You are on page 1of 26

BAB I

PENDAHULUAN
Anemia adalah suatu keadaan di mana terjdi penurunan volume/jumlah sel darah merah
(eritrosit) dalam darah atau penurunan kadar hemoglobin (Hb) sampai dibawah rentang nilai
yang berlaku untuk orang sehat, sehingga terjadi penurunan kemampuan darah untuk
menyalurkan oksigen ke jaringan. Dengan demikian anemia bukanlah suatu diagnosis melainkan
pencerminan dari dasar perubahan patofisiologis yang diuraikan dalam anamnesis, pemeriksaan
fisis yang teliti serta pemeriksaan laboratorium yang menunjang. Sekitar 32,8 % siswa Sekolah
Dasar (SD) di Jakarta masih menderita anemia pada tahun 2003. Meski menurun dibandingkan
tahun 2002, yang mencapai angka 49,5 %, ada kecenderungan penderita anemia kambuh lagi jika
tidak ada bimbingan dan penyuluhan soal gizi kepada masyarakat.
Manifestasi klinis yang timbul tergantung pada kecepatan timbulnya anemia, umur
individu, mekanisme kompensasi tubuh seperti : peningkatan curah jantung dan pernapasan,
meningkatkan pelepasan oksigen oleh hemoglobin, mengembangkan volume plasma, redistribusi
aliran darah ke organ-organ vital. Tingkat aktivitasnya, keadaan penyakit yang mendasari, dan
parahnya anemia tersebut.
Anemia dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian berdasarkan etiologinya:
1. Anemia defisiensi
Anemia yang terjadi akibat kekurangan faktor-faktor pematangan eritrosit, seperti
defisiensi besi, asam folat, vitamin B12, protein, piridoksin dan sebagainya.
2. Anemia aplastic
Anemia yang terjadi akibat terhentinya proses pembuatan sel darah oleh sumsum tulang.
3. Anemia hemoragik
Anemia yang terjadi akibat proses perdarahan masif atau perdarahan yang menahun.

4. Anemia hemolitik
Anemia yang terjadi akibat penghancuran sel darah merah yang berlebihan. Bisa bersifat
intrasel seperti pada penyakit talasemia, sickle cell anemia/ hemoglobinopatia, sferosis
kongenital, defisiensi G6PD atau bersifat ektrasel seperti intoksikasi, malaria,
inkompabilitas golongan darah, reaksi hemolitik pada transfusi darah.
Sedangkan berdasarkan morfologi dikenal tiga klasifikasi besar :
1. Anemia normositik normokrom, di mana ukuran dan bentuk sel-sel darah merah normal
serta mengandung hemoglobin dalam jumlah normal (MCV dan MCHC normal atau
normal rendah) tetapi individu menderita anemia. Penyebab anemia jenis ini adalah
kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronik termasuk infeksi, gangguan endokrin,
gangguan ginjal, kegagalan sumsum dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada
sumsum tulang.
2. Anemia makrositik normokrom. Makrositik berarti ukuran sel-sel darah merah lebih
besar dari normal tetapi normokrom karena konsentrasi hemoglobinnya normal (MCV
meningkat; MCHC normal). Hal ini diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya sintesis
asam nukleat DNA seperti yang ditemukan pada defisiensi B12 dan atau asam folat.
3. Anemia mikrositik hipokrom. Mikrositik berarti kecil, hipokrom berarti mengandung
hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal (MCV rendah; MCHC rendah). Hal
ini umumnya menggambarkan insufisiensi sintesis hem (besi), seperti pada anemia
defisiensi besi, keadaan sideroblastik dan kehilangan darah kronik, atau gangguan sintesis
globin, seperti pada talasemia (penyakit hemoglobin abnormal congenital).
Tanda dan gejala yang sering timbul adalah sakit kepala, pusing, lemah, gelisah,
diaforesis (keringat dingin), takikardi, sesak napas, kolaps sirkulasi yang progresif cepat atau
syok, dan pucat (dilihat dari warna kuku, telapak tangan, membran mukosa mulut dan
konjungtiva). Selain itu juga terdapat gejala lain tergantung dari penyebab anemia seperti
jaundice, urin berwarna hitam, mudah berdarah dan pembesaran lien.

Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti


pemeriksaan sel darah merah secara lengkap, pemeriksaan kadar besi, elektroforesis hemoglobin
dan biopsi sumsum tulang.
Untuk penanganan anemia diadasarkan dari penyakit yang menyebabkannya seperti jika
karena defisiensi besi diberikan suplemen besi, defisiensi asam folat dan vitamin B12 dapat
diberikan suplemen asam folat dan vitamion B12, dapat juga dilakukan transfusi darah,
splenektomi, dan transplantasi sumsum tulang.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.

