You are on page 1of 23

REFERAT

HYALINE MEMBRANE DISEASE







Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Radiologi
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto
Diajukan Kepada :
Pembimbing : dr. Nataliandra, SpRad

Disusun Oleh :
Agustina Tiaradita
(1220221142)
Muhammad Shofyan
(1102005146)

Kepaniteraan Klinik Departemen Radiologi
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO
PERIODE 10 FEBRUARI-15 MARET 2014

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmatNya penulis akhirnya dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul Hyaline
Membrane Disease
Tujuan dari penyusunan referat ini adalah untuk memperdalam pengetahuan tentang
Hyaline membrane Disease khususnya bagi dokter-dokter muda yang sedang menjalankan
kepaniteraan klinik di RSPAD Gatot Soebroto. Penulis berharap referat ini dapat bermanfaat
untuk kepentingan pelayanan kesehatan, pendidikan, penelitian, dan dapat dipergunakan
dengan sebaik baiknya oleh berbagai pihak yang berkepentingan.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ungkapan terimakasih kepada:
1. dr.Nataliandra, SpRad selaku dokter pembimbing yang telah memberikan bimbingan
dalam penyusunan referat ini.
2. Seluruh dokter spesialis radiologi, dokter PPDS radiologi, dan rekan rekan dokter
muda atas semua dukungan dan bantuannya.
Penulis sadar sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, segala masukan yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan guna perbaikan di masa yang akan datang.

Jakarta, Februari 2014

Penulis





DAFTAR ISI
















BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease
(HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada
bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya
atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum
protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan.
Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan dan menurun
sejak digunakan surfaktan eksogen ( Malloy & Freeman, 2000). Saat ini RDS didapatkan
kurang dari 6% dari seluruh neonatus (Waldemar, 1998). Defisiensi surfaktan diperkenalkan
pertamakali oleh Avery dan Mead pada 1959 sebagai faktor penyebab terjadinya RDS.
Angka kejadian penyakit ini sebenarnya sulit ditentukan karena diagnosa pasti hanya
dapat ditegakkan dengan autopsi. Angka kejadian penyakit mempunyai kaitan erat dengan
riwayat kehamilan dan persalinan. Kejadian penyakit akan meningkat pada bayi lahir kurang
bulan (masa gestasi kurang dari 34 minggu). Partus presipitatus yang menyertai perdarahan
ibu, asfiksia, ibu penderita diabetes. Disamping itu terdapat beberapa faktor kehamilan yang
dianggap dapat menurunkan kejadian penyakit membran hialin dalam hal ini ibu yang
mendapat pengobatan steroid saat hamil (Asril, 1991)
Insidensinya berbanding terbalik dengan umur kehamilan dan berat badannya. PMH ini 60
80% terjadi pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari 28 minggu, 15 30% pada bayi
antara 32 dan 36 minggu, 5% pada bayi lebih dari 37 minggu dan jarang pada bayi cukup
bulan (Lowell, 1988)
Kenaikan frekuensi dihubungkan dengan bayi dari ibu diabetes, kehamilan kembar,
persalinan dengan seksio sesarea, persalinan cepat, asfiksia, insiden tertinggi pada bayi
preterm laki-laki atau kulit putih.
Penyakit membran hialin sering ditemukan pada bayi prematur. Terutama apabila
bayi tersebut lahir dari ibu yang menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan
misalnya ibu penderita diabetes, toksemia, hipotensi, secio sesarea atau perdarahan
antepartum (Asril, 1991).
Tanda-tanda PMH biasanya tampak dalam beberapa menit kelahiran yaitu : dispnea
dan hiperpnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 x/menit. Sianosis retraksi di daerah
epigastrium, supra sentral, intercostal pada saat inspirasi (Asril, 1991)
Pengenalan riwayat kehamilan, riwayat persalinan, serta intervensi dini baik dalam hal
pencegahan, diagnosis dan penatalaksanaan penderita dapat membantu menurunkan angka
kematian penyakit (Asril, 1991)
Penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur adalah
Respiratory Distress Syndrome ( RDS ). Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang bulan,
50% pada bayi dengan berat 501-1500gram. Oleh karena itu sebagai tenaga kesehatan, kita
harus mengetahui tentang penyakit membran hialin atau respiratory distress sydrome
(sindrom gawat nafas).
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Manfaat
1.4 Tujuan










