You are on page 1of 58

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Cekungan Sabah Timur Laut telah terbukti menghasilkan minyak dan gas.
Cekungan tersebut terbagi menjadi dua cekungan, yaitu Subcekungan Sabah
Tengah dan Subcekungan Sandakan. Kedua Subcekungan tersebut memiliki
sistem petroleum aktif (Walker, 1993; Graves and Swauger, 1997; Chan,
2008 dalam Mustapha dan Abdullah, 2013). Eksplorasi mengenai keberadaan
minyak di Cekungan Sabah hingga kini masih terus dilaksanakan untuk dapat
menemukan lokasi sumur minyak yang baru.
Mustapha dan Abdullah (2013) mengevaluasi potensi batuan induk pada
sub-cekungan Sandakan yaitu pada Formasi Sebahat dan Ganduman, Dent
Peninsula, Sabah Timur Malaysia. Analisis tersebut dilakukan untuk
mengetahui potensi batuan induk dalam menghasilkan hidrokarbon.
Namun, data yang diberikan untuk evaluasi batuan induk tersebut masih
perlu disempurnakan mengingat interpretasi yang sudah ada tidak sepenuhnya
mutlak benar adanya. Dalam makalah ini, penulis menganalisis kembali data
yang ada sehingga dapat diperoleh interpretasi yang semakin mendekati
keadaan sebenarnya.
Penulis menganalisis bahwa terdapat kesalahan metode dalam
pengambilan data dalam evaluasi batuan induk Formasi Sebahat dan
Ganduman oleh Mustapha dan Abdullah (2013) yang akan dibahas
selanjutnya pada bab pembahasan.
Melalui studi dari beberapa literatur, penulis mencoba memberikan
gambaran yang lebih baik mengenai analisis batuan induk dan metode yang
seharusnya digunakan dalam pengambilan data evaluasi batuan induk pada
Formasi Sebahat dan Ganduman.
2
1.2 Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis potensi dan karakteristik
batuan induk Formasi Sebahat dan Formasi Ganduman, Dent Penisula, Sabah,
Malaysia.
1.3 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, rumusan
masalah yang penulis ajukan antara lain berupa:
1. Analisis hasil evaluasi potensi batuan induk Formasi Sebahat dan
Ganduman, Dent Penisula, Sabah, Malaysia.
2. Analisis karakteristik batuan induk pada Formasi Sebahat dan
Ganduman, Dent Penisula, Sabah, Malaysia.

1.4 Ruang Lingkup Kajian
Pengertian dari ruang lingkup adalah Batasan. Ruang lingkup juga dapat
dikemukakan pada bagian variabel-variabel yang diteliti, populasi atau subjek
penelitian, dan lokasi penelitian. Pada penelitian kali ini, penulis membatasi
ruang lingkup kajian sebagai berikut:
1. Formasi Sebahat dan Ganduman, Dent Penisula, Sabah, Malaysia.
2. Potensi dan karakteristik batuan induk Formasi Sebahat dan Ganduman
3. Penentuan potensi dan karakteristik batuan induk dengan metode analisis
petrografi, reflektansi vitrinit, rock eval pyrolisis, dan pyrolisis gas
cromatography
4. Analisis kematangan, kekayaan dan tipe material organik dari batuan
induk Formasi Sebahat dan Ganduman.
1.5 Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan makalah ini
adalah metode studi literatur, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari
3
berbagai sumber tertulis. Literatur utama yang digunakan dalam pembuatan
makalah ini adalah makalah yang berjudul Evaluasi Petroleum Batuan Induk
Formasi Sebahat dan Ganduman, Dent Penisula, Malaysia. Selain dari
referensi utama, penyusunan makalah ini juga dilengkapi informasi-informasi
yang berasal dari literatur lain seperti buku maupun jurnal-jurnal yang saling
menunjang satu sama lainnya.
1.6 Sistematika penulisan
Penulisan makalah ini terbagi menjadi lima bab. Bab pertama, merupakan
bab pendahuluan, berisi latar belakang, tujuan, rumusan masalah, lingkup
kajian, metode pengumpulan data, dan sistematika penulisan dalam
penyusunan makalah ini. Bab kedua membahas tentang geologi regional dari
Dent Penisula, Sabah Malaysia yang merupakan lokasi penelitian makalah
ini. Bab ketiga merupakan landasan teori, yang membahas mengenai
geokimia batuan induk, metode analisis lanjut dari geokimia batuan induk.
Bab keempat berisis pembahasan tentang bagaimana sistem minyak bumi dari
hasil analisis geokimia batuan induk. Bab kelima merupakan kesimpulan
hasil pembahasan yang dipaparkan dalam makalah ini.








4
BAB II
GEOLOGI REGIONAL
2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak pada onshore Dent Peninsula yang berada pada
timur laut Pulau Borneo, Sabah ,Malaysia. Dent Peninsula terletak diantara
Laut Sulu dan Laut Celebes.

Studi evaluasi batuan induk ini difokuskan pada Formasi Sebahat dan
Ganduman. Sebanyak 32 sampel handspecimen dari singkapan dipilih dari
singkapan Formasi Sebahat dan Formasi Ganduman. Lokasi ini berada pada
Subcekungan Sandakan yang terletak pada bagian timur laut dari Cekungan
Sabah . Lokasi pengambilan sambel dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Lokasi pengambilan sampel batuan induk Formasi Sebahat dan Ganduman, Dent Peninsula, Sabah,
Malaysia (Mustapha dan Abdullah, 2013).

5
2.2 Cekungan Sabah Timur Laut
Cekungan Sabah Timur Laut terletak di bagian timur laut Pulau Borneo.
Cekungan ini terbagi menjadi dua cekungan, yaitu Subcekungan Sabah
tengah dan sub-Cekungan Sandakan.
Sub-Cekungan Sandakan terbentang dari barat daya Laut Sulu hingga ke
daerah perbatasan maritim Filipina dan Malaysia (lihat gambar 2.2) .sub-
Cekungan Sandakan ini memiliki luas sekitar 40000 km
2
dan mengandung
sedimen deltaik neogen sekitar 8000m
2
. Sub-Cekungan Sandakan dibentuk

Gambar 2.2 Peta lokasi Cekungan Sabah Timur Laut (Jia, 2007)

6
oleh struktur antiklin dengan penunjaman berarah utara-selatan (Leong, 1999
dalam Jia, 2007).
2.3 Tektonik

Berdasarkan rekonstruksi sejarah tektonik pada sub-Cekungan Sandakan
oleh Balaguru (2009), area ini mengalami deformasi pada awal Miosen oleh
gaya kompresi berarah utara-selatan yang berhubungan dengan pembukaan
laut Cina Selatan. Penunjaman busur vulkanik berarah utara-selatan dari
subduksi Laut Sulawesi.Laut Cina Selatan berhenti mengalami rifting
(pemekaran) pada pertengahan Miosen. Pada saat itu, sebaliknya pada bagian
tenggara Laut Sulu mengalami pemekaran back- arc basin , dengan
penujaman berarah timur laut membentuk kerak samudera Laut Sulu dan
cekungan Sabah mengalami pemanjangan ke arah barat daya hingga ke
daratan pedalaman Sabah.

Menurut Balaguru (2009), perubahan utama asal-usul sedimen teradi
pada akhir pertengahan Miosen dengan berhentinya pemekaran Laut Sulu.
Pada pertengahan Miosen, terjadi kolisi mikrokontinen dari blok Filipina dan
Australia dan terjadinya uplift pulau Borneo, yang sebelumnya merupakan
busur kepulauan gunung api . Pada Miosen Akhir , gaya kompresi perlahan-
lahan menutup pemekaran Laut Sulu , proses ini berlanjut hingga hari ini.
Pada lepas pantai Cekungan Sandakan , gaya kompresi ini mengakibatkan
pembentukan beberapa formasi berarah timur laut, yang diaktifkan kembali
oleh pertumbuhan sesar.
7
2.4 Stratigrafi

