola. Seperti pada implantasinya yang normal, pada tumor ini juga
banyak terdapat fibrinoid eosinofilik ekstraseluler dimana pembuluh darah
diinvasi oleh sel trofoblas dan material fibrinoid. Reaksi desidual atau Arias
stella dapat ditemukan pada endometrium normal yang berdekatan, villi
jarang ada.
6,7


Jarang tumor trofoblas memberikan gambaran histologis PSTT dan
koriokarsinoma, dan bila ada disebut mixed choriocarsinoma /PSTT.
Contoh kasus dengan 50% PSTT dan 50% koriokarsinoma di uterusnya,
tetapi metastase di limfonodus positif untuk koriokarsinoma. Metastase ke
paru dapat terjadi tetapi titer hCG serum tetap rendah, dan pasien ini
meninggal karena penyakit ini.

D. Gambaran ultrastruktur
Morfologi trofoblas intermediet terlihat paling baik pada PSTT. Sel
trofoblas intermediet besar dan memiliki sitoplasma yang banyak, berbentuk
polygonal dan dihubungkan dengan desmosom. Sitoplasmanya kaya akan
organella dan natrium. Dalam bentuk bundle besar filamen intermediet
paranuklear yang membedakan trofobas intermediet dengan sitotrofoblas
dan sinsitiotrofoblas.
6,7

E. Gambaran Ultra sonografi :
Secara USG sukar membedakannya dengan gambaran mola invasif.

F. Gambaran MRI:
MRI memperlihatkan sensitivitas yang cukup tinggi dalam mendeteksi
penyakit PTG yang berlokasi (metastasis) ke uterus, parametria, adneksa
dan forniks vagina dan merupakan satu teknik imaging alternatif pengganti

jika pemakaian zat kontras merupakan kontra indikasi. Baik Doppler USG,
CT maupun MRI mempunyai kemampuan mengidentifikasi pembesaran
abnormal dari arteri uterina sehubungan dengan adanya persisten pelvis
PTG, sehingga tehnik-tehnik ini sudah dapat menggantikan peranan pelvis
arteriografi.
Keuntungan MRI:
1. MRI memakai nonionizing radiation
2. Resolusi kontras jaringan lunak yang baik/ hebat
3. Multiplanar imaging
4. Visualisasi yang baik dari jaringan dan pembuluh darah tanpa
memerlukan zat kontras
5. Merupakan pilihan untuk pasien-pasien yang mengalami alergi dengan
zat kontras berjodium atau dengan kegagalan ginjal

Kekurangan MRI dibanding CT Scan adalah :
1. Biaya relatif lebih mahal
2. Waktu scanning yang relatif lebih panjang/ lama
3. Poorer spatial resolution
4. Degradasi image jika bergerak
5. Tidak dapat dilakukan pada pasien dengan claustrophobiaTidak mampu
memeriksa pasien dengan pacemaker jantung, cochlear implant,
vaskular klips, objek metalik pada mata dan pemakai perangsang syaraf

G. Diagnosis banding
1.Koriokarsinoma: memiliki pola bifasik ( PSTT populasinya monofasik )
2. Sarkoma, Ca diferensiasi jelek, melanoma metastatik.

Gambaran diagnostik kunci untuk PSTT adalah :
1. Adanya invasi pembuluh darah yang jelas dan deposisi ekstensif fibrinoid
2. Untuk hPL (+) difus, untuk keratin + kuat

H. Aplikasi klinis
Tumor ini sering menginvasi melalui miometrium ke serosum sehingga
terjadi perforasi. Kuretase lesi juga dapat menyebabkan perforasi. Tumor
dapat menginvasi sampai ke ligamnetum latum dan ovarium. Prilaku PSTT
adalah enigmatic, walaupun ada invasi dalam, PSTT kebanyakan adalah self
limited. Bisa juga ganas, sedikitnya ada 20 kematian dari 90 kasus sehingga
tingkat mortalitas adalah 5-20%, karena kasusnya jinak maka jarang yang
dilaporkan. Kasus ganas ditandai dengan adanya metastase luas ke paru-
paru, hati, kavum abdomen dan otak. Umumnya PSTT metastatik tidak
merespon terhadap kemoterapi multiagen karena PSTT terdiri dari trofoblas
intermediet maka level hCG akan rendah, hal ini akan kontras dengan
koriokarsinoma.
6,7


