You are on page 1of 4

DELIRIUM YANG DIINDUKSI OLEH ALKOHOL ATAU ZAT PSOKOAKTIF

LAINNYA
1. DEFINISI
Delirium adalah suatu sindroma yang terdiri dari gangguan kesadaran dan kognitif dengan
awitan akut dan fluktuatif (gejala membaik-memburuk silih berganti). Di mana terdapat
gangguan kemampuan memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan konsentrasi; serta
perubahan kognisi (gg daya ingat, disorientasi, gg berbahasa, judgment) dan persepsi
(halusinasi), yang terjadi dalam durasi singkat, beberapa jam - hari - minggu. Kategori:
a. Delirium akibat kondisi medik umum (misalnya infeksi)
b. Delirium terinduksi zat (kokain, opioid, dll)
c. Delirium akibat etiologi ganda (trauma kapitis dan ggn ginjal)
d. Delirium tak tergolongkan (deprivasi tidur)
e. Delirium tak terinci .
Delirium bukanlah suau penyakit melainkan suatu sindrom dengan penyebab multipel yang
terdiri dari berbagai macam pasangan gejala akibat dari suatu penyakit dasar. Sedangkan
delirium yang diinduksi oleh alkohol atau zat aditif lainnya adalah delirium yang diakibatkan
karena penggunaan ataupun putus zat alkohol atau zat aditif lainnya
2. INSIDENSI
Delirium merupakan sebuah sindrom yang dicetuskan oleh banyak hal. Diantaranya adalah
intoksikasi obat/ racun sebanyak 22-39%, withdrawl alkohol, defisiensi thiamin, ensefalopati
metabolik (25%) (Moran dan Dorevicth, 2001).

3. ETIOLOGI
a. Penyebab-penyebab delirium yang umumnya reversibel :
Hipoksi.
Hipoglikemi.
Hipertermi.
Delirium antikolinergik .
Sindrom putus zat karena alkohol atau sedatif.
b. Penyebab lain :
Infeksi
Gangguan metabolik.
Lesi struktural otak.
Pascaoperasi.
Lain-lain : kurang tidur, retensi urin, fecal impaction, perubahan lingkungan.
Intoksikasi:
Intoksikasi zat : alkohol, heroin, kanabis, PCP (Phenyciclidin), dan LSD
Intoksikasi obat :
- Antikolinergik (antidepresan trisiklik).
- Narkotik (meperidin).
- Hipnotik sedatif (benzodiazepin).
- Histamin-2 (H-2) blocker (simetidin).
- Kortikosteroid.
- Antihipertensi sentral (metildopa dan reserpin).
- Antiparkinsonisme (levodopa).
Sindrom putus zat : alkohol, opiat, dan benzodiazepin.

c. Demensia merupakan salah satu faktor risiko yang paling besar. Faktor risiko demensia
pada pasien delirium sebesar 25-50%. Adanya demensia meningkatkan risiko delirium
sebanyak 2-3 kali
d. Delirium yang berhubungan dengan operasi:
Preoperatif (demensia, polifarmasi, putus obat, gangguan elektrolit, dan cairan).
Intraoperatif (meperidin, benzodiazepine long-acting, dan antikolinergik seperti
atropin).
Pascaoperatif (hipoksia dan hipotensi).

4. PATOFISIOLOGI
Deli rium tremens pada akibat lepas zat alkohol dapat terjadi pada individu dengan
gizi baik yang mendapat sejumlah besar alkohol kemudian diberhentikan mendadak. Delirim
tremens relatif jarang terjadi pada abstinensi alcohol. Asetilkolin sering dihubungkan dengan
sindrom delirium. Penyebabnya antara lain gangguan metabolisme oksidatif di otak yang
dikaitkan dengan hipoksia dan hipoglikemia. Faktor lain yang berperan antara lain
meningkatnya sitokin otak pada penyakit akut. Ketiga penyebab tersebut akan mengganggu
tranduksi sinyal neurotransmitter serta second messenger system. Pada gilirannya kondisi tadi
akan memunculkan gejala-gejala serebral dan aktivitas psikomotor yang terdapat pada
delirium. Alkohol maupun zat lainnya mampu menghambat sinyal di sistem saraf pusat.
Selain itu alkohol juga menekan kinerja sistem saraf pusat serta meningkatkan aktivitas asam
gamma aminobutyric (GABA) dan melemahkan glutamin, sehingga alkohol bisa
menyebabkan delirium.

