You are on page 1of 17

PENYAKIT GRAVES

Penyakit Graves merupakan bentuk tiroktoksikosis (hipertiroid) yang paling sering


dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan
pada wanita dari pada pria. Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling mudah dikenali
ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi
kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, serta disertai
dermopati, meskipun jarang.(1,2,3)
Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti. Namun
demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme yang
belum diketahui secara pasti meningkatnya risiko menderita penyakit Graves.
Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan ke dalam penyakit
autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH
(Thyrotropin Stimulating Hormone - Receptor Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar
bervariasi.(1,2)
2.1 Definisi
Penyakit Graves (goiter difusa toksika) merupakan penyebab tersering hipertiroidisme
adalah suatu penyakit otonium yang biasanya ditandai oleh produksi otoantibodi yang
memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit Graves memiliki
gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu pembesaran
kelenjar tiroid/struma difus, oftamopati (eksoftalmus/ mata menonjol) dan kadangkadang dengan dermopati.(1,4,5,6)
2.2 Etiologi

Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit otoimun, dimana penyebabnya sampai
sekarang belum diketahui dengan pasti. Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik
yang kuat, dimana 15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan
penderita penyakit yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves,
ditemukan autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih
banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur. Angka
kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun.(2,6)
2.3 Patogenesis
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada
didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis
antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan
reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan
fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi
darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit.
Mekanisme otoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya
hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.
Sampai saat ini dikenal ada 3 otoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu
tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu
terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel
tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan
kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves.
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila terangsang
oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-molekul
permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen
pada limfosit T

Gambar 1 : Patogenesis Penyakit Graves


Faktor genetik berperan penting dalam proses otoimun, antara lain HLA-B8 dan HLADR3 pada ras Kaukasus, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras Cina dan HLA-B17 pada orang
kulit hitam. Faktor lingkungan juga ikut berperan dalam patogenesis penyakit tiroid
otoimun seperti penyakit Graves. Virus yang menginfeksi sel-sel tiroid manusia akan
merangsang ekspresi DR4 pada permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga sebagai akibat
pengaruh sitokin (terutama interferon alfa). Infeksi basil gram negatif Yersinia
enterocolitica, yang menyebabkan enterocolitis kronis, diduga mempunyai reaksi silang
dengan otoantigen kelenjar tiroid. Antibodi terhadap Yersinia enterocolitica terbukti
dapat bereaksi silang dengan TSH-R antibody pada membran sel tiroid yang dapat
mencetuskan episode akut penyakit Graves. Asupan yodium yang tinggi dapat
meningkatkan kadar iodinated immunoglobulin yang bersifat lebih imunogenik sehingga
meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya penyakit tiroid otoimun. Dosis terapeutik
dari lithium yang sering digunakan dalam pengobatan psikosa manik depresif, dapat pula
mempengaruhi fungsi sel limfosit T suppressor sehingga dapat menimbulkan penyakit
tiroid otoimun. Faktor stres juga diduga dapat mencetuskan episode akut penyakit
Graves, namun sampai saat ini belum ada hipotesis yang memperkuat dugaan tersebut.
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibodi
sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan
tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid.
Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis
orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan
diplopia.
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam
jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi
glikosaminoglikans .
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin, seperti
takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperreaktivitas katekolamin, terutama
epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor katekolamin
didalam otot jantung.(2)
Patogenesis dan patofisiologi Graves disease
Hyperthyroidisme pada Graves diseas, disebabkan oleh adanya reaksi auitoimun secara
abnormal terhadap reseptor TSH. Munculnya autoimun itu, tidak diketahui
mekanismenya. Reaksi autoimun itu, disebabkan oleh autoantibodi :
Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI) TSI merupakan IgG yang akan berikatan
dengan reseptor TSH kemudian menstimulasi aktivitas adenylate cyclase sehingga
terjadi peningkatan sekresi hormon thyroid.
Thyroid Growth-Stimulating Immunoglobulin (TGI) Ketika TGI berikatan dengan
reseptor TSH maka akan ada induksi terhadap proliferasi epitel folikel thyroid dan
menyebabkan hiperplasi.

