You are on page 1of 25

BAB I

PENDAHULUAN

Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi


neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myasthenia adalah bahasa
latin untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau serius. Myasthenia Gravis
termasuk salah satu jenis penyakit autoimun. Menurut kamus kedokteran, penyakit
autoimun itu sendiri adalah suatu jenis penyakit dimana antibodi menyerang jaringanjaringannya sendiri. Myasthenia Gravis dapat menyerang otot apa saja, tapi yang
paling umum terserang adalah otot yang mengontrol gerakan mata, kelopak mata,
mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg
mengontrol gerakan badan serta otot yang membantu pernafasan juga dapat
terserang1,5.
Health Community dalam sebuah website-nya mendefinisikan Myasthenia
Gravis sebagai penyakit autoimun kronis yang berakibat pada kelemahan otot skelet.
Otot-otot skelet adalah serabut-serabut otot yang terdiri dari berkas-berkas atau striasi
(striasi otot) yang berhubungan dengan tulang. Myasthenia Gravis menyebabkan
kelelahan yang cepat (fatigabilitas) dan kehilangan kekuatan pada saat beraktivitas,
dan membaik setelah istirahat3.
Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan
fungsi dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara
konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada
miastenia gravis telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana

antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular telah diinvestigasi lebih


jauh5.
Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang
berbeda-beda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan
imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini. Ironisnya,
beberapa dari terapi ini justru diperkenalkan saat pengetahuan dan pengertian tentang
imunopatogenesis masih sangat kurang5.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi
Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu

kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas4.
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan
pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction,2,4.

2.2

Epidemiologi
Myasthenia Gravis dapat dikatakan sebagai penyakit yang masih jarang

ditemukan. Umumnya menyerang wanita dewasa muda dan pria tua. Penyakit ini
bukan suatu penyakit turunan ataupun jenis penyakit yang bisa menular. Kasus MG
adalah 5-10 kasus per 1 juta populasi per tahun, yang mengakibatkan kelaziman di
Amerika Serikat sekitar 25.000 kasus. MG betul-betul dipertimbangkan sebagai
penyakit yang jarang, artinya MG kelihatannya menyerang dengan sembarangan dan
tanpa disengaja dan tidak dalam hubungan keluarga. Tidak ada kelaziman rasial, tapi
orang-orang yang terkena MG pada usia < 40 tahun, 70 % nya adalah wanita. Yang >
40 tahun, 60 % nya adalah pria. Pola ini sering disimpulkan dengan menyebutkan
bahwa MG adalah penyakit wanita muda dan pria tua. Pada pasien yang mengalami
MG sebagai akibat karena memiliki thymoma, tidak ada kelaziman usia dan jenis
kelamin5.

Menurut James F.Howard, Jr, M.D, kelaziman dari Myasthenia Gravis di


Amerika Serikat diperkirakan sekitar 14/100.000 populasi, kira-kira 36.000 kasus.
Tetapi Myasthenia Gravis dibawah diagnosa dan kelaziman, mungkin lebih tinggi.
Sebelum dipelajari, terlihat bahwa wanita lebih sering terserang dibanding pria. Usia
yang paling umum terserang adalah pada usia 20 dan 30-an pada wanita dan 70 dan
80-an pada pria. Berdasarkan populasi umur, rata-rata usia yang terserang meningkat,
dan sekarang pria lebih sering terserang dibanding wanita, dan permulaan munculnya
tanda-tanda biasanya setelah usia 505.
Pada Myasthenia bayi, janin mungkin memperolah protein imun (antibodi)
dari ibu yang terkena Myasthenia Gravis. Umumnya, kasus-kasus dari Myasthenia
bayi adalah sementara dan gejala-gejala anak-anak umumnya hilang dalam beberapa
minggu setelah kelahiran. Myasthenia Gravis tidak secara langsung diwarisi ataupun
menular. Adakalanya, penyakit ini mungkin terjadi pada lebih dari satu orang dalam
keluarga yang sama5.