Gambar 2.3 Stratigrafi Cekungan Sabah Timur Laut, Sabah, Malaysia (Modifikasi setelah Lim, 1985, dan Leong
dan Azlina, 1999, dalam Mustapha dan Abdullah, 2013).
8
Suksesi stratigrafi pada daerah Dent Penisula dapat dilihat pada gambar
2.3. Kelompok Dent diendapkan secara tidak selaras dengan kontak ireguler
dari Kelompok Segama yang dibentuk oleh litologi berupa batuan vulkanik
dan piroklastik dari Formasi Tungku, batuan tuf dari Formasi Libung dan
batuan pecahan melange dari Formasi Ayer (Hutchison, 2005, dalam
Mustapha dan Abdullah, 2013). Umur Formasi Ayer berdasarkan data dari
keterdapatan fosil foraminifera memiliki kisaran umur dari Miosen Awal
hingga Miosen Tengah (Hailed dan Wong 1965, dalam Mustapha dan
Abdullah, 2013). Formasi Tungku berumur Miosen Akhir hingga Pliosen.
Terdapat kesamaan dan kecocokkan umur antara Formasi Libong dan
Formasi Tungku berdasarkan kumpulan fosil foraminiferanya, yaitu beruur
Miosen Akhir hingga Pliosen.
Formasi yang berada di bagian bawah dari Kelompok Dent terdiri dari
Formasi Sebahat yang didominansi oleh batulempung berwarna abu-abu
hingga abu-abu gelap dengan sisipan napal, batupasir argillaceous dan
konglomerat (Hailed dan Wong 1965, dalam Mustapha dan Abdullah, 2013).
Litologi utama dari Formasi ini adalah batulempung yang tebal dengan
sisipan lapisan batulanau tersementasi baik dan terdapat fosil calcareous yang
banyak (Noad, 1998, dalam Mustapha dan Abdullah, 2013). Formasi Sebahat
secara umum memiliki besar dip 20 hingga 30 derajat ke arah timur (Ismail,
1994, dalam Mustapha dan Abdullah, 2013). Umur dari Formasi Sebahat
berkisar dari Miosen Akhir hingga Pliosen berdasarkan kandungan fosil
foraminiferanya (Hailed an Wong, 1965, dalam Mustapha dan Abdullah,
2013).Formasi Ganduman berada diatas Formasi Sebahat. Formasi
Ganduman dibagi menjadi dua subunit berdasarkan kandungan batupasirnya
(Ismail, 1994, dalam Mustapha dan Abdullah, 2012), yaitu lower Ganduman
yang didominasi fasies batupasir dan upper Ganduman yang didominansi
fasies batulempung. Kemudian, Formasi Ganduman ini memiliki kisaran
umur Pliosen berdasarkan kandungan fosil foraminiferanya. Formasi Togopi
berada di bawah formasi Ganduman didominansi oleh batugamping (Noad,
9
1998, dalam Mustapha dan Abdullah, 2013). Haile dan Wong (1965, dalam
Mustapha dan Abdullah, 2013) melaporkan bahwa Formasi Togopi ini terdiri
dari batugamping dengan kandungan koral, batupasir gampingan,
batulempung dan napal dengan kemiringan perlapisan adalah 3 hingga 10
derajat. Berdasarkan kumpulan fosil, hailed dan Wong (1965, dalam
Mustapha dan Abdullah,2013) menyatakan bahwa Formasi Togopi berumur
Pliosen hingga Pleitosen.















10
BAB III
TEORI DASAR
3.1 Batuan Induk
Menurut Subroto (2012) batuan induk merupakan batuan sedimen
berbutir halus yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan
hidrokarbon.Waples (1985) mengklasifikasikan batuan induk menjadi 3 jenis,
yaitu:
1. Effective source rock (batuan induk efektif )
2. Possible source rock (mungkin batuan induk)
3. Potential source rock (batuan induk potensial)
Definisi batuan induk efektif adalah batuan induk yang telah membentuk
dan mengeluarkan hidrokarbon. Mungkin batuan induk adalah batuan
sedimen yang belum pernah dievaluasi potensinya, tetapi mempunyai
kemungkinan membentuk dan mengeluarkan hidrokarbon. Batuan induk
potensial adalah batuan sedimen belum matang yang mempunyai kemampuan
membentuk dan mngeluarkan hidrokarbon jika kematangannya bertambah
tinggi.

3.2 Metode Analisis Batuan Induk
Evaluasi potensi batuan induk harus mencakup tiga jenis analisis data,
yaitu kuantitas atau kekayaan, tipe dan kematangaan material organik yang
hadir dalam batuan (Subroto,2012).

3.2.1 Metode Analisis Kekayaan Material Organik
Menurut Subroto (2012), perhitungan jumlah kandungan material
organik berupa karbon pada suatu batuan dapat dinilai melalu nilai
TOC (Total Organic Carbon). Teknik yang banyak dilakukan untuk
11
menilai kandungan TOC (Total Organic Carbon) pada batuan induk
adalah dengan menggunakan alat penganalisis karbon, yaitu Leco
Carbon Anlyzer dan Rock Eval Pyrolisis.

Metode dengan menggunakan alat Leco Carbon Anlyzer memiliki
teknik yang cukup sederhana, yaitu dengan membakar 6 sampel yang
berbentuk bubuk dan bebas mineral karbonat pada temperatur tinggi
dengan bantuan oksigen (Subroto,2012).

















Semua karbon organik dirubah menjadi karbon dioksida lalu
diperangkap dalam alat tersebut dan dilepaskan menuju detektor
ketika pembakaran sudah usai. Jumlah karbon dioksida yang didapat
sama dengan jumlah karbon organik di dalam batuan. Jumlah karbon
organik didalam batuan karbonat harus dihilangkan dalam sampel
dengan asam klorida sebelum pembakaran karena mineral karbonat

Gambar 3.1. Diagram skematik penganalisis karbon, Leco Carbon Analyzer
(Waples, 1985 dalam Subroto, 2012)

12
juga terurai selama pembakaran dan menghasilkan karbon dioksida
(Subroto,2012).

Cara yang kedua adalah dengan menggunakan teknik Rock eval
pyrolisis. Teknik ini menggunakan dekomposisi material organik
dengan pemanasan dalam kondisi tidak ada oksigen. Pirolisis
digunakan untuk mengetahui kekayaan dan kematangan suatu batuan
induk (Espitalie et al., 1977).





















Rock-Eval Pyrolisis (REP) adalah analisa komponen hidrokarbon
pada batuan induk dengan cara melakukan pemanasan bertahap pada

Gambar 3.2. Diagram skematik rock eval pyrolisis (Waples, 1985, dalam
Subroto, 2012)

13
sampel batuan induk dalam keadaan tanpa oksigen pada kondisi
atmosfer inert dengan temperatur yang terprogram. Pemanasan ini
memisahkan komponen organik bebasdan komponen organik yang
masih terikat dalam batuan induk (Waples,1985, dalam Subroto,
2012).

Tahap pertama, 100 mg sampel dipanaskan secara perlahan tanpa
adanya oksigen dari temperatur awal 300
0
C hingga 550
0
C. Pirolisis
bukanlah suatu pembakaran, tidak adanya oksigen mengindikasikan
bahwa hanya terjadi reaksi penguraian termal (Subroto, 2012). Selama
pemanasan ini, ada dua hidrokarbon yang dikeluarkan dari sampel
batuan. Hidrokarbon yang pertama adalah hidrokarbon yang sudah
ada dalam batuan. Hidrokarbon ini sama dengan bitumen yang
diekstraksi dengan menggunakan pelarut. Detektor pada alat Rock-
Eval akan merekam hal ini dan mencatatnya sebagai S1. Tahap ini
disebut sebagai tahap evaporasi.

Pada tahap kedua, pemanasan berlanjut dari temperatur 300
0
C
hingga 550
0
C. Pada tahap ini aliran hidrokarbon yang sudah ada
sebelumnya dalam batuan mulai berkurang. Pada temperatur sekitar
350
0
C jenis hidrokarbon kedua mulai muncul. Hidrokarbon kedua ini
disebut S2, merupakan hidrokarbon yang terbentuk dari kerogen di
dalam Rock-Eval akibat penguraian termal kerogen. S2 ini dianggap
sebagai indikator kemampuan kerogen dalam menghasilkan
hidrokarbon pada saat ini (Subroto, 2012). Ketika temperatur
mencapai puncak, kerogen mulai mengalami maturasi dan dinilai
sebagai puncak S2 atau biasa disebut Tmax.

Tahap ketiga yaitu pengeluaran CO
2
akibat pendinginan pada
pirolisis dimana temperatur menurun dari 390
0
C hingga 300
0
C.
Karbon dioksida ini ditangkap oleh suatu perangkap selama pirolisis
14
berlangsung dan kemudian dilepas kepada detektor kedua lalu dicatat
sebagai S3 setelah proses pengukuran hidrokarbon selesai.

