Professional Documents
Culture Documents
I. PENDAHULUAN
Gangguan ini disebut disosiatif karena dahulu dianggap terjadi hilangnya
asosiasi antara berbagai proses mental seperti identitas pribadi dan memori,
sensori, dan fungsi motorik. Ciri utamanya adalah hilangnya fungsi yang tidak
dapat dijelaskan secara medis.(1)
Istilah konversi didasarkan pada teori kuno bahwa perasaan anxietas
dikonversikan menjadi gejala-gejala dengan akibat terselesaikannya konflik
mental (keuntungan primer; primary gain) dimana memungkinkan pasien untuk
mengungkapkan
didapatkannya
konflik
yang
keuntungan
telah
praktis
ditekan
seperti
secara
tidak
memungkinkan
sedar. Atau
pasien
untuk
II.
DEFENISI
Gangguan konversi adalah gangguan fungsi tubuh yang tidak sesuai
dengan konsep terkini mengenai anatomi dan fisiologi sistem saraf pusat ataupun
perifer. Gangguan ini secara khas terdapat saat stres dan menimbulkan disfungsi
pada masa remaja dan dewasa muda. Data menunjukkan bahwa gangguan
konversi adalah gangguan yang paling lazim di antara populasi pedesaan, orang
dengan sedikit edukasi, orang dengan IQ rendah, orang dalam kelompok
sosioekonomi rendah, dan anggota militer yang telah terpajang situasi perang.
Gangguan konversi lazim dikaitkan dengan diagnosis komorbid gangguan depresi
berat, gangguan anxietas, dan skizofrenia. (3,4)
IV.
ETIOLOGI
Faktor Psikoanalitik. Menurut teori psikoanalitik, gangguan konversi
disebabkan oleh represi konflik intrapsikis yang tidak disadari dan konversi
anxietas menjadi suatu gejala fisik. Konflik tersebut adalah antara impuls
berdasarkan
insting
(contohnya
agresi
atau
seksualitas)
dan
larangan
menimbulkan tuli, buta, serta penglihatan terowongan (tunnel vision). Gejala ini
dapat unilateral atau bilateral, tetapi evaluasi neurologis menunjukkan jaras
sensorik yang intak.(3.5)
Gejala Motorik. Gejala motorik meliputi gerakan abnormal, gangguan
berjalan, kelemahan, dan paralisis. Tremor ritmis yang kasar, gerakan koreiform,
tic, dan sentakan dapat ada. Gerakan tersebut umumnya memburuk ketika orang
memperhatikan mereka. Satu gangguan berjalan yang terlihat pada gangguan
konversi adalah astasia-abasia. Selain itu yang lazim ditemukan juga adalah
paralisis dan paresis yang mengenai satu, dua, atau keempat ekstremitas,
walaupun distribusi otot yang terkena tidak sesuai dengan jaras saraf. Refleks
tetap normal yaitu pasien tidak mengalami fasikulasi atau atrofi otot (kecuali
setelah paralisis konversi yang berlangsung lama), temuan elektromiografi
normal.(3,5)
Gejala Kejang. Dimana kejang semu adalah gejala lain gangguan konversi.
Selama serangan, ditandai dengan keterlibatan otot-otot truncal dengan
opistotonus dan kepala atau badan berputar ke arah lateral. Semua ekstremitas
mungkin menunjukkan gerakan meronta-ronta, yang mungkin akan meningkatkan
intensitas jika pengenkangan diterapkan. Sianosis jarang terjadi kecuali pasien
dengan sengaja menahan nafas mereka. Klinisi dapat merasa sulit membedakan
kejang semu dengan kejang yang sesungguhnya hanya dengan pengamatan klinis
saja. Lebih jauh lagi, kira-kira sepertiga kejang semua pasien memiliki gangguan
epileptic. Menggigit lidah, inkontinensia urin, dan cedera setelah jatuh dapat
terjadi jika pasien memiliki pengetahuan medis tentang penyakit. Gejala ini
berbeda dengan kejang yang sebenarnya, dimana pseudoseizure terutama terjadi
di hadapan orang lain dan bukan ketika pasien sendirian atau tidur. Reflex pupil
dan muntah tetap ada setelah kejang semu dan konsentrasi prolaktin pasien tidak
mengalami peningkatan setelah kejang.(3,5)
Menurut PPDGJ_III gejala utama dari gangguan konversi adalah adanya
kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (dibawah kendali
kesadaran) antara : (6)
VI.
