You are on page 1of 30

BAB I

AKUNTABILITAS BIROKRASI PUBLIK


Salah satu masalah mendasar yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia
setelah terjadinya krisis ekonomi ialah turunnya kepercayaan masyarakat terhadap
birokrasi publik dan sistem pemerintahan pada umumnya. Setelah melihat bahwa
birokrasi publik selama ini hanya dijadikan sebagai alat politik bagi rejim yang
berkuasa, rakyat kini sulit untuk menghargai apa yang dilakukan oleh pejabat
pemerintah, birokrat, atau unsur-unsur lain yang terdapat dalam birokrasi publik.
Karena itu tugas pokok para pembuat keputusan dalam beberapa tahun setelah
gerakan reformasi adalah memperoleh kembali kepercayaan masyarakat seraya
membuktikan bahwa seluruh proses politik dan pembuatan kebijakan yang terjadi
akan memberi keuntungan bagi segenap unsur rakyat. Dengan kata lain,
akuntabilitas birokrasi publik akan menjadi titik krusial bagi arah perkembangan
demokrasi di Indonesia dalam waktu dekat ini.
Akuntabiitas (accountability) adalah ukuran yang menunjukkan apakah
aktivitas birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sudah
sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh rakyat dan apakah publik
tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan rakyat yang sesungguhnya. Dengan
demikian akuntabilitas terkait dengan falsafah bahwa lembaga eksekutif
pemerintah yang tugas utamanya adalah melayani rakyat harus bertanggungjawab
secara langsung maupun tidak langsung kepada rakyat. Dengan bahasa yang
sederhana, Starling (1998:164) mengatakan bahwa akuntabilitas ialah kesediaan
untuk menjawab pertanyaan publik,
Kesulitan untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah terhadap
kualitas pelayanan publik terutama disebabkan karena sosok pemerintah itu
sendiri tidak tunggal. Untuk itu proses atau sistem akuntabilitas bagi lembaga
pemerintah atau birokrasi publik yang memadai merupakan prasyarat penting bagi
peningkatan kualitas pelayanan publik.
Ada beberapa hal yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan mengapa
selama ini banyak kebijakan, program dalam pelayanan publik kurang responsive
aspirasi masyarakat sehingga kurang mendapat dukungan secara luas. Pertama,
para birokrat kebanyakan masih berorientasi kepada kekuasaan dan bukannya
kepentingan publik atau pelayanan publik secara umum. Sebagian besar pejabat
atau birokrat itu selama ini menempatkan dirinya dalam posisi sebagai penguasa
(authorities) dan masih sangat terbatas pejabat yang menyadari peranannya
sebagia penyedia layanan kepada masyarakat (publik servant/service provider).
Budaya paternalistic seringkali juga mengakibatkan turunnya kualitas pelayanan
publik. Budaya semacam ini mengakibatkan kecenderungan untuk memberikan
keistimewaaan kepada para elit birokrat atau orang-orang yang memiliki
hubungan dekat dengan mereka.

Kedua, terdapat kesenjangan yang lebar antara apa yang diputuskan oleh
pembuat kebijakan dan apa yang benar-benar dikehendaki oleh rakyat. Sistem
administrasi publik dan mekanisme politik yang berlaku ternyata gagal
menjembatani kepentingan elit politik dan rakyat pada umumnya. Setelah rejim
Orde Baru turun, terdapat keinginan yang kuat dari berbagai elemen masyarakat
untuk memelihara netralitas birokrasi. Namun tanpa kontrol dan sistem
akuntabilitas yang cukup kuat, senantiasa terdapat kemungkinan bahwa aparat
birokrasi akan merumuskan dan melaksanakan kebijakan, melaksanakan aktivitas
pelayanan publik hanya berdasarkan kepentingan sempit (vested interests) dari elit
atau para penguasa.
UU No. 22 dan No. 25 tahun 1999 telah menetapkan bahwa pemerintahan
daerah harus memiliki akuntabilitas yang lebih dekat kepada rakyat di daerah.
Prinsip subsidiarity adalah salah satu dasar yang digunakan untuk memberlakukan
kedua undang-undang ini. Prinsip ini mengatakan bahwa pelayanan publik harus
dilaksanakan oleh jenjang pemerintahan yagn sedekat mungkin kepada rakyat.
Kalau sebelumnya semua hal mengenai strategi pembangunan daerah dan
mekanisme pelayanan umum ditentukan oleh pemerintah pusat, maka sekarang
semua itu harus dilaksanakan secara otonom oleh daerah.
Kecuali itu, sistem pemilu pada bulan Juni 1999 yang dilaksanakan secara
lebih demokratis dan terbuka telah memberikan kewenangan sepenuhnya kepada
para politisi daerah di DPRD untuk menetapkan kepala daerah, baik gubernur,
bupati atau walikota. Sistem seperti ini dalam beberapa hal merupakan kemajuan
disbanding sistem pemilihan kepada daerah selama Orde Baru yang senantiasa
tergantung kepada pemerintah pusat.
ETIKA PEMERINTAHAN
Kondisi umum dalma tiga decade terakhir pemerintah Orde Baru telah
menciptakan mekanisme hubungan Pusat dan Daerah cenderung ke arah
sentralisasi kekuasaan dan pengambilan keputusan dari atas ke bawah (top-down).
Di samping itu muncul arogansi kekuasaan baik dari pejabat maupun sektor
tertentu yang merasa dirinya lebih penting dan unggul dari yang lain.
Dampak dari pola sentralistik kekuasaan di bawah kontrol lembaga
kepresidenan mengakibatkan krisis structural dan sistemik sehingga tidak
mendukung berkembangnya fungsi berbagai lembaga kenegaraan, politik, dan
sosial secara proporsional dan optimal. Terjadinya praktik-praktik KKN (Kolusi,
Korupsi, Nepotisme) di masa lalu adalah salah satu akibat dari keterpusatan dan
keterikatannya kekuasaan tersebut serta memuncak pada penyimpangan berupa
penafsiran hukum yang hanya sesuai dengan selera penguasa. Terjadi
penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, intervensi eksekutif ke dalam
proses peradilan (yudikatif), pengabaian rasa keadilan dan kurangnya
perlindungan serta kepastian hukum bagi masyarakat.

Lebih jauh lagi, jatidiri bangsa yang disiplin, jujur, kreatif, etos kerja tinggi
serta akhlak mulia bahkan cenderung menurun, di samping perilaku yang lebih
mementingkan kepentingan pribadi dan golongan di atas kepentingan bangsa dan
Negara. Sehubungan dengan itu MPR dalam Tap MPR No/X/MPR/1998 tentang
Pokok-pokok Reformasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negera,
menetapkan kebijakan reformasi pembangunan antara lain :
1. Menegakkan kedaulatan rakyat dengan memberdayakan peranan pengawasan
oleh lembaga negara, lembaga politik dan kemasyarakatan.
2. Pembagian secara tegas wewenang dan kekuasaan antara eksekutif, legislatif,
dan yudikatif.
3. Pemisahan yang tegas fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum agar
dapat dicapai proporsionalitas, profesionalitas dan integritas yang utuh.
4. Terbentuknya sikap dan perilaku anggota masyarakat termasuk penyelenggara
negara yang menghormati dan menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
5. Menyiapkan sarana dan prasarana program aksi dan perundang-undangan
bagi tumbuh dan tegaknya etika usaha, etika profesi, dan etika pemerintahan.
Maksud perumusan Etika Pemerintahan ialah guna mendukung
pelaksanaan prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan negara dan tata pemerintahan
yang baik (good governance), bersih, bertanggungjawab serta untuk
menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap peran dan kewenangan aparatur
negara dan wibawa pemerintah dalam menjalankan kehidupan negara dan
pemerintahan.
Tujuan perumusan Etika Pemerintahan ialah :
1. Untuk memformulasikan nilai-nilai moral/etika, norma-norma dan
tanggungjawab dalam interrelasi, interaksi dan interdependensi antar
penyelenggara negara maupun antar lembaga negara baik pusat maupun
daerah.
2. Mempertegas tanggungjawab moral maupun material dalam perannya sebagai
penyelenggara administrasi negara dan pemerintahan terutama dalam
kaitannya dengan pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangan pada masingmasing selaku pejabat/lembaga/instansi pemerintah maupun lembaga negara.
3. Mengatur tata-hubungan kewenangan dan tanggungjawab antar
pejabat/lembaga/instansi dengan dilandasi pada nilai-nilai moraldan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
4. Untuk memberikan acuan/panduan sebagai standar nilai-nilai dalam bersikap
dan bertindak secara vertikal maupun horizontal sesuai kewenangan dan
peran masing-masing pejabat/instansi dalam tata hubungannya dengan
struktur kelembagaan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Penciptaan Pemerintahan yang Baik (Good Governance)

Asas-asas umum pemerintahan yang baik sangat penting untuk dipahami


oleh para aparatur negara dalam rangka penciptaan good governance. Pertamatama, prinsip-prinsip dasar pemerintahan hendaknya di samping menjadi
kesepakatan di antara para pejabat negara juga menjadi pedoman di dalam
pembuatan kebijakan, pelaksanaan manajemen pemerintahan maupun dalam
sistem pengawasan aparatur negara. Prinsip demokrasi, misalnya, menghendaki
agar kekuasaan tertinggi dan kedaulatan tetap berada di tangan rakyat sehingga
apa pun tugas aparatur negara hendaknya senantiasa merujuk kepada kepentingan
rakyat. Prinsip demokrasi menjadi pilihan terbaik di dalam sistem pemerintahan
sekarang ini karena banyak bukti menunjukkan yang mengutamakan martabat
manusia (human dignity) serta persamaan di hadapan hukum (equality before the
law). Kaidah-kaidah demokrasi semacam ini tampaknya bukan hanya berlaku di
negara-negara maju saja tetapi juga berlaku secara universal, tidak terkecuali di
negara-negara yang sedang berkembang.
Secara khusus pelaksanaan manajemen pemerintahan dan tugas-tugas
pembangunan yang dilaksanakan oleh aparatur negara sebagai unsur eksekutif
harus dijamin efektivitasnya dengan sistem pemerintahan yang bersih (clean
government). Tampak bahwa relevansi antara penerapan asas pemerintahan umum
yang baik dengan upaya untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) serta terciptanya sistem pemerintahan yang responsif terhadap
kepentingan rakyat menjadi sedemikian kuat. Pemerintahan hanya akan efektif
apabila setiap aparatur negara dan aparatur pemerintah dapat menjalankan
tugasnya secara efektif dan terhindar dari eksis KKN maupun patologi birokrasi
lainnya.
Signifikansi Etika Pemerintahan
Sebagai organisasi publik yang misi utamanya adalah mengakomodasikan
kepentingan publik (public interest) dan melaksanakan urusan publik (public
affairs), aparatur negara atau aparat birokrasi publik pada umumnya menempati
posisi yang sangat strategis di dalam tahapan pembangunan pada era informasi
yang disertai dengan semakin kompleksnya tuntutan publik atas pembangunan
pada umumnya. Akan tetapi, ternyata Indonesia termasuk negara yang terlambat
untuk menginternalisasikan secara objektif nilai-nilai yang penting bagi
pelaksanaan sistem pemerintahan yang baik.
Dokumen kode etik yang relevan dengan organisasi publik yang terdapat
di Indonesia masih sangat terbatas. Salah satu rumusannya adalah Kode Etik
KORPRI yang dirumuskan pada tahun 1989, yang member rumusan Sapta
Prasetya. Dokumen ini tampaknya masih terlalu abstrak dan sulit untuk dijadikan
sebagai pedoman bagi para aparatur negara dalam pelaksanaan tugas sehariharinya. Kecuali itu, terdapat pula Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980
tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Dokumen ini merumuskan
adanya 18 larangan dan 26 kewajiban bagi setiap pegawai negeri sipil. Unsur-