Analisis rock eval pyrolisis menghasilkan beberapa parameter-
parameter, yaitu :

a. S1 (Free Hydrocarbon)
S1 merupakan representasi dari hidrokarbon dari hidrokarbon
yang sudah berada dalam batuan selama proses sedimentasi
ditambah hidrokarbon yang sudah terkumpul di bawah
permukaan (Gani,2011). Nilai S1 mencerminkan jumlah
hidrokarbon bebas yang terbentuk insitu karena kematangan
termal maupun karena adanya akumulasi hidrokarbon dari tempat
lain.

b. S2 (Pyrolisable Hydrocarbon)
S2 merepresentasikan jumlah hidrokarbon yang terbentuk
pada temperatur maksimalnya (Gani,2011). S2 menunjukkan
jumlah hidrokarbon yang dihasil melalui proses pemecahan
kerogen yang mewakili jumlah hidrokarbon yang dapat dihasilkan
batuan selama proses pematangan secara alamiah. Nilai S2
menyatakan potensi material organik dalam batuan yang dapat
berubah menjadi minyak.

c. S3
S3 merupakan jumlah oksigen yang terdapat pada
kerogen dengan melihat jumlah CO
2
yang terbentuk selama
proses pirolisis terjadi(Gani,2011).



15
d. Tmaks (Temperatur Maksimum)
Nilai Tmaks ini merupakan salah satu parameter
geokimia yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat
kematangan batuan induk. Harga Tmaks yang terekam sangat
dipengaruhi oleh jenis material organik. Kerogen Tipe I akan
membentuk hidrokarbon lebih akhir dibanding Tipe III pada
kondisi temperatur yang sama.
Harga Tmaks sebagai indikator kematangan memiliki
beberapa keterbatasan, diantaranya tidak dapat digunakan
untuk batuan memiliki TOC kurang dati 0,5 dan HI kurang
dari 50. Harga Tmaks dapat menunjukkan tingkat
kematangan yang lebih rendah dari tingkat kematangan
sebenarnya pada batuan induk yang mengandung resinit yang
umum terdapat dalam batuan induk dengan kerogen tipe II
(Peters, 1986).

Kombinasi parameter parameter yang dihasilkan oleh Rock-
Eval Pyrolisis dapat dipergunakan sebagai indikator jenis serta
kualitas batuan induk, antara lain :

- Potential Yield
PY (Potential Yield) menunjukkan jumlah hidrokarbon dalam
batuan baik yang berupa komponen volatil (bebas) maupun yang
berupa kerogen. Satuan ini dipakai sebagai penunjuk jumlah total
hidrokarbon maksimum yang dapat dilepaskan selama proses
pematangan batuan induk dan jumlah ini mewakili generation
potential batuan induk.

- PI (Production I ndex)
Nilai PI (Production Index) menunjukkan jumlah S1 terhadap
jumlah total hidrokarbon yang hadir. PI (Production Index) dapat
16
digunakan sebagai indikator tingkat kematangan batuan induk. PI
meningkat karena pemecahan kerogen karena S2 berubah menjadi
S1.

- HI (Hydrogen I ndex)
Dalam penentuan tipe material organik, ada dua parameter
yang digunakan yaitu diagram dari Indeks Hidrogen (HI) dan
rasio S2/S3. Nilai HI dihitung dengan rumus:



Nilai HI merepresentasikan total hidrokarbon bebas, yang
erat kaitannya dengan komposisi dasar dalam kerogen. Sementara
itu, rasio S2/S3 menunjukkan tipe kerogen berhubungan dengan
produksi hidrokarbon yang membentuk gas.

- OI (Oxygen I ndex)
Parameter yang lain yaitu Indeks Oksigen (OI) dihitung
dengan rumus :

Nilai ini menunjukkan jumlah CO
2
yang dihasilkan dari
kerogen selama pirolisis Rock-eval. OI direpresentasikan sebagai
mg CO
2
/g TOC dan diperkirakan berhubungan dengan kandungan
oksigen dalam kerogen (Tissot dan Welte, 1984, dalam Muljana
dkk., 2012). Sementara itu, S3 adalah puncak ketiga dalam
analisis rock-eval ditunjukkan dalam mg CO
2
/g batuan.

Untuk dapat menentukan apakah suatu batuan dapat
menghasilkan hidrokarbon, maka batuan tersebut harus mencapai nilai
17
minimum TOC (Total Organic Carbon). Waples (1985)
mengklasifikasikan nilai TOC melalui Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Implikasi batuan induk terhadap nilai TOC (Waples,1985)
TOC % Implikasi Batuan Induk
<0.5 Potensi rendah
0.5-1 Kemungkinan sedikit berpotesi
1-2 Kemungkinan cukup berpotensi
>2 Kemungkinan berpotensi baik sampai sangat baik

Sedangkan Peters dan Casa (1994) mengklasifikasikan nilai TOC
melalui tabel 3.2. Peters dan Casa mengklasifikasikan nilai TOC
khusus pada batuan induk yang belum matang.

Tabel 3.2 Implikasi batuan induk terhadap nilai TOC (Peters dan Cassa,1994)
Potensi TOC(%) S1 S2 Bitumen (ppm) HC (ppm)
Kurang <0.5 <0.5 <2.5 <500 <300
Cukup baik 0.5-1 0.5-1 2.5-5 500-1000 300-600
Baik 1-2 1-2 5-10 1000-2000 600-1200
Sangat baik 2-4 2-4 10-20 2000-4000 1200-2400
Luar biasa >4 >4 >20 >4000 >2400




18
3.2.2 Analisa Kualitas Material Organik

Untuk menganalisis kualitas material organik, metode yang dapat
digunakan adalah dengan pirolisis, dan analisa petrografi. Metode
yang digunakan dalam analisa pirolisis adalah dengan
mengklasifikasikan tipe kerogen adalah normalisasi nilai S2 dan S3
sehingga menghasilkan nilai HI (Indeks Hidrogen) dan nilai OI
(Indeks Oksigen).
Waples (1985) mengklasifikasikan nilai HI dalam penentuan tipe
kerogen dan hasil produk batuan induknya Perbandungan HI dan OI
dituangkan dalam grafik modifikasi van krevelen yang membagi area
grafik menjadi tiga tipe kerogen (Gambar 3.3). Perbandungan HI dan
OI digunakan untuk menentukan kualitas batuan induk yang belum
matang. Nilai indeks hidrogen dan oksigen akan berubah seiring
tingkat kematangan batuan induk. Oleh karena itu, perbandingan ini
tidak akan representatif untuk batuan induk yang sudah matang
terhadap kualitas kerogen asalnya. Untuk menentukan batuan induk
yang belum matang, analisis sebaiknya menggunakan klasifikasi yang
dibuat oleh Peters dan Cassa (1994). Klasifikasi tipe batuan induk
oleh Peter dan Cassa dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.3.Tipe batuan induk berdasarkan indeks hidrogen (Waples, 1985)
HI (Hydrogen I ndex) Produk utama Kuantitas relatif
<150 Gas Kecil
150 300 Minyak dan gas Kecil
300 450 Minyak Sedang
450 600 Minyak Banyak
> 600 Minyak Sangat banyak
19


Tabel 3.4 Tipe batuan induk berdasarkan indeks hidrogen (Peters dan Cassa, 1994)








Tipe kerogen HI S2/S3 H/C Produk utama
I >600 >15 >1,5 Minyak
II 300-600 10-15 1,2-1,5 Minyak
II/III 200-300 5-10 5-10 Minyak/Gas
III 50-200 1-5 10-20 Gas
IV <50 <1 <0,7 Tidak ada

Tabel 3.3.Diagram van Krevelen yang telah dimodifikasi menunjukkan jalur evolusi
kerogen dengan menggunakan indeks hidrogen dan indeks oksigen Waples (1985)

20
Dengan analisa mikroskopis, potensi hidrokarbon dapat dilihat
dari tipe kerogen yang terkandung pada batuan induk, sehingga dapat
diperkirakan jenis hidrokarbonnya. Tipe kerogen tersebut dibagi
menjadi tiga, yaitu tipe I, II, dan III. Tipe kerogen bergantung pada
material maseral penyusun batuan tersebut. Parameter tipe kerogen
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.5 Hubungan tipe kerogen dan material organik (Peters dan Cassa,1994)

