You are on page 1of 30

ANALISIS JURNAL

TERAPI MUSIK KELOMPOK BAGI LANSIA


Stase Keperawatan Komunitas Gerontologi
Di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur

Disusun Oleh:
Lina Anisa Nasution

13/359164/KU/16487

Aprilia Putri Ramadhani

13/359166/KU/16489

Lailia Nuraini

13/359167/KU/16490

Ristia Anggarini

13/359170/KU/16493

Arika Mimanda

13/359171/KU/16494

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.
Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
limpahan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan laporan analisis jurnal Terapi Musik
Kelompok Pada Lansia dapat terlaksana dengan baik.
Tujuan penyusunan karya tulis ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas Profesi Stase
Keperawatan Gerontik yang berlangsung pada tanggal 7 April 2014 hingga 12 April 2014 di PSTW
Yogyakarta Unit Budi Luhur. Terselesaikannya penyusunan laporan ini tidak lepas dari dukungan
dan peran serta berbagai pihak, antara lain:
1.

Bapak Purawanta S. Kp., M.Kes dan Bapak Dwi Harjanto S. Kp., M.Kes selaku pembimbing
akademik di PSTW yogyakarta Unit Budi Luhur.
2.

Tenaga kesehatan maupun tenaga sosial yang berada di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur
sebagai pembimbing lapangan/lahan.
Kami menyadari bahwa laporan ini belum sempurna baik dari segi isi ataupun penyajiannya.
Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Wassalamualaikum wr.wb.
Yogyakarta, 10 April 2014

Penyusun

DAFTAR ISI
2

Halaman
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................................

KATA PENGANTAR............................................................................................. ..................... ii


DAFTAR ISI..................................................................................................... ............................ iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................. 1
A.
B.
C.
D.

Latar Belakang ................................................................................................................


Rumusan Masalah .........................................................................................................
Tujuan ............................................................................................................................
Manfaat Penelitian .........................................................................................................

1
2
3
3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 4


A. Lanjut Usia ...................................................................................................................... 4
B. Kesepian ............................................................................................................................ 4
C. Terapi Musik Kelompok.................................................................................................... 10
BAB III ANALISIS JURNAL ...................................................................................................... 15
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

BAB I
3

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah semakin meningkatnya usia harapan
hidup penduduk. Usia harapan hidup penduduk yang semakin meningkat, menyebabkan jumlah
penduduk lanjut usia meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah
penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (BPS, 2010).
Lanjut usia yang mengalami penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial dapat
berpotensi menimbulkan berbagai masalah kesehatan secara umum dan secara khusus dapat
mengganggu kesehatan jiwa lanjut usia. Kondisi ini menjadikan alasan para lanjut usia
ditempatkan di panti sosial, salah satunya karena kondisi yang sudah tua sehingga tidak lagi
punya nilai produktif (Sari, 2011). Faktor kesibukan keluarga, alasan ekonomi keluarga dan
masalah jarak membuat para lanjut usia kurang mendapat perhatian dan perawatan dari
keluarganya, hal ini dapat

menjadi faktor pendorong keluarga untuk menitipkan anggota

keluarga yang lanjut usia di panti sosial (Adwi, 2011).


Lanjut usia yang berada di panti sosial merupakan individu yang memiliki kerentanan
mengalami kesepian (Yuwanto, 2011). Kesepian dapat ditimbulkan karena kurangnya aktivitas
yang dapat mempengaruhi makna hidup bagi lanjut usia. Kesepian yang dialami oleh lanjut usia
dapat menyebabkan kepuasan hidup yang rendah (Adwi, 2011). Terdapat beberapa faktor umum
perasaan yang muncul ketika seseorang berada dalam kesepian, diantaranya adalah putus asa,
panik dan lemah, depresi, bosan, tidak sabar, serta mengutuk diri sendiri (Rubenshein & Shaver
cit Lestari & Fakhrurrozi, 2008). Beberapa penelitian oleh Louise Hawkley dan Jhon Cacioppo
ahli psikologi dari Universitas Chicago Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa penderita
kesepian mungkin tenang dan tidak bisa ditandai sejak dini namun hal tersebut akan tumbuh
seiring dengan berjalannya waktu (Martin & Osborn, 2008).
Banyak ahli dan peneliti yang menyatakan bahwa orang yang menderita kesepian lebih
sering mendatangi layanan gawat darurat 60% lebih banyak bila dibandingkan dengan mereka
yang tidak menderitanya, dua kali lipat lebih banyak membutuhkan perawatan di rumah,
beresiko terkena influenza sebanyak dua kali lipat, beresiko empat kali lipat mengalami
serangan jantung dan mengalami kematian akibat serangan jantung tersebut, juga beresiko
meningkatkan mortalitas dan kejadian stroke dibanding yang tidak kesepian (Probosuseno,
2007).
4

Oleh karena itu, perlu adanya cara yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah
kesepian. Salah satu cara untuk mencegah masalah kesepian pada lansia adalah dengan terapi
musik. Sejak tahun 1940-an, musik telah digunakan sebagai intervensi nonfarmakologi untuk
perubahan perilaku, emosi, dan psikologi khususnya kesepian (Chen et al., 2009). Musik
memiliki efek yang baik untuk psikologis manusia diantaranya dapat menenangkan pikiran dari
tekanan batin, menghilangkan rasa kesepian, panik dan gangguan mental lainnya (Sausser &
Waller, 2006).
Terapi musik memiliki dua cabang utama yaitu terapi musik aktif dan terapi musik pasif.
Terapi musik aktif adalah suatu intervensi pemberian terapi musik kepada peserta berupa
bernyanyi, belajar bermain alat musik bahkan membuat lagu singkat atau dengan kata lain
terjadi interaksi yang aktif. Terapi musik secara pasif, peserta hanya mendengarkan musik yang
telah direkam saja tanpa ada keterlibatan aktif dari peserta tersebut (Halim, 2003).
Panti Sosial Tresna Werdha Yogyakarta Unit Budi Luhur memiliki beberapa program
kegiatan untuk para lanjut usianya, diantaranya adalah senam, menyanyi, day care dan bermain
gamelan. Lansia di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur melakukan kegiatan yang berbeda setiap
harinya. PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur mempunyai 9 wisma dan semua lansia yang
tersebar dalam 9 wisma tersebut dapat mengikuti seluruh kegiatan di PSTW Yogyakarta Unit
Budi Luhur sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Wisma Himawari dan wisma Edelweis
merupakan wisma yang mayoritas penghuninya adalah lansia dengan umur >70 tahun. Lansia di
wisma Himawari dan wisma Edelweis memiliki risiko yang tinggi untuk merasakan kesepian
karena adanya beberapa konflik dengan sesama lansia dan kurangnya social support dari
lingkungan mereka. Berdasarkan latar belakang di atas maka kelompok kami akan mengangkat
jurnal mengenai terapi musik dan melakukan terapi aktivitas kelompok yang berupa terapi
musik kelompok untuk wisma Himawari dan wisma Edelweis di Panti Sosial Tresna Werdha
Yogyakarta Unit Budi Luhur.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh terapi musik kelompok terhadap faktor fisik, psikologis, sosial dan
kognitif pada lanjut usia?

C. Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh terapi musik kelompok terhadap faktor fisik, psikologis, sosial
dan kognitif pada lanjut usia.
5

D. Manfaat penelitian
1. Membantu para lanjut usia untuk dapat meningkatkan kesehatan lansia terkait faktor fisik,
psikologis, sosial dan kognitif.
2. Memberikan informasi untuk meningkatkan dan memperbaiki pelayanan kesehatan bagi
para lanjut usia di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur secara adekuat.
3. Memberikan informasi kepada PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur untuk dapat menerapkan
terapi musik kelompok sebagai salah satu terapi untuk lansia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Lanjut Usia
1. Pengertian lanjut usia.
6

