You are on page 1of 10

STAGE NEUROLOGY Page 1

KLASIFIKASI DAN PENATALAKSANAAN TETANUS


&
MANAJEMEN HIPERTENSI PADA STROKE








Dokter Pembimbing :
dr. Fuad Hanif, Sp. S

Oleh :
Sri Ulandari.A.Taufan
2009730125


KEPANITERAAN KLINIK STASE NEUROLOGI
RSUD KABUPATEN BANJAR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2014


STAGE NEUROLOGY Page 2

KLASIFIKASI TETANUS

Berdasarkan gambaran klinis, tingkatan penyakit tetanus dapat dibuat dalam suatu
kriteria/derajat berat ringannya penyakit.
Menurut berat ringannya tetanus dibagi atas:
1. Tetanus ringan : Trismus > 3 cm, tidak disertai kejang umum walaupun dirangsang.
2. Tetanus sedang : trismus < 3 cm dan disertai kejang umum bila dirangsang.
3. Tetanus berat : trismus < 1 cm dan disertai kejang umum yang spontan.

Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas :
GRADE DESKRIPSI
Grade I : Ringan Masa inkubasi lebih dari 14 hari.
Period of onset > 6 hari
Ttrismus + tapi tidak berat
Sukar makan dan minum tetapi disfagi tidak ada
Lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar luka dan
kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari.
Grade II : Sedang Masa inkubasi 10-14 hari
Period of onset 3 hari atau kurang
Trismus dan disfagi ada
Kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnoe dan sianosis
tidak ada
Grade III : berat Masa inkubasi < 10 hari
Period of onset < 3 hari
Trismus dan disfagia berat
Kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat
banyak dan takikardia.



STAGE NEUROLOGY Page 3

Sedangkan Patel dan Joag membagi penyakit tetanus ini dalam tingkatan dengan
berdasarkan gejala klinis yang dibaginya dalam 5 kriteria :
a. Kriteria 1 : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang
b. Kriteria 2 : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya
c. Kriteria 3 : inkubasi antara 7 hari atau kurang
d. Kriteria 4 : waktu onset adalah 48 jam atau kurang
e. Kriteria 5 : kenaikan suhu rektal sampai 100 0 farenheit dan aksila sampai 990 farenheit

Dengan berdasarkan 5 kriteria di atas, maka dibuatlah tingkatan penyakit tetanus sebagai
berikut :
Tingkat I : Ringan, minimal 1 kriteria ( K1 / K2 ) mortalitas 0 %
Tingkat II : Sedang, minimal 2 kriteria ( K1& K2) dengan masa inkubasi > 7 hari dan
onset > 2 hari, mortalitas 10 %
Tingkat III : Berat, minimal 3 kriteria dengan masa inkubasi < 7 hari dan onset < 2 hari,
mortalitas 32%
Tingkat IV : Sangat berat, minimal ada 4 kriteria dengan mortalitas 60%
Tingat V : Biasanya mortalitas 84 % dengan 5 kriteria, termasuk di dalamnya adalah
tetanus neonatorum maupun puerpurium













STAGE NEUROLOGY Page 4

PHILLIPS SCORE untuk Menilai Grade Tetanus
Ringan : <9
Sedang : 9 16
Berat : > 16
Masa inkubasi
5 = < 48 jam
4 = 2 5 hari
3 = 6 10 hari
2 = 11 14 hari
1 = > 14 hari

Lokalisasi nyeri / port dentri
5 = internal / umbilikal
4 = leher, kepala, dinding tubuh
3 = ekstremitas proksimal
2 = ekstremitas distal
1 = tidak diketahui
I munisasi
10 = tidak ada
8 = mungkin ada / ibu mendapat
4 = > 10 tahun yang lalu
2 = < 10 tahun
0 = proteksi lengkap

Faktor yang memberatkan
10 = penyakit / trauma yg membahayakan jiwa
8 = kead yg tdk lgs membahayakan jiwa
4 = kead yg tidak membahayakan jiwa
2 = trauma / penyakit ringan
1 = ASA derajat status fisik penderita









STAGE NEUROLOGY Page 5

PENATALAKSANAAN TETANUS
A. UMUM
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran
toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih. Dan
tujuan tersebut dapat diperinci sbb :
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: -membersihkan luka,
irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang benda asing
dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penata laksanaan, terhadap
luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar
luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Hila ada trismus, makanan dapat diberikan
personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap
penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
B. Obat- obatan
1. Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan
tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam
secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat
diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam,
tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ).
Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit
/kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan
membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya.
Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat
dilakukan.
2. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis
3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara
intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ",
yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada,
STAGE NEUROLOGY Page 6

dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan,
dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari
antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan
secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit.
Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada
sebelah luar.
3. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama dilakukan bersamaan dengan
pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang
berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai
imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
Berikut ini, table yang Memperlihatkan petunjuk pencegahan terhadap tetanus
pada keadaan luka









4. Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik yang
hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan
obat obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi.