Kerogen Tipe I
Kerogen ini sangat jarang karena material penyusunnya
adalah alga danau. Terdapatnya kerogen tipe I ini terbatas pada
danau anoksik dan jarang berada pada lingkungan laut. Kerogen
tipe I ini memiliki kapasitas tinggi menghasilkan hidrokarbon
cair.
Maseral Tipe Material Organik Asal
Alginit I Alga air tawar
Eksinit II Polen, spora
Kutinit II Lapisan lilin tanaman
Resinit II Resin tanaman
Liptinit II Lemak tanaman, alga laut
Vitrinit III Kayu dan selulosa material dari
tumbuhan tinggi
Inertinit IV Arang, material tersusun ulang yang
teroksidasi
21
Kerogen Tipe II
Kerogen ini umumnya terbentuk di lingkungan laut, berasal
dari alga laut, polen, spora, lapisan lilin tanaman, lemak tanaman
dan fosil resin. Kadang kerogen tipe ini mengandung kontribusi
dari tanaman darat. Kerogen tipe II ini berpotensi menghasilkan
minyak dan gas.
Kerogen Tipe III
Kerogen ini terdiri dari material organic darat yang
kekurangan lemak atau zat lilin. Kerogen tipe ini memiliki
kemampuan yang lebih rendah menghasilkan hidrokarbon dari
tipe II, sehingga cenderung menghasilkan gas.
Kerogen tipe IV
Kerogen ini mengandung kepingan organic rombakan dan
material teroksidasi dari berbagai sumber. Kerogen tipe ini
biasanya tidak memiliki potensi menghasilkan hidrokarbon.
Komposisi kerogen dipengaruhi oleh proses pematangan termal
yang akan mengubah kerogen. Kerogen berubah secara progresif
selama proses pembebanan sedimen menjadi molekul yang lebih
kecil. Pemanasan bawah permukaan meyebabkan terjadinya reaksi
imia yang memecahkan sebagian fragmen kerogen menjadi molekul
minyak atau gas.
Tahapan perubahan kerogen menurut Bordenave (1993) adalah:
1. Diagenesis awal
Proses ini ditandai oleh hilangnya nitrogen atau sulfur pada
kedalaman beberapa meter.


22
2. Diagenesis
Proses ini ditandai oleh hilangnya oksigen,karbon monoksida
serta sejumlah kecil material yang mengandung oksigen pada suatu
zona kedalaman dengan temperatur dibawah 70-80C.
3. Katagenesis
Proses ini ditandai pada sedimen yang dalam, dengan teperatur
lebih dari 150C.Pada tahap ini terjadi penyusunan kembali fraksi
aromatik. Produk yang dihasilkan adalah metana , hidrogen sulfida,
dan nitrogen.

3.2.3 Analisa Kematangan Material Organik

Seiring berubahnya tekanan dan temperatur yang dialami oleh
material organik di dalam batuan induk, kematangan batuan induk akan
ikut berubah. Kematangan material organik pada batuan induk
didapatkan melalui analisis nilai Tmaks, reflektansi vitrinit (Ro), dan
indeks alterasi termal.
Tmaks merupakan nilai temperatur pada saat S2 mencapai puncak
yang didapatkan melalui proses pirolisis. Nilai Tmaks akan berbanding
lurus dengan kematangan. Semakin tinggi nilai Tmaks, batuan induk
akan semakin matang.
Metode reflektansi vitrinit merupakan analisa berdasarkan
kemampuan daya pantul cahaya vitrinit. Besarnya pantulan vitrinit
merupakan petunjuk langsung untuk tingkat kematangan zat organik
untuk kerogen yang cenderung membentuk minyak (Cooper, 1977).
Kemampuan daya pantul ini merupakan fungsi temperatur. Perubahan
waktu pemanasan dan temperatur akan menyebabkan warna vitrinit
berubah di bawah sinar pantul.
Cara menganalisa pantulan vitrinit ini yaitu dengan mengambil
contoh batuan dari kedalaman tertentu diletakkan di atas kaca preparat
dan direkatkan dengan epoxyresin. Kemudian digoskkan dengan kertas
23
korondum kasar sampai halus dan terakhir fengan menggunakan
alumina. Selanjutnya contoh batuan tersebut diuji dalam minyak
immersi dengan menggunakan mikroskop. Kemudian dilakukan
kalibrasi terhadap vitrinit berdasarkan suatu standar.
Reflektansi vitrinit adalah indikator kematangan batuan induk yang
paling sering digunakan, dilambangkan dengan Ro (Reflectance in oil).
Nilai Ro untuk mengukur partikel-partikel vitrinit yang ada dalam
sampel amat bervariasi. Untuk menjamin kebenaran pengukuran, maka
penentuan nilai Ro diperlukan secara berulang pada sampel yang sama.
Bila distribusi dari vitrinite reflectance adalah bimodal, maka ada
kemungkinan telah terjadi reworking.
Pada umumnya dalam menganalisa tingkat kematangan dari suatu
batuan induk menggunakan parameter seperti reflektansi vitrinit, Indeks
Alterasi Termal, dan Tmaks. Reflektansi vitrinit dianggap sebagai
parameter kematangan termal batuan induk, Indeks Alterasi Termal
merupakan skala perubahan warna spora dan pollen dari kuning
menjadi hitam yang diamati saat dibwah mikroskop dalam sinar yang
diteruskan. Temperatur pirolisis merupakan temperature saat laju
maksimum pirolisis tercapai. Jendela minyak diperkirakan pada Tmaks
435
O
C hingga 470
O
C dengan nilai reflektansi vitrinit 0,6 hingga 1,35.
Parameter-parameter sebagai indicator kematangan dapat dilihat pada
tabel berikut.









24
Tabel 3.6 Implikasi batuan induk terhadap Ro (Peters dan Cassa,1994)
Kematangan %Ro %Ro Tmakks (oC)
Belum matang 0,20-0,60 0,20-0,45 <435
Matang
Awal 0,60-0,65 0,45-0,7 435-445
Puncak 0,65-0,90 0,7-1,0 445-450
Akhir 0,90-1,35 1,0-1,2 450-470
Lewat Matang >1,35 >1,2 >470

3.2.4 Atribut Organofasies ( Biomarker)

Kebanyakan senyawa-senyawa dan kelas senyawa yang ditemukan
dalam minyak dan bitumen disebut sebagai biomarker yang merupakan
kependekan dari biological marker. Senyawa ini, yang berasal dari
molekul perintis biogenik, pada dasarnya merupakan fosil molekul.
Kegunaan terpenting dari biomarker adalah sebagai indikator dari
organisme tempat bitumen atau minyak berasal, atau sebagai indikator
kondisi diagenetik pada saat material organik terpendam. Pada beberapa
keadaan tertentu, prazat tertentu atau molekul dapat diidentifikasi,
sedangkan pada keadaan lain kita hanya dapat membatasi kemungkinan
prazatnya menjadi beberapa jenis saja (Tabel III.4). Pada kebanyakan
keadaan, bagaimana pun juga, walaupun kita mengetahui secara pasti
bahwa molekul biomarker adalah biogenik, kita tidak dapat
menggunakannya sebagai fosil indeks untuk organisme tertentu.


25
Tabel 3.6 Kelas penting dari biomarker dan prazatnya (Waples, 1985).

i. Alkana Normal
Alkana normal merupakan salah satu biomarker pertama yang
dipelajari secara luas. Adanya konsentrasi tinggi dari alkana normal
pada bitumen dan minyak diakibatkan oleh keberadaannya pada
tumbuhan dan lemak alga serta formasi katagenik dari senyawa
rantai panjang seperti asam lemak dan alkohol. Indikasi penting
lain mengenai asal dari alkana normal adalah distribusi dari
homolog, atau anggota dari seri alkana normal.
Menurut Waples (1985) bahwa untuk sebagian besar alkana
normal yang ada pada tumbuhan tingkat tinggi memiliki nomor
ganjil dari atom karbon, terutama atom karbon 23, 25, 27, 29 dan
31 sedangkan secara kontras, alga laut memproduksi alkana normal
yang memiliki distribusi maksimum pada atom karbon 17 atau 22,
tergantung dari spesiesnya saat ini, sehingga bentuk distribusinya
sangat tajam, dan tidak ada kecenderungan memiliki nomor ganjil
atau genap dari atom karbon (Gambar 3.4). Kebanyakan sedimen,
tentunya, menerima kontribusi dari alkana normal baik dari arah
26
darat maupun laut, sehingga bentuk distribusi alkana normal
merefleksikan campuran antara keduanya.

ii. Isoprenoid

Klorofil a merupakan sumber untuk sebagian besar molekul
pristana dan fitana, yang merupakan dua dari isoprenoid yang
umum digunakan (Gambar 3.5).
Isoprenoid C16 sampai dengan C18 pada dasarnya
kemungkinan berasal dari klorofil a. Isoprenoid yang memiliki

Gambar 3.4Berbagai macam bentuk distribusi alkana normal akibat adanya perbedaan asal material alkana
normal. A. Distribusi alkana normal asal material darat, B. Distribusi alkana normal asal material darat dan
alga laut, C dan D. Distribusi alkana normal asal material alga laut (Waples, 1985).