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut


Usia, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah penduduk yang telah mencapai usia 60
tahun ke atas (BPS, 2010). Berdasarkan data dari WHO (2010) lanjut usia dibagi menjadi
empat kelompok yaitu middle age (45-59 tahun), elderly (60-74 tahun), old (75-90 tahun)
dan very old (di atas 90 tahun) (Nugroho, 2005).
Masa lanjut usia adalah periode yang di mulai pada usia 60 tahun dan berakhir
dengan kematian. Masa ini adalah masa penyesuaian diri atas berkurangnya kekuatan dan
kesehatan, menata kembali kehidupan, masa pensiun dan penyesuaian diri dengan peran
sosial baru (Santrock, 2006). Lanjut usia adalah seorang laki-laki atau perempuan yang
berusia 60 tahun atau lebih, baik yang secara fisik masih berkemampuan (potensial)
ataupun karena sesuatu hal tidak lagi mampu berperan secara aktif dalam pembangunan
(tidak potensial) (Depkes, 2001).
B. Kesepian
1. Pengertian kesepian.
Kesepian adalah kondisi isolasi sosial yang subyektif (subjective social isolation),
dimana situasi yang dialami individu tersebut dirasa tidak menyenangkan dan tidak
diragukan lagi sehingga terjadi kekurangan kualitas hubungan (lack of quality of
relationship) (Gierveld & Havens, 2004). Kesepian merupakan kondisi dimana orang
merasa tersisih dari kelompoknya, tidak diakui eksistensinya, tidak diperhatikan oleh
orang-orang sekitarnya, tidak ada tempat berbagi rasa, terisolasi dari lingkungan sehingga
menimbulkan rasa sunyi, sepi, pedih dan tertekan (Hanum cit Oktaria, 2009).
2. Faktor yang mempengaruhi kesepian pada lansia
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hazer dan Boylu (2010) terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesepian pada lansia, yaitu :
a. Jenis kelamin
Menurut beberapa penelitian, laki-laki lebih sering kesepian dibandingkan dengan
perempuan, namun studi lain melaporkan dengan hasil yang bertentangan. Wanita
mungkin memiliki jaringan sosial yang lebih besar daripada laki-laki sehingga tingkat
kesepian pada perampuan lebih dapat diatasi (Chang & Yang, 1999 cit Hazer & Boylu,
2010).
Ditinjau dan jenis kelamin dan status pernikahannya, maka terlihat bahwa tidak ada
perbedaan antara lansia pria yang masih memiliki pasangan dengan lansia wanita yang
masih memiliki pasangan. Begitu pula dengan lansia duda dan lansia janda, keduanya
7

tidak menunjukkan adanya perbedaan terhadap perasaan kesepian (Hendriarti, 2010).


Penelitian lain menunjukkan bahwa perempuan lebih mementingkan hubungan
emosional. Jika mereka tidak mempunyai hubungan yang baik maka mereka akan lebih
merasakan kesepian, sedangkan pria lebih bisa bersosialisasi dan tidak merasa kesepian
(Adams cit Rudy, 2010). Oleh karena itu, jenis kelamin belum menampilkan hasil yang
signifikan terhadap tingkat kesepian lansia.
b. Usia
Terdapat hubungan yang signifikan antara usia dan perasaan kesepian yang dialami
lansia. Ada kecenderungan kesepian meningkat seiring dengan peningkatan usia
seseorang (Baretta, Dantzler & Kayson, 1995 cit Hazer & Boylu, 2010).
Meningkatnya kasus kesepian pada orang tua sebagian disebabkan oleh
bertambahnya harapan hidup dan kehidupan anggota keluarganya yang terpencar-pencar.
Lebih dari separuh dari orang usia 75 tahun yang hidup sendiri, dan sekitar satu dari 10
lansia mengidap kesepian yang kronis (Barnett, 2011). Para lansia cenderung merasa
kesepian yang merupakan gejala depresi yang disebabkan oleh rasa kehilangan seperti
kehilangan pasangan hidup, anak-anak yang sudah berkeluarga, teman-teman, jabatan
atau pekerjaan, pendapatan, serta penampilan fisiknya karena penuaan (Susanto, 2011).
c. Tingkat pendidikan
Terdapat korelasi positif antara tingkat pendidikan dan perasaan kesepian pada
lansia. Tingkat pendidikan yang tinggi berjalan seiring dengan tingkat ekonomi,
intelektual, dan sosial budaya seseorang. Lansia dengan tingkat pendidikan yang tinggi
cenderung lebih rendah untuk mengalami kesepian daripada lansia dengan pendidikan
yang rendah (Probosuseno, 2007). Orang dengan pendidikan yang tinggi memiliki lebih
banyak hal untuk melakukan sesuatu yang bermakna dan mereka lebih mungkin untuk
berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan budaya (Baarsen, 2002).
Kesepian lebih kerap dialami oleh lansia yang hidup sendirian dengan tingkat
pendidikan rendah, introvert, rasa percaya diri rendah, kondisi sosial ekonomi menurun
akibat pensiun yang menimbulkan perasaan kehilangan prestise, dan sebagainya.
Kesepian yang dialami seseorang jika keadaannya parah dapat berlanjut menjadi depresi
(Probosuseno, 2007).
d. Status Pernikahan.
Lansia yang menikah cenderung lebih rendah perasaan kesepiannya dibandingkan
lansia tanpa pasangan hidup (duda dan janda). Janda/duda dan kehilangan seorang teman
dekat adalah penentu jelas untuk perasaan kesepian (Baarsen, 2002).
Memasuki lanjut usia menyebabkan lansia mengalami beberapa kemundurankemunduran baik secara fisik, ketahanan tubuh maupun pada fungsi sensorisnya. Hal
8

inilah yang mengakibatkan lansia membutuhkan dukungan dari orang lain termasuk
pasangan hidupnya (Hazer & Boylu, 2010). Kehilangan pasangan hidup dapat
menurunkan kesejahteraan psikologis pada pasangan yang ditinggalkan, hal ini terjadi
karena berkurangnya minat pada pasangan yang ditinggalkan untuk menjalin hubungan
yang positif dengan orang lain. Berkurangnya minat ini ditunjukkan dengan penarikan
dan penutupan diri yang dapat mengakibatkan perasaan kesepian pada lansia (Fitriyuliani,
2008).
e. Mempunyai anak
Lansia dengan keberadaan anak disampingnya mampu menekan perasaan kesepian
yang dialami olah lansia tersebut. Lansia dengan anak cenderung lebih bisa
meningkatkan komunikasi daripada lansia tanpa anak. Komunikasi yang terjalin
membuat hidup lansia menjadi lebih bermakna. Lansia akan merasa lebih dihargai dan
dibutuhkan (Zhang & Hayward, 2001). Hal ini didukung pula dengan seringnya kontak
antara lansia dengan anaknya. Oleh karena itu, meskipun mempunyai anak namun tidak
pernah kontak atau jarang berkomunikasi dapat meningkatkan perasaan kesepian pada
lansia ( Dykstra & De Jong Gierveld, 1999 cit Hazer & Boylu, 2010).
f. Kesehatan lansia
Terdapat hubungan yang signifikan antara perasaan kesepian dan masalah
kesehatan. Penyakit fisik mampu mempengaruhi psikologis seseorang (Fitriyuliani,
2008). Penyakit pada lansia meningkatkan perasaan takut pada lansia terhadap masa
depannya, sehingga lansia dengan ketakutannya cenderung lebih suka menyendiri. Lansia
yang menyendiri dapat meningkatkan resiko mengalami perasaan kesepian. Situasi ini
dapat menyebabkan isolasi sosial bagi lansia tersebut (Page & Cole cit Hazer & Boylu,
2010). Penyakit tidak hanya mempengaruhi fungsi fisik namun juga dapat berpengaruh
pada fungsi psikologisnya. Oleh karena itu, keluarga harus mampu menjaga emosional
penderita.
Orang yang menderita kesepian lebih sering mendatangi layanan gawat darurat
dibanding mereka yang tidak kesepian. Orang yang kesepian juga berisiko empat kali
lipat lebih besar mengalami serangan jantung dan kematian ketimbang mereka yang
hidup bahagia tanpa rasa kesepian (Dennis & Sidakaton, 2010).
g. Kontak sosial dan jaringan sosial
Kontak sosial dan menjalin jaringan sosial berpengaruh pada perasaan kesepian
lansia (Mullins & Dugan, 2007 cit Hazer & Boylu, 2010). Orang tua yang memiliki
keterbatasan jaringan sosial cenderung lebih beresiko mengalami perasaan kesepian
(Bondevik & Skogstad, 1996 cit Hazer & Boylu, 2010).
9