Eritrosit
Eritrosit mengandung hemoglobin (Hb) yang mengangkut oksigen. Banyaknya oksigen

yang diterima oleh jaringan bergantung kepada kadar fungsi Hb yang tersedia, pola aliran darah
yang efektif, dan keadaan jaringan serta cairan yang menerima oksigen itu. Tiga variable utama
yang berikatan dengan hal ini adalah kadar hemoglobin dalam darah (dalam gram/dL),
hematocrit (Ht) atau persen eritrosit dalam seluruh volume darah, dan jumlah absolut eritrosit
dalam darah (dalam juta per mm 3 darah). Dalam pemeriksaan laboratorium eritrosit dikenal tiga
indeks eritrosit rata-rata, terdiri dari Volume Eritrosit Rata-rata (Mean Corpuscular
Volume/MCV), Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (Mean Corpuscular Hemoglobin/MCH), dan
Konsentrasi

hemoglobin

Eritrosit

Rata-rata

(Mean

Corpuscular

Hemoglobin

Concentration/MCHC). MCV didapat dengan membagi Ht dengan jumlah eritrosit (satuan


mikrokubik atau femtoliter dalam SI), MCH didapat dengan membagi kadar Hb dengan jumlah
eritrosit (satuan pikogram), sedangkan MCHC dihitung dengan membagi kadar Hb dengan Ht
(dalam gram/dL). Umur eritrosit berkisar hingga 120 hari.
II.

Hemoglobin
Bagian-bagian molekul Hb mempunyai jalur pembentukan yang berbeda. Setiap molekul

Hb tersusun atas 4 kandungan hem yang identic dan terikat pada 4 rantai globin yang terdiri dari
2 rantai alfa dan 2 rantai lagi berlainan sesuai dengan jenis Hb yaitu : rantai beta untuk HbA,
rantai delta untuk HbA2, dan rantai gama untuk HbF. Pembentukan hem terjadi bertahap.
Dimulai dengan pembentukan kerangka porfirin, di mana porfirin tersusun atas 4 cincin pirol
yang tersusu simetris. Sintesis porfirin dimulai dengan penyususnan rantai karbon (C) yang
lurus, kemudian membentuk cincin. Setelah beberapa perubahan dan pertukaran komponennya,

keempat cincin pirol berikatan membentuk protoporfirin yang tidak mengandung besi. Setelah
kerangka porfirin terbentuk, protoporfitin berikatan dengan besi menghasilkan hem.
I.

Anemia Defisiensi
Anemia defisiensi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan satu atau beberapa bahan

yang diperlukan untuk pematangan eritrosit, seperti defisiensi besi, asam folat, vitamin B12,
protein, piridoksin dan sebagainya. Anemia defisiensi dapat diklasifikasikan menurut morfologi
dan etiologi menjadi 3 golongan :
a. Mikrositik Hipokrom
Mikrositik berarti sel darah merah berukuran kecil, dibawah ukuran normal (MCV<80 fL).
Hipokrom berarti mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal (MCHC
kurang). Hal ini umumnya menggambarkan defisiensi besi, keadaan sideroblastik dan kehilangan
darah kronik atau gangguan sintesis globin seperti pada penderita talasemia. Dari semua itu
defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia di dunia.
Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang disebebkan oleh kurangnya besi yang
diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Anemia ini merupakan penyakit yang sering pada bayi
dan anak yang sedang dalam proses pertumbuhan dan pada wanita hamil yang keperluan besinya
lebih besar dari orang normal. Jumlah besi dalam badan orang dewasa adalah 4-5 gr sedang pada
bayi 400 mg, yang terdiri dari : masa eritrosit 60 %, feritin dan hemosiderin 30 %, mioglobin 510 %, hemenzim 1 %, besi plasma 0,1 %. Kebutuhan besi pada bayi dan anak lebih besar dari
pengelurannya karena pemakaiannya untuk proses pertumbuhan, dengan kebutuhan 8 mg/hari
sampai 10 mg/hari.
Besi diabsorsi dalam usus halus (duodenum dan yeyenum) proksimal. Besi yang
terkandung dalam makanan ketika dalam lambung dibebaskan menjadi ion fero dengan bantuan
asam lambung (HCL). Kemudian masuk ke usus halus dioksidasi menjadi bentuk feri, sebagian
disimpan sebagai senyawa feritin dan sebagian lagi masuk ke peredaran darah berikatan dengan

1 globulin membentuk transferin yang berfungsi untuk mengangkut besi dan selanjutnya
didistribusikan ke dalam jairngan hati, limpa, dan sumsum tulang serta jaringan lain untuk
disimpan sebagai cadangan besi tubuh.
Berikut bagan metabolisme besi :

Adapun sumber besi dapat diperoleh dari

makanan seperti : hati, daging telur, buah, sayuran yang mengandung klorofil, terkadang
untuk menghindari anemia defisiensi besi kedalam susu buatan atau tepung untuk
makanan bayi ditambahkan kandungan besi namun terkadang dapat menimbulkan
terjadinya hemokromatosis.

Cadangan besi dalam tubuh


o
o

Bayi normal/sehat cadangan besi cukup untuk 6 bulan


Bayi prematur cadangan besi cukup untuk 3 bulan

Ekskresi besi dari tubuh sangat sedikit bisa melalui urin, tinja, keringat, sel kulit yang terkelupas
dan karena perdarahan (menstruasi) sangat sedikit. Sedangkan besi yang dilepaskan pada
pemecahan hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk kembali ke dalam iron pool
dan digunakan lagi untuk sintesa hemoglobin.

