You are on page 1of 10

Laporan Kasus

Leukemia Limfoblastik Akut

Oleh :
Febdi Maulana
NIM. 0808114750

Pembimbing :
dr. Elmi Ridar, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD ARIFIN ACHMAD
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2013

BAB I
PENDAHULUAN
Leukemia merupakan kanker anak yang paling sering, mencapai lebih
kurang 33% dari keganasan pediatrik. Leukemia merupakan keganasan sel darah
yang berasal dari sumsum tulang, ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih,
dengan manifestasi penambahan sel-sel abnormal dalam darah tepi. Leukemia
dibagi menjadi akut dan kronik, berdasarkan jumlah sel blast yang ditemukan
pada sediaan sumsum tulang. Jika >20% dikatakan leukemia akut sedangkan <
20% dikatakan leukemia kronik. Leukemia akut dibagi lagi menjadi 2 macam
yaitu LMA (Leukemia Mieloblastik Akut) dan LLA (Leukemia Limfoblastik
Akut). Perbedaan antara LMA dan LLA terutama sekali pada usia penderita di
mana pada LLA lebih banyak diderita oleh anak-anak sekitar 80 %, sedangkan
LMA diderita oleh anak-anak sebanyak 20% dan lebih ganas.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah kanker anak yang paling sering,
dapat mencapai lebih kurang 33% dari keganasan pediatric. LLA merupakan
penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sum-sum tulang, ditandai oleh
proliferasi sel-sel darah putihdeengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam
darah tepi 1,2,3.
2.2 Epidemiologi
Di negara berkembang, 83% LLA lebih tinggi pada anak kulit putih
dibanding kulit hitam. Di Asia, kejadian leukemia pada anak kulit hitam lebih
tinggi dari pada kulit putih. Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1,15. Puncak
kejadian pada umur 2-5 tahun. Kemungkinan puncak tersebut merupakan
pengaruh faktor-faktor lingkungan di Negara industri yang belum diketahui 1.
2.3 Etiologi
Etiologi LLA sampai saat ini masih belum jelas, diduga kemungkinan
besar karena virus. Faktor lain yang turut berperan adalah 2:
1. Faktor eksogen seperti sinar X, sinar radioaktif, hormon, bahan kimia
(benzol, arsen, preparat sulfat)
2. Faktor endogen seperti ras, faktor konstitusi seperti kelainan kromosom
(Sindrom Down), herediter (kadang-kadang dijumpai kasus leukemia pada
kakak beradik atau kembar satu telur).
2.4 Patogenesis
Secara imunologik, bila virus dianggap sebagai penyebabnya (virus
onkogenik yan mempunyai struktur antigen tertentu) maka virus tersebut dengan
mudah akan masuk ke dalam tubuh manusia, jika struktur antigennya sesuai
dengan struktur antigen manusia itu. Bila struktur antigen individu tidak sama

dengan struktur antigen virus maka virus itu akan ditolaknya, sama kejadiannya
dengan penolakannya dengan benda asing. Struktur antigen manusia terbentuk
oleh struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput lendir
yang terletak di permukaan tubuh (kulit disebut juga antigen jaringan). WHO
telah menetapkan istilah antigen jaringan yang disebut HL-A (Human Leucocyte
Locus A). Sistem HL-A individu ini diturunkan menurut hukum genetika sehingga
peranan faktor ras dan keluarga dalam etiologi leukemia tidak dapat diabaikan.
2.5 Gejala Klinis
Gejala yang khas adalah pucat, panas, perdarahan disertai splenomegali
dan

kadang-kadang

hepatomegali

serta

limfadenopati.

Penderita

yang

menunjukkan gejala lengkap seperti tersebut diatas, secara klinis dapat


didiagnosis leukemia. Pucat dapat terjadi mendadak sehingga bila pada seorang
anak terdapat pucat yang mendadak dan sebab terjadinya sukar diterangkan, maka
perlu waspada terhadap kemungkinan leukemia. Perdarahan dapat berupa
ekimosis, ptekie, epistaksis, perdarahan gusi. Pada stadium permulaan mungkin
tidak terdapat splenomegali 2,3.
Gejala yang tidak khas adalah sakit sendi atau sakit tulang yang dapat
disalahtafsirkan sebagai penyakit reumatik. Gejala lain dapat timbul sebagai
akibat infiltrasi sel leukemia pada alat tubuh, seperti efusi pleura, kejang pada
leukemia serebral 2.
2.6 Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah tepi
Gejala yang terlihat pada darah tepi sebenarnya berdasarkan pada kelainan
sum-sum tulang yaitu berupa pansitopenia, limfositosis yang kadangkadang menyebabkan gambaran darah tepi monoton dan terdapatnya sel
blas dalam darah tepi yang merupakan gejala patognomonik untuk
leukemia.
2. Sum-sum tulang