Ketidakmampuan atau keengganan untuk membuat kontak sosial yang baru, miskin
kesadaran diri dan ketidakamanan dapat menyebabkan isolasi sosial. Keadaan lansia yang
mengalami isolasi sosial meningkatkan perasaan kesepian pada lansia (Hazer & Boylu,
2010). Rasa kesepian ini akan terasa begitu dalam terutama oleh lansia yang sebelumnya
sangat aktif dalam berbagai kegiatan, atau kerap berhubungan dengan orang banyak, tibatiba harus meninggalkan kegiatan-kegiatannya tersebut (Dennis & Sidakaton, 2010).
h. Demensia pada lansia.
Tanda-tanda adanya demensia secara sosial adalah merasa kesepian. Lansia dengan
demensia mengalami gangguan dalam berkomunikasi dengan orang lain, baik dengan
keluarga, maupun dengan orang lain (Steven et al.,1999). Gejala tersebut menyebabkan
lansia merasa sendiri dan pada akhirnya merasa kesepian.
3. Klasifikasi Kesepian
Macam-macam kesepian menurut Robert Good (2003) dalam Latifa (2008) yaitu: 1)
state loneliness adalah kesepian yang bersifat sementara (beberapa hari atau minggu), 2)
traits loneliness adalah perasaan kesepian yang dirasakan individu setiap waktu.
Klasifikasi kesepian lain menurut Lauer (2003) dalam Latifa (2008) dibagi menjadi
beberapa tipe, yaitu:
a. Kesepian sosial
Kesepian sosial adalah kesepian yang diakibatkan oleh kurangnya hubungan
interpersonal yang diinginkan (Fitriyuliani, 2008). Kesepian sosial ditandai dengan
tidak adanya sosial network, diakibatkan oleh karena kurangnya teman, kerabat, atau
orang-orang dari lingkup sosial yang sama, dimana mereka dapat beraktivitas atau
melakukan minat yang sama. Perasaan kesepian ini ditandai dengan adanya perasaan
bosan dan marginal (terpinggirkan) (Lauer, 2003 cit Latifa, 2008).
b. Kesepian emosional
Kesepian emosional adalah kesepian yang diakibatkan oleh kurangnya hubungan
yang intim atau akrab dari yang diinginkan. Kesepian emosional ditandai dengan
tidak adanya kelekatan emosional dan hanya diperbaharui melalui penyatuan
emosional tersebut terhadap orang lain yang pernah hilang (Latifa, 2008).
Pembagian kesepian juga dikemukakan oleh Beck dan Young (1982) dalam
Peplau (2008), sehingga kesepian dapat dibagi menjadi:
1) Kesepian kronik
Kesepian ini terjadi apabila setelah jangka waktu bertahun-tahun individu ini
tidak mampu untuk mengembangkan relasi sosialnya
2) Kesepian situasional
10

Kesepian ini terjadi saat seorang lansia mengalami perubahan besar dalam
hidupnya yang mengakibatkan dirinya stress, misalnya saja kematian pasangan
hidup, kematian anak, berakhirnya pernikahan, dan lain-lain.
3) Kesepian Transient
Kesepian dalam tipe ini merupakan kesepian yang paling umum dan terjadi
secara singkat serta tidak mendalam (Berg & Peplau, 1982 cit Hayati, 2010).

4. Dampak Kesepian pada Lansia


Ketika

seseorang

mengalami

kesepian,

hal

tersebut

dapat

menyebabkan

keputusasaan, rasa kehilangan dan distress. Perasaan kesepian disebabkan oleh perasaan
keterpisahan yang tidak dapat ditoleransi lagi pada tingkatan yang paling dalam (Latifa,
2008).
Banyak ahli dan peneliti yang menyatakan bahwa orang yang menderita kesepian
lebih sering mendatangi layanan gawat darurat 60% lebih banyak bila dibandingkan
dengan mereka yang tidak menderitanya, dua kali lipat lebih banyak membutuhkan
perawatan di rumah, beresiko terkena influenza sebanyak dua kali lipat, beresiko empat
kali lipat mengalami serangan jantung dan mengalami kematian akibat serangan jantung
tersebut, juga beresiko meningkatkan mortalitas dan kejadian stroke dibanding yang tidak
kesepian (Probosuseno, 2007).
Kesepian juga dapat berdampak pada segi psikologis lansia. Kondisi kesepian yang
dialami oleh lansia mempercepat timbulnya kondisi psikopatologis dalam dirinya sendiri.
Kondisi kesepian ini merupakan kondisi awal terjadinya penyakit psikopatologis yang
lebih berat (Fitriyuliani, 2008). Psikopatologis yang menyerang lanjut usia yang
mengalami perasaan kesepian yaitu, depresi, stress, Alzeimer, Demensia, dan lain-lain
(Wilson cit Latifa, 2008).
Dampak lain yang dapat dirasakan oleh lansia yang mengalami kesepian dipaparkan
oleh Robinson (1994) dalam Oktaria (2009)yaitu :
1)
2)
3)
4)

Mengalami rendah diri, bergantung pada teman untuk membangun harga dirinya.
Menyalahkan diri sendiri.
Tidak ingin berusaha untuk terlibat pada kegiatan sosial.
Mempunyai kesulitan untuk memperlihatkan diri dalam berkelakuan dan takut

untuk berkata ya atau tidak untuk hal yang tidak sesuai.


5) Takut bertemu orang lain dan menghindari situasi baru.
11

6) Mempunyai persepsi negatif tentang diri sendiri.


7) Merasakan keterasingan, kesendirian dan perasaan tidak bahagia terhadap
lingkungan sekitar.
C. Terapi Musik Kelompok
1. Pengertian Terapi Musik
Musik merupakan seni yang melukiskan pemikiran dan perasaan manusia lewat
keindahan suara. Musik merupakan refleksi perasaan suatu individu atau masyarakat.
Musik merupakan hasil dari cipta dan rasa manusia atas kehidupan dan dunianya. Musik
mampu menenangkan pikiran saat bosan, gundah, dan juga sebagai terapi reaktif (Lan,
2009). Terapi musik terdiri dari dua kata yaitu terapi dan musik. Kata terapi berkaitan
dengan serangkaian upaya yang dirancang untuk membantu atau menolong orang.
Biasanya kata tersebut digunakan dalam konteks masalah fisik dan mental (Djohan,
2006).
2. Klasifikasi terapi musik
Dalam dunia penyembuhan dengan musik, dikenal 2 macam terapi musik, yaitu :
a. Terapi musik aktif.
Terapi musik aktif adalah keahlian menggunakan musik dan elemen musik untuk
meningkatkan, mempertahankan dan mengembalikan kesehatan mental, fisik, emosional,
dan spiritual. Terapi musik aktif ini dapat dilakukan dengan cara mengajak klien
bernyanyi, belajar main alat musik, bahkan menggunakan lagu singkat atau dengan kata
lain terjadi interaksi yang aktif antara yang diberi terapi dengan yang memberi terapi
(Halim, 2003 cit Purwanta, 2007).
b. Terapi musik pasif
Terapi musik pasif adalah terapi musik dengan cara mengajak klien mendengarkan
musik. Hasilnya akan efektif bila klien mendengarkan musik yang disukainya (Halim,
2003 cit Purwanta, 2007). Terapi musik pasif merupakan terapi musik yang murah,
mudah dan efektif. Terapi musik pasif merupakan terapi yang tidak melibatkan pasien,
bertujuan untuk menjadikan pasien rileks dan tenang (Deviana, 2011). Hal terpenting
dalam terapi musik pasif adalah pemilihan jenis musik harus tepat dengan kebutuhan
pasien.
3. Pengaruh terapi musik
Terapi musik memiliki pengaruh dan manfaat yang besar pada setiap orang yang
mendengarkannya. Terapi musik juga dapat berpengaruh pada sistem saraf otak kita.
Terdapat tiga sistem saraf dalam otak yang akan terpengaruh oleh musik yang didengarkan,
yaitu:
a. Sistem otak yang memproses perasaan.
12

Musik adalah bahasa jiwa, musik mampu membawa perasan kearah mana saja.
Musik yang Anda dengar akan merangsang sistem saraf yang akan menghasilkan suatu
perasaan. Perangsangan sistem saraf ini mempunyai arti penting bagi pengobatan,
karena sistem saraf ambil bagian dalam proses fisiologis (Deviana, 2011). Dalam ilmu
kedokteran jiwa, jika emosi tidak harmonis, maka akan mengganggu sistem lain dalam
tubuh kita, misalnya sistem pernapasan, sistem endokrin, sistem immune, sistem
kardiovaskuler, sistem metabolik, sistem motorik, sistem nyeri, sistem temperatur dan
lain sebagainya. Semua sistem tersebut dapat bereaksi positif jika mendengar musik
yang tepat (Silvia, 2009).
b. Sistem otak kognitif
Aktivasi sistem otak kognitif dapat terjadi walaupun seseorang tidak
mendengarkan atau memperhatikan musik yang sedang diputar. Musik akan
merangsang sistem ini secara otomatis, walaupun seseorang tidak menyimak atau
memperhatikan musik yang sedang diputar (Silvia, 2009). Jika sistem ini dirangsang
maka akan dapat meningkatkan memori, matematika, logika, bahasa, musik dan
emosi.
Musik berhasil merangsang pola pikir dan menjadi jembatan bagi pemikiranpemikiran yang lebih kompleks. Didukung pula oleh Goleman (1995) dalam Martin
Gardiner (1996) dari hasil penelitiannya mengatakan seni dan musik dapat membuat
para siswa lebih pintar, musik dapat membantu otak berfokus pada hal lain yang
dipelajari (Fauzi, 2008). Penelitian lain terkait dengan pengaruh musik yaitu mampu
menjadikan seseorang berpikir logis dan intutif, sekaligus cerdas, kreatif, jujur, dan
tajam perasaannya (Sirait, 2006).

c. Sistem dalam tubuh.


