You are on page 1of 13

SECONDARY DROWNING

PENDAHULUAN
Drowning atau tenggelam adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi cairan ke dalam
saluran pernapasan. Tenggelam merupakan akibat dari terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh
ke dalam cairan. Tenggelam tidak terbatas di dalam air seperti sungai, danau, atau kolam renang
tetapi mungkin juga terbenam dalam kubangan atau selokan dengan hanya muka yang berada di
bawah permukaan air. Tenggelam, yang dahulu dianggap sebagai kematian yang secara
langsung disebabkan oleh asfikisia (“asphyxial death”), kini diketahui terdiri dari serangkaian
gangguan fisiologis dan biokimiawi yang seluruhnya memiliki peranan penting terhadap akibat
fatal dari tenggelam. Adanya mekanisme kematian yang berbeda-beda pada tenggelam akan
memberikan warna yang berbeda-beda pada pemeriksaan korban1,2,3.Tenggelam pada umumnya
merupakan kecelakaan, baik kecelakaan saat naik kapal, berolahraga air, maupun yang terjadi
oleh karena korban dalam keadaan mabuk, berada di bawah pengaruh obat atau pada mereka
yang terserang epilepsi. Pembunuhan dengan cara menenggelamkan korban lebih jarang terjadi,
korban biasanya bayi atau anak-anak. Pada korban dewasa biasanya korban sebelumnya
dianiaya, kemudian untuk menghilangkan jejak korban dibuang ke sungai. Bunuh diri dengan
cara menenggelamkan diri juga merupakan peristiwa yang jarang terjadi. Korban sering
memberati dirinya dengan batu atau besi, baru kemudian terjun ke air. Dengan demikian,
pemeriksaan kasus tenggelam juga ditujukan untuk mengetahui apakah kasus tersebut
merupakan kecelakaan, pembunuhan atau bunuh diri2,3.

Tenggelam merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang signifikan. Di seluruh dunia
setiap tahun dilaporkan sekitar 1,5 juta kematian terjadi akibat tenggelam. Namun tingkat
mortalitas dan morbiditas akibat tenggelam yang sebenarnya sulit ditentukan karena banyaknya
kasus yang tidak dilaporkan dan banyaknya korban yang tidak mendapat pelayanan medis.
Secara umum 90% kasus tenggelam terjadi di air tawar (danau, sungai, kolam) dan 10% terjadi
di air laut. Tenggelam di dalam cairan lain lebih jarang terjadi dan biasanya merupakan
kecelakaan kerja4,5.

Di Amerika Serikat, cedera yang berhubungan dengan tenggelam merupakan penyebab


kematian akibat kecelakaan terbanyak kelima bagi semua kelompok umur, dengan insidensi 2,5–
3,5 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2002, Centers for Disease Control and Prevention di
Amerika Serikat melaporkan 3447 korban meninggal akibat unintentional drowning (tenggelam
karena kecelakaan), terbanyak terjadi pada kelompok usia di bawah 4 tahun dan kedua terbanyak
adalah kelompok remaja dan dewasa muda laki-laki berusia antara 14-24 tahun. Pada kelompok
balita, sebagian insiden terjadi di bathtub dan kolam renang4.

Sejauh ini belum ada pengertian yang seragam mengenai definisi tenggelam. Beberapa ahli
mencoba mengklasifikasikan tenggelam berdasarkan kondisi paru korban :

1. Typical drowning (wet drowning)

Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernapasan korban saat korban tenggelam.

2. Atypical drowning

a. Dry drowning

Pada keadaan ini hanya sedikit atau bahkan tidak ada cairan yang masuk ke dalam
saluran pernapasan, kematian disebabkan oleh laringospasme.

b. Immersion syndrome (vagal inhibition)

Terjadi terutama pada anak-anak yang tiba-tiba terjun ke dalam air dingin (suhu
<20°C), yang menyebabkan terpicunya refleks vagal yang menyebabkan apneu,
bradikardia, dan vasokonstriksi dari pembuluh darah kapiler dan menyebabkan
terhentinya aliran darah koroner dan sirkulasi serebral. Alkohol juga dapat merupakan
pemicu.

c. Submersion of the unconscious

Bisa terjadi pada korban yang memang menderita epilepsi atau menderita penyakit
jantung khususnya coronary atheroma atau hipertensi, atau peminum yang
mengalami trauma kepala saat masuk ke air, atau dapat pula pecahnya aneurisma
serebral dan muncul perdarahan serebral yang terjadi tiba-tiba.

d. Delayed death (near drowning and secondary drowning)


1
Menurut Verive, Michael (2007), near drowning adalah keadaan dimana seorang
korban masih hidup setelah lebih dari 24 jam (walaupun hanya untuk sementara)
setelah diselamatkan dari suatu episode tenggelam. Secondary drowning adalah suatu
keadaan dimana muncul gejala beberapa hari setelah korban tenggelam diselamatkan
(dan diangkat dari air) dan korban meninggal akibat komplikasi6.

