You are on page 1of 28

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, sekarang ini

juga banyak sekali masalah kesehatan yang muncul di masyarakat. Dari hari kehari semakin
banyak muncul berbagai macam penyakit infeksi ataupun penyakit lainnya, salah satunya
adalah penyakit tonsilitis atau yang sering kita kenal dengan radang amandel. Tonsilitis adalah
inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel. Organisme penyebabnya yang
utama meliputi Streptococcus atau Staphylococcus. (Shah, 2014)
Tonsilitis adalah suatu peradangan pada tonsil atau amandel yang dapat menyerang
semua golongan umur. Tonsilitis akut sering menimbulkan komplikasi. Bila tonsilitis akut
sering kambuh walaupun penderita telah mendapat pengobatan yang memadai, maka perlu
diingat kemungkinan terjadinya tonsilitis kronik. Faktor berikut ini mempengaruhi berulangnya
tonsilitis: rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu), cuaca, pengobatan
tonsilitis yang tidak memadai dan higiene rongga mulut yang kurang baik. (Farokah, 2005)
Tonsilitis akut merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada saluran napas
bagian atas, terutama pada anak anak. Insiden tertinggi terjadi pada usia 4 5 tahun. Pada
usia sekolah, insiden tertingginya adalah usia 6 12 tahun. (Babaiwa, 2013)
Terdapat beberapa klasifikasi tonsilitis yaitu tosilitis akut, tonsilitis membranosa dan
tonsilitis kronik. Tonsilitis akut dibagi menjadi dua yaitu Tonsilitis viral dan Tonsilitis
bakterial. Pada tonsilitis viral penyebab yang paling sering adalah Epstein Barr virus,
sedangkan tonsilitis bakterial disebabkan kuman grup A Streptococcus. (Mal, 2010)
Gejala tonsilitis akut berupa nyeri tenggorokan yang semakin parah jika penderita
menelan dan nyeri sering kali dirasakan ditelinga karena tenggorokan dan telinga memiliki
persarafan yang sama. Gejala lainnya berupa demam, tidak enak badan, sakit kepala, mual dan
muntah. (Dhingra, 2005)
Mengingat angka kejadian tonsilitis yang cukup tinggi di masyarakat serta dampak
yang cukup besar akibat dari infeksinya pada penderitanya, penulis tertarik untuk membuat
tulisan tentang tonsilitis ini. Diharapkan dengan adanya tulisan ini dapat menjadi referensi
sekaligus sebagai bahan bacaan untuk memperluas wawasan tentang penyakit tonsilitis.

1.2.

Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui anatomi dan fisiologi tonsil,

serta untuk mengetahui manifestasi tonsilitis mulai dari definisi, etiologi, diagnosis,
manifestasi klinis, dan penatalaksanaannya. Selain itu, tujuan penulisan paper ini adalah
sebagai salah satu syarat menyelesaikan Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu
Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher (THT KL) Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

1.3.

Manfaat
Makalah ini adalah bermanfaat bagi para pembaca, khususnya yang terlibat dalam

bidang medis dan masyarakat secara umumnya. Diharapkan dengan makalah ini pembaca
dapat lebih mengetahui dan memahami lebih mendalam mengenai Tonsilitis sehingga
penanganan yang lebih cepat dan tepat dapat dilakukan untuk mengurangi angka morbiditas
dan mortalitas pasien.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Anatomi Dan Fisiologi Tonsil


Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin Waldeyer

merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari :

Tonsil faringeal (adenoid)

Tonsil palatina (tonsil faucial)

Tonsil lingual (tosil pangkal lidah)

Tonsil tuba eustachius (lateral band dinding faring / Gerlachs tonsil).

(Snow, 2003)

Gambar 2.1. Letak anatomi tonsil yang membentuk cincin Waldeyer (Snow, 2003)

Secara histologis, lapisan pada tonsil terbagi atas tiga zona. Ketiga zona tersebut adalah
sebagai berikut :

Reticular cell epithelium


Lapisan squamous, di dalamnya terdapat antigen presenting cell (Sel M) yang mentransfer
antigen ke dalam organ limfoid

Extrafolicular area
Terdiri atas sel sel T (Limfosit T)

Limphoid follicle
Terdiri atas mantle zone (sel-B matur) dan germinal center (sel-B aktif)

(Pasha, 2008)
3

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar
posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing
tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu
mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa
supratonsilar. Tonsil ini terletak di lateral orofaring dengan dibatasi oleh:

Lateral

muskulus konstriktor faring superior

Anterior

muskulus palatoglosus

Posterior muskulus palatofaringeus

Superior

palatum mole

Inferior

tonsil lingual

(Dhingra, 2005)

