Professional Documents
Culture Documents
Reduksionisme vs Holisme
Rachmad Resmiyanto
09/291449/PPA/2933
S2 Ilmu Fisika Universitas Gadjah Mada
Tugas Ujian Akhir Mekanika Klasik - Semester Ganjil 2009/2010
http://rachmadresmi.blogspot.com
19 Januari 2010
1 Pendahuluan
Untuk dapat membuat perbandingan antara mekanika Newtonian dan mekanika
Lagrangian dengan baik, maka perlu dilakukan telisik secara mendasar terhadap
cara pandang keduanya. Perbandingan yang baik tidak dapat dicapai hanya
dengan menyajikan contoh-contoh penyelesaian atas kasus fisis yang sama yang
coba diselesaikan dengan cara ala Newton dan ala Lagrange. Cara pandang ked-
uanya perlu diungkap sebab cara pandang inilah yang menuntun bagaimana se-
buah fenomena fisis seharusnya dipandang dan akhirnya dengan cara bagaimana
harus diselesaikan. Cara pandang ini oleh Thomas S. Kuhn disebut sebagai
paradigma (Kuhn , 2002). Upaya telisik akan dimulai dari objek kajian fisika.
Fisika memiliki objek kajian yang amat luas, mulai dari skala jagad gu-
mulung (microcospics scale, mikroskopis), tempat bagi atom dan zarah-zarah
dasariah hidup, sampai skala jagad gumelar(macroscopics scale, makroskopis),
tempat bagi tata surya, bintang dan galaksi bertebaran.
Dalam kajiannya, objek yang sedang diamati disebut sebagai sistem fisis.
Untuk mempelajari kaitan sebab akibat di alam semesta ini, tentu amatlah
sukar bagi fisikawan ketika harus berhadapan langsung dengan sistem fisis yang
sedemikian besar. Maka diambillah satu jalan keluar yang diharap merupakan
upaya win-win solution, sistem fisis itu hanya merupakan suatu cuplikan kecil
saja dari keseluruhan. Cuplikan sudah dianggap mewakili keseluruhan, orang
bilang ini namanya pars prototo. Dari sini perdebatan mulai berkembang. Ada
yang bersuara bahwa semua sistem yang ada ini saling kait mengait. Ibarat
Rachmad Resmiyanto (291449) Mekanika Klasik
jaring-jaring, satu simpul ditarik, yang lain akan merasakan getarannya. Pa-
ham yang percaya bahwa semua sistem saling mempengaruhi merupakan paham
holisme (holistik).
Sebaliknya, ada yang berpendapat bahwa cuplikan itu tidak akan sedikitpun
mempengaruhi sistem yang lain. Perubahan satu sistem tidak akan memberi
dampak pada sistem yang lain. Karenanya, ini disebut sebagai sistem. Paham
ini dikenal sebagai reduksionisme. Dengan kata lain, reduksionisme percaya
bahwa suatu sistem yang besar dapat dipecah menjadi sistem kecil-sistem kecil.
Cara pandang Newton adalah cara pandang yang reduksionis. Cara pandang
ini berakar dari metode Descartes yang bersifat analitik. Metode itu terdiri atas
pemecahan masalah menjadi potongan-potongan kecil dan penyusunan kembali
potongan-potongan itu dalam tatanan logisnya. Descartes sering disebut-sebut
sebagai orang pertama yang berhasil mencari hubungan antara persamaan al-
jabar dengan geometri. Descartes membangunnya melalui sebuah sistem koor-
dinat yang kemudian disebut koordinat Kartesian.
Newton memandang bahwa alam semesta, tempat di mana semua fenomena
fisis ini terjadi, merupakan ruang berdimensi 3 dari geometri Euclid klasik.
Bagi Newton ruang adalah absolut. Seluruh perubahan dalam fenomena fisis
itu digambarkan dalam dimensi yang terpisah, yakni waktu, yang juga bersifat
absolut. Dalam pandangan Newton, unsur-unsur dunia yang bergerak dalam
ruang absolut dan waktu absolut ini adalah partikel-partikel materi. Gerak
partikel disebabkan oleh kekuatan gravitasi yang dalam pandangan Newton,
bergerak secara serempak dalam suatu rentang jarak tertentu.