2.3

Anatomi, Fisiologis dan Biokimia Neuromuscular Junction

2.3.1 Anatomi Neuromuscular Junction


Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi
dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat
saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa
ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut
neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular9.

Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut
terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat
saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot),
dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction9.
2.3.2 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post
sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina
basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat
dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi6,9.
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin
(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat
diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal
terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate)6,9.
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong
asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke
bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh
tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf
dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan
berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada
membran post sinaptik6,9.
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap
berlangsung dalam 6 tahap, yaitu6:
5

1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan
enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:
Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA
2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang
disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel
dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar
10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps)
akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate
miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat
transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+ yang
sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari
ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial
dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke
dalam rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke
dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang
menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR)
dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2
molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan
mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang
memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan
6

menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end plate.


Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya
dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga
timbul kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh
enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis
rongga sinaps
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di
mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang
akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5
protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta,
dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara
mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari
membran post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial
setempat pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential
(potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi,
maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya
menyebabkan kontraksi otot

2.4

Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada

patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid,
dan lain-lain8.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum
penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah
yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia
gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin
merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis.
Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum
90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata8.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi
yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T
pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ
sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan
gejala miastenik5,8.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai
subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area
8

imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari
asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara
lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan
mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara
menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga
mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor
asetilkolin yang baru disintesis8.

2.5

Manifestasi Klinis
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang

berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang
beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan
kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat4. Gejala klinis miastenia
gravis antara lain4,5 :
a.

Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis


Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing
menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis
otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih
bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi
akan melengkapi ptosis miastenia gravis7. Kelemahan otot bulbar juga sering
terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala4.

b.

Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan


tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke
otot ekstremitas4.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga

mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot
faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan
berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila
penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya4.

2.6

Klasifikasi Miastenia Gravis


Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia

gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut7:


a. Klas I
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan
kekuatan otot-otot lain normal.
b. Klas II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan
pada otot-otot lain selain otot okular.
c. Klas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.

10

d. Klas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan
pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
e. Klas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain
otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
f. Klas IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
g. Klas IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan.
h. Klas IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat,
sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
i. Klas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial.
Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
j. Klas IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-

11

otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding
tube tanpa dilakukan intubasi.
k. Klas V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan
tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejalagejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak
menurun
Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah
ini :
a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk
mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut
menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot
okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.

2.7

Diagnosis Miastenia Gravis

2.7.1 Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis


Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang
berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua

12

anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas
normal4,8.
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot
wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face
dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia
gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice)
serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,
penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta
menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan
penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia
gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita
harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan,
sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher8.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas
lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah.
Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan
sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan
otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan
fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan
melakukan plantarfleksi jari-jari kaki8.
13

Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut,


dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat
sangat

diperlukan.

menyebabkan

Kelemahan

retensi

otot-otot

karbondioksida

interkostal

sehingga

serta

akan

diafragma

berakibat

dapat

terjadinya

hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran


napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia
gravis fase akut sangat diperlukan8.
Biasanya

kelemahan

otot-otot

ekstraokular

terjadi

secara

asimetris.

Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak
hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan
tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan
pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu
pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan
adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi8.
Beberapa test yang dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnose penyakit
Myasthenia Gravis. Test-test yang dapat dilakukan itu antara lain5 :
1.

Test Wartenberg, Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba
test Wartenberg. Penderita diminta untuk menatap tanpa kedip kepada suatu
benda yang terletak diatas dan diantara bidang kedua mata untuk beberapa waktu
lamanya. Pada Myasthenia Gravis, kelopak mata yang terkena akan
menunjukkan ptosis.

2.