Musik secara langsung bisa mempengaruhi kerja otot kita. Detak jantung dan
pernafasan bisa melambat atau cepat secara otomatis, tergantung alunan musik yang
didengar. Bahkan bayi dan orang tidak sadar pun tetap terpengaruh oleh alunan musik
(Sacks, 2011). Musik mampu mempengaruhi sistem dalam tubuh kita, termasuk
13

hormon-hormon dalam tubuh. Musik mampu mempengaruhi denyut jantung dan


tekanan darah dengan merangsang hormon adrenalin.
Jenis musik tertentu ternyata dapat memberikan efek relaksasi. Musik yang
menenangkan ini juga dipakai dalam pengobatan penderita infark miokard (serangan
jantung), pasien sebelum operasi, bahkan untuk menurunkan stress pasien yang
menunggu di ruang tunggu praktek (Sirait, 2006).
4. Terapi musik kelompok
Terapi musik memiliki sedikit perbedaan dengan terapi musik kelompok, namun efek
dan manfaatnya tetap sama (Mohammadi et al., 2009). Terapi musik kelompok adalah salah
satu kombinasi baru yang merupakan hasil adaptasi penggabungan antara terapi musik
secara aktif maupun secara pasif (Chen et al., 2009).
Terapi musik kelompok dapat dilakukan dengan berbagai cara. Menurut Mohammadi et
al., (2009) terdapat 5 tahapan terapi musik yang dapat dilakukan, yaitu: 1) memainkan alat
musik, 2) bernyanyi, 3) menari, 4) mendengarkan lagu atau musik, 5) Live music
(mengekspresikan diri lewat musik). Bentuk pengekspresian diri ini bisa berupa puisi,
kemarahan, teriakan, kekesalan, dan nyanyian. Berbeda dari Mohammadi et al., (2009),
Chen et al., (2009) membagi terapi musik kelompok menjadi 8 fase/tahapan, yaitu:
1) Tahap awal
Tahap awal fase merupakan tahap perkenalan dimana fasilitator atau peneliti dan
peserta memperkenalkan diri masing-masing. Perkenalan ini meliputi nama, latar
belakang singkat untuk para peserta dan peneliti. Setelah perkenalan yang singkat
perlu ada sedikit penjelasan tentang kegiatan yang akan dilakukan oleh peneliti (Chen
et al., 2009). Tahap perkenalan ini diharapkan dapat menambah keakraban dan
kepercayaan antara peserta dan peneliti/fasilitator.
2) Pemanasan
Fase pemanasan merupakan fase pelenturan otot-otot terutama otot tangan dan
persendian, yang dapat dilakukan dalam fase ini adalah kegiatan pijat memijat ataupun
senam ringan. Pemijatan dapat dilakukan secara mandiri, bergantian ataupun saling
memijat antar peserta lansia (Pacchetti et al., 2001). Fase pemanasan ini dapat diiringi
dengan menggunakan alunan musik dan dapat juga diselingi dengan game/permainan,
sehingga membuat suasana lebih santai.
3) Menari
Fase menari dapat dilakukan dengan bantuan alunan musik. Para peserta menari
mulai dari ritme lambat sampai cepat mengikuti irama musik yang diberikan dan
14

ditentukan oleh peneliti (Mohammadi et al., 2009). Menari membuat lansia dan para
peserta menjadi santai dan secara tidak lansung dapat menggerakkan seluruh anggota
badan untuk menjaga kebugaran tubuh. Pada fase ini peneliti juga dapat meramu
dengan sedikit sentuhan dengan mengkombinasikan tarian dengan permainan ringan,
sehingga lansia dituntut untuk aktif (Chen et al., 2009).
4) Kelompok bermain dengan menggunakan instrumen
Fase ini lansia diajak untuk bermain instrumen atau bermain menggunakan alat
musik. Para peserta diajarkan bagaimana menggunakan atau memainkan alat musik
yang telah disediakan oleh peneliti (Hayashi et al., 2002). Para peserta bisa dibuat
menjadi kelompok-kelompok kecil untuk memudahkan dalam pengajaran instrumen
musik. Setiap kelompok dapat didampingi oleh satu atau lebih asisten peneliti
(Mohammadi et al., 2009).
5) Kelompok musik bermain
Kelompok musik bermain diikuti oleh para peserta tanpa instrumen alat musik,
namun dalam melakukan fase ini bisa diiringi dengan menggunakan alunan musik.
Peserta secara berkelompok melakukan permainan yang telah diinstruksikan oleh
peneliti, misalnya saja bermain bola, meniup gelembung sabun, berpuisi, bermain
peran atau bercerita (Mohammadi et al., 2009).
6) Mendengarkan alunan musik santai
Para peserta lansia mendengarkan alunan musik santai dan dapat juga bernyanyi
bersama ataupun bermain alat musik bersama (Chen et al., 2009).
7) Mendengarkan dan menyaksikan sebuah penampilan musik oleh pemain tamu.
Fase ini merupakan fase dimana para peserta dipersilakan untuk mendengarkan
dan melihat penampilan permainan musik oleh kelompok musik tamu yang telah
disediakan untuk menghibur (Chen et al., 2009).
8) Menyimpulkan fase.
Di akhir sesi peneliti mengungkapkan penghargaannya kepada peserta dan
memberikan selamat serta berjabat tangan pada peserta. Peneliti juga menanyakan
perasaan peserta, menanyakan lagu-lagu atau musik-musik yang disukai peserta untuk
dijadikan bahan pada pertemuan selanjutnya (Chen et al., 2009). Diharapkan
lagu/musik yang dipilih merupakan lagu atau musik pilihan peserta
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. ANALISIS JURNAL
Judul I

: Perceptions of Group Music Therapy Among Elderly Nursing Home


Residents in Taiwan
15

Penulis

: Shu-Ling Chen, Hui-Chuan Lin, Sui-Whi Jane

Sumber

: Complementary Therapies in Medicine (2009) 17, 190195

Keywords

: Elderly; Perceptions; Nursing home; Group music therapy; Focus


groups

Populasi lansia menjadi salah satu fenomena besar khususnya di negara-negara maju,
salah satunya di Taiwan. Jumlah penduduk Taiwan yang berusia 65 tahun ke atas mengalami
peningkatan yang cukup signifikan. Penduduk lansia di Taiwan meningkat dari 1.490.804
( 7,1 % ) pada tahun 1993 menjadi 2.287.029 orang pada tahun 2006. Hal ini menyebabkan
adanya pergeseran kebudayaan dan social masyarakat di Taiwan dari traditional extended
family menjadi nuclear family.
Tingginya kesibukan anggota keluarga di Taiwan menyebabkan lansia merasa
diabaikan dalam hal perawatan kesehatannnya. Sehingga sebanyak 70 % dari lansia di
Taiwan menderita satu atau lebih penyakit kronis ,yang merupakan penyebab utama
disability. Sehingga para lansia lebih cenderung mengalami penderitaan, mengalami isolasi
sosial, mengalami penurunan fungsi fisik dan psikologi. Perlu adanya suatu penerapan
kegiatan untuk meningkatkan fungsi fisik, psikososial, kognitif, spiritual, dan kinerja lansia,
Salah satunya yang dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan di panti jompo dalam
penerapan pemberian terapi musik untuk lansia. Oleh karena itu, tujuan Penelitian kualitatif
ini adalah untuk mengetahui persepsi lansia tentang manfaat terapi musik kelompok
khususnya di panti jompo Taiwan.
Karakteristik lansia yang tinggal di Panti Jompo
Ada beberapa alasan lansia tinggal di Panti jompo. Lansia yang tinggal di Panti
kebanyakan mengalami penurunan fisik dan / atau penurunan status kesehatan mental. Tak
jarang lansia memiliki banyak masalah berkaitan dengan masalah kesehatan kronis disertai
dengan penurunan kemampuan fungsional, mengalami cacat fisik, dan kurangnya dukungan
keluarga lansia. Kehidupan di Panti menyebabkan lansia mengalami stress, kesepian, dan
tak jarang lansia mengisolasi diri akibat dari penyakit yang di derita serta lingkungan panti
yang kurang nyaman.
Manfaat Terapi Musik
Sejak tahun 1940-an, musik telah digunakan sebagai nonpharmacologic intervensi
untuk mengubah perilaku, emosi, psikologi, manajemen nyeri, demensia, perawatan paliatif,
16