BAB II
ISI

II.1. DEFINISI
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease
(HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan yang
dihasilkan oleh sel alveolar tipe 2 terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang
(biasanya 22-35 minggu). Jadi menjadi suatu keadaan dimana kantung udara (alveoli) pada
paru-paru bayi tidak dapat tetap terbuka karena tingginya tegangan permukaan akibat
kekurangan surfaktan. Surfaktan dihasilkan oleh sel-sel di dalam alveoli dan berfungsi
menurunkan tegangan permukaan. Surfaktan dihasilkan oleh paru-paru yang matang yaitu
pada 34-37 minggu.
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli sehingga menganggu
pertukaran udara, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum
protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan.
Penyakit membran hialin dapat menimbulkan kerusakan endotel kapiler dan epitel
duktus alveolus. Kerusakan ini menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveolus dan
terbentuk fibrin. Fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu
lapisan yang disebut membran hialin (Asril, 1991)

II.2. ETIOLOGI
Kelainan dianggap terjadi karena faktor pertumbuhan atau pematangan paru yang
belum sempurna antara lain : bayi prematur karena bayi prematur tidak mampu untuk
memulai proses pernapasan karena tanpa surfaktan paru-paru menjadi sangat kaku dan
akhirnya kolaps, penyebab lainnya terutama bila ibu menderita gangguan perfusi darah uterus
selama kehamilan, misalnya ibu dengan : (Lowell, 1988)
1.Diabetes
2.Toxemia
3.Hipotensi
4.SC
5.Perdarahan antepartum.
6.Sebelumnya melahirkan bayi dengan PMH.
Penyakit membran hialin diperberat dengan : (George, 1980)
1.Asfiksia pada perinatal
2.Hipotensi
3.Infeksi
4.Bayi kembar.

II.3. PATOFISIOLOGI


Sampai saat ini PMH dianggap terjadi kaena defisiensi pembentukan zat surfaktan pada
paru bayi yang belum matang. Surfaktan adalah zat yang berperan dalam pengembangan paru
dan merupakan suatu kompleks yang terdiri dari dipalmitil fosfatidilkolin (lesitin), fosfatidil
gliserol, apoprotein, kolesterol. Senyawa utama zat tersebut adalah lesitin yang mulai
dibentuk pada umur kehamilan 22 24 minggu dan berjumlah cukup untuk berfungsi normal
setelah minggu ke 35 (Lowell, 1988)
Agen aktif ini dilepaskan ke dalam alveolus untuk mengurangi tegangan permukaan dan
membantu mempertahankan stabilitas alveolus dengan jalan mencegah kolapsnya ruang
udara kecil pada akhir ekspirasi. Namun karena adanya imaturitas, jumlah yang dihasilkan
atau dilepaskan mungkin tidak cukup memenuhi kebutuhan pasca lahir (Lowell, 1988)
Alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi sehingga untuk pernafasan
berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar yang disertai usaha
inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga
terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis. Hipoksia akan menimbulkan : (1) oksigenasi
jaringan menurun, sehingga akan terjadi metabolisme anaerobik dengan penimbunan asam
laktat dan asam organik lainnya yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi,
(2) kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveoli dan terbentuknya fibrin dan
selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu
lapisan yang disebut membran hialin. Asidosis dan atelektasis juga menyebabkan
terganggunya sirkulasi darah dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah paru akan
menurun dan hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi surfaktan
(Asril, 1985)
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran setan yang terdiri
dari : atelektasis hipoksia asidosis transudasi penurunan aliran darah paru
hambatan pembentukan substansi surfaktan atelektasis. Hal ini akan berlangsung terus
sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi.
Surfaktan dihasilkan oleh sel epitel alveolus tipe II. Badan lamelar spesifik, yaitu organel
yang mengandung gulungan fosfolipid dan terikat pada membran sel, dibentuk dalam sel-sel
tersebut dan disekresikan ke dalam lumen alveolus secara eksositosis. Tabung lipid yang
disebut mielin tubular dibentuk dari tonjolan badan, dan mielin tubular selanjutnya
membentuk lapisan fosfolipid. Sebagian kompleks protein-lipid di dalam surfaktan diambil
ke dalam sel alveolus tipe II secara endositosis dan didaru-ulang.
Ukuran dan jumlah badan inklusi pada sel tipe II akan meningkat oleh pengaruh hormon
tiroid, dan RDS lebih sering dijumpai serta lebih parah pada bayi dengan kadar hormon tiroid
plasma yang rendah dibandingkan pada bayi dengan kadar hormon plasma normal. Proses
pematangan surfaktan dalam paru juga dipercepat oleh hormon glukokortikoid. Menjelang
umur kehamilan cukup bulan didapatkan peningkatan kadar kortisol fetal dan maternal, serta
jaringan parunya kaya akan reseptor glukokortikoid. Selain itu, insulin menghambat
penumpukan SP-A dalam kultur jaringan paru janin manusia, dan didapatkan
hiperinsulinisme pada janin dari ibu yang menderita diabetes. Hal ini dapat menerangkan
terjadinya peningkatan insidens RDS pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita diabetes.


