Professional Documents
Culture Documents
Kedua, terdapat kesenjangan yang lebar antara apa yang diputuskan oleh
pembuat kebijakan dan apa yang benar-benar dikehendaki oleh rakyat. Sistem
administrasi publik dan mekanisme politik yang berlaku ternyata gagal
menjembatani kepentingan elit politik dan rakyat pada umumnya. Setelah rejim
Orde Baru turun, terdapat keinginan yang kuat dari berbagai elemen masyarakat
untuk memelihara netralitas birokrasi. Namun tanpa kontrol dan sistem
akuntabilitas yang cukup kuat, senantiasa terdapat kemungkinan bahwa aparat
birokrasi akan merumuskan dan melaksanakan kebijakan, melaksanakan aktivitas
pelayanan publik hanya berdasarkan kepentingan sempit (vested interests) dari elit
atau para penguasa.
UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999 telah menetapkan bahwa pemerintahan
daerah harus memiliki akuntabilitas yang lebih dekat kepada rakyat di daerah.
Prinsip subsidiarity adalah salah satu dasar yang digunakan untuk memberlakukan
kedua undang-undang ini. Prinsip ini mengatakan bahwa pelayanan publik harus
dilaksanakan oleh jenjang pemerintahan yagn sedekat mungkin kepada rakyat.
Kalau sebelumnya semua hal mengenai strategi pembangunan daerah dan
mekanisme pelayanan umum ditentukan oleh pemerintah pusat, maka sekarang
semua itu harus dilaksanakan secara otonom oleh daerah.
Kecuali itu, sistem pemilu pada bulan Juni 1999 yang dilaksanakan secara
lebih demokratis dan terbuka telah memberikan kewenangan sepenuhnya kepada
para politisi daerah di DPRD untuk menetapkan kepala daerah, baik gubernur,
bupati atau walikota. Sistem seperti ini dalam beberapa hal merupakan kemajuan
disbanding sistem pemilihan kepada daerah selama Orde Baru yang senantiasa
tergantung kepada pemerintah pusat.
ETIKA PEMERINTAHAN
Kondisi umum dalma tiga decade terakhir pemerintah Orde Baru telah
menciptakan mekanisme hubungan Pusat dan Daerah cenderung ke arah
sentralisasi kekuasaan dan pengambilan keputusan dari atas ke bawah (top-down).
Di samping itu muncul arogansi kekuasaan baik dari pejabat maupun sektor
tertentu yang merasa dirinya lebih penting dan unggul dari yang lain.
Dampak dari pola sentralistik kekuasaan di bawah kontrol lembaga
kepresidenan mengakibatkan krisis structural dan sistemik sehingga tidak
mendukung berkembangnya fungsi berbagai lembaga kenegaraan, politik, dan
sosial secara proporsional dan optimal. Terjadinya praktik-praktik KKN (Kolusi,
Korupsi, Nepotisme) di masa lalu adalah salah satu akibat dari keterpusatan dan
keterikatannya kekuasaan tersebut serta memuncak pada penyimpangan berupa
penafsiran hukum yang hanya sesuai dengan selera penguasa. Terjadi
penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, intervensi eksekutif ke dalam
proses peradilan (yudikatif), pengabaian rasa keadilan dan kurangnya
perlindungan serta kepastian hukum bagi masyarakat.
Lebih jauh lagi, jatidiri bangsa yang disiplin, jujur, kreatif, etos kerja tinggi
serta akhlak mulia bahkan cenderung menurun, di samping perilaku yang lebih
mementingkan kepentingan pribadi dan golongan di atas kepentingan bangsa dan
Negara. Sehubungan dengan itu MPR dalam Tap MPR No/X/MPR/1998 tentang
Pokok-pokok Reformasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negera,
menetapkan kebijakan reformasi pembangunan antara lain :
1. Menegakkan kedaulatan rakyat dengan memberdayakan peranan pengawasan
oleh lembaga negara, lembaga politik dan kemasyarakatan.
2. Pembagian secara tegas wewenang dan kekuasaan antara eksekutif, legislatif,
dan yudikatif.
3. Pemisahan yang tegas fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum agar
dapat dicapai proporsionalitas, profesionalitas dan integritas yang utuh.
4. Terbentuknya sikap dan perilaku anggota masyarakat termasuk penyelenggara
negara yang menghormati dan menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
5. Menyiapkan sarana dan prasarana program aksi dan perundang-undangan
bagi tumbuh dan tegaknya etika usaha, etika profesi, dan etika pemerintahan.
Maksud perumusan Etika Pemerintahan ialah guna mendukung
pelaksanaan prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan negara dan tata pemerintahan
yang baik (good governance), bersih, bertanggungjawab serta untuk
menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap peran dan kewenangan aparatur
negara dan wibawa pemerintah dalam menjalankan kehidupan negara dan
pemerintahan.
Tujuan perumusan Etika Pemerintahan ialah :
1. Untuk memformulasikan nilai-nilai moral/etika, norma-norma dan
tanggungjawab dalam interrelasi, interaksi dan interdependensi antar
penyelenggara negara maupun antar lembaga negara baik pusat maupun
daerah.
2. Mempertegas tanggungjawab moral maupun material dalam perannya sebagai
penyelenggara administrasi negara dan pemerintahan terutama dalam
kaitannya dengan pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangan pada masingmasing selaku pejabat/lembaga/instansi pemerintah maupun lembaga negara.
