You are on page 1of 35

LAPORAN KASUS

LUKA BAKAR

Disusun oleh:
DINI NOVIANI PRATIWI
030.08.084

PEMBIMBING:
Dr. BAJUADJI Sp.B

KEPANITERAAN KLINI ILMU BEDAH


RSUD KOJA
PERIODE 17 DESEMBER 2012- 23 FEBRUARI 2013
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA 2012
0

BAB I
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PASIEN

Nama

: An. S

Usia

: 4 tahun

Jenis Kelamin

: Perumpuan

Alamat

: Cilincing

Agama

: Islam

Suku

: Betawi

Nama orangtua

Pekerjaan orangtua:
Masuk RS
II.

: Rabu, 19 Desember 2012 pukul 11.00


ANAMNESIS

Dilakukan secara autonamnesis pada hari rabu tanggal 19 Desember 2012 pukul 11.00
WIB di Poli Klinik Bedah RSUD KOJA
Keluhan utama
Kedua tungkai dan kaki melepuh dan terasa nyeri karena terkena ledakan gas sejak 3
minggu sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat penyakit sekarang
Tiga minggu SMRS, saat pasien sedang memperbaiki gas yang rusak di salah satu rumah
makan. Tiba-tiba tabung gas tersebut meledak dan menyambar kearah kaki pasien tersebut.
Kemudian pasien berusaha keluar sambil berlari. Namun pasien tetap tersambar api
walaupun sangat sebentar. Lalu kemudian api yang menyambar dibagian kakinya di
padamkan dengan kain basah. Terkurung dalam ruangan (-), menghirup asap (-), sesak
nafas (-), terbentur di kepala (-), pingsan (-), pusing (-), mual (-), muntah (-)
Pasien kemudian dibawa ke klinik terdekat dan diberi perawatan luka dengan
menggunakan salep, kemudian dirujuk ke RSUD Koja dan diberikan perawatan luka dan
obat suntik. Pasca kejadian tersebut pasien sudah 2 kali kontrol ke poli klinik bedah RSUD
Koja untuk dilakukan perawatan luka.
Riwayat penyakit dahulu
1

Alergi obat, hipertensi, DM, dan asma disangkal.


Riwayat penyakit keluarga
Alergi obat, hipertensi, DM, dan asma disangkal
III.

PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran compos mentis


Primary survey
A : Bebas, rambut atau bulu hidung tidak ada yang terbakar
B : Spontan, frekuensi nafas 20x/menit, reguler, kedalaman cukup
C : Akral hangat, CRT < 2, tekanan darah 100/80 mmHg, frekuensi nadi 112x/menit,
suhu afebris
D : GCS 15, E4M6V5
Secondary survey
Kepala&wajah

: deformitas (-)

Mata

: konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik

Leher

: pembesaran KGB (-)

THT

: sekret (-)

Dada

: simetris dalam diam dan pergerakan

Jantung : BJ I & II normal, murmur (-), gallop (-)


Paru

: vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-

Abdomen

: datar, lemas, NT (-), tdk teraba massa, BU (+) normal, H/L ttb

Ekstremitas

: lihat status lokalis

Status lokalis
2

Kepala dan leher

:0%

Trunkus anterior

:0%

Trunkus posterior

:0%

Esktremitas atas kanan

:0%

Ekstremitas atas kiri

:0%

Ekstremitas bawah kanan : 9 %


Ekstremitas bawah kiri

:9%

Genitalia

:0%+

Total

: 18 %

Edema,
kemerahan, luka
merah mudah
tampak basah,
tampak epitelisasi
dan regenerasi

PEMERIKSAAN PENUNJANG
RUTIN

Darah/Hb

:+

Hemoglobin

: 13,3 g/dL

Bilirubin

:-

Hematokrit

: 40 %

Urobilinogen

: 0,2

Leukosit

: 16700/L

Nitrit

:-

Trombosit

: 343.000/L

Esterase leukosit

:-

MCV

: 79 fl

MCH

: 27 pg

MCHC

: 34 g/dL

Ureum

: 23 mg/dL

Lactate

: 2,7 mmol/L

Creatinin

: 0,8 mg/dL

PT

: 10,8 detik

SGOT

: 21 U/L

PT kontrol

: 12 detik

SGPT

: 17 U/L

APTT

: 30,8 detik

Albumin

: 3,6 gr/dL

APTT kontrol

: 33,5 detik
GDS

: 105 mg/dL

URINALISIS

Na

: 144 meq/L

Sedimen

: 4,3 meq/L

Cl

: 108 meq/L

KIMIA DARAH

Sel epitel

:+

Leukosit

: 1-2

Eritrosit

: 10-11

Silinder

:-

pH

: 7,35

Kristal

:-

pCO2

: 35,2 mmHg

Bakteri

:-

pO2

: 103,8 mmHg

SO2%

: 97

ANALISA GAS DARAH

Berat jenis

: 1.015

BE ect

: -6,1 mmol/L

pH

:5

Beb

: -4,6

Protein

:-

SBC

: 20,6

Glukosa

:-

HCO3

: 19,7 mmol/L

Keton

:+

TCO2

: 20,7 mmol/L

DIAGNOSIS KERJA
Luka bakar grade II 18% ec. api
TATALAKSANA
-

Pro rawat inap


IVFD: Hes 6%
Nacl 3%

12 tts/menit
500 ml/24 jam

Vitamin C 2x1 gr
Ketolorac 3x30mg
Oralit 2x200 mL
Rawat luka dengan madu dan salep MEBO
Bersihkan luka, beri MEBO dengan ketebalan 0,5 1 mm, lalu tutup xenograft dan
balut luka dengan kasa. Ganti balut tiap hari.