II.4. GEJALA KLINIS

Bayi penderita penyakit membran hialin biasanya bayi kurang bulan yang lahir dengan
berat badan antara 1200 2000 g dengan masa gestasi antara 30 36 minggu. Jarang
ditemukan pada bayi dengan berat badan lebih dari 2500 g dan masa gestasi lebih dari 38
minggu.
Gejala klinis biasanya mulai terlihat pada beberapa jam pertama setelah lahir terutama
pada umur 6 8 jam. Biasanya gejala muncul pada 2 jam pertama kehidupan. Gejala
karakteristik mulai timbul pada usia 24 72 jam dan setelah itu keadaan bayi mungkin
memburuk atau mengalami perbaikan. Biasanya mengalami perbaikan bertahap > 48 -72 jam.
Apabila membaik gejala biasanya menghilang pada akhir minggu pertama.
Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atalektasis dan perforasi paru
yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan keadaan klinis seperti : (Asril, 1991)
1.Dispnea atau hiperpnea.
2.Sianosis.
3.Retraksi suprasternal, epigastrium, intercostal.
4.Rintihan saat ekspirasi (grunting).
5.Takipnea (frekuensi pernafasan >60 x/menit).
6.Mungkn pula terdengar bising jantung yang menandakan adanya duktur arteriosus yang
paten.
8.Kardiomegali.
9.Bradikardi (pada PMH berat).
10.Hipotensi.
11.Tonus otot menurun.
12.Edem.
Gejala PMH biasanya mencapai puncaknya pada hari ke-3. Sesudahnya terjadi perbaikan
perlahan-lahan. (Lowell, 1988)

II.5. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS (Asril, 1991)

Sebelum mengetahui foto rontgen HMD, sebelumnya kita harus mengetahui foto thorax
normal pada bayi dan anak-anak. Foto thorax normal pada bayi dan anak-anak adalah sebagai
berikut:
FOTO THORAX PADA BAYI DAN ANAK ANAK
Foto thorax pada bayi dan anak anak berbeda dengan foto thorax pada orang dewasa karena
banyak sebab. Beeberapa diantaranya karena sulitnya memperoleh foto dengan inspirasi yang
baik, dan juga adanya perbedaan anatomis antara bayi dan anak dengan orang dewasa.
Pada anak-anak:
1. Tulang tulang pada dada lebih besar dan costa lebih mendatar
2. Diafragma lebih tinggi dan mediastinum superior terlihat lebih lebar
3. Jantung terlihat lebih membulat: ukuran jantung tidak bisa dinilai dengan
cardiothoracic index
4. Mediastinum superior bisa terlihat lebar dengan adanya thymus yang persisten,
biasanya menonjol ke paru kanan (terutama pada bayi yang sedang menangis) tetapi
bisa juga terlihat pada sisi kiri

Foto thorax normal nonatus



http://www.learningradiology.com/archives2008/COW%20292-TTN/ttnccorrect.html
paru-paru terlihat lebih gelap signifikan dari mediastinum
tidak ada garis airbronchogram
tidak ada kekeruhan seperti retikulogranular