Tonsil palatina memiliki 2 lapisan (lateral dan medial) serta memiliki 2 kutub (kutub
atas dan kutub bawah. Berikut ini penjelasan dari bagian bagian tersebut :

Lapisan medial
Lapisan ini ditutupi oleh epitel squamous bertingkat non-keratinizing yang berlekuk
masuk ke dalam substansi tonsil dan membentuk kripta. Pintu masuk dari 12 15 kripta
dapat terlihat pada lapisan medial ini. Salah satu dari kripta tadi, yang terletak dekat
dengan kutub atas merupakan kripta dengan ukuran paling besar dan dalam yang dikenal
dengan crypta magna atau intratonsillar cleft. Kripta dapat diisi oleh material seperti sel
epitel, bakteri, atau debris makanan.

Lapisan lateral
Lapisan ini ditutupi oleh kapsul berupa jaringan fibrosa. Diantara kapsul dan bagian
dalam tonsil terdapat jaringan ikat longgar yang menjadi batas saat dilakukan
tonsilektomi. Tempat ini juga merupakan tempat pengambilan sampel nanah pada
penderita

peritolsillar

abscess.

Beberapa

serat

otot

palatoglossus

dan

otot

palatopharingeal juga melekat pada kapsul tonsil

Kutub atas
Bagian ini memanjang sampai pallatum mole. Lapisan medialnya ditutupi oleh lipatan
semilunar, yang memanjang diantara pilar anterior dan posterior, dan menutupi fossa
supratonsilar.

Kutub bawah
Bagian ini melekat pada pangkal lidah. Lipatan triangular dari membran mukosa
memanjang dari pilar anterior sampai bagian anteroinferior dari tonsil dan menutupi
anterior pillar space. Tonsil dipisahkan dari lidah oleh tonsillolingual sulcus yang sering
menjadi tempat terjadinya keganasan.
(Dhingra, 2005)

Gambar 2.2. Gambaran anatomi tonsil palatina (Dhingra, 2005)

Gambar 2.3. Anatomi tonsil palatina dan komponen disekitarnya (Probst, 2006)

Tonsil palatina mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, melalui


cabang-cabangnya, yaitu :

A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya

A. tonsilaris dan A. palatina asenden.

A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden.

A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal.

A. faringeal asenden.

Sumber perdarahan daerah kutub bawah tonsil:

Anterior

: A. lingualis dorsal.

Posterior

: A. palatina asenden.

Diantara keduanya: A. tonsilaris.

Sumber perdarahan daerah kutub atas tonsil:

A. faringeal asenden

A. palatina desenden.

(Pulungan, 2005)

Gambar 2.4. Sistem perdarahan tonsil palatina (Pulungan, 2005)


6

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang
sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti
suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini
tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa
faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring.
Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun
dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi
pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara
usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi. (Probst, 2006)
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada
apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata. (Probst, 2006)
Fossa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot
palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dinding luarnya
adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada
bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX yang merupakan nervus glosofaringeal.
(Snow, 2003)
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu 1) arteri
maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina
asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri
lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah
tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri
palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas
tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari
tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui
pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal. (Snow, 2003)
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal
profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus,
selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai
pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada. Tonsil
bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus glosofaringeal) dan
juga dari cabang desenden lesser palatine nerves. (Snow, 2003)

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B


membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah
40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal.
Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin
berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4
area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat
germinal pada folikel ilmfoid. (Farokah, 2005)
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu :
1. Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif
2. Sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen
spesifik.
(Soepardi, 2012)

Gambar 2.5. Anatomi Faring dan Tonsil (Snow, 2003)

2.2.

Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin

Waldeyer. Tonsilitis disebabkan peradangan pada tonsil yang diakibatkan oleh bakteri, virus,
dan jamur. (Soepardi, 2012)

2.3.

Klasifikasi
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, tonsilitis dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis,

yaitu sebagai berikut :


1. Tonsilitis Akut
Tonsilitis akut merupakan suatu inflamasi akut yang terjadi pada tonsilla palatina, yang
terdapat pada daerah orofaring disebabkan oleh adanya infeksi maupun virus. Tonsilitis
akut dapat dibagi menjadi :

Acute superficial tonsilitis, biasanya disebabkan oleh infeksi virus dan biasanya
merupakan perluasan dari faringitis serta hanya mengenai lapisan lateral.

Acute folicular tonsilitis, infeksi menyebar sampai ke kripta sehingga terisi dengan
material purulen, ditandai dengan bintik bintik kuning pada tonsil

Acute parenchymatous tonsilitis, infeksi mengenai hampir seluru bagian tonsil


sehingga tonsil terlihat hiperemis dan membesar,

Acute membranous tonsilitis, merupakan stase lanjut dari tonsilitis folikular dimana
eksudat dari kripta menyatu membentuk membran di permukaan tonsil.