Secondary drowning merupakan hal yang menarik untuk dipelajari, karena kasus secondary
drowning yang diantisipasi, dikenali, dan ditangani dengan cepat dapat memberikan hasil akhir
yang lebih baik bagi prognosis perjalanan penyakit korban. Pada penanganan kasus secondary
drowning juga penting untuk diketahui beberapa faktor yang turut berpengaruh, antara lain
konsumsi alkohol, tipe air lokasi korban tenggelam (air asin, air tawar, atau air payau), dan
temperatur air, serta riwayat penyakit sebelumnya3.

PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Terdapat berbagai macam pengertian mengenai definisi yang jelas dari secondary drowning.
Secara umum, secondary drowning adalah suatu keadaan dimana muncul gejala beberapa
hari setelah korban tenggelam diselamatkan dan korban meninggal akibat komplikasi1.

Menurut Pearn, J.H. (1980), secondary drowning merupakan salah satu dari sindrom pada
sistem respirasi yang terjadi paska suatu episode tenggelam. Selanjutnya, Pearn
mendefinisikan secondary drowning sebagai penurunan fungsi pulmoner setelah terjadi
penurunan pertukaran gas akibat hilang atau inaktivasi surfaktan. Hal ini diperkirakan terjadi
akibat kerusakan surfaktan karena terjadinya kerusakan secara kimiawi, anoksik, mapupun
osmotik pada pneumatosit yang melapisi alveoli. Sedangkan beberapa sumber lain tidak
membatasi gangguan fungsi paru sebagai faktor yang mendasari secondary drowning, namun
lebih karena terjadinya kegagalan multi sistem organ5,7.

2.2. Insiden

2
Di seluruh dunia setiap tahun dilaporkan terjadi sekitar 1,5 juta kematian akibat drowning.
Jumlah insiden near drowning dan secondary drowning diperkirakan 20–500 kali
dibandingkan angka kejadian kematian akibat drowning. Perkiraan jumlah kasus secondary
drowning belum pasti, namun diperkirakan terjadi pada 2% dari kasus near drowning4,5.
Dua kelompok umur yang terbanyak mengalami secondary drowning adalah kelompok usia
di bawah 4 tahun dan kelompok usia 15-19 tahun. Pada bayi usia di bawah 1 tahun,
tenggelam sering terjadi di seember air atau bak mandi. Perlu dipertimbangkan adanya child
abuse pada kasus-kasus seperti ini. Sebagian besar kasus pada balita terjadi di bathtub dan
kolam renang akibat kurangnya pengawasan, sedangkan pada remaja sebagian besar kasus
tenggelam terjadi di laut, kolam atau sungai, dan biasanya berhubungan dengan olahraga air
atau penyalahgunaan alkohol4,5.

Pada kelompok usia remaja, sebagian besar secondary drowning terjadi pada laki-laki. Tiga
puluh lima persen dari episode immersion yang terjadi pada anak-anak membawa akibat yang
fatal, 33% korban selamat mengalami gangguan neurologis dalam beberapa derajat dan 11%
mengalami sequelae neurologik yang parah4,5.

Pada kasus near drowning dan secondary drowning, pemeriksa harus mencari tahu
kemungkinan adanya penyebab sekunder dari tenggelam, meliputi epilepsi, trauma kepala
atau trauma tulang belakang, serangan jantung, penggunaan alkohol dan obat-obatan,
hipoglikemia, dan sebagainya5.

2.3. Patofisiologi

Korban yang berada dalam keadaan sadar pada saat tenggelam awalnya akan berusaha untuk
menahan napas secara volunter. Untuk menyelamatkan dirinya, korban dengan panik
menggerak-gerakkan tungkai atas dan tungkai bawah untuk menjaga kepalanya tetap di atas
permukaan air. Korban dapat menahan napasnya untuk sementara waktu sebelum akhirnya
refleks untuk bernapas akan meningkat dan korban mencoba untuk bernapas walaupun masih
di dalam air2,3,5.