Pengeluaran besi dari tubuh yang normal :

Bayi
0,3 0,4 mg.hari
Anak 4-12 tahun
0,4 1 mg/hari
Laki-laki dewasa
1 1,5 mg/hari
Wanita dewasa 1 2,5 mg/hari
Wanita hamil
2,7 mg/hari

Etiologi
1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis
o Pertumbuhan
Pad bayi premature dan pada usia pertumbuhan cepat (pada satu tahun pertama
dan masa remaja).
Menstruasi
2. Kurangnya besi yang diserap
o Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat
Pda satu tahun pertama kehidupan, bayi membutuhkan makanan yang banyak
o

mengandung besi. Pada bayi cukup bulan kebutuhan besi yang diserap kurang
lebih 200 mg pada satu tahun pertama (0,5 mg/hari). Pada bayi yang mendapatkan
ASI eksklusif lebih jarang ditemukan kekurangan besi pada enam bulan pertama,
hal ini disebabkan besi yang terkandung dalam ASI lebih mudah diserap (40%)
o

dibandingkan besi yang terkandung dalam susu formula (10%).


Malabsorpsi besi
Keadaan ini terjadi pda anak kurang gizi yang mukosa usunya mengalami
perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang telah mengalami
gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB walaupun penderita
mendapatkan cukup besi. Asam lambung yang berkurang jumlahnya, serta
makanan lebih cepat melewati usus halus bagian atas menjadi alas utama

kurangnya penyerapan besi heme dan non heme.


3. Perdarahan
Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan
darah sebanyak 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, kehilangan
darah 3 sampai 4 ml/hari (1,5-2 mg besi) dapat mengakibatkan keseimbangan
negative besi. Perdarahan yang terjadi dapat berupa perdarahan saluran cerna,
milk induced enteropathy, ulkus peptikum, perdaraha akibat obat-obatan (asam

asetil salisilat, kortikosteroid, indometasin, NSAID), dan cacing (Ancylostoma


duodenale dan Necator americans).
4. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB pda akhir
masa fetus dan awal usia neonatus.
5. Hemoglobinuria
Ditemukan pada anak dengan katup jantung buatan.
6. Iatrogenic blood loss
Pada anak yang banyak diambil darah vena untuk pemeriksaan laboratorium.
7. Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Penyakit yang jarang terjadi ini ditandai dengan perdarahan paru yang hebat dan
berulang, serta adanya infiltrat pada paru yang hilang timbul. Keadaan ini dapat
menurunkan Hb drastic hinggal 1,5 sampai 3 g/dL dalam 24 jam.
8. Latihan yang berlebihan
Terjadi pada atlet yang berolahraga berat seperti lintas alam. Perdarahan saluran cerna
yang tidak tampak sebagian akibat iskemia yang hilang timbul pada usus selama latihan
berat terjadi pda 50% pelari.
Patofisiologi
ADB terjadi akibat keseimbangan negative besi yang berlangsung lama. Terdapat tiga tahapan
defisiensi besi,yaitu :
1. Iron depletion atau Storage iron deficiency
DItandai dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi.
Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada saat ini terjadi
peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun, pemeriksaan lain untuk
mengetahui kurangnya besi masih normal.
2. Iron deficient erythropoietin atau Iron limited erythropoiesis
Didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoesis. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai besi serum yang menurun dan saturasi
transferrin menurun, sedangkan total iron binding capacity (TIBC) dan free erythrocyte
porphyrin (FEP) meningkat.
3. Iron deficiency anemia
Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga
terjadi penurunan kadar Hb. Pada gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan
hipokromik yang progresif.

Tabel 1. Tahapan kekurangan besi


Hemoglobin

Cadangan besi (mg)


Fe serum (ug/dL)
TIBC (ug/dL)
Saturasi transferrin (%)
Ferritin serum (ug/dL)
Sideroblas (%)
FEP (ug/dL eritrosit)
MCV

Tahap 1
(normal)

Tahap 2
(sedikit

< 100
Normal
360-390
20-30
< 20
40-60
> 30
normal

menurun)
0
< 60
> 390
< 15
< 12
< 10
> 100
normal

Tahap 3
(mikrositik/
hipokromik)
0
< 40
> 410
< 10
< 12
< 10
>200
menurun

Gejala klinis
Manifestasi klinis dari ADB terjadi perlahan, biasanya tidak diperhatikan baik oleh
penderita ataupun keluarganya. Pada diagnosis ringan, ADB ditegakkan hanya dari temua
laboratorium saja. Pda umumnya gejala yang disadari adalah pucat. Pada penderita dengan kadar
Hb 6-10 mg/dL terjadi mekanisme kompensasi efektif sehingga gejala anemia hanya bersifat
ringan. Sedangkan pada saat kadar Hb turun < 5 g/dL terlihat gejala iritabel dan anoreksia yang
lebih jelas. Apabila anemia terus berlanjut dapat terjadi takikardi, dilatasi jantung, dan murmur
sistolik. Namun kadang-kadang dengan kadar Hb < 3-4 g/dL pasien tidak mengeluh karena
sudah terjadi mekanisme kompensasi, sehingga beratnya gejala klinis sering tidak sesuai dengan
kadar Hb.
Beberapa gejala non-hematologik yang dapat terlihat antara lain :

Perubahan sejumlah epitel yang menimbulkan kelainan seperti koilonikia (bentuk kuku
konkaf atau spoon-shaped nail), atrofi papil lidah, postcricoid oesophageal webs dan

perubahan mukosa lambung dan usus.