(Dhingra, 2005)

Gambar 2.6. Gambaran Acute parenchymatous tonsilitis (Dhingra, 2005)


9

2. Tonsilitis Kronis
Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat infeksi akut atau
subklinis yang berulang. Ukuran tonsil membesar akibat hiperplasia parenkim atau
degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil
yang relatif kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis.

Durasi maupun beratnya

keluhan nyeri tenggorok sulit dijelaskan. Biasanya nyeri tenggorok dan nyeri menelan
dirasakan lebih dari 4 minggu dan kadang dapat menetap. Tonsilitis kronis adalah suatu
kondisi yang merujuk kepada adanya pembesaran tonsil sebagai akibat infeksi tonsil yang
berulang. (Pulungan, 2005)

2.4.

Etiologi
Tonsilitis disebabkan oleh infeksi bakteri streptococcus atau infeksi virus. Tonsil

berfungsi untuk membuat limfosit, yaitu sejenis sel darah putih yang bertugas membunuh
kuman yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Tonsil akan berubah menjadi tempat infeksi
bakteri maupun virus, sehingga membengkak dan meradang, menyebabkan tonsillitis.
Penyebab tonsilitis adalah infeksi kuman Streptococcus beta Hemolyticus, Streptococcus
viridans, dan Streptococcus pyogenes. Streptococcus pyogenes merupakan patogen utama pada
manusia yang menimbulkan invasi lokal, sistemik dan kelainan imunologi pasca streptococcus.
(Flint, 2010)

Tabel 2.1. Etiologi terjadinya tonsilitis (Campisi, 2003)


10

Dari beberapa studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa Streptococcus


Hemolitikus Grup A merupakan penyebab utama dari tonsilitis dengan persentase sekitar 15
30% dari semua jenis bakteri. (Hsieh, 2011) Beberapa etiologi lain yang juga cukup tinggi
insidennya dalah menyebabkan terjadinya tonsilitis adalah Haemophyllus influenza
Staphylococcus aureus dan Streptococcus Pyogens. (Babaiwa, 2013)

Gambar 2.7. Gambaran tonsilitis akut. Etiologi disebabkan oleh (a) Streptococcus beta
hemoliticus grup A (b) Lesi eksudatif terlihat pada kedua tonsil (c) Infeksi mononukleosis
(Onerci, 2009)
11

2.5.

Bakteriologi Tonsilitis
Bakteri di dalam saluran tenggorok bayi akan mulai muncul sejak pemberian makanan

melalui mulut. Bakteri tersebar di dinding faring permukaan tonsil maupun ke rongga mulut.
Bakteri di dalam tenggorok pada umumnya adalah flora normal. Flora normal di tenggorok
terdiri dari bakteri gram positif dan gram negatif baik yang aerob maupun anaerob. Bakteri
anaerob seperti Actinomyces, Nocardia, dan Fusobacterium mulai ditemukan pada usia 6
sampai 8 bulan. Bacteroides, Leptotrichia, Propioni bacterium, dan Candida muncul sebagai
flora rongga mulut. Populasi Fusobacterium akan meningkat dengan terbentuknya gigi.
(Pulungan, 2005)
Bakteri aerob termasuk; Streptococcus non hemolyticus, Streptococcus mitis,
Streptococcus spp, Staphylococcus non coagulatif, Gemella haemolysans, Neisseria spp dan
lain-lain. Kondisi yang menguntungkan dari host terhadap perkembangan bakteri dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan flora normal menjadi patogen. (Pulungan, 2005)
Peranan bakteri anaerob pada tonsilitis sulit dijelaskan. Bakteri anaerob merupakan
flora normal pada tonsil. Tidak ditemukan perbedaan bakteri anaerob pada tonsil yang sehat
dengan tonsilitis akut. Pada tonsilitis kronis juga tidak ditemukan perbedaan bermakna antara
bakteri anaerob di permukaan tonsil dengan di inti tonsil. Namun demikian secara invitro
ditemukan sinergi antara bakteri anaerob dan pertumbuhan Streptococcus hemolyticus group
A. Bakteri anaerob mempengaruhi pertumbuhan bakteri patogen. (Pulungan, 2005)
Peranan bakteri anaerob penghasil laktamase seperti Bacteroides fragilis,
Fusobacterium spp, dapat menurunkan penetrasi penisilin terhadap bakteri patogen. Bakteri
anaerob penghasil laktamase yang resisten terhadap penisilin dapat melindungi organisme
patogen dimaksud. Pemeriksaan bakteriologi terhadap tonsil kanan dan tonsil kiri tidak
ditemukan perbedaan. (Pulungan, 2005)

Gambar 2.8. Gambaran cherry red tounge general. Mengindikasikan infeksi Streptococcus beta
hemoliticus Grup A (Onerci, 2009)
12

2.6.

Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Tonsil berperan sebagai

filter yang menyelimuti bakteri ataupun virus yang masuk dan membentuk antibodi terhadap
infeksi. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superfisial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli
morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning
yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas,
suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis falikularis. (Farokah, 2005)
Pada tonsilitis akut dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi
parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga sakit menelan dan
demam tinggi. Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh sakit menelan, tenggorokan
akan terasa mengental. Tetapi bila penjamu memiliki kadar imunitas antivirus atau antibakteri
yang tinggi terhadap infeksi virus atau bakteri tersebut, maka tidak akan terjadi kerusakan
tubuh ataupun penyakit. Sistem imun selain melawan mikroba dan sel mutan, sel imun juga
membersihkan debris sel dan mempersiapkan perbaikan jaringan. (Farokah, 2005)

Gambar 2.9. Tonsilitis akut dengan folikel pada tonsil (Snow, 2003)

Infeksi berulang pada tonsilitis akut sering tejadi pada pengobatan yang tidak adekuat.
Hal terjadi dikarenakan kemampuan bakteri untuk bertahan pada lingkungan intraseluler di
dalam kripta tonsil, sehingga tidak terkena paparan antibiotik yang diberikan pada pasien.
Dengan begitu bakteri tersebut dapat berkembang biak dan menyebabkan reinfeksi kembali.
(Mal, 2010) Mekanisme lain yang dapat menjelaskan kejadian ini adalah karena penetrasi
antibiotik ke dalam tonsil yang rendah akibat jaringan parut karena infeksi tonsilitis. Selain itu
juga adanya flora normal yang menghasilkan enzim protektif dan membentuk lapisan biofilm
juga dapat menghalangi penetrasi dari antobiotik ke dalam tonsil. (Alasil, 2011)

13

Gambar 2.10. Pembesaran tonsil. Disebabkan oleh (A) Tonsilitis berulang (B) Pada pasien
Obstructive Sleep Apnea (C) Unilateral hipertrofi tonsil (Alasil, 2011)

Tonsilitis kronis adalah suatu keadaan dimana penyakit terjadi secara berulang diikuti
oleh episode serangan akut atau keadaan subklinis dari suatu infeksi yang persisten, biasanya
terjadi akibat penatalaksanaan yang kurang adekuat. Terminologi tonsilitis berulang/recurrent
merupakan keadaan yang hampir sama dengan tonsilitis kronis. Akan tetapi pada keadaan
tonsilitis berulang, ada suatu keadaan dimana tonsil kembali ke keadaan normal secara
makroskopis dan histologis diantara dua serangan. Hal ini yang membedakannya dengan
tonsilitis kronis dimana keadaan ini tidak ditemukan. (Ugras, 2008)
Pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang yang menyebabkan epitel
mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid
diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar
(kriptus) yang akan diisi oleh detritus. Infiltrasi bakteri pada epitel jaringan tonsil akan
menimbulkan radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear serta terbentuk detritus yang
terdiri dari kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang lepas. (Dhingra, 2005)
Patofisiologi tonsilitis kronis adalah akibat adanya infeksi berulang pada tonsil maka
pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian
menginfeksi tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi
tempat infeksi. Proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan
parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini
tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya
menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. Proses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa submandibula. (Dhingra, 2005)
14

Gambar 2.11. Gambaran tonsilitis kronis. Tidak ada kriteria diagnostik yang jelas untuk
tonsilitis kronis. Kripta tonsil yang dalam, debris putih pada kripta, dan vaskularisasi pada pilar
anterior tampak pada tonsilitis kronis. Debris putih terdiri dari sisa sisa makanan yang dapat
menyebabkan halitosis (Onerci, 2009)

15

2.7.