Dari pemeriksaan sum-sum tulang akan ditemukan gambaran yang


monoton yaitu hanya terdiri dari sel limfopoitik patologis sedangkan
sistem lain tertekan.
Pemeriksaan lain:
1. Biopsi limpa
Pemeriksaan ini akan memperlihatkan proliferasi sel leukemia dan sel
yang berasal dari jaringan limpa akan terdesak seperti limfosit normal,
RES, granulosit.
2. Cairan serebrospinal
Bila terjadi peninggian jumlah sel (sel patologis) dan protein maka hal ini
berarti suatu leukemia meningeal. Kelaianan ini dapat terjadi pada setiap
saat dari perjalalnan penyakit baik pada keadaan remisi maupun pada
keadaan kambuh. Untuk mencegahnya dilakukan pungsi lumbal dan
pemberian metotreksat (MTX) intratekal secara rutin pada setiap penderita
baru atau pada meraka yang menunjukkan gejala tekanan intrakranial yang
meninggi.
3. Sitogenetik
50-70% dari penderita LLA mempunyai kelainan berupa:
1. Kelainan jumlah kromosom seperti diploid (2n), haploid (2n-a),
hiperploid (2n+a).
2. Kariotip yang pseudodiploid pada kasus dengan jumlah kromosom
yang diploid
3. Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial depletion)
4. Terdapatnya marker kromosom yaitu elemen yang secara morfologis
bukan merupakan kromosom normal dari bentuk yang sangat besar
sampai yang sangat kecil.
2.7 Diagnosis
Diagnosis LLA dibuat berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan darah tepi
dan dipastikan dengan pemeriksaan sum-sum tulang, juga dilengkapi dengan
pemeriksaan radiografi dada, cairan serebrospinal, dan beberapa pemeriksaan
penunjang yang lain. Pada stadium praleukemia, gejalanya tidak khas bahkan
sum-sum tulang dapat memperlihatkan gambaran normal atau gambaran lain yang
non leukemik misalnya anemia aplastik, ITP menahun, diseritropoesis 1,2.

2.8 Klasifikasi Morfologi


Penelitian yang dilakukan pada LLA menunjukkan sebagian besar LLA
mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel blas dari setiap pasien. Hal
ini memberikan dugaan bahwa populasi sel leukemia itu berasal dari sel tunggal.
Oleh karena homogenitas itu, maka dibuat klasifikasi LLA secara morfologik
untuk memudahkan pemakaiannya dalam klinik, sebagai berikut 1,3:
L1 terdiri dari sel-sel limfoblas kecil, dengan kromatin homogen, anak inti
umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit.
L2 pada jenis ini, sel limfoblas lebih besar tapi ukurannya bervariasi, kromatin
lebih kasar dengan 1 atau lebih anak inti.
L3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak,
banyak ditemukan anak inti serta sitoplasma yangbasofilik bervakuolisasi.
Akibat terbentuknya populasi sel leukemia yang makin lama makin
banyak akan menimbulkan dampak yang buruk bagi produksi sel normal, dan
dampak bagi faal tubuh karena infiltrasi sel leukemia ke dalam organ tubuh.
2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan meliputi kuratif dan suportif. Suportif bertujuan untuk
mengobati komplikasi seperti pemberian transfusi darah atau trombosit, antibiotik,
obat untuk meningkatkan granulosit, obat anti jamur, pemberian nutrisi yang baik,
pendekatan

aspek

psikososial.

Terapi

kuratif

spesifik

bertujuan

untuk

menyembuhkan leukemianya berupa kemoterapi dengan obat sitostatika dan


kortikosteroid. Pada pemberian obat-obatan ini sering ditemui efek samping
berupa alopesia, stomatitis, leukopenia, infeksi sekunder atau kandidiasis

1,5

Ekskresi obat seperti metotreksat (MTX) yang diekskresikan di ginjal juga perlu
diperhatikan, karena pasien dengan faal ginjal yang sedikit saja terganggu dapat
terjadi depresi sum-sum tulang yang hebat 5.
Klasifikasi risiko normal atau risiko tinggi menentukan protokol
kemoterapi. Transplantasi sum-sum tulang mungkin memberikan kesempatan

untuk kesembuhan khususnya unutk kasus relaps yang mempunyai prognosis


buruk dengan terapi sitostatika konvensional 1,2,4.
Pola dasar pengobatan sebagai berikut 2:
1. Induksi
Dimaksudkan untuk mencapai remisi yaitu dengan pemberian obat baik
secara sistemik maupun intratekal sampai sel blas dalam sum-sum tulang
kurang dari 5%.
2. Konsolidasi
Konsolidasi bertujuan agar sel yang tersisa dapat cepat memperbanyak diri
lagi.
3. Rumat (maintenance)
Untuk mempertahankan masa remisi yang lama, dengan memberikan
sitostatika dengan separuh dosis biasa.
4. Reinduksi
Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan
setiap 3-6 bulan dengan pemberian obat-obat seperti pada induksi selama
10-14 hari.
5. Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat
Unutk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk
mencegah leukemia meningeal dan radiasi kranial sebanyak 2400-2500
rad digunakan untuk mencegah leukemia serebral dan meningeal.
6. Pengobatan imunologik
Diharapkan semua sel leukemia dapat hilang sama sekali dan diharapkan
penderita dapat sembuh sempurna.