Intoleransi latihan : penurunan aktivitas kerja dan daya tahan tubuh
Termogenesis abnormal : ketidakmampuan tubuh untuk mempertahankan suhu tubuh
normal saat udara dingin

Daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun diakibatkan fungsi leukosit yang tidak
normal. Pada penderita ADB kemmapuan neutrophil memiliki kemampuan fagositosis
tetapi kemampuan untuk membunuh E. coli dan S. aureus menurun.

Laboratorium
Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain :
o
o
o
o

pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, leukosit, trombosit)


pemeriksaan indeks eritrosit, retikulosit, morofolgi darah tepi
pemeriksaan status besi (Fe serum, TIBC, saturasi transferrin, FEP, ferritin)
apusan sumsum tulang

Pemeriksaan HB dan atau Ht merupakan hal pertama untuk menentukan pemeriksaan


lanjutan dalam diagnosis ADB. Selain itu nilai indeks eritrosit MCV, MCH, dan MCHC juga
menurun sejajar dengan penurunan Hb. Jumlah retikulosit biasanya normal, tetapi pada keadaan
berat akibat perdarahan jumlahnya meningkat. Pada gambaran morfologi darah tepi ditemukan
keadaan hipokromik, mikrositik, anisositosis, dan poikilositosis (dapat ditemukan sel pensil, sel
target, ovalosit, mikrosit, dan sel fragmen).
Pada pemeriksaan leukosit biasa dalam batas normal, tetapi pada ADB yang berlangsung
lama dapat ditemukan granulositosis, dan pada anemia karena cacing sering ditemukan
eosinophilia. Pada pemeriksaan trombosit didapatkan peningkatan 2-4 kali dari nilai normal.
Trombositosis hanya terjadi pda penderita dengan perdarahan massif. Apabila terjadi
trombositopenia kemungkinan anemia yang terjadi adalah anemia yang sangat berat.
Pada pemeriksaan status besi dilakukan pemeriksaan Fe serum untuk menentukan jumlah
besi yang terikat pada transferrin dan pada penderita ADB didapatkan nilai serum yang menurun.
Pemeriksaan TIBC dilakukan untuk mengetahui jumlah transferrin yang berada dalam sirkulasi
dalam darah, pada penyakit ini ditemukan nilai TIBC yang meningkat. Saturasi transfertin dapat
diketahui dengan menghitung Fe serum/TIBC x 100%, nilai ini menggambarkan suplai besi ke
eritroid sumsum tulang dan sebagai penilaian terbaik untuk mengetahui pertukaran besi antara
plasma dan cadangan besi dalam tubuh. Bila nilai < 16% menunjukkan suplai besi yang tidak
adekuat untuk mendukung eritropoesis. Nilai saturasi transferrin (ST) < 7%, diagnosis ADB

dapat ditegakkan, sedangkan pada kadar 7-16% dapat dipakai untuk mendiagnosis ADB
didukung oleh nilai MCV yang rendah atau pemeriksaan lainnya. Kadar FEP ditentukan muntuk
mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid sumsum tulang, karena pada pembentukan
eritrosit akan dibentuk cincin porfirin sebelum besi terikat untuk membentuk heme. Bila
penyediaan besi tidak adekuat menyebabkan terjadi penumpukan porfirin dalam sel. Nilai FEP >
100mg/dL eritrosit menunjukkan adanya ADB. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi ADB lebih
dini. Apabila terjadi peningkatan FEP dan penurunan ST, merupakan tanda ADB yang progresif.
Kadar ferritin serum dihitung untuk menunjukkan jumlah cadangan besi tubuh. Bila ferritin
kurang dari 10-12 ug/dL menunjukkan telah terjadi penurunan cadangan besi dalam tubuh.
Diagnosis
Beberapa kriteria diagnosis untuk menentukan anemia defisiensi besi :
1. WHO

Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia


Ht < 31% (N : 32-35%)
Kadar Fe serum < 50ug/dL (N: 80-180 ug/dL)
Saturasi transferrin < 15 % (N : 20-50%)