3. Mengatur tata-hubungan kewenangan dan tanggungjawab antar
pejabat/lembaga/instansi dengan dilandasi pada nilai-nilai moraldan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
4. Untuk memberikan acuan/panduan sebagai standar nilai-nilai dalam bersikap
dan bertindak secara vertikal maupun horizontal sesuai kewenangan dan
peran masing-masing pejabat/instansi dalam tata hubungannya dengan
struktur kelembagaan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku.
unsur di dalam PP ini sudah relative lebih rinci dan jelas, tetapi relevansinya
dengan sistem pemerintahan yang baik serta bagaimana kaidah etis itu
dilaksanakan dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan masih belum tegas.
Untuk itu gagasan dari Kantor Menpan untuk menyusun sebuah Rencana UndangUndang yang secara khusus menggariskan kaidah Etika Pemerintahan merupakan
titik awal yang baik bagi terwujudnya sistem kode etik yang lebih baik. Pada
langkah awal, hal yang harus dilakukan mungkin belum mengarah kepada
Rancangan Undang-Undangnya sendiri, tetapi lebih merupakan Draft Akademik
bagi terbentuknya Rancangan Undang-undang tersebut.
ANGGOTA DEWAN YANG TERHORMAT
Kalau ada sebuah jabatan yang sangat empuk, terhormat dan
menguntungkan pada masa otonomi daerah sekarang ini, maka Anggota Dewan
adalah salah satu jawabannya. Keistimewaan jabatan ini ternyata bukan hanya
dialami oleh para anggota DPR Pusat, tetapi juga dialami oleh anggota DPRD
baik di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota. Kendatipun banyak anggota
dewana yang kini merasa gerah dengan terungkapnya kasus Buburgate atau
hadiah lebaran untuk proyek JEC di Jogja, ricuh pemilihan bupati di Karanganyar
karena keputusan sepihak pimpinan Dewan, atau kasus-kasus lama di daerah ini
seperti ricuh pemilihan gubernur Kalimantan Selatan, walikota Surabaya, atau
bupati Kampar, namun tidak dapat dipungkiri bahwa jabatan sebagai anggota
dewan adalah jabatan yang sangat menggiurkan.
Dari segi persyaratan, langkah awal untuk menuju ke kursi anggota dewan
tidak terlalu sulit. Kalau Mendiknas menggariskan bahwa syarat pendidikan untuk
menjadi guru SD pun harus lulus sarjana, maka syarat untuk menjadi anggota
dewan cukup lulus SMU. Bahkan di beberapa daerah syarat ini dapat ditawar.
Yang penting, seorang calon anggota dewan harus cukup vocal, ditokohkan oleh
masyarakat sekitarnya, memiliki kartu anggota partai politik tertentu, dan aktif
melobi pimpinan partai di daerah agar namanya tercantum dalam daftar calon
legislatif. Dengan sistem Pemila proporsional tertutup, terlalu sedikit
kemungkinan bahwa pemilih mencermati nama-nama caleg ketika mereka
mencoblos tanda gambar pada Juni 1999 lalu. Seorang caleg yang bernasib baik
memilih afiliasi politik yang tepat dan menempati urutan daftar yang nomornya
kecil akan cukup mudah memperoleh kursi anggota dewan.
Untuk fungsi penganggaran, tawar-menawar selalu dapat dilakukan
dengan pihak eksekutif. Yang terpenting, anggaran untuk kesejahteraan anggota
dewan harus tetap diutamakan. Tidak perlu khawatir bahwa 75% DAU
pemerintah daerah tersedot bagi anggota anggaran untuk menggaji pegawai,
termasuk kenaikan gaji para anggota dewan. Apabila perdebatan mengenai APBD
berjalan alot, anggota dewan senantiasa dapat mengalihkan tuduhan ke kinerja
birokrasi pada eksekutif yang berbelit-belit. Tidak penting benar anggota anggota
betul-betul tahu apa yang diperdebatkan di dalam komisi anggaran. Dalam sebuah
amanah rakyat dan perilaku korup terjadi di mana-mana. Keadaan ini dapat
diselematkan dengan munculnya Umar bin Khatab, khalifah yang bersedia
menyamar menjadi orang biasa dan terjun langsung ke masyarakat untuk
mengetahui praktik-praktik korupsi para pejabat dan menyaksikan penderitaan
rakyatnya secara langsung. Yang lebih penting lagi, Umar bin Khatab
menegakkan hukum bagi para koruptor tanpa pandang bulu.
Opini publik yang terungkap di media jelas menunjukkan kekecewaan
masyakat akan rencana likuidasi KPKPN tersebut. Seorang pengamat mengatakan
bahwa peleburan KPKPN ke
Komisi Pemberantas Korupsi itu ibarat
mengumpulkan senjata-senjata yang tumpul untuk melawan korupsi (Suara
Merdeka, 13 Des 2002). Sebagian wartawan mengkhawatirkan bahwa kebijakan
itu akan menjadi blunder politik dalam pemberantasan korupsi, bahkan seorang
pakar tata-negara menuduh bahwa kebijakan itu merupakan persekonglan politis
antara legislatif dan eksekutif untuk melindungi perilaku korup mereka (Kompas,
28 Nov 2002, 16 Des 2002). Tidak mudah untuk meraba tujuan yang
sesungguhnya dari rencana penghapusan KPKPN kecuali pernyataan resmi bahwa
langkah itu dimaksudkan untuk mengefisiensikan lembaga penegak hokum yang
menangani korupsi. Berkaitan dengan posisi M.A. Rachman yang punya catatan
sangat buruk bagi KPKPN, kebijakan presiden pun tampaknya juga belum jelas.