Sampai saat ini tidak ada cirri histologis, imunohistokimia atau DNA ploidi
yang dapat diandalkan untuk memprediksi prognostic. Penyakit renal pun
dapat terjadi pada pasien PSTT, proteinuria berat dan hematuria yang diduga
sebagai cirri dari nefrotik sindrm. Biopsi renal menunjukkan deposit
eosinofilik dilumen kapiler yang tercat untuk fibrinogen dam Imunoglobulin
M. Sindroma nefrotik dilaporkan terdapat pada 4 kasus ( 10% kasus yang
dilaporkan )ini tidak terdapat pada bentuk penyakit trofobastik lainnya dan
membaik setelah eradikasi tumor.
8
Fibrin dan IgM dapat ditemukan di dalam
intrakapiler glomerulus, dan DIC dianggap sebagai mekanisme
patogenesisnya.
17


Kepentingan mengenal tumor ini bahwa di satu pihak, kecenderungan
metastasenya yang kecil yang memungkinkan untuk dilakukan pembedahan dan
dipihal lain pada resistensinya terhadap kemoterapi. Tingkat proliferasinya yang
rendah memungkinnya terjadi regresi spontan. Terminologi PSTT digunakan
untuk lesi yang bisa sembuh sendiri. Menurut pengalaman beberapa peneliti 8
lesi yang mengalami regresi sering menunjukkan adanya gambaran hialinisasi
dan kadang-kadang sulit untuk menunjukkan hPL sitoplasma, tetapi epitel sel-
sel trofoblastiknya dapat memperlihatkan antiserum sitokeratin.
17


EVALUASI DIAGNOSTIK

Semua pasien dengan PTG persisten harus dilakukan evaluasi sebelum
pengobatan secara hati-hati, termasuk :
a. Riwayat komplit dan pemeriksaan fisik.
b. Pengukuran nilai hCG serum
c. Fungsi hepar, tiroid dan ginjal
d. Nilai terendah lekosit perifer dan platelet.

Jika metastatik harus diikuti juga dengan :
a. CT scan atau rontgen foto thoraks
b. USG atau Ct scan abdomen dan pelvis
c. CT scan kepala
d. Angiografi selektif dari dari abdominal dan organ pelvis jika ada indikasi.

Ultrasonografi hepar dan CT Scan akan banyak memberikan masukan pada
metastatik ke hepar pada pasien dengan tes fungsi hepar abnormal. CT scan
kepala di anjurkan pada diagnosis dini dari lesi cerebral yang tidak memberikan
gejala. CT Scan dada mungkin menggambarkan mikrometastatis meskipun
dengan rontgen foto thoraks normal. Pada pasien pasien dengan koriokarsinoma
atau penyakit yang bermetastatis, hCG mungkin bissa diukur pada cairan
sebrospinalis untuk menyingkirkan penyebaran cerebral jika pada CT Scan otak
normal. Plasma/ CSF hCG rasio bertendensi menurun < 60 pada adanya
metastatis serebral. Bagaimanapun plasma tunggal/ CSF hCG rasio mungkin tidak
meningkat, sebab perubahan cepat pada hCG plasma tidak mungkin bisa
direfleksikan pada CSF.
18


USG pelvis tampaknya bisa digunakan pada deteksi penyebaran PTG yang
ekstensif dan mungkin juga merupakan identifikasi dari tumor uterus yang
resisten. Sebab USG lebih akurat dan tidak menginvasi dalam mendeteksi tumor
uteri, ini mungkin bisa menolong menyeleksi pasien yang akan dihisterektomi.
18




