2. Cook and Monsen


Anemia hipokrom mikrositik
Saturasi transferrin < 16%
Nilai FEP > 100ug/dL eritrosit
Kadar ferritin serum 12 ug/dL
Minimal 2 dari 3 kriteria (ST, ferritin, dan FEP harus dipenuhi)
3. Lanzkowsky
Hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan kadar MCV, MCH, dan MCHC

yang menurun
Red cell distributuion width > 17%
FEP meningkat
Feritin serum menurun
Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < 16%
Respon tubuh terhadap pemberian preparat besi
o Retikulosit mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian besi
o Kadar hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0.4 g/dL/hari atau Ht
meningkat 1%/hari
Sumsum tulang

o Tertundanya maturasi sitoplasma


o Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi, atau besi berkurang
Cara lain untuk menentukan adanya ADB adalah dengan trial pemberian preparat besi.
Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya anemia subklinis dengan melihat respons Hb
terhadap pemberian preparat besi. Prosedurnya sangat mudah, praktis, sensitive, dan ekonomis
terutama pada anak yang berisiko tinggi menderita ADB. Bila dengan pemberian preparat besi
dosis 6 mg/kg/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar Hb 1-2 g/dL maka dapat
dipastikan bahwa penderita mengalami ADB.
Selain anemia defisiensi besi, ada keadaan lain dimana gambaran morfologi darah tepinya
menggambarkan anemia hipokrom mikrositik, antara lain talasemia minor dan anemia karena
penyakit kronis.
Tabel 2. Pemeriksaan laboratorium untuk membedakan ADB
Pemeriksaan lab
MCV
Fe serum
TIBC
Saturasi trasnferin
FEP
Feritin serum

ADB
Menurun
Menurun
Meningkat
Menurun
Meningkat
Menurun

Talasemia minor
Menurun
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal

Anemia penyakit kronis


Normal/ menurun
Menurun
Menurun
Menurun
Normal/ meningkat
Menurun

Tatalaksana
1. Pemberian preparat besi
Per oral
Preparat yang tersedia berupa ferrous glukonat, fumarat, dan suksinat. Yang sering
dipakai adalah ferrous sulfat karena harganya yang murah. Untuk penyerapan sama
baik ferrous glukonat, fumarat, maupun suksinat. Untuk bayi tersedia preparat besi
tetes (drop). Untuk mendapatkan respons pengobatan diberikan 4-6 mg besi
elemental/kg/hari. DOsis obat dihitung berdasarkan besi elemental yang ada dalam
garam ferrous. Pada ferrous sulfat mengandung 20% besi elemental. Dosis yang
terlalu besar akan menimbulkan efek samping pada pencernaan dan tidak

memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat. Absorpsi besi terbaik adalah saat
lambung kosong, diantara dua waktu makan, tetapidapat memberikan efek pada
saluran cerna. Untuk mengatasinya pemberian besi dapat diberikan saat makan atau
segera setelah makan meskipun akan mengurangi absorpsi obat sekitar 40-50%. Obat
diberikan dalam 2-3 dosis sehari. Preparat besi harus diberikan selama 2 bulan terusmenerus setelah anemia teratasi.

Parenteral
Pemberian preparat secara intramuscular (IM) menimbulkan rasa sakit dan biayanya
mahal. Dapat juga menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi.
Kemampuan untuk meningkatkan Hb tidak lebih baik disbanding per oral. Preparat

yang sering dipakai adalah dekstran besi, dosis dihitung berdasarkan :


Dosis besi (mg) = BB(kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dL) x 2,5
2. Transfusi darah
Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan anemia yang sangat berat atau
disertai dengan infeksi yang dapat mempengaruhi respons terapi. Koreksi anemia berat
dengan transfuse tidak perlu secepatnya, malah akan membahayakan karena dapat
menyebabkan hipovolemia dan dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan secara
perlahan dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman
sambil menunggu kadar respon terapi besi. Secara umum, untuk penderita anemia berat
dengan kadar Hb < 4 g/dL hanya diberikan PRC dosis 2-3 ml/kgBB per satu kali
pemberian disertai pemberian diuretic seperti furosemide. Jika terdapat gagal jantung
yang nyata dapat dipertimbangkan pemberian transfuse tukar menggunakan PRC yang
sehat. Untuk menghitung kebutuhan transfusi dapat dihitung dengan cara :
(Hb target Hb pasien) x BB (kg) x jenis darah
Jenis darah : darah yang dibutuhkan
PRC dikalikan 3
WB dikalikan 6
3. Pencegahan
Untuk pencegahan ADB dapat dilakukan beberapa hal pada awal masa kehidupan :
Meningkatkan ASI eksklusif

Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun sehubungan dengan resiko

terjadinya perdarahan saluran cerna yang tersamar pada beberapa bayi


Memberikan makanan pada bayi yang mengnadung besi serta makanan yang kaya
dengan asam askorbat (jus buah) pada usia 4-6 tahun (saat memperkenalkan

makanan padat)
Memberikan suplementasi Fe kepada bayi kurang bulan
Pemakaian PASI yang mengandung besi.

Secara umum, untuk mencegah kekurangan besi dapat dilakukan hal berikut :

Meningkatkan konsumsi Fe dari sumber alami terutama hewani yang mudah


diserap, ditambahn dengan konsumsi makanan yang mengandung vitamin C dan

A.
Menambah masukan besi ke dalam makanan sehari-hari.
Suplementasi besi.

b. Makrositik Normokrom (Megalobalstik)


