You are on page 1of 4

ANALISIS

KASUS

SATYAM

BERDASARKAN

STRUKTUR

DAN

KARAKTERISTIK PERUSAHAAN
Perusahaan-perusahaan di India memiliki karakteristik kepemilikan yang
terkonsentrasi dan penggunaan kelompok usaha atau group yang luas, dengan
menggunakan struktur piramida (pyramid structure) yang memiliki berbagai tingkatan
(OECD, 2012). Hal tersebut telah dibuktikan dari berbagai penelitian, salah satunya
yang dilakukan oleh Bhardwaj (2011). Studi tersebut menunjukkan bahwa dari 1.470
perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Nasional India pada Maret 2010, pemegang
saham pengendali (promoter) memiliki sebesar 57 persen dari total saham yang
diperdagangkan dan pemegang saham institusional memiliki sekitar 20 persen.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Balasubramanian et al. (2009) menunjukkan
bahwa 142 dari 300 perusahaan dimiliki oleh pemegang saham yang kepemilikannya
lebih tinggi dari 50 persen, sementara 100 lainnya dimiliki oleh pemegang saham
yang memiliki 30-50 persen dari ekuitas (Tabel 1).
Di India, umumnya perusahaan menggunakan struktur dewan single tier.
Lebih lanjut, perusahaan dengan struktur kepemilikan terkonsentrasi dan dalam
bentuk kelompok usaha (group) bisa diasosiasikan dengan karakteristik struktur
dewan tertentu. Chakrabarti et al. (2008) mengungkapkan bahwa 40 persen dari
perusahaan di India memiliki promoter, orang yang mendanai atau mendirikan
perusahaan, yang menjabat sebagai dewan di perusahaan tersebut dan lebih dari 30
persen promoter menjabat sebagai direktur eksekutif. Eksekutif dari suatu kelompok
usaha banyak yang juga merupakan dewan non-eksekutif pada perusahaan lain. Selain
itu, persepsi direktur independen atas tugasnya juga dapat dipengaruhi oleh pemegang
saham pengendali yang memilih mereka. Direktur independen mungkin merasa
bahwa mereka bertanggung jawab hanya kepada pemegang saham pengendali karena
apabila mereka tidak memenuhi keinginan pemegang saham pengendali, contohnya
promoter, maka mereka akan diberhentikan dari jabatannya.
Perusahaan dalam bentuk group umumnya memiliki struktur kepemilikan
piramida ataupun cross holding. Hal tersebut mengakibatkan adanya perbedaan yang
signifikan antara cash flow right (hak atas arus kas) dan control right (hak atas
pengendalian). Adanya perbedaan tersebut dapat menyebabkan timbulnya peluang

pemegang saham pengendali, yang mempunyai control right tinggi, untuk


memindahkan sumber daya dari satu perusahaan, yang cash flow right pemegang
saham pengendalinya rendah, ke perusahaan dalam group atau perusahaan afiliasi,
yang pemegang saham pengendali mempunyai cash flow right lebih tinggi (OECD,
2010). Salah satu metode yang sering digunakan untuk memindahkan sumber daya
dari satu perusahaan ke perusahaan lain adalah dengan menggunakan transaksi
hubungan istimewa atau related party transactions (RPTs).
Satyam memiliki karakteristik seperti mayoritas perusahaan di India yang
telah dijabarkan sebelumnya. Kasus Satyam diawali dengan kebijakan dari direktur
Satyam pada akhir tahun 2008 untuk melakukan kebijakan akuisisi dengan Maytas
Properties dan Maytas Infrastructure dengan nilai akuisisi $1,6 milyar yang dijalankan
oleh anak laki-laki dari Ramalinga Raju yang merupakan kepala dan pendiri Satyam
(promoter). Hal tersebut mengindikasikan adanya RPTs yang dilakukan atas
hubungan keluarga. Selain itu juga terdapat indikasi lain yang melatarbelakangi
tindakan fraud yang dilakukan oleh Satyam, yaitu ternyata perusahaan tidak memiliki
Dewan Independen dan walaupun Satyam membedakan posisi CEO dan kepala
Dewan, kedua posisi tersebut ternyata diduduki oleh orang yang masih memiliki
hubungan saudara dan memiliki kepentingan utama dalam manajemen.
RPTs tidak selalu merugikan kepentingan perusahaan atau pemegang saham.
Beberapa RPTs dapat dilakukan secara sah dengan tujuan untuk menguntungkan
bisnis perusahaan dan memaksimalkan nilai dari pemegang saham (OECD, 2014).
Transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang dilakukan oleh
Satyam ini dapat dikatakan sebagai salah satu cara untuk membuat perusahaan
tumbuh dan meningkatkan kinerja. Namun, faktanya transaksi ini hanya menjadi salah
satu kedok bagi pemegang saham pengendali untuk mengalihkan aset-asetnya dan
menutupi kecurangan yang selama 6 tahun belakangan telah dilakukan oleh Satyam.
Tindakan yang dilakukan oleh pemegang saham pengendali pada kasus
Satyam termasuk dalam ekspropriasi. Ekspropriasi didefinisikan sebagai proses
menggunakan kemampuan seseorang untuk mengendalikan perusahaan dengan tujuan
untuk meningkatkan kekayaannya pribadi dan mengambil alih kekayaan dari orang
lain (Claessens et al., 1999). Terbongkarnya kecurangan yang selama ini dilakukan