27
atom karbon 15 atau kurang, dapat berasal dari klorofil a atau
klorofil bakteri yang memiliki isoprenoid C15 yang menggantikan
C20 sebagai rantai sisi. Asal mula isoprenoid memiliki atom
karbon dari 21 sampai dengan 25 tidak dapat dimengerti dengan
baik, walaupun hal ini sepertinya terjadi pada sedimen evaporitik,
sedangkan isoprenoid C30 dan C40 kemungkinan merupakan
kontribusi dari beberapa spesies alga.

Menurut Illich (1983) bahwa rasio pristana terhadap fitana
dapat digunakan sebagai indikator taraf oksigen selama proses
diagenesis. Rasio yang tinggi dari perbandingan tersebut dianggap
beasosiasi dengan sedimen yang dipengaruhi lingkungan darat
(Tabel 3.7).
Tabel 3.7 Perbandingan pistana dan fitana sebagai penunjuk lingkungan pengendapan (Waples,
1985).

Gambar 3.5 Struktur dari isoprenoid pristana dan fitana (Waples, 1985).
28
iii. Triterpana
Sumber organisme untuk biomarker triterpana dipercaya
berasal dari bakteri. Berbagai macam triterpenoid mengandung
beberapa hal seperti grup OH dan 26 ikatan ganda yang telah
dikarakterisasi sebagai unsur pokok yang penting dari membran sel
pada bakteri. Suatu triterpenoid yang luas kemungkinan dihasilkan
oleh di antara banyak tipe dari mikro organisme saat ini dalam
lingkungan pengendapan yang berbeda, walaupun banyak hal-hal
detail yang belum diketahui hingga saat ini. Secara khusus, terdapat
perbedaan yang signifikan antara bakteri aerobik dan bakteri
anaerobik, terutama metanogen. Transformasi dari triterpenoid
menjadi triterpana kemungkinan terjadi bersamaan dengan
transformasi dari sterol menjadi sterana. Arsitektur molekul umum
dari triterpana pada umumnya sedikit dipengaruhi oleh proses
diagenesis. Transformasi stereokimia pertama yang perlu
diperhatikan adalah pembentukan pada saat awal diagenesis dari
isomer 17(H),21(H). Geometri ini, yang stabil pada keadaan
tertentu, memiliki hidrogen yang menyisip pada C-17 di
konfigurasi alfa dan hidrogen pada C-21 di konfigurasi beta.
Hopana dengan konfigurasi 17(H),21(H) (hopana ) hanya
hadir pada conto yang kurang matang, dan seperti sterana yang
kurang matang, menjadi kurang penting di dalam dunia geokimia
minyak.
Triterpana dapat dibagi menjadi tiga famili yang berbeda
berdasarkan jumlah cincinnya. Triterpana yang dipelajari secara
lebih mendalam memiliki lima cincin, dan oleh karena itu disebut
sebagai pentasiklik. Senyawa ini terdiri dari atom karbon 27
sampai dengan 35, walaupun kadang-kadang dilaporkan memiliki
atom karbon hingga 40. Triterpana lain yang juga dipelajari
memiliki tiga cincin, dan oleh karena itu disebut sebagai trisiklik.
29
Senyawa ini terdiri dari atom karbon 21 sampai dengan 40, akan
tetapi lebih didominasi oleh atom karbon kurang dari 25.Famili
yang ketiga adalah tetrasiklik, paling sedikit dipelajari dan sangat
jelek dipahami (Waples dan Machihara, 1991) .
a) Triterpana Trisiklik

Triterpana trisiklik bukan merupakan turunan dari
triterpana pentasiklik, akan tetapi merupakan anggota dari
famili genetik yang terpisah. Triterpana trisiklik mempunyai
nomor atom karbon dari C19 sampai dengan C45 dan
kemungkinan 27 terbentuk pada jumlah kecil dari bakteri yang
sama yang menghasilkan triterpana pentasiklik, atau dari
spesies mikro organisme lainnya yang menyintesisnya.
Menurut Aquino Neto et al. (1983) bahwa pada triterpana
trisiklik, kehadiran C23 selalu mendominasi pada berbagai
macam lingkungan pengendapan. Pada batuan karbonat, C26
dan nomor atom karbon yang lebih besar secara relatif lebih
lemah, sedangkan pada lingkungan pengendapan lainnya,
kehadiran C26 sampai dengan C30 relatif sama dengan
kehadiran C29 sampai dengan C25.
Menurut Zumberge (1987) bahwa terdapat beberapa pola
yang dapat dibedakan pada triterpana trisiklik mulai C19
sampai dengan C26 (Gambar 3.6). Minyak yang berasal dari
lingkungan pengedapan laut dikarakterisasikan antara lain
dengan adanya dominasi ekstrim dari C23, kehadiran dari C26
atau nomor atom karbon yang lebih besar, C21 yang lebih
besar daripada C20 dan C20 lebih besar daripada C19. Minyak
yang berasal dari lingkungan pengendapan darat
dikarakterisasikan antara lain dengan kehadiran C23 yang tidak
30
dominan, C19 yang lebih dominan terhadap C21, dan
ketidakhadiran C26 atau nomor atom karbon yang lebih besar.

b) Triterpana Pentasiklik

Triterpana pentasiklik pada umumnya dibagi menjadi
hopanoid dan nonhopanoid (Gambar 3.7). Di dalam hopanoid
terdapat hopana 17(H),21(H) yang sering disebut sebagai
hopana dan hopana 17(H),21(H) yang sering disebut sebagai
moretana. Triterpana pentasiklik yang paling umum adalah
hopana. Analisis terhadap hopana menunjukkan bahwa hopana
mengandung atom karbon 27 sampai dengan 35 dan berbentuk
seri homolog dengan konfigurasi 17(H),21(H). Menurut
Seifert dan Moldowan (1980) bahwa rasio moretana terhadap
hopana berfungsi sebagai indikator kematangan. Rasio yang
rendah dari perbandingan tersebut dianggap berasosiasi dengan
minyak yang sudah matang.



Gambar 3.6 Berbagai macam pola pada triterpana trisiklik yang dapat digunakan sebagai petunjuk lingkungan
pengendapan (Price et al., 1987)
31








Setiap homolog berbeda dengan selanjutnya akibat adanya
sisipan grup tunggal-CH2- pada sisi rantai dari cincin E. C29
dan C30 hopana 17(H) tidak memiliki atom karbon kiral pada
rantai sisinya. C31-C40 hopana 17(H) yang sering disebut
sebagai homohopana, bagaimanapun juga, seluruhnya
memiliki atom karbon kiral tunggal (C-22) pada rantai sisinya,
dan karena itu hadir pada epimer 22R dan 22S.
Karena perintis hopana yang dihasilkan secara biologis
hanya terdapat dalam bentuk R, perpanjangan hopana yang
baru terbentuk pada sedimen seluruhnya memiliki konfigurasi
22R.
Sepasang hopana C27 (trisnorhopana 17(H)-22,29-30
dan trisnorneohopana 18(H)-22,29-30), yang biasa disebut
sebagai Tm dan Ts, sebenarnya juga hadir pada seluruh conto
(Gambar 3.8). Tm dipercaya mewakili struktur yang dihasilkan
secara biologis. Menurut Jones dan Philp (1990) bahwa rasio
Tm terhadap Ts dapat digunakan sebagai indikator kematangan
relatif pada seri batuan atau minyak yang mewakili fasies yang

Gambar 3.7 Struktur dari triterpana pentasiklik yang menunjukkan adanya lima cincin pada rantai
karbon (Waples dan Machihara, 1991).

32
sama. Bertambahnya kematangan, 17(H)-trisnoropana, Tm
secara berangsur-angsur menghilang dan 18(H)-
trisnorneohopana, Ts bertambah (Waples dan Machihara,
1991)






Struktur lain dari molekul yang dapat diidentifikasi dari
triterpana pentasiklik adalah dua hopana yaitu bisnorhopana
28,30 dan trisnorhopana 25,28,30 dan beberapa nonhopanoid
seperti gammaserana dan senyawa familinya yang disebut
sebagai oleanana (Gambar 3.9). Menurut Ekweozor dan Udo
(1988) bahwa oleanana dipercaya berasal dari angiosperma
atau tumbuhan darat yang menghasilkan resin dalam jumlah
banyak. Kehadiran oleanana pada lingkungan laut
kemungkinan akibat proses transportasi dari sumber darat.