Makrositik berarti ukuran sel darah merah lebih besar dari normal tetapi normokrom karena
konsentrasi hemoglobin normal (MCV >100 fL, MCHC normal). Hal ini diakibatkan oleh
gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNA seperti yang ditemukan pada defisiensi
B12 dan atau asam folat.
1. 1. Anemia Defisiensi Asam Folat
Asam folat adalah bahan esensial untuk sintesis DNA dan RNA. Jumlah asam folat dalam tubuh
berkisar 6-10 mg, dengan kebutuhan perhari 50mg. Asam folat dapat diperoleh dari hati, ginjal,
sayur hijau, ragi. Asam folat sendiri diserap dalam duodenum dan yeyenum bagian atas, terikat
pada protein plasma secara lemah dan disimpan didalam hati. Tanpa adanya asupan folat,
persediaan folat biasanya akan habis kira-kira dalam waktu 4 bulan. Berikut metabolisme asam
folat :

etiologi

kekurangan masukan asam folat

gangguan absorpsi

kekurangan faktor intrinsik seperti pada anemia pernisiosa dan postgastrektomi

infeksi parasit

penyakit usus dan keganasan

obat yang bersifat antagonistik terhadap asam folat seperti metotrexat

gejala klinis

pucat

lekas letih dan lemas

berdebar-debar

pusing dan sukar tidur

tampak seperti malnutrisi

glositis berat (radang lidah disertai rasa sakit)

diare dan kehilangan nafsu makan

laboratorium

Hb menurun, MCV >96 fL

Retikulosit biasanya berkurang

Hipersegmentasi neutrofil

Aktivitas asam folat dalam serum rendah (normal antara 2,1-2,8 mg/ml)

SSTL eritropoetik megaobalstk, granulopoetik, trombopoetik

Terapi

Asam folat 3X5 mg/hari untuk anak

Asam folat 3X2,5 mg/hari untuk bayi

Atasi faktor etiologi

2. Anemia Defisiensi Vitamin B12


Dihasilkan dari kobalamin dalam makanan terutama makanan yang mengandung sumber hewani
seperti daging dan telur. Vitamin B12 merupakan bahan esensial untuk produksi sel darah merah
dan fungsi sistem saraf secara normal. Anemia jenis ini biasanya disebabkan karena kurangnya
masukan, panderita alkoholik kronik, pembedahan lambung dan ileum terminale, malabsorpsi
dan lain-lain. Adapun gejala dari penyakit ini berupa penurunan nafsu makan, diare, sesak napas,
lemah, dan cepat lelah. Untuk pengobatannya dapat diberikan suplementasi vitamin B12.
c. Anemia Dimorfik
Suatu campuran anemia mikrositik hipokrom dan anemia megaloblastik. Biasanya disebabkan
oleh defisiensi dari asam folat dan besi. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan :

hipokrom makrositik

mikrositik normokrom

MCV, MCH, MCHC mungkin normal

SI menurun sedikit

IBC agak menurun

SSTL terlihat gejala campuran dari kedua jenis anemia

Untuk terapi dapat diberikan : preparat besi dan asam folat


II. Anemia Aplastik / Pansitopenia
Keadaan yang disebabkan berkurangnya sel-sel darah dalam darah tepi sebagai akibat
terhentinya pembentukan sel hemapoetik dalam SSTL, sehingga penderita mengalami
pansitopenia yaitu kekurangan sel darah merah, sel darah putih dan trombosit.Secara morfologis
sel-sel darah merah terlihat normositik dan normokrom, hitung retikulosit rendah atau hilang,
biopsi sumsum tulang menunjukkan keadaan yang disebut pungsi kering dengan hipoplasia yang
nyata dan terjadi penggantian dengan jaringan lemak. Anemia aplastik dapat dibedakan menjadi
2 yaitu :
1. Kongenital
Timbul perdarahan bawah kulit diikuti dengan anemia progresif dengan clinical onset 1,5-22
tahun, rerata 6-8 tahun. Salah satu contoh adalah sindrom fanconi yang bersifat constitusional
aplastic anemia resesif autosom, pada 2/3 penderita disertai anomali kongenital lain seperti
mikrosefali, mikroftalmi, anomali jari, kelainan ginjal, perawakan pendek, hiperpigmentasi kulit.
1. Didapat
disebabkan oleh :

radiasi sinar rontgen dan sinar radioaktif

zat kimia seperti benzena, insektisida, As, Au, Pb

obat seperti kloramfenikol, busulfan, metotrexate, sulfonamide, fenilbutazon.

Individual seperti alergi

Infeksi seperti IBC milier, hepatitis

Lain-lain seperti keganasan, penyakit ginjal, penyakit endokrin

Yang paling sering bersifat idiopatik

Pucat, lemah, anorexia, palpitasi

Sesak napas karena gagal jantung

Aplasi sistem hematopoetik seperti ikterus, limpa/hepar membesar, KGB membesar

Anemia karena eritropoetik menurun

Perdarahan oleh karena trombopoetik menurun

Rentan terhadap infeksi oleh karena granulopoetik menurun

Bersifat berat dan serius

retikulositopenia,Hb,Ht, eritrosit menurun


trombositopenia
netropenia

Gejala klinis
Laboratorium

Anemia hipokrom normositik dan makrositik

Retikulosit menurun

Leukopenia

Trombositopenia

Kromosom patah

SSTL hipoplasia / aplasia yang diganti oleh jaringan lemak atau jaringan penyokong

Terapi

Prednison /kortikosteroid 2-5 mg/KgBB/hari secara oral

Androgen/testosteron 1-2 mg /KgBB/ hari secara parenteral

Transfusi darah bila perlu

Pengobatan terhadap infeksi sekunder

Makanan lunak

Istirahat

Transplantasi sumsum tulang pada pasien muda, antithymocyte globulin (ATG) untuk
pasien tua.