dan bidang oncology. Terapi musik memiliki dua cabang utama yaitu terapi musik aktif dan
terapi musik pasif. Terapi musik aktif lebih menekankan bahwa peserta memainkan alat
musik atau bernyanyi bersama dengan terapis bahkan membuat lagu singkat atau dengan
kata lain terjadi interaksi yang aktif. Sedangkan terapi musik secara pasif, peserta hanya
mendengarkan musik yang telah direkam saja tanpa ada keterlibatan aktif dari peserta
tersebut. Musik memiliki banyak manfaat dalam memberikan stimulasi sensorik dan
intelektual sehingga dapat mengurangi stres pada lansia, meningkatkan releksasi, dan dapat
mengalihkan perhatian lansia dari nyeri yang dirasakan. Terapi music juga mampu
meningkatkan kualitas tidur lansia, menurun perilaku gelisah, perilaku agresif, dan depresi
pada pasien/lansia dengan demensia.
Desain
Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain kualitatif eksplorasi dengan
tujuan untuk menggali pemahaman tentang persepsi lansia di panti jompo mengenai
pendapat mereka tentang manfaat terapi musik kelompok. Terapi musik ini menggunakan
metode kelompok. Metode kelompok ini bertujuan untuk meningkatkan interaksi dan
sosialisasi lansia dengan lansia lainnya. Sehingga memacu lansia untuk aktif menjalin
komunikasi dengan sesama. Penelitian ini melibatkan sebanyak 17 orang lansia.
Pengambilan sample lansia ini dilakukan secara purposive sampling dari 350 lansia
di rumah jompo di Kota Changhua , Taiwan tengah. Yang menjadi peserta merupakan lansia
dengan menggunakan kursi roda. Adapun kriteria lainnya peserta lansia dalam penelitian ini
adalah 1) lansia yang berusia 65 tahun, 2) telah berpartisipasi dalam terapi musik
kelompok minimal 3 bulan, 3) penilaian MMSE 24 skor, hal ini dimaksudkan untuk
memastikan mereka bisa mengungkapkan perasaan mereka dan persepsi mereka tentang
partisipasi dalam terapi musik kelompok, dan 4) bersedia untuk berpartisipasi dalam
kelompok fokus wawancara.
Peserta lansia terdiri dari 11 lansia perempuan dan 6 lansia laki-laki ). Rata-rata usia
peserta lansia yang mengikuti Terapi musik kelompok adalah 80,5 tahun (kisaran = 70-90
tahun ), dan semua lansia memiliki penyakit kronis. Lansia yang mengikuti Terapi music
kelompok ini diharapkan mampu berbicara dan memahami bahasa meskipun Sembilan
peserta diantaranya (52,9 %) belum menerima pendidikan formal, sedangkan sisanya (47,1
%) telah menerima pendidikan dasar.
Terapi musik kelompok
17

Para peserta lansia menerima terapi musik kelompok selama 1 jam setiap minggu.
Terapi ini dilaksanakan selama 3 bulan. Terapi music kelompok ini mencakup kegiatan
musik aktif dan musik pasif. Masing-masing sesi dibagi menjadi delapan bagian : tahap
awal, pemanasan, menari, kelompok bermain dengan instrumen, kelompok musik bermain,
mendengarkan musik santai, melihat penampilan pertunjukan musik oleh pemain tamu, dan
menyimpulkan fase.
1) Tahap awal
Tahap awal fase merupakan tahap perkenalan dimana fasilitator atau peneliti dan
peserta memperkenalkan diri masing-masing. Perkenalan ini meliputi nama, latar
belakang singkat untuk para peserta dan peneliti. Setelah perkenalan yang singkat
perlu ada sedikit penjelasan tentang kegiatan yang akan dilakukan oleh peneliti. Tahap
perkenalan ini diharapkan dapat menambah keakraban dan kepercayaan antara peserta
dan peneliti/fasilitator.
2) Pemanasan
Fase pemanasan merupakan fase pelenturan otot-otot terutama otot tangan dan
persendian, yang dapat dilakukan dalam fase ini adalah kegiatan pijat memijat ataupun
senam ringan. Pemijatan dapat dilakukan secara mandiri, bergantian ataupun saling
memijat antar peserta lansia (Pacchetti et al., 2001). Fase pemanasan ini dapat diiringi
dengan menggunakan alunan musik dan dapat juga diselingi dengan game/permainan,
sehingga membuat suasana lebih santai.
3) Menari
Fase menari dapat dilakukan dengan bantuan alunan musik. Para peserta menari
mulai dari ritme lambat sampai cepat mengikuti irama musik yang diberikan dan
ditentukan oleh peneliti (Mohammadi et al., 2009). Menari membuat lansia dan para
peserta menjadi santai dan secara tidak lansung dapat menggerakkan seluruh anggota
badan untuk menjaga kebugaran tubuh. Pada fase ini peneliti juga dapat meramu
dengan sedikit sentuhan dengan mengkombinasikan tarian dengan permainan ringan,
sehingga lansia dituntut untuk aktif (Chen et al., 2009).
4) Kelompok bermain dengan menggunakan instrumen
Fase ini lansia diajak untuk bermain instrumen atau bermain menggunakan alat
musik. Para peserta diajarkan bagaimana menggunakan atau memainkan alat musik
yang telah disediakan (Hayashi et al., 2002).
5) Kelompok musik bermain
Kelompok musik bermain diikuti oleh para peserta tanpa instrumen alat musik,
namun dalam melakukan fase ini bisa diiringi dengan menggunakan alunan musik.
18

Peserta secara berkelompok melakukan permainan misalnya saja bermain bola,


meniup gelembung sabun, berpuisi, bermain peran atau bercerita (Mohammadi et al.,
2009).
6) Mendengarkan alunan musik santai
Para peserta lansia mendengarkan alunan musik santai dan dapat juga bernyanyi
bersama ataupun bermain alat musik bersama (Chen et al., 2009). Selain itu peserta
juga bisa merelekskan diri dengan mendengarkan alunan music santai.
7) Mendengarkan dan menyaksikan sebuah penampilan musik oleh pemain tamu.
Fase ini merupakan fase dimana para peserta dipersilakan untuk mendengarkan
dan melihat penampilan permainan musik oleh kelompok musik tamu yang telah
disediakan untuk menghibur (Chen et al., 2009).
8) Menyimpulkan fase.
Di akhir sesi fasilitator mengungkapkan penghargaannya kepada peserta dan
memberikan selamat serta berjabat tangan pada peserta lansia. fasilitator juga
menanyakan perasaan peserta, menanyakan lagu-lagu atau musik-musik yang disukai
peserta untuk dijadikan bahan pada pertemuan selanjutnya (Chen et al., 2009).
Diharapkan lagu/musik yang dipilih merupakan lagu atau musik pilihan peserta lansia.

Pengumpulan Data
Peserta lansia sepenuhnya diberikan informasi terkait penelitian yang akan diikuti
sebelum mereka dibagi kedalam masing-masing kelompok (focus group). Informasi yang
dimaksud adalah kerahasiaan data dan persetujuan secara lisan untuk mengikuti kegiatan ini.
Izin tersebut diperlukan oleh peneliti agar dapat melakukan perekaman dan melakukan
pencatatan dengan buku catatan.
Setelah 6 bulan mengikuti terapi musik, para lansia akan mengikuti focus group yang
dilakukan oleh peneliti/fasilitator di ruangan yang sama untuk terapi musik kelompok
sebelumnya. Focus group dipandu dengan tiga pertanyaan yaitu: 1) Bisakah anda
menjelaskan kepada saya tentang perasaan dan pikiran Anda ketika mengikuti kegiatan
musik kelompok ini?; 2) Aspek manakah dari kegiatan musik kelompok ini yang paling
berpengaruh kepada Anda?; 3) Bagian apa yang paling anda sukai dari kegiatan musik