unsur di dalam PP ini sudah relative lebih rinci dan jelas, tetapi relevansinya
dengan sistem pemerintahan yang baik serta bagaimana kaidah etis itu
dilaksanakan dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan masih belum tegas.
Untuk itu gagasan dari Kantor Menpan untuk menyusun sebuah Rencana UndangUndang yang secara khusus menggariskan kaidah Etika Pemerintahan merupakan
titik awal yang baik bagi terwujudnya sistem kode etik yang lebih baik. Pada
langkah awal, hal yang harus dilakukan mungkin belum mengarah kepada
Rancangan Undang-Undangnya sendiri, tetapi lebih merupakan Draft Akademik
bagi terbentuknya Rancangan Undang-undang tersebut.
ANGGOTA DEWAN YANG TERHORMAT
Kalau ada sebuah jabatan yang sangat empuk, terhormat dan
menguntungkan pada masa otonomi daerah sekarang ini, maka Anggota Dewan
adalah salah satu jawabannya. Keistimewaan jabatan ini ternyata bukan hanya
dialami oleh para anggota DPR Pusat, tetapi juga dialami oleh anggota DPRD
baik di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota. Kendatipun banyak anggota
dewana yang kini merasa gerah dengan terungkapnya kasus Buburgate atau
hadiah lebaran untuk proyek JEC di Jogja, ricuh pemilihan bupati di Karanganyar
karena keputusan sepihak pimpinan Dewan, atau kasus-kasus lama di daerah ini
seperti ricuh pemilihan gubernur Kalimantan Selatan, walikota Surabaya, atau
bupati Kampar, namun tidak dapat dipungkiri bahwa jabatan sebagai anggota
dewan adalah jabatan yang sangat menggiurkan.
Dari segi persyaratan, langkah awal untuk menuju ke kursi anggota dewan
tidak terlalu sulit. Kalau Mendiknas menggariskan bahwa syarat pendidikan untuk
menjadi guru SD pun harus lulus sarjana, maka syarat untuk menjadi anggota
dewan cukup lulus SMU. Bahkan di beberapa daerah syarat ini dapat ditawar.
Yang penting, seorang calon anggota dewan harus cukup vocal, ditokohkan oleh
masyarakat sekitarnya, memiliki kartu anggota partai politik tertentu, dan aktif
melobi pimpinan partai di daerah agar namanya tercantum dalam daftar calon
legislatif. Dengan sistem Pemila proporsional tertutup, terlalu sedikit
kemungkinan bahwa pemilih mencermati nama-nama caleg ketika mereka
mencoblos tanda gambar pada Juni 1999 lalu. Seorang caleg yang bernasib baik
memilih afiliasi politik yang tepat dan menempati urutan daftar yang nomornya
kecil akan cukup mudah memperoleh kursi anggota dewan.
Untuk fungsi penganggaran, tawar-menawar selalu dapat dilakukan
dengan pihak eksekutif. Yang terpenting, anggaran untuk kesejahteraan anggota
dewan harus tetap diutamakan. Tidak perlu khawatir bahwa 75% DAU
pemerintah daerah tersedot bagi anggota anggaran untuk menggaji pegawai,
termasuk kenaikan gaji para anggota dewan. Apabila perdebatan mengenai APBD
berjalan alot, anggota dewan senantiasa dapat mengalihkan tuduhan ke kinerja
birokrasi pada eksekutif yang berbelit-belit. Tidak penting benar anggota anggota
betul-betul tahu apa yang diperdebatkan di dalam komisi anggaran. Dalam sebuah

debat anggaran, seorang anggota dewan di sebuah kabupaten pernah berkata


Mengenai bedanya block grant dan specifi grant, saya tidak mau tahu. Yang
penting apakah pos itu bisa diuangkan atau tidak!. Bahkan seorang anggota
dewan yang harus ikut memikirkan APBD secara serius tidak paham ada bedanya
DAU (Block grant) dan DAK (Specific grant). Walaupun pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan oleh anggota dewan itu terkadang menyedihkan, tetapi sudah
hampir dapat dipastikan bahwa kesejahteraan anggota dewan sering menjadi
sumber perdebatan yang sengit. Untuk anggaran daerah, sekarang ada
Kepmendagri No. 29 tahun 2002 tentang anggaran berbasis kinerja yang lebih
rumit. Ini pun tidak menjadi persoalan karena pihak legislatif tetap dimungkinkan
untuk menggunakan APBD tahun yang lalu jika produk anggaran tidak dapat
selesai pada waktunya.
Fungsi pengawasan adalah cara yang paling mudah untuk menunjukkan
bahwa eksekutif harus melayani legislatif seperti seharusnya. Betapapun,
gubernur atau bupati adalah seorang dari sekian calon pilihan para anggota DPRD
sehingga kalau tidak ingin jabatannya dikorbankan dia harus tetap
memperhitungkan suara anggota dewan. Dengan adanya sistem LPJ yang harus
dibuat oleh eksekutif setiap tahun, pengawasan menjadi lebih mudah dilakukan.
LPJ yang tidak diterima oleh para anggota dewan akan dapat digunakan untuk
memberhentikan seorang bupai atau walikota jika mereka tidak kooperatif dengan
para anggota legislatif.
Di luar gaji pokok dan uang-uang sidang, anggota dewan juga
berkemungkinan mendapat pelbagai fasilitas seperti uang perjalanan, uang
kunjungan untuk penyerapan aspirasi rakyat, atau perjalanan ke luar negara
untuk studi banding seperti tempo hari diberitakan di Jawa Timur. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa para anggota dewan sering menerima hadiah dalam berbagai
bentuk, sejak paket lebaran, paket natal, kuncil mobil dan kunci rumah. Apakah
itu tidak akan memengaruhi keputusannya di dewan? Tidak terlalu perlu
dirisaukan.
Jadi, kalau ada di antara anda, suami, isteri, atau saudara yang dapat
menjadi anggota dewan, anda termasuk orang yang beruntung. Seperti kata-kata
sebuah iklan minuman beralkohol, Selamat, anda layak mendapat bintang!.
Karena itu selama masih menjadi anggota dewan yang terhormat, silakan anda
manfaatkan sampai dengan tahun 2004. Siapa tahu pada Pemilu yang akan dapat
mekanisme pemilihan anggota dewan sudah berubah.
MENGHAPUS KPKPN
Dari pengalaman sejarah di banyak negara yang sedang berperang
melawan korupsi, salah satu kunci suksesnya terletak pada pimpinan atau aparat
penegak hokum yang berjuang luar biasa gigih, tanpa kompromi, dan bersedia
mengorbankan apa saja. Pada aba ke-8, ketika kaum Quraisy mengalami krisis
kepemimpinan sepeninggal Nabi Muhammad, para pejabat mulai mengabaikan

amanah rakyat dan perilaku korup terjadi di mana-mana. Keadaan ini dapat
diselematkan dengan munculnya Umar bin Khatab, khalifah yang bersedia
menyamar menjadi orang biasa dan terjun langsung ke masyarakat untuk
mengetahui praktik-praktik korupsi para pejabat dan menyaksikan penderitaan
rakyatnya secara langsung. Yang lebih penting lagi, Umar bin Khatab
menegakkan hukum bagi para koruptor tanpa pandang bulu.
Opini publik yang terungkap di media jelas menunjukkan kekecewaan
masyakat akan rencana likuidasi KPKPN tersebut. Seorang pengamat mengatakan
bahwa peleburan KPKPN ke
Komisi Pemberantas Korupsi itu ibarat
mengumpulkan senjata-senjata yang tumpul untuk melawan korupsi (Suara
Merdeka, 13 Des 2002). Sebagian wartawan mengkhawatirkan bahwa kebijakan
itu akan menjadi blunder politik dalam pemberantasan korupsi, bahkan seorang
pakar tata-negara menuduh bahwa kebijakan itu merupakan persekonglan politis
antara legislatif dan eksekutif untuk melindungi perilaku korup mereka (Kompas,
28 Nov 2002, 16 Des 2002). Tidak mudah untuk meraba tujuan yang
sesungguhnya dari rencana penghapusan KPKPN kecuali pernyataan resmi bahwa
langkah itu dimaksudkan untuk mengefisiensikan lembaga penegak hokum yang
menangani korupsi. Berkaitan dengan posisi M.A. Rachman yang punya catatan
sangat buruk bagi KPKPN, kebijakan presiden pun tampaknya juga belum jelas.
Salah satu skenario yang pernah direka-reka ialah bahwa presiden belum akan
mencopot M.A Rachman karena kalkulasi politik yang lebih besar (Tempo, 9-15
Des 2002). Betapapun, Pemilu sudah semakin dekat dan partai dari rejim yang
sedang berkuasa akan diuntungkan jika berhasil merangkul para pejabat yang setia
dan terlebih lagi punyai potensi untuk menyumbangkan dana cukup besar bagi
kampanye Pemilu. Tetapi jika ini benar tentunya tahu persis bahwa melindungi
pejabat yang bermasalah untuk kepentingan yang lebih besar akan mengandung
risiko. Dan risiko ini akan semakin berbahaya jika rakyat berprasangka buruk dan
melihat bahwa pemerintah melindungi seorang koruptor untuk kepentingan
korupsi yang lebih besar.
Belakangan, sikap pemerintah dan DPR agaknya melunak berkenaan
dengan rencana likuidasi KPKPN. Entah karena ingin menyelesaikan etape
terakhir sebelum likuidasi ataukah karena lunaknya sikap pemerintah itu, Jusuf
Syakir dan para anggota KPKPN pada tanggal 3 Desember telah melaporkan
berkas pemeriksanaan M.A. Rachman ke Kepolisian dan menyampaikan laporan
tertulis ke presiden. Pada tanggal 11 Desember bahkan KPKPN merencanakan
untuk segera menggelar pemeriksanaan khusus kepada 30 pejabat negara di
lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maupun para pejabat BUMN.
Termasuk dalam daftar pejabat eksekutif adalah Gubernur Jawa Barat, Bupati
Tana Toraja.
Jika disadari sepenuhnya bahwa salah satu penyebab terlambatnya
pemulihan ekonomi negara kita adalah karena belitan masalah korupsi yang akut,
kita memang membutuhkan komitmen pemimpin Negara yang kuat untuk

memberantas korupsi. Salah satu wujud dari komitmen itu dapat dilihat dari sikap
pemerintah dan wakil rakyat terhadap aparat yang berperan sebagai whistleblower, institusi atau para penegak hukum yang sudah terbukti reputasinya. Jika
keinginan terhadap keberlanjutan upaya KPKPN dalam memberantas korupsi
justru dipasung atau tidak ditindaklanjuti, rakyat akan semakin meragukan
komitmen para pemimpin itu. Pada saat yang sama, prasangka yang baik mungkin
tetap dapat diletakkan pada kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai
lembaga bentukan pemerintah yang baru. Namun jika lembaga ini pun tidak lebih
baik dari lembaga-lembaga yang telah dibentuk selama ini, harapan rakyat untuk
memiliki para pejabat yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme tampaknya
akan makin sulit terwujud. Kita tunggu aja.
PENDERITAAN DAN KETIDAKADILAN
Karena kebetulan sedang melakukan penelitian di beberapa kantor
pemerintah pusat, saya berkesempatan untuk mengamati tema-tema unjuk rasa
menentang kenaikan serentak BBM, TDL dan tarif telepon di Jakarta. Saya
sengaja meluangkan waktu untuk menanyakan apa alasan partisipasi para
pengunjuk rasa yang semakin melibatkan banyak komponen itu. Dalam unjuk rasa
yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya front Pembela Rakyat
Betawi di depan gedung DPR di Senayan, saya trenyuh dengan jawaban seorang
pengunjuk rasa: Kami sebenarnya tidak keberatan untuk hidup menderita karena
kenaikan harga-harga ini, tapi bagaimana dengan Bapak-bapak yang ada di mobil
itu?. Ketika itu dia menunjuk pada sederatan mobil mewah yang diparkir di
depan gedung wakil rakyat itu. Selain Volvo baru yang merupakan mobil dinas
anggota dewan, tampak pula Jaguar, Mercedes, BMw, Audi atau mobil-mobil
model terbaru yang harganya milyaran. Pada saat menanyakan hal yang sama di
antara ibu-ibu rumah tangga yang berunjuk rasa sambil membawa peralatan dapur
disekitar istana negara, seorang ibu menjawab sambil terisak-isak: Bagaimana
kami tidak putus asa dan marah? Kami dibiarkan terjepit oleh kenaikan hargaharga sementara Bu Mega dan pejabat tinggi masih bisa pesta ulang tahun dengan
segala kemewahan di Bali, para koruptor dibiarkan lolos dan masih sangat empuk
hidupnya?.
Setelah mendapat desakan dari berbagai protes dan unjuk rasa masyarakat,
pemerintah tampaknya mulai melunak dengan menunda kenaikan tarif telpon dan
belakangan juga menurunkan kembali harga solar. Tetapi persoalan mendasar dari
kebijakan pencabutan subsidi BBM ini sebenarnya menunjukkan betapa
ketidakadilan itu tetap ada. APBN 2003 menggariskan pencabutan jumlah subsidi
BBM sebesar Rp 15 triliun, tetapi jumlah kompensasi yang diberikan kepada
rakyat miskin hanya sebesar Rp 4 triliun. Ini berarti bahwa surplus sebesar Rp 11
triliun akan diperuntukkan oleh para obligor yang masih membandel itu. Banyak
penduduk miskin yang memanfaatkan minyak tanah sebagai kebutuhan seharihari, meskipun yang paling miskin bahkan lebih mengandalkan kayu bakar untuk

