You are on page 1of 24

EDH

A. Definisi
Epidural hematoma adalah akumulasi dari darah dan gumpalan darah antara lapisan
dura mater dan tulang tengkorak. Sumber perdarahan dari epidural hematoma adalah arteri
meningea (seringkali arteri meningea media) atau terkadang sinus venosus dura. Perdarahan
ini memiliki bentuk yang bikonveks atau lentikuler. Pasien dengan epidural hematom akan
mengalami kesadaran menurun yang berlangsung singkat pada awalnya, diikuti dengan lucid
interval. Interval ini kemudian diikuti dengan kemunduran klinis yang cepat. Semua pasien
dengan perdarahan epidural membutuhkan intervensi yang cepat dari spesialis bedah saraf.
Epidural hematom akan menempati ruang dalam otak, olehnya itu, perluasan yang cepat dari
lesi ini, dapat menimbulkan penekanan pada otak (Snell, 2007).

Epidural hematoma atau perdarahan ekstradura diartikan sebagai adannya


penumpukan darah diantara dura dan tubula interna/lapisan bawah tengkorak (Japardi, 2004).
Lebih sering terjadi pada lobus temporal dan parietal (Smeltzher & Bare, 2001).
B. Etiologi
Epidural hematom terjadi karena laserasi pembuluh darah yang ada di antara
tengkorak dan durameter akibat benturan yang menyebabkan fraktur tengkorak seperti
kecelakaan kendaraan, atau tertimpa sesuatu. Sumber perdarahan biasanya dari laserasi
cabang arteri meningen, sinus duramatis, dan diploe (Japardi, 2004).

C. Patofisiologi/WOC
Fraktur tengkorak karena benturan mengakibatkan laserasi (rusak) atau robeknya
arteri meningeal tangah, arteri ini berada diantara durameter dan tengkorak daerah inferior
menuju bagian tipis tulang temporal. Rusaknya pembuluh darah ini mengakibatkan darah
memenuhi ruangan epidural yang menyebabkan hematom epidural. Apabila perdarahan ini
terus berlangsung menimbulkan desakan durameter yang akan menjauhkan duramater dari
tulang tengkorak hal ini akan memperluas hematom. Perluasan hematom ini akan
menekan lobus temporal ke dalam dan kebawah. Tekanan ini menyebabkan isi otak
mengalami herniasi. Adanya herniasi ini akan mengakibatkan penekanan saraf yang ada
dibawahnya seperti penekanan pada medulla oblongata menyebabkan hilangnya
kesadaran. Pada bagian juga terdapat nervus okulomotor, yang mana penekanan pada saraf
ini meyebabkan dilatasi pupil dan ptosis. Perluasan atau membesarnya hematom akan
mengakibatkan seluruh isi otak terdorong ke arah yang berlawanan yang mengakibatkan
terjadinya peningkatan tekanan intracranial (TIK) sehingga terjadi penekanan saraf-saraf
yang ada diotak

WOC

Benturan atau kecelakaan


pada kepala
Laserasi/robeknya arteri
meningeal

Darah keluar dari vaskuler


Syok hipovolemik
Hipoksia
iskemik
Gg perfusi jaringan

Metabolisme anaerob
asam laktat
Asidosis metabolik

aliran darah

Resiko infeksi

Darah memenuhi epidural


(epidural hematom)
TIK

Darah membeku
di epidural
Udem otak

Gg rasa nyaman:nyeri

Penekanan nervus pada


batang otak

herniasi

Gg fungsi
menelan

kesadaran dan
gangguan motorik

Gg pemenuhan nutrisi
kurang dari kebutuhan

Gg mobilitas fisik

Cemas

Gg integritas kulit

Kurang pengetahuan

volume
intrakranial

Gg pusat pernafasan
(medulla oblongata dan
pons)

hiperventilasi
pola nafas
tidak efektif

apneu

Akumulasi salivasi
Bersihan jln nafas tdk efektif

D. Manifestasi klinis
- Penurunan kesadaran sampai koma
- Keluarnya darah yang bercampur CSS/cairan serebrospinal dari hidung (rinorea) dan
telinga (othorea)
- Nyeri kepala yang berat
- Susah bicara
- Dilatasi pupil dan ptosis
- Mual
- Hemiparesis
- Pernafasan dalam dan cepat kemudian dangkal irregular
- Battle sign
- Peningkatan suhu
- Lucid interval (mula-mula tidak sadar lalu sadar dan kemudian tidak sadar)

E. Pemeriksaan penunjang (Doenges, 2000)


- CT scan: Mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler,
pergeseran otak.
- MRI: sama dengan CT scan dengan/tanpa menggunakan kontras
- Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergerseran jaringan
otak akibat edema, perdarahan/trauma
- EEG: untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
- Sina X: mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari
garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang
- BAER (Brain auditory Evoked Respons): menentukan fungsi korteks dan batang otak
- PET (Positron Emission Tomogrhapy): menunjukkan metabolisme pada otak
- Fungsi lumbal: dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid

- AGD: mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat
meningkatkan TIK

F. Analisa kebutuhan (Doenges, 2000)


Aktivitas/Istirahat
- Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan
- Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparase, tetraplegia, kehilangan tonus otot
Sirkulasi
- Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardi,
takikardi yang diselengi bradikardi)
Integritas ego
- Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian
- Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, bingung, depresi
Eliminasi
-