3
Reflek bernapas pada tubuh manusia terutama berhubungan dengan kadar karbon dioksida
dalam tubuh. Bila kadar oksigen menurun dan kadar karbon dioksida semakin meningkat,
akan timbul rangsangan refleks bernapas yang semakin kuat sampai mencapai suatu titik
dimana korban tidak lagi dapat menahan napasnya, akibatnya sejumlah air masuk ke dalam
saluran pernapasan. Air yang masuk ke saluran pernapasan akan memediasi timbulnya reflek
laringospasme, yang sebenarnya merupakan usaha tubuh untuk melindungi diri agar cairan
tidak masuk lebih banyak lagi. Hipoksia pada otak kemudian membuat korban mengalami
penurunan kesadaran, dan saat ini terjadi maka laringospasme akan mengalami relaksasi
sehingga lebih banyak lagi air yang masuk ke saluran pernapasan3,5.

Gerakan yang tidak terkoordinasi pada saat korban mencoba menjaga tetap mengapung
membuat korban berulang kali tenggelam dan muncul di atas permukaan air, lamanya
bergantung dari kondisi fisik dan daya tahan korban. Akhirnya korban mengalami kelelahan
dan dikombinasi dengan usaha bernapas dalam air sehingga banyak cairan masuk ke paru,
maka korban pun tenggelam ke dasar untuk terakhir kalinya3,5.

Sistem Respirasi

Aspirasi sejumlah besar cairan ke dalam paru menyebabkan (1) obstruksi pada saluran napas
pulmoner ekstrinsik dan intrinsik dan (2) terbentuknya sawar obstruktif berupa busa dalam
saluran napas yang terbentuk saat korban berusaha bernapas di permukaan air atau tepat di
bawah permukaan air, mengaspirasi udara dan air secara bersamaan. Aspirasi cairan
sebanyak 1-3 ml/kg berat badan dapat menimbulkan gangguan pertukaran gas di paru dan
juga menyebabkan gangguan fungsi surfaktan3,4,5.

Air tawar bersifat relatif hipotonik dibandingkan plasma darah dan menyebabkan kerusakan
pada surfaktan di alveoli. Air asin, yang bersifat relatif hipertonik dibandingkan plasma,
meningkatkan gradien osmotik dan oleh karena itu menarik cairan masuk ke alveoli dan
menyebabkan dilusi surfaktan (surfactant washout). Air asin juga dapat menyebabkan
kerusakan pada pneumatosit yang menyebabkan penurunan produksi surfaktan5,7.

4
Selain gangguan pada surfaktan, gangguan respirasi pada korban secondary drowning juga
dapat diakibatkan oleh barotrauma pulmoner, kerusakan mekanis paru-paru akibat usaha
resusitasi, pneumonitis akibat benda asing (pasir, lumpur, rumput laut, muntahan) atau bahan
kimia yang teraspirasi (terutama terjadi pada kasus tenggelam di kolam renang yang diberi
klorin atau di ember yang mengandung produk permbersih lantai), pemberian ventilasi yang
tidak adekuat, atau apneu sekunder akibat kerusakan sistem saraf pusat (sering terjadi secara
tiba-tiba). Pneumonia bakterial merupakan komplikasi yang lebih jarang, dan biasanya terjadi
pada kasus tenggelam di air tawar yang tidak mengalir dan hangat5,7.

Sistem Saraf Pusat

Cedera sistem saraf pusat merupakan faktor yang sangat menentukan dalam kemungkinan
korban dapat bertahan hidup dan morbiditas untuk jangka panjang. Kerusakan sistem saraf
pusat secara primer berhubungan dengan hipoksia jaringan. Jika periode hipoksia hanya
berlangsung singkat maka korban dapat sembuh dengan sequelae neurologis yang minimal.
Namun pada kasus-kasus dengan hipoksia yang berkepanjangan kemungkinan akan berujung
pada sequelae yang berat, bahkan pada kematian. Edema serebri merupakan dampak yang
umum dijumpai pada kasus tenggelam yang berlangsung cukup lama. Namun proses
tenggelam juga dapat dihubungkan dengan trauma (terutama pada kepala dan leher), maka
mungkin terdapat defisit neurologis fokal atau persisten yang mengindikasikan terdapat
massa atau cedera lain yang memerlukan tindakan pembedahan. Infeksi pada sistem saraf
pusat merupakan komplikasi yang jarang terjadi namun cukup serius, dapat disebabkan oleh
jamur atau virus yang hidup di tanah atau air5.