Pemeriksaan foto roentgen paru memegang peranan yang sangat penting dalam
menentukan diagnosis yang tepat. Disamping itu pemeriksaan juga bermanfaat guna
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang mempunyai gejala serupa seperti hernia
diafragma, pneumotoraks dan lain-lain. Pada permulaan penyakit gambaran foto paru
mungkin tidak khas, tetapi dengan berlanjutnya penyakit maka akan terlihat gambaran klasik
yang karakteristik untuk penyakit tersebut. Pada foto roentgen HMD akan terlihat bercak
difus berupa infiltrat retikulogranular disertai adanya tabung-tabung udara bronkus (air
bronhcogram). Gambaran retikulogranular ini merupakan manifestasi adanya kolaps alveolus
sehingga apabila penyakit semakin berat gambaran ini akan semakin jelas.
HMD biasanya menjadi jelas radiografi pada 4 sampai 6 jam setelah kelahiran.
(Essentials of Radiology 3rd edition)

Temuan Radiologis pada HMD :
Diffuse "ground-glass" atau granular appearance dengan volume paru yang rendah
atau thorax berbentuk lonceng
Distribusi bilateral dan simetris
Bronchograms Air terutama menyebar ke perifer
Hypoaeration karena hilangnya volume paru
Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :
1. Stadium 1: terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram
udara
2. Stadium 2: bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan
gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer
menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
3. Stadium 3: kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan
paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram
udara lebih luas.
4. Stadium 4: seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak
dapat dilihat.



(http://www.kinderradiologie-online.de/cgi-
bin/textin/bilderansehen.cgi?lang=en&inhalt=20021110223558--5&mod=ro&Bildno=5)

Temuan radiografi pada RDS yaitu pola reticulogranular
(ground-glass) dan air bronchograms. Paru-paru terlihat padat secara difus dan
homogen karena keruntuhan luas alveoli. Terlihat reticular karena
saluran udara kecil terbuka (hitam) dan dikelilingi oleh interstitial
dan cairan alveolar interstitial (putih), dalam kasus yang parah, paru-paru
mungkin tampak putih lengkap di foto. Gambaran lainnya adalah volume paru yang rendah
(misalnya, diafragma berada di tingkat rusuk kedelapan atau lebih tinggi) karena keruntuhan
alveolar yang luas dan kapasitas residual fungsional yang rendah (Disease of the newborn,
9th edition). Terlihat pada gambar berikut ini.











(www.learningradiology.com/hyalinmemnranedisease)
Terdapat groundglass appearance pada kedua paru-paru dengan sisi kiri
tension pneumothorax dan pneumomediastinum
(tabung orogastric dalam esofagus distal)
Dalam paru-paru normal pada akhir pernafasan , sejumlah kecil gas sisa tetap di alveoli .
Tanpa surfaktan , alveoli ini sepenuhnya mengempis pada akhir setiap pernafasan , dan sulit
untuk membuka kembali untuk mengisi dengan udara selama napas berikutnya. Hubungan
antara udara di saluran napas yang dikelilingi oleh alveoli atelektasis menyebabkan saluran
udara tampil sebagai garis bercabang hitam dikenal sebagai air bronchograms

http://www.learningradiology.com/archives2008/COW%20292-TTN/ttnccorrect.html
RDS / HMD penampilan khas pada hari 1. Terdapat pola granuloreticular difus, dan
airbronchogram


(www.medscape.com/hyalinmembranedisease)
Gambaran radiologi respiratory distress syndrome yaitu thorax berbentuk lonceng karena
hypoaerasi yang merata Volume paru berkurang, parenkim paru memiliki pola
reticulogranular yang difus, dan air bronchogram yang menyebar ke perifer.

(www.medscape.com/hyalinmembranedisease)
Sindrom gangguan pernapasan yang cukup parah (Moderately severe respiratory distress
syndrome ) gambaran radiologinya pola reticulogranular lebih menonjol dan merata dari
biasanya. Paru-paru yang hypoaerated. Terdapat peningkatan air bronchogram

(www.medscape.com/hyalinmembranedisease)
Gambaran radiologi Sindrom gangguan pernapasan yang parah akan menunjukkan kekeruhan
reticulogranular di sepanjang kedua paru-paru, dengan air bronchogram terlihat jelas
menonjol dan gambar siluet jantung terlihat kabur total.
II.6. DIAGNOSIS

Diagnosis tegakkan kumpulan beberapa penemuan : (Asril, 1991)
1.Gejala klinis :
a.Dispnea.
b.Merintih (grunting).
c.Takipne.
d.Retraksi dinding toraks.
e.Sianosis.
f.Brakikardi (PMH berat).
g.Hipotensi.
h.Hipotermi.
i.Tonus otot menurun.
j.Edem dorsal tangan/kaki.