Dalam pandangan Newton, semua fenomena fisis dapat direduksi menjadi
gerak partikel benda, yang disebabkan oleh kekuatan tarik-menarik, gaya grav-
itasi. Pengaruh gaya ini pada partikel atau benda lain digambarkan secara
matematis oleh persamaan gerak Newton, yang kemudian menjadi dasar bagi
seluruh mekanika klasik. Persamaan ini dianggap yang ”bertanggungjawab”
atas semua perubahan yang teramati dalam dunia fisik.
Secara sederhana, pandangan Newton dapat diringkas, bahwa alam semesta
terdiri dari partikel-partikel benda. Antar partikel-partikel ini terjadi interaksi
melalui apa ayang disebut sebagai kekuatan antarpartikel atau gaya. Adanya
kekuatan partikel ini akhirnya menciptakan hukum gerak. Dalam kaitannya
dengan makalah ini, maka hukum gerak tersebut merupakan hukum kedua New-
ton, yakni
dp
ΣF = = ma (1)
dt
dengan F adalah gaya, m adalah massa partikel benda dan a adalah percepatan
sistem. Pada dasarnya, hampir semua interaksi dalam mekanika klasik dapat
disederhanakan dan diselesaikan dengan persamaan ini. Oleh karena itu, salah
ciri khas mekanika Newtonian selain reduksionis adalah adanya gaya-gaya yang
bekerja dalam sistem tersebut.
Pandangan Newton bahwa sebuah sistem fisis dapat diselesaikan persamaan
geraknya dengan melakukan reduksi sebagai titik-titik materi kemudian dikem-
bangkan oleh Bernoulli melalui konsep usaha maya dan d’Alembert yang terke-
nal sebagai asas d’Alembert. Dalam pandangan ini, sistem fisis tidak dipandang
sebagai sistem titik-titik materi lagi, tetapi sebagai sistem mekanik, yakni sis-
tem dimana gerakan bagian-bagiannya saling berkaitan, tak bebas satu sama
lain. Upaya yang dilakukan oleh Lagrange bersandar pada hasil kerja Bernoulli
dan d’Alembert.
Untuk menyelesaikan sistem fisis yang dipandang sebagai sistem mekanik
ini, Lagrange tetap menggunakan hukum kedua Newton sebagai pijakan awal,
kemudian dilakukan perumuman sampai didapat persamaan Lagrange
d ∂L ∂L
− =0 (2)
dt ∂ ẋ ∂x
dengan
L = T − V. (3)
2 Pembahasan
Untuk melihat bagaimana perbedaan cara pandang Newtonian dan Lagrangan
dalam mencari penyelesaian persamaan gerak suatu sistem akan dilakukan melalui
contoh kasus, yakni sistem katrol sederhana (mesin Atwood) seperti gambar 1.
trol sederhana gambar 1, sistem dapat dibagi menjadi 2 potongan yaitu benda
m1 dan benda m2 . Di sini diasumsikan pengaruh katrol dapat diabaikan.
Untuk dapat menyelesaikan persoalan dalam benda m1 dan m2 , perlu di-
lakukan pemotongan kembali menurut sumbu mendatar x dan sumbu tegak y.
Pada masing-masing sumbu ini, hukum kedua Newton ΣF = ma baru diber-
lakukan.