Gambar 2. Bagan Diagnosis dan Penatalaksanaan PTG




Diagnosis
Multi agen
kemoterapi
Follow up
hCG serum
Kemoterapi
tunggal
Staging,
klasifikasi resiko
PSTT Koriokarsino
ma
Mola komplit
dan parsial
Mola invasif
Evakuasi
hisap
Pemeriksaan :
Darah lengkap,
USG pelvis, Ro,
CT Scan otak,
USG hepar, liver
(jika ada indikasi)
Menetap atau
titer
meningkat
Normal dlm 6
bln
Resiko tinggi Resiko
rendah
Penatalaksanaan PTG.

1. Stadium I.

Pada pasien dengan stadium I, seleksi penangananya adalah berdasarkan
fertilitas penderita, yaitu : histerektomi + kemoterapi. Jika sistem anak
fertilitas, histerektomi dengan adjuvan agen kemoterapi tunggal mungkin
merupakan pengobatan primer. Kemoterapi adjuvant yang digunakan
harus memenuhi 3 alasan :
a. Mengecilkan penyebaran sel tumor pada saat operasi
b. Mempertahankan level sitotoksik kemoterapi pada peredaran darah dan
jaringan yang merupakan tempat penyebaran tumor pada saat opertasi.
c. Pengobatan metastatis yang tersembunyi yang telah ada pada saat
operasi.
Kemoterapi aman diberikan pada saat histerektomi tanpa peningkatan
risiko perdarahan atau sepsis. Pada 1 seri yang terdiri dari 29 pasien yang
diterapi pada satu institusi dengan histerektomi primer dan adjuvant
kemoterapi tunggal, semuanya menunjukkan remisi komplit tanpa
tambahan terapi. Histerektomi juga selalu dilakukan pada stadium I PSTT.
Sebab PSTT resisten terhadap terapi , histerektomi hanya dilakukan pada
penyakit yang nonmetastatik dan merupakan pengobatan kuratif. Pada
penderita PSTT metastatik yang pernah dilaporkan mengalami remisi
setelah kemoterapi.
18



a. Kemoterapi tunggal
Kemoterapi tunggal lebih baik pada penderita dengan stadium I yang
masih membutuhkan fertilitas. pada suatu penerlitian dengan kemoterapi
tunggal yang diberikan pada 399 pasien dengan stadium I PTG, 373 (
93,5%) mengalami respon komplit. Dua puluh enam pasien yang resisten
mengalami remisi pada kemoterapi kombinasi atau operatif. Pada pasien
yang resisten terhadap kemoterapi tunggal dan masih membutuhkan
sistem reproduksi , dapat diberikan kemoterapi kombinasi. Jika pasien
resisten terhadap kemoterapi tunggal dan kemoterapi kombinasi dan masih
ingin mempertahankan sistem reproduksi dapat dilakukan reseksi uterus
lokal. Jika direncanakan reseksi lokal USG preoperatif, MRI atau
arteriogram mungkin menolong mendefinisikan bagian tumor yang
resisten.
18.

b. Kemoterapi kombinasi
Sejak ditemukannya kemoterapi yang efektif, maka kesembuhan pada
semua pasien dengan PTG risiko rendah dapat diharapkan, tetapi pada
PTG risiko tinggi kesembuhan hanya berkisar 52-89% bahkan dengan
MTX-Actinomisin-D dan Sikloposfamid/ klorambusil (MAC) sebagai
terapi primer PTG risiko tinggi yang metastatik.
2,18


Regimen MEA dari suatu penelitian tanpa siklofosfamid , Vinkristin
adalah kombinasi yang dapat ditolerir dan efektif dalam mengobati wanita
dengan PTG risiko tinggi. Efek samping MEA yang didapatkan adalah
mielosupresi, alopesia reversibel) grade 2-3) dan nausea ( grade 2). Leuko
dan trombositopenia grade 4 terjadi pada 5,3 dan 6,4% dari 94 siklus.
2,18