19

kelompok ini dan mengapa?. Secara total, pada masing-masing tiga kelompok (focus group)
yang diadakan, diikuti oleh 6-8 peserta dan focu group berlangsung selama sekitar 1 jam.
Analisis Data
Transkrip verbatim wawancara dianalisis melalui 2 tahap analisis induktif. Pada tahap
pertama, transkrip verbatim dari 3 kelompok secara mandiri akan dikoding oleh fasilitator.
Tahap selanjutnya, kedua peneliti membandingkan dan mendiskusikan hasil pengkodingan
untuk meningkatkan ketergantungan analisis. Ketergantungan analisis juga ditingkatkan
melalui pengecekan kembali (crosscheck) kepada pastisipan agar data yang ditemukan
benar-benar akurat sesuai dengan pengalaman yang dirasakan partisipan. Selain itu,
kevalidan data juga dipastikan dengan adanya penggunaan metode kelompok atau focus
group yang memang memiliki tipikal metode dengan kevalidan dan kredibilitas yang tinggi
dari peserta.
Hasil
Dari analisis data yang telah dilakukan, ditemukan 2 outcome utama yaitu peningkatan
dinamika kelompok dan peningkatan kualitas hidup. Adapun 2 outcome tersebut dijelaskan
dibawah ini:
1) Kekuatan yang muncul dari kelompok yang dinamis
Tema utama ini mengacu pada aspek positif yang diberikan dari kegiatan kelompok
musik. Program terapi musik ini ternyata mampu membangkitkan energi, membantu
mengalihkan distress psikologis dan ketidaknyamanan fisik, serta mampu meningkatan
harga diri individu.
a. Membangkitkan energi
Selama terapi musik dilakukan, para peserta bertemu dengan peserta lansia dari unit lain
dan bertemu dengan mahasiswa keperawatan yang turut serta berpartisipasi. Ketika para
peserta secara bersama-sama terlibat kedalam permainan alat musik, mereka merasakan
energi dari kelompok yang dinamis sehingga membuat mereka merasa lebih kuat dan lebih
hidup. Salah satu peserta (A) menyatakan Kegiatan kelompok musik ini membuat tubuh
saya bergerak karena efek energi yang kuat dari kelompok. Demikian pula, peserta (J)
menyatakan Setelah saya mengikuti kegiatan musik kelompok ini saya merasa senang dan
energik. Terutama dengan begitu banyaknya orang lain yang seusia saya dan beberapa
relawan, mahasiswa keperawatan yang tergabung dalam kegiatan ini. Peserta lain (P)
20

mengatakan, karena ada banyak orang tua lain yang bergabung dengan kegiatan ini, saya
merasa lebih hidup daripada hanya duduk-duduk mengantuk sepanjang hari . ''
b. Mengalihkan dari rasa sakit
Saat menghadiri program musik kelompok, para lansia secara bertahap lupa akan rasa
sakit dan ketidaknyamanan mereka karena fokus pada kegiatan musik. Sebagai contoh, salah
satu peserta (E) mengatakan, '' Sebelum kegiatan ini, setiap hari saya hanya menunggu
datangnya waktu jam makan 3 x sehari. Saya merasa menderita karena saya tidak bisa
pulang kerumah. Dan ketika menghadiri grup ini saya berkonsentrasi pada kegiatan, dan
saya lupa terhadap perasaan tertekan saya. '' Peserta lain (H)menyatakan, '' Saya pernah
menderita penyakit Parkinson dalam waktu yang sangat lama, saya merasa lelah dengan
adanya gejala tremor yang saya alami dan ini sangat membuat tertekan. Namun, setelah
menghadiri kegiatan ini saya merasa tenang, saya melupakan rasa sakit di gigi saya, dan
saya lupa merasa kesal dengan tremor saya. ''
c. Peningkatan harga diri individu
Para peserta merasa dianggap penting saat disambut dan diharapkan ikut serta padaa
kegiatan ini. Mereka merasa dihormati sebagai inidividu. Salah satu peserta (I)
menjelaskan , '' Pada awal aktivitas peneliti menyapa saya dan menjabat tangan saya setelah
aktivitas selesai. Hal Itu membuat saya merasa dihormati dan merasa menjadi
anggota/bagian yang sangat penting .
Adanya perasaan dihormati sebagai pribadi dan individu, membuat mereka merasa
bahwa dengan mengikuti/berpartisipasi kedalam aktivitas musik kelompok ini akan
meningkatkan kemampuan otonomi mereka. Saat berada di Panti Jompo, mereka sering
merasa kurang memiliki kepercayaan diri, akan tetapi ketika mereka mengikuti kegiatan
musik kelompok ini, mereka bisa memilih alat/instrumen perkusi dan bernyanyi lagu-lagu
yang sesuai dengan pilihannya. Sebagai contoh, salah satu peserta menyatakan, Ketika saya
bergabung kegiatan ini, saya bisa memilih drum dan memainkannya dengan penuh semangat
. Demikian pula, peserta lain (G) mengatakan, Saya merasa bebas untuk memainkan
tambourin dan bernyanyi keras-keras dalam kegiatan musik kelompok ini .
Beberapa peserta meminta informasi lebih lanjut tentang terapi musik kelompok dan
musik itu sendiri . Misalnya, salah satu peserta (O) mengatakan, Saya ingin tahu lebih
banyak tentang sejarah atau latar belakang dari setiap lagu, karena akan memperluas
pengetahuan kita . ''
2) Peningkatan Kualitas Hidup
21

Tema utama ini menjelaskan adanya persepsi lansia yang tinggal di panti jompo yang
berpartisipasi dalam kegiatan musik kelompok ini memiliki dampak positif terhadap kualitas
hidup mereka melalui berbagai cara. Program terapi ini memberikan gaya hidup yang
bervariasi pada mereka, memotivasi untuk melakukan aktifitas fisik atau berolahraga,
mengajarkan perilaku yang positif, dan meningkatkan kepuasan hidup mereka .
a. Gaya hidup bertambah bervariasi
Lansia yang tinggal di Panti Jompo sering merasa memiliki gaya hidup yang kaku,
dengan jadwal makan, tidur dan bangun yang kurang fleksibel. Saat mereka mengikuti
aktivitas musik kelompok ini, mereka menyatakan memiliki gaya hidup yang lebih
bervariasi. Salah satu peserta mengatakan (D), Gaya hidup di panti jompo ini sangat rutin. .
. makan , menonton TV , dan tidur sepanjang hari . setiap hari begitu membosankan . Ketika
saya bergabung dengan kegiatan ini , hidup saya menjadi lebih menarik. Demikian pula,
peserta lain (N) mengatakan, Sebelum kegiatan ini, pada siang hari tidak ada yang akan
berbicara kepada kami atau memberikan jadwal kegiatan bagi kita. Saya tidak punya
kebebasan untuk tindakan saya sendiri di panti jompo dan saya hanya bisa duduk di tempat
tidur kecuali ada seseorang yang membantu saya ke kursi roda. Kehidupan sehari-hari saya
sangat membosankan dan sama sekali tidak berarti . Satu-satunya hal yang dapat saya
lakukan adalah menunggu waktu makan setiap hari. Dengan menghadiri kelompok ini,
hidup saya telah berubah dan saya menatap hidup kedepan sepanjang minggu.
Para lansia merasa dilibatkan kedalam terapi ini, dan mereka menikmati terapi tersebut.
Terapi musik ini memberikan bekas memori yang berupa alunan irama musik sehingga
mampu mendorong para lansia untuk mau latihan di wisma-wisma Panti Jompo. Hal ini
disampaikan oleh peserta (L), Sebelumnya, saya hanya menunggu waktu makan dan tidur
setiap harinya. Sekarang ketika saya bangun di pagi hari, saya merasa memiliki musik di
hati saya dan mulai latihan sendiri (menepuk tangan kanannya dengan tangan kiri).
b. Meningkatkan motivasi dalam melakukan aktifitas fisik
Partisipan menyatakan bahwa fungsi fisik mereka mengalami peningkatan sejak
berpartisipasi dalam terapi musik. Salah satu partisipan menyatakan bahwa kaki dan
tangannya menjadi terasi lebih kuat, menjadi tidak bergantung pada gagang tempat tidur,
bangun lebih bugar dan bangun lebih cepat, merasa bersemangat dalam mempelajari hal
lainnya dan termotivasi dalam melakukan aktifitas fisik.
c. Pembelajaran perilaku positif
22