Untuk benda m1 , gaya-gaya yang bekerja hanya dalam sumbu tegak y se-
hingga ΣFx = 0 dan
ΣFy = m1 a = m1 g − T. (4)
Pada benda m2 , gaya-gaya yang bekerja juga hanya dalam sumbu tegak y se-
hingga ΣFx = 0 dan
ΣFy = m2 a = −m2 g + T. (5)
(m1 − m2 )
a= g. (7)
(m1 + m2 )
1 1 1 1
T = m1 v 2 + m2 v 2 = m1 ẋ2 + m2 ẋ2 . (8)
2 2 2 2
Tenaga potensial yang dimiliki sistem juga disumbang oleh tenaga potensial
kedua benda, yakni sebesar
1 1
L=T −V = m1 ẋ2 + m2 ẋ2 + m1 gx + m2 g(` − x) (10)
2 2
dengan
d ∂L
= m1 ẍ + m2 ẍ = (m1 + m2 )ẍ
dt ∂ ẋ
dan
∂L
= m1 g − m2 g = (m1 − m2 )g
∂x
d ∂L ∂L
− =0
dt ∂ ẋ ∂x
akan diperoleh
(m1 + m2 )ẍ − (m1 − m2 )g = 0, (11)
Kebetulan dalam kasus fisis di atas, sistem mekaniknya masih sederhana. Se-
makin rumit sistem mekanik yang ditinjau maka pemecahan sistem menjadi
potongan-potongan sistem yang lebih kecil akan juga kian rumit. Kemudian
masih harus mengenali dan menguraikan gaya-gaya yang bekerja dalam semua
potongan-potongan sistem tersebut. Meskipun secara prinsip ini dapat disele-
saikan, tetapi dalam kenyataan ini akan rumit dilakukan terutama identifikasi
gaya-gaya yang bekerja.
2. Tenaga kinetik T dari sistem dinyatakan dalam suku koordinat umum dan
kecepatan
Dalam mekanika Lagrangian, peran gaya menjadi tidak kelihatan. Ini sangat
menguntungkan sebab memang sangat sulit untuk menentukan gaya-gaya yang
bekerja dalam suatu sistem. Peran gaya ini digantikan oleh besaran skalar yakni
tenaga kinetik dan tenaga potensial. Karena keduanya merupakan besaran
skalar, maka keduanya akan invarian terhadap transfromasi koordinat apapun.
Dalam kasus fisis di atas, gaya-gaya yang bekerja tidak perlu diuraikan, cukup
hanya dengan menghitung tenaga kinetik dan potensial dan keduanya diny-
atakan dalam posisi dan kecepatan, maka persamaan Lagrange sudah dapat
diselesaikan.
3 Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang sudah dibahas di muka, nampak bahwa sebenarnya
seluruh sistem mekanik dapat diselesaikan dengan mekanika Newtonian asalkan
seluruh gaya-gaya yang bekerja padanya dapat dikenali dan diuraikan. Tapi,
justru identifikasi gaya-gaya yang bekerja inilah yang kemudian membuat sulit.
Kesulitan ini dapat diatasi dengan mekanika Lagrangian yang analisisnya tidak
berbasiskan pada gaya tetapi pada besaran skalar tenaga kinetik dan tenaga
potensial.
Kasus fisis yang sama apabila dicoba diselesaikan dengan mekanika Newto-
nian dan Lagrangian dapat saja akan menhasilkan langkah-langkah pengerjaan
yang berbeda panjangnya. Perbedaan keduanya bukanlah pada poin ini. Perbe-
daan keduanya adalah pada identifikasi gaya-gaya yang bekerja dan identifikasi
tenaga dari sistem. Yang paling mudah adalah identifikasi tenaga. Dan inilah
yang tidak dimiliki oleh mekanika Newtonian.
Ditinjau dari cara pandang terhadap suatu sistem mekanik, mekanika New-
tonia merupakan cara pandang yang reduksionis sedangkan mekanika Lagrange
Pustaka
Fowles, Grant R., 1986, Analitycal Mechanics, Ed.4th, CBS College Publishing,
Philadelphia
Kuhn, Thomas S., 2002, The Structure of Scientific Revolutions: Peran Paradig-
ma dalam Revolusi Sains, Remaja Rosdakarya, Bandung
Soedojo, Peter, 2000, Azas-azas Mekanika Analitik, Cet.1, Gadjah Mada Uni-
versity Press, Yogyakarta