Protokol pengobatan LLA 2,6:


1. Induksi
Sistemik:
a. VCR: 2 mg/m2/minggu IV, diberikan 6 kali
b. ADR: 40 mg/m2/ 2 minggu IV, diberikan 3 kali, dimulai hari ketiga
pengobatan
c. Prednison: 50 mg/m2/ hari peroral, diberikan selama 5 minggu
kemudian tapering off selama 1 minggu.
SSP:

Profilaksis: MTX 10 mg/m2/minggu intratekal, diberikan 5 kali


dimulai bersamaan dengan atau setelah VRC pertama.
Radiasi kranial:
Dosis total 2400 rad dimulai setelah konsolidasi terakhir.
2. Konsolidasi
a. MTX: 15 mg/m2/hari IV, diberikan 3 kali, dimulai 1 minggu setelah
VCR keenam kemudian dilanjutkan dengan:
b. 6-MP: 500 mg/m2/hari peroral diberikan 3 kali
c. CPA: 800 mg/m2/kali diberikan sekaligus pada akhir minggu kedua
konsolidasi.
3. Rumat (maintenance)
Dimulai 1 minggu setelah konsolidasi terakhir (CPA) dengan:
a. 6-MP: 65 mg/m2/hari peroral
b. MTX: 20 mg/m2/minggu peroral, dibagi dalam 2 dosis
4. Reinduksi
Diberikan tiap 3 bulan sejak VCR terakhir. Selama reinduksi, obat-obat
rumat dihentikan.
Sistemik:
a. VCR: dosis sama dengan dosis induksi, diberikan 2 kali
b. Prednisone: dosis sama dengan dosis induksi, diberikan 1 minggu
penuh dan 1 minggu kemudian tapering off
SSP:

MTX intratekal

5. Imunoterapi
BCG diberikan 2 minggu setelah VCR kedua pada reinduksi pertama.
Dosis 0,6 ml intrakutan diberikan pada 3 tempat masing-masing 0,2 ml.
Suntikan BCG diberikan 3 kali dengan intratekal 4 minggu (obat-obat
rumat diteruskan).
6. Pengobatan seluruhnya dihentikan setelah 3 tahun remisi terus-menerus.
Pungsi sum-sum tulang ulangan rutin dilakukan setelah induksi
pengobatan (setelah 6 minggu).
2.10 Prognosis
Sampai saat ini leukemia masih merupakan penyakit yang fatal. Biasanya
bila serangan pertama dapat diatasi dengan pengobatan induksi, penderita akan
berada dalam keadaan remisi untuk beberapa bulan. Masa remisi akan menjadi

lebih pendek sampai akhirnya penyakit ini resisten terhadap pengobatan dan
penderita akan meninggal. Kematian biasanya disebabkan perdarahan akibat
trombositopenia, leukemia serebral atau infeksi 2.
Berdasarkan faktor prognostik, maka pasien dapat digolongkan ke dalam
kelompok risiko biasa dan risiko tinggi. Para ahli telah melakukan penelitian dan
membuktikan faktor prognostik itu ada hubungannya dengan in vitro drug
resistence. Faktor-faktor prognostik LLA 1:
1. Jumlah leukosit awal
Hal ini merupakan faktor prognosis yang bermakna tinggi. Ditemukan
adanya hubungan linier antara jumlah leukosit awal dan perjalanan pasien
LLA pada anak yaitu pasien dengan jumlah leukosit lebih dari
50.000/mm3, biasanya mempunyai prognosis yang buruk.
2. Umur
Pasien dengan umur di bawah 18 bulan atau di atas 10 tahun mempunyai
prognosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien berumur di antara
umur tersebut. Khusus pasien di bawah 1 tahun terutama di bawah 6 bulan
mempunyai prognosis paling buruk. Hal ini karena disebabkan kelainan
biomolekuler.
3. Jenis kelamin
Anak laki-laki mempunyai prognosis lebih buruk karena dihubungkan
dengan adanya relaps testis, hiperleukositosis dan organomegali serta
massa mediastinum. Penyabab pastinya belum jelas tapi diketahui pula
adanya perbedaan metabolisme merkaptopurin dan metotreksat.
4. Respon terhadap terapi
Respon terhadap terapi dapat diukur dari jumlah sel blas di darah tepi
sesudah 1 minggu. Adanya sisa sel blas pada sum-sum tulang pada induksi
hari ke-7 sampai hari ke-14 menunjukkan prognosis buruk.
5. Kelainan jumlah kromosom.

DAFTAR PUSTAKA
1. Permono B, Ugrasena. Leukemia Akut. Dalam Buku Ajar HematologiOnkologi Anak. Jakarta: Ikatan Anak Indonesia, 2005: 236-43.
2. Hasan R, Alatas H. Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Indonesia, 1997:
470-77.
3. Crist WM, Pui CH. Leukemia Limfoblastik Akut. Dalam Ilmu
Kesehatan Anak Nelson Volume 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran,
1999: 1772-5.
4. Manjoer A, Suprohaita. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga.
Jakarta: Media Aesculapius, 2000: 495.
5. Reksodiputro AH, Sudoyo. Kemoterapi Kanker. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007: 601.
6. Hasan R, Alatas. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
1997: 1255.

You might also like