Professional Documents
Culture Documents
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit otoimun, dimana penyebabnya sampai
sekarang belum diketahui dengan pasti. Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik
yang kuat, dimana 15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan
penderita penyakit yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves,
ditemukan autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih
banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur. Angka
kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun.(2,6)
2.3 Patogenesis
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada
didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis
antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan
reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan
fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi
darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit.
Mekanisme otoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya
hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.
Sampai saat ini dikenal ada 3 otoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu
tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu
terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel
tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan
kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves.
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila terangsang
oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-molekul
permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen
pada limfosit T
(3) Gambaran klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah tri tunggal
hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus. (5)
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves) , menurut the American Thyroid Association
diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS) :
Kelas Uraian
0 Tidak ada gejala dan tanda
1 Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)
2 Perubahan jaringan lunak orbita
3 Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)
4 Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
5 Perubahan pada kornea (keratitis)
6 Kebutaan (kerusakan nervus opticus)
Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal
tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya diobati
secara adekuat.
Pada Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita.
Kelas 2 ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita,
kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis).
Kelas 3 ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel
exophthalmometer.
Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif terutama
pada musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan bola
mata keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran dalam
menggerakkan bola mata kesamping.
Kelas 5 ditandai dengan perubahan pada kornea ( terjadi keratitis).
Kelas 6 ditandai dengan kerusakan nervus opticus, yang akan menyebabkan kebutaan.
Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot
ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulangtulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan
proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata,
sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan
pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior,
akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan.
Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum ditemukan antara
lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak tahan
panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit graves
dapat berupa amenore atau infertilitas.
Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan
tulang.
Sedangkan pada penderita usia tua ( > 60 tahun ), manifestasi klinis yang lebih mencolok
terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya
palpitasi , dyspnea deffort, tremor, nervous dan penurunan berat badan. (1,2)
Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang relatif jarang ditemukan,
diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000 kehamilan. Kebanyakan pasien
dilahirkan dari ibu yang menderita penyakit graves aktif tetapi dapat juga terjadi pada
ibu dengan keadaan hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis autoimun, pengobatan
ablasi iodine radioaktif atau karena pembedahan. (8)
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat dilihat
atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai berikut :
B. Pemeriksaan laboratorium
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema dibawah
ini
:
Autoantibodi tiroid , TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves
maupun tiroiditis Hashimoto , namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit
Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau
pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas. (2)
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan
hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis)
antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid
perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam keseimbangan
dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4 rendah, maka
produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka
produksi TSH akan menurun.
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel
tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus,
sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini
menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan
bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan
pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut
TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati
0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T4/FT-4).
(1,2,3)
D. Diagnosis Banding
Penyakit Graves dapat terjadi tanpa gejala dan tanda yang khas sehingga diagnosis
kadang-kadang sulit didiagnosis. Atrofi otot yang jelas dapat ditemukan pada miopati
akibat penyakit Graves, namun harus dibedakan dengan kelainan neurologik primer.
Pada sindrom yang dikenal dengan familial dysalbuminemic hyperthyroxinemia dapat
ditemukan protein yang menyerupai albumin (albumin-like protein) didalam serum yang
dapat berikatan dengan T4 tetapi tidak dengan T3. Keadaan ini akan menyebabkan
peningkatan kadar T4 serum dan FT4I, tetapi free T4, T3 dan TSH normal. Disamping
tidak ditemukan adanya gambaran klinis hipertiroidisme, kadar T3 dan TSH serum yang
normal pada sindrom ini dapat membedakannya dengan penyakit Graves.
Thyrotoxic periodic paralysis yang biasa ditemukan pada penderita laki-laki etnik Asia
dapat terjadi secara tiba-tiba berupa paralysis flaksid disertai hipokalemi.
Paralisis biasanya membaik secara spontan dan dapat dicegah dengan pemberian
suplementasi kalium dan beta bloker. Keadaan ini dapat disembuhkan dengan pengobatan
tirotoksikosis yang adekuat.
Pada penderita usia tua dapat ditemukan gejala-gejala berupa penurunan berat badan,
struma yang kecil, atrial fibrilaasi dan depresi yang berat, tanpa adanya gambaran klinis
dari manifestasi peningkatan aktivitas katekolamin yang jelas. Keadaan ini dikenal
dengan apathetic hyperthyroidism. (2)
E. Komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid storm)
Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat sehingga dapat
mengancam kehidupan penderita.
Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain :
- Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain
- Terapi yodium radioaktif
- Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara
adekuat.
- Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi akut,
alergi obat yang berat atau infark miokard.
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme berat
dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi :
- Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38C sampai mencapai 41C disertai dengan
flushing dan hiperhidrosis.
- Takhikardi hebat , atrial fibrilasi sampai payah jantung.
- Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma.
- Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.
Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan hormon tiroid
didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar T4 dan
T3 didalam serum penderita dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan
kadarnya pada penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid.
Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat peningkatan produksi
triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi terbukti bahwa pada krisis tiroid
terjadi peningkatan jumlah reseptor terhadap katekolamin, sehingga jantung dan
jaringan syaraf lebih sensitif terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi. (2)
Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari seluruh kehamilan
dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu terjadinya krisis tirotoksikosis,
kelahiran prematur atau kematian intrauterin. Selain itu hipertiroidisme dapat juga
menimbulkan preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan jantung
kongestif, tirotoksikosis pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir rendah serta
peningkatan angka kematian perinatal. (8)
PENGELOLAAN PENYAKIT GRAVES
Walaupun mekanisme otoimun merupakan faktor utama yang berperan dalam patogenesis
terjadinya sindrom penyakit Graves, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan
untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme.
Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat
penyakit Graves, yaitu : Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif.
Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya
tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon
atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya. (1,2)
3.1 Obat obatan
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil
dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama
metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol
yang isinya sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi
intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3 dan T4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling
iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis
tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat
konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas
dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam
pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer.
Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih
panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal.
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka waktu
pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obatobat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang
biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid biasanya
diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis, diberikan
dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari).
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg setiap 6 jam.
Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg , 1 atau 2 kali sehari.
Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena dapat
menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon
secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal
sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama 1-2
bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 20 mg perhari. (2)
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung pada
beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai dengan 3x100-200 mg/hari
dan metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu
pertama. Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis
dan biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis
terkecil PTU 50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat
mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal. Bila
dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di
kombinasi methimazole dan tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok kontrol
yang hanya mendapatkan terapi methimazole.
Protokol pengobatannya adalah sebagai berikut :
Pertama kali penderita diberi methimazole 3 x 10 mg/hari selama 6 bulan, selanjutnya
10 mg perhari ditambah tiroksin 100 g perhari selama 1 tahun, dan kemudian hanya
diberi tiroksin saja selama 3 tahun. Kelompok kontrol juga diberi methimazole dengan
dosis dan cara yang sama namun tanpa tiroksin. Kadar TSH dan kadar TSH-R Ab
ternyata lebih rendah pada kelompok yang mendapat terapi kombinasi dan sebaliknya
pada kelompok kontrol. Hal ini mengisyaratkan bahwa TSH selama pengobatan dengan
OAT akan merangsang pelepasan molekul antigen tiroid yang bersifat antigenic, yang
pada gilirannya akan merangsang pembentukan antibody terhadap reseptor TSH. Dengan
kata lain, dengan mengistirahatkan kelenjar tiroid melalui pemberian tiroksin eksogen
eksogen (yang menekan produksi TSH), maka reaksi imun intratiroidal akan dapat
ditekan, yaitu dengan mengurangi presentasi antigen. Pertimbangan lain untuk
memberikan kombinasi OAT dan tiroksin adalah agar penyesuaian dosis OAT untuk
menghindari hipotiroidisme tidak perlu dilakukan terlalu sering, terutama bila digunakan
OAT dosis tinggi.
3.3 Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma yang
besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan
pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu , selama 2 minggu pre
operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang
dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai
saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan tiroid yangn
harus diangkat.
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati
Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid yang
ditinggalkan , dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2-3
gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan
suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit Graves.
Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan komplikasi
pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus.
3.4 Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak lebih dari 50 tahun yang
lalu. Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek ionisasi partikel beta
dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local pada sel-sel folikel tiroid
tanpa efek yang berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti
dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis disertai
respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi sangat tergantung pada jumlah I131 yang
ditangkap dan tingkat radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat
terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1
tahun. Iodine131 dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna untuk
kemudian dengan cepat pula terakumulasi didalam kelenjar tiroid. Berdasarkan
pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman , tidak mengganggu fertilitas,
serta tidak bersifat karsinogenik ataupun teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada
bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium radioaktif.
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau menyusui. Pada
pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium radioaktif perlu dipastikan dulu
bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada
kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi
diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat bahwa pengobatan yodium
radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien hipertiroidisme anak dan dewasa muda,
karena pada kelompok ini seringkali kambuh dengan OAT.
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh. Reaksi
alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium dalam dosis
I131 yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram.
Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat diulang.
Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta
dan / atau OAT.
Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh besarnya
dosis I131 dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan asupan
yodium dalam makanan sehari-hari.
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah hipotiroidisme.
Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis; makin besar dosis yang
diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian hipotiroidisme.
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 Ci/g berat jaringan tiroid,
didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan
sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya.
Efek samping lain yang perlu diwaspadai adalah :
- memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya antigen tiroid
dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH), dapat dicegah dengan
pemberian kortikosteroid sebelum pemberian I131
- hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya sangat jarang
terjadi)
- gastritis radiasi (jarang terjadi)
memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di samping karena sebagian tiroksin akan
masuk ke janin, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme.
Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama pada trimester ketiga.
Pada periode tersebut, kadang-kadang - dengan mekanisme yang belum diketahuiterdapat penurunan kadar TSHR-Ab dan peningkatan kadar thyrotropin receptor
antibody, sehingga menghasilkan keadaan remisi spontan, dan dengan demikian obat
antirioid dapat dihentikan. Wanita melahirkan yang masih memerlukan obat antiroid,
tetap dapat menyusui bayinya dengan aman. (1)