Gambar 3.8 Struktur dari Tm dan Ts (Waples dan Machihara, 1991).
33










c) Sterana
Sterana berasal dari sterol yang ditemukan pada sebagian
besar tumbuhan tingkat tinggi dan alga serta jarang atau tidak
ditemukan pada organisme prokariotik. Empat perintis sterol
utama yang mengandung atom karbon 27, 28, 29 dan 30 telah
diidentifikasi pada organisme fotosintetik. Sterol ini
memberikan kenaikan jumlah pada keempat sterana umum
yang berbeda selama proses diagenesis. Keempat sterana ini
dapat disebut sebagai homolog atau anggota dari seri homolog
karena mereka hanya dibedakan oleh tambahan berupa sekuen
dari -CH2- pada tempat tertentu di molekul. Penggunaan kata
umum mengindikasikan rangka karbon yang sama dengan
prazat biologisnya. Terdapat beberapa macam penamaan
terhadap sterana C27-C29 (Gambar 3.10).
Pada sistem penamaan yang pertama, setiap sterana
mempunyai nama yang berbeda berdasarkan asal dari sterol

Gambar 3.9 Struktur dari bisnorhopana, trisnorhopana, gammaserana dan oleanana
(Waples dan Machihara, 1991).

34
umum dengan jumlah atom karbon yang sama. Secara
berurutan nama untuk C27 sampai dengan C29 adalah
kolestana, ergostana dan sitostana. Pada sistem penamaan
lainnya, setiap sterana dinamakan sebagai homolog dari
kolestana yaitu kolestana, metilkolestana 24 dan etilkolestana
24.












Struktur detail dari sterana yang baru terbentuk dan
perintis sterolnya pada umumnya dianggap identik kecuali
adanya sejumlah kekurangan oksigen dan proses hidrogenasi
dari ikatan ganda. Pada keadaan tertentu, seluruh sterana yang
baru terbentuk dipercaya hanya hadir pada epimer 20R karena
bentuk tersebut hanya dihasilkan secara biologis.

Gambar 3.10 Struktur dari sterana C27-C30 yang berasal dari sterol. C27 adalah kolestana, C28
adalah ergostana atau metilkolestana 24 , C29 adalah sitostana atau etilkolestana 24, C30 adalah
propilkolestana 24 (Waples dan Machihara 1991).
35
Bukti terakhir, bagaimanapun juga, menyarankan bahwa
perubahan stereokimia terjadi pada C-14 dan C-17 selama
proses diagenesis. Molekul yang terjadi pada sterol memiliki
atom hidrogen pada konfigurasi alfa di kedua posisinya.
Bentuk ini dikenal luas sebagai 5(H),14(H),17(H) atau
14(H),17(H) atau secara lebih sederhana disebut sebagai
atau . Walaupun sebagian besar proses diagenesis yang
menghasilkan sterana didominasi oleh bentuk akan tetapi
bentuk atau juga dapat dihasilkan selama proses
diagenesis, seperti pada lingkungan hipersalin.
Menurut Huang dan Meinschein (1979) dikutip dari
Waples dan Machihara (1991) bahwa proporsi relatif dari C27-
C29 pada sterol biasa yang berasal dari organisme hidup
berhubungan dengan lingkungan tertentu sehingga sterana
pada sedimen kemungkinan menyediakan informasi
lingkungan purba yang berharga (Gambar III.11). Jumlah yang
lebih besar dari sterol C29 mengindikasikan kontribusi yang
kuat dari darat sedangkan dominasi dari C27 mengindikasikan
kontribusi yang kuat dari fitoplankton laut. C28 memiliki
jumlah yang pada umumnya lebih rendah jika dibandingkan
dengan kedua sterol lainnya, akan tetapi jumlah yang relatif
besar dari biasanya mengindikasikan kontribusi yang kuat dari
alga lakustrin.





36














Sterana bisa juga dipakai untuk menentukan kematangan
suatu batuan induk yaitu dengan menggunakan perbandingan
antara dua bentuk epimer (20R dan 20S) dari sterana, yang
populer digunakan adalah 20S/(20R+20S) dengan
bertambahnya kematangan perbandingan 20S bertambah
sebagai suatu dari perubahan konfigurasi molekul 20R
(Gambar 3.12). Pada akhir kesetimbangan dua bentuk tercapai,
tersusun kira-kira 55% 20S dan 45% 20R.


Gambar 3.11 Diagram segitiga yang menunjukkan ketergantungan lingkungan
dari komposisi sterol pada organisme. Diambil dari Waples dan Machihara
(1991).
37








G













Gambar 3.12 Perubahan yang dapat dibalik dari epimer 20R dan 20S
akibat bertambahnya kematangan. Diambil dari Waples dan Machihara
(1991).
38
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk menganalisis batuan induk pada formasi
Sebahat dan Ganduman adalah dengan cara analisis geokimia dan petrografi.
Mustapha dan Abdullah (2013) meneliti sampel dari 32 singkapan pada
Formasi Sebahat dan Ganduman. Analisis geokimia pada penelitian
Mustapha dan Abdullah (2013) menggunakan pirolisis batuan (rock eval
pyrolisis), analisa kandungan material organik (%TOC), ekstraksi bitumen,
dan kromatografi gas.
Mustapha dan Abdullah (2009) menganalisis TOC dan pirolisis batuan
dengan cara menghancurkan 100 miligram sampel batuan induk, lalu
dipanaskan dengan suhu hingga 600C, menggunakan instrumen Rock-Eval
II.
Sampel batulempung,batubara,dan batugamping diekstraksi
menggunakan metode ekstraksi sochlet untuk menghitung presentase
kandungan hidrokarbon dan bitumen.
Untuk analisa petrografi , sampel batubara dan batulempung dihancurkan
lalu dipreparasi untuk dianalisa di bawah mikroskop. Analisa mikroskopik
mengguankan mikroskop fotometri Leica CTR6000 M.
4.2 Data Hasil Analisis

Data hasil analisis geokimia dan petrografi batuan induk Formasi
Sebahat dan Ganduman diuraikan dalam tabel 4.1 dan 4.2

39
Tabel 4.1 Hasil analisis rock eval pyrolisis, ekstraksi bitumen, analisis maseral dan reflektansi
vitrinit Formasi Ganduman (Mustapha dan Abdullah, 2009)




40
Tabel 4.1 Hasil analisis rock eval pyrolisis, ekstraksi bitumen, analisis maseral dan reflektansi
vitrinit Formasi Sebahat (Mustapha dan Abdullah, 2009)




41
4.3 Analisa Kematangan Termal
Mustapha dan Abdullah (2013) menganalisis kematangan termal pada
sampel batuan induk Formasi Sebahat dan Ganduman dengan menganalisis
nilai reflektansi vitrinit dan data Tmaks dari hasil pirolisis sampel.
Pengukuran reflektansi vitrinit dilakukan pada sampel batulempung dan
batubara pada daerah tersebut. Mustapha dan Abdullah (2013) menjelaskan
bahwa pada sampel batulempung, terdapat banyak vitrinit yang mengalami
rework atau berasal dari tempat lain sehingga membuat pengukuran
reflektansi vitrinit menjadi sulit. Untuk mendapatkan nilai rata-rata reflektansi
vitrinit yang sebenarmya, pengukuran reflektansi vitrinit dilakukan secara
acak pada partikel vitrinit yang homogen yang mengalami sedikit perubahan
reflektivitas ketika diamati pada mikroskop (Mustapha dan Abdullah,2013).
Nilai reflektansi vitrinit pada penelitian Mustapha dan Abdullah (2013)
untuk Formasi Ganduman berkisar antara 0,20 % dan 0,35 % Ro, sedangkan
untuk Formasi Sebahat berkisar antara 0,25 % dan 0,44 % Ro. Data Tmaks
menunjukan kesamaan hasil dengan nilai-nilai reflektansi vitrinit pada
Formasi sebahat (Mustapha dan Abdullah,2013). Namun, ada korelasi negatif
yang diperoleh untuk sampel Formasi Ganduman. Hasil pengukuran
reflektansi vitrinitnya sedikit lebih rendah dari data Tmaks (Mustapha dan
Abdullah, 2013).
Mustapha dan Abdullah (2013) menjelaskan bahwa hal tersebut mungkin
disebabkan karena terdapat peresapan bitumen pada maseral vitrinitnya. Pada
penelitian sebelumnya terdapat bukti migrasi hidrokarbon di bagian Formasi
Ganduman bawah berupa batupasir, yang bersumber dari dalam,pada batuan
induk yang lebih matang (Khalid Ali dkk, 2003, dalam Mustapha dan
Abdullah 2013).