2.Gambaran radiologi :
Ditemukan bercak difus berupa infiltrat retikulogranuler dan air bronchogram.

3.Laboratorium
Kimia darah :
a.Meningkatnya asam laktat dan asam organik lain > 45 mg/dl
b.Merendahnya bikarbonat standar
c.pH darah dibawah 7,2
d.PaO2 menurun
e.PaCO2 meninggi.
Pemeriksaan fungsi paru membutuhkan alat yang lebih lengkap dan pelik. Frekuensi
pernapasan yang meninggi pada penyakit ini akan memperlihatkan pula perubahan fungsi
paru lainnya seperti isi alun napas yang menurun, lung compliance berkurang, kapasitas sisa
fungsional yang merendah, disertai kapasitas vital yang terbatas. Demikian pula fungsi
ventilasi dan perfusi paru akan terganggu.
Pemeriksaan fungsi kardiovaskular pada penderita penyakit yang berat akan
menunjukkan adanya hipotensi. Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperlihatkan
beberapa perubahan fungsi kardiovaskular berupa duktus arteriosus yang paten, pirau dari kiri
ke kanan atau kanan ke kiri tergantung dari beratnya penyakit dan menurunnya tekanan
arterial paru/sistemik.
Pada pemeriksaan autopsi gambaran patologik/histopatologik paru menunjukkan adanya
atelektasis dan membran hialin dalam alveolus atau duktus alveolus. Disamping itu terdapat
pula bagian paru yang mengalami emfisema. Membran hialin yang ditemukan terdiri dari
fibrin dan sel eosinofil yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel alveolus yang
nekrotik.(Lowell, 1988)

II.7. PENATALAKSANAAN (Asril, 1991)
Prinsip pengobatan
Positif tekanan akhir ekspirasi (PEEP )
Continuous positive airway pressure (CPAP)
Surfaktan diberikan melalui ETT
Oksigen dan diuretik
Dasar tindakan pada penderita adalah mempertahankan penderita dalam suasana
fisiologik yang sebaik-baiknya, agar bayi mampu melanjutkan perkembangan paru dan organ
lain, sehingga ia dapat mengadakan adaptasi sendiri terhadap sekitarnya. Tergantung dari
ringannya penyakit maka tindakan yang dapat dilakukan terdiri dari tindakan umum dan
tindakan khusus.
Tindakan umum ini terutama dilakukan pada penderita ringan atau sebagai tindakan
penunjang pada penderita ringan atau sebagai tindakan penunjang pada penderita berat.
Termasuk dalam tindakan ini adalah mengurangi manipulasi terhadap penderita dan
mengusahakan agar penderita ada dalam suasana lingkungan yang paling optimal. Suhu bayi
dijaga agar tetap normal (36,3 37C) dengan meletakkan bayi dalam inkubator antara 70
80%.
Makanan peroral sebaiknya tidak diberikan dan bayi diberi cairan intravena yang
disesuaikan dengan kebutuhan kalorinya. Adapun pemberian cairan ini bertujuan untuk
memberikan kalori yang cukup, menjaga agar bayi tidak mengalami dehidrasi,
mempertahankan pengeluaran cairan melalui ginjal dan mempertahankan keseimbangan asam
basa tubuh. Dalam 48 jam pertama biasanya cairan yang diberikan terdiri dari
glukosa/dekstrose 10% dalam jumlah 100 ml/KgBB/hari. Dengan pemberian secara ini
diharapkan kalori yang dibutuhkan (40 kkal/KgBB/hari) untuk mencegah katabolisme tubuh
dapat dipenuhi. Tergantung ada tidaknya asidosis, maka cairan yang diberikan dapat pula
berupa campuran glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5% dengan perbandingan 4 : 1.
Untuk hal ini pemeriksaan keseimbangan asam basa tubuh perlu dilakukan secara sempurna.
Disamping itu pemeriksaan elektrolit perlu diperhatikan pula.
Tindakan khusus meliputi :