Manifestasi Klinis
Gejala pada tonsillitis akut adalah rasa gatal/ kering ditenggorokan, anoreksia, otalgia,

tonsil membengkak. Dimulai dengan sakit tenggorokan yang ringan hingga menjadi parah,
sakit menelan, kadang muntah. Pada tonsillitis dapat mengakibatkan kekambuhan sakit
tenggorokan dan keluarnya nanah pada lekukan tonsil. (Shah, 2014)
Tanda klinisnya dijumpai tonsil membengkak dan meradang. Tonsila biasanya bercakbercak dan kadang-kadang diliputi oleh eksudat. Eksudat ini mungkin keabu-abuan dan
kekuningan. Eksudat ini dapat berkumpul, membentuk membran dan pada beberapa kasus
dapat terjadi nekrosis jaringan lokal. (Liston, 1997)
Berikut ini adalah tanda dan gejala yang dialami oleh pasien yang menderita tonsilitis
akut, yaitu sebagai berikut ini :
1. Tanda

Napas berat dan lidah yang licin

Hiperemis pada pilar, uvula dan palatum mole

Kemerahan dan bengkak pada tonsil disertai dengan gambaran bintik bintik kuning
yang merupakan gambaran material purulen pada kripta yang terbuka (acute folicular
tonsilitis). Kedua tonsil dapat membesar hingga dapat bertemu pada midline orofaring.

Pembesaran dari KGB jugulodigastrikus

2. Gejala
Gejala yang sering ditemui berupa kesulitan dalam menelan, gangguan fonasi, respirasi dan
pendengaran. Selain itu gejala yang dapat muncul antara lain :

Sakit tenggorokan

Sakit menelan

Perubahan suara (serak)

Sakit pada telinga

Snoring (akibat obstruksi jalan napas atas)

Napas berbau

Gangguan pendengaran

Pasien tampak sangat sakit

(Dhingra, 2005)

16

2.8.

Diagnosis Banding
Gejala yang paling sering dialami oleh penderita tonsilitis adalah disfagia dan

pembesaran pada tonsil. Berikut ini beberapa penyakit yang bisa menjadi diagnosis banding
dari tonsilitis :

Hipertrofi tonsil

GERD (Gastro Esophageal Reflux)

Leukemia

Limphoma of the head and neck

NPC (Nasopharingeal carcinoma)

Tumor ganas tonsil

(Shah, 2014)

Gambar 2.12. Diagnosis banding nyeri saat menelan (Ludman, 2007)

17

Gambar 2.13. Gambaran hipertrofi tonsil (a) Tonsil kanan yang mengalami hipertrofi (b)
Kissing tonsils, tonsil menyebabkan Obstructive Sleep Apnea (OSA) (Onerci, 2009)

18

2.9.

Penatalaksanaan Tonsilitis
Pemeriksaan kultur bakteri penyebab tonsilitis rekuren maupun tonsilitis kronis perlu

dilakukan untuk mengetahui bakteri penyebab sebagai bukti empiris dalam penatalaksanaan
tonsilitis. Terdapat perbedaan bakteri pada permukaan tonsil dengan bakteri di dalam inti tonsil
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan swab permukaan tonsil maupun pemeriksaan dari inti
tonsil. Swab dari inti tonsil didapatkan dari tonsil yang telah dilakukan tonsilektomi.
(Pulungan, 2005)

Untuk pasien yang menderita tonsilitis akut, berikut ini penatalaksanan yang dapat
diberikan, yaitu :
1. Antibiotik golongan penisilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur atau obat isap
dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau klindomisin.
2. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk
mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik.
3. Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari komplikasi kantung
selama 2-3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3x negatif.
4. Pemberian antipiretik.
(Soepardi, 2012)

Indikasi dilakukannya pemberian antibiotik pada pasien dengan infeksi pada tonsil dan
saluran napas adalah sebagai berikut :
1. Akut tonsilitis disertai dengan gejala sistemik
2. Unilateral peritonsilitis
3. Memiliki riwayat demam reumatik
4. Keadaan immunosupresi
(Paleri, 2010)

Penatalaksanaan tonsilitis akut dengan memperbaiki higiene mulut, pemberian


antibiotika spektrum luas selama 1 minggu dan Vitamin C dan B kompleks. Pada beberapa
penelitian menganjurkan pemberian antibiotik lebih dari 5 hari. Pemberian antibiotik
secepatnya akan mengurangi gejala dan tanda lebih cepat. Meskipun demikian, tanpa
antibiotik, demam dan gejala lainnya dapat berkurang selama 3-4 hari. Pada demam rematik,
gejala lainnya dapat berkurang selama 3-4 hari. Pada demam rematik, gejala dapat bertahan
sampai 9 hari selama pemberian terapi. (Dhingra, 2005)
19