Salah satu skenario yang pernah direka-reka ialah bahwa presiden belum akan
mencopot M.A Rachman karena kalkulasi politik yang lebih besar (Tempo, 9-15
Des 2002). Betapapun, Pemilu sudah semakin dekat dan partai dari rejim yang
sedang berkuasa akan diuntungkan jika berhasil merangkul para pejabat yang setia
dan terlebih lagi punyai potensi untuk menyumbangkan dana cukup besar bagi
kampanye Pemilu. Tetapi jika ini benar tentunya tahu persis bahwa melindungi
pejabat yang bermasalah untuk kepentingan yang lebih besar akan mengandung
risiko. Dan risiko ini akan semakin berbahaya jika rakyat berprasangka buruk dan
melihat bahwa pemerintah melindungi seorang koruptor untuk kepentingan
korupsi yang lebih besar.
Belakangan, sikap pemerintah dan DPR agaknya melunak berkenaan
dengan rencana likuidasi KPKPN. Entah karena ingin menyelesaikan etape
terakhir sebelum likuidasi ataukah karena lunaknya sikap pemerintah itu, Jusuf
Syakir dan para anggota KPKPN pada tanggal 3 Desember telah melaporkan
berkas pemeriksanaan M.A. Rachman ke Kepolisian dan menyampaikan laporan
tertulis ke presiden. Pada tanggal 11 Desember bahkan KPKPN merencanakan
untuk segera menggelar pemeriksanaan khusus kepada 30 pejabat negara di
lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maupun para pejabat BUMN.
Termasuk dalam daftar pejabat eksekutif adalah Gubernur Jawa Barat, Bupati
Tana Toraja.
Jika disadari sepenuhnya bahwa salah satu penyebab terlambatnya
pemulihan ekonomi negara kita adalah karena belitan masalah korupsi yang akut,
kita memang membutuhkan komitmen pemimpin Negara yang kuat untuk
memberantas korupsi. Salah satu wujud dari komitmen itu dapat dilihat dari sikap
pemerintah dan wakil rakyat terhadap aparat yang berperan sebagai whistleblower, institusi atau para penegak hukum yang sudah terbukti reputasinya. Jika
keinginan terhadap keberlanjutan upaya KPKPN dalam memberantas korupsi
justru dipasung atau tidak ditindaklanjuti, rakyat akan semakin meragukan
komitmen para pemimpin itu. Pada saat yang sama, prasangka yang baik mungkin
tetap dapat diletakkan pada kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai
lembaga bentukan pemerintah yang baru. Namun jika lembaga ini pun tidak lebih
baik dari lembaga-lembaga yang telah dibentuk selama ini, harapan rakyat untuk
memiliki para pejabat yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme tampaknya
akan makin sulit terwujud. Kita tunggu aja.
PENDERITAAN DAN KETIDAKADILAN
Karena kebetulan sedang melakukan penelitian di beberapa kantor
pemerintah pusat, saya berkesempatan untuk mengamati tema-tema unjuk rasa
menentang kenaikan serentak BBM, TDL dan tarif telepon di Jakarta. Saya
sengaja meluangkan waktu untuk menanyakan apa alasan partisipasi para
pengunjuk rasa yang semakin melibatkan banyak komponen itu. Dalam unjuk rasa
yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya front Pembela Rakyat
Betawi di depan gedung DPR di Senayan, saya trenyuh dengan jawaban seorang
pengunjuk rasa: Kami sebenarnya tidak keberatan untuk hidup menderita karena
kenaikan harga-harga ini, tapi bagaimana dengan Bapak-bapak yang ada di mobil
itu?. Ketika itu dia menunjuk pada sederatan mobil mewah yang diparkir di
depan gedung wakil rakyat itu. Selain Volvo baru yang merupakan mobil dinas
anggota dewan, tampak pula Jaguar, Mercedes, BMw, Audi atau mobil-mobil
model terbaru yang harganya milyaran. Pada saat menanyakan hal yang sama di
antara ibu-ibu rumah tangga yang berunjuk rasa sambil membawa peralatan dapur
disekitar istana negara, seorang ibu menjawab sambil terisak-isak: Bagaimana
kami tidak putus asa dan marah? Kami dibiarkan terjepit oleh kenaikan hargaharga sementara Bu Mega dan pejabat tinggi masih bisa pesta ulang tahun dengan
segala kemewahan di Bali, para koruptor dibiarkan lolos dan masih sangat empuk
hidupnya?.