42
Sweeney dan Burnham (1990, dalam Mustapha dan Abdullah, 2013)
mengemukakan bahwa batuan menjadi matang ketika nilai reflektansi vitrinitnya
berkisar 0,55 % menjadi 1,25%, sementara Tissot dan Welte (1978, dalam
Mustapha dan Abdullah 2013) menggunakan data Tmaks untuk membedakan gas
window dan oil top, berkisar dari 430
O
C sampai 470
O
C.
Berdasarkan persetujuan tersebut, sebagian besar sampel yang dianalisis
pada daerah penelitian ini diperkirakan belum matang. Beberapa contoh dari
Formasi Sebahat menunjukkan tahap awal dari kematangan dalam pembentukan
hidrokarbon. Sedangkan, untuk Formasi Ganduman hasilnya adalah belum
matang (Mustapha dan Abdullah, 2013).

4.4 Kekayaan Bahan Organik dan Kualitas Sumber Organik

i. Kandungan TOC (Total Organic Carbon)
Penentuan TOC dilakukan pada semua 32 sampel yang terdiri dari
batulempung, batuan sedimen batubaraan dan batubara. Hasil penelitian
kandungan TOC pada Formasi sebahat adalah sebagai berikut :
Batulempung memiliki kandungan TOC rendah hingga tinggi, yaitu 0,74-
6,26 % dari berat.
Batuan sedimen batubaraan dan brown coal relatif memiliki kandungan
yang lebih tinggi dalam kekayaan organik daripada batuan sedimen
batubaraan yang memiliki 21,33-22,13 % dari berat dan brown coal 47,74
% dari berat.

Rincian hasil penelitian kandungan TOC pada batuan di Formasi
Ganduman adalah sebagai berikut:
Batulempung menunjukkan kandungan TOC tinggi yaitu 1,05-4,80%
dari berat total.
43
Batuan sedimen batubaraan memiliki kandungan sangat baik, yaitu
dengan TOC 12,35-14,66% dari berat total sampel.
Batubara seperti memiliki kandungan TOC sangat tinggi yaitu 50,35-
60,35% dari berat total sampel.
Brown coal mengandung sedikit lebih rendah dibandingkan batubara
TOC yaitu 48.54% berat total sampel.

Mustapha dan Abdullah (2009) menyimpulkan bahwa pada data hasil
analisis terdapat dominansi kandungan TOC lebih dari 1% dari berat total
sampel, sehingga dapat disimpulkan kekayaan material organiknya sangat
tinggi.

ii. EOM (Extractable Organic Matter)

Sampel batulempung,batubara,dan batugamping diekstraksi
menggunakan metode ekstraksi sochlet untuk menghitung presentase
kandungan hidrokarbon dan bitumen. Hasil analisis kuantitas EOM
(Extractable Organic Matter) pada penelitian Mustapha dan Abdullah (2013)
dapat dilihat pada Gambar 4.1.










Gambar 4.1 Harga EOM dari sampel penelitian (Mustapha dan Abdullah, 2012)
44
Hasil analisis Mustapha dan Abdullah (2013) menunjukan bahwa rata-
rata sampel memiliki kandungan nilai EOM yang rendah hingga sangat
tinggi. Berdasarkan referensi, suatu batuan dapat dikatakan sebagai batuan
induk yang mengandung hidrokarbon apabila memiliki kandungan nilai EOM
diatas 1000 ppm (Peters dan Cassa, 1994, dalam Mustapha dan Abdullah,
2013). Mustapha dan Abdullah (2013) menyatakan bahwa hampir semua
batuan sampel pada kedua formasi berupa batulempung, batupasir dan
batubara dapat dikategorikan batuan induk yang mengandung hidrokarbon
karena mengandung nilaI EOM lebih tinggi dari 1000 ppm. Kandungan nilai
EOM yang sangat tinggi terdapat dalam batubara (Mustapha dan
Abdullah,2013). Hal ini dapat terjadi karena sebagian besar penyusun
batubara adalah komponen organik yang terendapkan sehingga memiliki
kandungan EOM sangat tinggi.
Namun, kandungan EOM merupakan campuran kompleks dari
komponen hidrokarbon dan nonhidrokarbon khususnya dalam sampel batuan
induk yang belum matang yang dapat mempengaruhi perhitungan dalam
menentukan kualitas batuan induk. Rasio komponen hidrokarbon yang yang
dipisahkan dengan metode kolom kromatografi akan menghasilkan
interpretasi yang lebih baik.
iii. Diagram Terniari Komponen Aliphatic-Aromatic-NSO
Komponen hidrokarbon dan nonhidrokarbon dipisahkan dengan
menggunakan teknik kolom kromatografi. Rasio komponen tersebut
kemudian dihitung untuk menentukan kekayaan material organik dalam
batuan induk. Menurut Mustapha dan Abdullah (2013) pada umumnya
sampel didominasi oleh komponen nonhidrokarbon.
Mustapha dan Abdullah (2013) menganalisis bahwa pada umumnya
jumlah komponen nonhidrokarbon lebih besar dari 40% dari total ekstrak.
Hubungan komponen hidrokarbon dan komponen nonhidrokarbon
45
berdasarkan komponen penyusun dari hidrokarbon dapat dilihat dari gambar
4.2.












Dari hasil penelitian Mustapha dan Abdullah (2013) dengan metode
pemisahan kolom kromatografi,dapat disimpulkan bahwa komponen non-
hidrokarbon lebih banyak kandungannya dari komponen hidrokarbon.
Komponen Aliphatic-Aromatic-NSO pada gambar 4.22, berwarna hijau untuk
Formasi Ganduman dan berwana cokelat untuk Formasi Sebahat. Dari hasil
plot tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebagian dari komponen organik di
batuan Formasi Sebahat dan Formasi Ganduman belum menjadi hidrokarbon
atau bitumen karena mengandung kandungan NSO yang dominan. Namun,
ada beberapa sampel batuan yang memiliki kandungan aliphatik yang tinggi

Gambar 4.2 Diagram terniari Aliphatic-Aromatic-NSO (Mustapha dan
Abdullah, 2012)
46
sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat peresepan dari hidrokarbon. Hal
disebabkan karena terdapat migrasi hidrokarbon dari suatu tempat ke batuan
tersebut (Mustapha dan Abdullah, 2013).
Kuantitas batuan induk berdasarkan presentase hidrokarbon ditunjukkan
oleh gambar 4.3.

Fraksi hidrokarbon yang dihasilkan dari analisis EOM mengindikasikan
pada umumnya sampel batulempung memiliki potensi generasi hidrokarbon
yang baik sampai cukup. Dari grafik diatas, rata-rata sampel batuan batubara
memiliki potensi generasi yang sangat tinggi karena memiliki kandungan
hidrokarbon yang sangat tinggi.






Gambar 4.3 Kuantitas komponen hidrokarbon dari nilai EOM (Mustapha dan
Abdullah, 2012)
47
4.5 Tipe Kerogen dan Generasi Hidrokarbon

a. Tipe Kerogen
Tipe kerogen dalam sampel batuan di penelitian Mustapha dan
Abdullah (2013) diteliti dengan metode analisis geokimia dan petrografi.
Tipe kerogen yang berbeda akan menghasilkan tipe hidrokarbon yang
berbeda pula.
Mustapha dan Abdullah (2013) menggunakan metode rock eval
pyrolisis untuk menentukan tipe kerogen dengan mengeplot nilai HI
dengan Tmaks dalam diagram yang telah dimodifikasi oleh
Mukophadhyay et al., (1995 dalam Mustapha dan Abdullah (2013). Hasil
plot tersebut dapat dilihat pada gambar 4.4.
B
e
r
d
a
s
a
r
k
a
n

h
a
s
i
l

p

Gambar 4.4 Nilai HI vs Tmax dari sampel penelitian (Mustapha dan Abdullah, 2012).
48
lot nilai HI dan Tmaks, Mustapha dan Abdullah (2013) menyimpulkan
bahwa sampel batulempung pada Formasi Sebahat dan Ganduman
termasuk kedalam kerogen tipe III yang cenderung menghasilkan gas dan
belum matang. Sebagian kecil sampel batubara dan amber pada formasi
Sebahat dan Ganduman termasuk kedalam kerogen tipe II/III yang
berpotensi menghasilkan minyak atau gas dan belum matang.Sebagian
kecil sampel batulempung Formasi Sebahat termasuk kedalam kerogen
tipe III yang cenderung menghasilkan gas dan sudah matang.
Selain metode pirolisis, Mustapha dan Abdullah (2013) juga
menggunakan metode analisis petrografi untuk menentukan tipe kerogen.
Hasil analisis petrografi tersebut tersebut dapat dilihat pada gambar 4.5.

