Gejala : Inkontinensia kandung kemih/usus


Neurosensosir
- Gejala : kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkop
kehilangan pendengaran, baal pada ekstremitas, gangguan penglihatan, gangguan
pengecapan dan penciuman
- Tanda : perubahan kesadaran, perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan,
kosentrasi, tingkah laku dan memori), perubahan pupil (respon terhadap cahaya,
simetris), wajah tidak simetris, genggaman lemah, refleks tendon dalam lemah atau tidak
ada, postur (dekortikasi, deserebrasi), kehilangan sensasi sebagian tubuh
Makanan/cairan
- Gejala : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera
- Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan
Nyeri
- Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama
- Tanda : wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah
tidak bisa istirahat, merintih
- Pernafasan
Tanda: perubahan pola nafas, nafas berbunyi ronki, mengi positif
Interaksi sosial
Gejala: afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang

G. Diagnosa keperawatan (Doenges, 2000)


Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
akibat SOL (hematoma, hemoragi), edema serebral.
Gangguan rasa nyaman:nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi salivasi di jalan
napas, obstruksi jalan napas.
Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskular (cedera pada
pusat pernapasan otak), obstruksi trakeobronkial.
Perubahan persepsi sensori: penciuman, pendengaran, pengecapan berhubungan
dengan defisit neurologis, trauma.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan, kerusakan
persepsi, terapi imobilisasi.
Risiko ringgi infeksi berhubungan dengan kebocoran CSS, trauma jaringan, kulit
rusak.
Risiko gangguan pemenuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan penuruan kesadaran, ketidakmampuan untuk mencerna makanan, kelemahan
otot untuk mengunyah dan menelan.

RENCANA INTEVENSI/TINDAKAN
Diagnosa
keperawatan
Gangguan
perfusi
jaringan
serebral
berhubungan
dengan
penghentian
aliran darah
akibat SOL
(hematoma,
hemoragi),
edema
serebral

Tujuan dan kriteria


hasil
Setelah dilakukan
tindakan selama
224 jam perfusi
jaringan serebral
adekuat, ditandai
dengan kriteria hasil:
- Tingkat kesadaran
compus mentis.
- TTV dalam
rentang normal.
- Respon motorik
baik.
- GCS normal 1315
- Suhu tubuh
<38,50C
- Urine output tidak
kurang dari 0,5
ml/kg/jam dan

Intervensi

rasional

Mandiri
Mandiri
- Tentukan faktor- - Menentukan pilihan
faktor yang
intervensi. Apakah
berhubungan
pasien memerlukan
dengan penyebab
intervensi perawatan
koma/penurunan
intensif untuk
perrfusi jaringan
memantau
otak dan
peningkatan TIK dan
potensial
atau pembedahan.
peningkatan
TIK.
- Mengkaji adanya
kecenderungan
penurunan kesadaran
- Pantau dan catat
dan potensial
status neurologis
peningkatan TIK.
secara teratur
dan bandingkan
- Mengukur kesadaran
dengan nilai
secara keseluruhan
standar.
dan kemampuan

tidak lebih dari


200 ml/kg/jam
- Kaji respon
motorik terhadap
perintah
sederhana,
gerakan yang
bertujuan dan
gerakan yang
tidak bertujuan.
Catat gerakan
anggota tubuh
dan catat sisi kiri
dan kanan secara
terpisah.

- Pantau TD. Catat


adanya
hipertensi
sistolik yang
terus menerus
dan tekanan nadi
yang semakin
berat.

- Pantau frekuensi
jantung, catat
adanya
bradikardia,
takikardia, atau
bentuk disritmia
lainnya

- Pantau
pernapasan
meliputi pola
dan iramanya,
seperti adanya
apnea setelah
hiperventilasi
(pernapaan
Cheyne-Stokes).

untuk berespons pada


rangsangan eksternal
dan merupakan
petunjuk keadaan
kesadaran terbaik
pada pasien dengan
mata tertutup akibat
dari trauma/afasia.
- Normalnya
autoregulasi
mempertahankan
aliran darah otak
yang konstan pada
saat ada fluktuasi
tekanan darah
sistemik. Penurunan
tekanan sistolik (nadi
yang membesar)
merupakan tanda
terjadinya
peningkatan TIK
- Perubahan pada
ritme (paling sering
bradikardia) dan
disritmia
menandakan adanya
depresi/trauma
batang otak.
- Napas yang tidak
teratur dapat
menunjukkan lokasi
gangguan
serebral/peningkatan
TIK.

- Reaksi pupil diatur


oleh saraf kranial III
dan berguna untuk
menentukan apakah
batang otak masih
baik.
- Gangguan
penglihatan dapat
diakibatkan oleh
kerusakan

mikroskopik.
- Evaluasi keadaan
pupil, catat
ukuran,
ketajaman,
kesamaan kiri
dan kanan, dan
reaksinya
terhadap cahaya.
- Kaji perubahan
pada
penglihatan,
seperti adanya
penglihatan yang
kabur, ganda,
lapang pandang
menyempit dan
kedalaman
persepsi.
- Kaji letak dan
gerakan mata,
apakah ada
deviasi pada
salah satu sisi
mata.

- Turunkan
stimulasi
eksternal dan
berikan
kenyamanan,
seperti masase
punggung,
lingkungan yang
tenang.

- Observasi
adanya aktivitas
kejang dan

- Posisi dan gerakan


mata membantu
menemukan lokasi
otak yang terlibat.
Tanda awal
peningkatan TIK
adalah kegagalan
dalam abduksi pada
mata,
mengindikasikan
penekanan/trauma
pada saraf kranial V.
- Memberikan efek
ketenangan,
menurunkan reaksi
fisiologis tubuh dan
meningkatkan
istirahat untuk
mempertahankan
atau menurunkan
TIK.
- Kejang dapat terjadi
akibat iritasi serebral,
hipoksia atau
peningkatan TIK dan
kejang dapat
meningkatkan
kerusakan jaringan.
- Meningkatkan aliran
balik vena dari
kepala, sehingga
akan mengurangi
kongesti dan edema
atau risiko terjadinya
peningkatan TIK.
- Merupakan indikasi
dari iritasi meningeal
yang dapat terjadi
sehubungan dengan
kerusakan durameter
atau perkembangan
infeksi selama
periode akut

lindungi pasien
dari cedera.