Setelah mendapat desakan dari berbagai protes dan unjuk rasa masyarakat,
pemerintah tampaknya mulai melunak dengan menunda kenaikan tarif telpon dan
belakangan juga menurunkan kembali harga solar. Tetapi persoalan mendasar dari
kebijakan pencabutan subsidi BBM ini sebenarnya menunjukkan betapa
ketidakadilan itu tetap ada. APBN 2003 menggariskan pencabutan jumlah subsidi
BBM sebesar Rp 15 triliun, tetapi jumlah kompensasi yang diberikan kepada
rakyat miskin hanya sebesar Rp 4 triliun. Ini berarti bahwa surplus sebesar Rp 11
triliun akan diperuntukkan oleh para obligor yang masih membandel itu. Banyak
penduduk miskin yang memanfaatkan minyak tanah sebagai kebutuhan seharihari, meskipun yang paling miskin bahkan lebih mengandalkan kayu bakar untuk
memasak. Tetapi untuk minyak solar, betapapun kualitas hidup para nelayan, para
petani yang menggunakan traktor tetap tergantung padaharga solar di pasaran.
Persoalan dalam pemberian subsidi minyak tanah dan solar ialah bahwa di
samping banyak dana kompensasi itu yang tidak sampai kepada rakyat miskin,
pemerintah masih membiarkan para pengoplos minyak gelap dan
menyelundupkannya ke luar negeri.
Hal yang serupa terjadi pada masalah TDL. Di Indonesia hampir separuh
rakyat masih belum menikmati jaringan PLN. Dengan kata lain, cukup banyak
rakyat paling miskin yang masih belum menikmati terangnya listrik di rumah
mereka. Namun industri kecil atau industri rumah tangga yang mempekerjakan
orang-orang miskin juga tergantung pada listrik yang berdaya rendah itu.
Celakanya, andaikata TDL dibatalkan kenaikannya karena pemerintah
mengakomodasi protes masyarakat, korban pertama adalah kelompok rakyat yang
menggunakan listrik berdaya rendah atau mereka yang belum memperoleh sarana
jaringan PLN. Berkenaan dengan rencana perhitungan kembali TDL, bubur
direktur PLN mengatakan bahwa jika tidak dinaikkan maka PLN tidak akan lagi
menambah infrastruktur listrik di pedesaan. Di seluruh tanah air yang
berpenduduk 210 juta ini hanya sekitar 8 juta sambungan dan sekitar 8,3 juta
telepon seluler. Tetapi rencana kebijakan untuk mencabut subsidi justru dimulai
oleh pemerintah dengan penundaan kenaikan tarif telepon, bukan BBM yang
sesungguhnya lebih memengaruhi rakyat miskin.
UANG DALAM BIROKRASI PUBLIK
Sebuah produk undang-undang yang dinantikan sekian lama telah disetujui
dalam sebuah sidang paripurna DPR pekan lalu, yaitu UU Keuangan Negara.
Sebagian pihak mungkin merasa lega mengingat bahwa keinginan untuk
menggantikan ketentuan tentang keuangan negara warisan Belanda berupa
Indiche Comptabiliteitswet (ICW) telah terlaksana. Sejak kemerdekaan, tercatat
ada 13 tim yang pernah menyusun RUU keuangan ini tetapi tidak pernah dapat
tuntas hingga menjadi undang-undang.
Harus diakui bahwa UU Keuangan mengandung beberapa elemen penting
menyangkut prinsip pengelolaan keuangan negara dan penetapan anggaran
negara. Sebagai contoh, UU ini menghendaki adanya pembatasan jumlah
pinjaman luar negeri maksimal 60 persen dari PDB. Ketentuan ini setidaknya
dapat digunakan untuk mengendalikan utang negara super ambisius seperti yang
telah terjadi sekian lama selama pemerintahan Orde Baru. Kecuali itu, pasal 12
dan penjelasannya dalam UU ini juga menggariskan adanya pembatasan deficit
anggaran maksimal hingga tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Meskipun anggaran defisit dapat diterapkan dalam situasi keuangan negara yang
sulit, tetapi jika angka defisit itu demikian besar dan berlangsung dalam jangka
waktu yang lama, sendi-sendi keuangan negara tentu akan lumpuh. Inila yang
hendak dicegah dengan pasal ini.
Ditjen Pajak Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara, dan Badan Analisis Fiskal
(BAF). Kecuali itu satuan analisis fiscal yang di negara maju melibatkan banyak
komponen di luar pemerintah, di Indonesia BAF masih lebih merupakan lembaga
murni pemerintah. Namun sekali lagi, kepentingan lembaga atau unsur politik
birokrasi (bureaucratic politics) tampaknya lebih dominan di Indonesia. Tidak
akan mudah bagi setiap departemen teknis yang selama ini memegang uang untuk
mengembalikan otoritas keuangan itu kepada Menteri Keuangan. Sementara itu
juga akan sulit untuk mengendalikan besarnya kekuasaan Departemen Keuangan
apabila pola manajemen yang diterapkan masih seperti yang selama ini terjadi.
Maka untuk mencegah penyalahgunaan keuangan negara dan menciptakan
sistem anggaran yang lebih responsive kepada kehendak rakyat, diperlukan
perbaikan menyeluruh. Setiap satuan di dalam birokrasi publik harus mampu
menghayati bahwa money follows functions (uang mengikuti fungsi), bukan fungsi
mengikuti uang. Selama ini yang terjadi ialah fungsi mengikuti uang, dimana
ada uang di situlah para pegawai atau pejabat bekerja. Terkadang, tugas dan fungsi
direkayasa (diada-adakan) untuk mendapat jatah alokasi uang negara. Tidak
mengherankan bahwa kecenderungan ini mengakibatkan satuan yang
berhubungan dengan uang menjadi pusat kekuasaan sedangkan satuan yang
memberikan pelayanan kepada masyarakat kurang memiliki kekuasaan atau
kurang diperhatikan.