Sistem Kardiovaskuler

Air tawar bersifat hipotonik terhadap plasma darah, sehingga akan cepat diserap dalam
jumlah besar, sehingga terjadi peningkatan volume darah, hemodilusi dari elemen-elemen
darah dan hemolisis. Kalium dalam plasma akan meningkat dan natrium berkurang, juga
terjadi hipoksia yang hebat pada miokardium. Dalam waktu beberapa menit akan terjadi

5
fibrilasi ventrikel. Jantung dalam beberapa saat masih berdenyut dengan lemah, namun
hipoksia serebri yang hebat2,5,9.

Air asin bersifat hipertonik terhadap plasma darah, sehingga cairan dari sirkulasi darah
tertarik keluar dan masuk ke dalam jaringan paru-paru sehingga dalam waktu yang singkat.
Volume darah menurun, terjadi hemokonsentrasi dan peningkatan kadar natrium plasma.
Fibrilasi ventrikel tidak terjadi, namun terjadinya hipoksia pada miokardium disertai
peningkatan viskositas darah, akan menyebabkan terjadinya payah jantung2,5,9.

Kegagalan Multi Sistem Organ

Kondisi korban dapat diperburuk dengan adanya kegagalan multi sistem organ lain akibat
hipoksia yang berlangsung lama, antara lain terjadinya disseminated intravascular
coagulation, insufisiensi hepatik, insufisiensi renal, asidosis metabolik dan cedera pada
sistem gastrointestinal5.

Prognosis korban secondary drowning terutama berhubungan langsung dengan durasi dan
tingkat keparahan hipoksia. Dampak yang paling signifikan terhadap mortalitas dan
morbiditas korban secondary drowning adalah usaha resusitasi yang tepat dan berkelanjutan
mulai dari lokasi kejadian hingga sampai di rumah sakit. Dari keseluruhan korban near
drowning, 35-60% meninggal di Unit Gawat Darurat dan 60% menderita sequelae jangka
panjang. Hipotermia dapat menurunkan cerebral metabolic rate, sehingga korban dengan
hipotermia memiliki prognosis yang lebih buruk5.

Menurut Pearn, J.H. (1980), kelompok yang memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya
secondary drowning adalah anak-anak yang tenggelam dalam air asin atau air yang terpolusi,
dimana pernapasan spontan tidak juga terjadi setelah 5-10 menit setelah penyelamatan,
namun tampak menunjukkan perbaikan dengan cepat setelahnya. Perlu diingat bahwa pada
secondary drowning seringkali korban anak-anak memberikan respon yang sangat baik pada
resusitasi yang dilakukan di tempat kejadian sehingga kemudian korban tidak dibawa ke
rumah sakit dan kemudian ditemukan di rumah dalam keadaan distres pernapasan yang berat
beberapa jam kemudian. Pearn, J.H. (1980) menyarankan tim penyelamat dan petugas medik

6
harus mengantisipasi penurunan fungsi pulmoner terutama dalam 4 jam pertama setelah
penyelamatan, yang dapat terjadi pada satu dari tiap 20 korban tenggelam yang selamat.
Untuk itu, walaupun tidak selalu dilakukan, namun sebaiknya semua korban tenggelam yang
diselamatkan harus dibawa ke rumah sakit untuk observasi, walaupun korban tampak baik-
baik saja setelah usaha pertolongan pertama, karena penurunan fungsi pulmoner dapat terjadi
dengan cepat. Pada kasus secondary drowning yang diantisipasi, dikenali dan ditangani
dengan cepat dan tepat maka prognosisnya akan jauh lebih baik7.

2.4. Presentasi Klinis

Presentasi klinis yang ditemukan pada korban tenggelam :

 Asimtomatis, terutama pada pasien tenggelam dengan adanya saksi mata yang
melihat kejadian, sehingga pertolongan dan resusitasi dapat segera diberikan. Namun
perlu juga diingat bahwa pada secondary drowning seringkali korban anak-anak
memberikan respon yang sangat baik pada resusitasi yang dilakukan di tempat
kejadian sehingga kemudian korban tidak dibawa ke rumah sakit dan kemudian
ditemukan di rumah dalam keadaan distres pernapasan yang berat beberapa jam
kemudian.