Sebagian besar partisipan menyatakan bahwa sejak berpartisipasi dalam terapi musik,
mereka dapat mengontrol emosi mereka dengan lebih baik. Beberapa dari partisipan
menyatakan setelah mengikuti terapi musik mereka dapat meningkatkan respect satu sama
lain dan berpikiran lebih terbuka.
d. Meningkatkan kepuasan hidup
Partisipan menyatakan kepuasan hidup meningkat. Pemikiran negatif yang mereka alami
berubah menjadi positif dan lebih bersemangat serta percaya diri dalam menjalani masa
depan.
Penelitian ini menyatakan bahwa setelah dilakukan intervensi berupa terapi musik
selama 6 bulan, partisipan menyatakan bahwa terjadi peningkatan dalam hal dinamika
kelompok dan kualitas hidup mereka. Penelitian ini menekankan bahwa terapi musik
dipergunakan sebagai media lansia di panti dalam memaknai kehidupan yang nyaman bagi
nereka hingga akhir hayat. Partisipan juga menyatakan bahwa dengan mengikuti terapi
musik akan meningkatkan fungsi fisik dan memudahkan perawatan kesehatan mereka secara
mandiri. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian Guzzeta bahwa terapi musik
meningkatkan peran aktif lansia dalam perawatan kesehatannya secara mandiri.
Selain itu, partisipan menggambarkan terjadinya perubahan suasana hati yang pada
awalnya merasa depresi menjadi senang dan ceria. Temuan ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya yang juga dilakukan di Taiwan yang menyatakan bahwa terapi musik
meningkatakan aktifitas fisik dan psikologis para lansia di panti. Selanjutnya terapi musik
ini juga menjadikan partisipan terdistraksi dari sakitnya, penurunan tingkat stres dan
peningkatan toleransi nyeri terjadi pada pasien dengan nyeri osteoatritis. Temuan lain pada
10 dari 17 orang lansia mengalami perbaikan dalam gejala depresi, kecemasan dan perilaku
agitasi, hal ini sesuai dengan temuan sebelumnya bahwa terapi musik menurunkan stres dan
perilaku irritable pada lansia.
Partisipan juga dapat menggambarkan kekuatan dalam dinamika kelompok
(hubungan dengan lansia lainnya di panti) terutama dalam pembelajaran perilaku positif.
Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa terapi musik dapat meningkatkan komunikasi antara
partisipan dan pihak-pihak lain yang ada di panti, sehingga terapi musik bermanfaat bagi
fisik, psikologis maupun fungsi sosial dari masing-masing diri lansia di panti. Sebagai
tambahan, gerak tari dan musik menjadikan lansia menjadi peduli dengan tubuh mereka,
menurunkan energy negatif dan meningkatkan keseimbangan tubuh.
23

Selanjutnya dari penelitian ini ditemukan bahwa partisipan mengalami peningkatan


dalam kepuasan hidup dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Hal ini berhubungan
dengan terapi musik aktif yang dipilih, yaitu melibatkan gerak tari (gerak tubuh) saat
mendengarkan musik menjadikan kemampuan berbaur dengan lansia lainnya meningkat
sehingga meningkatkan kesehatan dan keseluruhan mood yang dirasakan oleh lansia di
panti.
Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lansia mendapatkan pengalaman positif dalam
mengikuti terapi musik, terutama pada komponen aktif dalam program. Pengalama positif
yang mereka alami meningkatkan perasaan damai dan meningkatkan kesehatan serta
kualitas hiudp mereka. Saran untuk petugas peayanan kesehatan dapat mengintegrasikan
terapi musik berkelompok ini sebagai rutinitas dalam kegiatan di panti.

Judul II

: Music therapy for people with dementia (Intervention Review)

Penulis

: Vink AC, Bruinsma MS, Scholten RJPM

Sumber

: The Cochrane Library 2013, Issue 9


http://www.thecochranelibrary.com

Jurnal ini merupakan review dari 10 penelitian yang mengacu pada penelitianpenelitian terkait pengaruh terapi musik terhadap demensia. Demensia merupakan sindrom
klinis yang utama terjadi pada lansia degan tanda utama adanya penurunan kognitif. Terapi
nonfarmakologi dikembangkan dengan tujuan untuk meminimalisasi penggunaan terapi
farmakologi yang diterima oleh populasi lanjut usia.
Metode penelitian ini dengan parallel dan cross over RCT. Intervensi yang direview
meliputi terapi musik individu maupun kelompok. Outcome yang diukur ialah perilaku
bermasalah, kognisi, kondisi emosional dan perilaku sosial. Secara khusus kognisi diukur
dengan Mini Mental State Examinations (MMSE).
Berbagai metode terapi musik yang dilakukan diantaranya terapi musik individu
maupun kelompok, terapi musik aktif maupun receptive memiliki hubungan positif terhadap
penurunan gejala demensia yang diuji dengan beberapa parameter yaitu (DSM-IV;
24

MMSE18/30; CDR 25).

Selain berpengaruh terhadap aspek kognitif, terapi musik

memiliki hubungan positif terhadap faktor fisik yaitu menurunkan gejala kesakitan, faktor
psikologis yaitu meningkatkan daya berpikir positif serta faktor sosial yaitu meningkatnya
hubungan interpersonal yang positif.
Penelitian yang bersifat review ini menguatkan pentingnya meningkatkan
penggunaan terapi nonfarmakologi khusunya terapi musik yang bersifat multi methode and
multifunction bagi lansia. Lebih lanjut dijelaskan bahwa berbagai aspek dalam kualitas
hidup lansia dapat ditingkatkan dengan terapi ini. Akan tetapi dalam pengembangannya
dapat dimodifikasi dengan menyesuaikan budaya setempat.
B. ANALISIS KELOMPOK
Berdasarkan analisis jurnal sebelumnya mengenai banyaknya manfaat terapi musik
kelompok bagi lansia, maka disarankan dalam mengaplikasikan terapi musik kelompok tersebut
di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur. Hal tersebut dikarenakan beberapa karakteristik lansia di
PSTW maupun secara khusus di wisma Edelweis dan Himawari antara lain:
a. secara fisik, kelayan mampu terlibat sebagai peserta dalam terapi musik kelompok
b. berdasarkan observasi yang dilakukan, didapatkan data adanya permasalahan psikologis
khususnya hubungan interpersonal maupun kondisi psikologis individu masing-masing.
Permasalahan terkait hubungan interpersonal yang dimaksud berupa pertengkaran dan
keengganan untuk mengenal lansia satu sama lain. Selanjutnya masalah psikologis individu yang
dimaksud ialah adanya harga diri rendah, perilaku menarik diri, perasaan kesepian dan sifat
pesimis yang ditunjukkan oleh perilaku verbal maupun nonverbal. Berdasarkan jurnal tersebut
diatas, permasalahan psikologis dapat ditangani dengan terapi musik kelompok.
c. sebagian besar kelayan telah mengalami penurunan kognitif berhubungan dengan proses
penuaan, oleh karena itu berdasarkan jurnal tersebut diatas maka terapi musik kelompok dapat
menjadi alternatif terapi nonfarmakologis untuk mencegah perburukan kondisi tersebut.
Adapun langkah-langkah pelaksanaan terapi musik kelompok yang akan diterapkan
meliputi:
1

Tahap awal
Tahap awal fase merupakan tahap perkenalan dimana fasilitator dan peserta
memperkenalkan diri masing-masing. Perkenalan ini meliputi nama, latar belakang singkat
untuk para peserta dan peneliti. Setelah perkenalan yang singkat perlu ada sedikit penjelasan
25

tentang kegiatan yang akan dilakukan. Tahap perkenalan ini diharapkan dapat menambah
2

keakraban dan kepercayaan antara peserta dan fasilitator.


Pemanasan
Fase pemanasan merupakan fase pelenturan otot-otot terutama otot tangan dan persendian,
yang dapat dilakukan dalam fase ini adalah kegiatan pijat memijat ataupun senam ringan.
Pemijatan dapat dilakukan secara mandiri, bergantian ataupun saling memijat antar peserta
lansia. Fase pemanasan ini dapat diiringi dengan menggunakan alunan musik dan dapat juga
diselingi dengan game/permainan, sehingga membuat suasana lebih releks dan santai. Musik

yang diberikan berupa musik bertempo sedang.


Menari
Fase menari dapat dilakukan dengan bantuan alunan musik. Para peserta menari mulai dari
ritme lambat sampai cepat mengikuti irama musik yang diberikan dan ditentukan oleh
fasilitator. Menari membuat lansia dan para peserta menjadi releks, santai dan secara tidak
lansung dapat menggerakkan seluruh anggota badan untuk menjaga kebugaran tubuh. Pada fase
ini fasilitator juga dapat meramu dengan sedikit sentuhan dengan mengkombinasikan tarian
dengan permainan ringan, sehingga lansia dituntut untuk aktif. Musik yang dimainkan pada

fase ini bertempo cepat dan bernada riang.