BAB II
NILAI DEMOKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK
Salah satu dalam masalah kontempore yang menjadi perdebatan dalam rangka
reformasi ialah pelayanan public. Upaya reformasi dan revitalisasi kini telah
dijalankan pada setiap aspek pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan,
perumahan dan keuangan, tetapi masi banyak keluhan terhadap kemampuan
pemerintah untuk menangani masalh-masalh tersebut. Di satu pihak, seperti
halnya masalah tipikal yang terdapat dinegara-negara berkembang, banyak
lemabaga pemerintah di Indonesia yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan
lulusan terbaik dari lembaga pendididkan untuk tingkat menajerial maupun staff
pada tingkat teknis. Sebagian besar lembaga-lembaga pemerintah sebenarnya
tengah mengahadapi krisis sumberdaya manusia yang serius. Swastanisasi
pelayanan publik mungkin merupakan sebuah alternative yang dapat dilakukan,
tetapi bagaimanapun juga urusan publik yang menentukan hajat hidup orang
banyak tidak mungkin diserahkan sepenuhnya kepada organisasi swasta. Di lain
pihak, seiring dengan prses demokratisasi, kini terdapat tuntutan yang lebih kuat
dari khalayak agar pemerintah lebih memberi perhatian pada kualitas pelayanan
publik. Gerakan reformasi tampaknya memamang membuat lebih banyak elemen
masyarakat yang makin berani mengemukakan aspirasinya dalam hal pelayanan
publik.
Peningkatan kualitas pelayanan publik membutuhkan komitmen dan
pemahaman yang utuh akan mekanisme pelayanan. Sayangnya, hal-hal inilah
yang justru meruoakan titik lemah dalam sistem atministrasi publik dinegaranegara berkembang pada umumnya. Dalam situasi di mana negara masi
mengambil peran yang begitu besar, pelayanan publik meliputi banyak aspek
maupun yang bersifat politis(pertahanan, keamanan, hukum urusan luar negeri,
perdagangan dan industry), ekonomis (telepon, perpajakan, listrik, air minum,
bahan bakar) maupun kesejateraan sosial(kesehatan, pemdidikan, layanan sosial,
dsb). Bahkan dinegara-negara maju, rata-rata belanja publik yang dikelolah untuk
pemerintah masi berkisar 40 persen dari pendapatan nasional bruto. Ini
menunjukan bahwa betapapun pelayanan publik yang dilaksanakan oleh
pemerintah masi tetap penting. Sekaligus ini menunjukkan bahwa pemerintah
merupakan organisasi yang befgitu besar oleh suatu negara.
Dilemma yang harus dihadapi untuk melakukan reformasi sistem pelayanan
publik memang cukup berat. Di satu sisi, pelayanan publik pada umumnya dapat
ditingkatkan efisiennya sesuai kebutuhan masyarakat modern apabila birokrasi
benar-benar menjadi lebih propesional dan rasional. Ini berarti bahwa prinsipprinsip objektivitas, efisiensi, pertimbangan biaya dan manfaat serta legalitas
formal dapat dipertahan kan dan dilaksankan dengan baik. Namun di sisi lain,
agar tuntuta masyrakat modern yang demokratis dapat dipenuhi, birokrasi publik
dapat dipenuhi, birokrasi publik harus memiliki responsivitas yang tinggi, harus
nasional, pajak daerah juga harus terapkan secara hati-hati melalui pertimbangan
yang matang. Apabila dulusering terdengar pameo Rakyat bijak taat pajak,maka
kini aparat pemerintah daerah juga harus belajar untuk menciptakanpajak yang
bijak. Harus diakui bahwa dengan pajak yang terlalu rendah pemerintah daerah
akan kesulitan untuk membiayai program-program pembangunan daera secara
otonom.tetapi pajak yng ditarik terlalu tinggi juga akan membebani rakyat dan
justru menghambat pembangunan dan peningkatan kemakmuran secara
keseluruhan. Yang agak mengkhawatirkan dengan kebijakan desentralisasi fiskal
sekarang ini ialah kecendrungan dari aparat pemerintah daerah untuk melakukan
penataan organisasi dengan focus semata-mata pada satuan yang mengasilkan
pemasukan tetapi melupakan tugas-tugas pembangunan dan perbaikan pekayanan
publik di daerah.
Penggunaan dana APBD yang berasal dari bagi-hasil pajak maupun bagi-hasil
SDA juga sering menjadi sorotan banyak pihak. Beberapa daerah yang
memperoleh windfall dari kebijkan desentralisasi fiskal banyak yang masi
bingung menetapkan skala prioritas penggunaan dana tersebut. Selain
digunakanuntuk menambah gaji anggota DPRD, membiayai studi-banding keluar
negeri, membangun kantor dinas pejabat,banyak diantara dana tersebut yang
digunakan untuk pembuatan monumen, pendirian perusahaan penerbangan
daerah, atau proyek-proyek lain yang kurng produktif. Alokasi anggaran derah
untuk proyek-proyek semacam itu sah-sah saja apabilasudah menjadi
kesempakatan antara pemerintah daerah, DPRD dan rakyat setempat. Tetapi
mengingat kondisi ekonomi yang masi memperhatikan dan mengingat bahwa ada
prioritas pembangunan daerah lain yang lebih mendesak, mestinya para pembuat
keputusan diderah lebih berhati-hati dalam menentukan prioritas alokasi anggaran
bagi daerahnya.