- Letakkan kepala
pada posisi yang
lebih tinggi
sesuai toleransi.

- Kaji adanya
peningkatan
rigiditas,
regangan,
meningkatnya
kegelisahan,
peka rangsang,
serangan kejang.

Kolaborasi
- Pembatasan cairan
mungkin diperlukan
untuk menurunkan
edema serebral,
meminimalkan
fluaktuasi aliran
vaskuler, tekanan
darah dan TIK.
- Mernurunkan
hipoksemia yang
dapat meningkatkan
vasodilatasi dan
volume darah
serebral yang
berujung pada
peningkatan TIK

Kolaborasi
- Batasi pemberian
cairan sesuai
indikasi. Berikan
cairan melalui
vena melalui alat
kontrol.

Gangguan
mobilitas
fisik
berhubungan
dengan
penurunan
kekuatan,
kerusakan
persepsi,
terapi
imobilisasi

- Berikan oksigen
tambahan sesuai
indikasi
Setekah dilakukan
Mandiri
tindakan 2 X 24 jam - Periksa kembali
klien tidak
kemampuan dan
mengalami gangguan
keadaan secara
mobilitas fisik
fungsional pada
dengan kriteria hasil:
kerusakan yang
- Skala
terjadi
ketergantungan
klien 0
- Tidak terjadi
dekubitus
- Kaji derajat
- Dapat melakukan
imobilisasi klien
RPS tanpa bantuan.
dengan

Mandiri
- Mengidentifikasikan
kemungkinan
kerusakan secara
fungsional dan
mempengaruhi
pilihan intervensi
yang akan dilakukan
- Pasien mampu
mandiri (nilai 0) atau
memerlukan
bantuan/peralatan

- Mendemostrasikan
prilaku yang
memungkinkan
dilakukannya
kembali aktivitas

menggunakan
skala
ketergantungan
(0-4)

- Ubah posisi klien


setiap 2 jam
sekali

- Berikan atau
bantu untuk
melakukan
latihan rentang
gerak

- Berikan
perawatan kulit
dengan cermat,
masase dengan
pelembab, dang
anti
linen/pakaian

yang minimal (nilai


1), memerlukan
bantuan
sedang/dengan
pengawasan/diajarka
n (nilai 2),
memerlukan
bantuan/peralatan
yang terus menerus
dan alat khusus (nilai
3), atau tergantung
secara total pada
pemberi asuhan (nilai
4). Seseorang dalam
semua kategori
sama-sama
mempunyai resiko
kecelakaan namun
kategori dengan nilai
2-4 mempunyai
resiko terbesar untuk
terjadinya bahaya
tersebut sehubungan
dengan immobilisasi
- Perubahan posisi
yang teratur
menyebabkan
penyebaran terhadap
berat badan dan
meningkatkan
sirkulasi pada
seluruh bagian tubuh.
Jika ada paralisis
atau keterbatasan
kognitif, klien harus
diubah posisinya
secara teratur dan
posisi daerah yang
sakit hanya dalam
jangka waktu yang
terbatas
- Mempertahankan
mobilisasi dan fungsi
sendi/posisi normal
ekstremitas dan
menurunkan
terjadinya vena yang
statis

yang basah dan


pertahankan
linen tersebut
tetap bersih dan
bebas dari
kerutan

- Meningkatkan
sirkulasi dan
elastisitas kulit dan
menurunkan resiko
terjadinya ekskoriasi
kulit

- Berikan
perawatan mata,
air mata buatan; - Melindungi jaringan
tutup mata sesuai
lunak dari peristiwa
kebutuhan
kekeringan. Klien
perlu menutup mata
selama tidur untuk
melindungi mata dari
trauma jika tidak
dapat menjaga mata
- Berikan cairan
tetap tertutup
dalam batasbatas yang dapat - Sesaat setelah fase
ditoleransi
akut cedera kepala
(contoh toleransi
dan jika klien tidak
oleh neurologis
memiliki
dan janung)
kontraindikasi yang
lain, pemberian
cairan yang memadai
akan menurunkan
resiko terjadinya
infeksi saluran kemih
dan berpengaruh
cukup baik terhadap
konsistensi feses
yang normal dan
- Berikan matras
turgor kulit menjadi
udara/air, terapi
optimal
kinetic sesuai
kebutuhan
- Menyeimbangkan
tekanan jaringan,
meningkatkan
sirkulasi, dan
membantu
meningkatkan arus
balik vena untuk
menurunkan resiko
terjadinya trauma
jaringan

APCD

1. Definisi APCD
Perdarahan akibat defisiensi vitamin K (PDVK) disebut juga sebagai Hemorrhagic
Disease of the Newborn (HDN), dahulu lebih dikenal dengan Acquired Prothrombin Complex
Deficiency (APCD). PDVK adalah perdarahan spontan atau akibat trauma yang disebabkan
karena penurunan aktivitas faktor koagulasi yang tergantung vitamin K (faktor II, VII, IX,
dan X) sedangkan aktivitas faktor koagulasi lain, kadar fibrinogen, dan jumlah trombosit,
masih dalam batas normal. Kelainan ini akan segera membaik dengan pemberian vitamin K. 1
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Towsend pada tahun 1894 sebagai
perdarahan dar berbagai tempat pada bayi sehat tanpa trauma,asfiksia, ataupun infeksi pada
hari pertama sampai kelima kehidupan. Hubungan antara defisiensi vitamin K dengan adanya
perdarahan spontan diperhatikan pertama kali oleh Dam pada tahun 1929, sedangkan
hubungan antara defisiensi vitamin K dengan HDN dikemukakan pertama kali oleh
Brinkhous dkk pada tahun 1937.
2. Etiologi
Secara umum gangguan pembekuan darah masa anak disebabkan oleh beberapa
keadaan seperti pada tabel 1.