Pergantian kemoterapi EMA/CO juga dilaporkan efektif dan dapat
ditoleransi untuk pasien PTG risiko tinggi. Laporan terbaru dari RS
Charing Cross terhadap regimen ini menunjukkan 78% remisi komplit,
86% tingkat survival 5 tahun kumulatif dan toksisitas minimal kecuali
untuk keganasan ke2. Uji klinik acak dengan faktor risiko tinggi yang
sama dapat mendefinisikan regimen optimal untuk wanita dengan PTG
risiko tinggi, walaupun agaknya tidak mungkin karena pada penyakit
jarang ini ada tingkat respon yang tinggi terhadap banyak regimen terapi.
18


Baru-baru ini keganasan kedua yang terjadi setelah regimen kemoterapi
yang mengandung etoposide telah dilaporkan. Risiko leukemia mieloid, ca
kolon dan ca mammae secara bermakna meningkat. Walaupun mekanisme
keganasan kedua setelah kemoterapi sekuensial/ kombinasi dengan
etoposide belum diketahui, pasien yang diberi etoposide perlu di follow up
lebih ketat.
2


2. Stadium II dan stadium III.

Pasien dengan risiko rendah diterapi dengan kemoterapi tunggal, dan
pasien dengan risiko tinggi dengan kemoterapi kombinasi primer yang
intensif.
a.. Metastasis ke pelvis dan vagina
Pada penelitian dengan 26 pasien stadium II yang diterapi dengan
kemoterapi tunggal memberikan remisi komplit sebanyak 16 dari
18 ( 88,9%) pada penderita dengan risiko rendah. Kontrasnya hanya
2 dari 8 orang yang mempunyai risiko tinggi mengalami remisi
dengan kemoterapi tunggal dan lainnya dengan kemoterapi
kombinasi.

Metastasis vagina mungkin menyebabkan perdarahan yang hebat
sebab mempunayai vaskuler yang banyak. Ketika perdarahan ini
substansial akan dapat dikontrol dengan melokalisir vagina atau
dengan lokal eksisi yang luas. Embolisasi Arteriografi arteri
hipogastrika mungkin bisa mengontrol perdarahan metastasis
vagina.
18

b. Metastasis ke paru-paru.
Dari penelitian terhadap 130 pasien dengan stadium III yang
diterapi 129 (99%) menunjukkan remisi komplit. Remisi
gonadotropin diinduksi dengan kemoterapi tunggal pada 71 dari 85
( 83,5%) pasien dengan risiko rendah. Semua pasien yang resisten
terhadap kemoterapi tunggal sebagian mengalami remisi dengan
kemoterapi kombinasi. Torakotomi merupakan batas pemanfaatan
pada stadium III. Jika pasien mengalami metastasis pulmo yang
persisten dan diberikan kemoterapi intensif, bagaimana pun
torakotomi mungkin bisa mengeksisi fokus yang resisten. Pada
penderita resisten yang telah dilakukan torakotomi, kemoterapi
harus diberikan pada postoperatif untuk mengobati mikrometasis
yang tersembunyi.
18,19,20,21


c. Histerektomi.
Histerektomi mungkin dilakukan pada pasien dengan metastasis
untuk mengontrol perdarahan uterus atau sepsis. Selanjutnya pada
pasien-pasien yang tumornya meluas, histerektomi mungkin secara
substansial menghambat tumor trofoblas dan membatasi untuk
pemberian kemoterapi.
18,19,20,21

d. Follow-up
Semua pasien dengan stadium I sampai stadium III harus difollow-
up dengan :
1. Pengukuran hCG tiap minggu sampai kadarnya normal
selama 3 minggu berturut-turut.
2. Pengukuran hCG setiap bulan sampai nilainya normal 12
bulan berturut-turut.
3. Kontrasepsi yang efektif selama interval follow-up
hormonal.
18,19