memasak. Tetapi untuk minyak solar, betapapun kualitas hidup para nelayan, para
petani yang menggunakan traktor tetap tergantung padaharga solar di pasaran.
Persoalan dalam pemberian subsidi minyak tanah dan solar ialah bahwa di
samping banyak dana kompensasi itu yang tidak sampai kepada rakyat miskin,
pemerintah masih membiarkan para pengoplos minyak gelap dan
menyelundupkannya ke luar negeri.
Hal yang serupa terjadi pada masalah TDL. Di Indonesia hampir separuh
rakyat masih belum menikmati jaringan PLN. Dengan kata lain, cukup banyak
rakyat paling miskin yang masih belum menikmati terangnya listrik di rumah
mereka. Namun industri kecil atau industri rumah tangga yang mempekerjakan
orang-orang miskin juga tergantung pada listrik yang berdaya rendah itu.
Celakanya, andaikata TDL dibatalkan kenaikannya karena pemerintah
mengakomodasi protes masyarakat, korban pertama adalah kelompok rakyat yang
menggunakan listrik berdaya rendah atau mereka yang belum memperoleh sarana
jaringan PLN. Berkenaan dengan rencana perhitungan kembali TDL, bubur
direktur PLN mengatakan bahwa jika tidak dinaikkan maka PLN tidak akan lagi
menambah infrastruktur listrik di pedesaan. Di seluruh tanah air yang
berpenduduk 210 juta ini hanya sekitar 8 juta sambungan dan sekitar 8,3 juta
telepon seluler. Tetapi rencana kebijakan untuk mencabut subsidi justru dimulai
oleh pemerintah dengan penundaan kenaikan tarif telepon, bukan BBM yang
sesungguhnya lebih memengaruhi rakyat miskin.
UANG DALAM BIROKRASI PUBLIK
Sebuah produk undang-undang yang dinantikan sekian lama telah disetujui
dalam sebuah sidang paripurna DPR pekan lalu, yaitu UU Keuangan Negara.
Sebagian pihak mungkin merasa lega mengingat bahwa keinginan untuk
menggantikan ketentuan tentang keuangan negara warisan Belanda berupa
Indiche Comptabiliteitswet (ICW) telah terlaksana. Sejak kemerdekaan, tercatat
ada 13 tim yang pernah menyusun RUU keuangan ini tetapi tidak pernah dapat
tuntas hingga menjadi undang-undang.
Harus diakui bahwa UU Keuangan mengandung beberapa elemen penting
menyangkut prinsip pengelolaan keuangan negara dan penetapan anggaran
negara. Sebagai contoh, UU ini menghendaki adanya pembatasan jumlah
pinjaman luar negeri maksimal 60 persen dari PDB. Ketentuan ini setidaknya
dapat digunakan untuk mengendalikan utang negara super ambisius seperti yang
telah terjadi sekian lama selama pemerintahan Orde Baru. Kecuali itu, pasal 12
dan penjelasannya dalam UU ini juga menggariskan adanya pembatasan deficit
anggaran maksimal hingga tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Meskipun anggaran defisit dapat diterapkan dalam situasi keuangan negara yang
sulit, tetapi jika angka defisit itu demikian besar dan berlangsung dalam jangka
waktu yang lama, sendi-sendi keuangan negara tentu akan lumpuh. Inila yang
hendak dicegah dengan pasal ini.

Namun demikian kendatipun di antara jajaran birokrasi public banyak


yang optimis, cukup banyak unsur yang khawatir, terutama pihak-pihak yang
justru terancam kedudukannya dengan ratifikasi UU Keuangan ini. Dalam siding
pleno, misalnya, Fraksi Reformasi telah mulai mempermasalahkan keberadaan
Kementerian BUMN setelah berlakunya UU ini. Salah satu implikasi dari
berlakunya UU ini adalah pembubaran atau likuidasi Kementerian BUMN. Jika
ketentuan bahwa Menteri Keuangan merupakan satu-satunya wakil pemerintah
dalam kepemilikan kekayaan negara, maka memang kementerian BUMN yang
kini bertugas untuk melaksanakan privatisasi itu menjadi tidak relevan. Semuanya
harus dikembalikan ke kewenangan Menteri Keuangan. Namun isu mengenai
penghapusan Kementerian BUMN tampaknya masih merupakan wacana,
terutama mengingat bahwa untuk persoalan BUMN kini sedang dibahas sebuah
RUU lain yang diperkirakan akan berjalan alot.
Yang lebih menyedihkan lagi di Indonesia belakangan ini ialah begitu
banyak penyelewengan keuangan negara yang sangat jelas terjadi di depan mata,
tetapi rakyat tidak dapat berbuat apa-apa. Pemerintah yang menjadi tumpuan
harapan rakyat juga tidak mampu berbuat apa-apa, bahkan terkesan ikut arus
untuk juga bermain dengan uang rakyat tersebut. Para pejabat puncak di jajaran
eksekutif, legislatif maupun yudikatif di masa sulit. Bahkan mereka yang jelasjelas telah tersangkut oleh korupsi, manipulasi dan penyalahgunaan wewenang
tetap tidak tersentuh oleh sistem hukum kita.
Begitu banyak fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa kebijakan
desentralisasi yang diharapkan akan membuka jalan bagi demokratisasi dan
tanggungjawab pemimpin yang lebih besar kepada rakyat ternyata justru membuat
pemborosan dan penyalahgunaan uang rakyat tersebar ke mana-mana. Dana untuk
otonomi daerah yang terbatas dalam bentu DAU (Dana Alokasi Umum) ternyata
lebih banyak tersedot untuk pemekaran wilayah, penambahan dinas-dinas baru di
daerah, serta pembangunan gedung-gedung baru di daerah. Yang lebih parah lagi,
anggaran otonomi daerah itu juga lebih banyak digunakan untuk menambah gaji
anggota DPRD, kunjungan ke luar negeri, atau berbagai bentuk korupsi
terselubung lainnya.
Di dalam birokrasi publik kita, kepentingan para pejabat seringkali lebih
dominan disbanding kepentingan rakyat. Akibatnya, berbagai upaya untuk
merasionalkan sistem anggaran dan sistem keuangan negara senantiasa terbentur
oleh kepentingan-kepentingan para pejabat itu. Kebutuhan untuk mengembalikan
manajemen keuangan negara dibawah Menteri Keuangan sesungguhnya didasari
rasionalitas yang logis seperti praktik yang telah dilaksanakan di negara-negara
maju. Di inggris atau Jerman, beberapa satuan di bawah Menteri Keuangan
bahkan dipecah sesuai dengan otoritas yang berbeda. Di Amerika Serikat terdapat
Treasury dan Internal Revenue Office sementara Ministry of Finance bisa lebih
berkonsentrasi pada pengelolaan anggaran. Di Indonesia, lembaga-lembaga ini
masih setingkat Direktorat Jendral, seperti yang terlihat pada Ditjen Anggaran,

Ditjen Pajak Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara, dan Badan Analisis Fiskal
(BAF). Kecuali itu satuan analisis fiscal yang di negara maju melibatkan banyak
komponen di luar pemerintah, di Indonesia BAF masih lebih merupakan lembaga
murni pemerintah. Namun sekali lagi, kepentingan lembaga atau unsur politik
birokrasi (bureaucratic politics) tampaknya lebih dominan di Indonesia. Tidak
akan mudah bagi setiap departemen teknis yang selama ini memegang uang untuk
mengembalikan otoritas keuangan itu kepada Menteri Keuangan. Sementara itu
juga akan sulit untuk mengendalikan besarnya kekuasaan Departemen Keuangan
apabila pola manajemen yang diterapkan masih seperti yang selama ini terjadi.
Maka untuk mencegah penyalahgunaan keuangan negara dan menciptakan
sistem anggaran yang lebih responsive kepada kehendak rakyat, diperlukan
perbaikan menyeluruh. Setiap satuan di dalam birokrasi publik harus mampu
menghayati bahwa money follows functions (uang mengikuti fungsi), bukan fungsi
mengikuti uang. Selama ini yang terjadi ialah fungsi mengikuti uang, dimana
ada uang di situlah para pegawai atau pejabat bekerja. Terkadang, tugas dan fungsi
direkayasa (diada-adakan) untuk mendapat jatah alokasi uang negara. Tidak
mengherankan bahwa kecenderungan ini mengakibatkan satuan yang
berhubungan dengan uang menjadi pusat kekuasaan sedangkan satuan yang
memberikan pelayanan kepada masyarakat kurang memiliki kekuasaan atau
kurang diperhatikan.

BAB II
NILAI DEMOKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK
Salah satu dalam masalah kontempore yang menjadi perdebatan dalam rangka
reformasi ialah pelayanan public. Upaya reformasi dan revitalisasi kini telah
dijalankan pada setiap aspek pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan,
perumahan dan keuangan, tetapi masi banyak keluhan terhadap kemampuan
pemerintah untuk menangani masalh-masalh tersebut. Di satu pihak, seperti
halnya masalah tipikal yang terdapat dinegara-negara berkembang, banyak
lemabaga pemerintah di Indonesia yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan
lulusan terbaik dari lembaga pendididkan untuk tingkat menajerial maupun staff
pada tingkat teknis. Sebagian besar lembaga-lembaga pemerintah sebenarnya
tengah mengahadapi krisis sumberdaya manusia yang serius. Swastanisasi
pelayanan publik mungkin merupakan sebuah alternative yang dapat dilakukan,
tetapi bagaimanapun juga urusan publik yang menentukan hajat hidup orang
banyak tidak mungkin diserahkan sepenuhnya kepada organisasi swasta. Di lain
pihak, seiring dengan prses demokratisasi, kini terdapat tuntutan yang lebih kuat
dari khalayak agar pemerintah lebih memberi perhatian pada kualitas pelayanan
publik. Gerakan reformasi tampaknya memamang membuat lebih banyak elemen
masyarakat yang makin berani mengemukakan aspirasinya dalam hal pelayanan
publik.
Peningkatan kualitas pelayanan publik membutuhkan komitmen dan
pemahaman yang utuh akan mekanisme pelayanan. Sayangnya, hal-hal inilah
yang justru meruoakan titik lemah dalam sistem atministrasi publik dinegaranegara berkembang pada umumnya. Dalam situasi di mana negara masi
mengambil peran yang begitu besar, pelayanan publik meliputi banyak aspek
maupun yang bersifat politis(pertahanan, keamanan, hukum urusan luar negeri,
perdagangan dan industry), ekonomis (telepon, perpajakan, listrik, air minum,
bahan bakar) maupun kesejateraan sosial(kesehatan, pemdidikan, layanan sosial,
dsb). Bahkan dinegara-negara maju, rata-rata belanja publik yang dikelolah untuk
pemerintah masi berkisar 40 persen dari pendapatan nasional bruto. Ini
menunjukan bahwa betapapun pelayanan publik yang dilaksanakan oleh
pemerintah masi tetap penting. Sekaligus ini menunjukkan bahwa pemerintah
merupakan organisasi yang befgitu besar oleh suatu negara.
Dilemma yang harus dihadapi untuk melakukan reformasi sistem pelayanan
publik memang cukup berat. Di satu sisi, pelayanan publik pada umumnya dapat
ditingkatkan efisiennya sesuai kebutuhan masyarakat modern apabila birokrasi
benar-benar menjadi lebih propesional dan rasional. Ini berarti bahwa prinsipprinsip objektivitas, efisiensi, pertimbangan biaya dan manfaat serta legalitas
formal dapat dipertahan kan dan dilaksankan dengan baik. Namun di sisi lain,
agar tuntuta masyrakat modern yang demokratis dapat dipenuhi, birokrasi publik
dapat dipenuhi, birokrasi publik harus memiliki responsivitas yang tinggi, harus

