You are on page 1of 29

SKIZOFRENIA

1. DEFINISI
Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak
belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating)
yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik,
fisik, sosial dan budaya.1
Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik
dari pemikiran dan persepsi, serta oleh efek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul
(blunted). Kesadaran yang jernih (clear conciousness) dan kemampuan intelektual
biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang
kemudian.1
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
suatu

gangguan

perubahan

pada

psikiatrik

mayor

persepsi,

pikiran,

yang
afek,

ditandai
dan

dengan

perilaku

adanya

seseorang.

Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap


terpelihara,

walaupun

defisit

kognitif

tertentu

dapat

berkembang

kemudian (Sadock, 2003).

2. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara
bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5 persen; konsisten dengan rentang tersebut,
penelitian Epidemiological Catchment Area (ECA) yang disponsori oleh National Institue
of Mental Health (NIMH) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 1,3%. Kira-kira
0,025-0,05 % populasi total diobati untuk skizofrenia dalam satu tahun. Walaupun dua
pertiga dari pasien yang diobati tersebut membutuhkan perawatan di rumajh sakit, hanya
kira-kira setengah dari semua pasien skizofrenik mendapatkan pengobatan, tidak
tergantung pada keparahan penyakit.2
Prevalensi skizofrenia diantara orangtua dari anak-anak skizofrenia adalah kira-kira
8 persen, yang mendekati dua kali prevalensi orang tua dari pasien skizofrenik onset
dewasa. Skizofrenia jarang di diagnosis pada anak-anak yang kurang dari 5 tahun;
gangguan ini sering di diagnosis pada remaja yang baru berusia lebih dari 15 tahun.
Gejala biasanya timbul secara perlahan-lahan dan kriteria diagnosis secara bertahap di
penuhi dengan berjalannya waktu. Kadang-kadang, onset skizofrenia adalah tiba-tiba dan

terjadi pada anak yang sebelumnya baik-baik saja. Skizofrenia juga dapat didiagnosis
pada anak-anak yang pernah mengalami kesulitan kronis dan selanjutnya mengalami
eksaserbasi yang bermakna.2
.

3. ETIOLOGI
1. Model Diatesis-stres
Merupakan integrasi faktor biologis, faktor psikososial, faktor lingkungan. Model ini
mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatessis)
yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress,
memungkinkan perkembangan skizofrenia.
Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau psikologis (missal
kematian orang terdekat). Sedangkan dasar biologikal dari diatesis selanjutnya dapat
terbentuk oleh pengaruh epigenetik seperti penyalahgunaan obat, stress psikososial , dan
trauma.
Kerentanan yang dimaksud disini haruslah jelas, sehingga dapat menerangkan mengapa
orang tersebut dapat menjadi skizofren. Semakin besar kerentanan seseorang maka
stressor kecilpun dapat menyebabkan menjadi skizofren. Semakin kecil kerentanan maka
butuh stressor yang besar untuk membuatnya menjadi penderita skizofren. Sehingga
secara teoritis seseorang tanpa diathese tidak akan berkembang menjadi skizofren, walau
sebesar apapun stressornya.
2. Faktor Neurobiologi
Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien skizofrenia ditemukan adanya kerusakan
pada bagian otak tertentu. Namun sampai kini belum diketahui bagaimana hubungan
antara kerusakan pada bagian otak tertentu ddengan munculnya simptom skizofrenia.
Terdapat beberapa area tertentu dalam otak yang berperan dalam membuat seseorang
menjadi patologis, yaitu sitem limbik, korteks frontal, cerebellum dan ganglia basalis.
Keempat area tersebut saling berhubungan, sehingga disfungsi pada satu area mungkin
melibatkan proses patologis primer pada area yang lain. Dua hal yang menjadi sasaran
penelitian adalah waktu dimana kerusakan neuropatologis muncul pada otak, dan
interaksi antara kerusakan tersebut dengan stressor lingkungan dan sosial.
Hipotesa Dopamin
Menurut hipotesa ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan

aktivitas

neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari

meningkatnya pelepasan dopamine, terlalu banyaknya reseptor dopamine, turunnya nilai


ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamine, atau kombinasi dari faktor-faktor
tersebut. Munculnya hipotesa ini berdasarkan observasi bahwa :
a. Ada korelasi antara efektivitas dan potensi suatu obat antipsikotik dengan
kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamine D2.
b. Obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik- seperti amphetamine-dapat
menimbulkan gejala psikotik pada siapapun.
3. Faktor Genetika
Penelitian tentang genetik telah membuktikan faktor genetik/keturunan merupakan salah
satu penyumbang bagi jatuhnya seseorang menjadi skizofren. Resiko seseorang
menderita skizofren akan menjadi lebih tinggi jika terdapat anggota keluarga lainnya
yang juga menderita skizofren, apalagi jika hubungan keluarga dekat. Penelitian terhadap
anak kembar menunjukkan keberadaan pengaruh genetik melebihi pengaruh lingkungan
pada munculnya skizofrenia, dan kembar satu telur memiliki kemungkinan lebih besar
untuk mengalami skizofrenia.
Tabel 1. Prevalensi skizofrenia pada populasi tertentu dalam Saddock&Saddock (2003)
Populasi Prevalensi
Populasi umum 1%
Saudara kandung pasien skizofren 8%
Anak dengan salah satu orangtua skizofren 12%
Kembar dua telur dari pasien skizofren 12%
Anak dengan kedua orangtua skizofren 40%
Kembar satu telur dari pasien skizofren 47 %
4. Faktor Psikososial
4.1 Teori Tentang Individu Pasien
a. Teori Psikoanalitik
Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari fiksasi perkembangan, yang
muncul lebih awal daripada gangguan neurosis. Jika neurosis merupakan konflik antara
id dan ego, maka psikosis merupakan konflik antara ego dan dunia luar. Menurut Freud,
kerusakan ego (ego defect) memberikan kontribusi terhadap munculnya simptom
skizofrenia. Disintegrasi ego yang terjadi pada pasien skizofrenia merepresentasikan
waktu dimana ego belum atau masih baru terbentuk.
Konflik intrapsikis yang berasal dari fiksasi pada masa awal serta kerusakan ego-yang
mungkin merupakan hasil dari relasi obyek yang buruk-turut memperparah symptom
skizofrenia. Hal utama dari teori Freud tentang skizofrenia adalah dekateksis obyek dan
regresi sebagai respon terhadap frustasi dan konflik dengan orang lain.