1.Pemberian O2 (Asril, 1985)
Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi baru lahir. Pemberian O2
yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan seperti fibrosis
paru, kerusakan retina (retrolental fibroplasta) dan lain-lain. Untuk mencegah timbulnya
komplikasi ini, pemberian O2 sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan tekanan O2 arterial
(PaO2) secara teratur. Konsentrasi O2 yang diberikan harus dijaga agar cukup untuk
mempertahankan tekanan PaO2 antara 80 100 mmHg. Bila fasilitas untuk pemeriksaan
tekanan gas arterial tidak ada, O2 dapat diberikan sampai gejala cyanosis menghilang.
Pada M.H.D. yang berat, kadang-kadang perlu dilakukan ventilasi dengan respirator. Cara ini
disebut Intermitten Positive Pressure Ventilation (I.P.P.V.). I.P.P.V. ini baru dikerjakan
apabila pada pemeriksaan O2 dengan konsentrasi tinggi (100%), bayi tidak memperlihatkan
perbaikan dan tetap menunjukkan : PaO2 kurang dari 50 mmHg, PaCO2 lebih dari 70 mmHg
dan masih sering terjadi asphyxial attact walaupun kemungkinan hipotermia, hipoglikemia
dan acidosis metabolik telah disingkirkan.
Pemberian O2 dengan ventilasi aktif ini dapat dilakukan pula dengan bermacam cara,
misalnya pemberian O2 secara hiperbasik, intermittent negative pressure ventilation,
nasopharyngeal tube ventilation dan lain-lain.

2.Pemberian Antibiotika
Setiap penderita PMH perlu mendapat antibiotika untuk menegah terjadinya infeksi
sekunder. Antibiotik diberikan adalah yang mempunyai spektrum luas penisilin (50.000 U-
100.000 U/KgBB/hari) atau ampicilin (100 mg/KgBB/hari) dengan gentamisin (3-5
mg/KgBB/hari) (Asril, 1985)
Antibiotik diberikan selama bayi mendapatkan cairan intravena sampai gejala gangguan
nafas tidak ditemukan lagi.

3.Pemberian Surfaktan Buatan (Asril, 1991)
Pengobatan lain yang membuka harapan baru berdasar atas penelitian Fujiwara (1980)
dan Morley (1981). Surfaktan artifisial yang dibuat dari dipalmitoilfosfatidilkolin dan
fosfatidilgliserol dengan perbandingan 7 : 3 telah dapat mengobati penderita penyakit
tersebut. Bayi tersebut diberi surfaktan artifisial sebanyak 25 mg dosis tunggal dengan
menyemprotkan ke dalam trakea penderita. Akhir-akhir ini telah dapat dibuat surfaktan
endogen yang berasal dari cairan amnion manusia. Surfaktan ini disemprotkan ke dalam
trakea dengan dosis 60 mg/KgBB. Walaupun cara pengobatan ini masih dalam taraf
penelitian, tetapi hasilnya telah memberikan harapan baru.

II.8. PENCEGAHAN (Lowell, 1988)

1.Tindakan pencegahan utama sebenarnya adalah menghindari terjadinya kelahiran bayi
prematur.
2.Mengetahui maturitas paru dengan menghitung perbandingan lesitin dan sfengomielin
dalam cairan amnion bila perbandingan antara lesitin dan sfengomielin kurang dari 2 maka
berarti jumlah surfaktan pada penderita masih kurang.
3.Pemberian kortikosteroid yang dilakukan pada persalinan prematur yang dapat ditunda
selama 48 jam dosis 12 mg/hari diberikan 2 hari berturut-turut.
4.Pemberian satu dosis surfaktan ke dalam trakea bayi prematur segera sesudah lahir atau
selama umur 24 jam.

II.9. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi akibat PMH adalah : (Asril, 1991)

1.Perdarahan intrakranial oleh karena belum berkembangnya sistem saraf pusat terutama
sistem vaskularisasinya, adanya hipoksia dan hipotensi yang kadang-kadang disertai renjatan.
Faktor tersebut dapat membuka nekrosis iskemik, terutama pada pembuluh darah kapiler di
daerah periventrikular dan dapat juga di ganglia basalis dan jaringan otak.

2.Gejala neurologik yang tampak berupa kesadaran yang menurun, apneu, gerakan bola mata
yang aneh, kekakuan extremitas dan bentuk kejang neonatus lainnya.