memiliki kepekakan sosial terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang


termaksuk kategori kurang beruntung. Ini berarti prinsip-prinsip legalitas dan
efisiensi terkadang harus dikorbankan karena yang dipentingkan adalah bahwa
birokrasi harus mampu menjadi pelayanan masyarakat yang baik. Dengan
demikin, ditengah pembenturan nilai sering kali yang sulit untuk disejajarkan,
para birokrat sebagai pelayan masyarakat harus senantiasa mampu memposisikan
dirinya dalam masyarakat yang semakin besar tuntutannya akan efisiensi dalam
pelayanan tetapi juga sekaligus mampu menjawab persoalan-persoalan sosial yang
semakin kompleks.
Untuk itu didalam transisi menuju kemasyarkat yang lebih demokratis,
birokrasi publik harus mampu berkembang dan menyesusaikan diri dengan
ekulibrium baru kendatipun tetap mesti mempertimbangkan sumberdaya dan
kapabilitas yang terbatas. Dalam sistem yang lebih demokratis dimana interaksi
antara warga masyarakat dengan para birokrat melibatkan perbedaan persepsi dan
kemungkiman juga berbagai konflik, ketua belah pihak harus bersedia untuk
melakukan perubahan. Dan proses perubahan atau evolusi administrasi publik
inilah yang penting diperhaikan oleh para stakeholders atau semua pihak yang
terkait dengan birokrasi public. Evolusi ini diperlukan karena dua alasan pokok,
yaitu: 1) untuk memelihara kondisi sosial yang memungkinkan agar evolusi dalam
orgnisasi publik dapat berlansung terus, 2) untuk menciptakan ekuilibrium baru
yang lebih terbuka terhadap prinsip-prinsip organisasi demokratis yang sesuai
dega konteks masyarakat sekitarnya (Skinner, 1981;Ho & Saunders, 1984).
Kekuatan birokrasi public senantiasa meningkat dinegara-negara modern
karena seiring dengan meningkatnya kapisitas untuk mengontrol ekonomi dan
menyediakan berbagai bentuk layanan kepada masyarakat maka sumber daya
yang dimiliki nya pun terus bertambah. Akibatnya jumlah orang semakin
tergantung kepada sumberdaya tersebut juga meningkat, bukan saja untuk
sementara waktu ketika membutuhkan layanan tetapi juga tergantung selama
hidupnya. Sangat masuk akal jika birokrasi memiliki kekuatan yang semakin
besar. Masalhnya ialah kekuasaan semacam itu bisa saja diselewengkan jika tidak
terdapat control. Pada saat yang sama, terdapat hubungan intrinsic antara birokrasi
dan demokrasi sekalipun hubungan tersebut seringkali bersifat paradoks dan
kontradiktif. Menguatkan kekuasaan birokrasi merupakan ancaman terhadap
demokrasi, tetapi sistem yang demokratis juga tidak mungkin terwujud tampa
birokrasi publik yang kuat.
Secara umum, hubungan antara birokrasi dan demokrasi dapat dilihat dengan
tiga cara. Pertama, menurut pandangan birokrasi representatif, suatu sistem akan
lebih demokratis apabila latar belakang sosial ekonomi dan etnis dari para pejabat
pemerintah menggambarkan wujud dari suatu bangsa seara keseluruhan. Karena
betapa pun pejabat pemerintah ounya kekuasaan untuk memengaruhi keputusankeputusan politis, maka demokrasi harus dijaga dengan memastikan bahwa para
pembuat keputusan puncak itu mewakili seluruh komponen bangsa. Kedua ,

sistem birokrasi dapat digunakan untuk menjamin demokrasi dengan melakukan


pendekatan pluralistik, dalam arti bahwa sentralisasi otoritas olitis harus dihindari.
Di sinilah maka kebijakan desentralisasi menjadi revelan. Ketiga, demokrasi juga
akan dapat diperkuat dengan menjamin bahwa lembag-lembaga perwakilan di
semua jenjang dapat memengaruhi hasil-hasil dari suatu kebijakan.
Zeithaml, Berry dan Pesuraman (1988) menunjukan sebuah model yang dapat
digunakan untuk menciptakan persepsi yang sama. Yang harus dilakukan adalah
dengan mendekatkan persepsi yang sama. Yang harus dilakukan adalah dengan
mengidenfikasi kesenjangan persepsi mengenai kualitas pelayanan itu sendiri.
Kesenjangan itu biasanya terjadi karena:
1. Perbedaan antara ekspektasi klien / penggunaan jasa dengan oiha
pimpinan instasi/ penyediaan layanan.
2. Perbedaan persepsi antara pimpinan instasi/ penyedia layanan dengan
klien/ pengguna jasa mengenai kualitas layanan yang harus diberikan.
3. Perbedaan antara ekspektasi atas kulitas layanan dengan yang benar-benar
dilakukan oleh birokrasi public.
4. Perbedaan antara mekanisme penyediaan jasa dengan apa yang
dikomunikasikan kepada klien / pengguna jasa.
5. Perbedaan antara pesepsi masyarakat mengenai jasa pelayanan tertentu
dengan ekspektasi mereka.
Dalam hal ini perlu diingat bahwa kualitas pelayanan sangat tergantung
kepada kinerja pegawai pemerinah, yang antara lain ditentukan oleh pemahaman
mereka tentang kebutuhan pengguna jasa. Kinerja dibidang pelayanan memang
tidak mudah diukur jika dibandingkan kinerja dibidang , misalnya, produksi
barang. Tetapi bagaimanapun juga terdapat kaidah-kaidah normatif yang dapat
diikuti untuk menilai apakah mekanisme pelayan publik sudah benar-benar
berkualitas atau belum. Secara kaidah yang dapat digunakan itu antara lain
(McKevit,1998:53): keadaan dalam ( reability ), daya Tanggap (responsiveness ),
jaminan ( meliputi kepatian dan kepercayaan), empati (atau lingkungan fisik dari
penyedia layanan), dan hal-hal ini yang bersifat kesat-mata ( tangibles ).
SATU RUMPUN, NASIP BEDA
Semua haian ditanah- meliput sebuah tragedi kemanuasian yang terjadi di
beberapa wilayah penampungan untuk para TKI illegal yang dipeluangkan dari
Malaysia. Bukan saja ketidakpastian dan nasip suram yang menghantui para TKI
yag kembali ke tanah-air itu. Korban nyawa mulai di Nunukan karena kondisi
penampungan yang sangta buruk dan fasilitas kesehatan yang minim. Bebagai
sorotan tajam dilontarkan terhadap penyebab munculnya persoalan ini berbagai
aspek. Keterlambatan pemerintah Indonesia untuk merespon persoalan TKI illegal
dan kelemahan pemerintah dalam mengupayakan penyelesaian jangka-panjang
secara politik dengan pemerintah Malaysia memang sungguh memperhatikan.

Kini mayarakat mulai membandingkan apa yang telah dilakukan oleh


Presiden Gloria Arroyo dalam menangani pemulangan tenaga-kerja Filipina dari
Sabah dengan kelemahan komitmen politik pemerintahan megawati dalam
menangani persoalan yang sama bagi TKI yang jumlah nya jauh lebih besar jika
disbanding tenaga-kerja dari Filipina itu. Pada saat yang sama, pemerintahan
Malaysia tampaknya lebih responsif terhadap protes dari Filipina disbanding
sejumlah pendekatan diplomatis yang tidak jelas dari Indonesia. Pertanyaan yang
muncul adalah : mengapa pemerintahan Malaysia terkesan kurang memperhatikan
keluhan dari pemerintah dan warga Indonesia yang merupakan bangsa serumpun ?
Bagaimana kita merumuskan kembali makna bangsa serumpun dan hubungan
bilateral dalam penanganan berbagai masalah antar kedua Negara ini?
Salah satu alsan pokok mengapa tenaga-kerja yang berbondong-bondong
dating dari Indonesia dapat diterima di Malaysia adalah kesamaan dari segi
bahasa, agama dan etnis. Tidak seperti tenaga kerja migran dari Bangladesh,
Myanmar, Vietnam atau Negara-negara lainnya, tenaga kerja dari Indonesia lebih
mudah menyesuaikan diri kedalam berbagai jenis pekerjaan konstruksi,
perkebunan dan manufaktur karena mereka bias berbahasa Melayu, beragama
islam dan berpenampilannya yang sama seperti orang Malaysia pada umumnya.
Namun pengelaman saya selama beberapa tahun tinggal di Malaysia menunjukan
bahwa kendatipun bangsa Indonesia dan Malaysia di sebut sebagai bangsa
serumpun, ada perbedaan-perbedaan fundamental yang mungkin disebabakan oleh
pergeseran nilai atau sejarah kontenporer yang dialami kedua bangsa ini.
MENAJEMEN KONFLIK DALAM HUBUNGAN KEUANGAN DALAM
PUSAT DAERAH
Berbeda dengan kebijakan desentralisasi di Negara-negara maju yang
memiliki tujuan fundamental yang bersifat jangka-panjang, kebijakan
disentralisasi di Indonesia yang dituangkan dalam UU No.22 dan UU No.25 tahun
1999 sejauh ini lebih banyak terikat dengan tujuan-tujuan jangka-pendek atau
jangka-menengah. Tujuan kebijakan itu adalah: 1) mencegah ancaman
separatisme dari beberapa daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang
melimpah, dan 2) menutup kesenjangan fiskal (fiscal gap ) agaran pemerintahan
daerah sebagai kosekuensi dari pelimpahan kewenangan dan urusan dari
pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah dengan titik-berat pada daerak
kabupaten/kota. Untuk sementara, tujuan yang pertama relatif dapat tercapai.
Kekhawatiran akan adanya disentegrasi nasional setelah Timor-timur memisahkan
diri dari Indonesia sudah dapat teratasi. Agenda masalah yang masi tersisa bagi
propinsi Papua adalah meyakinkan kepada seluruh rakya Papua bahwa pemerintah
benar-benar serius untuk memberikan otonomi dan memperhatikan pembangunan
di daerah sekian lama dikuras sumber-daya alamnya itu. Bagi propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD), masalahnya mungkin lebih rumit karena disamping