Test Prostigmin atau Test Neostigmin, Prostigmin 0.5-1.0 mg dicampur dengan


0.1 mg atropine sulfas kemudian disuntikkan kedalam pembuluh darah penderita
14

(intramuskularis atau subcutan). Test dianggap positif apabila gejala-gejala


kelemahan menghilang dan tenaga membaik. Prostigmin secara oral juga bisa
diberikan sebagai dosis test. Efeknya masih perlahan pada permulaan dan
berakhir lebih dari 2 sampai 3 jam.
Raymon D. Adams, Maurice Victor dan Allan H. Ropper memberikan penjelasan
mengenai test neostigmin sebagai berikut : Neostigmin metilsulfat disuntikkan ke
dalam otot dengan dosis 1.5 mg. Atropin sulfat (0.8 mg) harus diberikan
beberapa menit terlebih dahulu untuk meniadakan efek muskarinik. Neostigmin
mungkin diberikan melalui pembuluh darah dengan dosis 5 mg, tapi penambahan
harus selalu diawali dengan atropine sulfat untuk menyingkirkan bahaya dari
ventricular fibrilitasi dan perhentian jantung. Kemajuan obyektif dan subyektif
terjadi dalam 10 sampai 15 menit, mencapai puncaknya pada 20 menit, dan
berakhir 2 atau 3 jam.
Test yang negatif, tidak meniadakan Myasthenia Gravis tapi ini adalah poin yang
kuat untuk mendiagnosa lagi. Percobaan neostigmin secara oral, 15 mg setiap 4
jam selama sehari, kadang direkomendasikan pada kasus-kasus yang meragukan,
tapi cara ini juga belum teruji akurasinya.
3.

Test Edrophonium Chloride (Tensilon), Test ini akan bermanfaat apabila


pemeriksaan antibodi antireseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil
pemeriksaannya negatif, sementara secara klinis masih tetap diduga adanya
Myasthenia Gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah test 1-2 mg
intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila
ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit),
15

menghilangkan ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih


lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih
lama dari 5 menit. Test ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.
Test

Tensilon

sering

digunakan

untuk

mendiagnosa

MG.

Enzim

asetilkolineterase membongkar asetilkolin (ACh) setelah otot dirangsang,


mencegah perpanjangan respon otot ke impul syaraf tunggal. Edrophonium
chloride (Tensilon) adalah obat yang secara berkala merintangi aksi dari
asetilkolineterase. Pada MG, ada sedikit penerima asetilkolin (AChR) pada otot
dan asetilkoline dihancurkan sebelum bisa secara penuh menstimulasi otot,
sehingga menghasilkan kelemahan otot. Dengan merintangi aksi dari
asetilkolineterase, tensilon memperpanjang stimulasi otot dan secara berkala
memperbaiki kekuatan.
Pada test ini, tensilon diberikan melalui pembuluh darah (ke dalam urat darah
halus) dan respon otot akan dievaluasi. Test Tensilon paling efektif ketika dapat
dengan mudah terlihat kelemahan, dan sedikit kurang berguna untuk yang samarsamar atau keluhan yang turun naik. Efek samping dari test ini adalah secara
temporer membuat irama jantung menjadi abnormal, seperti irama jantung yang
lebih cepat (atrial fibrilasi) dan irama jantung yang lambat (bradicardia).
4.

Test Single Fiber Electromyography (EMG), Serabut otot dirangsang dengan


impul elektrik, bisa juga mendeteksi gangguan syaraf ke transmisi otot. EMG
mengukur potensi elektrik dari sel-sel otot. Serat-serat otot pada MG dan juga
pada penyakit neuromuskular lainnya, tidak memberi respon yang baik pada
rangsangan elektrik yang berulang-ulang dibanding dengan otot-otot pada
16

individu yang normal. Test ini memiliki kesensitifan hingga 95 % secara sistem
dan 84 % pada MG ocular, membuat test ini menjadi yang paling sensitif untuk
penyakit ini.
5.