Untuk tonsilitis bakteri, penisililin merupakan antibiotik lini pertama untuk tonsilitis
akut yang disebabkan bakteri Group A Streptococcus B hemoliticus (GABHS). Walaupun pada
kultur GABHS tidak dijumpai, antibiotik tetap diperlukan untuk mengurangi gejala. Jika dalam
48 jam gejala tidak berkurang atau dicurigai resisten terhadap penisilin, antibiotik dilanjutkan
dengan amoksisilin asamklavulanat sampai 10 hari. Pada tonsillitis kronik dilakukan terapi
lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur/hisap dan terapi radikal dengan tonsilektomi bila
terapi medikamentosa atau terapi konservatif tidak berhasil. (Soepardi, 2012)
Pada tonsilitis yang berulang, penggunaan antibiotik ciprofloxacin dan gentamisin perlu
dipertimbangkan. Hal ini karena organisme yang sering menyebabkan infeksi berulang ini
adalah Pseudomonas aeruginosa dan beberapa bakteri lain yang sensitif terhadap ciprofloxacin
dan gentamisin. Pada pasien anak, penggunaan amoxicillin atau kombinasi amoxicillin-asam
klavulanat adalah pilihan pertama pada tonsilitis berulang, dimana penggunaan ciprofloxacin
menjadi kontraindikasi. (Babaiwa, 2013)

Tabel 2.2. Uji kepekaan antibiotik terhadap bakteri patogen penyebab tonsilitis (S) Sensitif (I)
Intermediate (R) Resisten (Pulungan, 2005)
20

Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, Namun hal ini bukan
berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan keterampilan dan
ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di Amerika Serikat, karena
kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia,
tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak
sulit. Indikasi dilakukannya tonsilektomi dapat dibagi menjadi :
1. Indikasi absolut

Infeksi tenggorokan berulang yang terjadi :


a. Tujuh kali atau lebih dalam satu tahun
b. Lima kali per tahun dalam dua tahun
c. Tiga kali per tahun dalam tiga tahun
d. Dua minggu atau lebih tidak masuk sekolah atau kerja dalam satu tahun

Abses peritonsilar. Pada anak, tonsilektomi dilakukan 4-6 minggu setelah abses
diobati. Pada dewasa, serangan kedua abses peritonsilar merupakan indikasi asolut.

Tonsilitis yang menyebabkan kejang demam

Hipertrofi tonsil yang menyebabkan :


a. Obstruksi saluran napas (sleep apnea)
b. Sulit menelan
c. Gangguan artikulasi suara

Suspek keganasan. Pembesaran tonsil unilateral kemungkinan limfoma pada anak, dan
kemungkinan karsinoma epidermoid pada dewasa. Sebelumnya harus dilakukan
dahulu biopsi eksisional.

2. Indikasi relatif

Karies difteri yang tidak respon dengan pemberian antibiotik

Karies streptococcus , yang mungkin menjadi sumber infeksi lainnya

Tonsilitis kronis dengan halitosis yang tidak respon dengan terapi medikamentosa

Tonsilitis streptococcus berulang pada pasien dengan valvular heart disease.

3. Bagian dari operasi lain

Palatofaringoplasti yang dilakukan karena adanya sleep apnea syndrome.

Neurektomi glossofaringeal. Tonsil diangkat terlebih dahulu baru kemudian nervus


glossofaringeal diangkat dan bed of tonsil tetap ditinggalkan.

Pengangkatan prosessus stiloideus

(Dhingra, 2005)
21

Tabel 2.3. Teknik teknik tonsilektomi (Dhingra, 2005)

Beberapa perawatan yang harus dilakukan pada pasien yang telah menjalani
tonsilektomi adalah sebagai berikut :
1. Perawatan awal

Pasien tetap dikondisikan dalam keadaan Posisi Koma sampai efek anestesi hilang

Awasi tanda tanda perdarahan dari hidung dan mulut

Awasi tanda tanda vital pasien

2. Diet

Saat pasien sudah sadar, pasien dapat mulai diberikan makanan cair, seperti susu
dingin atau es krim. Kulum kulum es batu juga dapat mengurangi rasa nyeri. Diet
diberikan bertahap mulai dari makanan lunak sampai makanan biasa/solid. Pemberian
puding, jelli, dan telur rebus dapat diberikan pada hari kedua post-operasi.

3. Oral hygine

Pasien diberikan obat kumur 3 4 kali sehari. Mulut dibersihkan dengan air bersih
setiap selesai makan

4. Analgesik

Nyeri, biasanya terjadi secara lokal pada tenggorokan yang dapat menjalar ke telinga,
dapat diredakan dengan analgesik lemah, seperti paracetamol. Analgesik dapat
diberikan setengah jam sebelum pasien makan.

5. Antibiotik

Antibiotik yang sesuai dapat diberikan secara injeksi /oral selama sekitar satu minggu

Pasien dapat dipulangkan 24 jam setelah operasi jika tidak ada komplikasi dan dapat
beraktivitas normal kembali 2 minggu setelah operasi.