PROGNOSIS
Quo ad Vitam

: Bonam

Quo ad Functionam

: Bonam

Quo ad Sanactionam : Bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI KULIT
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, merupakan
organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh,
pada orang dewasa sekitar 2,7 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 1,9 meter persegi.
Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis
kelamin. Kulit tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian
medial lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki,
punggung, bahu dan bokong.
Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah
epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ectoderm sedangkan lapisan dalam
yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau korium yang merupakan suatu
lapisan jaringan ikat.
1. EPIDERMIS
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri dari epitel
berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit, Langerhans dan merkel. Tebal
epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan
dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi
regenerasi setiap 4-6 minggu.
Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam):
1. Stratum Korneum
Terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti.
2. Stratum Lusidum
Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal telapak kaki dan telapak tangan.
Tidak tampak pada kulit tipis.
3. Stratum Granulosum
Ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang intinya ditengah dan sitoplasma terisi
oleh granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin. Terdapat sel
Langerhans.
4. Stratum Spinosum
Terdapat berkas-berkas filament yang dinamakan tonofibril, dianggap filamen-filamen
tersebut memegang peranan penting untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi
6

terhadap efek abrasi. Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan
mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum basale dan stratum
spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi. Terdapat sel Langerhans.
5. Stratum Basale (Stratum Germinativum)
Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel
epidermis secara konstan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke
permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan faktor lain. Merupakan satu lapis sel yang
mengandung melanosit.
Fungsi Epidermis : Proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin,
pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel
Langerhans).
2. DERMIS
Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap sebagai True
Skin. Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan menghubungkannya
dengan jaringan subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal pada telapak kaki sekitar
3 mm.
Dermis terdiri dari dua lapisan :
Lapisan papiler; tipis mengandung jaringan ikat jarang.
Lapisan retikuler; tebal terdiri dari jaringan ikat padat.
Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen berkurang dengan
bertambahnya usia. Serabut elastin jumlahnya terus meningkat dan menebal, kandungan
elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut
kolagen saling bersilangan dalam jumlah besar dan serabut elastin berkurang menyebabkan
kulit terjadi kehilangan kelemasannya dan tampak mempunyai banyak keriput.
Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga mengandung
beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat.
Kualitas kulit tergantung banyak tidaknya derivat epidermis di dalam dermis.
Fungsi Dermis : struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan
shearing forces dan respon inflamasi
3. SUBKUTIS
Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan
lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan
jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan
keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi.
7

Fungsi Subkutis Fungsi Subkutis / hipodermis : melekat ke struktur dasar, isolasi panas,
cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock absorber.

VASKULARISASI KULIT
Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk pleksus terletak antara lapisan
papiler dan retikuler dermis dan selain itu antara dermis dan jaringan subkutis. Cabang
kecil meninggalkan pleksus ini memperdarahi papilla dermis, tiap papilla dermis punya
satu arteri asenden dan satu cabang vena. Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah
tapi mendapat nutrient dari dermis melalui membran epidermis
FISIOLOGI KULIT
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh diantaranya
adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier infeksi,
mengontrol suhu tubuh (termoregulasi), sensasi, eskresi dan metabolisme. Fungsi proteksi
kulit adalah melindungi dari kehilangan cairan dari elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet
dan sebagai barier dari invasi mikroorganisme patogen. Sensasi telah diketahui merupakan
salah satu fungsi kulit dalam merespon rangsang raba karena banyaknya akhiran saraf
seperti pada daerah bibir, puting dan ujung jari. Kulit berperan pada pengaturan suhu dan
keseimbangan cairan elektrolit. Termoregulasi dikontrol oleh hipothalamus. Temperatur
perifer mengalami proses keseimbangan melalui keringat, insessible loss dari kulit, paruparu dan mukosa bukal. Temperatur kulit dikontrol dengan dilatasi atau kontriksi
pembuluh darah kulit. Bila temperatur meningkat terjadi vasodilatasi pembuluh darah,
kemudian tubuh akan mengurangi temperatur dengan melepas panas dari kulit dengan cara
mengirim sinyal kimia yang dapat meningkatkan aliran darah di kulit. Pada temperatur
8

yang menurun, pembuluh darah kulit akan vasokontriksi yang kemudian akan
mempertahankan panas.
PENYEMBUHAN LUKA
Penyembuhan luka adalah suatu bentuk proses usaha untuk memperbaiki kerusakan
yang terjadi. Komponen utama dalam proses penyembuhan luka adalah kolagen disamping
sel epitel. Fibroblas adalah sel yang bertanggung jawab untuk sintesis kolagen. Fisiologi
penyembuhan luka secara alami akan mengalami fase-fase seperti dibawah ini :
a. Fase inflamasi
Fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Segera setelah terjadinya
luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan retraksi disertai reaksi
hemostasis karena agregasi trombosit yang bersama jala fibrin membekukan darah.
Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi
Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-derived
Growth Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-) yang berperan
untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial dan fibroblas.
Keadaan ini disebut fase inflamasi. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan
akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan mengeluarkan
mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF -1) yang juga dikeluarkan
oleh makrofag. Adanya TGF 1 akan mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen.
b. Fase proliferasi atau fibroplasi
Fase ini disebut fibroplasi karena pada masa ini fibroblas sangat menonjol
perannya. Fibroblas mengalami proliferasi dan mensintesis kolagen. Serat kolagen yang
terbentuk menyebabkan adanya kekuatan untuk bertautnya tepi luka. Pada fase ini mulai
terjadi granulasi, kontraksi luka dan epitelialisasi
c. Fase remodeling atau maturasi
Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses penyembuhan
luka. Terjadi proses yang dinamis berupa remodelling kolagen, kontraksi luka dan
pematangan parut. Aktivitas sintesis dan degradasi kolagen berada dalam keseimbangan.
Fase ini berlangsung mulai 3 minggu sampai 2 tahun . Akhir dari penyembuhan ini
didapatkan parut luka yang matang yang mempunyai kekuatan 80% dari kulit normal Tiga
fase tersebut diatas berjalan normal selama tidak ada gangguan baik faktor luar maupun
dalam.

DEFINISI DAN ETIOLOGI


Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan
radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi
yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.
Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung maupun tidak
langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada kecelakaan rumah
tangga. Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia juga
dapat menyebabkan luka bakar. Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat
dibagi menjadi:

Paparan api
o Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan
menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar
pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki
kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh
atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.
o Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas.
Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami
kontak. Contohnya antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat

seperti solder besi atau peralatan masak.


Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama
waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang
disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya.
Pada kasus kecelakaan, luka umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu sama
lain dipisahkan oleh kulit sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka
umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam pola sirkumferensial dengan

garis yang menandai permukaan cairan.


Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil. Uap
panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap serta
dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat

menyebabkan cedera hingga ke saluran napas distal di paru.


Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan oklusi
jalan nafas akibat edema.
10

Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh. Umumnya
luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan percikan api

dan membakar pakaian dapat menyebabkan luka bakar tambahan.


Zat kimia (asam atau basa)
Radiasi
Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.

EPIDEMIOLOGI
Luka bakar adalah penyebab utama kedua dari cedera kecelakaan dan kematian
pada anak anak dibawah usia 14 tahun. Luka bakar yang disebabkan oleh agens termal
adalah luka bakar yang paling sering terjadi dan umumnya didapur atau kamar mandi.
Luka bakar karena listrik dan bahan kimia biasanya terjadi pada kelompok usia anak todler.
Tiga perempat dari semua luka bakar diduga dapat dicegah. ( Betz, 2009 )
KLASIFIKASI LUKA BAKAR
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu tinggi,
adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung menjilat tubuh,
baju yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling aman
adalah yang terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis seperti nilon dan dakron, selain
mudah terbakar juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi lengket sehingga
memperberat kedalaman luka bakar.
Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka bakar
derajat I, II, atau III:

Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak jaringan
untuk dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya sembuh dalam 57 hari dan dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai eritema
dan timbul dengan keluhan nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh luka
bakar derajat I adalah sunburn.

11

Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat
epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Jaringan tersebut
misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut.
Dengan adanya jaringan yang masih sehat tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3
minggu. Gambaran luka bakar berupa gelembung atau bula yang berisi cairan
eksudat dari pembuluh darah karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai
rasa nyeri. Apabila luka bakar derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik,
dapat timbul edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga cedera
berkembang menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat III.
Superficial partial thickness:
o Luka bakar meliputi epidermis dan lapisan atas dari dermis
o Kulit tampak kemerahan, oedem dan rasa nyeri lebih berat daripada luka bakar
grade I
o Ditandai dengan bula yang muncul beberapa jam setelah terkena luka
o Bila bula disingkirkan akan terlihat luka bewarna merah muda yang basah
o Luka sangat sensitive dan akan menjadi lebih pucat bila terkena tekanan
o Akan sembuh dengan sendirinya dalam 3 minggu ( bila tidak terkena infeksi ),
tapi warna kulit tidak akan sama seperti sebelumnya.
Deep partial thickness
o Luka bakar meliputi epidermis dan lapisan dalam dari dermis
o disertai juga dengan bula

12

o permukaan luka berbecak merah muda dan putih karena variasi dari vaskularisasi
pembuluh darah( bagian yang putih punya hanya sedikit pembuluh darah dan yang
merah muda mempunyai beberapa aliran darah
o luka akan sembuh dalam 3-9 minggu.

Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau jaringan
yang lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel yang dapat menjadi
dasar regenerasi sel spontan, sehingga untuk menumbuhkan kembali jaringan kulit
harus dilakukan cangkok kulit. Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri maupun
bula, karena pada dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki persarafan sudah
tidak intak.

13

BERAT DAN LUAS LUKA BAKAR


Berat luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia dan kesehatan
pasien sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Adanya trauma inhalasi juga
akan mempengaruhi berat luka bakar.
Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas 46 oC. Luasnya
kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya kontak. Luka bakar
menyebabkan koagulasi jaringan lunak. Seiring dengan peningkatan suhu jaringan lunak,
permeabilitas kapiler juga meningkat, terjadi kehilangan cairan, dan viskositas plasma
meningkat dengan resultan pembentukan mikrotrombus. Hilangnya cairan dapat
menyebabkan hipovolemi dan syok, tergantung banyaknya cairan yang hilang dan respon
terhadap resusitasi. Luka bakar juga menyebabkan peningkatan laju metabolik dan energi
metabolisme.
Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya
meningkat, dan penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas luka bakar dinyatakan
dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat untuk menentukan
luas luka bakar, yaitu:
Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas telapak
tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar hanya
dihitung pada pasien dengan derajat luka II atau III.

Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa


Pada dewasa digunakan rumus 9, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung,
pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan,
paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%.
Sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu menaksir luasnya
permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa.

14

Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala
anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena
perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10
untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk anak.

Metode Lund dan Browder


Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh di
kepala pada anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas permukaan

15

pada anak. Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh
pada anak dapat menggunakan Rumus 9 dan disesuaikan dengan usia:
o Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso
o

dan lengan persentasenya sama dengan dewasa.


Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap tungkai
dan turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.

Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the percentage of body surface area affected
by burns in children.

PEMBAGIAN LUKA BAKAR


1. Luka bakar berat (major burn)
a. Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas usia 50
tahun
b. Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir pertama
c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
d. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan luas luka
bakar
e. Luka bakar listrik tegangan tinggi
f. Disertai trauma lainnya
16

g. Pasien-pasien dengan resiko tinggi


2. Luka bakar sedang (moderate burn)
a. Luka bakar dengan luas 15 25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat III
kurang dari 10 %
b. Luka bakar dengan luas 10 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa > 40
tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %
c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang tidak
mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum
3. Luka bakar ringan
a. Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa
b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka, tangan,
kaki, dan perineum
PATOFISIOLOGI LUKA BAKAR
Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh
kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di
dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas
menyebabkan edema dan menimbulkan bula yang mengandung banyak elektrolit. Hal itu
menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka
bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan
ke bula yang terbentuk pada luka bakar derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng
luka bakar derajat III.
Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh
masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan
gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan
darah menurun dan produksi urin yang berkurang. Pembengkakan terjadi pelan-pelan,
maksimal terjadi setelah delapan jam. Pada kebakaran ruang tertutup atau bila luka terjadi
di wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap atau uap panas yang
terisap. Edema laring yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas
dengan gejala sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat
jelaga.
Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. CO akan mengikat
hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda
17

keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang
berat terjadi koma. Bila lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi
serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini ditandai dengan
meningkatnya diuresis.
Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang merupakan
medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini
sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami
trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik.
Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari dari kulit penderita sendiri,
juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan
rumah sakit. Infeksi nosokomial ini biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak
yang sudah resisten terhadap berbagai antibiotik.
Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang berasal
dari kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi invasi kuman Gram
negatif, Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan eksotoksin protease dari toksin
lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi
pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman
memproduksi enzim penghancur keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan
granulasi membentuk nanah.
Infeksi ringan dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang mudah terlepas
dengan nanah yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai dengan keropeng yang kering
dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang mula-mula sehat menadi nekrotik;
akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat II menjadi derajat III. Infeksi kuman
menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan
menimbulkan trombosis sehingga jaringan yang didarahinya nanti.
Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan kuman dan
terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar demikian disebut luka
bakar septik. Bila penyebabnya kuman Gram positif, seperti stafilokokus atau basil Gram
negatif lainnya, dapat terjadi penyebaran kuman lewat darah (bakteremia) yang dapat
menimbulkan fokus infeksi di usus. Syok sepsis dan kematian dapat terjadi karena toksin
kuman yang menyebar di darah.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh dengan
meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel yang
18

masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal
rambut. Luka bakar derajat II yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang
nyeri, gatal, kaku dan secara estetik jelek. Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh
sendiri akan mengalami kontraktur. Bila terjadi di persendian, fungsi sendi dapat berkurang
atau hilang.
Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut, peristalsis
usus menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase mobilisasi, peristalsis dapat
menurun karena kekurangan ion kalium.
Stres atau badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat dapat
menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang
sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling.
Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan protein
menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolisme tinggi dan
infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang rusak juga memerluka kalori tambahan.
Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama didapat dari pembakaran protein dari
otot skelet. Oleh karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan
menurun. Dengan demikian, korban luka bakar menderita penyakit berat yang disebut
penyakit luka bakar. Bila luka bakar menyebabkan cacat, terutama bila luka mengenai
wajah sehingga rusak berat, penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat. Jadi
prognosis luka bakar ditentukan oleh luasnya luka bakar.
FASE PADA LUKA BAKAR
Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka bakar,
yaitu:
1.

Fase awal, fase akut, fase syok


Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada saluran nafas
yaitu gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan adanya eskar melingkar di
dada atau trauma multipel di rongga toraks; dan gangguan sirkulasi seperti

2.

keseimbangan cairan elektrolit, syok hipovolemia.


Fase setelah syok berakhir, fase sub akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini
merupakan dampak dan atau perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama
dan masalah yang bermula dari kerusakan jaringan (luka dan sepsis luka)

19

3.

Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan.
Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut hipertrofik,
kontraktur dan deformitas lain yang terjadi akibat kerapuhan jaringan atau struktur
tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama

Pembagian zona kerusakan jaringan:


1. Zona koagulasi, zona nekrosis
Merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi protein) akibat
pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan jaringan ini mengalami nekrosis
beberapa saat setelah kontak. Oleh karena itulah disebut juga sebagai zona
nekrosis.
2. Zona statis
Merupakan daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona koagulasi. Di
daerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit
dan leukosit, sehingga terjadi gangguam perfusi (no flow phenomena), diikuti
perubahan permeabilitas kapilar dan respon inflamasi lokal. Proses ini berlangsung
selama 12-24 jam pasca cedera dan mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan.
3. Zona hiperemi
Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi
tanpa banyak melibatkan reaksi selular. Tergantung keadaan umum dan terapi yang
diberikan, zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan, atau berubah
menjadi zona kedua bahkan zona pertama.
INDIKASI RAWAT INAP PASIEN LUKA BAKAR
Menurut American Burn Association, seorang pasien diindikasikan untuk dirawat
inap bila:
1. Luka bakar derajat III > 5%
2. Luka bakar derajat II > 10%
3. Luka bakar derajat II atau III yang melibatkan area kritis (wajah, tangan, kaki,
genitalia, perineum, kulit di atas sendi utama) risiko signifikan untuk masalah
kosmetik dan kecacatan fungsi
4. Luka bakar sirkumferensial di thoraks atau ekstremitas
5. Luka bakar signifikan akibat bahan kimia, listrik, petir, adanya trauma mayor
lainnya, atau adanya kondisi medik signifikan yang telah ada sebelumnya
6. Adanya trauma inhalasi

20

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan:
1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
2. Urinalisis
3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit
4. Analisis gas darah
5. Radiologi jika ada indikasi ARDS
6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS dan MODS
PENATALAKSANAAN LUKA BAKAR
Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama adalah
mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan mendukung sirkulasi
sistemik. Intubasi endotrakea dilakukan pada pasien yang menderita luka bakar berat atau
kecurigaan adanya jejas inhalasi atau luka bakar di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak
dilakukan bila telah terjadi edema luka bakar atau pemberian cairan resusitasi yang
terlampau banyak. Pada pasien luka bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih dipilih
daripada trakeostomi.
Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi awal yang
tidak dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia sistemik pada pasien luka
bakar menimbulkan kecurigaan adanya jejas tersembunyi. Oleh karena itu, setelah
mempertahankan ABC, prioritas berikutnya adalah mendiagnosis dan menata laksana jejas
lain (trauma tumpul atau tajam) yang mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka
bermanfaat untuk mencari trauma terkait dan kemungkinan adanya jejas inhalasi.
Informasi riwayat penyakit dahulu, penggunaan obat, dan alergi juga penting dalam
evaluasi awal.
Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai. Pemeriksaan
radiologik pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat membantu mengevaluasi
adanya kemungkinan trauma tumpul.
Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi. Terlepas dari
luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan transfer pasien adalah
mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan, melepas dari eskar yang
mengkonstriksi.
Tatalaksana resusitasi luka bakar
21

a. Tatalaksana resusitasi jalan nafas:


1. Intubasi
Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan manifestasi
obstruksi. Tujuan intubasi mempertahankan jalan nafas dan sebagai fasilitas
pemelliharaan jalan nafas.
2. Krikotiroidotomi
Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu agresif dan
menimbulkan

morbiditas

lebih besar dibanding intubasi.