Harry Stack Sullivan mengatakan bahwa gangguan skizofrenia disebabkan oleh kesulitan
interpersonal yangyang etrjadi sebelumnya, terutama yang berhubungan dengan apa yang
disebutnya pengasuhan ibu yang salah, yaitu cemas berlebihan.
Secara umum, dalam pandangan psikoanalitik tentang skizofrenia, kerusakan ego
mempengaruhi interprestasi terhadap realitas dan kontrol terhadap dorongan dari dalam,
seperti seks dan agresi. Gangguan tersebut terjadi akibat distorsi dalam hubungan timbal
balik ibu dan anak.
Berbagai simptom dalam skizofrenia memiliki makna simbolis bagi masing-masing
pasien. Misalnya fantasi tentang hari kiamat mungkin mengindikasikan persepsi individu
bahwa dunia dalamnya telah hancur. Halusinasi mungkin merupakan substitusi dari
ketidakmampuan pasien untuk menghadapi realitas yang obyektif dan mungkin juga
merepresentasikan ketakutan atau harapan terdalam yang dimilikinya.
b. Teori Psikodinamik
Berbeda dengan model yang kompleks dari Freud, pandangan psikodinamik setelahnya
lebih mementingkan hipersensitivitas terhadap berbagai stimulus. Hambatan dalam
membatasi stimulus menyebabkan kesulitan dalam setiap fase perkembangan selama
masa kanak-kanak dan mengakibatkan stress dalam hubungan interpersonal.
Menurut pendekatan psikodinamik, simptom positif diasosiasikan dengan onset akut
sebagai respon terhadap faktor pemicu/pencetus, dan erat kaitannya dengan adanya
konflik. Simptom negatif berkaitan erat dengan faktor biologis, dan karakteristiknya
adalah absennya perilaku/fungsi tertentu. Sedangkan gangguan dalam hubungan
interpersonal mungkin timbul akibat konflik intrapsikis, namun mungkin juga
berhubungan dengan kerusakan ego yang mendasar.
Tanpa memandang model teoritisnya, semua pendekatan psikodinamik dibangun
berdasarkan pemikiran bahwa symptom-simptom psikotik memiliki makna dalam
skizofrenia. Misalnya waham kebesaran pada pasien mungkin timbul setelah harga
dirinya terluka. Selain itu, menurut pendekatan ini, hubungan dengan manusia dianggap
merupakan hal yang menakutkan bagi pengidap skizofrenia.
c. Teori Belajar
Menurut teori ini, orang menjadi skizofrenia karena pada masa kanak-kanak ia belajar
pada model yang buruk. Ia mempelajari reaksi dan cara pikir yang tidak rasional dengan
meniru dari orangtuanya, yang sebenarnya juga memiliki masalah emosional.
4.2 Teori Tentang Keluarga

Beberapa pasien skizofrenia-sebagaimana orang yang mengalami nonpsikiatrik-berasal


dari keluarga dengan disfungsi, yaitu perilaku keluarga yang patologis, yang secara
signifikan meningkatkan stress emosional yang harus dihadapi oleh pasien skizofrenia.
Antara lain:
Double Bind
Konsep yang dikembangkan oleh Gregory Bateson untuk menjelaskan keadaan keluarga
dimana anak menerima pesan yang bertolak belakang dari orangtua berkaitn dengan
perilaku, sikap maupun perasaannya. Akibatnya anak menjadi bingung menentukan mana
pesan yang benar, sehingga kemudian ia menarik diri kedalam keadaan psikotik untuk
melarikan diri dari rasa konfliknya itu.
Schims and Skewed Families
Menurut Theodore Lidz, pada pola pertama, dimana terdapat perpecahan yang jelas
antara orangtua, salah satu orang tua akan menjadi sangat dekat dengan anak yang
berbeda jenis kelaminnya. Sedangkan pada pola keluarga skewed, terjadi hubungan yang
tidak seimbang antara anak dengan salah satu orangtua yang melibatkan perebutan
kekuasaan antara kedua orangtua, dan menghasilkan dominasi dari salah satu orang tua.
Pseudomutual and Pseudohostile Families
Dijelaskan oleh Lyman Wynne, beberapa keluarga men-suppress ekspresi emosi dengan
menggunakan komunikasi verbal yang pseudomutual atau pseudohostile secara
konsisten. Pada keluarga tersebut terdapat pola komunikasi yang unik, yang mungkin
tidak sesuai dan menimbulkan masalah jika anak berhubungan dengan orang lain di luar
rumah.
Ekspresi Emosi
Orang tua atau pengasuh mungkin memperlihatkan sikap kritis, kejam dan sangat ingin
ikut campur urusan pasien skizofrenia. Banyak penelitian menunjukkan keluarga dengan
ekspresi emosi yang tinggi (dalam hal apa yang dikatakan maupun maksud perkataan)
meningkatkan tingkat relapse pada pasien skizofrenia.
4.3 Teori Sosial
Beberapa teori menyebutkan bahwa industrialisasi dan urbanisasi banyak berpengaruh
dalam menyebabkan skizofrenia. Meskipun ada data pendukung, namun penekanan saat
ini adalah dalam mengetahui pengaruhnya terhadap waktu timbulnya onset dan
keparahan penyakit.
4. GEJALA KLINIK
Gejala klinis skizofrenia dibagi dalam kategori, yaitu gejala positif dan gejala negatif. (3)
A. Gejala Positif

Gejala positif adalah gejala khas yang muncul yang seharusnya tidak ada dan sifatnya
produktif. 3,4 Yang termasuk gejala positif antara lain :
1. Waham
Penderita skizofrenia mempunyai keyakinan yang tidak dapat di bantah oleh orang lain.
2.
Halusinasi
Penderita skizofrenia bisa mempunyai halusinasi pendengaran, penciuman atau
merasakan sesuatu yang tidak dapat diungkapkan.
3.
Kekacauan proses pikir
Penderita skizofrenia mempunyai kesulitan dalam proses pikir, yang menunjukan
kesukaran bagi mereka yang berkomunikasi dengan orang lain. Gangguan proses pikir
dapat berupa flight of ideas, incoherent, blocking, dsb.
4.
Gaduh Gelisah
Hyperaktivitas dalam bentuk percepatan perilaku motorik, peningkatan respon terhadap
stimuli. Perasaan mereka bervariasi dan mengalami perubahan emosi yang sangat cepat.
5. Waham Kebesaran
Keyakinan tentang superioritas berlebih-lebihan dan tidak realistik termasuk tentang
kemampuan yang luar biasa.
6.
Kecuriagaan / Kejaran
Pasien skizofrenia sangat berhati-hati dan tidak percaya kepada yang lainnya. Mereka
berkeyakinan sedang dilihat atau diikuti orang lain dan curiga ada orang yang coba
membunuhnya.
7.
Permusuhan
Ekspres verbal dan non verbal tentang kemarahan, kebencian, termasuk caci maki dan
penyerangan. (3)
B. Gejala Negatif
Gejala negatif adalah gejala yang memperlihatkan kemunduran yang bermakna dari
beberapa aspek prilaku dimana seharusnya ada menjadi berkurang atau tidak ada dan
sifatnya defisit.(1,3)
Yang termasuk gejala negatif adalah :
1. Afek Tumpul
Berkurangnya respon emosional yang ditandai berkurangnya ekspresi wajah, modulasi
perasaan dan gerak-gerik komunikatif.
2.
Perilaku Emosional
Berkurangnya minat dan keterlibatan serta curahan perasaan terhadap peristiwa
kehidupan.
3.
Kemiskinan Rapport
Berkurangnya empati interpersonal dan berkurangnya komunikasi verbal dan non verbal.

4.
Penarikan diri dari hubungan sosial
Berkurangnya minat dan inisiatif dan interaksi sosial yang disebabkan pasivitas, apatis
dan anergi dan tidak ada dorongan kehendak, mengakibatkan berkurangnya keterlibatan
interpersonal dan mengabaikan aktivitas kehidupan sehari-hari.
5.
Kesulitan dalam pemikiran abstrak
Gangguan dan penggunaan cara berfikir abstrak atau simbolik yang dibuktikan dalam
kesulitan dalam mengklasifikasikan, membentuk generalisasi dan berfikir secara kongkrit
atau egosentrik dalam memecahkan masalah.
6.
Berkurangnya spontanitas dan arus percakapan
Berkurangnya arus percakapan yang disertai dengan apatis, defensif atau defisit kogniif.
7.
Pemikiran stereotipik
Berkurangnya kelancaran, spontanitas dan fleksibilitas proses pikir yang terbukti dari
kekakuan, pengulangan oleh isi fikir yang miskin.
Berdasarkan Gejala Klinis yang dialami pasien skizofrenia, maka dapat
ditentukan prognosanya. Pasien yang memiliki sebagian besar gejala positif akan
memberikan respon yang relatif baik terhadap pengobatan, sehingga memiliki prognosa
yang baik. Sedangkan pasien yang cenderung memiliki sebagian besar gejala negatif akan
memberikan respon yang buruk terhadap pengobatan, sehingga memiliki prognosa yang
buruk. (2)
5. PROSES PERJALANAN PENYAKIT
Gejala mulai timbul biasanya pada masa remaja atau dewasa awal sampai dengan umur
pertengahan dengan melalui beberapa fase antara lain2
1. Fase Prodomal

Berlangsung antara 6 bulan sampai 1 tahun


Gangguan dapat berupa Self care, gangguan dalam akademik, gangguan dalam
pekerjaan, gangguan fungsi sosial, gangguan pikiran dan persepsi.