Keadaan yang berhubungan dengan defisiensi faktor pembekuan yang bergantung pada
vitamin K adalah :
a. Prematuritas
b. Kadar faktor pembekuan yang tergantung pada vitamin K pada waktu lahir
berbanding lurus dengan umur kehamilan dan berat pada waktu lahir. Pada bayi
premature fungsi hati masih belum matang dan respon terhadap vitamin K subnormal.
c. Asupan makanan yang tidak adekuat
d. Terlambatnya kolonisasi kuman
e. Komplikasi obstetrik dan perinatal
f. Kekurangan vitamin K pada ibu
Suatu keadaan khusus yang dikenal sebagai Hemorragic Disease of the Newborn (HDN),
merupakan suatu keadaaan akibat kekurangan vitamin K pada masa neonatus. Terdapat
penurunan kadar faktor II, VII, IX, dan X yang merupakan faktor pembekuan darah yang
tergantung kepada vitamin K dalam derajat sedang pada semua neonatus yang berumur 48-72
jam dan kadar faktor-faktor tersebut secara berangsur-angsur akan kembali normal pada umur
7-10 hari. Keadaan transien ini mungkin diakibatkan karena kurangnya vitamin K pada ibu
dan tidak adanya flora normal usus yang bertanggung jawab terhadap sintesis vitamin K.
Pada keadaan obstruksi biliaris baik intrahepatik maupun ekstrahepatik akan terjadi
kekurangan vitamin K karena tidak adanya garam empedu pada usus yang diperlukan untuk
absorpsi vitamin K, terutama vitamin K1 dan K2. Obstruksi yang komplit akan mengakibatkan
gangguan proses pembekuan dan perdarahan setelah 2-4 minggu. Sindrom malabsorpsi serta
gangguan saluran cerna kronis dapat menyebabkan kekurangan vitamin K akibat
berkurangnya absorpsi vitamin K.
Obat yang bersifat antagonis terhadap vitamin K seperti coumarin, menghambat kerja
vitamin K secara kompetitif, yaitu dengan cara menghambat siklus vitamin K antara bentuk
teroksidasi dan tereduksi sehingga terjadi akumulasi dari vitamin K2,3 epokside dan pelepasan
g-karboksilasi yang hasil akhirnya akan menghambat pembentukan faktor pembekuan.

Pemberian antibiotik yang lama menyebabkan penurunan produksi vitamin K dengan cara
menghambat sintesis vitamin K2 oleh bakteri atau dapat juga secara langsung mempengaruhi
reaksi karboksilase. Kekurangan vitamin K dapat juga disebabkan penggunaan obat
kolestiramin yang efek kerjanya mengikat garam empedu sehingga akan mengurangu
absorpsi vitamin K yang memerlukan garam empedu pada proses absorpsinya
3. Patofisiologi
Semua neonatus dalam 48-72 jam setelah kelahiran secara fisiologis mengalami
penurunan kadar faktor koagulasi yang bergantung vitamin K (faktor II, VII, IX, dan X)
sekitar 50%, kadar-kadar faktor tersebut secara berangsur akan kembali normal dalam usia 710 hari. Keadaan transien ini mungkin diakibatkan oleh kurangnya vitamin K ibu dan tidak
adanya flora normal usus yang bertanggungjawab terhadap sintesis vitamin K sehingga
cadangan vitamin K pada bayi baru lahir rendah.
Diantara neonatus (lebih sering pada bayi premature dibanding yang cukup bula) ada
yang mengalami defisiensi ini lebih berat dan lebih lama sehingga mekanisme hemostasis
fase plasma terganggu dan timbul perdarahan spontan.
4. Proses Koagulasi
Proses koagulasi atau kaskade pembekuan darah terdiri dari jalur intrinsik dan jalur
ekstrinsik. Jalur intrinsik dimulai saat darah mengenai permukaan sel endotelial, sedangkan
jalur ekstrinsik dimulai dengan pelepasan tissue factor (Faktor III) pada tempat terjadinya
luka.
Jalur pembekuan darah intrinsik memerlukan faktor VIII, IX, X, XI dan XII, dibantu
dengan protein prekalikrein, high-molecular weight kininogen (HMWK), ion kalsium dan
fosfolipid dari trombosit. Jalur ini dimulai ketika prekalikrein, HMWK, faktor XI dan faktor
XII bersentuhan dengan permukaan sel endotelial, yang disebut dengan fase kontak.
Adanya fase kontak ini menyebabkan konversi dari prekalikrein menjadi kalikrein,
yang kemudian mengaktifkan faktor XII menjadi faktor XIIa. Faktor XIIa memacu proses
pembekuan melalui aktivasi faktor XI, IX, X dan II (protrombin) secara berurutan (Gambar
1).
Aktifasi faktor Xa memerlukan bantuan dari tenase complex, terdiri dari ion Ca,
faktor VIIIa, IXa dan X, yang terdapat pada permukaan sel trombosit. Faktor VIIIa pada

proses koagulasi bersifat seperti reseptor terhadap faktor IXa dan X. Aktifasi faktor VIII
menjadi faktor VIIIa dipicu oleh terbentuknya trombin, akan tetapi makin tinggi kadar
trombin, malah akan memecah faktor VIIIa menjadi bentuk inaktif.
Jalur ekstrinsik dimulai pada tempat terjadinya luka dengan melepaskan tissue factor
(TF). TF merupakan suatu lipoprotein yang terdapat pada permukaan sel, adanya kontak
dengan plasma akan memulai terjadinya proses koagulasi. TF akan berikatan dengan faktor
VIIa akan mempercepat aktifasi faktor X menjadi faktor Xa sama seperti proses pada jalur
intrinsik. Aktifasi faktor VII terjadi melalui kerja dari trombin dan faktor Xa. Faktor VIIa dan
TF ternyata juga mampu mengaktifkan faktor IX, sehingga membentuk hubungan antara jalur
ekstrinsik dan intrinsik.