persoalan keamanan dan masalah lama dengan GAM, kepercayaan rakyat


terhadap aparat TNI maupun aparat kepolisian semakinmenipis sedangkan aliran
dana pembangunan yang dijanjikan oleh pemerinta pusat masi banyak yang tidak
menyentuh kebutuhan rakyat yang sebenarnya.
Kebijakan desentralisasi pada dasarnya menyangkut ketentuan mengenai
hubungan antar pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Tujuan utama
adalah untuk menciptakan suatu sistem tata pemerintahan yang baik, yang akan
menunjang efektivitas dan efisiensi pelayanan umum serta membentuk
masyarakat yang demokratis. Namun sebagai bentuk kebijakan publik,
pelaksanaan desentralisasi dalam kenyataan melibatkan berbagai konflik
kepentingan diantara para politisi, pejabat, pemerintah, unsur-usnsur swasta
maupun masyarakat pada umumnya. Perlu dipahami bahwa yang dimaksud
desentralisasi fiskal dalam tulisan ini adalah segala macam kebijakan yang
menyangkut hubungan fiskal antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah
( intergovernmental fiscal relationships). Isu kebijakan yang paling pokok adalah
pembagian tanggung-jawab fiskal antara pemerintahan pusat, propinsi dan
kabupaten /kota, baik yang menyangkut tugas-tugas di bidang penerimaan
(revenue assignments) atau dibidang pembelanjaan ( expenditure assigments).
Beberapa Penjelasan Teoretis
Salah satu persoalan penting yang harus dihadapi oleh para perumus
kebijakan ialah bahwa kebijakan public acap kali mengandung banyak tujuan (
multiple objectives). Bagian yang paling sulit dari perumusan kebijakan public
adalah bagian kita dapat mencapai suatu tujuan kebijakan tampa membawa akibat
yang lebih buruk pada aspek kebijakan publik yang lain ( Anderson, 1997:9).
Tujuan kebijakan untuk menciptakan lapangan kerja yng mengundang investasi
asing, misalnya, juga terkait dengan tujuan bahwa kebijakan itu tidak akan
mengakibatkan inflasi yang tinggi, membahayakan posisi perdagangan luar
negeri, atau tidak menimbulkan persoalan lingkungan. Demikian pula, tujuan
kebijakan desentralisasi fiskal adalah untuk memperkuat kemampuan pemerintah
daerah, memperbaiki kualitas pelayanan publik dan menciptakan tata
pemerintahan yang demokratis, tetapi pada saat yang sama diharapkan bahwa
kebijakanitu tidak menimbulkan persoalan baru berkenaan dengan separatism,
ketimpangan pendapatan antar-daerah yang tidak sehat, dan sebagainya.
Dalam pemahaman mengenai rasinalitas para pembuat kebijakan, karya
klasik dari Sinom (1957) maupun Parsons (1968) mungkin tetap relevanuntuk
mealakukan analisis terhadap motif dan perilaku dari pihak-pihak yang terlibat
dalam kebijakan publik. Suatu tindakan tersebut rasional jika ia sesuai dengan
tujuan dari seseorang pada setuasi tertentu. Namun karena informasi yang apat
diterima oleh seseoarang individu dalam sitasi pembuatan kebijakan adalah
terbatas, maka resionalitas itu juga dibatasi atau dipengaruhi oleh informasi yang
diperoleh individu tersebut. Maka analisis mengenai kepentingan seseorang dalam

pembutan kebijakan harus dipahami dengan adanya rasionalitas yang tebatas


(bounded rationality ) tersebut.
Teori semacam ini banyak dikembangkan oleh para pakar dibidang kebijakan
publik dan ilmu politik. Pada tahun 1970-an, misalnya, Allision mengembangkan
lebih lanjud teori rasionalitas dengan melihat bahwa keputusan-keputussan
penting pemerintah tidak hanya dapatb dijelaskan melalui model rationl actor
yang menempatkan proses perumusan kebijakan dalam sebuah kotak hitam dan
melihatnya sebagai keputusan-keputusan seorang individu , tetapi juga harus
menggunakan model proses organisasional atau politik birokrasi (Allision, 1971).
Selanjudnya, sebuah tiori yang kemudian mengilhami banyak tiori pilihan public
(public choice) diuraikan oleh Buchanan, menjelaskan bagaimana sebuah
keputusan kolektif yang dihasilkan oleh sebuah kelompok merupakan suatu
proses politis yang motif rasionalitasnya dapat dipahami dalam kepentingan
ekonomi dengan asumsi bahwa setiap individu akan memaksimalkan pencapaian
kepentingan dirinya (Buchanan, 1973). Pada saat yang sama, penjelasan mengenai
factor-faktor yang memengaruhi seseorang dalam pembuatan keputusan akan
dipengaruhi oleh Anderson, bahwa kebanyakan pembuat keputusan akan
dipengarui oleh: nila, afilisasi partai politik, kepentingan rakyat pemilih
(constituency interests), pendapat umum, kedudukan seseorang dalam organisasi
publik, dan aturan-aturan pembuat keputusan akan dipengaruhi oleh: nilai,
afilisasi partai politik, yang aturan-aturan pembuatan keputusan(decision rules)
(Andresdson, 1979:72). Konstribusi teori-teori ini pada dasarnya menunjukan
bahwa proses pembuatan keputusan sesungguhnya tidak sesederhana seperti
model rasionalitas individu da nada banyak kemungkinan untuk memahami
kebijakan publik melalui interaksi antar para pembuat kebijakan itu sendiri.
Namun sayangnya perkembangan tiori tidak banyak muncul pada tahun 1980-an,
kecuali beberapa teori penjelasan tambahan terhadap proses pembuatan kebijakan
dalam organisasi (Duncan, 1981; Dye,1981; Hogwood& Peters, 1983).
Reformasi Perpajakan Daerah
Perangkat peraturan yang disah kan sejak tahun 1999 sudah cukup progresif
dalam mengatur kebijakan desentralisasi di Indonesia jika dibandingkan
pengalaman selama orde Baru. Berbagai perbandingan internasional bahkan
menunjukan peraturan-peraturan itu demikian radikal dan ambisius, terutama jka
dilihat betapa tesentralisasinya sistem administrasi-pemerintahan dibawah Orde
Baru yang sangat ontras dengan semangat pendegalisian wewenang kedaerah
secara besar-besaran seiring tuntutan reformasi. Tidak berlebihan jika sebagai
pengamat internasional meneybutkan bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia
menganut big bang approach. Namun justru karena perubahan yang terlalu
redikal tersebut banyak aspek-aspek yang ternyata kurang diperhitungkan
sebelumnya sehingga beberapa kebijakan desentralisasi menjadi counterproductive.

Sebagai kebijakan yang banyak mengandung muatan politis, tidak dapat


dipungkiri bahwa kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia telah mengabaikan
pendekatan expenditure assignment (pembagian sumber pendapatan). Melalui
pendekatan expenditure assignment, fungsi lebih didahulukan ketimbang dana.
Dengan demikian, didalam proses desentralisasi pelimpahan kewenangan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah dirumuskan berdasarkan fungsi-fungsi riel
yang ada, dan selanjudnya dialokasikan dana sesuai dengan fungsi-fungsi
rielyangb telah dilimpahkan tersebut. Pertimbangan-pertimbangan seperti
keterpanduan administrative, kepasitas manajerial dan teknis, economies of scale ,
ketergantungan antar fungsi pemerintah dan berbagai keteria yang relative objektif
akan dapat diprioritaskan melalui pendekatan ini. Sebaliknya, pendkatan revenue
assignment dilakukan denga secara umum mengalokasikan berbagai sumber
pendapatan di antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan biasanya
dilakukan melalui tawar menawar politik antar tingkatan administrasipemerintahan. Dengan demikian, realokasi sumberdaya finansial dalam kebijakan
desentralisasi sangat dipengaruhi oleh variable-variabel politis yang relative
subjektif. Akibatselanjudnya ialah bahwa nilai-nilai bertanggungjawaban
didalamalokasi sumberdaya finansial, transparansi dan akuntabilitas
pendanaan,serta kinerja pelayanan publik sering kali diabaikan. Salah satu contoh
yang paling mencolok ialah dampak kebijakan dibidang perpajakan daerah.
Kebijakan disentralisasikan antara lain bertujuan agar kapasitas aparatur
pemerintah daerah dibiudang perpajakan dapat ditingkatkan. Desentralisasi berarti
member hak dan dikresiyang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk
menciptakan intrumen-instrumen pajak baru dengan prsetujuan DPRD. Apabila
hakdan diskresi tersebut dimanfaatkan secara baik, sistem perpajakan didaerah
jelas lebi tahu tentang persoalanekonomi rakyat serta potensi pajak didaerah.
Namun tampaknya peluang ini masi sering disalahtafsirkan oeh aparat didaerah
dengan menggali setiap kemungkinan untuk menarik pajak. Berbagai perda
tentang pajak baru yang kurang rasional bermunculan. Sebagaian daerah berusaha
menghidupkan kemabali pajak yang tidak efisien seperti pajak sepeda, pajak
anjing dsb, atau memperkenalkan pajak yang tidak masuk akal seperti pajak
sertifikasi kelahiran ternak dan sebagai macam retribusi baru. Dalam situasi
ekonomi yang masi sulit, pajak-pajak baru tersebut jelas menambah beban bagi
para pengusaha atau rakyat didaerah pada umumnya.
Terlepas dari berbagai kontreversi tentang Perda bermasalah, satu kaliyang
sering dilupakan oleh satu pihak pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
kelompok-kelompok kepentingan yang lain ialah bahwa sesunguhnya otonomi
dibidang perpajakan merupakan keniscayaan didalam desentralisasi fiskal.
Otonomi daerah tidak akan dapat berhasil tampa otonomi fiskal. Dan otonomi
fiskal antara lain hanya dapat diwujudkan apabila pemerintah pusat member
kesempatan kepada daerah untuk belajar dan meningkatkan kapasitas dalam
mengelola kepajakan. Akan tetapi, seperti halnya setiap unsure pajak ditingkat

nasional, pajak daerah juga harus terapkan secara hati-hati melalui pertimbangan
yang matang. Apabila dulusering terdengar pameo Rakyat bijak taat pajak,maka
kini aparat pemerintah daerah juga harus belajar untuk menciptakanpajak yang
bijak. Harus diakui bahwa dengan pajak yang terlalu rendah pemerintah daerah
akan kesulitan untuk membiayai program-program pembangunan daera secara
otonom.tetapi pajak yng ditarik terlalu tinggi juga akan membebani rakyat dan
justru menghambat pembangunan dan peningkatan kemakmuran secara
keseluruhan. Yang agak mengkhawatirkan dengan kebijakan desentralisasi fiskal
sekarang ini ialah kecendrungan dari aparat pemerintah daerah untuk melakukan
penataan organisasi dengan focus semata-mata pada satuan yang mengasilkan
pemasukan tetapi melupakan tugas-tugas pembangunan dan perbaikan pekayanan
publik di daerah.
Penggunaan dana APBD yang berasal dari bagi-hasil pajak maupun bagi-hasil
SDA juga sering menjadi sorotan banyak pihak. Beberapa daerah yang
memperoleh windfall dari kebijkan desentralisasi fiskal banyak yang masi
bingung menetapkan skala prioritas penggunaan dana tersebut. Selain
digunakanuntuk menambah gaji anggota DPRD, membiayai studi-banding keluar
negeri, membangun kantor dinas pejabat,banyak diantara dana tersebut yang
digunakan untuk pembuatan monumen, pendirian perusahaan penerbangan
daerah, atau proyek-proyek lain yang kurng produktif. Alokasi anggaran derah
untuk proyek-proyek semacam itu sah-sah saja apabilasudah menjadi
kesempakatan antara pemerintah daerah, DPRD dan rakyat setempat. Tetapi
mengingat kondisi ekonomi yang masi memperhatikan dan mengingat bahwa ada
prioritas pembangunan daerah lain yang lebih mendesak, mestinya para pembuat
keputusan diderah lebih berhati-hati dalam menentukan prioritas alokasi anggaran
bagi daerahnya.
Kontroversi Dana Pertimbangan
Tambahan pedapatan yang dapat dari bagi hasil (revenue sharing) adalah
salah satu elemen pnting peningkatan pendapatan pemerinta daerah setelah
dilaksankannya desentralisasi fiskal. Hanya saja seperti telah diperkirakan oleh
banyak pihak sebelumnya, daerah-derah yang diuntungkan oleh bagi-hasil itu
jumlahnya relative sedikit. Dana bagi-hasil itu hanya menguntungkan derahdaerah yang kaya sumberdaya alam (SDA) sedangkan daerah-daerah lain bahkan
yang lebih padat penduduknya dan lebih akut masalah kemiskinannya praktis jika
mendapat apa-apa. Karena memang potensi sumberdaya alam yang tidak merata
diseluruh tanahair, tercatat bahwa bagi-hasil dari sumberdaya alam baru
menguntungkan di empat propinsi , yaitu: kalimatan Timur, Riau, Papua dan
Aceh. Dana perimbangan berupa bagi-hasil untuk daerah yang pada TA 2001
berjumlah Rp 20,3 triliun, pada TA 2002 berjumlah Rp 24,6 triliun dan pada TA
2003 diperkirakan naik lagi menjadi Rp 25,9 triliun itu pemanfaatan nya tetap
akan terbatas pada daerah-daerah yang kaya sumberdaya alam tersebut. Oleh