Mendengarkan alunan musik santai
Para peserta lansia mendengarkan alunan musik santai dengan pemberian teknik hipnosis
sederhana untuk menenangkan diri, menyukuri kehidupan saat ini dan meningkatkan semangat

hidup. Musik yang diberikan ialah musik yang bertempo lambat atau jenis musik instrumental.
Menyimpulkan fase.
Di akhir sesi fasilitator mengungkapkan penghargaannya kepada peserta dan memberikan
selamat serta berjabat tangan pada peserta. Fasilitator juga menanyakan perasaan peserta,
menanyakan lagu-lagu atau musik-musik yang disukai peserta untuk dijadikan bahan pada
pertemuan selanjutnya. Diharapkan lagu/musik yang dipilih merupakan lagu atau musik pilihan
peserta. Lamanya kegiatan terapi musik kelompok dapat dilakukan selama kurang lebih 60-90
menit.
Terapi musik kelompok ini akan diaplikasikan pada:
Hari/Tanggal : Sabtu, 12 April 2014
Tempat

: Ruang Keterampilan, PSTW Yogyakarta unit Budi Luhur

Waktu

: 09.00-10.30 WIB

Durasi

: 90 menit

Peserta Terapi Musik Kelompok adalah klien lansia yang berada di wisma Edelweis dan
Himawari yang berjumlah 17 orang sebagai berikut :
26

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Nama Peserta
Juminem
Yudi
Tondo
Endang
Sukiyem
Panuti
Mujiyah
Guntur
Mujiyo
Maryono
Hadi
Sunar
Arjo
Nursin
Kirno
Bambang
Kardi

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Terapi musik kelompok adalah salah satu kombinasi baru yang merupakan hasil adaptasi
penggabungan antara terapi musik secara aktif maupun secara pasif yang masing-masing
sesi dibagi menjadi delapan bagian : tahap awal, pemanasan, menari, kelompok bermain
dengan instrumen, kelompok musik bermain, mendengarkan musik santai, melihat
penampilan pertunjukan musik oleh pemain tamu, dan menyimpulkan fase.
2. Terapi musik memiliki pengaruh dan manfaat yang besar pada setiap orang yang
mendengarkannya termasuk pada lansia baik secara fisik, psikologis, sosial maupun
kognitif.
3. Terapi musik mampu membangkitkan energi, membantu mengalihkan distress psikologis
dan ketidaknyamanan fisik, meningkatan harga diri individu, memberikan gaya hidup yang
lebih bervariasi, memotivasi untuk melakukan aktifitas fisik, mengajarkan perilaku yang
positif, dan meningkatkan kepuasan hidup.

27

4. Manfaat terapi musik terhadap faktor fisik adalah untuk menurunkan gejala kesakitan,
sedangkan terhadap faktor psikologis adalah untuk meningkatkan daya berpikir positif dan
pada faktor sosial adalah untuk meningkatnya hubungan interpersonal yang positif.
5. Sebagai tindak lanjut dari analisis jurnal ini, mahasiswa akan melakukan TAK berupa
terapi musik kelompok untuk wisma Himawari dan wisma Edelweis di Panti Sosial Tresna
Werdha Yogyakarta Unit Budi Luhur pada hari Sabtu, 12 April 2014 pukul 09.00 WIB
dengan memodifikasi terapi musik kelompok yang ada pada jurnal ini.
B. SARAN
Mahasiswa beserta tenaga kesehatan/tenaga sosial yang berada di PSTW Yogyakarta Unit
Budi Luhur diharapkan mampu memodifikasi berbagai jenis terapi musik kelompok yang ada
sehingga dapat lebih aplikatif untuk dilaksanakan di PSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur sesuai
dengan karakteristik lansia serta fasilitas yang ada. Terapi musik kelompok ini diharapkan pula
dapat dilaksanakan sebagai salah satu agenda rutin mingguan atau bulanan di PSTW Yogyakarta
Unit Budi Luhur
DAFTAR PUSTAKA
Adwi,

K.,

(2011)

Upaya

Kesehatan

Para

Lansia

[Internet],

Available

from:

<http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2011/12/15/upayakan-kesehatan-para-lansia/>

Media release 15 Desember 2011 [Accessed 02 April 2014].


Barnett, A., (2011) Kesepian Akut Dapat Memperpendek Umur Manusia [Internet]. Posted on 5
Februari 2011. Available from: <http://kesehatan.kompasiana.com> [Accessed 02 April
2014].
BPS. (2010) Menteri Negara Data Kependudukan Lanjut Usia [Internet], Available from:
<www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option> [Accessed 02 April 2014].
Chen, S.L., Lina, H.J., & Jane, S.W. (2009) Perceptions of Group Music Therapy Among Elderly
Nursing Home Residents in Taiwan. Complementary Therapies in Medicine: 17, 190195
Dennis, F.G., & Sidakaton, S., (2010) Jangan Takut Sepi Memasuki Usia Pensiun [Internet].
TNOL : Portal Komunitas. Posted on 26 Juli 2010. Available from : <http://www.tnol.co.id/>
[Accessed 02 April 2014].
Deviana. T.N., (2011). Tenang dengan Terapi Musik. Indonesia Mother & Baby [Internet]. Available
from: <www.motherandbaby.co.id> Media release 4 Maret 2011.

28

Fitriyuliani, N., (2008) Gambaran Loneliness Lansia Janda dan Duda di DKI Jakarta yang Tinggal
di Panti Werdha [Internet]. Unika Atma Jaya: Jakarta. Page 1. (2008) 4-30. Available from :
<http://lib.atmajaya.ac.id/> [Accessed 02 April 2014].
Hendriarti, A., (2010) Kesepian pada Lansia Ditinjau dari Jenis Kelamin dan Status Perkawinan
[Internet]. Fakultas Psikologi Unika Jakarta. Jakarta: 2007. 5 (2010) 18-35. Available from :
<http://lib.atmajaya.ac.id> [Accessed 02 April 2014].
Lan, T.A., (2009) Pengertian Musik [Internet]. Salemba : Jakarta 19 maret 2009. Available from:
<http://www.wattpad.com> [Accessed 02 April 2014].
Latifa. (2008) Jenis dan Dinamika Terjadinya Loneliness pada Masyarakat Modern [Internet].
Jurnal Enlightmen : Universitas Al-Azhar Indonesia. 3 (2008) h.17-47. Available from:
<http://psycology.com/2008/02/lonelines .html>[ Accessed 02 April 2014].
Martin & Osborn, J. G. (2008) Psychology Adjustment and Everyday Living. New Jersey: Prentice
Hall, Inc. 4(2008) h.4-20.
Mohammadi, A.Z., Shahabi, T., & Panah, F.M., (2009) An evaluation of the Effect of Group Music
Therapy on Stress, Anxiety, and Depression Levels in Nursing Home Residents. Canadian
Journal of Music Therapy, 17(1), 55.
Nugroho, W. (2005) Perawatan Lanjut Usia. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 1992. h. 1725.
Oktaria, R. (2009) Kesepian pada Pria Usia Lanjut yang Melajang. Skripsi: Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma. Page 6-13; 21-23.
Oktaria, R. (2009) Kesepian pada Pria Usia Lanjut yang Melajang. Skripsi: Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma. Page 6-13; 21-23.
Peplau. (2008). Loneliness a Sourcebook of Current Theory. New York: John Willey 1990. Research
and

Therapy

(pp.

118).

Available

from:

<http://www.angelfire.com/de/nyiramachabelli/lonely.html>. Media release: 14 Mei 2010.


[Accessed 02 April 2014].
Probosuseno. (2007) Mengatasi Isolation pada Lanjut Usia [Internet], Available from:
<http://www.medicalzone.org> [Media release 3 April 2008].
Purwanta. (2007) Efek Musik terhadap Perubahan Intensitas Nyeri pada Pasien Post Op Bedah
Umum Di RSUP Dr. Sarjito Yogyakarta. Program Studi Ilmu Keperawatan: Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Page 23-40.
Rudy, (2010) Tidak Hanya Penyakit Flu, Rasa Kesepian Ternyata Juga Menular. Health Magazine :
Health - Mental Health. posted on 16 Januari 2010. Page 23-25.
29

Sari, Y. (2011) Kesepian di Masa Tua Tak Sekadar Soal Jarak [Internet], Available from:
<http://posyandu.org/warta-posyandu/warta-posyandu-lansia> Media release 8 Desember
2011, [Accessed 02 April 2014].
Sausser, S., & Waller, R.J., (2006) A Model for Music Therapy with Students with Emotional and
Behavioral Disorders. The Arts in Psychotherapy 33 (2006) 110.
Silvia, R., (2009). Terapi Musik [Internet]. Fakultas Psikologi : Universitas Gajah Mada. Media
release 5 April 2009. Available from: <http://forum.psikologi.ugm.ac.id/>[ Accessed 02 April
2014].
Sirait, S.A.P., (2006). Efek Musik pada Tubuh Mansusia. Reviewed 26 November 2006. Available
from :<http://gema.sabda.org> [Accessed 02 April 2014].
Susanto, (2011) Pengaruh Musik terhadap Psikologis Lansia. Artikel Psikologi. h 10-20.
Vink A.C., Bruinsma M.S., & Scholten R.J.P.M., (2013). Music therapy for people with dementia
(Intervention Review). [Internet]. The Cochrane Library 2013, Issue 9. Available from:
<http://www.thecochranelibrary.com> . [Accessed 02 April 2014].
Yuwanto, L., (2011) Program Green Economy bagi Lansia di Panti Wredha [Internet], Available
from: <http://www.ubaya.ac.id> Media release 28 Juli 2011, [Accessed 02 April 2014].

30

You might also like