5.

Faktor Resiko
Faktor resiko yang dapat menyebabkan timbulnya VKDB antara lain obat-obatan

yang mengganggu metabolisme vitamin K, yang diminum ibu selama kehamilan, seperti
antikonvulsan

(karbamasepin,

fenitoin,

fenobarbital),

antibiotika

(sefalosporin),

antituberkulostatik (INH, rifampicin) dan antikoagulan (warfarin).


Faktor resiko lain adalah kurangnya sintesis vitamin K oleh bakteri usus karena
pemakaian antibiotika berlebihan, gangguan fungsi hati (kolestasis), kurangnya asupan
vitamin K pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif, serta malabsorbsi vitamin K akibat
kelainan usus maupun akibat diare.2
Kadar vitamin K pada ASI < 5 mg/ml, jauh lebih rendah dibandingkan dengan susu
formula yaitu sekitar 50 - 60 mg/ml. Selain itu pada usus bayi yang mendapat susu formula,
mengandung bakteri bacteriodes fragilis yang mampu memproduksi vitamin K. Sedangkan
pada bayi dengan ASI eksklusif, ususnya mengandung bakteri Lactobacillus yang tidak dapat
memproduksi vitamin K.
6.

Perkembangan Hemostasis Selama Masa Anak


Sistem koagulasi pada neonatus masih imatur sehingga pada saat lahir kadar protein

koagulasi lebih rendah. Kadar dari sistem prokoagulasi seperti protein prekalikrein, HMWK,
faktor V, XI dan XII serta faktor koagulasi yang tergantung vitamin K (II, VII, IX, X) pada
bayi cukup bulan lebih rendah 15 20% dibandingkan dewasa dan lebih rendah lagi pada

bayi kurang bulan. Kadar inhibitor koagulasi seperti antitrombin, protein C dan S juga lebih
rendah 50% dari normal. Sedangkan kadar faktor VIII, faktor von Willebrand dan fibrinogen
setara dengan dewasa.
Kadar protein prokoagulasi ini secara bertahap akan meningkat dan dapat mencapai
kadar yang sama dengan dewasa pada usia 6 bulan. Kadar faktor koagulasi\ yang tergantung
vitamin K berangsur kembali ke normal pada usia 7-10 hari. Cadangan vitamin K pada bayi
baru lahir rendah mungkin disebabkan oleh kurangnya vitamin K ibu serta tidak adanya
cadangan flora normal usus yang mampu mensintesis vitamin K.
Selain itu kadar inhibitor koagulasi juga meningkat dalam 3 6 bulan pertama
kehidupan kecuali protein C yang masih rendah sampai usia belasan tahun.2 Meskipun kadar
beberapa protein koagulasi lebih rendah, pemeriksaan prothrombin time (PT) dan activated
partial thromboplastin time (aPTT) tidak jauh berbeda dibandingkan dengan anak dan
dewasa. Namun didapatkan pemanjangan pemeriksaan bleeding time terutama pada usia < 10
tahun, sehingga interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium harus dilakukan secara hati-hati.
7. Manifestasi Klinis Dan Laboratorium
Manifestasi perdarahan karena defisiensi vitamin K tidak spesifik dan bervariasi
mulai dari memar ringan sampai ekimosis generalisata, pucat, perdarahan kulit,
gastrointestinal, vagina sampai perdarahan intracranial yang dapat mengancam jiwa.
Perdarahan dapat terjadi spontan atau akibat terutama trauma lahir seperti hematoma sefal.
Pada kebanyakan kasus perdarahan terjadi dikulit, mata, hidung, dan saluran cerna.
Perdarahan dikulit sering berupa purpura, ekimosis, atau perdarahan melalui bekas tusukan
jarum suntik. Tempat perdarahan lain yaitu umbilicus, sirkumsisi. Manifestasi perdarahan
pada neonatus sedikit berbeda dari anak yang lebih besar dan dewasa. Pada neonatus
perdarahan dapat timbul dalam bentuk perdarahan discalp, hematoma sefal yang besar,
perdarahan intracranial, perdarahan tali pusat, perdarahan pada bekas sirkumsisi, oozing pada
bekas suntikan dan kadang-kadang perdarahan gastrointestinal.
Perdarahan intracranial merupakan komplikasi tersering 63%, 80-100% berupa
perdarahan subdural dan subaraknoid. Pada perdarahan intracranial didapatkan gejala
peningkatan tekanan intracranial (TIK) bahkan kadang-kadang tidak menunjukkan gejala
ataupun tanda. Pada sebagian besar kasus (60%) didapatkan sakit kepala, muntah, ubun-ubun