sebab itu, setelah kebijakan desentralisasi fiskal yang dilakukan bersama-sama


dengan pengadilan status pegawai pemerintah pusat ke daerah, sebagian besar
daerah saat ini tergantung kepada transfer dana penyeimbang (equalization grant)
yang dialokasikan dalam bentuk block grant atau DAU (Dana Alokasi Umum).
Secara konseptual, DAU dialokasikan untuk menutup kesenjangan fiscal
(fiscal gap) yang secara sederhana dapat dirumuskan sebagai selisih antara
kebutuhan fiskal dengan kemampuan fiskal dari setiap daerah. Dalam hal ini DAU
berperan sebagai instrument fiskl untuk mengatasi ketimpangan horisiontal
(horizontal imbalance) dalam kemampuan keuangan antar-daerah yang
diakibatkan oleh kesenjangan PAD, bagi-hasil pajak dan bagi-hasil sumberdaya
alam. Sesuai ketentuan pada UU No.25 tahun 1999 dan PP No.104 tahun 2000
tentang Primbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah,
perhitungan DAU dilakukan berdasarkan pada formula fiscal gap dan beberapa
faktor penyeimbang. PP No. 104 tahun 2000selanjudnya direvisi dengan PP No.84
tahun 2001 yang menetapkan formula DAU sesuai dengan kesepakatan pada
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) pada bulan Agustus 2001.
Berdasarkan kesepakatan ini, formula DAU dihitung dengan faktor-faktor yang
relevan untuk menyeimbangkan keuangan antar daerah. Kemampuan fiskal
dihitung berdasarkan potensi PAD, penerimaan PBB, bagi hasil PPh perseorangan
dan bagi hasil SDA. Selanjudnya kebutuhan fiskal dihitung berdasarkan jumlah
penduduk, luas wilayah, angka kemiskinan relatife dan indeks harga regional.
Untuk mengkaji formula DAU pada TA 2002 dan memperbaiki formula DAU
pada TA 2003, pada bulan Juni lalu Departemen Keuangan telah mengundang
para pakar dari Universitas Syia Kuala, Universitas Andalas, UI, Universitas
Mulawarman, UGB dan Universitas Hasanuddin.
Tetapi kedatipun formula DAU sudah diupayakan agar dirumuskan secara
objektif, pengalaman menunjukkan bahwa tarik-menarik dan konflik kepentingan
antara berbagai pihak berkenaan dengan angka nominal DAU masi tetap terjadi.
Sejumlah daerah menilai bahwa penentuan besarnya DAU masi menguntungkan
daerah tertentu saja, terutama daerah yang besar jumlah penduduk dan luasan
wilayahnya . dari formula yang ada, tampak semakin tinggi PAD suatu daerah
yang diahasilkan maka angka fiscal gap akan semakin besar pula. Selanjudnya ini
akan memperkecil bobot daerah dan akhirnya akanmengurangi jumlah DAU yang
diterima daerah tersebut. Dengan kata lain, daerah yang mampu meningkatkan
PAD seolah-olah justru menerima penalty (hukuman) dari oemerintahan ousat
berupa pemangkasan angka DAU.
Persoalan lain yang menyangkut DAu adalah prioritas alokasinya didaerah .
bagi kebanyakan daerah, sebagian besar dana dari komponen DAU tersedot untuk
membayar gaji pegawai daerah yang jumlahnya membengkak karena adanya
pemindahan pegawai dari pusat ke daerah. Lebih dari 75% dana yang diperoleh
dari DAU di seluruh daerah Indonesia ternyata arus dialokasikan untuk membayar
gaji pegawai. Sisanya haru dibagi-bagi untuk membiayai 20 sektor

pembangunandaerah mualai dari pendidikan , kesehatan, kesejahteraan social,


pembangunan dan renovasi infrastruktur, hingga pembangunan serana ekonomi.
Itulah sebabnya banyak kekwatiran bahwa dengan kebijakan dengan desentralisasi
fiskal sekarang ini dua sektor yang paling mendasar untuk kesejahteraan umum,
yakni pendidikan dan kesehatan, mungkin akan terbengkalai. Dalam hal
pelayanan umum, kebanyakan pemerintah daerah juga kurang memberikan
perhatian yang memadai. Dalam sebuah jajak pendapat mengenai hasil dari
otonomi daerah, diketahui bahwa 38,5% responden mengatakan bahwa kondisi
kesejahteraan masyarakat lebih buruk dan 14,5% mengatakan tetap buruk,
sementara hanya 26,4% yang mengatakan lebih baik serta ada 17,5% mengatakan
tetap baik (kompas, 27 Januari 2002).
Untuk mengatasi masalah tersebut kini telah diupayakan agar didalam
struktur anggaran pemerintah daerah dapat ditambah proporsi specific grant atau
matching grant yang lebih besar. Sesuai ketentuan dalam UU No.25 tahun 1999,
pemberian dana perimbangan yang bersifat earmarked (disertai dengan maksud
untuk membiayai sektor tertentu) itu dapat dilakukan melalui specife grant atau
disebut Dana Alokasi Khusus (DAK). Anggaran untuk tahun 2003 tampaknya
akan mulai mengalokasikan DAK guna membiayai sektor pendidikan dasar serta
serana irigasi. Masalah ialah bahwa sumber dana untuk DAK sampai saat ini
sangat terbatas. Karena itu kemungkinan besar DAk dalm tahun anggaran yang
akan datang inipun masi tetap mengandalkan 40% penerimaan Negara yang
berasal dari dana rebisasi. Secara teoretis sebenarnya sumber-sumber pembiayaan
DAK cukup banyak. Andai kata berbagai bentuk dana nonbudgeter yang
dikelolah oleh departemen-departemen teknis dapat dikumpulkan, penerimaan
Negara yan selanjudnya dapat dialokasikan dalam bentuk DAK akan daoat
ditingkatkan, tetapi sampai sekarang ini tampaknya kebanyakan departemen
teknis masi enggan untuk melaporkan apalagi mengalihkan dana-dana
nonbudgeter tersebut untuk memperkuat APBN. Kemungkinan sumber dana yang
lain yang dapat diharapkan bagi pembiayaan DAK adalah dari Negara-negara
donor melalui perjanjian bilateral. Namun jika alternatif ini ditempuh, sama saja
artinya dengan menambah beban utang negara yang sudah dangat berat.
Sumber lain bagi pembiayaan pembangunan daerah secara otonom adalah
melalui pinjaman daeah. Ada dua alternatif pembiayaan melalui pinjaman yaitu
utang luar-negri atu penerbitan obligasi. Untuk altenatif yang pertama, cukup
banyak daerah yang sesungguhnya telah memiliki pengalaman melakukan
pinjaman sekalipun proporsinya relatif sedikit disalam struktur anggaran daerah.
Kebanyakan pinjaman atau utang itu dilakukan oleh perusahaan milik daerah,
khususnya PDAM. Sayangnya, pengalaman selama ini menunjukkan bahwa
kinerja pemerintah daerah dalam pengelolaan utang tidak cukup
mengesankan.dalam kurun waktu tahun 1978-1999, dapat dilihat bahwa
tunggakan utang daerah tersebut rata-rata mencapai 40%. Selain itu beberapa
analisis menunjukkan bahwa besarnya tunggakan itu terjadi bukan karena

kemampuan fiskal daerah yang lemah tetapi memang karena kurangnya kemauan
daerah untuk melunasi utang pokok berikut bunga tetap pada waktunya. Alternatif
penerbitan obligasi memang karena kurangnya kemauan daerah untuk melunasi
utang poko berikut bunga tepat pada waktunya. Alternatif penerbitan obligasi
memang cukup menarik dan banya daerah yang sebenarnya sudah bersiap-siap
untuk menerbitkan obligasi daerah guna menutup deficit fiskalnya. Namun harus
diakui bahwa tidak ada satupun daerah yang benar-benar punya pengalaman atau
terbukti mampu mengelola obligasi dengan baik. Oleh sebab itu, dengan
pengelamaan pengelolaan utang daerah yang tidak begitu baik, penerbitan obligasi
bias sangat berbahaya bagi daerah yang gegabah.
KOALISI DAN EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PUBLIK
Kendatipun masi banya protes dan ketidak puasan dari berbagai pihak, KPU
telah menetapkan bahwa dua paangan Capres berhak untuk maju ke Pilpres
putaran kedua, yaitu pasangan Sosilo Bambang Yudhoyono(SBY)-Jusuf Kalla dan
Meawati Sukarnoputri-Hasyim Muzadi. Keputusan KPU tersebut tertuang dalam
dalam SK No.79/Sk/KPU/2004 tertanggal 26 Juni, Selasa lau. Maka kini
perhatian public tampaknya beralih kepada kedua pasangan ini untuk dalam
pemilihan presiden yang dijadwalkan 20 September yang akan datang. Salah satu
topic yang menjadi focus perhatian, bahkan sebelum perhitungan fitnal hasil
putaran pertama selesai, adalah kemungkinan koalisi yang akan dilakukan kedua
pasangan Capres dan kedua tim suksesnya, kualisi menjadi kemungkinan yang
tidak terhindarkan mengingat bahwa suara kedua pasangan ini masi jauh dari
moyoritas, pasangan SBY- Kalla dengan 33,57 presiden dan pasangan MegaHasyim dengan26,61 persen.
Satu langkah dari rakyat Indonesia akan membuktikan keinginannya untuk
belajar berdemokrasi melalui Pilpres putaran kedua, pada saat yang sama, kedua
pasangan Capres sedang menjajki koalisi dan tentu akan berjuang habi-habisan
untuk menarik simpati rakyat menjelang putaran kedua ini. Namun yang masi
luput dari perhatian adalah bagaimana konsekuensi dari koalisi anta relit politik
tersebut tarhadap keinginan rakyat pada umumnya. Apakah proses koalisi akan
berdampak pada terciptanya pemerintahan yang efektif dan upaya pemulihan
ekonomi ? mungkin terlalu dini untuk menjawab pertanyaan ini. Tetapi tidak ada
salanya untuk mempertimbangkannya supaya public tidak terlalu kecewa dengan
kecenderungan yang akan terjadi. Berkali-kali Capre Sosilo Bambang yudhoyono
(SBY) menentukan tema pemerintahan yang efektif dalam kampanye Pilpres
putaran pertama. Demikian pula Capres megawati Sukarnoputri, kendatipun tidak
terlalu ekspilisit. Melihat koalisi yang sedang dibangun, perlu dilihat lebih cermat
apakah klaim-klaim politik itu cukup masuk akal.