Kontroversi Dana Pertimbangan
Tambahan pedapatan yang dapat dari bagi hasil (revenue sharing) adalah
salah satu elemen pnting peningkatan pendapatan pemerinta daerah setelah
dilaksankannya desentralisasi fiskal. Hanya saja seperti telah diperkirakan oleh
banyak pihak sebelumnya, daerah-derah yang diuntungkan oleh bagi-hasil itu
jumlahnya relative sedikit. Dana bagi-hasil itu hanya menguntungkan derahdaerah yang kaya sumberdaya alam (SDA) sedangkan daerah-daerah lain bahkan
yang lebih padat penduduknya dan lebih akut masalah kemiskinannya praktis jika
mendapat apa-apa. Karena memang potensi sumberdaya alam yang tidak merata
diseluruh tanahair, tercatat bahwa bagi-hasil dari sumberdaya alam baru
menguntungkan di empat propinsi , yaitu: kalimatan Timur, Riau, Papua dan
Aceh. Dana perimbangan berupa bagi-hasil untuk daerah yang pada TA 2001
berjumlah Rp 20,3 triliun, pada TA 2002 berjumlah Rp 24,6 triliun dan pada TA
2003 diperkirakan naik lagi menjadi Rp 25,9 triliun itu pemanfaatan nya tetap
akan terbatas pada daerah-daerah yang kaya sumberdaya alam tersebut. Oleh
kemampuan fiskal daerah yang lemah tetapi memang karena kurangnya kemauan
daerah untuk melunasi utang pokok berikut bunga tetap pada waktunya. Alternatif
penerbitan obligasi memang karena kurangnya kemauan daerah untuk melunasi
utang poko berikut bunga tepat pada waktunya. Alternatif penerbitan obligasi
memang cukup menarik dan banya daerah yang sebenarnya sudah bersiap-siap
untuk menerbitkan obligasi daerah guna menutup deficit fiskalnya. Namun harus
diakui bahwa tidak ada satupun daerah yang benar-benar punya pengalaman atau
terbukti mampu mengelola obligasi dengan baik. Oleh sebab itu, dengan
pengelamaan pengelolaan utang daerah yang tidak begitu baik, penerbitan obligasi
bias sangat berbahaya bagi daerah yang gegabah.
KOALISI DAN EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PUBLIK
Kendatipun masi banya protes dan ketidak puasan dari berbagai pihak, KPU
telah menetapkan bahwa dua paangan Capres berhak untuk maju ke Pilpres
putaran kedua, yaitu pasangan Sosilo Bambang Yudhoyono(SBY)-Jusuf Kalla dan
Meawati Sukarnoputri-Hasyim Muzadi. Keputusan KPU tersebut tertuang dalam
dalam SK No.79/Sk/KPU/2004 tertanggal 26 Juni, Selasa lau. Maka kini
perhatian public tampaknya beralih kepada kedua pasangan ini untuk dalam
pemilihan presiden yang dijadwalkan 20 September yang akan datang. Salah satu
topic yang menjadi focus perhatian, bahkan sebelum perhitungan fitnal hasil
putaran pertama selesai, adalah kemungkinan koalisi yang akan dilakukan kedua
pasangan Capres dan kedua tim suksesnya, kualisi menjadi kemungkinan yang
tidak terhindarkan mengingat bahwa suara kedua pasangan ini masi jauh dari
moyoritas, pasangan SBY- Kalla dengan 33,57 presiden dan pasangan MegaHasyim dengan26,61 persen.
Satu langkah dari rakyat Indonesia akan membuktikan keinginannya untuk
belajar berdemokrasi melalui Pilpres putaran kedua, pada saat yang sama, kedua
pasangan Capres sedang menjajki koalisi dan tentu akan berjuang habi-habisan
untuk menarik simpati rakyat menjelang putaran kedua ini. Namun yang masi
luput dari perhatian adalah bagaimana konsekuensi dari koalisi anta relit politik
tersebut tarhadap keinginan rakyat pada umumnya. Apakah proses koalisi akan
berdampak pada terciptanya pemerintahan yang efektif dan upaya pemulihan
ekonomi ? mungkin terlalu dini untuk menjawab pertanyaan ini. Tetapi tidak ada
salanya untuk mempertimbangkannya supaya public tidak terlalu kecewa dengan
kecenderungan yang akan terjadi. Berkali-kali Capre Sosilo Bambang yudhoyono
(SBY) menentukan tema pemerintahan yang efektif dalam kampanye Pilpres
putaran pertama. Demikian pula Capres megawati Sukarnoputri, kendatipun tidak
terlalu ekspilisit. Melihat koalisi yang sedang dibangun, perlu dilihat lebih cermat
apakah klaim-klaim politik itu cukup masuk akal.