(Dhingra, 2005)
22

Gambar 2.14. Tonsil yang sudah diangkat beserta kapsulnya (Onerci, 2009)

2.10.

Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang menderita tonsilitis adalah

sebagai berikut :
1. Abses peritonsil
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses
biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi faringeal
bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang. Gejala
penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat, dan trismus. Diagnosa
dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses.
2. Abses parafaring
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula,
demam tinggi, dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol ke arah medial.
Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal.
3. Abses intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan
penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang
bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian
antibiotika dan drainase abses jika diperlukan, selanjutnya dilakukan tonsilektomi.
4. Tonsilitis kronis dengan serangan akut
Biasanya terjadi karena tatalaksana tonsilitis akut yang tidak adekuat. Infeksi kronis dapat
terjadi pada folikel limfoid tonsil dalam bentuk mikroabses.
23

5. Otitis Media Akut


Serangan berulang otitis media akut berkaitan erat dengan serangan berulang dari tonsilitis
akibat infeksi yang menjalar melalui tuba eustachius.
6. Tonsilolith (kalkulus tonsil)
Tonsilolith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari
debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang memicu
terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat
terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa
tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan
melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.
7. Kista tonsilar
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran kekuningan di atas
tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainasi.
8. Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonefritis.
Anti-streptokokal antibodi meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis dan 33%
diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta hemolitikus pada swab tonsil yang
merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring. Hasil ini megindikasikan kemungkinan
infeksi tonsil menjadi patogenesa terjadinya penyakit Glomerulonefritis.
(Dhingra, 2005)

Gambar 2.15. Tonsitolith yang sudah diangkat (Onerci, 2009)


24

2.11.

Prognosis
Tonsilitis biasanya dapat sembuh dalam waktu beberapa hari dengan beristirahat

dan pengobatan suportif. Penanganan gejala klinis dapat membuat penderita Tonsilitis lebih
nyaman bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi. Antibiotik tersebut harus
dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita
telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat
menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya. Infeksi yang sering
terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, tonsilitis dapat
menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia. (Snow, 2003)

2.12.

Pencegahan
Bakteri dan virus penyebab Tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari satu

penderita ke orang lain. Tidaklah jarang terjadi seluruh keluarga atau beberapa anak pada kelas
yang sama datang dengan keluhan yang sama, khususnya bila Streptokokus pyogenase adalah
penyebabnya. Risiko penularan dapat diturunkan dengan mencegahterpapar dari penderta
Tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan. Gelas minuman dan perkakas rumah
tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan air
panas yang bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang talah lama sebaiknya diganti
untuk mencegah infeksi berulang. Karier Tonsilitis seharusnya sering mencuci tangan mereka
untuk mencegah penyebaran infeksi pada orang lain. (Pulungan, 2005)

25

BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1.

Kesimpulan
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin

waldeyer. Cincin waldeyer terdiri dari susunan kelenjer limfa yang terdapat di dalam rongga
mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil
pangkal lidah), dan tonsil tuba eustachius (lateral band dinding faring / gerlachs tonsil).
Penyebaran infeksi melalui udara (air-bond droplets), tangan dan ciuman dapat terjadi pada
semua umur terutama pada anak.
Tonsilitis akut sering mengenai anak-anak usia sekolah, tetapi juga dapat mengenai
orang dewasa. Jarang mngenai bayi dan usia lanjut > 50 tahun. Penyebab tersering tonsillitis
akut adalah steptokokus beta hemolitikus grup A. yaitu sekitar 50% dari kasus. Bakteri lain
yang juga dapat menyebabkan tonsillitis akut adalah Haemophilus influenza. Pada tonsillitis
kronis, dapat berupa komplikasi dan tonsillitis akut.
Tonsilitis dapat diklasifikasi menjadi tonsillitis akut, tonsillitis difteri, dan tonsillitis
kronik dengan diagnosis serta penanganan yang berbeda. Penatalaksanaan dari tonsillitis dapat
dilakukan secara konservatif maupun operatif. Terapi konservatif dilakukan untuk
mengeliminasi kusa, yaitu infeksi dan mengatasi keluhan yang mengganggu. Bila tonsil
membesar dan menyebabkan sumbatan jalan nafas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk
abses atau tidak berhasil dengan pengobatan konvensional, maka operasi tonsilektomi perlu
dilakukan dengan mempertimbangkan indikasi, kontraindikasi, serta komplikasi yang mungkin
timbul.

3.2.

Saran
Seorang klinisi harus mengetahui pola manajemen yang benar dalam menghadapi

pasien yang datang dengan kejadian Tonsilitis. Hal ini penting untuk dapat mengenali tanda
tanda kegawatdaruratan pada pasien Otitis Media Akut sehingga penanganan dan
penatalaksanaan yang akan dilakukan tidak terlambat serta penyakit tidak berkembang menjadi
lebih parah lagi.