Krikotiroidotomi

memperkecil dead space, memperbesar tidal volume, lebih mudah mengerjakan


bilasan bronkoalveolar dan pasien dapat berbicara jika dibanding dengan intubasi.
3. Pemberian oksigen 100%
Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika terdapat patologi jalan nafas
yang menghalangi suplai oksigen. Hati-hati dalam pemberian oksigen dosis besar
karena dapat menimbulkan stress oksidatif, sehingga akan terbentuk radikal bebas
yang bersifat vasodilator dan modulator sepsis.
4. Perawatan jalan nafas
5. Penghisapan sekret (secara berkala)
6. Pemberian terapi inhalasi
Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih baik didalam lumen jalan nafas
dan mencairkan sekret kental sehingga mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi
umumnya menggunakan cairan dasar natrium klorida 0,9% ditambah dengan
bronkodilator bila perlu. Selain itu bias ditambahkan zat-zat dengan khasiat tertentu
seperti atropin sulfat (menurunkan produksi sekret), natrium bikarbonat (mengatasi
asidosis seluler) dan steroid (masih kontroversial)
7. Bilasan bronkoalveolar
8. Perawatan rehabilitatif untuk respirasi
9. Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk memperbaiki kompliansi paru
b. Tatalaksana resusitasi cairan
Resusitasi cairan diberikan dengan tujuan preservasi perfusi yang adekuat dan
seimbang di seluruh pembuluh darah vaskular regional, sehingga iskemia jaringan
tidak terjadi pada setiap organ sistemik. Selain itu cairan diberikan agar dapat
meminimalisasi dan eliminasi cairan bebas yang tidak diperlukan, optimalisasi status
volume dan komposisi intravaskular untuk menjamin survival/maksimal dari seluruh
22

sel, serta meminimalisasi respons inflamasi dan hipermetabolik dengan menggunakan


kelebihan dan keuntungan dari berbagai macam cairan seperti kristaloid, hipertonik,
koloid, dan sebagainya pada waktu yang tepat. Dengan adanya resusitasi cairan yang
tepat, kita dapat mengupayakan stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi
fisiologik dalam persiapan menghadapi intervensi bedah seawal mungkin.
Resusitasi cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti. Ada beberapa
cara untuk menghitung kebutuhan cairan ini:

Cara Evans
1. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam
2. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam
3. 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam
Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan
dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari
pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.

Cara Baxter
Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL
Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan
dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari
pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.

c.

Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan sejak
dini dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi
dapat melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung
10-15% protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal
ini dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili
usus. Dengan demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu
mencegah terjadinya SIRS dan MODS.

Perawatan luka bakar


Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar digunakan morfin
dalam dosis kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan maintenance
5-20 mg/70 kg setiap 4 jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2 mg/kg setiap 4 jam).

23

Tetapi ada juga yang menyatakan pemberian methadone (5-10 mg dosis dewasa) setiap 8
jam merupakan terapi penghilang nyeri kronik yang bagus untuk semua pasien luka bakar
dewasa. Jika pasien masih merasakan nyeri walau dengan pemberian morfin atau
methadone, dapat juga diberikan benzodiazepine sebagai tambahan.
Terapi pembedahan pada luka bakar
1. Eksisi dini
Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris (debridement)
yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari (biasanya hari ke 5-7) pasca cedera
termis. Dasar dari tindakan ini adalah:
a.

Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan


dibuangnya jaringan nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak akan
berlangsung lebih lama dan segera dilanjutkan proses fibroplasia. Pada daerah
sekitar luka bakar umumnya terjadi edema, hal ini akan menghambat aliran darah
dari arteri yang dapat mengakibatkan terjadinya iskemi pada jaringan tersebut
ataupun menghambat proses penyembuhan dari luka tersebut. Dengan semakin
lama waktu terlepasnya eskar, semakin lama juga waktu yang diperlukan untuk

b.

penyembuhan.
Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi
komplikasi luka bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas jaringan nekrosis
yang melepaskan burn toxic (lipid protein complex) yang menginduksi

c.

dilepasnya mediator-mediator inflamasi.


Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya proses
angiogenesis yang terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini mengakibatkan
banyaknya darah keluar saat dilakukan tindakan operasi. Selain itu, penundaan
eksisi akan meningkatkan resiko kolonisasi mikro organisme patogen yang akan
menghambat pemulihan graft dan juga eskar yang melembut membuat tindakan
eksisi semakin sulit.
Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian cairan

melalui infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka bakar derajat II
dalam dan derajat III. Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan juga skin grafting
(dianjurkan split thickness skin grafting). Tindakan ini juga tidak akan mengurangi
mortalitas pada pasien luka bakar yang luas. Kriteria penatalaksanaan eksisi dini
ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:

24

Kasus luka bakar dalam yang diperkirakan mengalami penyembuhan lebih dari

3 minggu.
Kondisi fisik yang memungkinkan untuk menjalani operasi besar.
Tidak ada masalah dengan proses pembekuan darah.
Tersedia donor yang cukup untuk menutupi permukaan terbuka yang timbul.

Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh posterior.
Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.
Eksisi tangensial adalah suatu teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka lapis
demi lapis sampai dijumpai permukaan yang mengeluarkan darah (endpoint). Adapun
alat-alat yang digunakan dapat bermacam-macam, yaitu pisau Goulian atau Humbly
yang digunakan pada luka bakar dengan luas permukaan luka yang kecil, sedangkan
pisau Watson maupun mesin yang dapat memotong jaringan kulit perlapis (dermatom)
digunakan untuk luka bakar yang luas. Permukaan kulit yang dilakukan tindakan ini
tidak boleh melebihi 25% dari seluruh luas permukaan tubuh. Untuk memperkecil
perdarahan dapat dilakukan hemostasis, yaitu dengan tourniquet sebelum dilakukan
eksisi atau pemberian larutan epinephrine 1:100.000 pada daerah yang dieksisi. Setelah
dilakukan hal-hal tersebut, baru dilakukan skin graft. Keuntungan dari teknik ini
adalah didapatnya fungsi optimal dari kulit dan keuntungan dari segi kosmetik.
Kerugian dari teknik adalah perdarahan dengan jumlah yang banyak dan endpoint
bedah yang sulit ditentukan.
Eksisi fasial adalah teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka sampai lapisan
fascia. Teknik ini digunakan pada kasus luka bakar dengan ketebalan penuh (full
thickness) yang sangat luas atau luka bakar yang sangat dalam. Alat yang digunakan
pada teknik ini adalah pisau scalpel, mesin pemotong electrocautery. Adapun
keuntungan dan kerugian dari teknik ini adalah:
-

Keuntungan : lebih mudah dikerjakan, cepat, perdarahan tidak banyak,

endpoint yang lebih mudah ditentukan


Kerugian : kerugian bidang kosmetik, peningkatan resiko cedera pada sarafsaraf superfisial dan tendon sekitar, edema pada bagian distal dari eksisi