kabinet
sebagai kosenkuensi dari sitem multiparti yang diterapkan di Indonesia sejak
Pemilu tahun 1999, sistem pembentukan cabinet yang menganut azas presidensial
sebenarnya sudah tidak belaku secara penuh. Ketika membentuk cabinet,
pemerintahan Abdurahman Wahid menyebutnya sebagai Kabinet Persatuan
sedangkan pemerintahan Megawati Sukarnoputri menyambutnya sebagai kabinet
Gotong-Royong. Kedua istilah ini saja sebenarnya sudah mencerminkan bahwa
personil kabinet yang terbentuk adalah Kabiner Pelangi yang merupakan hasil
koalisi dari berbagai kekuatan partai yang ada. Sudah terbukti bahwa kabinet
pelangi ternyata tidak efektif sebagai mesin penghasil kebijakan publik yang
sangat diperlukan dalam situasi ekonomi kita yang suram. Tidak dapat dinafikan
bahwa took-toko politik yang menduduki kursi kabinet itu masi tetap mengusung
agenda dari kekuatan parti yang mengantarkan mereka keposisinya ketimbang
memikirkan apa yang terbaik buat rakyat. Kecendrungan yang sama tampaknya
akan terjadi didalam sistem pemerintahan hasil Pemilu 2004 jika kedua pasangan
Capres hanya memikirkan koalisi tampa mempertimbangkan komitmen, kopetensi
dalam propesionalisme dari took yang akan duduk dikabinet.
ANGGARAN KINERJA
Kalau dibandingkan dengan situasi yang sekarang berlaku, target dan asumsi
yang dipakai untuk RAPBN 2005 yang disampaikan presiden pada pidato
kenegaraan 16 Agustus lalu sulit untuk disebut realistis. Patokan harga minya
ditetapkan 24 dolar/barrel sedangkan saat ini harga dipasar internasional masi
bertengger diata 40 dolar/barrel. Tingkat kurs diasumsikan Rp 86.600 sedangkan
harga di pasar spot masi berkisar Rp 9.200. ekonomi diharapkan tumbuh 5,4
persen ditengah situasi ekonomi global yang diperkirakan justru akan melemah.
Namun tampaknya pemerintah dan DPR punya pertimbangan tersendiri untuk
membuat asumsi dan perkiraan bagi anggaran pemerintahan tahun depan. Situasi
di Indonesia memang terkadang memunculkan keanehan atau bahkan keajaiban.
Setelah selama sekian tahun diterpa oleh hiruk-pikuk reformasi politik, kalangan
pelaku ekonomi sekarang mungkin sudah kebal da tidak terlalu
mempertimbangkan kebisingan politik. Itulah yang mungkin mendasari
optimism bahwa pertumbuhan ekonomi kita akan meningkat dan deficit anggaran
dapat ditekan hingga hanya 0,8 persen dari PDB.
Yang sebenarnya lebih merisaukan adalah efektivitas pemakaian anggaran
atau efisiensi pembiayaan public secara keseluruhan. Adalah ironis bahwa ditngah
siituasi keuangan negara yang sulit, ternyata tingkat kebocoran anggaran justru
menjadi-jadi. Tidak kurang Ketua Bappenas Kwik Kian Gie mengatkan bahwa
masalah pokokdalam pembiayaan publik di Indonesia adalah semakin beratnya
KKN dalam banyak hal. Pemakaian dana publik yang tidak bertanggung jawab
masi saja berlansung, baik dari kalangan eksekutif maupun legislative. Bentuknya
bias bermacam-macam. Dari hal-hal yang kecil seperti penyalagunaan SPPD atau
dissenting opinion dalam vonis atas kasasi MA menyangkut kasus korupsi Bulog
yang melibatkan Akbar Tanjung. Sedangkan Hamid Awaludin adalah toko dari
Makasar yang terkenal konsisten dan merupakan pejabat penegak hokum yang
dikadar oleh almarhum Baharuddin Lopa.
Sebagai mana diakui sendiri oleh presiden ketika mengumumkan susunan
angota kabinetnya, formasi kabinet yang ada sekarang memang tidak mungkin
memuaskan semua pihak. Namun semua rakyat Indonesia tentu terhadap bahwa
kinerja kabinet dari presiden yang telh dipilih secara demokratis ini akan bekerja
lebih baik ketika kabinet sebelumnya. Warna pelangi kabinet diharapkan tidak
akan berpengaruh terlalu besr didalam pekerjaan sehari-hari para menteri.
Untuk bekerjanya kabinet SBY-Kalla secara optimal, setidaknya ada dua
factor yang menentukan. Pertama, figure kepemimpinan SBY yang relatif kuat
akan menjadi titik krusial dalam siding-sidang kebinet. Walaupun para anggota
kabinet punya kecendrungan untuk mengedepankan kepentingan politik partainya
masing-masing, SBY berperan sebagai konsolidator atau mejejer yang baik.
Beberapa dengan Megawati yang cenderung positif dan diam dalam situasi
ketidak pastian, SBY lebih berkemungkinan untuk membuat keputusan secara
tega dan mengikat semua anggota kabinet. Latar belakang meliternya serta
popularitasnya yang telah terbukti pada Pemili dapat membantu mangatasi
pertentangan diantara anggota kabinet. Tentu saja yang diharapkan bukanlah
modal pembuatan keputusan otoriter seperti pada masa Order Baru dimana semua
keputusan praktis berujung pad pendirian Suharto.