2. Fase Aktif

Berlangsung kurang lebih 1 bulan.


Gangguan dapat berupa gejala psikotik ; Halusinasi, delusi, disorganisasi proses
berfikir, gangguan bicara, gangguan perilaku, disertai kelainan neurokimiawi.

3. Fase Residual
Mengalami minimal 2 gejala
Gangguan afek dan gangguan peran, serangan biasanya berulang
6. KRITERIA DIAGNOSA MENURUT PPDGJ

1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda, atau
- Thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya
(Withdrawal) dan
- Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umumnya
mengetahuinya.
b. Delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar atau
- Delusion of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu
dari luar atau
- Delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu
kekuatan dari luar; (tentang dirinya= secara jelas ,merujuk ke pergerakan tubuh/anggota
gerak atau kepikiran, tindakan atau penginderaan khusus).
- Delusion perception = pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat
khas bagi dirinya , biasanya bersifat mistik dan mukjizat.
c. Halusional Auditorik ;
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap prilaku pasien .
- Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang
berbicara atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan sesuatu yang mustahi,misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu
atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan
cuaca atau berkomunikasi dengan mahluk asing atau dunia lain)

Atau paling sedikitnya dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
e. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja , apabila disertai baik oleh waham
yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas,
ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila
terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation) yang
berakibat inkoherensia atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.
g. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu
(posturing) atay fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
h. Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respons emosional yang
menumpul tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial
dan menurunya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neureptika.
* adapun gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal);
* Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi
sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri
sendiri (self absorbed attitute), dan penarikan diri secara sosial.

7. KRITERIA DIAGNOSA MENURUT DSM-IV


DSM IV mempunyai kriteria diagnosis resmi dari American Psychiatric Association untuk
skizofrenia:1
Kriteria Diagnostik Skizofrenia
A Gejala karakteristik: Dua atau lebih berikut,masing-masing ditemukan untuk bagian
waktu yang bermakna selama periode 1 bulan(atau kurang jika diobati dengan berhasil):
1 Waham
2 Halusinasi
3 Bicara terdisorganisasi(misalnya, sering menyimpang atau inkoheren)
4 Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas
5 Gejala negative, yaitu, pendataran afektif,alogia atau tidak ada kemauan(avolition)
Catatan : hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah kacau atau
halusinasi terdiri dari suara yang terus menerus mengomentari perilaku atau pikiran

pasien atau dua atau lebih suara yang saling bercakap-cakap satu sama lainnya.
B Disfungsi sosial/pekerjaan:Untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset gangguan,
satu atau lebih fungsi utama,seperti pekerjaan,hubungan interpersonal atau perawatan diri
adalah jelas di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset(atau jika onset pada masa
anak-anak

atau

remaja,

kegagalan

untuk

mencapai

tingkat

pencapaian

interpersonal,akademik atau pekerjaan yang diharapkan


C Durasi: tanda gangguan terus-menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan. Periode 6
bulan ini harus termasuk sekurangnya 1 bulan gejala(atau kurang jika diobati dengan
berhasil) yang memenuhi criteria A ( yaitu gejala fase aktif) dan mungkin termasuk
periode gejala prodomal atau residual. Selama periode prodomal atau residual tanda
gangguan mungkin di manefestasikan hanya oleh gejala negative atau dua atau lebih
gejala

yang

dituliskan

dalam

kriteria

dalam

bentuk

yang

diperlemah(misalnya,keyakinan yang aneh,pengalaman persepsi yang tidak lazim)


D Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gangguan mood. Gangguan skizoafektif dan
gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan karena: (1)tidak ada episode
depresif berat,manik atau campuran yang telah terjadi bersama-sama dengan gejala fase
aktif; atau (2) jika episode mood telah terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya
adalah relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual.
E Penyingkiran zat/kondisi medis umum: gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis
langsung dari suatu zat (misalnya ,obat yang disalahgunakan,suatu medikasi) atau suatu
kondisi medis umum
F Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasive. Jika terdapat adanya riwayat
gangguan autistic atau gangguan perkembangan pervasif lainnya, diagnosis tambahan
skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasiyang menonjol juga ditemukan untuk
sekurangnya satu bulan(atau kurang jika diobati secara berhasil).
Klasifikasi perjalanan penyakit longitudinal(dapat diterapkan hanya setelah sekurangnya
1 tahun lewat sejak onset awal gejala fase aktif);

Episodik dengan gejala residual interepisode(episode didefinisikan oleh


timbulnya kembali gejalapsikotik yang menonjol); juga sebutkan jika;dengan
gejala negatif yang menonjol

Episodik tanpa gejala residual interepisodik

Episode tunggal dalam remisi parsial; juga sebutkan dengan gejala negatif yang

menonjol

Episode tunggal dalam remisi penuh

Paola lain atau tidak ditentukan


dari DSM-IV.Diagnostic and Statistical

Tabel

manual

of

Mental

Disorders

Subtipe DSM-IV
DSM-IV menggunakan subtipe skizofrenia yang sama digunakan di dalam DSM-III-R : tipe
paranoid, terdisorganisasi(kacau), katatonik, tidak tergolongkan(undifferentiated) dan tipe
residual.
1

Tipe paranoid
DSM IV menyebutkan bahwa tipe paranoid ditandai oleh keasikan (preokupasi) pada satu
atau lebih waham atau halusinasi dengar yang sering dan tidak ada perilaku spesifiklain yang
mengarahkan pada tipe terdisorganisasi atau katatonik. Secara klasik,skizofrenia tipe paranoid
ditandai

terutama

oleh

adanya

waham

presekutorik(waham

kejar)

atau

waham

kebesaran.Pasien skizofrenik paranoid biasanya berumur lebih tua dari pada pasien
skizofrenik terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami episode pertama
penyakitnya. Pasien yang sehat sampai akhir usia 20 atau 30 tahunan biasanya mencapai
kehidupan social yangdapat membantu mereka melewati penyakitnya.selain itu,kekuatan ego
pasien paranoid cenderung lebih besar dari pasien katatonik dan terdisorganisasi. Pasien
skizofrenik paranoid menunjukkan regresi yang lambat dari kemampuan mentalnya,respon
emosional dan perilakunya dibandingkan tipe lain pada pasien skizofrenik.
Pasien skizofrenik paranoid tipikal adalah tegang,pencuriga,berhati-hati dan tak
ramah.Mereka juga dapat bersikap bermusuhan atau agresif.Pasien skizofrenik paranoid
kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka sendiri secara adekuatdi dalam situasi sosial.
Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka dan tetap intak.
2

Tipe disorganisasi
Tipe disorganisasi sebelumnya dinamakan hebrefenik ditandai oleh regresi yang nyata ke
perilaku primitif, terdisinhibisi dan tidak teratur oleh tidak adanya gejala yang memenuhi
kriteria untuk tipe katatonik. Onset biasanya awal, sebelum usia 25 tahun.Pasien
terdisorganisasi biasanya aktif

tetapi dengan cara yang tidak bertujuan dan tidak

konstruktif.Gangguan pikiran mereka adalah menonjol dan kontaknya dengan kenyataan

adalah buruk.penampilan pribadinya dan perilaku sosialnya adalah rusak. Respon


emosionalnya adalah sesuai dan mereka sering kali meledak tertawanya tanpa alasan.
Meringis dan seringai wajah adalah sering ditemukan pada tipe pasien ini, perilaku tersebut
paling baik digambarkan sebagai kekanak-kanakan atau bodoh.
3

Tipe Katatonik
Ciri klasik dari tipe katatonik adalah gangguan nyata pada fungsi motorik yang mungkin
berupa stupor,negativisme,rigiditas, kegembiraan atau posturing. Kadang-kadang pasien
menunjukkan perubahan yang cepat antara kegembiraan dan stupor.Ciri penyerta adalah
stereotipik, manerisme, dan fleksibilitas lilin (waxy flexibility). Mutisme sering ditemukan.
Selama stupor atau kegembiraan katatonik,pasien skizofrenik memerlukan pengawasan yang
ketat untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau orang lain. Perawatan medis
mungkin diperlukan karena adanya malnutrisi,kelelahan,hiperpireksia atau cidera yang
disebabkan oleh diri sendiri.