PEDOMAN DIAGNOSTIK
Mungkin agak sulit menentukan diagnosis dan penatalaksanaan pada
gejala tidak konsisten, gejala yang dimiliki berbagai jenis penyakit, gejala sering
yang tidak biasa dan susah untuk dipercaya dengan kesadaran yang baik
(volunter). (1)
Sedangkan pada berpura-pura (malingering) untuk mendapatkan keuntungan
pribadi. Menentukan hal ini tidaklah mudah dan mungkin memerlukan bukti
bahwa ada inkonsistensi dalam gejalanya. Namun umumnya gejala bervariasi
tetapi paling sering gangguan jiwa yang ringan. (1)
Gangguan konversi karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa
gangguan tersebut mencermikan penyaluran, atau konversi dari energi seksual
atau agresif yang direpresikan ke gejala fisik seperti adanya gangguan neurologis.
Untuk diagnosis pasti maka hal-hal dibawah ini harus ada : (6)
(a). gambaran klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang
tercantum pada F44.-; (misalnya F44.0 Amnesia Disosiatif)
(b). Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala
tersebut ;
(c). bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan kurun waktu yang
jelas dengan problem dan kejadian-kejadian
A. Satu atau lebih gejala atau deficit yang memengaruhi fungsi sensorik atau motorik
volunter
B. gejala klinik membuktikan tidak terdapatnya kompabilitas antara gejala yang ditemukan
dengan kondisi medis pada kelainan neurologic
C. gejala atau deficit tidak dapat dijelaskan dengan baik oleh medis dan gangguan mental.
D.
Gejala atau deficit menyebabkan distress yang bermakna secara klinis atau hendaya
dalam fungsi social, pekerjaan, atau area penting lain, atau memerlukan evalusi medis.
VII.
DIAGNOSIS BANDING
10
Gejala awal pada sebagian besar pasien dengan gangguan konversi, mungkin
90 hingga 100 persen membaik dalam beberapa hari atau kurang dari satu bulan.
Prognosis baik jika awitan mendadak, stressor mudah diidentifikasi, penyesuaian
premorbid baik, tidak ada gangguan medis atau psikiatri komorbid, dan tidak
sedang menjalani proses hukum. Sedangkan semakin lama gangguan konversi
ada, prognosisnya lebih buruk. (3)
X.
KESIMPULAN
Gangguan konversi adalah gangguan fungsi tubuh yang tidak sesuai dengan
konsep terkini mengenai anatomi dan fisiologi system saraf pusat ataupun perifer.
Gangguan ini secara khas terdapat saat stress dan menimbulkan disfungsi yang
cukup bermakna. Gangguan ini dinamakan konversi karena adanya psikodinamika
bahwa gangguan tersebut mencerminkan penyaluran, atau konversi dari agresi
yangdirepresikan ke gejala fisik. Etiologi yang sebenarnya belum diketahui, tetapi
kebanyakan menganggap gangguan konversi disebabkan sebelumnya oleh stress
yang berat, konflik emosional, atau gangguan jiwa yang terkait. Seseorang dengan
gangguan konversi sering memiliki tanda-tanda fisik tetapi tidak memiliki tandatanda neurologis untuk mendukung gejala mereka seperti kelemahan otot,
gangguan fungsi sensorik, maupun gangguan motorik. Kemungkinan penyebab
organic harus disingkirkan lebih dahulu dan hal ini dapat berakibat pemeriksaan
yang ekstensif. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah kemungkinan dibuatbuatnyagejala tersebut. Dan yang penting dalam penatalaksanaan adalah
menerima gejala pasien sebagai hal yang nyata, tetapi menjelaskan bahwa itu
reversible. Ciri terapi yang paling penting adalah hubungan dengan terapis yang
11
penuh perhatian dan dapat dipercaya. Hypnosis, ansiolitik, dan latihan relaksasi
perilaku efektif pada beberapa kasus. Bentuk singkat dan langsung psikoterapi
jangka pendek juga digunakan untuk menatalaksana gangguan konversi. Semakin
lama durasi penyakit pasien dan semakin banyak mereka mengalami regresi,
semakin sulit terapinya.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Maramis, W.F. Gangguan Disosiatif(Konversi). Ilmu Kedokteran Jiwa.
Surabaya : Airlangga University Press
2. Marshall SA, Bienenfeid D., et all. Conversion Disorder. Medscape
Reference.http://emedicine.medscape.com/article/287464overview#showall. Updated at Jun 26, 2013.
3. Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2007). Kaplan & Sadocks Synopsis of
Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New
York. Lippincot Wiliam&Wilkins
4. Jerald Kay, Tasman Allan. Convertion Disorder. Essential of Psychiatry.
Library of Congress Cataloging-in-Publication Data. New York; 2006
5. Loewenstein, Richard J. Share, Mackay MD. Convertion Disorder. Review
of General Psychiatry, 5th edition by Vishal
6. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas
dari PPDGJ III dan DSM-5, Jakarta; 2001
7. Rubin, Eugene H. Zorumski, Charles F. Convertion Disorder, Adult
Psychiatry, second edition. Blackwell Publishing; 2005
8. Tasman, Allan. First, B Michael. Convertion Disorder, Clinical Guide to
the Diagnosis and Treatment of Mental Disoder. New York. Wiley ; 2006.
13