 Simtomatis :
 Batuk
 Sesak nafas
 Mengi
 Hipotermia
 Bradikardia atau takikardia
 Muntah-muntah, diare
 Gelisah, kesadaran menurun

 Cardiopulmonary arrest, antara lain terjadi takikardia ventrikuler, fibrilasi ventrikel.

 Kematian5.

7
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan :

 Laboratorium : analisa gas darah, hitung sel darah, serum elektrolit, gula darah
sewaktu, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, uji kadar etanol dan obat-obatan terlarang.

 Oksimetri dan monitoring fungsi kardiorespirasi.

 Pemeriksaan radiografi : rontgen toraks, CT-scan kepala dan tulang belakang (jika
dicurigai ada trauma), rontgen ekstremitas, abdomen dan pelvis (jika dicurigai ada
trauma), elektrokardiografi (jika dicurigai ada disfungsi miokardium)5.

2.5. Penanganan

 Keberhasilan atau kegagalan bantuan hidup dasar yang diberikan di lokasi


ditemukannya korban merupakan faktor penentu utama dari prognosis korban. Pada
saat melakukan bantuan hidup dasar awal, selain menjaga patensi jalan nafas,
pernapasan dan sirkulasi, harus dilakukan stabilisasi servikal jika dicurigai terdapat
trauma tulang belakang.

 Pemberian oksigen 100% harus dimulai sedini mungkin.

 Pertimbangkan intubasi endotrakeal dengan ventilasi mekanis pada korban dengan


distres pernapasan berat atau gangguan jalan nafas, dengan penurunan kesadaran,
hipoksemia berat, asidosis berat.

 Penggantian volume intravaskuler dapat dilakukan dengan pemberian infus kristaloid


atau koloid. Bila diperlukan inotropik dapat diberikan dopamin atau dobutamine.

 Sebagian besar kasus asidosis dapat dikoreksi dengan koreksi kehilangan volume
intravaskuler dan oksigenisasi yang adekuat. Sodium bikarbonat dapat diberikan pada
kasus asidosis berat yang tidak dapat dikoreksi dengan dengan usaha-usaha tersebut,
namun hanya diberikan bila ventilasi yang adekuat telah dipertahankan.

8
 Pemasangan pipa nasogastrik untuk mengeluarkan air atau kotoran yang tertelan
(lakukan pemasangan pipa orogastrik jika dicurigai ada trauma wajah atau kepala).

 Kateter urin untuk memantau cairan keluar. Kateter vena sentral untuk memantau
tekanan vena sentral

 Hipotermia dapat terjadi dan memperburuk bradikardia, asidosis dan hipoksemia.


Perlu diperhatikan apakah korban tenggelam di air hangat atau air dingin. Pada kasus
korban tenggelam di air dingin, pasien dengan hipotermia berat dapat tampak seolah-
olah sudah mati karena bradikardia berat dan vasokonstriksi pembuluh darah,
sehingga usaha resusitasi harus tetap dilanjutkan sementara usaha untuk
mengembalikan suhu tubuh normal harus tetap dilakukan.

 Perlu dicari kemungkinan adanya cedera-cedera yang lain, sebagaimana yang umum
ditemukan pada cedera kecelakaan yang lain. Pada kecelakaan saat menyelam, perlu
dipertimbangkan cedera tulang belakang.

 Pemberian antibiotika propilaksis tidak diindikasikan kecuali korban tenggelam


dalam air yang terkontaminasi atau di saluran pembuangan. Pemberian kortikosteroid
tidak memberikan manfaat pada penanganan kasus secondary drowning5.

2.6 Temuan pada Pemeriksaan Korban Mati

Pemeriksaan Luar

Ditemukan adanya cairan berbuih dari hidung dan mulut, yang dihasilkan dari campuran
udara, mukus dan cairan aspirasi yang terkocok-kocok saat adanya upaya pernapasan yang
hebat. Busa dapat berwarna putih, atau lebih merah muda jika berasal dari edema pulmonum.
Terkadang busa tidak lagi keluar dari mulut dan hidung, terutama setelah dilakukan kompresi
pada dinding dada. Namun jika dilakukan pemeriksaan dalam dapat masih ditemukan adanya
busa pada saluran pernapasan atas dan bawah2,3,8,9,10.