Dari hasil analisis petrografi Mustapha dan Abdullah (2009),
sampel batulempung didominasi oleh kandungan material tumbuhan

Gambar 4.5 Kandungan maseral pada sampel batuan penelitian (Mustapha dan Abdullah,
2012)
49
berkayu atau vitrinit yang mengindikasikan bahwa sampel tersebut
merupakan kerogen tipe III yang cenderung menghasilkan gas. Sedangkan,
pada sampel batubara kandungan maseral didominasi oleh vitrinit yang
merupakan kerogen tipe III dan sedikit liptinit yang merupakan kerogen
tipe II/III. Namun, ada dua sampel batubara yang memiliki kandungan
liptinit yang cukup tinggi dibandingkan dengan sampel lainnya.Sebagian
kecil sampel batubara termasuk kerogen tipe II yang cenderung
menghasilkan minyak.
iv. Generasi Pada Batuan Induk

Generasi hidrokarbon menunjukkan sampel batuan tersebut akan
menhasilkan minyak atau gas. Hal ini dapat dilihat dari nilai kandungan HI
yang tinggi atau rendah (berkaitan dengan tipe kerogennya juga). Dimana
HI tinggi dapat dikatakan memiliki kemungkinan besar sebagai generasi
hidrokarbon. Hal tersebut dapat dilihat dari perbandingan nilai n-alkena
dengan alkana. Pada batubara Formasi Ganduman, nilai perbandingannya
dapat dilihat pada Gambar 4.3.3 dibawah ini.

Dari gambar di atas menunjukan nilai perbandingannya lebih dari 0,5
dimana hal ini menunjukan bahwa sampel batuan tersebut termasuk batuan
yang akan menghasilkan generasi hidrokarbon berupa minyak. Sedangkan,
pada beberapa sampel batulempunG di Formasi Sebahat memiliki
perbandingan nilai kurang dari 0,5 (Gambar 4.3.4) yang menunjukan
batuan tersebut generasi hidrokarbonnya adalah gas. Lalu, beberapa
sampel batulempung pada Formasi Ganduman tidak terdapat nilai
perbandingan antara n-alkena dengan alkana (Gambar 4.3.5) dimana
menunjukan bahwa sampel batuan tersebut termasuk batuan yang tidak
menghasilkan generasi hidrokarbon.
50






Gambar 4.6 Perbandingan nilai n-oktena dengan alkana pada sampel batubara Formasi
Ganduman (Mustapha dan Abdullah, 2012)

Gambar 4.7 Perbandingan nilai n-oktena dengan alkana pada sampel batulempung
Formasi Sebahat (Mustapha dan Abdullah, 2012)
51












Gambar 4.8 Perbandingan nilai n-oktena dengan alkana pada sampel batulempung
Formasi Ganduman (Mustapha dan Abdullah, 2012)
52
BAB V
DISKUSI

Hasil penelitian di atas dari analisis kematangan termal, kandungan material
organik (kekayaan), tipe kerogen pada tiap sampel utuk batuan induk, dan
generasi kerogen menunjukan hasil yang menurut pendapat saya terdapat bebrapa
perbedaan dengan hasil penulis. Saya ingin menambahkan dalam hal mengenai
metode rock eval yang digunakan pada batubara, hubungan asal vitrinit terhadap
kematangan termal, anomali kekayaan pada batubara, hubungan hasil analisis dari
nilai HI pada sampel terhadap klasifikasi tipe kerogen akibat dari hasil reflektansi
vitrinit, dan lingkungan pengendapan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh penulis paper menulis sampel untuk rock
eval pirolisis memiliki berat 100mg, seharusnya sampel memiliki berat itu
tergantung dari batuannya. Menurut saya, khusus batubara seharusnya memiliki
berat sampel di bawah 100 mg, jadi dalam paper ini terjadi salah penulisan untuk
berat sampel. Hal itu dapat membuat presepsi yang salah terhadap datanya.Pada
hasil analisis pada TOC di batubara dan batulumpur, batubara memiliki nilai TOC
yang sangat tinggi dibandingkan dengan batulumpur, baik pada batubara Formasi
Sebahat atau Ganduman. Hal ini disebabkan karena material penyusun batubara
hampir semuanya adalah material organik. Oleh karena itu, batubara memiliki
nilai TOC yang sangat tinggi.
Pada hasil analisis rock eval pirolisis, beberapa sampel batuan memiliki nilai
HI kurang dari lima puluh. Berdasarkan nilai HI tersebut, sampel batuan tersebut
seharusnya masuk ke dalam kerogen tipe IV yang berarti tidak ada potensi (Peter
dan Cassa, 1994), namun pada plotan data antara Tmaks dan HI, sampel ini
termasuk ke dalam kerogen tipe III. Hal ini menunujukan perbedaan, namun
menurut saya sampel ini termasuk ke dalam tipe III, karena cara pembacaan tabel
klasifikasi pada Peter dan Cassa (1994), kerogen tipe IV ini pada klasifikasinya
53
masih berpotensi gas, namun kemungkinan sangat kecil, sehingga dalam plotan
grafik masih berada pada zona yang menghasilkan gas.
Pada hasil gas kromatografi, grafik untuk hasi batubara menunjukan
materialnya berasal dari darat dan laut, dan nilai perbandingan antar pristana dan
fitana pada grafik menunjukan lingkungan pengendapan dari sebuah batubara.
Sedangkan, hasil grafik pada batulumpur formasi sebahat menunjukan asal
material dari laut, serta nilai perbandingan pristana dan fitana menunjukan
lingkungan pengendapan dari sedimen laut oksik.














54
BAB VI
KESIMPULAN
Formasi Ganduman dan Sebahat untuk batubara dan batulumpur memiliki
potensi dari fair hingga very good untuk berpotensi menghasilkan hidrokarbon
berdasarkan analisis geokimianya. Kematangan termal dari sampel batuan
menunjukan pada kondisi belum matang dominannya pada Formasi Sebahat dan
Ganduman. Sedangkan, untuk tipe kerogennya sendiri berbeda satu sama lainnya.
Pada sampel batubara memiliki tipe kerogen II/III dan batulumpur termasuk tipe
kerogen III.












55
DAFTAR PUSTAKA

Referensi Utama :
Amijaya, H. dan Littke, R. 2004. Microfacies and Depositional Environment of
Tertiary Tanjung Enim low rank coal, South Sumatera Basin,
Indonesia. International Journal of Coal Geology 61 (2005) 197-221

Referensi Tambahan :

Aditya, R. R. 2007. Analisis Variasi Kandungan Sulfur Pada Batubara di Daerah
Palaran, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Tesis. Program
Magister. Bandung.
Suwarna, N. 2006. Permian Mengkarang coal facies and environment, based on
organic petrology study. Jurnal geologi Indonesia, Vol 1 No.1 Maret
2006: 1-8
Agus, F. dan Gede, I. M. S. 2008. Lahan Gambut : Potensi untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry
Center (ICRAF). Bogor.
Imansyah, A. 2012. Macam-Macam Maseral dan Batubara dan Karakteristiknya.
Jurnal Geologi Batubara.
Thomas, L.. 2002. Coal Geology. John Wiley & Sons, LTD. England
Daranin, E.A.. 1995. Studi petrografi batubara untuk penentuan peringkat dan
lingkungan pengendapan batubara di daerah Bukit Kendi, Muara
Enim, Sumatera Selatan. Tesis. Program MagisterITB. Bandung
Stallone, R. 2011. Optimalisasi Alat Penunjang Tambang Track Stackle dalam
Upaya Pembersihan Tumpahan Batubara dan Overburden dari Belt
Conveyor di Tambang Air Laya PT. Bukit Asam (Persero) Tbk, Tanjung
Enim, Sumatera Selatan. Skripsi. Universitas Pembangunan Nasional
Veteran. Yogyakarta.

56


TIPE RESIN /AMBER SALAH METODE BATU BARA
PIROLISIS















57



LAMPIRAN


Bordenave, M.L.,1993 Apllied petroleum geochemistry, teditio technip. Hsl 101-107.

















58
Abstrak
Mustapha dan Abdullah (2013) mengevaluasi potensi batuan induk pada
sub-cekungan Sandakan yaitu pada Formasi Sebahat dan Ganduman, Dent
Peninsula, Sabah Timur Malaysia.

You might also like