5. GEJALA KLINIS
a) Gangguan kesadaran (memusatkan, mempertahankan, mengalihkan perhatian) disebut
kesadaran berkabut, menurun. Fluktuasi kesadaran (siang tenang, malam gelisah)
b) Gangguan fungsi kognitif :
disorientasi : waktu, tempat, terakhir terganggu thd orang
gangguan daya ingat (t.u. recent memories),gg memori/amnesia temporer
gangguan berbahasa
gangguan persepsi (ilusi atau halusinasi tersering visual)
c) Gangguan konsentrasi : perhatian mudah teralih
d) Gg pola tidur bangun : siang tenang, malam gelisah
e) Gg psikomotor : gelisah/agitasi, atau sub/stupor
f) Gg perasaan: marah, cemas,atau eforia/gembira berlebihan
g) Bisa sembuh sempurna, coma atau meninggal

6. PENEGAKAN DIAGNOSA
Kriteria diagnostik delirium (DSM-IV):
a) Gangguan kesadaran (berkurangnya kewaspadaan terhadap lingkungan),
berkurangnya kemampuan dalam memfokuskan, mempertahankan, dan mengalihkan
perhatian.
b) Perubahan kognitif (defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa, dan gangguan
persepsi) yang terjadi di luar adanya, awal terjadinya atau berkembangnya demensia.
c) Gangguan terjadi pada jangka waktu singkat (biasanya antara beberapa jam sampai
hari) dan cenderung berfluktuasi dalam satu hari.
d) Penemuan yang spesifik dari riwayat, pemeriksaan fisik atau pemeriksaan
laboratorium dapat mengindikasikan penyebab gangguan apakah akibat fisiologik
dari kondisi medis umum, intoksikasi zat, penggunaan obat-obat tertentu atau dapat
juga timbul oleh lebih dari satu penyebab.

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Adanya bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan penemuan pemeriksaan
laboratorium yang mengindikasikan bahwa gangguan ini merupakan konsekuensi fisiologis
dari kondisi medis umum. Selain itu pemeriksaan penunjang dasar seperti darah perifer
lengkap, elektrolit, analisis gas darah, gula darah, ureum, kreatinin,urin lengkap, EKG dan
foto thoraks harus dilakukan.
7. DIAGNOSIS BANDING
Demensia
Skizofrenia
Histeria

8. TATA LAKSANA
Intervensi Nonfarmakologis
Target utama adalah meminimalkan faktor lingkungan yang menyebabkan delirium,
kebingungan, dan kesalahan persepsi serta mengoptimalkan stimulasi lingkungan.
Intervensi Farmakologis
o Antipsikotik Tipikal. Haloperidol masih merupakan pilihan utama. Untuk lansia
atau delirium hipoaktif dimulai dengan dosis 0,5-1 mg/ 12 jam, sementara untuk usia
muda dan keadaan agitasi yang berat serta delirium hiperaktif digunakan dosis 10
mg/2 jam IV. Jika dosis awal tidak efektif, maka dapat digandakan 30 menit
kemudian selama tidak ditemukan efek samping. Pengaruh terhadap jantung
memberikan gambaran interval QT memanjang pada EKG, sehingga pemberian
haloperidol disertai dengan monitor EKG.
o Antipsikotik Atipikal. Dosis risperidon untuk orang tua 0,25- 0,5 mg/12 jam,
olanzapin 2,5-5 mg malam hari, quetiapin 12,5 mg malam hari (peningkatan dosis
bertahap sesuai indikasi). Risperidon dan ziprasidon mempunyai efek interval QT
memanjang pada EKG. Olanzapin dan quetiapin altematif pengganti haloperidol.
Olanzapin berisiko meningkatkan kadar glukosa serum, selain itu olanzapin
mempunyai efek antikolinergik potensial yang merupakan kontraindikasi pada
delirium. Olanzapin dan risperidon tersedia dalam sediaan oral.
o Benzodiazepin. Pada pasien yang mengalami agitasi dan tidak responsif terhadap
monoterapi antipsikotik, dapat digunakan diazepam 5-10 mg IV; dapat diulang
sesuai kebutuhan. Benzodiazepin dapat digunakan sebagai monoterapi ,pada gejala
putus, alkohol, benzodiazepin, barbiturat, atau delirium pascakejang. Pasien delirium
dengqn gejala putus alkohol diberi tiamin 100 mg/hari dan asam folat 1 mg/hari.
Pemberian tiamin mendahului pemberian glukosa IV. Benzodiazepin memberikan
efek sedasi berlebih, depresi pernapasan, ataksia, dan amnesia.
o Preparat Anestetik. Propofol dapat digunakan pada pasien yang tidak responsif
terhadap psikotropik tipikal. Efek sampingnya berupa depresi pernapasan. Propofol
bekerja cepat dan waktu paruhnya singkat. Dosis maksimum 75 g/kg/ menit. Efek
samping lain berupa hipertrigliseridemia, bradikardi peningkatan enzim pankreas,
dan asam laktat.

9. PROGNOSIS
Walaupun gejala dan tanda sindrom delirium bersifat akut namun ternyata dilaporkan adanya
beberapa kasus dengan gejala dan tanda yang menetap bahkan sampai bulan ke-12. Beberapa
penelitian melaporkan hasil pengamatan tentang prognosis sindrom delirium
yang berhubungan dengan mortalitas, gangguan kognitif pasca delirium, serta fungsional dan
gejala sisa yang ada. Dari berbagai penelitian yang ada didapatkan pasien-pasien dengan
sindrom delirium akan mempunya resiko kematian lebih tinggi jika kormobiditas-
nya tinggi, penyakitnya lebih berat dan jenis kelamin laki-laki. Episoda delirium juga lebih
panjang pada kelompok pasien dengan demensia dibanding tanpa demensia.

Sumber:
Maramis, W. F. 1994. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press
Dewanto, George, dkk. 2009. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC

You might also like