Tipe tidak tergolongkan (undifferentiated type)


Sering kali pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan kedalam
salah satu tipe. DSM-IV mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak tergolongkan.

Kriteria diagnostic DSM-IV untuk skizofrenia memerlukan onset gangguan,satu atau lebih
bidang fungsi utama seperti pekerjaan,hubungan interpersonal atau perawatan diri sendiri.

Tipe Residual
Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus-menerus adanya
gangguan skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif atau gejala yang cukup
untuk memenuhi tipe lain skizofrenia. Penumpulan emosional,penarikan social,perilaku
eksentrik,pikiran yang tidak logis dan pengenduran asosiasi ringan adalah sering ditemukan
pada tipe residual. Jika waham atau halusinasi ditemukan, maka hal tersebut tidak menonjol
dan tidak disertai oleh afek yang kuat.

Tipe I dan tipe II


Ditahun 1980 T.J.Crown mengajukan suatu klasifikasi pasien skizofrenik ke dalam tipe I
dan tipe II. Perbedaan klinis dari kedua tipe tersebut telah secara bermakna mempengaruhi
penelitian psikiatrik. Gejala negatif adalah pendataran atau penumpukan afektif, kemiskinan
pembicaraan atau isi pembicaraan,penghambatan (blocking),dandanan yang buruk,tidak
adanya motivasi, anhedonia, penarikan social,defek kognitif dan defisit perhatian. Gejala

positif adalah asosiasi longgar, halusinasi, perilaku aneh dan bertambah banyaknya
pembicaraan.Pasien tipe I cenderung memiliki sebagian besar gejala positif,struktur otak yang
normal pada CT,dan respons yang relatif baik terhadap pengobatan, pasien tipe II cenderung
memiliki sebagian besar gejala negatif,kelainan otak structural pada pemeriksaan CT dan
respon yang buruk terhadap pengobatan.

Subtipe Lain
Nama dari beberapa subtipe tersebut adalah menjelaskan katanya sendiri (selfexplanatory) sebagai contoh:onset akhir (late-onset), masa anak-anak dan proses. Skizofrenia
onset akhir bisanya didefinisikan sebagai skizofrenia yang mempunyai onset setelah usia 45
tahun. Skizofrenia dengan onset masa anak-anak(childhood schizophrenia). Skizofrenia
proses berarti skizofrenia dengan perjalanan yang menimbulkan kecacatan dan keruntuhan.
Bouffee delirante (psikosis delusional akut). Konsep diagnostik Prancis ini dibedakan
dari skizofrenia terutama atas dasar lama gejala yang kurang dari tiga bulan. Diagnosis adalah
mirip dengan diagnosis gangguan skizofreniform di dalam DSM-IV. Klinisi Prancis
melaporkan bahwa kira-kira 40 persen diagnosis boufee delirante berkembang dalam
penyakitnya dan akhirnya diklasifikasikan sebagai menderita skizofrenia.
8. KLASIFIKASI SKIZOFRENIA
Gejala klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan di muka, dalam
PPDGJ III skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok yang mempunyai
spesifikasi masing-masing, yang kriterianya di dominasi dengan hal-hal sebagai berikut :
1. Skizofrenia Paranoid
Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia
Sebagai tambahan :
Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
(a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau
halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit, mendengung, atau bunyi
tawa.
(b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain
perasaan tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.

(c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of
control), dipengaruhi (delusion of influence), atau Passivity (delusion of passivity), dan
keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas.
Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara
relatif tidak nyata / menonjol.
Pasien skizofrenik paranoid biasanya berumur lebih tua daripada pasien skizofrenik
terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami episode pertama penyakitnya.
Pasien yang sehat sampai akhir usia 20 atau 30 tahunan biasanya mencapai kehidupan
social yang dapat membantu mereka melewati penyakitnya. Juga, kekuatan ego paranoid
cenderung lebih besar dari pasien katatonik dan terdisorganisasi. Pasien skizofrenik
paranoid menunjukkan regresi yang lambat dari kemampuanmentalnya, respon
emosional, dan perilakunya dibandingkan tipe lain pasien skizofrenik.
Pasien skizofrenik paranoid tipikal adalah tegang, pencuriga, berhati-hati, dan tak ramah.
Mereka juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif. Pasien skizofrenik paranoid kadangkadang dapat menempatkan diri mereka secara adekuat didalam situasi social.
Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka dan tetap
intak.
2. Skizofrenia Hebefrenik
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau
dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang menyendiri
(solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis.
Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan pengamatan
kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas
berikut ini memang benar bertahan :
- Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta mannerisme;
ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan perilaku menunjukkan hampa
tujuan dan hampa perasaan;
- Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai oleh
cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum sendirir (selfabsorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai
(grimaces),

mannerisme,

mengibuli

secara

bersenda

gurau

(pranks),

hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases);

keluhan

- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling) serta
inkoheren.
Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya
menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting
and fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan yang
bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita
memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty
of purpose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap
agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan
pikiran pasien.
Menurut DSM-IV skizofrenia disebut sebagai skizofrenia tipe terdisorganisasi.
3. Skizofrenia Katatonik
Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya :
(a) stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam gerakan
serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara):
(b) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
(c) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan mempertahankan
posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);
(d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua perintah
atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan kearah yang berlawanan);
(e) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya
menggerakkan dirinya);
(f) Fleksibilitas cerea / waxy flexibility (mempertahankan anggota gerak dan tubuh
dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
(g) Gejala-gejala lain seperti command automatism (kepatuhan secara otomatis
terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan
katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang
memadai tentang adanya gejala-gejala lain.
Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik
untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan
metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.
Selama stupor atau kegembiraan katatonik, pasien skizofrenik memerlukan pengawasan
yang ketat untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau orang lain. Perawatan

medis mungkin ddiperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia, atau


cedera yang disebabkan oleh dirinya sendiri.
4. Skizofrenia tak terinci (Undifferentiated).
Seringkali. Pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan kedalam
salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak terinci.
Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III yaitu:
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau
katatonik.
Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia.
5. Depresi Pasca-Skizofrenia
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
(a) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis umum
skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
(b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran
klinisnya); dan
(c) Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling sedikit kriteria
untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu.
Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi episode
depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan menonjol, diagnosis harus
tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.
6. Skizofrenia Residual
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua :
(a) Gejala negative dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan
inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang
buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh,
perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
(b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;
(c) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi
gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan
telah timbul sindrom negative dari skizofrenia;
(d) Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain, depresi kronis
atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negative tersebut.
Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus menerus adanya
gangguan skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif atau gejala yang

cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia. Penumpulan emosional, penarikan social,
perilaku eksentrik, pikiran yang tidak logis, dan pengenduran asosiasi ringan adalah
sering ditemukan pada tipe residual. Jika waham atau halusinasi ditemukan maka hal
tersebut tidak menonjol dan tidak disertai afek yang kuat.
7. Skizofrenia Simpleks
Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada
pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :
- gejala negative yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi,
waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan
- disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi
sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan
penarikan diri secara sosial.
Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.
Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada
jenis simpleks adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses
berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini
timbulnya perlahan-lahan sekali. Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang
memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia makin
mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan akhirnya menjadi pengangguran, dan bila
tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan menjadi pengemis, pelacur, atau
penjahat.
8. Skizofrenia lainnya
9. Skizofrenia YTT
Selain beberapa subtipe di atas, terdapat penggolongan skizofrenia lainnya (yang tidak
berdasarkan DSM IV TR), antara lain :
Bouffe delirante (psikosis delusional akut).
Konsep diagnostik Perancis dibedakan dari skizofrenia terutama atas dasar lama gejala
yang kurang dari tiga bulan. Diagnosis adalah mirip dengan diagnosis gangguan
skizofreniform didalam DSM-IV. Klinisi Perancis melaporkan bahwa kira-kira empat
puluh persen diagnosis delirante berkembang dalam penyakitnya dan akhirnya
diklasifikasikan sebagai media skizofrenia.
Skizofrenia laten.
Konsep skizofrenia laten dikembangkan selama suatu waktu saat terdapat konseptualisasi
diagnostic skizofrenia yang luas. Sekarang, pasien harus sangat sakit mental untuk
mendapatkan diagnosis skizofrenia; tetapi pada konseptualisasi diagnostik skizofrenia

yang luas, pasien yang sekarang ini tidak terlihat sakit berat dapat mendapatkan diagnosis
skizofrenia. Sebagai contohnya, skizofrenia laten sering merupakan diagnosis yang
digunakan gangguan kepribadian schizoid dan skizotipal. Pasien tersebut mungkin
kadang-kadang menunjukkan perilaku aneh atau gangguan pikiran tetapi tidak terus
menerus memanifestasikan gejala psikotik. Sindroma juga dinamakan skizofrenia
ambang (borderline schizophrenia) di masa lalu.
Oneiroid.
Keadaan oneiroid adalah suatu keadaan mirip mimpi dimana pasien mungkin pasien
sangat kebingungan dan tidak sepenuhnya terorientasi terhadap waktu dan tempat. Istilah
skizofrenik oneiroid telah digunakan bagipasien skizofrenik yang khususnya terlibat
didalam pengalaman halusinasinya untuk mengeluarkan keterlibatan didalam dunia
nyata. Jika terdapat keadaan oneiroid, klinisi harus berhati-hati dalam memeriksa pasien
untuk adanya suatu penyebab medis atau neurologist dari gejala tersebut.
Parafrenia.
Istilah ini seringkali digunakan sebagai sinonim untuk skizofrenia paranoid. Dalam
pemakaian lain istilah digunakan untuk perjalanan penyakit yang memburuk secara
progresif atau adanya system waham yang tersusun baik. Arti ganda dari istilah ini
menyebabkannya tidak sangat berguna dalam mengkomunikasikan informasi.
Pseudoneurotik.
Kadang-kadang, pasien yang awalnya menunjukkan gejala tertentu seperti kecemasan,
fobia, obsesi, dan kompulsi selanjutnya menunjukkan gejala gangguan pikiran dan
psikosis. Pasien tersebut ditandai oleh gejala panansietas, panfobia, panambivalensi dan
kadang-kadang seksualitas yang kacau. Tidak seperti pasien yang menderita gangguan
kecemasan, mereka mengalami kecemasan yang mengalir bebas (free-floating) dan yang
sering sulit menghilang. Didalam penjelasan klinis pasien, mereka jarang menjadi
psikotik secara jelas dan parah.
Skizofrenia Tipe I.
Skizofrenia dengan sebagian besar simptom yang muncul adalah simptom positif yaitu
asosiasi longgar, halusinasi, perilaku aneh, dan bertambah banyaknya pembicaraan.
Disertai dengan struktur otak yang normal pada CT dan respon yang relatif baik terhadap
pengobatan.
Skizofrenia tipe II.
Skizofrenia dengan sebagian besar simptom yang muncul adalah simptom negative yaitu
pendataran atau penumpulan afek, kemiskinan pembicaraan atau isi pembicaraan,

penghambatan (blocking), dandanan yang buruk, tidak adanya motivasi, anhedonia,


penarikan sosial, defek kognitif, dan defisit perhatian. Disertai dengan kelainan otak
struktural pada pemeriksaan CT dan respon buruk terhadap pengobatan.

9. TERAPI
A. TERAPI BIOLOGIS
1) Penggunaan Obat Antipsikosis
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut antipsikotik.
Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yang terjadi
pada Skizofrenia.
Pasien mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat
atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien. Antipsikotik
pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan merupakan terapi obat-obatan pertama
yang efekitif untuk mengobati Skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang
dikenal saat ini, yaitu antipsikotik konvensional, newer atypical antipsycotics, dan
Clozaril (Clozapine).1,2,3,4
a. Antipsikotik Konvensional1,2,3,4
Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut antipsikotik konvensional.
Walaupun sangat efektif, antipsikotik konvensional sering menimbulkan efek samping
yang serius. Contoh obat antipsikotik konvensional antara lain :
1. Haldol (haloperidol)
2. Stelazine ( trifluoperazine)
3. Mellaril (thioridazine)
4. Thorazine ( chlorpromazine)
5. Navane (thiothixene)
6. Trilafon (perphenazine)
7. Prolixin (fluphenazine)
Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik konvensional,
banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan newer atypical antipsycotic.
Ada 2 pengecualian (harus dengan antipsikotok konvensional). Pertama, pada pasien
yang sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat menggunakan antipsikotik
konvensional tanpa efek samping yang berarti. Biasanya para ahli merekomendasikan
untuk meneruskan pemakaian antipskotik konvensional. Kedua, bila pasien mengalami
kesulitan minum pil secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat diberikan dalam jangka
waktu yang lama (long acting) dengan interval 2-4 minggu (disebut juga depot
formulations). Dengan depot formulation, obat dapat disimpan terlebih dahulu di dalam
tubuh lalu dilepaskan secara perlahan-lahan. Sistem depot formulation ini tidak dapat
digunakan pada newer atypic antipsycotic.