kabinet
sebagai kosenkuensi dari sitem multiparti yang diterapkan di Indonesia sejak
Pemilu tahun 1999, sistem pembentukan cabinet yang menganut azas presidensial
sebenarnya sudah tidak belaku secara penuh. Ketika membentuk cabinet,
pemerintahan Abdurahman Wahid menyebutnya sebagai Kabinet Persatuan
sedangkan pemerintahan Megawati Sukarnoputri menyambutnya sebagai kabinet
Gotong-Royong. Kedua istilah ini saja sebenarnya sudah mencerminkan bahwa
personil kabinet yang terbentuk adalah Kabiner Pelangi yang merupakan hasil
koalisi dari berbagai kekuatan partai yang ada. Sudah terbukti bahwa kabinet
pelangi ternyata tidak efektif sebagai mesin penghasil kebijakan publik yang
sangat diperlukan dalam situasi ekonomi kita yang suram. Tidak dapat dinafikan
bahwa took-toko politik yang menduduki kursi kabinet itu masi tetap mengusung
agenda dari kekuatan parti yang mengantarkan mereka keposisinya ketimbang
memikirkan apa yang terbaik buat rakyat. Kecendrungan yang sama tampaknya
akan terjadi didalam sistem pemerintahan hasil Pemilu 2004 jika kedua pasangan
Capres hanya memikirkan koalisi tampa mempertimbangkan komitmen, kopetensi
dalam propesionalisme dari took yang akan duduk dikabinet.
ANGGARAN KINERJA
Kalau dibandingkan dengan situasi yang sekarang berlaku, target dan asumsi
yang dipakai untuk RAPBN 2005 yang disampaikan presiden pada pidato
kenegaraan 16 Agustus lalu sulit untuk disebut realistis. Patokan harga minya
ditetapkan 24 dolar/barrel sedangkan saat ini harga dipasar internasional masi
bertengger diata 40 dolar/barrel. Tingkat kurs diasumsikan Rp 86.600 sedangkan
harga di pasar spot masi berkisar Rp 9.200. ekonomi diharapkan tumbuh 5,4
persen ditengah situasi ekonomi global yang diperkirakan justru akan melemah.
Namun tampaknya pemerintah dan DPR punya pertimbangan tersendiri untuk
membuat asumsi dan perkiraan bagi anggaran pemerintahan tahun depan. Situasi
di Indonesia memang terkadang memunculkan keanehan atau bahkan keajaiban.
Setelah selama sekian tahun diterpa oleh hiruk-pikuk reformasi politik, kalangan
pelaku ekonomi sekarang mungkin sudah kebal da tidak terlalu
mempertimbangkan kebisingan politik. Itulah yang mungkin mendasari
optimism bahwa pertumbuhan ekonomi kita akan meningkat dan deficit anggaran
dapat ditekan hingga hanya 0,8 persen dari PDB.
Yang sebenarnya lebih merisaukan adalah efektivitas pemakaian anggaran
atau efisiensi pembiayaan public secara keseluruhan. Adalah ironis bahwa ditngah
siituasi keuangan negara yang sulit, ternyata tingkat kebocoran anggaran justru
menjadi-jadi. Tidak kurang Ketua Bappenas Kwik Kian Gie mengatkan bahwa
masalah pokokdalam pembiayaan publik di Indonesia adalah semakin beratnya
KKN dalam banyak hal. Pemakaian dana publik yang tidak bertanggung jawab
masi saja berlansung, baik dari kalangan eksekutif maupun legislative. Bentuknya
bias bermacam-macam. Dari hal-hal yang kecil seperti penyalagunaan SPPD atau

penggunaan kendaraan dinas diluar kepentingan dinas hingga mark-up dan


proyek, pembebanan biaya administrasi dan kick-back kepada pemegang
tender , atau manipulasi anggaran secara terang-terangan. Dalam jangka pendek,
keseimbangan fiskal sebagai indicator penting memulihan ekonomi mungkin masi
belum tercapai. Dengan kata lain, kita akan menyakskan dalam dua atau tiga
tahun kedepan APBN mungkin akan tetap defisit. Sangat disayangkan bahwa
dalam situasi seperti ini belum ada upaya yang sistematis dari pemerinta untuk
mengerem kebocoran dan meningkatkan efektivitas anggaran publik kita.
PELANGI BERSATU
KABINET pemerintahan baru yang diberi nama cabinet Indonesia Bersatu
telah diumumkan dan dilntik oleh preiden Susilo Babambang Yudhoyono.
Harapan telah terjadi perubahan dalam kualitas hidup masyarakat terletak
dipindak para menteri dalam jajaran cabinet ini. Namun melihat komposisi
cabinet dan alotnya proses penentuan nama-nama menteri, tantangan besar tengah
menanti para anggota cabinet pemerintahan SBY-JL yang baru saja dilantik
tersebut. Kagamangan kalangan bisnis erhadap komposisi tim ekonomi sudah
tercemin menjelang pelantikan cabinet yang ditandai dengn melemahnya rupiah
dipasar spot ke tingkat Rp.9.120 per dolar serta angka IHSG yang turun tipis
dengan 0.06 poin.
Seperti dapat diduga sebelumnya, sekalipun konstitusi tetap menjamin hak
pregatif presiden dalam pembentukan cabinet, ternyata SBY-JK tidk mungkin
bekerja sendiri untuk menetapkan para menteri yang akan membantunya. Pada
saat yag sama, tidak mudah untuk mengakomodasi semua kepentingan dengan
pasis partai Demokrat yang perolehan suaranya dalm Pemilu relatif kecil. Format
kabinet yang telah diumumkan kemarin tetap menganut pola kabinet pelangi.
Kendatipun unsur-unsur dari kalangan professional telah mengisi pos-pos penting,
warna warni partai politik masi sangat kental. Dengan demikian, meskipun dalam
pidato pengantarnya Presiden SBY memberi nama kabinetnya dengan atribut
bersatu, format kabinet itu sesungguhnya lebih tepat untuk disebut sebagai
kabinet pelangi bersatu. Masalahnya adalah bahwa format kabinet pelangi yang
penah diterapkan pada pemerintahan Abdurrahman Wahid maupu Megawati
Sukarnoputri terbukti kurang mampu bekerja secara efektif. Masyarakat yang
sedang memimpinkan perubahn tentunya tidak ingin kecendrungan serupa terjadi
lagi.
Dilihat dari besarnya struktur kabinet, masalah efisien dalam kabinet SBY
tetap menjadi pertanyaan penting. Kabinet ini terdiri dari 34 orang meneteri diluar
beberapa pejabat setingkat materi. Jumlah ini bahkan lebih besar dari Kabinet
Gotong Royong yang dibentuk sebelumnya oleh Megawati. Membengkanya
struktur SBY ini terjadi karna pemecahan Deperindag dan dihidupkannya kembali

atau ditambahkannya beberapa kementrian yaitu komonikasi dan informasi,


perumahan rakyat, pemuda dan olah-raga, dan percepatan daerah tertinggal.
Janji SBY untuk menetapkan empat orang menteri perempuan serta
menteri seorang mentri dari Papua ternyata dipenuhi. Dalam rangka menjamin
keinambungan kerja kabinet dengan pemerintahan sebelumnya, juga masi terdapat
lima orang menteri yang berasal dari pemerintahan Megawati. Menteri-menteri ini
ada yang menempati posisi lama( Hassan Wirayuda, Purnomo Yusgiantoro,
Bactiar Chamsyah) da nada yang menempati posisi baru ( Hatta Radjasa, Yusril
Ihza Mahendra).
Yang juga kelihatan ialah bahwa pengaruh partai-partai politik pendukung
SBY-JK cukup kentara dalam informasi kabinet. Tercatat bahwa ada enam orang
menteri yang masuk Karen jasanya sebagai tim sukses atau pendukung patrai
Demokrat. Kecuali itu terdapat tiga menteri dari PKS, dua menteri dari PBB dan
dua menteri dari PKB, dua took PAN, seorang tokoh PPP dan seorang toko Golkar
yang terpental dari Kualisi Kebangsaan. Presiden tentu saja dapat berargumentasi
bahwa kehadiran para menteri yang punya afsialisi politik ini tidak menduduki
posisi strategis, bahwa posisi penting telah telah diberikan kepada tokoh-tokoh
dengan latar belakang professional. Tetapi mengingat bahwa kekompakan sanga
diperlukan sebuah kabinet, jika para menteri tidakdapat melepaskan atribut
partainya bukan tidak mungkin bahwa afiliasi politik akan terus mengganggu
kinerja kabiet.
SBY-JK telah memulai sebuah tradisi baru dalam hal transparansi
penyusunan kabinet dengan menciptakan prosedur sama cam fit and proper test
sebelum menetapkan nama-nama menterinya. Namun yng menarik adalah begitu
banyak nama orang yang telah dipanggil menghadap ke Cikieas ternyata tidak
mendapat posisi sedangkan beberapa nama yang belum pernah terdengar tiba-tiba
masuk. Yusuf Anwar yang diplot sebagai Menteri keuangan, misalnya, baru
dipanggil pada saat acara buka puasa Rabu petang dan hanya diwawancarai selam
lima menit. Pejabat kerir Depkeu yang kemuian menjabat Direktur Eksekutif
Asian development Bank ini rupanya dipanggil tiba-tiba untuk mengisi
kontroversi seputar menteri ekonomi yng pro atau kontra IMF.
Secara umum bahwa dapat ikatakan formasi tim ekonomi kabinet
SBY_Kalla belum cukup meyakinkan pasar untuk bisa menggerakan ekonomi
nasional yang pertumbuhannya kurang memuaskan. Masi diperlukan konsolidasi
yang efektif antara Menko Ekonomi ( Aburizal Bakrie), Menteri keuangan (Yusuf
Anwar), Menteri Perdagangan (Mari Pengestu), Menteri Perindustrian (andung
Nitimiharja), dan Menteri Perhubungan (Hatta Radjasa) untuk membuktikan
kinerja mereka.
Tetapi dar sisi penegakan hokum dan pemberantasan korupsi, tampaknya
ada harapan yang lebih besar dengan ditunjuknya Abdurrahman Setelah sebagai
Jaksa Agung dan Hamid Awaludin sebagai Menteri hokum dan Hak Asasi
Manusia. Nama Abdurahman Saleh mencuat ketika berkeras menyamoaikan

dissenting opinion dalam vonis atas kasasi MA menyangkut kasus korupsi Bulog
yang melibatkan Akbar Tanjung. Sedangkan Hamid Awaludin adalah toko dari
Makasar yang terkenal konsisten dan merupakan pejabat penegak hokum yang
dikadar oleh almarhum Baharuddin Lopa.
Sebagai mana diakui sendiri oleh presiden ketika mengumumkan susunan
angota kabinetnya, formasi kabinet yang ada sekarang memang tidak mungkin
memuaskan semua pihak. Namun semua rakyat Indonesia tentu terhadap bahwa
kinerja kabinet dari presiden yang telh dipilih secara demokratis ini akan bekerja
lebih baik ketika kabinet sebelumnya. Warna pelangi kabinet diharapkan tidak
akan berpengaruh terlalu besr didalam pekerjaan sehari-hari para menteri.
Untuk bekerjanya kabinet SBY-Kalla secara optimal, setidaknya ada dua
factor yang menentukan. Pertama, figure kepemimpinan SBY yang relatif kuat
akan menjadi titik krusial dalam siding-sidang kebinet. Walaupun para anggota
kabinet punya kecendrungan untuk mengedepankan kepentingan politik partainya
masing-masing, SBY berperan sebagai konsolidator atau mejejer yang baik.
Beberapa dengan Megawati yang cenderung positif dan diam dalam situasi
ketidak pastian, SBY lebih berkemungkinan untuk membuat keputusan secara
tega dan mengikat semua anggota kabinet. Latar belakang meliternya serta
popularitasnya yang telah terbukti pada Pemili dapat membantu mangatasi
pertentangan diantara anggota kabinet. Tentu saja yang diharapkan bukanlah
modal pembuatan keputusan otoriter seperti pada masa Order Baru dimana semua
keputusan praktis berujung pad pendirian Suharto.
Kedua, meskipun kekuatan tim ekonomi didalam kabinet SBY-Kalla
belum cukup terbukti dan mendapatkan respons dan bervariasi, kelemahan ini
dapat dikompensasi dengan stabilitas dan keamanan serta tim penegakkan hokum
yang lebih tangguh. Secara umum eknomi Indonesia sebenarnya sudah tidak
terlalui ditentukan oleh invesatasi dari pemerintah. Yang perlu diperlukan adalah
stabilitas serta pemberantasan korupsi, penyakit yng ekian lama menggerogoti
potensi ekonomi kerakyatan sesungguhnya. Apabila keamanan lebih tejamin dan
korupsi bias diberantas sampai tuntas, iklim invesatasi tentu akan lebih baik dan
pertumbuhan ekonomi dapat dipercepat. Setelah Kejaksaan Agung dan
Kementrian Hukum dan HAM diisi oleh orang-orang yang memiliki integritas dan
keberanian, yang masi ditunggu sekarang adalah sosok Kapolri yang memiliki
kualitas dan komitmen yang sama. Tiga unsur ini-polisi, jaksa dan hakim adalah
pilar utama yang akan efektif dalam memberantas korupsi. Akhirnya, kepada
semua jajaran mentri dikabinet perlu ditanamkn semangat untuk bekerja keras dan
mengabdi kepada rakyat. Ini bukan saat untuk menikmati kursa empuk dikabinet.
Ini adalah saat untuk bekerja dan bekerja.