9
Dapat dijumpai adanya luka-luka pada daerah wajah, tangan dan tungkai bawah bagian
depan, yang dapat terjadi akibat persentuhan korban dengan dasar sungai atau kolam, atau
dengan benda-benda disekitarnya2,3,8,9,10.

Pemeriksaan Dalam

Dapat ditemukan adanya busa atau cairan dengan buih pada saluran pernapasan atas dan
bawah. Dapat pula ditemukan adanya benda-benda asing yang teraspirasi di dalam trakea.

Paru-paru pada korban tenggelam biasanya tampak sangat mengembang (bulky and
ballooned). Edema dan kongesti paru dapat sangat hebat sehingga beratnya mencapai 700-
1000 gram, dimana berat paru normal adalah sekitar 250-300 gram. Paru-paru pucat dan
diselingi bercak-bercak merah di antara jaringan yang berwarna kelabu. Pada pengirisan
tampak banyak keluar cairan merah kehitaman bercampur buih dari irisan tersebut, dikenal
dengan nama ”emphysema aquosum” 2,3,8,9,10.

Secara mikroskopik, dapat ditemukan adanya diatome pada aluran napas, jaringan paru,
darah jantung, atau sumsum tulang. Diatome merupakan kelompok alga yang uniseluler,
mikroskopik dengan dinding sel yang mengandung silika dan mengandung klorofil dan
diatomin. Diatome secara universal ditemukan pada air tawar dan air asin dan terdapat lebih
dari 10.000 spesies diatome. Uji diatome didasarkan pada asumsi bahwa pada korban
tenggelam diatome dalam media air tawar atau air laut akan terbawa masuk ke dalam
parenkim paru bersama dengan air yang teraspirasi. Diatome kemudian akan masuk ke
kapiler alveolar dan terbawa dalam aliran darah sirkulasi ke seluruh tubuh. Ukurannya yang
sangat kecil memungkinan diatome masuk ke dalam hepar, ginjal, otan dan sumsum tulang
femoral. Sampel untuk uji diatome diperoleh dengan mengambil beberapa ratus gram organ
yang dicurigai mengandung diatome (paru, ginjal, hepar, atau otak) kemudian diberi asam
sulfat dan asam nitrat untuk mendestruksi jaringan organ, baru kemudian di-sentrifuge dan
dilihat dibawah mikroskop2,3,8,9,10.

Pada pemeriksaan isi lambung dapat ditemukan sisa pasir, lumpur, atau tumbuhan air2.

10
KESIMPULAN

Secara umum, secondary drowning adalah suatu keadaan dimana muncul gejala beberapa
hari setelah korban tenggelam diselamatkan (dan diangkat dari air) dan korban meninggal
akibat komplikasi. Jumlah insiden secondary drowning (dan near drowning) diperkirakan
cukup tinggi, yaitu sekitar 20–500 kali dibandingkan angka kejadian kematian akibat
drowning.

Patofisiologi terjadinya secondary drowning berhubungan adanya kegagalan multi sistem


organ lain akibat hipoksia yang berlangsung lama.

Prognosis korban secondary drowning terutama berhubungan langsung dengan durasi dan
tingkat keparahan hipoksia. Oleh sebab itu, kasus secondary drowning yang diantisipasi,
dikenali dan ditangani dengan cepat dan tepat akan memberikan prognosis yang jauh lebih
baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto, A., et al, 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Idris, Mun’im Abdul, 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta.
3. Adelson, Lester, 1994. The Pathology of Homicide. Charles Thomas Publisher. Springfield USA.
4. Shepherd, Suzanne Moore, 2003. Drowning. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/772753). (Accessed: April 1st, 2009).
5. Verive, Michael, 2007. Near Drowning. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/908677). (Accessed: April 1st, 2009).
6. Parikh, C.K, 1983. Drowning: Immersion: Parikh’s Textbook of Medical Jurisprudence and
Toxicology. Medical Publication. India.

11
7. Pearn, J.H., 1980. Secondary Drowning in Children. British Medical Journal, Vol. 281 p. 1103-
1105. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/pagerender.fcgi?
artid=1714551&pageindex=3#page). (Accessed: April 1st, 2009).
8. Giertsen, J.C., 1997. Forensic Medicine : Volume III Environmental Hazards. W.B. Saunders
Company. Philadelphia.
9. Knight, Bernard, 1996. Forensic Pathology, Second Edition. Arnold. London.
10. Knight Bernard, 1997. Simpson’s Forensic Medicine. Arnold. London.

12

You might also like