TSH-Binding Inhibitor Immunoglobulin (TB-II) TBII merupakan inhibitor terhadap


TSH. Ketika TBII berikatan dengan reseptor TSG maka akan terjadi stimulasi terhadap
aktivitas hormon thyroid.
Sebab muncul manifestasi klinis seperti pada skenario
Manifestasi klinis yang muncul pada Graves disease, adalah tiga karateristik sebagai
berikut :
Hiperfungsi dari kelenjar Thyroid. Keadaan ini dikenal dengan kondisi thyrotoxicosis,
berupa peningkatan Basal Mtabolism Rate (BMR) dan aktivitas sistem saraf simpatis.
Thyrotoxicosis itu akan memunculkan manifestasi ancietas, tremor, takicardia, palpitasi,
hiperrefleksi, tidak tahan panas, bertambah nafsu makan, hipermotilitas usus, diare,
malabsorbsi, dan berkurangnya berat badan.
Infiltrative opthalmopathy dengan dengan akibat exopthalmus.
Infiltrative dermopathy dengan akibat pretibial myxerema.
Langakah penegakan diagnosa pada graves disease
Penegakkan diagnosa graves disease diawali dengan anamnesis tentang riwayat penyakit
baik dirinya sendiri maupun keluarga(apakah dari keluarga ada yang menderita,karena
graves disese bersifat herediter), gejala-gejala/manifestasi klinisnya serta test
laboratorium. Takicardi,pada pasien tanpa kelainan jantung adalah salah satu contoh
manifestasi klinis yang dapat digunakan dalam penegakkan diagnosa hyperthyroidisme.
Exopthalmus juga merupakan gejala yang khas pada graves disease.Meskipun begitu,
pemeriksaan laboratorium tetap perlu dilakukan untuk lebih menguatkan diagnosa.Pada
pemeriksaan Lab ditujukan untuk mengetahui jumlah hormone thyroid(pada graves
disease akan ditemukan penurunan angka TSHs serta kenaikan angka FT4 dan FT3).Scan
atau radioaktif image untuk mengetahui struktur kelenjar thyroid apakah mengalami
kelainana atau tidak.Untuk lebuh menguatkan diagnose perlu dilakukan test darah untuk
mengetahui adanya TSAb(thyroid stimulating antibodies).Pada penderita graves disease
ditemukan TSAb serta

2.4 Gambaran Klinis


A. Gejala dan Tanda
Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter
akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang
berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan
aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas,
keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu
makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan srta atrofi otot. Manifestasi
ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada
tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai
dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag
(keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi.

(3) Gambaran klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah tri tunggal
hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus. (5)
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves) , menurut the American Thyroid Association
diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS) :
Kelas Uraian
0 Tidak ada gejala dan tanda
1 Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)
2 Perubahan jaringan lunak orbita
3 Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)
4 Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
5 Perubahan pada kornea (keratitis)
6 Kebutaan (kerusakan nervus opticus)
Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal
tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya diobati
secara adekuat.
Pada Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita.
Kelas 2 ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita,
kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis).
Kelas 3 ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel
exophthalmometer.
Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif terutama
pada musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan bola
mata keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran dalam
menggerakkan bola mata kesamping.
Kelas 5 ditandai dengan perubahan pada kornea ( terjadi keratitis).
Kelas 6 ditandai dengan kerusakan nervus opticus, yang akan menyebabkan kebutaan.
Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot
ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulangtulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan
proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata,

sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan
pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior,
akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan.
Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum ditemukan antara
lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak tahan
panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit graves
dapat berupa amenore atau infertilitas.
Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan
tulang.
Sedangkan pada penderita usia tua ( > 60 tahun ), manifestasi klinis yang lebih mencolok
terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya
palpitasi , dyspnea deffort, tremor, nervous dan penurunan berat badan. (1,2)
Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang relatif jarang ditemukan,
diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000 kehamilan. Kebanyakan pasien
dilahirkan dari ibu yang menderita penyakit graves aktif tetapi dapat juga terjadi pada
ibu dengan keadaan hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis autoimun, pengobatan
ablasi iodine radioaktif atau karena pembedahan. (8)
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat dilihat
atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai berikut :

B. Pemeriksaan laboratorium
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema dibawah
ini
:

Autoantibodi tiroid , TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves
maupun tiroiditis Hashimoto , namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit
Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau
pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas. (2)
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan
hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis)
antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid
perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam keseimbangan
dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4 rendah, maka
produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka
produksi TSH akan menurun.

Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel
tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus,
sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini
menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan
bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan
pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut
TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati
0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T4/FT-4).
(1,2,3)

C. Pemeriksaan penunjang lain


Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk menegakkan
diagnosis penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid pada tes supresi
tiroksin.
(1)

D. Diagnosis Banding
Penyakit Graves dapat terjadi tanpa gejala dan tanda yang khas sehingga diagnosis
kadang-kadang sulit didiagnosis. Atrofi otot yang jelas dapat ditemukan pada miopati
akibat penyakit Graves, namun harus dibedakan dengan kelainan neurologik primer.
Pada sindrom yang dikenal dengan familial dysalbuminemic hyperthyroxinemia dapat
ditemukan protein yang menyerupai albumin (albumin-like protein) didalam serum yang
dapat berikatan dengan T4 tetapi tidak dengan T3. Keadaan ini akan menyebabkan
peningkatan kadar T4 serum dan FT4I, tetapi free T4, T3 dan TSH normal. Disamping
tidak ditemukan adanya gambaran klinis hipertiroidisme, kadar T3 dan TSH serum yang
normal pada sindrom ini dapat membedakannya dengan penyakit Graves.

Thyrotoxic periodic paralysis yang biasa ditemukan pada penderita laki-laki etnik Asia
dapat terjadi secara tiba-tiba berupa paralysis flaksid disertai hipokalemi.
Paralisis biasanya membaik secara spontan dan dapat dicegah dengan pemberian
suplementasi kalium dan beta bloker. Keadaan ini dapat disembuhkan dengan pengobatan
tirotoksikosis yang adekuat.

Penderita dengan penyakit jantung tiroid terutama ditandai dengan gejala-gejala


kelainan jantung, dapat berupa :
- Atrial fibrilasi yang tidak sensitif dengan pemberian digoksin
- High-output heart failure
Sekitar 50% pasien tidak mempunyai latar belakang penyakit jantung sebelumnya, dan
gangguan fungsi jantung ini dapat diperbaiki dengan pengobatan terhadap
tirotoksikosisnya.

Pada penderita usia tua dapat ditemukan gejala-gejala berupa penurunan berat badan,
struma yang kecil, atrial fibrilaasi dan depresi yang berat, tanpa adanya gambaran klinis
dari manifestasi peningkatan aktivitas katekolamin yang jelas. Keadaan ini dikenal
dengan apathetic hyperthyroidism. (2)
E. Komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid storm)
Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat sehingga dapat
mengancam kehidupan penderita.
Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain :
- Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain
- Terapi yodium radioaktif
- Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara
adekuat.
- Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi akut,
alergi obat yang berat atau infark miokard.
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme berat
dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi :

- Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38C sampai mencapai 41C disertai dengan
flushing dan hiperhidrosis.
- Takhikardi hebat , atrial fibrilasi sampai payah jantung.
- Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma.
- Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.
Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan hormon tiroid
didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar T4 dan
T3 didalam serum penderita dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan
kadarnya pada penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid.
Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat peningkatan produksi
triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi terbukti bahwa pada krisis tiroid
terjadi peningkatan jumlah reseptor terhadap katekolamin, sehingga jantung dan
jaringan syaraf lebih sensitif terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi. (2)
Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari seluruh kehamilan
dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu terjadinya krisis tirotoksikosis,
kelahiran prematur atau kematian intrauterin. Selain itu hipertiroidisme dapat juga
menimbulkan preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan jantung
kongestif, tirotoksikosis pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir rendah serta
peningkatan angka kematian perinatal. (8)
PENGELOLAAN PENYAKIT GRAVES
Walaupun mekanisme otoimun merupakan faktor utama yang berperan dalam patogenesis
terjadinya sindrom penyakit Graves, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan
untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme.
Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat
penyakit Graves, yaitu : Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif.
Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya
tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon
atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya. (1,2)
3.1 Obat obatan

a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid

Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil
dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama
metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol
yang isinya sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi
intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3 dan T4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling
iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis
tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat
konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas
dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam
pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer.
Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih
panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal.
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka waktu
pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obatobat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang
biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid biasanya
diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis, diberikan
dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari).
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg setiap 6 jam.
Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg , 1 atau 2 kali sehari.
Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena dapat
menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon
secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal
sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama 1-2
bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 20 mg perhari. (2)
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung pada
beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai dengan 3x100-200 mg/hari
dan metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu
pertama. Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis
dan biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis
terkecil PTU 50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat
mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal. Bila
dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di

naikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor


penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis. (1)
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek samping, yaitu
agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis yang lebih kecil),
gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan
pertama pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat sehingga perlu
penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi
alternatif yaitu yodium radioaktif.. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan
sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan Obat Anti
Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan
Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum
memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes
fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan
efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi
yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti 131I atau
operasi. (1,2)
Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan
obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya. (1)
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves adalah
penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi. Evaluasi
pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan
biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai
respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis
diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan
eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi
yang menetap dapat diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati dengan Obat
Anti Tiroid bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
2. Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian Obat Anti Tiroid
dosis rendah.
3. Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.
Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 (atau FT-3 bila terdapat T-3
toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis, sementara kadar
TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah
keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah berat
badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata.
b. Obat Golongan Penyekat Beta

Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat


untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti
palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor
adrenergik. Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat
-meskipun sedikit- menurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya terhadap konversi
T-4 ke T-3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari.3,4
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan durasi kerja
lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol
50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol.
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping yang
dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang
lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia.
Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal
jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga
dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang
sedang dalam terapi penghambat monoamin oksidase.
c. Obat-obatan Lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast, potassium
perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon
tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan penyakit Graves.
Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid, untuk persiapan
operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif.
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda dengan ukuran
kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan dengan Obat Anti Tiroid
(OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun jangka waktu pengobatan lama
yaitu 6 bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama pengobatan
dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi setelah pengobatan dihentikan, yaitu
berkisar antara 25% sampai 90%. Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara
lain dosis, lama pengobatan, kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan.
Kadar yodium yang tinggi didalam makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif
terhadap OAT.
Pemeriksaan laboratorium perlu diulang setiap 3 - 6 bulan untuk memantau respons
terapi, dimana yang paling bermakna adalah pemeriksaan kadar FT4 dan TSH.
3.2 Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin
Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves dengan cara kombinasi
OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada tahun 1991 melaporkan bahwa angka
kekambuhan renddah yaitu hanya 1,7 % pada kelompok penderita yang mendapat terapi

kombinasi methimazole dan tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok kontrol
yang hanya mendapatkan terapi methimazole.
Protokol pengobatannya adalah sebagai berikut :
Pertama kali penderita diberi methimazole 3 x 10 mg/hari selama 6 bulan, selanjutnya
10 mg perhari ditambah tiroksin 100 g perhari selama 1 tahun, dan kemudian hanya
diberi tiroksin saja selama 3 tahun. Kelompok kontrol juga diberi methimazole dengan
dosis dan cara yang sama namun tanpa tiroksin. Kadar TSH dan kadar TSH-R Ab
ternyata lebih rendah pada kelompok yang mendapat terapi kombinasi dan sebaliknya
pada kelompok kontrol. Hal ini mengisyaratkan bahwa TSH selama pengobatan dengan
OAT akan merangsang pelepasan molekul antigen tiroid yang bersifat antigenic, yang
pada gilirannya akan merangsang pembentukan antibody terhadap reseptor TSH. Dengan
kata lain, dengan mengistirahatkan kelenjar tiroid melalui pemberian tiroksin eksogen
eksogen (yang menekan produksi TSH), maka reaksi imun intratiroidal akan dapat
ditekan, yaitu dengan mengurangi presentasi antigen. Pertimbangan lain untuk
memberikan kombinasi OAT dan tiroksin adalah agar penyesuaian dosis OAT untuk
menghindari hipotiroidisme tidak perlu dilakukan terlalu sering, terutama bila digunakan
OAT dosis tinggi.
3.3 Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma yang
besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan
pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu , selama 2 minggu pre
operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang
dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai
saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan tiroid yangn
harus diangkat.
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati
Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid yang
ditinggalkan , dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2-3
gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan
suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit Graves.
Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan komplikasi
pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus.
3.4 Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak lebih dari 50 tahun yang
lalu. Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek ionisasi partikel beta
dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local pada sel-sel folikel tiroid
tanpa efek yang berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti
dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis disertai
respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi sangat tergantung pada jumlah I131 yang