HUBUNGAN HIERARKIS ANTAR PEMDA


SEPANJANG tahun 2004, hmpir semua perhatian publik dan energy para
petinggin Negara terpusat pada perhelatan besar untuk Pemilu sehingga perubahan
penting yng menyngkut kegiatn aministrasi publik seolah-olah terlewat begitu
saja. Menjelang akhir jabtannya, para anggota DPR priode tahun 1999-2004
meratifikasi revisi undang-undang yang sangat penting dalam kaitannya dengan
kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah, yaitu UU No.22 dan No.25 tahun
1999. Rencana untuk melakukan revisi sebenarnya bahkan sudah terdengar sejak
kedua undang-undang tersebut akan dilaksanakan. Namun karena banyaknya
resistensi dari para akademisi serta para pejabat ditingkat Kabupaten/Kota yang
tegabung dalam Apekasi( Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia),
rencana perubahan itu mengalami pemudaan beberapa kali.
Namun kebutuhan untuk melakukan revisi tampaknya tidakterhindarkan lagi
setelah adanya ketentuan-ketentuan pentung yang termuat didalam amandemen
UUD 1945, terutaman yang berkenan dengan proses demokratisasi didaerah
dengan ketentuan mengenai emilihn Kepala Daerah secara lansung. Kesepakatan
untuk menyelenggarakan pemilihan Kepala Daeah secara lansung. Kesepakatan
untuk menyelenggarakan pemilihan Kepala Daerah secara lansung semakin
menguat setelah terbukti bahwa rakyat Indoesia telah berhasil melaksanakan
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara lansung melalui dua putaran
pemilihan.
Draft untuk melaksanakan revisi pada aalnya bersumber dari dua tim yang
dibentuk oleh dua lembaga yang berbeda. Yang pertama adalah tim yang dimotori
oleh Departemen Dalam Negeri. Draft revisi yang dihasilkan tim Depdagri tesebut
pada dasarnya mengutamakan ketentuan yang memungkinkan kerja sama yang
lebih baik antara Pemerintahan Propinsi dengan Pemerntahan Kabupaten/Kota.
Ketentuan mengenai penghapusan hierarkhi antara provinsi dan kabupaten/kota
yang terdapat didalam UU No.22 tahun 1999 (pasal 4 ayat 2) menjadi titik penting
dari upaya revisi tersebut. Sedangkan draft kedua disusun oleh tim yang dibentuk
oleh para anggota DPR, terutama yang berasal dari Komisi II. Draft revisi dari
DPR itu pada dasarnya mengutamakan jalan masuk untuk revisi melalui
perubahan ketentuan yang menyangkut pemilihan Kepala Daerah. Hambatan poko
bagi pelaksaan demokratitasi di daerah tidak akan mungkin diatasi apabila tida
ada perubahan yang menyangkut pemilihan Kepala Daerah. Belakangan,
tampaknya upaya untuk melaksanakan revisis semakin mengkristal dengan
merunjuk kepada draft perubahan yang disiapkan oleh tim dari DPR. Dari sinilah
kemudian dirafikasi perubahan atas UU no.22 tahun 1999 dan UU No.25 Tahun
1999 yang akhirnya ditantangi oleh presiden dan perubahan menjadi UU No.32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No.33 tahun 2004 tentang
Perimbangan keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam UU No.32 tahun 2004 secara


prinsip masi mengutamakan pentingnya otonomi daerah dalam sistem
pemerintahan nasional di Indonesia. Tetapi pengkajian yang lebih cermat didalam
pasal-pasal undang-undang ini menunjukkakn bahwa terdapat banya perubahan
yang cukup mendasar. Namun beberapa dengan upaya-upaya malakukan revisi
yang telah dicoba sebelumnya, tampaknya revisi undang-undang kali ini tidak
terlalu banyak menimbulkan kontroversi ataupun resistensi dari daerah-daerah di
Indonesia pada umumnya. Berikut ini adalahn hal-hak penting yang termuat
didalam UU hasil revisi tersebut:
1. Ketentuan-ketentuan dalam peraturan dalam perundangan-undangan ni
mengembalikan atas kesatuan daerah. Yang dimaksud adalah bahwa
Kabupaten dan Kota merupakan bagian dan berada didalam wilayah Propinsi.
Dengan demikian tidak ada lagi konotasi bahwa kabupaten dan kota yang
berdiri sendiri dan tidak dalam hubungan hierarki yang sering menyebabkan
kesulitan Gubernur untuk melakukan kordinasi dan kerjasama. Tetapi nuansa
baru in bagian dari pejabat pemerintahan kabupaten/Kota mungkin
menganggap suatu kebebasan untuk mengambil kebijakan dan mengurangi
otoritasnya.
2. Kedudukan DPRD yang sebelumnya ditentukan sebagai Badan dan Legislatif
kini diubah sebagai insur peneyelenggaraan pemerintahan daerah disamping
Kepala Daerah dan Perangkatb Daerah. Tidak mengherankan jika struktur dan
seguence dari pasal-pasal tentang Kepala Daerah. Ini menunjukkan adanya
perubahan dari kewenangan dan kekuasaan DPRD, meskipun DPRD tetap
memiliki fungsi dari legislasi, anggaran dan pengawasan.
3. Undangan-undang ini mengakomodasi begitu banyak pasal tentang pilihan
Kepala Daerah. Tidak kurang dari 63 pasal yang menguraikan mengenai
pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah yang akan dilakukan
secara lansung oleh rakyat didaerah. Ketentuan dengan pemilihan lansung
oleh rakyat didaerah. Ketentuan tentang pemilihan lasung jelas merupakan
langkah maju dalam rangka demokratisasi. Tetapi ketentuan didalam undangundang harus segar ditindaklanjuti dengan pangaturan dalam peraturanperaturan yang tingkatnya lebih rendah.
4. Pasal-pasal mengenai keuangan daerah menetapkan kerangka kebijakan yang
lebih detil. Misalnya saja ketentuan mengenai anggaran surplus dan deficit
sudah diatur dalam undang-undang ini, disamping ketentuan lebih lanjud
tentang undang-undang tentang perimbangan keuangan. Namun
ketidakjelasan mengenai alokasi dana yang masuk kategori block-grant
(DAU) serta ketentuan sebaliknya mengenai specific grant (DAK) masi
belum jelas.
5. Dalam peraturan mengenai administrasi-pemerintahan ditingkat desa, terdapat
perubahan cukup penting. DPD yang selama ini dikenal sebagain Badan
Perwakilan Desa kini dimaknai sebagai Badan Permusyawaraan Desa. Jika

esensi fungsinya tidak berubah, perubahan istilah ini mungkin tidak akan
menghasilkan implikasi yang mendasar. Tetapi jika istilah permusyawaraan
desa kembali diberi makna dengan merujuk kepada Lembaga Musyawarah
Desa seperti bentukan yang dulu, kemungkinan besar akan terjad kemunduran
dalam proses demokratisasi desa yang sesungguhnya selama ini telah berjalan
dengan cukup baik.
Dalam hal pembagian kewewenangang, undang-undang hasil revisi juga
menetapkan beberapa hal baru. Sebagai contoh, telah ditetapkan secara tegas
bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Didalam ketentuan UU No.32 tahun
2004 pasal 13 ayat (1) telah ditetapkan bahwa urusan wajib yamg menjadi
kewenangan Pemerintahan Propinsi terdiri dari 16 (enam belas) yang meliputi:
1. Perencanaan dan pengendalan pembangunan
2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tat ruang
3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
4. Penyediaan saran dan prasarana umum
5. Penanganan bidang kesehatan
6. Penyelenggaraan pendidikan dan elokasi sumberdaya manusia potensial
7. Penanggulangan masalah social lintas Kabupaten/Kota
8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas Kabupaten/Kota
9. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah yang termaksud
lintas Kabupaten/Kota
10. Pengadilan lingkungan hidup
11. Pelayanan pertanahan termaksud lintaskabupaten/Kota
12. Pelayanan kedudukan dan cacatan sipil
13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan
14. Pelayanan administrasi penenaman modal termaksud lintas Kabupaten/Kota
15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan
oleh Kabupaten/Kota
16. Urusan wajib lainnya yang diamatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Kecuali itu ditetapkan bahwa urusan Pemerintahan Prov yang bersifat pilihan
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejah teraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Tampaknya ketentuan mengenai
urusan pilihan akan diataur dalam Peraturan Pemerintah, Keputusan Presinden,
Keputusan Mendagri, atau peraturan yang tingkatnya lebih redah dari pada
undang-undang. Dengan demikian jika situasi didaerah tidak benar-benar unik dan
berbeda dari daerah-derah lainnya, rujukan masi tetap dapat dilakukan kepada PP
No.25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
sebagai Daerah Otonomi sebelum berlakunya peraturan lain yang lebih defintitif.

Selanjudnya, pasal 14 ayat (1) menetapkan bahwa urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintahan kabupaten/ kota.
Apabila hubungan dan komonikasi diantara para Pejabat Pemerintahan
Propinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota terjalin secara baik dan didasari oleh
semangat untuk mengutamakan kesejah teraan rakyat didaerah, kembalinya
ketetapan mengenai kabupaten/kota sebagai kesatuan wilayah dan pro[insi
mungkin tidak akan menjadi masalah. Tetapi jika hubungan antar kedua jenjang
pemerintahan ini kurang harmonis, terdapat kemungkinan bahwa konflik dan
ketidaksinkronan kebijakan pembangunan daerah bias saja muncul. Dalam hal
penagwasan, misalanya, pejabat< Gubernur yang kurang mampu membangun
hubungan sinergis tentu akan mengutamakan hal-hal otoritatif yang terdapat
didalam peraturan perundangan. Di dalam pasal 38 ayat (1) UU No.32 tahun 2004
ditetapkan bahwa Gubernur dalam kedudukannya sebagai mana dimaksud dalam
pasal 37 ( Tugas Gubernur sebagai Wakil Pemerintahan Pusat) memiliki tugas dan
wewenang dalam:
a. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah
Kabupaten/Kota
b. Koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintahan Pusat didaerah propinsi
dan kabupaten/kota
c. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas
pmbantuan di daerah propinsi dan kabupaten/kota
Pnggunaan otoritas kewenangan yang berlebihan, sekalipun telah dijamin
dalam undang-undang sebagai mana ayat diatas, tentu akan merugikan dari segio
pengembangan demokrasi dan otonomi daerah. Oleh karena itu pejabat sitingkat
Gubernur dan Bupati/Walikota hendaknya mensikapi ketentuan mengenai
pengawasan dalam pasal ini secara arif dan bijaksana.

You might also like