3. Stadium IV

Pasien-pasien stadium IV mempunyai risiko terbesar untuk tumbuh secara
progresif cepat dan tidak respon terhadap terapi multimodalitas. Semua
pasien stadium IV harus diterapi secara primer dengan kemoterapi
intensif dan penggunaan radioterapi yang selektif dan pembedahan.
18

Protokol pemberian EMA-CO :

Kemoterapi EMA-CO diformulasikan oleh Newlands dan Baghsawe,
yaitu dengan menggunakan Etoposide, MTX dosis tinggi dengan asam
folat, Actinomisin D, Cyclophosphamide, dan Vincristin, atau beberapa
variasi dari obat-obatan tersebut merupakan obat terpilih yang digunakan
untuk pasien-pasien dengan PTG risiko tinggi. Jika terdeteksi metastatis
ke otak, dosis infus MTX harus dinaikkan 1 mg/m2 dan 30 mg asam folat
diberikan setiap 12 jam selama 3 hari mulai pada 32 jam setelah pemerian
infus inisial.
18,19


Pada tahun 1984, laporan utama Baghsawe ternyata 83% angka harapan
hidup pada penderita yang hanya diterapi dengan EMA-CO. Laporan dari
Charing Cross Hospital berdasarkan penelitiannya mendapatkan 80%
dengan respon komplit dan angka harapan hidup 82% dengan efek toksis
yang minimal. Schink dan kawan-kawan melaporkan juga bahwa hasil
yang didapatkannya sangat baik.
18,19

Kemoterapi lain untuk PTG adalah cisplatin, bleomisin dan ifosfamide.
Obat-obatan ini digunakan pada kombinasi dengan etoposide atau
vinblastin untuk meningkatkan penyembuhan pada beberapa penderita
dengan kegagalan pada terapi awal. Penggunaan dosis tinggi kemoterapi
dan G-SCF mungkin merupakan menejemen penting untuk penderita ini.
19


Toksisitas yang signifikan lebih banyak pada kemoterapi kombinasi
dibandingkan dengan kemoterapi tunggal. Reaksi toksis adalah sama
untuk MTX dan actinomisin D kecuali alopesia , nausea dan muntah-
muntah mungkin lebih berat dan supresi sumsum tulang adalah bermakna.
Vinkristin mungkin menyebabkan neurotoksisitas. Bleomisin mungkin
menyebabkan perubahan kulit dan demam dan dosis kumulatifnya
tergantung toksisitas terhadap paru-paru. Batas toksisitas Cisplatin adalah
neuropathi periperal atau ototoksisitas, meskipun insufisiensi renal yang
progresif bisa terjadi. Ifosfamide mungkin menyebabkan somnolen dan
koma seperti sistitis hemoragik.
20


Baru-baru ini dilaporkan mayoritas pasien menunjukkan respon parsial
terhadap EMA-CO, lalu jelaslah dibutuhkan regimen yang lebih kuat.
Pasien dengan PSTT metastatik dan rekuren yang menunjukkan respon
komplit dan durabel terhadap Etoposide, MTX, Dactinomisin dan
etoposide cisplatinum (EMA-EP).
Sebagai contoh diberikan :
Hari 1: 100 mg/m2 etoposide + 0,5 mg daktinomisin 100 mg/m2
MTX IV bolus + 200 mg/m2 asam folat selama 24 jam