ditangkap dan tingkat radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat
terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1
tahun. Iodine131 dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna untuk
kemudian dengan cepat pula terakumulasi didalam kelenjar tiroid. Berdasarkan
pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman , tidak mengganggu fertilitas,
serta tidak bersifat karsinogenik ataupun teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada
bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium radioaktif.
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau menyusui. Pada
pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium radioaktif perlu dipastikan dulu
bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada
kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi
diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat bahwa pengobatan yodium
radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien hipertiroidisme anak dan dewasa muda,
karena pada kelompok ini seringkali kambuh dengan OAT.
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh. Reaksi
alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium dalam dosis
I131 yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram.
Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat diulang.
Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta
dan / atau OAT.
Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh besarnya
dosis I131 dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan asupan
yodium dalam makanan sehari-hari.
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah hipotiroidisme.
Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis; makin besar dosis yang
diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian hipotiroidisme.
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 Ci/g berat jaringan tiroid,
didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan
sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya.
Efek samping lain yang perlu diwaspadai adalah :
- memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya antigen tiroid
dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH), dapat dicegah dengan
pemberian kortikosteroid sebelum pemberian I131
- hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya sangat jarang
terjadi)
- gastritis radiasi (jarang terjadi)

- eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara mendadak (leakage)


pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk mencegahnya maka sebelum minum yodium
radioaktif diberikan OAT terutama pada pasien tua dengan kemungkinan gangguan
fungsi jantung.
Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3 sampai 6
bulan pertama; setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid cukup dipantau setiap 6
sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk mendeteksi adanya hipotiroidisme. (2)
3.5 Pengobatan oftalmopati Graves
Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis dalam menangani
oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada mata dapat diatasi
dengan larutan tetes mata atau lubricating ointments, untuk mencegah dan mengobati
keratitis. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan merokok,
menghindari cahaya yang sangat terang dan debu, penggunaan kacamata gelap dan tidur
dengan posisi kepala ditinggikan untuk mengurangi edema periorbital. Hipertiroidisme
sendiri harus diobati dengan adekuat. Obat-obat yang mempunyai khasiat imunosupresi
dapat digunakan seperti kortikosteroid dan siklosporin, disamping OAT sendiri dan
hormon tiroid. Tindakan lainnya adalah radioterapi dan pembedahan rehabilitatif seperti
dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan operasi kelopak mata.
Yang menjadi masalah di klinik adalah bila oftalmopati ditemukan pada pasien yang
eutiroid; pada keadaan ini pemeriksaan antibody anti-TPO atau antibody antireseptor
TSH dalam serum dapat membantu memastikan diagnosis. Pemeriksaan CT scan atau
MRI digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab kelainan orbita lainnya.
3.6 Pengobatan krisis tiroid
Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme (menghambat
produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat konversi T4 menjadi
T3, pemberian kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis), normalisasi
dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan mengatasi faktor
pemicu.
3.7 Penyakit Graves Dengan Kehamilan
Wanita pasien penyakit Graves sebaiknya tidak hamil dahulu sampai keadaan
hipertiroidisme-nya diobati dengan adekuat, karena angka kematian janin pada
hipertiroidisme yang tidak diobati tinggi. Bila ternyata hamil juga dengan status
eutiroidisme yang belum tercapai, perlu diberikan obat antitiroid dengan dosis terendah
yang dapat mencapai kadar FT-4 pada kisaran angka normal tinggi atau tepat di atas
normal tinggi. PTU lebih dipilih dibanding metimazol pada wanita hamil dengan
hipertiroidisme, karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih sedikit, dan tidak ada
efek teratogenik. Kombinasi terapi dengan tiroksin tidak dianjurkan, karena akan

memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di samping karena sebagian tiroksin akan
masuk ke janin, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme.
Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama pada trimester ketiga.
Pada periode tersebut, kadang-kadang - dengan mekanisme yang belum diketahuiterdapat penurunan kadar TSHR-Ab dan peningkatan kadar thyrotropin receptor
antibody, sehingga menghasilkan keadaan remisi spontan, dan dengan demikian obat
antirioid dapat dihentikan. Wanita melahirkan yang masih memerlukan obat antiroid,
tetap dapat menyusui bayinya dengan aman. (1)

You might also like