You are on page 1of 9

1

BAB I
PENDAHULUAN

Sinusitis merupakan penyakit dengan persentase yang signifikan di dalam
populasi dan dapat menyebabkan morbiditas jangka panjang. Sinus maksilaris,
yang secara anatomi berada di pertengahan antara hidung dan rongga mulut
merupakan lokasi yang rentan terinvasi organisme patogen lewat ostium sinus
maupun lewat rongga mulut. Sinusitis dentogen dapat mencapai 10% hingga 12%
dari seluruh kasus sinusitis maksilaris.
1
Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis
kronik. Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang
atas, sehingga rongga sinus maksila hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan
akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas
seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah
menyebar secara langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah dan limfe.
2
Curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang
mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk
mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan
pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali perlu dilakukan
irigasi sinus maksila.
2











2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi
Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput
lendir sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan pembentukan
cairan atau kerusakan tulang di bawahnya, terutama pada daerah fossa kanina dan
menyebabkan sekret purulen, nafas bau, serta post nasal drip.
1,3
Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus. Penyebab utamanya adalah
selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat
diikuti oleh infeksi bakteri.
1,3

2.2 Anatomi Sinus Maksilaris

















3
Batas-batas dinding sinus maksilaris:
1

a. Dinding anterior: permukaan fasial os maksila (fossa kanina)
b. Dinding posterior: permukaan infra-temporal maksila
c. Dinding medial: dinding lateral rongga hidung
d. Dinding superior: dasar orbita
e. Dinding inferior: prosesus alveolaris dan palatum
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus maksilaris antara
lain:
1
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
b. Sebagai penahan suhu
c. Membantu keseimbangan kepala
d. Membantu resonansi suara
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
f. Membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.

Ostium sinus maksilaris berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Sepertiga tengah
dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-muara saluran dari
sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini dinamakan
kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di
belakang prosesus uncinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid
anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.
1,3

2.3 Etiologi
Penyebab tersering sinusitis maksilaris odontogen adalah ekstraksi gigi
molar, biasanya molar pertama, dimana sepotong kecil tulang diantara akar gigi
molar dan sinus maksilaris ikut terangkat. Nathaniel Highmore yang
4
mengemukakan tentang membran tulang tipis yang memisahkan gigi geligi dari
sinus pada tahun 1651, Tulang yang membungkus antrum maksilaris dan
memisahkannya dengan soket gigi geligi terbalnya tidak melebihi kertas
pembungkus.
4
Infeksi gigi lain seperti abses apikal atau penyakit periodontal dapat
menimbulkan kondisi serupa. Gambaran bakteriologik sinusitis dentogen ini
didominasi terutama oleh infeksi bakteri gram negatif. Karena itulah infeksi ini
menyebabkan pus yang berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari
hidung.
2,5

2.4 Patofisiologi
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena
infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga
jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak. Pada pulpa yang terbuka, kuman akan
masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren
pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan
periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses
periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar
menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila
sehingga memicu inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus
serta abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus
sehingga terjadinya sinusitis maksila.
2,4
Sinusitis dentogen dapat terjadi melalui dua cara:
2,4
1. Infeksisi gigi yang kronis dapat menimbulkan jaringan granulasi di
dalam mukosa sinus maksilaris, hal ini akan menghambat gerakan
silia ke arah ostium, dan berarti menghalangi drainase sinus.
Gangguan drainase ini akan mengakibatkan sinus mudah
mengalami infeksi.
2. Kuman dapat menyebar secara langsung, hematogen, atau
limfogen dari granuloma apikal atau kantong periodontal gigi ke
sinus maksila.
5
2.5 Manifestasi Klinis
Gejala sinusitis maksilaris akut berupa demam, malaise, nyeri kepala,
wajah terasa bengkak dan penuh, gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak
(sewaktu naik atau turun tangga), nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk,
sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan berbau busuk.
1,3
Gambaran klinis yang sering dijumpai pada sinusitis maksilaris kronik
berupa hidung tersumbat, sekret kental, cairan mengalir di belakang hidung,
hidung berbau, indra pembau berkurang, dan batuk.
1,3