besar menonjol, pucat dan kejang. Gejala lain yang ditemukan adalah fotofobia, edema papil,
penurunan kesadaran, perubahan tekanan nadi, pupil anisokor serta kelainan neurologis fokal.
Pada HDN terdapat 3 macam bentuk klinis yaitu : bentuk dini, klasik, lambat.
Pada pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendeteksi adanya kekurangan
vitamin K, meliputi pemeriksaan : waktu perdarahan, waktu pembekuan, PTT, PT, TT
(thrombin time), jumlah trombosit, kadar hemoglobin, morfologi darah tepi. Pemeriksaan
faktor-faktor pembekuan darah bergantung kepada vitamin K, fibrinogen, faktor V dan VII
dapat pula dilakukan.
8. Gangguan Koagulasi Pada Penyakit Hati
Meskipun kelainan hati yang mendasari berbeda, patofisiologi terjadinya abnormalitas
hemostasis pada penyakit hati hampir sama baik pada neonatus, anak maupun dewasa. Hati
adalah organ yang penting untuk sintesis faktor-faktor koagulasi (fibrinogen, prekalikrein,
HMWK, II, V, VII, IX,X, XI, XII dan XIII), sintesis plasminogen, regulator koagulasi
(antitrombin III, protein C dan S) dan inhibitor fibrinolisis. Hati juga berperan dalam
pemecahan faktor faktor koagulasi maupun fibrinolisis yang aktif dari sirkulasi.
Gangguan fungsi hati dapat menyebabkan gangguan sintesis protein faktor koagulasi.
Selain itu hati merupakan tempat reaksi karboksilasi post ribosom dari protein yang
tergantung vitamin K sehingga pada gangguan fungsi hepar penggunaan vitamin K akan
terganggu pula.
Gangguan fungsi hati dapat disebabkan oleh imaturitas, infeksi, hipoksia, sindrom
Reye, sirosis dan lain-lain.
Manifestasi perdarahan dan gambaran laboratorium tergantung pada berat ringannya
kerusakan hati. Perdarahan spontan jarang terjadi, pada umumnya terjadi perdarahan di
bawah kulit yang timbul akibat prosedur yang invasif. Pada sirosis hepatis dapat terjadi
perdarahan dari gaster dan varises esofagus yang dapat mengancam jiwa Pemeriksaan PT
memanjang pertama kali dikarenakan kadar faktor VII menurun paling awal, jika kerusakan
hepar terus berlanjut akan diikuti dengan pemanjangan PTT.

Penatalaksanaan utama adalah untuk penyakit primer yang mendasarinya.


Penanganan abnormalitas koagulasi pada penyakit hati tergantung pada gejala klinis yang
terjadi serta tempat timbulnya perdarahan (misalnya perdarahan GIT, perdarahan tempat
bekas biopsi). FFP dapat diberikan dengan dosis 10 15 ml/kg berat badan karena
mengandung semua faktor - faktor koagulasi yang dibutuhkan. Kriopresipitat 1 kantung / 5
kg berat badan diberikan untuk mengatasi hipofibrinogenemia. Pemberian konsentrat
kompleks protrombin yang mengandung faktor II, VII, IX dan X dengan konsentrasi tinggi,
dapat dipertimbangkan pada kondisi tertentu misalnya untuk persiapan biopsi hati atau pada
keadaan dimana perdarahan sudah tidak dapat diatasi dengan terapi di atas.
Pada penyakit hati juga terjadi defisiensi faktor faktor koagulasi tergantung vitamin
K, maka pemberian vitamin K mampu mengoreksi koagulopati yang terjadi. Vitamin K1
diberikan secara oral, subkutan atau intravena (tidak secara intramuskular) dengan dosis 1 mg
(untuk bayi), 2 3 mg (untuk anak) dan 5 10 mg (untuk dewasa).
Prognosis kelainan ini tergantung pada penyakit primer yang mendasarinya dan
pemberian terapi yang adekuat dalam mengatasi perdarahannya.
9.

Klasifikasi
Tabel 2 menunjukkan klasifikasi VKDB pada anak berdasarkan etiologi dan onset

terjadinya menjadi 4 kelompok yaitu VKDB dini, VKDB klasik, VKDB lambat atau acquired
prothrombin complex deficiency (APCD) dan Secondary prothrombin complex (PC)
deficiency

10. Diagnosis
Pendekatan diagnosis VKDB melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium.
Anamnesis dilakukan untuk mencari informasi tentang onset perdarahan, lokasi perdarahan,
pola pemberian makanan (ASI atau susu formula), serta riwayat pemberian obat-obatan
antikoagulan pada ibu selama kehamilan. Anamnesis untuk menyingkirkan kemungkinan lain
dengan pemeriksaan atas keadaan umum dan lokasi fisik perdarahan pada tempat-tempat
tertentu seperti saluran cerna berupa hematemesis atau melena, dari hidung, kulit kepala, tali
pusat atau bekas sirkumsisi.
Penting untuk diketahui adalah jika ditemukan neonatus dengan keadaan umum baik
tetapi ada perdarahan segar dari mulut atau feses berdarah maka harus dibedakan apakah itu
darah ibu yang tertelan pada saat persalinan atau memang perdarahan saluran cerna. Cara
membedakannya dengan melakukan uji Apt, warna merah muda menunjukkan darah bayi
sedangkan warna kuning kecoklatan menunjukkan darah ibu.
Pemeriksaan fisik ditujukan untuk melihat keadaan umum bayi, lokasi dan bentuk
perdarahan pada tempat-tempat tertentu seperti GIT, umbilikus, hidung, bekas sirkumsisi dan
lain sebagainya. Pada bayi/anak yang menderita kekurangan vitamin K biasanya keadaan
umum penderita baik, tidak tampak sakit.
Pada pemeriksaan laboratorium dari gangguan pembekuan darah karena kekurangan
vitamin K menunjukkan :
a. Penurunan aktifitas faktor II, VII, IX, dan X
b. Waktu pembekuan memanjang
c. Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT) memanjang
d. (TT) dan masa perdarahan normal
e. Jumlah trombosit, waktu perdarahan, fibrinogen, faktor V dan VIII, fragilitas kapiler
serta retraksi bekuan normal
f. Faktor koagulasi lain normal sesuai dengan usia