oleh Satyam menyebabkan dampak yang signifikan terhadap pemegang sahamnya,


terutama mengekspropriasi pemegang saham minoritas yang bukan bagian dari
keluarga Satyam. Pemegang saham minortas harus menanggung kerugian besar dan
juga banyak investor yang akhirnya tertipu akibat dari tindak manipulasi laporan
keuangan sehingga salah mengambil keputusan investasi di Satyam.
Tindakan yang dilakukan oleh Satyam tersebut melanggar prinsip tiga sub
prinsip kedua OECD terkait dengan pelarangan transaksi orang dalam dan
perdagangan tertutup sendiri yang merugikan orang lain (abusive self dealing).
Transaksi tersebut yang pada awalnya dimaksudkan untuk pencitraan bagi para
pemangku kepentingan agar mendapat penilaian kinerja yang baik, malah berujung
perusahaan menderita kegagalan besar dalam tata kelolanya baik karena pelanggaran
etis atau pelanggaran akuntansi, kesalahan atau kelalaian manajemen resiko atau
ketidakefektifan dewan pengambilan keputusan. Selain itu, harga saham Satyam pun
juga turun drastis dan hal tersebut merugikan pemegang saham minoritas dan
industrinya.
Transaksi pihak berelasi yang abusive juga memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap pasar modal secara keseluruhan. Transaksi tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya national discount pada pasar modal suatu negara. Walaupun tidak semua
transaksi pihak berelasi bersifat abusive, terdapat pandangan bahwa transaksi tersebut
merupakan sebuah faktor risiko yang tinggi yang dipertimbangkan investor dalam
membuat keputusan investasi. Akibatnya, investor akan menuntut risk premium yang
lebih tinggi terhadap seluruh perusahaan pada negara tersebut (OECD, 2014).
Struktur dewan pada Satyam juga menarik untuk diperhatikan. Kebijakan
akuisisi yan diumumkan pada 16 Desember 2008 disetujui oleh para direktur
independen. Hal tersebut menimbulkan kecurigaan media dan investor sehingga
investor menghukum perusahaan dengan cara menjual saham perusahan hingga
saham Satyam turun hingga 55 persen dari penutupan sehari sebelumnya di New York
Stock Exchange. Lalu, pada 25 Desember 2015, salah satu direktur independen
mundur dari jabatannya karena ia telah gagal untuk memberikan suara menolak
transaksi tersebut.

Tidak hanya itu, terungkap pula bahwa salah satu direktur

independen menerima kompensasi tujuh kali lebih besar dari yang lain dan angkanya

di atas harga pasar. Ternyata dia juga melakukan pekerjaan konsultasi untuk
perusahaan, sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang direktur
independen karena akan menyebabkan benturan kepentingan. Data lain menyebutkan
bahwa anggota dewan Satyam kebanyakan diisi oleh keluarga dari pemegang saham
pengendali (Tabel 2).
Singkatnya, struktur perusahaan di India, perusahaan dalam bentuk group
dengan konsentrasi kepemilikan tinggi, menciptakan insentif yang kondusif bagi
pemegang saham pengendali untuk melakukan ekspropriasi terhadap pemegang
saham minoritas. Dalam hal ini hak pemegang saham minoritas dapat dengan mudah
dilanggar. Pemegang saham minoritas tidak dapat melakukan hal yang signifikan
untuk mencegah hal tersebut dan akan terus dirugikan apabila tidak dilindungi. Oleh
karena itu, pasar harus diimbangi dengan pengaturan tata kelola perusahaan, hukum
perusahaan dan regulasi keuangan.

You might also like