Hari 2: 100 mg/m2 etoposide + 0,5 mg daktinomisin diberikan setiap
14 hari .
Pada hari ke 8 diterapi dengan 1 mg/m2 vinkristin dan 600 mg/m2
sitokan (EMA-CO). Setelah 2 siklus hCG tidak bisa dideteksi. Siklus
tambahan lalu diberikan.Pasien secara klinis bebas dari penyakit
dengan level hCG normal selama 6 bulan, lalu level hCG nya
meningkat sampai 181 mIU/ml. Terapi diberikan lagi dengan 100
mg/m2 etoposide pada hari ke 1 dan 0,5 mg daktinomisin pada hari ke
1&2, 1000mg/m2 MTX selama 24 jam pada hari pertama diikuti
dengan pemberian asam folat, dan pada hari ke 8 diberikan 150 mg/m2
etoposide & 75 mg/m2 sisplatinum ( EMA-EP). Regimen ini diulang
setiap 14 hari. Setelah 4 siklus hCGnya turun < 5mIU/ml. Lalu
diberikan 2 siklus tambahan. Terjadi efek samping mukositis dan
netropenia yang menyebabkan dosis pada siklus ke 3& 4
diturunkan.Tiga tahun setelah kemoterapi tidak ada bukti penyakit
lain.
2,25


METASTASIS PSTT

Sejak publikasi pertama tentang potensi malignansi PSTT, maka semakin banyak
perhatian yang diberikan pada tumor yang jarang ini. Perilaku klinis yang sangat
luas spektrumnya serta jarangnya tumor ini ditemukan ditambah dengan
kurangnya sensitifitas level hCG serum dalam memprediksi rekurensi dan
penyebarannya menyebabkan laporan yang ada hanya bersifat anekdotal.

Yang paling penting bagi klinisi adalah tingginya tingkat mortalitas karena
metastasis PSTT.. Penggunaan kemoterapi multi agen dengan dosis intensif,
intervensi dini ketika penyakit metastatik ditemukan, tehnik pencitraan untuk
menetapkan penyebaran penyakit/ operasi untuk penyakit yang terlokalisir dan
penggunaan faktor pertumbuhan yaitu Granulosyt Colony Stimulating Factor (
G-SCF), adalah dasar dari perawatan klinis dari PSTT pada pasien dengan PSTT
metastatik.
2,3


Dari tinjauan literatur, keluaran klinis pada PSTT metastatik sangat bervariasi,
tetapi yang jelas tidak ada pasien dengan metastatik ke otak yang bertahan.
Hitung mitotik rendah tidaklah prediktif untuk penyakit metastatik dan waktu
dosis awal sampai terjadinya metastasis dapat berlangsung dalam tahunan.
Laporan terbaru juga menunjukkan bahwa terapi operasi adjuvan dapat kuratif
bila penyakit metastatik dipelvis diangkat semuanya.

Strategi klinis uhtuk PSTT sayangnya masih anekdotal. Tetapi adalah kewajiban
dokter untuk menentukan seberapa luas penyakit dengan bantuan MRI / CT
Scan. hCG serum dimonitor dan sayangnya pengukuran hPL tidak cukup
membantu. Histologi PSTT tidaklah prediktif untuk menilai keluaran yang akan
datang. Penelitian lanjut yang menilai antibodi molekuler MEL-CAM mungkin
penting dalam memprediksi keluaran klinis dimasa depan.

Ketika diagnosis dibuat dengan dilatasi dan kuretase dan pemeriksaan metastatik
tidak ditemukan, terapi konservatif dapat dilakukan pada pasien yang ingin
mempertahankan fertilitasnya, tetapi tetap ada risiko metastasis, sehingga
pemeriksaan metastasis haruslah termasuk CT/ MRI, USG transvaginal uterus
dan follow up. Pada pasien yang tidak mempermasalahkan fertilitas, histerektomi
adalah primer. Strategi klinis pada pasien dengan penyakit metastatik adalah
untuk menghilangkan fokus metastatik, meminimalisir toksisitas dan mencegah
progresi penyakit . Strategi terapi multimodul yang direncanakan didasarkan
pada fakta bahwa rekurensi lokal dan penyakit persisten dapat dibuang dengan
operasi dan penyebaran sistemik tetap dapat merespon kemoterapi multi agen.
18,19,26,27