26

DAFTAR PUSTAKA

Alasil, Saad., dkk. 2011.

Bacterial identification and antibiotic susceptibility patterns of

Staphyloccocus aureus isolates from patients undergoing tonsillectomy in Malaysian


University

Hospital.

Diunduh

dari

http://www.academicjournals.org/article/article1380532457_Alasil%20%20et%20al.pdf
[Diakses 13 November 2014]
Babaiwa, U.F., Onyeagwara N.C., dan Akerele J.O. 2013. Bacterial tonsillar microbiota and
antibiogram

in

recurrent

tonsillitis.

Diunduh

dari

http://www.biomedres.info/yahoo_site_admin/assets/docs/298-302babaiwa.160223425.pdf [Diakses 13 November 2014]


Campisi, Paolo., dan Ted L. Tewfik. 2003. Tonsilitis and its Complications. Diunduh dari :
http://www.stacommunications.com/journals/diagnosis/2003/02_February/tonsilitis.pdf
[Diakses 13 November 2014]
Dhingra, P.L., dan Shruti Dhingra. 2005. Diseases of Ear, Nose and Throat, Fifth Edition.
New Delhi : Elseiver.
Farokah. 2005. Laporan Penelitian: Hubungan Tonsilitis Kronik dengan Prestasi Belajar
Siswa

Kelas

II

Sekolah

Dasar

di

Kota

Semarang.

Diunduh

dari

http://eprints.undip.ac.id/12393/1/2005FK3602.pdf [Diakses 11 November 2014]


Flint, Paul W. dkk. 2010. Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery 5th edition.
Philadelphia : Mosby Elsevier.
Hsieh, T.H., dkk. 2011. Are empiric antibiotics for acute exudative tonsillitis needed in
children ?. Diunduh dari :
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&cad=rja&uact
=8&ved=0CDgQFjAD&url=http%3A%2F%2Fwww.ejmii.com%2Farticle_pdf.php%3Fc
ode%3DPDT4e9e3678ce968&ei=6ZlkVNb1K8GzuQS1wYDICg&usg=AFQjCNE1YYa
UD7IXF6LjdhI-jl084-fVRw&bvm=bv.79189006,d.c2E [Diakses 13 November 2014]
Liston, S.L. 1997. Adams, Boeis dan Higler. Eds. Buku Ajar Penyakit THT Boeis Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ludman, H., dan Patrick J.B. 2007. ABC of Ear, Nose and Throat, Fifth Edition. Massachusetts
: Blackwell Publishing Inc.

27

Mal, R.K., A.F. Oluwasanmi, dan J.R. Mitchard. 2010. Tonsillar Crypts and Bacterial Invasion
of

Tonsils:

Pilot

Study.

Diunduh

dari

http://benthamopen.com/tootorj/articles/V004/83TOOTORJ.pdf [Diakses 13 November


2014]
Onerci, T.M. 2009. Diagnosis in Otorhinolaryngology, An Illustrate Guide. New York :
Springer.
Paleri, Vinidh., dan John Hill. 2010. An Atlas of Investigation and Management ENT
Infections. Oxford : Clinical Publishing.
Pasha, R. 2008. Otolaryngology, Head and Neck Surgery, Clinical Reference Guide. Singular :
Thompson Learning.
Probst, Rudolf., Gerhard Greves, dan Heinrich Iro. 2006. Basic Otorhinolaryngology A Stepby-Step Learning Guide. USA: Georg Thieme Verlag, 2006; Hal 113-9.
Pulungan, M.R., dan Novialdi N. 2005. Mikrobiologi Tonsilitis Kronis. Diunduh dari :
http://repository.unand.ac.id/18395/1/MIKROBIOLOGI%20TONSILITIS%20KRONIS.p
df [Diakses 13 November 2014]
Shah,

K.

Udayan.

2014.

Tonsilitis

and

Peritonsilar

abcess.

Diunduh

dari

http://emedicine.medscape.com/article/871977-overview [Diakses 11 November 2014].


Snow, James B. dan John Jacob Ballenger. 2003. Ballengers Otorhinolaryngology Head and
Neck Surgery 16th Edition. Chicago : Williams & Wilkins.
Soepardi, E.A. dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; hal 223-4.
Ugras, Serdar., dan Ahmet Kuthulan. 2008. Chronic Tonsilitis can be Diagnosed with
Histopatologic Findings. Diunduh dari : http://www.bioline.org.br/pdf?gm08018
[Diakses 13 November 2014]

28

You might also like