Kedua, meskipun kekuatan tim ekonomi didalam kabinet SBY-Kalla
belum cukup terbukti dan mendapatkan respons dan bervariasi, kelemahan ini
dapat dikompensasi dengan stabilitas dan keamanan serta tim penegakkan hokum
yang lebih tangguh. Secara umum eknomi Indonesia sebenarnya sudah tidak
terlalui ditentukan oleh invesatasi dari pemerintah. Yang perlu diperlukan adalah
stabilitas serta pemberantasan korupsi, penyakit yng ekian lama menggerogoti
potensi ekonomi kerakyatan sesungguhnya. Apabila keamanan lebih tejamin dan
korupsi bias diberantas sampai tuntas, iklim invesatasi tentu akan lebih baik dan
pertumbuhan ekonomi dapat dipercepat. Setelah Kejaksaan Agung dan
Kementrian Hukum dan HAM diisi oleh orang-orang yang memiliki integritas dan
keberanian, yang masi ditunggu sekarang adalah sosok Kapolri yang memiliki
kualitas dan komitmen yang sama. Tiga unsur ini-polisi, jaksa dan hakim adalah
pilar utama yang akan efektif dalam memberantas korupsi. Akhirnya, kepada
semua jajaran mentri dikabinet perlu ditanamkn semangat untuk bekerja keras dan
mengabdi kepada rakyat. Ini bukan saat untuk menikmati kursa empuk dikabinet.
Ini adalah saat untuk bekerja dan bekerja.
esensi fungsinya tidak berubah, perubahan istilah ini mungkin tidak akan
menghasilkan implikasi yang mendasar. Tetapi jika istilah permusyawaraan
desa kembali diberi makna dengan merujuk kepada Lembaga Musyawarah
Desa seperti bentukan yang dulu, kemungkinan besar akan terjad kemunduran
dalam proses demokratisasi desa yang sesungguhnya selama ini telah berjalan
dengan cukup baik.
Dalam hal pembagian kewewenangang, undang-undang hasil revisi juga
menetapkan beberapa hal baru. Sebagai contoh, telah ditetapkan secara tegas
bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Didalam ketentuan UU No.32 tahun
2004 pasal 13 ayat (1) telah ditetapkan bahwa urusan wajib yamg menjadi
kewenangan Pemerintahan Propinsi terdiri dari 16 (enam belas) yang meliputi:
1. Perencanaan dan pengendalan pembangunan
2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tat ruang
3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
4. Penyediaan saran dan prasarana umum
5. Penanganan bidang kesehatan
6. Penyelenggaraan pendidikan dan elokasi sumberdaya manusia potensial
7. Penanggulangan masalah social lintas Kabupaten/Kota
8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas Kabupaten/Kota
9. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah yang termaksud
lintas Kabupaten/Kota
10. Pengadilan lingkungan hidup
11. Pelayanan pertanahan termaksud lintaskabupaten/Kota
12. Pelayanan kedudukan dan cacatan sipil
13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan
14. Pelayanan administrasi penenaman modal termaksud lintas Kabupaten/Kota
15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan
oleh Kabupaten/Kota
16. Urusan wajib lainnya yang diamatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Kecuali itu ditetapkan bahwa urusan Pemerintahan Prov yang bersifat pilihan
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejah teraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Tampaknya ketentuan mengenai
urusan pilihan akan diataur dalam Peraturan Pemerintah, Keputusan Presinden,
Keputusan Mendagri, atau peraturan yang tingkatnya lebih redah dari pada
undang-undang. Dengan demikian jika situasi didaerah tidak benar-benar unik dan
berbeda dari daerah-derah lainnya, rujukan masi tetap dapat dilakukan kepada PP
No.25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
sebagai Daerah Otonomi sebelum berlakunya peraturan lain yang lebih defintitif.
Selanjudnya, pasal 14 ayat (1) menetapkan bahwa urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintahan kabupaten/ kota.
Apabila hubungan dan komonikasi diantara para Pejabat Pemerintahan
Propinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota terjalin secara baik dan didasari oleh
semangat untuk mengutamakan kesejah teraan rakyat didaerah, kembalinya
ketetapan mengenai kabupaten/kota sebagai kesatuan wilayah dan pro[insi
mungkin tidak akan menjadi masalah. Tetapi jika hubungan antar kedua jenjang
pemerintahan ini kurang harmonis, terdapat kemungkinan bahwa konflik dan
ketidaksinkronan kebijakan pembangunan daerah bias saja muncul. Dalam hal
penagwasan, misalanya, pejabat< Gubernur yang kurang mampu membangun
hubungan sinergis tentu akan mengutamakan hal-hal otoritatif yang terdapat
didalam peraturan perundangan. Di dalam pasal 38 ayat (1) UU No.32 tahun 2004
ditetapkan bahwa Gubernur dalam kedudukannya sebagai mana dimaksud dalam
pasal 37 ( Tugas Gubernur sebagai Wakil Pemerintahan Pusat) memiliki tugas dan
wewenang dalam:
a. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah
Kabupaten/Kota
b. Koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintahan Pusat didaerah propinsi
dan kabupaten/kota
c. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas
pmbantuan di daerah propinsi dan kabupaten/kota
Pnggunaan otoritas kewenangan yang berlebihan, sekalipun telah dijamin
dalam undang-undang sebagai mana ayat diatas, tentu akan merugikan dari segio
pengembangan demokrasi dan otonomi daerah. Oleh karena itu pejabat sitingkat
Gubernur dan Bupati/Walikota hendaknya mensikapi ketentuan mengenai
pengawasan dalam pasal ini secara arif dan bijaksana.