Pemeriksaan lain seperti USG, CT Scan atau MRI dapat dilakukan untuk melihat lokasi
perdarahan misalnya jika dicurigai adanya perdarahan intrakranial. Selain itu respon yang
baik terhadap pemberian vitamin K memperkuat diagnosis VKDB.
VKDB harus dibedakan dengan gangguan hemostasis lain baik yang didapat maupun
yang bersifat kongenital. Diantaranya gangguan fungsi hati juga dapat menyebabkan
gangguan sintesis faktor-faktor pembekuan darah, sehingga memberikan manifestasi klinis
perdarahan.
11. Pencegahan Vkdb
Dapat dilakukan dengan pemberian vitamin K Profilaksis. Ada tiga bentuk vitamin K,
yaitu :
1. Vitamin K1 (phylloquinone), terdapat dalam sayuran hijau
2. Vitamin K2 (menaquinone), disintesis oleh flora usus normal
3. Vitamin K3 (menadione), vitamin K sintetis yang sekarang jarang diberikan karena
dilaporkan dapat menyebabkan anemia hemolitik.
Pemberian vitamin K per oral sama efektifnya dibandingkan pemberian intramuskular
dalam mencegah terjadinya VKDB klasik, namun tidak efektif dalam mencegah timbulnya
VKDB lambat.2 Amerika Serikat merekomendasikan penggunaan phytonadione, suatu
sintesis analog vitamin K1 yang larut dalam lemak, diberikan secara i.m.13
Thailand sejak tahun 1988 merekomendasikan pemberian vitamin K 2 mg per oral
untuk bayi normal dan 0,5 1 mg i.m untuk bayi prematur atau tidak sehat. Ternyata mampu
menurunkan angka kejadian VKDB dari 30 70 menjadi 4 7 per 100.000 kelahiran. Sejak
tahun 1999 Vitamin K 1 mg i.m harus diberikan pada semua bayi baru lahir dan diberikan
bersama imunisasi rutin.11
Kanada sejak tahun 1997 merekomendasikan pemberian vitamin K1 intramuskular
0,5 mg (untuk bayi < 1500 g) dan 1 mg (untuk bayi > 1500 g) diberikan dalam waktu 6 jam
setelah lahir. Untuk orang tua yang menolak pemberian secara i.m, vitamin K1 diberikan per
oral dengan dosis 2 mg segera setelah minum, diulang pada usia 2 4 minggu dan 6-8
minggu.
AAP pada tahun 2003 merekomendasikan pemberian vitamin K pada semua bayi baru
lahir dengan dosis tunggal 0,5 1 mg i.m.15 Departemen Kesehatan RI pada tahun 2003

mengajukan rekomendasi untuk pemberian vitamin K1 pada semua bayi baru lahir dengan
dosis 1 mg i.m (dosis tunggal) atau secara per oral 3 kali @ 2 mg pada waktu bayi baru lahir,
umur 3 7 hari dan umur 1 2 tahun.
Untuk ibu hamil yang mendapat pengobatan antikonvulsan harus mendapat
profilaksis vitamin K1 5 mg/hari selama trimester ketiga atau 10 mg i.m pada 24 jam sebelum
melahirkan. Selanjutnya bayinya diberi vitamin K1 1 mg i.m dan diulang 24 jam kemudian.
Meskipun ada penelitian yang melaporkan hubungan antara pemberian vitamin K i.m
dengan meningkatnya angka kejadian kanker pada anak, namun penelitian terbaru yang
dilakukan oleh McKinney pada tahun 1998 tidak membuktikan adanya peningkatan resiko
terjadinya kanker pada anak yang mendapatkan profilaksis vitamin K i.m.
12. Penatalaksanaan
Secara garis besar penatalaksanaan VKDB dibagi atas penatalaksanaan antenatal
untuk mencegah terjadinya penyakit ini dan penatalaksanaan setelah bayi lahir untuk
mencegah dan mengobati bila terjadi perdarahan.
A.

Pemberian vitamin K profilaksis


Hasil penelitian terakhir menunjukkan, bahwa dalam mencegah terjadinya VKDB

bentuk klasik pemberian vitamin K peroral sama efektif, lebih murah dan lebih aman
daripada pemberian secara intramuscular (IM), namun untuk mencegah VKDB bentuk
lambat pemberian vitamin K oral tidak seefektif IM. Efikasi profilaksis oral meningkat
dengan pemberian berulang 3 kali dibanding dengan dosis 2 mg daripada dosis 1 mg,
pemberian vitamin K oral yang diberikan tiap hari atau tiap minggu sama efektifnya dengan
profilaksis vitamin K IM.
AAP mengatakan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang efikasi, keamanan,
bioavailabilitas dan dosis optimal vitamin K oral sediaan baru untuk mencegah VKDB
lambat. Cara pemberian oral merupakan alternative pada kasus-kasus bila orangtua pasien
menolak cara pemberian IM untuk melindungi bayi mereka karena injeksi. Disamping itu
untuk keamanan, bayi yang ditolong oleh dukun bayi sebaiknya diberikan secara oral.