b. Newer Atypcal Antipsycotic1,2,3,4


Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip kerjanya berbeda,
serta sedikit menimbulkan efek samping bila dibandingkan dengan antipsikotik
konvensional.
Beberapa contoh newer atypical antipsycotic yang tersedia, antara lain :
Risperdal (risperidone)
Seroquel (quetiapine)
Zyprexa (olanzopine)
Para ahli banyak merekomendasikan obat-obat ini untuk menangani pasien-pasien
dengan Skizofrenia.
c. Clozaril
Clozaril mulai diperkenalkan tahun 1990, merupakan antipsikotik atipikal yang pertama.
Clozaril dapat membantu 25-50% pasien yang tidak merespon (berhasil) dengan
antipsikotik konvensional. Sangat disayangkan, Clozaril memiliki efek samping yang
jarang tapi sangat serius dimana pada kasus-kasus yang jarang (1%), Clozaril dapat
menurunkan jumlah sel darah putih yang berguna untuk melawan infeksi. Ini artinya,
pasien yang mendapat Clozaril harus memeriksakan kadar sel darah putihnya secara
reguler. Para ahli merekomendaskan penggunaan Clozaril bila paling sedikit 2 dari obat
antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil.
Sediaan Obat Anti Psikosis dan Dosis Anjuran1,2,5,6
No Nama Generik Sediaan Dosis
1. Klorpromazin Tablet 25 dan 100 mg
Injeksi 25 mg/ml 150 600 mg/hari
2. Haloperidol Tablet 0,5 mg, 1,5 mg, 5 mg
Injeksi 5 mg/ml 5 15 mg/hari
3. Perfenazin Tablet 2, 4, 8 mg 12 24 mg/hari
4. Flufenazin Tablet 2,5 mg, 5 mg 10 15 mg/hari
5. Flufenazin dekanoat Inj 25 mg/ml 25 mg/2-4 minggu
6. Levomeprazin Tablet 25 mg
Injeksi 25 mg/ml 25 50 mg/hari
7. Trifluperazin Tablet 1 mg dan 5 mg 10 15 mg/hari
8. Tioridazin Tablet 50 dan 100 mg 150 600 mg/hari
9. Sulpirid Tablet 200 mg
Injeksi 50 mg/ml 300 600 mg/hari 1 4 mg/hari
10. Pimozid Tablet 1 dan 4 mg 1 4 mg/hari
11. Risperidon Tablet 1, 2, 3 mg 2 6 mg/hari
Cara penggunaan
Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klnis) yang sama

pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek samping sekunder.


Pemilihan jenis obat anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan
efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen.
Apabila obat anti psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang
sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan obat psikosis
lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekivalennya dimana profil
efek samping belum tentu sama.
Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya jenis obat
antipsikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek
sampingnya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
a. Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
b. Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
c. Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)
d. Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak efek samping (dosis
pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas hidup
pasien.
Mulai dosis awal dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3 hari sampai mencapai
dosis efektif (mulai peredaan sindroma psikosis) dievaluasi setiap 2 minggu dan bila
perlu dinaikkan dosis optimal dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi)
diturunkan setiap 2 minggu dosis maintanance dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun
(diselingi drug holiday 1-2 hari/mingu) tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu)
stop
Untuk pasien dengan serangan sndroma psikosis multi episode terapi pemeliharaan
dapat diberikan paling sedikit selama 5 tahun.
Efek obat psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis
terakhir yang masih mempunyai efek klinis.
Pada umumnya pemberian oabt psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan
sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk psikosis reaktif
singkat penuruna obat secara bertahap setelah hilangnya gejala dalam kurun waktu 2
minggu 2 bulan.
Obat antipsikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan
dalam jangka waktu yang lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali.
Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala Cholinergic rebound yaitu:
gangguan lambung, mual muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini akan
mereda dengan pemberian anticholinergic agent (injeksi sulfas atrofin 0,25 mg IM dan
tablet trihexypenidil 32 mg/hari)
Obat anti pikosis long acting (perenteral) sangat berguna untuk pasien yang tidak mau
atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Dosis
dimulai dengan 0,5 cc setiap 2 minggu pada bulan pertama baru ditingkatkan menjadi 1

cc setap bulan. Pemberian anti psikosis long acting hanya untuk terapi stabilisasi dan
pemeliharaan terhadap kasus skizopfrenia.
Penggunaan CPZ injeksi sering menimbulkan hipotensi ortostatik pada waktu peubahan
posisi tubuh (efek alpha adrenergik blokade). Tindakan mengatasinya dengan injeksi nor
adrenalin (effortil IM)
Haloperidol sering menimbulkan sindroma parkinson. Mengatasinya dengan tablet
trihexyphenidyl 3-42 mg/hari, SA 0,5-0,75 mg/hari
Pemilihan Obat untuk Episode (Serangan) Pertama1,2,3,4
Newer atypical antipsycoic merupakn terapi pilihan untuk penderita Skizofrenia episode
pertama karena efek samping yang ditimbulkan minimal dan resiko untuk terkena tardive
dyskinesia lebih rendah.
Biasanya obat antipsikotik membutuhkan waktu beberapa saat untuk mulai bekerja.
Sebelum diputuskan pemberian salah satu obat gagal dan diganti dengan obat lain, para
ahli biasanya akan mencoba memberikan obat selama 6 minggu (2 kali lebih lama pada
Clozaril)
Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh)1,2,3,4
Biasanya timbul bila pendrita berhenti minum obat, untuk itu, sangat penting untuk
mengetahui alasan mengapa penderita berhenti minum obat. Terkadang penderita
berhenti minum obat karena efek samping yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila
hal ini terjadi, dokter dapat menurunkan dosis menambah obat untuk efek sampingnya,
atau mengganti dengan obat lain yang efek sampingnya lebih rendah.
Apabila penderita berhenti minum obat karena alasan lain, dokter dapat mengganti obat
oral dengan injeksi yang bersifat long acting, diberikan tiap 2- 4 minggu. Pemberian obat
dengan injeksi lebih simpel dalam penerapannya.
Terkadang pasien dapat kambuh walaupun sudah mengkonsumsi obat sesuai anjuran. Hal
ini merupakan alasan yang tepat untuk menggantinya dengan obat obatan yang lain,
misalnya antipsikotik konvensonal dapat diganti dengan newer atipycal antipsycotic atau
newer atipycal antipsycotic diganti dengan antipsikotik atipikal lainnya. Clozapine dapat
menjadi cadangan yang dapat bekerja bila terapi dengan obat-obatan diatas gagal.
Pengobatan Selama fase Penyembuhan1,2,3,4
Sangat penting bagi pasien untuk tetap mendapat pengobatan walaupun setelah sembuh.
Penelitian terbaru menunjukkan 4 dari 5 pasien yang behenti minum obat setelah episode
petama Skizofrenia dapat kambuh. Para ahli merekomendasikan pasien-pasien
Skizofrenia episode pertama tetap mendapat obat antipskotik selama 12-24 bulan
sebelum mencoba menurunkan dosisnya. Pasien yang mendertia Skizofrenia lebih dari
satu episode, atau balum sembuh total pada episode pertama membutuhkan pengobatan
yang lebih lama. Perlu diingat, bahwa penghentian pengobatan merupakan penyebab
tersering kekambuhan dan makin beratnya penyakit.
Efek Samping Obat-obat Antipsikotik1,2,3,4
Karena penderita Skizofrenia memakan obat dalam jangka waktu yang lama, sangat
penting untuk menghindari dan mengatur efek samping yang timbul. Mungkin masalah

terbesar dan tersering bagi penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional


gangguan (kekakuan) pergerakan otot-otot yang disebut juga Efek samping Ekstra
Piramidal (EEP). Dalam hal ini pergerakan menjadi lebih lambat dan kaku, sehingga agar
tidak kaku penderita harus bergerak (berjalan) setiap waktu, dan akhirnya mereka tidak
dapat beristirahat. Efek samping lain yang dapat timbul adalah tremor pada tangan dan
kaki. Kadang-kadang dokter dapat memberikan obat antikolinergik (biasanya
benztropine) bersamaan dengan obat antipsikotik untuk mencegah atau mengobati efek
samping ini.
Efek samping lain yang dapattimbul adalah tardive dyskinesia dimana terjadi pergerakan
mulut yang tidak dapat dikontrol, protruding tongue, dan facial grimace. Kemungkinan
terjadinya efek samping ini dapat dikurangi dengan menggunakan dosis efektif terendah
dari obat antipsikotik. Apabila penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional
mengalami tardive dyskinesia, dokter biasanya akan mengganti antipsikotik konvensional
dengan antipsikotik atipikal.
Obat-obat untuk Skizofrenia juga dapat menyebabkan gangguan fungsi seksual, sehingga
banyak penderita yang menghentikan sendiri pemakaian obat-obatan tersebut. Untuk
mengatasinya biasanya dokter akan menggunakan dosis efektif terendah atau mengganti
dengan newer atypical antipsycotic yang efek sampingnya lebih sedikit.
Peningkatan berat badan juga sering terjadi pada penderita Sikzofrenia yang memakan
obat. Hal ini sering terjadi pada penderita yang menggunakan antipsikotik atipikal. Diet
dan olah raga dapat membantu mengatasi masalah ini.
Efek samping lain yang jarang terjadi adalah neuroleptic malignant syndrome, dimana
timbul derajat kaku dan termor yang sangat berat yang juga dapat menimbulkan
komplikasi berupa demam penyakit-penyakit lain. Gejala-gejala ini membutuhkan
penanganan yang segera.
2) Terapi Elektrokonvulsif
Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal sebagai terapi elektroshock. ECT
telah menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. Di
masa lalu ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa,
termasuk schizophrenia. Namun terapi ini tidak membuahkan hasil yang bermanfaat.
Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan
pengalaman yang sangat menakutkan pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah
aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta
seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya,
intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai cacat
fisik.
Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan. Pasien diberi obat bius ringan
dan kemudian disuntik dengan penenang otot. Aliran listrik yang sangat lemah dialirkan
ke otak melalui kedua pelipisatau pada pelipis yang mengandung belahan otak yang tidak
dominan. Hanya aliran ringan yang dibutuhkan untuk menghasilkan serangan otak yang

diberikan, karena serangan itu sendiri yang bersifat terapis, bukan aliran listriknya.
Penenang otot mencegah terjadinya kekejangan otot tubuh dan kemungkinan luka. Pasien
bangun beberapa menit dan tidak ingat apa-apa tentang pengobatan yang dilakukan.
Kerancuan pikiran dan hilang ingatan tidak terjadi, terutama bila aliran listrik hanya
diberikan kepada belahan otak yang tidak dominan (nondominan hemisphere). Pada
pelaksanaan Terapi ini dibutuhkan persiapan sebagai berikut:
Pemeriksaan jantung, paru, dan tulang punggung.
Penderita harus puasa
Kandung kemih dan rektum perlu dikosongkan
Gigi palsu , dan benda benda metal perlu dilepaskan.
Penderita berbaring telentang lurus di atas permukaan yang datar dan agak keras.
Bagian kepala yang akan dipasang elektroda ( antara os prontal dan os temporalis)
dibersihkan.
Diantara kedua rahang di beri bahan lunak dan di suruh agar pasien
menggigitnya5,6,7,8
Frekuensi dilakukannya terapi ini tergantung dari keadaan penderita dapat diberi:
2-4 hari berturut turut 1-2 kali sehari
2-3 kali seminggu pada keadaan yang lebih ringan
Maintenance tiap 2-4 minggu
Dahulu sebelum jaman psikotropik dilakukan 12-20 kali tetapi sekarang tidak dianut
lagi 6,7.
Indikasi pemberian terapi ini adalah pasien skizofrenia katatonik dan bagi pasien karena
alasan tertentu karena tidak dapat menggunakan antipsikotik atau tidak adanya perbaikan
setelah pemberian antipsikotik.7
Kontra indikasi Elektro konvulsiv terapi adalah Dekompensasio kordis, aneurisma aorta,
penyakit tulang dengan bahaya fraktur tetapi dengan pemberian obat pelemas otot pada
pasien dengan keadaan diatas boleh dilakukan. Kontra indikasi mutlak adalah tumor
otak.7,8,9
Sebagai komplikasiterapi ini dapat terjadi luksasio pada rahang, fraktur pada vertebra,
Robekan otot-otot, dapat juga terjadi apnue, amnesia dan terjadi degenerasi sel-sel
otak.6,7,8,9
3) Pembedahan bagian otak
Pada tahun 1935, Moniz memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu preoses
pembedahan pada lobus frontalis penderita schizophrenia. Menurut Moniz, cara ini cukup
berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada penderita yang
berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950-an cara ini ditinggalkan karena
menyebabkan penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak
bergairah, bahkan meninggal.10
4) Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization)
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik, menstabilkan
medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh, prilaku yang

sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.6


Tujuan utama perawatan dirumah sakit yang harus ditegakkan adalah ikatan efektif antara
pasien dan sistem pendukung masyarakat. Rehabilitasi dan penyesuaian yang dilakukan
pada perawatan rumah sakit harus direncanakan. Dokter harus juga mengajarkan pasien
dan pengasuh serta keluarga pasien tentang skizofrenia.6
Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka
menyusunaktivitas harian mereka. Lamanya perawatan rumah sakit tergantung dari
keparahan penyakitpasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Rencana
pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah kehidupan,
perawatan diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit
harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas perawatan termasuk keluarga
pasien. Pusat perawatan dan kunjungan keluarga pasien kadang membantu pasien dalam
memperbaiki kualitas hidup.6
B. PSIKOTERAPI
Gejala-gejala gangguan schizophrenia yang kronik telah membuat situasi pengobatan di
dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan menjemukan. Para
psikiater dan petugas kesehatan terkondisi untuk menangani schizophrenia dengan obat
saja selain terapi kejang listrik (ECT). Psikoterapi suportif, terapi kelompok, maupun
terapi perilaku hampir tidak pernah dilakukan, karena dianggap tidak akan banyak
manfaatnya. Wawancara tatap muka yang rutin dengan pasien jarang dilakukan.
Psikoterapi adalah perawatan dan penyembuhan gangguan jiwa dengan cara psikologis.
beberapa pakar psikoterapi beranggapan bahwa perubahan perilaku tergantung pada
pemahaman individu atas motif dan konflik yang tidak disadari.
1) Terapi Psikoanalisa.
Terapi Psikoanalisa adalah metode terapi berdasarkan konsep Freud. Tujuan psikoanalisis
adalah menyadarkan individu akan konflik yang tidak disadarinya dan mekanisme
pertahanan yang digunakannya untuk mengendalikan kecemasannya . Hal yang paling
penting pada terapi ini adalah untuk mengatasi hal-hal yang direpress oleh penderita.
Metode terapi ini dilakukan pada saat penderita schizophrenia sedang tidak kambuh.
Macam terapi psikoanalisa yang dapat dilakukan, adalah Asosiasi Bebas. Pada teknik
terapi ini, penderita didorong untuk membebaskan pikiran dan perasaan dan
mengucapkan apa saja yang ada dalam pikirannya tanpa penyuntingan atau
penyensoran.11
Pada teknik ini, penderita disupport untuk bisa berada dalam kondisi relaks baik fisik
maupun mental dengan cara tidur di sofa. Ketika penderita dinyatakan sudah berada
dalam keadaan relaks, maka pasien harus mengungkapkan hal yang dipikirkan pada saat
itu secara verbal.
Pada saat penderita tidur di sofa dan disuruh menyebutkan segala macam pikiran dan
perasaan yang ada di benaknya dan penderita mengalami blocking, maka hal itu
merupakan manifestasi dari keadaan over-repressi. Hal yang direpress biasanya berupa