III. Anemia Hemolitik


Pada anemia hemolitik umur eritrosit menjadi lebih pendek (normal umur eritrosit 100-120 hari).
Gejala umum penyakit ini disebabkan adanya penghancuran eritrosit sehingga dapat
menimbulkan gejala anemi, bilirubin meningkat bila fungsi hepar buruk dan keaktifan sumsum
tulang untuk mengadakan kompensasi terhadap penghancuran tersebut (hipereaktif eritropoetik)
sehingga dalam darah tepi dijumpai banyak eritrosit berinti, retikulosit meningkat, polikromasi,
bahkan eritropoesis ektrameduler. Adapun gejala klinis penyakit ini berupa : menggigil, pucat,
cepat lelah, sesak napas, jaundice, urin berwarna gelap, dan pembesaran limpa. Penyakit ini
dapat dibagi dalam 2 golongan besar yaitu :
a. Gangguan Intrakorpuskular (kongenital)
Kelainan ini umumnya disebabkan oleh karena ada gangguan dalam metabolisme eritrosit
sendiri. Dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
1. Gangguan pada struktur dinding eritrosit

Sferositosis

Umur eritrosit pendek, bentuknya kecil, bundar dan resistensi terhadap NaCl hipotonis menjadi
rendah. Limpa membesar dan sering disertai ikhterus, jumlah retikulosit meningkat. Penyebab
hemolisis pada penyakit ini disebabkan oleh kelainan membran eritrosit. Pada anak gejala
anemia lebih menyolok dibanding dengan ikhterus. Suatu infeksi yang ringan dapat
menimbulkan krisis aplastik. Utnuk pengobatan dapat dilakukan transfusi darah dalam keadaan
kritis, pengangkatan limpa pada keadaan yang ringan dan anak yang agak besar (2-3 tahun),
roboransia.

Ovalositosis (eliptositosis)

50-90% Eritrosit berbentuk oval (lonjong), diturunkan secara dominan, hemolisis tidak seberat
sferositosis, dengan splenektomi dapat mengurangi proses hemolisis.

A beta lipoproteinemia

Diduga kelainan bentuk ini disebabkan oleh kelainan komposisi lemak pada dinding sel.

Gangguan pembentukan nukleotida

Kelainan ini dapat menyebabkan dinding eritrosit mudah pecah

Defisisnsi vitamin E

1. 2. Gangguan enzim yang mengakibatkan kelainan metabolisme dalam eritrosit

Defisiensi G6PD

akibat kekurangan enzim ini maka glutation (GSSG) tidak dapat direduksi. Glutation dalam
keadaan tereduksi (GSH) diduga penting untuk melindungi eritrosit dari setiap oksidasi, terutama
obat-obatan. Diturunkan secara dominan melalui kromosom X. Penyakit ini lebih nyata pada
laki-laki. Proses hemolitik dapat timbul akibat atau pada : obat-obatan (asetosal, sulfa, obat anti
malaria), memakan kacang babi, alergi serbuk bunga, bayi baru lahir. Gejala klinis yang timbul
berupa cepat lelah, pucat, sesak napas, jaundice dan pembesaran hepar. Untuk terapi bersifat
kausal.

Defisiensi glutation reduktase

Disertai trombositopenia dan leukopenia dan disertai kelainan neurologis.

Defisiensi glutation

Diturunkan secara resesif dan jarang ditemukan.

Defisiensi piruvat kinase

Pada bentuk homozigot berat sekali sedang pada bentuk heterozigot tidak terlalu berat. Khas
dari penyakit ini adanya peninggian kadar 2,3 difosfogliserat (2,3 DPG). Gejala klinis bervariasi,
untuk terapi dapat dilakukan tranfusi darah.

Defisiensi triose phosphatase isomerase (TPI)

Menyerupai sferositosis tetapi tidak ada peningkatan fragilitas osmotik dan hapusan darah tepi
tidak ditemnukan sferosit. Pada bentuk homozigot bnersiaft lebih berat.

Defisiensi difosfogliserat mutase

Defisiensi heksokinase

Defisiensi gliseraldehide 3 fosfat dehidrogenase

Ketiga jenis terakhir diturunkan secara resesif dan diagnosis ditgakkan dengan pemeriksaan
biokimia.
2. Hemoglobinopatia
Hemoglobin orang dewasa normal teridi dari HbA (98%), HbA2 tidak lebih dari 2 % dan HbF
tidak lebih dari 3 %. Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari hemoglobinnya
(95%), kemudian pada perkembangan konsentrasi HbF akan menurun sehingga pada umur 1
tahun telah mencapai keadaan yang normal. Terdapat 2 golongan besar gangguan pembentukan
Hemoglobin ini yaitu :

gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglobin abnormal) misal HbE, HbS


dan lain-lain.

Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa) rantai globin misal talasemia

b. Gangguan Ektrakorpuskular
Golongan dengan penyebab hemolisis ektraseluler, biasanya penyebabnya merupakan faktor
yang didapat (acquired) dan dapat disebakan oleh :

1. obat-obatan, racun ular, jamur, bahan kimia (bensin, saponin, air), toksin (hemolisisn)
streptokokkus, virus, malaria.
2. hipesplenisme
3. anemia

akibat

penghancuran

eritrosit

karena

reaksi

antigen-antibodi.

Seperti

inkompabilitas golongan darah, alergen atau hapten yang berasal dari luar tubuh, bisa
juga karena reaksi autoimun.
Pengobatan
Pemberian transfusi darah dapat menolong penderita, dapat pula diberikan prednison atau
hidrokortison dengan dosis tinggi pada anemia hemolitik imun ini.
IV. Anemia Post Hemoragik
Terjadi akibat perdarahan masif atau perdarahan menahun seperti kehilangan darah karena
kecelakaan, operasi, perdarahan usus, ulkus peptikum, hemoroid.
a. Kehilangan darah mendadak
1. Pengaruh yang timbul segera

kehilangan darah yang cepat akan menimbulkan reflek kardiovaskular sehingga terjadi
kontraksi arteriola, penurunan aliran darah keorgan yang kurang vital (anggota gerak,
ginjal dan sebagainya) dan peningkaata aliran darah keorgan vital (otak dan jantung).

Kehilangan darah 12-15% : pucat, takikardi, TD normal/menurun

Kehilangan darah 15-20% : TD menurun, syok reversibel

Kehilangan darah >20% : syok reversibel

Terapi : transfusi darah dan plasma

2. Pengaruh lambat

pergeseran cairan ektraseluler ke intraseluler sehingga terjadi hemodilusi

gejala : leukositosis (15.000-20.000/mm3), Hb, Ht, eritrosit menurun, eritropoetik


meningkat, oligouria / anuria, gagal jantung.

Terapi dapat diberikan PRC

b. Kehilangan darah menahun


Berupa gejala defisiensi besi bila tidak diimbangi dengan masukan suplemn besi.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

ANEMIA didefinisikan sebagai penurunan volume/jumlah sel darah merah (eritrosit)


dalam darah atau penurunan kadar Hemoglobin sampai dibawah rent Untuk penangan
anemia diadasarkan dari penyakit yang menyebabkannya ang nilai yang berlaku untuk
orang sehat (Hb<10 g/dL).

Dengan demikian anemia bukanlah suatu diagnosis melainkan pencerminan dari dasar
perubahan patofisiologis yang diuraikan dalam anamnesa, pemeriksaan fisik yang teliti
serta pemeriksaan laboratorium yang menunjang.

Tanda dan gejala yang sering timbul adalah sakit kepala, pusing, lemah, gelisah,
diaforesis (keringat dingin), takikardi, sesak napas, kolaps sirkulasi yang progresif cepat
atau syok, dan pucat (dilihat dari warna kuku, telapak tangan, membran mukosa mulut
dan konjungtiva).

Anemia dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian :

Anemia defisiensi dibedakan menjadi :

1. Anemia defisiensi
2. Anemia aplastik
3. Anemia hemoragik
4. Anemia hemolitik
1. mikrositik hipokrom : defisiensi besi
2. makrositik normokrom : defisiensi asam folat dsn vitamin B12

3. anemia dimorfik

Anemia hemolitik dibedakan menjadi :

1. gangguan intakorpuskuler : kelainan struktur dinding eritrosit, defisiensi enzim,


hemoglobinopatia
2. gangguan ektrakorpuskuler

Anemia post hemoragik bisa karena :

1. kehilangan darah mendadak


2. kehilangan darah menahun

DAFTAR PUSTAKA
1. Mansoer Arif. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3. Media Aesculapius. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2000
2. Sylvia A.Price. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit buku 2. EGC.
Jakarta. 1995
3. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku
Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Volume 1 . Percetakan Info Medika. Jakarta. 2002
4. Richard E.Behrman. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume 2 edisi 15. EGC. Jakarta. 2000
5. Rita Nanda, MD. Departement of Hematology/Oncology. University of Chicago Medical
Centre. Chicago. Review provided by VeriMed Healthcare Network.
6. Stephen Grund, MD, PhD. Chief of Hematology/Oncology and Director of The George
Bray Cancer Center at New Britain General Hospital. New Britain. Review provided by
VeriMed Healthcare Network.
7. Marcia S.Brose, MD, PhD. Assistant Profesor Hematology/Oncology. The University of
Pennsylvania Cancer Center. Philadelphia. Review provided by VeriMed Healthcare
Network.
8. Beutler E. G6PD deficiency. Blood 1994;84:3613-36.
9. S, Estwick D, Peddi R. G6PD deficiency: its role in the high prevalence of hypertension
and diabetes mellitus. Ethn Dis 2001;11:749-54..
10. Mehta

A,

Mason

PJ,

Vulliamy

deficiency. Baillieres Best Pract Res Clin Hae

TJ. Glucose-6-phosphate

dehydrogenase

You might also like