Obat anti konvulsan yang dipergunakan untuk tetanus noenatal berupa
diazepam, obat ini diberikan melalui bolus injeksi yang dapat diberikan setiap 2
STAGE NEUROLOGY Page 7

4 jam. Pemberian berikutnya tergantung pada basil evaluasi setelah pemberian
anti kejang.
Bila dosis optimum telah tercapai dan kejang telah terkontrol, maka jadwal
pemberian diazepam yang tetap dan tepat baru dapat disusun. Dosis diazepam
pada saat dimulai pengobatan ( setelah kejang terkontrol ) adalah 20
mg/kgBB/hari, dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan tiap 3 jam ).
Kemudian dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila kejang masih terus
berlangsung dosis diazepam dapat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat
teratasi. Dosis maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari( dosis maintenance ).
Bila dosis optimum telah didapat, maka skedul pasti telah dapat dibuat, dan ini
dipertahan selama 2-3 hari , dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak dijumpai
adanya kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap, yaitu 10 -
15 % dari dosis optimum tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak boleh secara
drastis, oleh karena bila terjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dan penaikkan
dosis ke dosis semula yang efektif belum tentu dapat mengontrol kejang yang
terjadi.Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang, dosis harus segera
dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi kejang
dipertahankan selama 2- 3 hari dan dirurunkan lagi secara bertahap, hal ini
dilakukan untuk selanjutnya . Bila dalam penggunaan diazepam, kejang masih
terjadi, sedang dosis maksimal telah tercapai, maka penggabungan dengan anti
kejang lainnya harus dilakukan













STAGE NEUROLOGY Page 8



MANAJEMEN HIPERTENSI PADA STROKE

Selama masa stroke akut, kebanyakan pasien mengalami peningkatan tekanan darah
(>140/90 mmHg), walaupun mereka tidak mempunyai riwayat hipertensi sebelumnya
(Leonardi-Bee et al., 2002). Walaupun mekanisme peningkatan tekanan darah selama fase
akut stroke belum diketahui secara pasti, tetapi beberapa faktor diduga berperanan misalnya;
aktivasi sistem neuro-endokrin (kortikotropik, simpatis, reninangiotensin), peningkatan
cardiac output, kenaikan tekanan darah sekunder oleh karena adanya peningkatan tekanan
intrakranial (Cushing reflex), nyeri, dan retensi urin (Carlberg et al., 1991). Adanya gangguan
pada sensitivitas baroreseptor kardial setelah serangan stroke akut dan hal ini mungkin juga
bisa mempengaruhi peningkatan tekanan darah (Robinson et al., 1997). Adanya oklusi
persisten pada arteri- serebral, juga akan meningkatkan tekanan darah secara persisten pada
pasien stroke akut (Mattle et al., 2005)
Autoregulasi aliran darah otak juga mengalami gangguan terutama pada daerah infark
yang mengalami perluasan (Eames et al., 2002). Kondisi tersebut dapat menyebabkan
ketergantungan pada mean arterial pressure (MAP) aliran darah pada jaringan yang
mengalami iskemia, sehingga untuk mempertahankan aliran darah otak di daerah ambang
batas infark tersebut dibutuhkan tekanan darah yang tinggi. Penurunan tekanan darah akan
mengakibatkan aliran darah di bawah ambang batas kritis di rah zone panumbra dan ini
menjelaskan antara tekanan darah yang rendah saat masuk rumah sakit dengan progresivitas
perburukan stroke dan perburukan outcome (Ahmed et al., 2000; Leonardi-Bee et al., 2002;
Willmot et al., 2004).
Autoregulasi aliran darah yang jelek pada daerah iskemik, pada beberapa pasien stroke
akan menyebabkan hipertensi kronik. Sehingga tekanan darah pada pasien stroke lebih
mudah ditoleransi pada tekanan darah yang lebih tinggi. Penurunan tekanan darah akan
terjadi secara spontan dan pelan-pelan pada kebanyakan pasien stroke dengan hipertensi pada
jam pertama sampai beberapa hari tanpa pemberian terapi antihipertensi (Broderick et al.,
1993), hal tersebut diduga oleh karena terjadinya rekanalisasi spontan (Mattle et al., 2005).
Hubungan antara tekanan darah selama fase akut dengan prognosis dapat dilihat secara
kurva U-shaped (Leonardi-Bee et al., 2002; Bath, 2004; Willmot et al 2004). Tekanan darah
yang tinggi pada stroke iskemik dapat muncul bersamaan dengan kejadian odem serebri atau
pada stroke ulang (Leonardi-Bee et al., 2002) masih kontroversial apakah perubahan menjadi
STAGE NEUROLOGY Page 9