dorongan vital seperti sexual dan agresi. Repressi terhadap dorongan agresi menyangkut
figur otorotas yang selalu diwakili oleh father dan mother figure. Repressi anger dan
hostile merupakan salah satu bentuk intrapsikis yang biasa menyebabkan blocking pada
individu. Akibat dari blocking tersebut, maka integrasi kepribadian menjadi tidak baik,
karena ada tekanan ego yang sangat besar.
Menurut Freud, apabila terjadi blocking dalam proses asosiasi bebas, maka penderita
akan melakukan analisa. Hasil dari analisanya dapat menimbulkan insight pada penderita.
Analisa pada waktu terjadi blocking bertujuan agar penderita mampu menempatkan
konfliknya lebih proporsional, sehingga penderita mengalami suatu proses penurunan
ketegangan dan penderita lebih toleran terhadap konflik yang dialaminya.
Seperti yang telah diungkapkan terdahulu bahwa penderita diberi kesempatan untuk dapat
mengungkapkan segala traumatic events dan keinginan-keinginan yang direpressnya.
Waktu ini disebut dengan moment chatarsis. Disini penderita diberi kesempatan untuk
mengeluarkan uneg-uneg yang ia rasakan , sehingga terjadi redusir terhadap pelibatan
emosi dalam menyelesaikan masalah yang dialaminya. Dalam teknik asosiasi bebas ini,
juga terdapat proses transference, yaitu suatu keadaan dimana pasien menempatkan
therapist sebagai figur substitusi dari figur yang sebenarnya menimbulkan masalah bagi
penderita. Terdapat 2 macam transference, yaitu (1) transference positif, yaitu apabila
therapist menggantikan figur yang disukai oleh penderita, (2) transference negatif, yaitu
therapist menggantikan figur yang dibenci oleh penderita.11
2) Terapi Perilaku (Behavioristik)
Pada dasarnya, terapi perilaku menekankan prinsip pengkondisian klasik dan operan,
karena terapi ini berkaitan dengan perilaku nyata. Para terpist mencoba menentukan
stimulus yang mengawali respon malasuai dan kondisi lingkungan yang menguatkan atau
mempertahankan perilaku itu.
Akhir-akhir ini, pakar terapi perilaku melihat adanya pengaruh variabel kognitif pada
perilaku (misalnya, pemikiran individu tentang situasi menimbulkan kecemasan tentang
akibat dari tindakan tertentu) dan telah mencakupkan upaya untuk mengubah variabel
semacam itu dengan prosedur yang khusus ditujukan pada perilaku tersebut. Pada
kongres psikiatri di Malaysia tahun 2000 ini, cognitif behavior therapy untuk pasien
schizophrenia ditampilkan pakar psikiatri dari Amerika maupun dari Malaysia sendiri.
Ternyata, terdapat hasil yang cukup baik, terutama untuk kasus-kasus baru, dengan
menggunakan cognitif behavior therapy tersebut. Rupanya ada gelombang besar
optimisme akan kesembuhan schizophrenia di dunia dengan terapi yang lebih
komprehensif ini.
Selain itu, secara umum terapi ini juga bermaksud secara langsung membentuk dan
mengembangkan perilaku penderita schizophrenia yang lebih sesuai, sebagai persiapan
penderita untuk kembali berperan dalam masyarakat. Paul dan Lentz menggunakan dua
bentuk program psikososial untuk meningkatkan fungsi kemandirian.
a. Social Learning Program.
Social learning program menolong penderita schizophrenia untuk mempelajari perilaku-

perilaku yang sesuai. Program ini menggunakan token economy, yakni suatu cara untuk
menguatkan perilaku dengan memberikan tanda tertentu (token) bila penderita berhasil
melakukan suatu perilaku tertentu. Tanda tersebut dapat ditukar dengan hadiah (reward),
seperti makanan atau hak-hak tertentu.
Program lainnya adalah millieu program atau therapeutic community. Dalam program ini,
penderita dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang mempunyai tanggung jawab
untuk tugas-tugas tertentu. Mereka dianjurkan meluangkan waktu untuk bersama-sama
dan saling membantu dalam penyesuaian perilaku serta membicarakan masalah-masalah
bersama dengan pendamping. Terapi ini berusaha memasukkan penderita schizophrenia
dalam proses perkembangan untuk mempersiapkan mereka dalam peran sosial yang
bertanggung jawab dengan melibatkan seluruh penderitan dan staf pembimbing.
Dalam penelitian, social learning program mempunyai hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan perawatan dalam rumah sakit jiwa dan millieu program. Persoalan
yang muncul dalam terapi ini adalah identifikasi tentang unsur-unsur mana yang efektif.
Tidak jelas apakah penguatan dengan tanda (token) ataukan faktor-faktor lain yang
menyebabkan perubahan perilaku; dan apakah program penguatan dengan tanda tersebut
membantu perubahan perilaku hanya selama tanda diberikan atau hanya dalam
lingkungan perawatan.
b. Social Skills Training.
Terapi ini melatih penderita mengenai ketrampilan atau keahlian sosial, seperti
kemampuan percakapan, yang dapat membantu dalam beradaptasi dengan masyarakat.
Social Skills Training menggunakan latihan bermainsandiwara. Para penderita diberi
tugas untuk bermain peran dalam situasi-situasi tertentu agar mereka dapat
menerapkannya dalam situasi yang sebenarnya. Bentuk terapi seperti ini sering
digunakan dalam panti-panti rehabilitasin psikososial untuk membantu penderita agar
bisa kembali berperan dalam masyarakat. Mereka dibantu dan didukung untuk
melaksanakan tugas-tugas harian seperti memasak, berbelanja, ataupun utnuk
berkomunikasi, bersahabat, dan sebagainya.
Meskipun terapi ini cukup berhasil, namun tetap ada persoalan bagaimana
mempertahankan perilaku bila suatu program telah selesai, dan bagaimana dengan
situasi-situasi yang tidak diajarkan secara langsung.
3) Terapi Humanistik
a. Terapi Kelompok.
Banyak masalah emosional menyangkut kesulitan seseorang dalam berhubungan dengan
orang lain, yang dapat menyebabkan seseorang berusaha menghindari relasinya dengan
orang lain, mengisolasi diri, sehingga menyebabkan pola penyelesaian masalah yang
dilakukannya tidak tepat dan tidak sesuai dengan dunia empiris. Dalam menangani kasus
tersebut, terapi kelompok akan sangat bermanfaat bagi proses penyembuhan klien,
khususnya klien schizophrenia.
Terapi kelompok ini termasuk salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini, beberapa
klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator dan

sebagai pemberi arah di dalamnya. Di antara peserta terapi tersebut saling memberikan
feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami oleh mereka.
Klien dihadapkan pada setting sosial yang mengajaknya untuk berkomunikasi, sehingga
terapi ini dapat memperkaya pengalaman mereka dalam kemampuan berkomunikasi. Di
rumah sakit jiwa, terapi ini sering dilakukan. Melalui terapi kelompok ini iklim
interpersonal relationship yang konkrit akan tercipta, sehingga klien selalu diajak untuk
berpikir secara realistis dan menilai pikiran dan perasaannya yang tidak realistis.
b. Terapi Keluarga.
Terapi keluarga ini merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok. Kelompoknya
terdiri atas suami istri atau orang tua serta anaknya yang bertemu dengan satu atau dua
terapist. Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan
tinggal bersama keluarganya. Ungkapan-ungkapan emosi dalam keluarga yang bisa
mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali diusahakan kembali. Keluarga diberi
informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif
maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap
persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita
dan cara-cara untuk menghadapinya. Keluarga juga diberi penjelasan tentang cara untuk
mendampingi, mengajari, dan melatih penderita dengan sikap penuh penghargaan.
Perlakuan-perlakuan dan pengungkapan emosi anggota keluarga diatu dan disusun
sedemikian rupa serta dievaluasi.
Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Fallon ternyata campur tangan
keluarga sangan membantu dalam proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya
mencegah kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi secara
individual.

DAFTAR PUSTAKA
Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. PT.Nuh Jaya.

Jakarta. 2003.
Harold l. Kaplan, Benjamin J. Sadock, Jack A. Grebb. Sinopsis Psikiatri jilid satu. Jakarta :
Binarupa Aksara, 2010. Hal : 699-744.

You might also like