3.Komplikasi pneumotoraks atau pneuma mediastinum mungkin timbul pada bayi yang
mendapatkan bantuan ventilasi mekanis. Pemberian O2 dengan tekanan yang tidak terkontrol
baik, mungkin menyebabkan pecahnya alveolus sehingga udara pernafasan yang memasuki
rongga-ronga toraks atau rongga mediastinum.
Paru-paru sangat kaku dan untuk mengembangkannya diperlukan tekanan yang lebih dari
bayi maupun ventilator, akibatnya paru paru bisa pecah sehingga udara merembes ke dalam
rongga dada. Udara ini menyebabkan paru-paru menjadi kolaps dan terjadinya gangguan
ventilasi dan sirkulasi. Kolaps paru-paru (pneumotoraks) memerlukan pengobatan segera,
yaitu berupa pengeluaran udara dari dada dengan bantuan sebuah jarum.

4.Paten ductus arteriolus pada penderita PMH sering menimbulkan keadaan payah jantung
yang sulit untuk ditanggulangi.

II.12. PROGNOSIS

Hampir semua bayi meninggal pada 72 jam pertama. Dengan bantuan ventilasi,
recovery> 90%. Prognosis sindrom ini tergantung dari tingkat prematuritas dan beratnya
penyakit. Pada penderita yang ringan penyembuhan dapat terjadi pada hari ke-3 atau ke-4 dan
pada hari ke-7 terjadi penyembuhan sempurna. Pada penderita yang lanjut mortalitas
diperkirakan 20-40 %. Dengan perawatan yang intensif dan cara pengobatan terbaru
mortalitas ini dapat menurun. Prognosis jangka panjang sulit diramalkan. Kelainan yang
timbul dikemudian hari lebih cenderung disebabkan komplikasi pengobatan yang diberikan
dan bukan akibat penyakitnya sendiri. Pada fungsi paru yang normal pada kebanyakan bayi
yang dapat hidup dari PMH, prognosisnya sangat baik (Asril, 1985)
Keseluruhan mortalitas bayi BBLR yang dirujuk ke pusat perawatan intensif maupun
secara mantap; sekitar 75% dari mereka yang berada di bawah 1.000 g bertahan hidup, dan
mortalitas secara progresif menurun pada berat badan yang lebih tinggi, dengan lebih dari
95% bayi sakit yang bertahan hidup beratnya lebih dari 2.500 g. walaupun 85 - 90% dari
semua bayi PMH, yang bertahan hidup setelah mendapat dukungan ventilasi dengan
respirator adalah normal, harapan yang ada pada mereka yang beratnya diatas 1.500 g adalah
jauh lebih baik; sekitar 80% dari mereka yang beratnya dibawah 1.500 g tidak mengalami
sekuele neurologis atau mental. Prognosis jangka panjang untuk tercapainya fungsi paru yang
normal pada kebanyakan bayi PMH yang berahan hidup adalah sangat baik. Namun bayi
yang berhasil bertahan hidup dari kegagalan pernapasan neonatus yang berat dapat
mengalami gangguan paru dan perkembangan saraf yang berarti (Lowell, 1988)

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN




















DAFTAR PUSTAKA

1.Asril Aminullah & Arwin Akib. Penyakit membran Hialin, dalam Markum (editor), Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1991, hal.
303-306.

2.Lowell A. Glasgow & James C. Over all JR. IRDS dalam Behrman & Vaughan (editor),
Nelson Textbook of Pediatric, 1st (Chapter, 12th edition, EGC, Jakarta, 1988, hal. 622-627.

3.Asril Aminullah. Gangguan Pernapasan, dalam Rusepno Hassan & Husein Alatas (editor),
Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian IKA FKUI, Jakarta, 1985, hal. 1083-1087.

4.Waldemar Carlo. Sindrom Distress Respirasi, dalam Klaus & Fanaroff (editor),
Penatalaksanaan Neonatus Risiko Tinggi, 4th Edition, EGC, Jakarta, 1998, hal. 286-289.

5.Lucile packard childrens Hospital at Stanford. High Risk Newborn Hyaline membrane
disease/Respiratory Distress Syndrome, USA available from http://www.google.com.

6.Edited by George F. Smith, and Dharmapuri Vidyasagar, Published by Nead Johnson
Nutritional Division, 1980 Not Copyrighted by Publisher, The Treatment of Hyaline
Membrane Disease, Victor Chernick, M.D., F.R.C.P.(c.) available from
http://Historical_Review_and_Recent_Advances.

You might also like