perdarahan pada stroke infark juga disebabkan oleh hipertensi yang persisten pada pasien
tanpa trombolisasi (Leonardi ., 2002). Sedangkan pada stroke perdarahan intraserebral
spontan, terbukti bahwa peningkatan tekanan darah akan menyebabkan perluasan perdarahan
(Arakawa ., 1998).
Pemberian terapi antihipertensi jika didapatkan tekanan darah yang tinggi (hipertensi
emergensi) diberikan dengan pertimbangan bukan hanya terhadap otak saja, tetapi juga
terhadap kerusakan organ lain misalnya jantung dan ginjal. Meskipun demikian jika tekanan
darahnya rendah pada pasien yang mempunyai riwayat hipertensi pada fase akut serangan
stroke, hal tersebut mungkin menandakan deteriorasi neurologis dini atau peningkatan
volume infark, dan merupakan outcome yang buruk pada bulan pertama saat serangan,
khususnya penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 20 mmHg (Castillo et al., 2004).
Pemberian anti hipertensi untuk menurunkan tekanan darah secara progresif hanya
dilakukan untuk pasien stroke iskemik akut yang akan diberi terapi trombolitik atau terdapat
kondisi medis lain yang menyertainya. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya tentang risiko
perdarahan ulang, maka tekanan darah harus diturunkan secara progresif jika didapatkan
adanya perdarahan intraserebral spontan dan juga perdarahan subarakhnoid.
Pada kebanyakan kasus stroke iskemik akut, tekanan darah tidak boleh diturunkan, dan
hanya direkomendasikan pemberian anti hipertensi jika didapatkan tekanan darah sistolik
lebih dari 220 mmHg atau diastolik lebih dari 120 mmHg (Adams Jr et al., 2003; Toni et al.,
2004). Jika anti hipertensi memang perlu dipertimbangkan untuk diberikan, maka ditargetkan
tekanan darah sistolik kira-kira pada level 180 mmHg dan diastolik kira-kira 105 mmHg
(Toni et al., 2004; Adams et al., 2005).
Pada pasien yang akan diberikan terapi trombolisis atau pemberian heparin, maka tekanan
darah sistolik tidak boleh lebih dari 185 mmHg dan diastolik tidak boleh lebih dari 105
mmHg, karena tekanan darah yang tinggi akan menimbulkan risiko perdarahan parensimal
(Larrue et al., 2001). Berdasarkan penelitian terkini tekanan darah pada daerah disekitar
ambang batas pemberian anti hipertensi juga direkomendasikan, yaitu pada pasien dengan
stroke perdarahan intraserebral. Suatu guidelines terkini merekomandasikan untuk pemberian
anti hipertensi jika didapatkan tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg dan diastolik lebih
dari 95 mmHg, pada pasien st perdarahan intraserebral walaupun tidak ada riwayat hipertensi
(Steiner et al., 2006).
Preparat anti hipertensi oral misalnya Captopril, Angiotensi II Reseptor Antagonis,
maupun Nicardipine dan Nitrogliserin perkutan kadang-kadang dapat juga diberikan, tetapi
absorbsi dan durasinya kurang cepat. Pemberian preparat Calsium antagonis baik sublingual
STAGE NEUROLOGY Page 10

maupun intravena harus dihindari, karena sangat berisiko terjadi penurunan yang mendadak
dari tekanan darah (Wahlgren et al., 1994), dan hal tersebut memungkinkan terjadinya
serangan iskemik secara tiba-tiba (Jorgensen ., 1999; Ahmed et al., 2000).
Beberapa kondisi sistemik yang sering menyertai serangan stroke, misalnya infark
miokard, insufisiensi kardial, gagal ginjal akut, ensefalopati hipertensi akut, atau aneurisme
arcus aorta membutuhkan tekanan darah yang tetap rendah. Harus diingat bahwa pemberian
obat-obat yang dapat mencetuskan tekanan darah menjadi sangat rendah harus dihindari, dan
pemberian obat-obat anti hipertensi untuk stroke maupun kondisi sistemik yang menyertainya
harus selektif. Pada perdarahan subarakhnoid, dipine dapat diberikan secara rutin selama
beberapa hari, karena akan menyebabkan penurunan vasospasm yang berhubungan dengan
outcome perbaikan dan menurunkan morbiditas (Mayberg et al., 1994; Oyama & Criddle,
2004).

You might also like