Regimen kemoterapi awal harus dimulai dengan EMA-CO yang menunjukkan
respon komplit. Dukungan faktor pertumbuhan seperti GSCF/ tipe faktor
pertumbuhan lain dapat diperlukan, dan harus digunakan di awal terapi untuk
menghindari penundaan terapi. Dasar strategi klinis pada penyakit metastatik
PSTT adalah pengunaan info yang didapati dari terapi PTG yang risiko
metastatisnya tinggi, karena itulah konsep kemoterapi dosis intensif dapat
diaplikasikan seperti pada PTG risiko tinggi, dosis kemoterapi sering dibatasi
oleh toksisitas hematologis, sehingga kontrol dosis dan penjadualan dosis harus
ditangani dengan dukungan faktor pertumbuhan yang cocok.
18,19,26


Harterbach dkk meneliti GSCF 5 ug/kg/hari yang diberikan pada setiap siklus
dan dilanjutkan sampai netropenia absolut> 10.000/ mm3. Ia memberikan terapi
pada 3 pasien dengan korio ca dan 1 dengan PSTT, kesimpulan yang didapatnya
adalah dukungan faktor perumbuhan sangat membantu dalam mencapai
intensitas dosis yang tinggi. Terjadinya metastasis ke otak adalah tanda
prognostik yang jelek, tetapi terapi dengan pembedahan dan kemoterapi
intratekal walaupun belum terbukti patut dicoba.

Penangan klinis PSTT harus termasuk penilaian tempat penyakit metastatik dan
pengawasan berlanjut untuk hCG. Jika pasien diterapi dengan terapi
konservatif ( tanpa histerektomi ), pencitraan uterus harus dilakukan melalui
USG transvaginal / MRI. Sebaliknya jika penyakit metastatik ditemukan,
diagnosis dini dikombinasi dengan kemoterapi intensif multimodal ditambah
dukungan faktor pertumbuhan dapat memberikan respon komplit yang lama.
18,19

PSTT memerlukan terapi yang agresif walau hanya sedikit data yang
mendukung. Ekstrapolasi data untuk keputusan klinis dari PTG berisiko tinggi
untuk metastatik harus dilakukan dan digunakan sebagai panduan terapi
intervensi. Reseksi penyakit pelvis dapat membantu dalam mencapai remisi
jangka panjang yang efektif, penggunaan kemoterapi multi agen di kombinasi
dengan dukungan faktor pertumbuhan adalah penting dalam mencapai remisi
jangka panjang yang efektif pada penyakit metastatik luas.
18,19,20,21





















DAFTAR PUSTAKA


1. Bratakoesoema DS. Perkembangan diagnosis klasifikasi dan pengelolaan
penyakit trofoblas gestasional masa kini. Bandung: Kumpulan Makalah
Ilmiah PIT POGI XI Semarang 1999: 339-358

2. Matsui H, Suzuka K, Itsuka Y, Seki K, Sekiya S. Combination
chemotherapy with methotrexate, etoposide, and actinomycin-D for high
risk gestational trophoblastic tumors. Gynecol Oncol 2000, 78; 28-31


3. Aziz MF. Penyakit trofoblas gestasional. Pokja Gab; 1-9

4. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H. Mola hidatidosa. Dalam: Wiknjosastro H,
Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu kandungan . Edisi ke 2. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1997; 262-268


5. Kurman RJ, Mazur MT. Gestational trophoblastic disease. Diagnosis of
endometrial biopsies and curettings. New York: Springer, 1995; 63-88

6. Kurman RJ. Blausteins pathology of female genital tract. 4 th eds. New
York: Springer-Verlag, 1994; 1049-1093


7. Paradinas FJ. Pathology In: Hancock BW, Newlands IS, Berkowitz RS.
Gestational trophoblastic disease. London: Chapman & Hall Medical, 1997;
44 67