2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari metode ini
adalah:
a. Menghentikan evaporate heat loss
b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu
c. Melindungi jaringan yang terbuka

25

Skin grafting harus dilakukan secepatnya setelah dilakukan eksisi pada luka bakar
pasien. Kulit yang digunakan dapat berupa kulit produk sintesis, kulit manusia yang
berasal dari tubuh manusia lain yang telah diproses maupun berasal dari permukaan
tubuh lain dari pasien (autograft). Daerah tubuh yang biasa digunakan sebagai daerah
donor autograft adalah paha, bokong dan perut. Teknik mendapatkan kulit pasien
secara autograft dapat dilakukan secara split thickness skin graft atau full thickness skin
graft. Bedanya dari teknik teknik tersebut adalah lapisan-lapisan kulit yang diambil
sebagai donor. Untuk memaksimalkan penggunaan kulit donor tersebut, kulit donor
tersebut dapat direnggangkan dan dibuat lubang lubang pada kulit donor (seperti
jaring-jaring dengan perbandingan tertentu, sekitar 1 : 1 sampai 1 : 6) dengan mesin.
Metode ini disebut mess grafting. Ketebalan dari kulit donor tergantung dari lokasi
luka yang akan dilakukan grafting, usia pasien, keparahan luka dan telah dilakukannya
pengambilan kulit donor sebelumnya. Pengambilan kulit donor ini dapat dilakukan
dengan mesin dermatome ataupun dengan manual dengan pisau Humbly atau
Goulian.

Sebelum dilakukan pengambilan donor diberikan juga vasokonstriktor

(larutan epinefrin) dan juga anestesi.


Prosedur operasi skin grafting sering menjumpai masalah yang dihasilkan dari
eksisi luka bakar pasien, dimana terdapat perdarahan dan hematom setelah dilakukan
eksisi, sehingga pelekatan kulit donor juga terhambat. Oleh karenanya, pengendalian
perdarahan sangat diperlukan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi
keberhasilan penyatuan kulit donor dengan jaringan yang mau dilakukan grafting
adalah:
-

Kulit donor setipis mungkin


Pastikan kontak antara kulit donor dengan bed (jaringan yang dilakukan
grafting), hal ini dapat dilakukan dengan cara :
o Cegah gerakan geser, baik dengan pembalut elastik (balut tekan)
o Drainase yang baik
o Gunakan kasa adsorben

KOMPLIKASI
Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system Organ Dysfunction
Syndrome (MODS),dan Sepsis
Pendahuluan

26

SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai
stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi
autoimun, sirosis, pankreatitis, dll.
Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi
(proinflamasi) yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun
oleh karena pengaruh beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah
secara berlebihan (mengalami eksagregasi) dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ
sistemik, menyebabkan disfungsi dan berakhir dengan kegagalan organ terkena
menjalankan fungsinya; MODS (Multi-system Organ Disfunction Syndrome) bahkan
sampai kegagalan berbagai organ (Multi-system Organ Failure/MOF).
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada
pasien luka bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan SIRS dan
MODS keduanya menjadi penyebab 81% kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan
pula bahwa SIRS sendiri mengantarkan pasien pada MODS.
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury,
inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury. Kriteria klinik yang
digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of Chest phycisians dan the
Society of Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih menifestasi
berikut selama beberapa hari, yaitu:
-

Hipertermia (suhu > 38C) atau hipotermia (suhu < 36C)

Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)

Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah
(PaCO2 < 32 mmHg)
Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (< 4000

sel/mm3) atau dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk imatur (band).
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur
darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan dengan
MODS karena MODS merupakan akhir dari SIRS.
Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi
organ pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan
tanpa intervensi. Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang
berkesinambungan sehingga dapat dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi
lebih berat dan merupakan bagian akhir dari spektrum keadaan yang berawal dari SIRS.
Patofisiologi
27

Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone dalam
beberapa tahap.
Tahap I
Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, misalnya luka bakar atau
trauma berat lainnya. Kerusakan lokal merangsang pelepasan berbagai mediator proinflamasi seperti sitokin; yang selain membangkitkan respon inflamasi juga berperan pada
proses penyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel retikuloendotelial. Sitokin adalah
pembawa pesan fisiologik dari respon inflamasi. Molekul utamanya meliputi Tumor
Necrotizing Factor (TNF), interleukin (IL1, IL6), interferon, Colony Stimulating Factor
(CSF), dan lain-lain. Efektor selular respon inflamasi adalah sel-sel PMN, monosit,
makrofag, dan sel-sel endotel. Sel-sel untuk sitokin dan mediator inflamasi sekunder
seperti prostaglandin, leukotrien, thromboxane, Platelet Activating Factor (PAF), radikal
bebas, oksida nitrit, dan protease. Endotel teraktivasi dan lingkungan yang kaya sitokin
mengaktifkan kaskade koagulasi sehingga terjadi trombosis lokal. Hal ini mengurangi
kehilangan darah melalui luka, namun disamping itu timbul efek pembatasan (walling off)
jaringan cedera sehingga secara fisiologik daerah inflamasi terisolasi.
Tahap II
Sejumlah kecil sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru meningkatkan
respon lokal. Terjadi pergerakan makrofag, trombosit dan stimulasi produksi faktor
pertumbuhan (Growth Factor/GF). Selanjutnya dimulailah respon fase akut yang
terkontrol secara simultan melalui penurunan kadar mediator proinflamasi dan pelepasan
antagonis endogen (antagonis reseptor IL1 dan mediator-mediator anti-inflamasi lain
seperti IL4, IL10, IL11, reseptor terlarut TNF (Transforming Growth Factor/TGF). Dengan
demikian mediator-mediator tersebut menjaga respon inflamasi awal yang dikendalikan
dengan baik oleh down regulating cytokine production dan efek antagonis terhadap sitokin
yang telah dilepaskan. Keadaan ini berlangsung hingga homeostasis terjaga.
Tahap III
Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III (SIRS); terjadi
reaksi sistemik masif. Efek predominan dari sitokin berubah menjadi destruktif. Sirkulasi
dibanjiri mediator-mediator inflamasi sehingga integritas dinding kapiler rusak. Sitokin
merambah ke dalam berbagai organ dan mengakibatkan kerusakan. Respon destruktif
regional dan sistemik (terjadi peningkatan vasodilatasi perifer, gangguan permeabilitas
mikrovaskular, akselerasi trombosis mikrovaskular, aktivasi sel leukosit-endotel) yang
mengakibatkan perubahan-perubahan patologik di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi
28

tidak dapat dikendalikan, terjadi syok septik, Disseminated Intravascular Coagulation