Cara pemberian vitamin K secara IM lebih disukai dengan alas an sebagai berikut:
a. Absorpsi vitamin K1 oral tidak sebaik vitamin K1 IM, terutama pada bayi diare
b. Beberapa dosis vitamin K1 oral diperlukan selama beberapa minggu, sebagai
konsekuensinya tingkat kepatuhan orangtua pasien dapat merupakan masalah
c. Kemungkinan terdapat asupan vitamin K1 oral yang tidak adekuat karena absorpsinya
atau ada regurgitasi
d. Efektifitas vitamin K1 oral belum diakui secara penuh
Sampai saat ini tidak ada cukup bukti yang mendukung hubungan profilaksis vitamin K
dengan insidens kanker pada anak dikemudian hari.
Health Technology Assessment (HTA) Departemen Kesehatan RI (2003) mengajukan
rekomendasi sebagai berikut:
a. Semua bayi baru lahir harus mendapatkan profilaksis vitamin K1
b. Jenis vitamin K yang digunakan adalah vitamin K1
c. Cara pemberian vitamin K1 adalah secara IM atau oral
d. Dosis yang diberikan untuk semua bayi baru lahir adalah:
-

IM, 1 mg dosis tunggal atau

Oral, 3 kali @ 2 mg, diberikan pada waktu bayi baru lahir, umur 3-7 hari, dan
pada saat bayi berumur 1-2 tahun

e. Untuk bayi baru lahir yang ditolong oleh dukun bayi maka diwajib pemberian
profilaksis vitamin K1 secara oral
f. Kebijakan ini harus dikoordinasikan bersama Direktorat Pelayanan Farmasi dan
Peralatan dalam penyediaan vitamin K1 dosis 2 mg/tablet yang dikemas dalam bentuk
strip 3 tablet atau kelipatannya.
g. Profilaksis vitamin K1 pada bayi baru lahir dijadikan sebagai program nasional

B. Pengobatan defisiensi vitamin K


Bayi yang dicurigai mengalami VKDB harus segera mendapat pengobatan vitamin
K1 dengan dosis 1 2 mg/hari selama 1 3 hari.Vitamin K1 tidak boleh diberikan secara
intramuskular karena akan membentuk hematoma yang besar, sebaiknya pemberian
dilakukan secara subkutan karena absorbsinya cepat, dan efeknya hanya sedikit lebih lambat
duibanding dengan

cara

pemberian

sistemik.

Pemberian

secara

intravena

harus

diperti.mbangkan dengan seksama karena dapat memberikan reaksi anafilaksis, meskipun


jarang terjadi.
Selain itu pemberian fresh frozen plasma (FFP) dapat dipertimbangkan pada bayi
dengan perdarahan yang luas dengan dosis 10 15 ml/kg, mampu meningkatkan kadar faktor
koagulasi tergantung vitamin K sampai 0,1 0,2 unit/ml. Respon pengobatan diharapkan
terjadi dalam waktu 4 6 jam, ditandai dengan berhentinya perdarahan dan pemeriksaan faal
hemostasis yang membaik. Pada bayi cukup bulan, jika tidak didapatkan perbaikan dalam 24
jam maka harus dipikirkan kelainan yang lain misalnya penyakit hati.

13. Prognosis
Prognosis VKDB ringan pada umumnya baik, setelah mendapat vitamin K1 akan
membaik dalam waktu 24 jam. Angka kematian pada VKDB dengan manifestasi perdarahan
berat seperti intrakranial, intratorakal dan intraabdominal sangat tinggi. Pada perdarahan
intrakranial angka kematian dapat mencapai 25% dan kecacatan permanen mencapai 50
65%.

Definisi
Kraniotomi adalah suatu tindakan pembedahan tulang kepala untuk mendapatkan
jalan masuk ke bagian intracranial guna:
a. mengangkat tumor
b. menghilangkan/mengurangi peningkatan TIK
c. mengevaluasi bekuan darah
d. menghentikan pendarahan
Kraniotomi adalah perbaikan pembedahan, reseksi atau pengangkatan pertumbuhan
atauabnormalitas di dalam kranium, terdiri atas pengangkatan dan penggantian tulang
tengkorak untuk memberikan pencapaian pada struktur intracranial.
Post craniotomy yaitu suatu keadaan yang terjadi setelah pembedahan kraniotomi/
postcraniotomy (Dorlan, 1998 : 1479).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa post craniotomy yaitu suatu keadaan
individu

yang

terjadi

setelah proses

pembedahan

untuk

mengetahui

dan/

memperbaiki abnormalitas di dalam kranium untuk mengetahui kerusakan otak.


Indikasi
Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebagai berikut :
a. Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
b. Mengurangi tekanan intrakranial.
c. Mengevakuasi bekuan darah .
d. Mengontrol bekuan darah,
e. Pembenahan organ-organ intrakranial,
f. Tumor otak,
g. Perdarahan (hemorrage),
h. Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms)
i. Peradangan dalam otak
j. Trauma pada tengkorak

atau

DAFTAR PUSTAKA

Prof. DR. dr. Sudigdo Sastroasmoro Perdarahan Akibat Defisiensi Vitamin K, Buku Panduan
Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak 2007: 279-281
Respati H, Reniarti L, Susanah S. Gangguan Pembekuan Darah. Didapat: Defisiensi Vitamin
K. Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M,
Eds. Buku Ajar Hematologi-onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI,
2005:182-96.
Respati H, Reniarti L, Susanah S. Hemorrhagic Disease of the Newborn Dalam: Permono B,
Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, Eds. Buku Ajar
Hematologi-onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2005:197-206
Doenges, M.E. (2000). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Japardi, I. (2004). Cedera kepala. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.
Leksomono, Hafid, & Sajid. Cedera otak dan dasar-dasar pengelolaannya. Diperoleh tanggal
27 Maret 2010 dari http//:www.kalbefarina.com
Smeltzher & Bare. (2001). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Vol 3. Jakarta: EGC

You might also like