8. Berkowitz RS, Goldstein DP. Gestational trophpblastic disease. In: Berek
GS, Adashi EY, Hillard PA. Novaks gynecology. 12
th
ed. Baltimore:
Williams & Wilkins, 1996; 1261-1282


9. FIGO. Special report on gynecologic cancer 2000. Int J gynecol Oncol.
2000: 70; 249-253

10. Novak ER, Jones GS. Novaks texbook of gynecology. 6 th ed. Baltimore:
The Williams & Wilkins Company, 1961: 605-637


11. Hidayat T. Proses invasi dan metastasis serta hubungannya dengan terapi
kanker. Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/ RS Dr. Cipto mangunkusumo. Pertemuan Ilmiah bagian Patologi
Anatomi FKUI/RSCM, 1995; 1-10

12. Disaia PJ, Creasman WT. Clinical gynecology oncology. 3
rd
ed. Toronto:
Mosby company, 1989; 214-239


13. Delgado G. Penyakit trofoblastik. Dalam : Schein PS. Seri skema diagnosis
dan penatalaksanaan onkologi. Saputra L. Jakrta: Binarupa aksara, 1997;
126-127

14. Kim SJ. Epidemiology In: Hancock BW, Newlands IS, Berkowitz RS.
Gestational trophoblastic disease. London: Chapman & Hall Medical, 1997;
28-42


15. Mose JC. Assesment of choriocarcinoma and gestational trophoblastic
disease by color dopler ultrasound. Dalam: Kumpulan makalah seminar
ultrasonografi onkologi. Bagian/ SMF Obstetri & Ginekologi FKUP/RSHS
Bandung; Jakarta 1999; 1-5

16. Rizal E. Magnetic resonance imaging (MRI) pada onkologi ginekologi; 1-4


17. Randall TC, Coukos G, Wheeler JE, Rubin SC. Prolonged remision of
recurrent, metastatic placental site trophoblastic tumor after chemotherapy..
Gynecol Oncol 2000, 76; 115-117

18. Newlands E, presentation and management of persistent gestational
trophoblastic disease and gestational trophoblastic tumors in the UK. In:
Hancock BW, Newlands IS, Berkowitz RS. Gestational trophoblastic
disease. London: Chapman & Hall Medical, 1997; 143-155


19. Lurain JR, Treatment of metastatic gestational trophoblastic tumors. In:
Hancock BW, Newlands IS, Berkowitz RS. Gestational trophoblastic
disease. London: Chapman & Hall Medical, 1997; 199-209

20. Sevin BU, Kochli OR. Gestational trophoblastic disease. In: Sevin,
Knapstein PG, Kochli OR. Multimodality therapy in gynecologyc oncology.
New York: Thieme, 1995; 65-77
21. Berek JS. Neoplasia trofoblas gestasi. Dalam: Hacker NF, Moore JG.
Esensial obstetri dan ginekologi. Edisi 2 Jakarta: Hipokrates, 1995; 679-687

22. Rosai J. Surgical pathology. 8
th
ed. St Louis: Mosby; 1540-1549

23. Supriyono. Penggunaan kemoterapi secara rasional. Dalam:Penggunaan
kemoterapi pada kanker ginekologik. Jakarta: Universitas Indonesia, 2001;
1-35

24. Berkowitz RS, Goldstein DP. Gestational trophblastic disease. In: Berek
GS, Adashi EY, Hillard PA. Novaks gynecology. 12
th
ed. Baltimore:
Williams & Wilkins, 1996; 1261-1282

25. Matsui H, Iitsuka Y, Seki K, Sekiya S. Etoposide ( VP 16) as first line,
single agent chemotherapeutic drug in low risk gestational trophoblastic
disease. Int J Gynecol Cancer 1997; 7; 400-404

26. Martaadisoebrata D. Problematik penyakit trofoblas ditinjau dari segi
epidemiologi dan pengelolaannya. Bandung: Universitas Padjadjaran, 1980:
1-103

You might also like