(DIC), ARDS, MODS, dan kematian.
MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien luka bakar
dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori yang menjelaskan
timbulnya SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya terjadi secara simultan.
Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan penurunan
penurunan sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus terganggu
menyebabkan disrupsi mukosa saluran cerna. Disrupsi mukosa menyebakan fungsi mukosa
sebagai barrier berkurang/hilang, dan mempermudah terjadinya translokasi bakteri.
Bakteri yang mengalami translokasi umumnya flora normal usus yang bersifat komensal,
berubah menjadi oportunistik; khususnya akibat perubahan suasana di dalam lumen usus
(puasa, pemberian antasida dan beberapa jenis antibiotika). Selain kehilangan fungsi
sebagai barrier terhadap kuman, daya imunitas juga berkurang (kulit, mukosa), sehingga
mudah dirusak oleh toksin yang berasal dari kuman (endo atau enterotoksin). Pada kondisi
disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka proses degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi
atrofi mukosa usus yang dapat memperberat keadaan.
Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang memicu
SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena gangguan sistem
autoregulasi serebral yang memberi dampak sistemik (ensefelopati). Gangguan sirkulasi ke
ginjal menyebabkan iskemi ginjal khususnya tubulus berlanjut dengan Acute Tubular
Necrosis (ATN) yang berakhir dengan gagal ginjal (Acute Renal Failure/ARF). Gangguan
sirkulasi perifer menyebabkan iskemi otot-otot dengan dampak pemecahan glikoprotein
yang meningkatkan produksi Nitric Oxide (NO); NO ini berperan sebagai modulator
sepsis. Gangguan sirkulasi ke kulit dan sitem integumen menyebabkan terutama gangguan
sistim imun; karena penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi barrier kulit.
Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC) yang sebelumnya
dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis. LPC memiliki
toksisitas ribuan kali di atas endotoksin dalam merangsang pelepasan mediator proinflamasi; namun pelepasan LPC ini tidak ada hubungannya dengan infeksi. Respon yang
timbul mulanya bersifat lokal, terbatas pada daerah cedera; kemudian berkembang menjadi
suatu bentuk respon sistemik.
Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik pada fase
akut dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras seluruh modalitas
tubuh khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke
29

sirkulasi sebagai respon terhadap suatu cedera tidak hanya menyerang benda asing atau
toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan kerusakan pada jaringan organ sistemik. Kondisi
ini dimungkinkan karena luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat
imunosupresif.
Tatalaksana
Penatalaksanaan luka bakar bersifat lebih agresif dan bertujuan mencegah
perkembangan SIRS, MODS, dan sepsis.
Pemberian Nutrisi Enteral Dini (NED) melalui pipa nasogastrik dalam 8 jam
pertama pasca cedera. Selain bertujuan mencegah terjadinya atrofi mukosa usus,
pemberian NED ini bertitik tolak mencegah dan mengatasi kondisi hipometabolik pada
fase akut / syok dan mengendalikan status hiperkatabolisme yang terjadi pada fase flow.
Pemberian antasida dan antibiotika tidak dibenarkan karena akan merubah pola / habitat
kuman yang mengganggu keseimbangan flora usus.
Jaringan nekrosis maupun jaringan non vital lainnya yang disebabkan cedera termis
harus segera dilakukan nekrotomi dan debridement, dan dilakukan sedini mungkin (eksisi
dini, hari ketiga-keempat pasca cedera luka bakar sedang, hari ketujuh-kedelapan pada
luka bakar berat), bahkan bila memungkinkan dilakukan penutupan segera (immediate skin
grafting) untuk mengatasi berbagai masalah akibat kehilangan kulit sebagai penutup
(mencegah evaporative heat loss yang menimbulkan gangguan metabolisme), barrier
terhadap kuman dan proses inflamasi berkepanjangan yang mempengaruhi proses
penyembuhan, tidak menunggu jaringan granulasi yang dalam hal ini mengulur waktu dan
memperberat stres metabolisme.
Pemberian obat-obatan yang bersifat anti inflamasi seperti antihistamin dianggap
tidak bermanfaat. Pemberian steroid sebelumnya dianggap bermanfaat namun harus diingat
saat pemberian serta efek sampingnya.
Pemberian zat yang meningkatkan imunologik seperti Omega-3 akan menjinakkan
leukotrien (LTB4 yang bersifat maligna) dengan cara mempengaruhi lypoxygenase
pathway pada metabolisme asam arakhidonat, sehingga menghasilkan leukotrien yang
lebih benigna. Pemberian Omega-6 memiliki efek pada cyclo-oxygenase pathway asam
arakhidonat, sehingga menghasilkan tromboksan yang lebih benigna menggantikan
tromboksan (ThromboxaneA2) yang bersifat maligna.
Komplikasi
30

Komplikasi SIRS bervariasi tergantung etiologi. Komplikasi yang mungkin terjadi


pada SIRS adalah gagal napas, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), dan
pneumonia nosokomial, gagal ginjal, perdarahan saluran cerna dan stres gastritis, anemia,
Trombosis vena dalam (Deep Vein Thrombosis/DVT), hiperglikemia, dan Disseminated
intravascular coagulation (DIC)
PROGNOSIS
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya
permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor
letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan
kecepatan penyembuhan.
Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang timbul pada luka bakar
antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik
dan kontraktur.

BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Tn.SS, usia 32 tahun datang dengan keluhan kedua tungkai dan kaki melepuh
disertai nyeri karena terkena api sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit. Kulit yang
melepuh diakibatkan oleh tabung gas yang tiba-tiba meledak. Pasien tidak terkurung dalam
ruangan. Tidak ada keluhan sesak nafas, pusing, mual, maupun muntah.
Pasien datang dalam keadaan sudah melewati fase akut luka bakar. Maka perlu
diperhatikan ABCD dari pasien. Dari pemeriksaan umum tidak ditemukan bulu hidung
yang terbakar. Hal ini dapat menyingkirkan adanya cedera inhalasi. Pernapasan normal dan
tidak ada eskar melingkar yang dapat menghalangi pergerakan pernapasan. Tekanan darah
31

pasien sedikit menurun yaitu 100/80 mmHg dengan frekuensi nadi yang meningkat yaitu
112x/menit. Hal ini dapat menunjukkan adanya gangguan pada sistem kardiovaskular
akibat terjadinya hipovolemik yang diakibatkan penguapan berlebih dan keluarnya cairan
intravaskular.
Pada tubuh ditemukan luka bakar di tungkai dan kaki kiri (9%) serta tungkai dan
kaki kanan (9%). Luas luka ditentukan menurut diagram rules of nine dari Wallace. Total
luas luka bakar mencapai 18% dengan kedalaman derajat II.
Luka bakar pada pasien ini digolongkan derajat II sebab kerusakan meliputi
epidermis dan sebagian dermis yang terlihat dari reaksi inflamasi akut dan proses eksudasi,
pada masa akut ditemukan bula namun sekarang bula sudah hilang dan digantika luka
warne merah muda yang tampak basah, dasar luka berwarna merah atau pucat dan nyeri
akibat iritasi ujung saraf sensorik. Luka bakar pada pasien tidak digolongkan dalam derajat
I sebab pada luka bakar derajat I kelainannya hanya berupa eritema, kulit kering, nyeri
tanpa disertai eksudasi. Luka bakar juga tidak digolongkan dalam derajat III sebab pada
luka bakar derajat III dijumpai kulit terbakar berwarna abu-abu dan pucat, letaknya lebih
rendah (cekung) dibandingkan kulit sekitar dan tidak dijumpai rasa nyeri/hilang sensasi
akibat kerusakan total ujung serabut saraf sensoris.
Dari pemeriksaan laboratorium darah tepi ditemukan peningkatan leukosit.
Peningkatan leukosit ini disebabkan oleh reaksi inflamasi pada fase akut luka bakar. Pada
pemeriksaan urin ditemukan banyak eritrosit. Ditemukan pula peningkatan laktat. Hal ini
perlu dipantau untuk deteksi dini, karena hal ini dapat menyebabkan kerusakan tubulus
ginjal yang permanen.
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah resusitasi cairan. Dengan cara Baxter dapat
dihitung kebutuhan cairan pasien yaitu:
4 x BB x % luka bakar = 4 x 60 x 18 = 4.320 mL / 24 jam
Saat fase akut luka bakar, pada 8 jam pertama pasien diberikan 2.160 mL. Kemudian pada
16 jam kemudian diberikan cairan sebanyak 2.160 mL. Pada hari kedua diberikan cairan
sebanyak setengah cairan pertama yaitu 2.160 mL/24 jam. Pada hari ketiga jumlah cairan
kembali dikurangi setengahnya menjadi 1.080 mL/24 jam. Jumlah cairan dapat dikurangi
bahkan dihentikan bila diuresis pasien memuaskan dan pasien dapat minum tanpa
kesulitan.
Setelah itu dilakukan perawatan luka bakar. Luka bakar dibersihkan dengan air
hangat yang mengalir. Hal ini merupakan cara terbaik untuk menurunkan suhu di daerah
cedera, sehingga dapat menghentikan proses kombusio pada jaringan. Untuk menutup
32

luka, digunakan kasa lembab steril menggunakan cairan RL atau salep untuk mencegah
penguapan. Balutan dinilai dalam waktu 24-48 jam. Bula yang luas dengan akumulasi
transudat, akan menyebabkan penarikan cairan ke dalam bula sehingga menyebabkan
gangguan keseimbangan cairan. Oleh karena itu perlu dilakukan insisi. Insisi ini bertujuan
untuk mengeluarkan cairan transudat tanpa membuang epidermis yang terlepas. Kemudian
epidermis yang terlepas ini dijadikan penutup luka (biological dressing) seperti split
thickness skin graft (STSG). Setelah itu diletakkan tulle di atas graft tersebut dan
membungkusnya dengan kasa lembab selama 2-3 hari, kemudian diberikan salep antibiotik
sampai terjadinya epitelisasi. Pada bula-bula yang kecil cukup dilakukan aspirasi
menggunakan semprit dan dilakukan sebagaimana pada bula yang luas.
Prognosis ad vitam pada pasien ini adalah bonam karena penyakit ini sudah
didiagnosis dan saat ini tidak mengancam nyawa. Prognosis ad functionam pada pasien ini
adalah bonam karena sesuai dengan luas dan kedalaman luka, penyembuhan dapat terjadi
secara spontan dan telah dilakukan terapi pengobatan yang adekuat terhadap luka bakar.
Prognosis ad sanactionam pada pasien ini adalah bonam karena faktor penyebab dapat
dihindari dan tidak ada angka rekurensi.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Ahmadsyah I, Prasetyono TOH. Luka. Dalam: Sjamsuhidajat R, de Jong


W, editor. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2005. h. 73-5.

2.

Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, In : Sabiston Textbook of Surgery. 17th
edition. Ed : Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL, Philadelphia:

3.

Elsevier Saunders. 2004.


Jaffe BM, Berger DH. In : Schwartzs Principles of Surgery Volume 2.
8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG,

Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc.2007.


4.
Moenadjat Y. Luka bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.
33

5.

Naradzay JFX, Alson R. Thermal burns. Dalam: Slapper D, Talavera F,


Hirshon

JM,

Halamka

J,

Adler

J,

editors.

Diunduh

dari:

http://www.emedicinehealth.com. 20 December 2012.


6.
Gerard M Doherty. Current Surgical Diagnosis and Treatment. Edisi 12.
7.

McGraw-Hill Companies. New York. p 245-259


Split & Full Thickness Skin Grafting. Diunduh dari

8.

http://www.burnsurvivorsttw.org/burns/grafts.html. 20 December 2012.


Mayo clinic staff. Burns First Aids.

http: // www.nlm.nih.gov/medlineplus. Januari 2008


9.
Benjamin C. Wedro. First Aid for Burns. http://www.medicinenet.com.
10.

20 Desember 2012.
David, S. 2008. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka.
Dalam : Surabaya Plastic Surgery. http://surabayaplasticsurgery.blogspot.com

34

You might also like