Test Darah, Test darah dilakukan untuk menentukan tingkatan serum dari
beberapa antibodi (seperti, AChR-pengikat antibodi, AChR-modulasi antibodi,
antitriasional antibodi). Tingkat yang tinggi dari antibodi-antibodi ini dapat
mengindikasikan MG. 80 % dari semua pasien dengan MG memiliki peningkatan
serum antibodi yang tidak normal. Tapi hasil test yang positif, mungkin kurang
disukai oleh pasien dengan MG ocular murni. Peluang untuk menerima hasil test
positif yang salah dari laboratorium yang ternama adalah kecil, akan tetapi garis
batas test-test harus diulang-ulang.

6.

Computed Tomography Scan (CT Scan) atau Magnetic Resonance Imaging


(MRI), Digunakan untuk mengidentifikasi kelenjar thymus yang tidak normal
atau keberadaan dari thymoma.

7.

Pulmory Function Test (Test Fungsi Paru-Paru), Test mengukur kekuatan


pernafasan untuk memprediksikan apakah pernafasan akan gagal dan membawa
kepada krisis Myasthenia.

2.7.2 Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti4,7


2.7.2.1 Pemeriksaan Laboratorium
a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni
17

menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien
thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody
b. Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam
usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40
tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk antiMuSK Ab.
d. Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody
yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung
penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan
ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan
miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu
kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia
gravis.
2.7.2.2 Imaging
a. Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak,
thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.
18

b. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma
ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.
c. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin.
MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada
saraf otak.
2.7.2.3 Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan

elektrodiagnostik

dapat

memperlihatkan

defek

pada

transmisi

neuromuscular melalui 2 teknik :


a. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
b. Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam
serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval
interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan
suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam
oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada
neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal.

19

2.7.3 Diagnosis Banding


Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara
lain8:
1. Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada
beberapa penyakit elain miastenia gravis, antara lain :
a.

Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)

b.

Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring

c.

Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii

d.

Paralisis pasca difteri

e.

Pseudoptosis pada trachoma

2. Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu
sklerosis multipleks.
3. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot
anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif pada otot-otot
ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik
awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali
dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru.
EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek pada
transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi
ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia
gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi
pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan
20

normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik


tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.

2.8
1.

Penatalaksanaan4,5,7
Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin
bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara
lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila
diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau
intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis),
didahului

dengan

pemberian

atropin

0,5-1,0

mg.

Neostigmin

dapat

menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak


segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal,
sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian
antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan
IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi
parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan
pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien
untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat
yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari
krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek

21

muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti
bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.
2.

Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan
diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari
efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap
(5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila
obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala
terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang
berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari,
dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat
segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat
kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara
perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang
efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari.

3.

Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang
baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama
berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu
harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu
pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon
bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.
22

4.

Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan
kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita
beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase
sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera
diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.

5.

Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg
BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat.
Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan
sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang
jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga
penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif
padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada
reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.

23

KESIMPULAN

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena
adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction.
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi
dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Membran
presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah
sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction4.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi
miastenia gravis, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan
reseptor asetilkolin
Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan,
thymomectomy ataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat
memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia gravis.

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, Myasthenia Gravis. Available at:


http://www.myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd. Diakses pada
tanggal 08 April, 2013.
2. Frotscher, M., M. Baehr. 2012. Diagnosis Topik Neurologi DUUS : Anatomi,
Fisiologi, Tanda dan Gejala, Ed. 4. EGC. Jakarta.
3. Howard, J. F. Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.h
tm. Diakses pada tanggal 08 April, 2013.
4. Mardjono, M., 2004. Neurologi Klinis Dasar 9th ed. Dian Rakyat, Jakarta.
5. Miastenia Gravis Indonesia. 2013. http://www.mgindonesia.org/myastheniagravis.html. Diakses pada tanggal 08 April 2013.
6. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A.2008. Biokimia Harper: Dasar Biokimia
Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 29. EGC. Jakarta.
7. Ngoerah, I. G. N. G, 1991. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University
Press.
8. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit ed. 6 vol.2. EGC. Jakarta.
9. Snell, Richard S., 2007. Neuro Anatomi Klinik ed. 5. EGC. Jakarta.

25

You might also like