2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Untuk anamnesis didaptkan gejala-gejala klinis sinusitis
maksilaris.
1,3
Sedangkan untuk pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah:
1,3
a) Inspeksi
Pemeriksaan yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada muka.
Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerah-
merahan mungkin menunjukan sinusitis maksilaris akut.
b) Palpasi
Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis
maksilaris.
c) Transiluminasi
Pemeriksaan ini menunjukan adanya perbedaan sinus kanan dan kiri. Sinus yang
sakit akan tampak lebih gelap.
Untuk pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan adalah:
1,3
a) Pemeriksaan radiologi
Foto posisi waters tampak adanya edema mukosa dan cairan dalam sinus. Jika
cairan tidak penuh akan tampak gambaran air fluid level.
b) CT Scan
Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus maksilaris
adalah pemeriksaan CT scan. Potongan yang rutin dipakai adalah koronal.
6
BAB III
PENATALAKSANAAN

1. Kausatif; atasi masalah gigi.
2,4,5

2. Konservatif; medikamentosa: antibiotik, dekongestan, antihistamin,
kortikosteroid, dan irigasi sinus.
1,2,3

3. Operatif. Beberapa macam tindakan bedah sinus yaitu antrostomimeatus
inferior, Cladwel-Luc, etmoidektomi intra dan ekstra nasal, trepanasi sinus
frontal, dan bedah sinus endoskopik fungsional. Bedah sinus endoskopik
fungsional (BSEF) merupakan perkembangan pesat dalam bedah sinus.
Teknik bedah ini pertamakali diajukan oleh Messerklinger dan
dipopulerkan oleh Stammberger dan Kennedy. BSEF adalah operasi pada
hidung dan sinus yang menggunakan endoskopi dengan tujuan
menormalkan kembali ventilasi sinus dan mucociliare clearance. Prinsip
BSEF adalah membuka dan membersihkan KOM sehingga drainase dan
ventilasi sinus secara alami.
1,3
















7
BAB IV
KOMPLIKASI

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.
2,5
1. Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata. Yang paling sering adalah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis
frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan
perkontinuitatum Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra,
selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita, dan selanjutnya dapat
terjadi trombosis sinus kavernosus.
2. Kelainan intrakranial, dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau
subdural, abses otak, dan trombosis sinus kavernosus.
Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa:
2,4
1. Osteomielitis dan abses subperiosteal. Paling sering timbul akibat sinusitis
frontal dan biasnaya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus
maksila dapat timbul fistula oroantal atau fistula pada pipi.
2. Kelainan paru, seperti bronkitis kronik, dan bronkiekatsis. Adanya
kelainan sinus paranasal disertai kelainan paru disebut sinobronkitis.
Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar
dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.









8

BAB V
KESIMPULAN

Sinusitis yang disebabkan oleh penyakit gigi geligi merupakan kasus yang
cukup banyak ditemukan, sekitar 10-12% dari kasus sinusitis maksilaris. Sinusitis
odontogen perlu dicurigai pada pasien dengan gejala sinusitis maksilaris yang
memiliki riwayat infeksi gigi geligi atau dento-alveolar surgery yang resisten
terhadap terapi sinusitis standard.
Diagnosis dilakukan berdasarkan anmnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Biasanya diagnosis sinusitis maksilaris dentogen
memerlukan pemeriksaan gigi geligi lengkap dan evaluasi klinis termasuk
pemeriksaan radiogram. Kausa terbanyak termasuk abses gigi dan penyakit
periodontal lainnya, perforasis sinus akibat ekstrasi gigi (kebanyakan molar), atau
infeksi sekunder yang disebabkan oleh benda asing intra antral.
Penatalaksanaannya meliputi mengatasi masalah gigi terapi
medikamentosa berupa antibiotik, dekongestan, antihistamin, dan kortikosteroid,
serta irigasi sinus, dan tindakan operatif.













9

BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

1. Boies LR, Adams GL. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran ECG; 1997.
2. Farhat. Peran Infeksi Gigi Rahang Atas pada Kejadian Sinusitis Maksila di
RSUP H.Adam Malik Medan. Dept. Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala,
dan Leher FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan. 2006. p. 386-92.
3. Soepardi EA, Islandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan THT-KL. Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.
4. Mehra P, Murad H. Maxillary Sinus Disease of Odontogenic Origin.
Otolaryngologic Clinic of North America. 2004. p. 347-64.
5. Saragih AR. Rinosinusitis Dentogen. Dept. THT FK USU. Odentika
Dental Jurnal Vol.12 No.1; 2007. p. 81-4.

You might also like