You are on page 1of 17

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Peran Biologi Molekuler dalam Mendiagnosa Penyakit


Penemuan struktur DNA oleh James Watson dan Francis Crick 62 tahun
yang lalu membawa perubahan besar dalam dunia sains. Sejak saat itu biologi
molekuler terus mengalami perkembangan dengan sangat pesat. Perkembangan
biologi

molekuler

mengembangkan

tersebut

memungkinkan

strategi-strategi

pengobatan

para

ilmuwan

dan

dokter

yang

sangat

efektif

untuk

menanggulangi penyakit pada manusia termasuk diantaranya penyakit yang


tergolong berat seperti kanker. Pembahasan pertama dalam makalah ini akan
menjelaskan beberapa konsep terkait dengan berbagai perkembangan produk serta
aplikasi bioteknologi dalam bidang kedokteran, berbagai konsep tersebut antara
lain organisme model, biomarker sebagai indikator penyakit, Peran Human
Genome Project dalam mengungkap penyakit karena faktor genetik, serta metode
yang digunakan untuk mendeteksi berbagai penyakit genetik.
2.1.1 Organisme Model
Berbagai aplikasi bioteknologi yang akan dijelaskan dalam pembahasan
makalah ini tidak terlepas dari peran organisme model seperti tikus, mencit, lalat
hingga cacing. Mengapa organisme-organisme tersebut yang dijadikan model?
Karena ternyata organisme tersebut memiliki beberapa gen penting yang sama
dengan gen pada manusia. Beberapa penyakit yang disebabkan faktor genetik
pada manusia diketahui juga dialami oleh organisme model tersebut sehingga
peneliti dapat menggunakan organisme model untuk mengidentifikasi gen yang
menyebabkan terjadinya penyakit kemudian melakukan uji coba metode
pengobatan untuk mengetahui efektivitas dan tingkat keamanan metode tersebut
sebelum dilakukan pada manusia.
Organisme model memegang peranan yang sangat penting karena kita tidak
dapat memanipulasi gen pada manusia untuk kepentingan penelitian berkaitan
dengan etika dan norma kemanusiaan. Dengan mengidentifikasi gen penting yang
homolog dengan manusia kita dapat membuat hipotesis dan prediksi mengenai
bagaimana sebenarnya fungsi gen tersebut. Salah satu teknik analisis gen homolog

tersebut adalah dengan memotong sekuen gen tertentu pada organisme model
kemudian mempelajari bagaimana pengaruhnya terhadap organisme tersebut.
Salah satu contohnya adalah diketahui bahwa tikus dapat mengalami obesitas jika
kehilangan gen tunggal yang bernama Ob. Gen tersebut mengkodekan protein
yang disebut leptin yang diproduksi oleh sel adiposa dan ditransportasikan melalui
darah ke otak untuk mengatur dan menghentikan rasa lapar ketika cadangan
makanan dalam tubuh tikus telah cukup. Diketahui bahwa manusia ternyata juga
memiliki protein yang homolog dengan leptin, penemuan ini memberikan sudut
pandang baru bahwa ternyata faktor genetik mempengaruhi kelebihan berat badan
pada manusia, penelitian selanjutnya membuktikan bahwa anak-anak yang
mengalami obesitas diketahui disebabkan oleh adanya mutasi pada gen Ob.
Sehingga saat ini leptin banyak digunakan untuk terapi penyembuhan obesitas dan
hasilnya sejauh ini sangat efektif.

Gambar 1 Pengaruh leptin yang diekspresikan gen Ob terhadap obesitas pada Tikus

2.1.2 Biomarker sebagai Indikator Penyakit


Secara teori dengan alat diagnosa yang tepat sebuah penyakit seharusnya
dapat didiagnosa pada tahap sangat dini. Untuk beberapa jenis penyakit seperti
kanker, deteksi sejak dini diperlukan untuk pengobatan terbaik. Salah satu
pendekatan yang dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit tersebut adalah
dengan biomarker sebagai indikator penyakit. Biomarker umumnya adalah
protein yang dihasilkan oleh jaringan yang mengalami kelainan atau protein yang
produksinya meningkat atau menurun ketika suatu jaringan mengalami kelainan.
Sebagai contoh adalah protein bernama prostate-specific antigen (PSA) yang
disekresikan ke aliran darah ketika kelenjar prostat mengalami inflamasi dan pada
level tertentu gejala tersebut dapat mengindikasikan kanker prostat.

2.1.3 Peran Human Genome Project dalam mengungkap Penyakit Genetik


Human Genome Project berperan besar dalam penemuan berbagai obat
untuk penyakit-penyakit genetik. Dulu hanya terdapat sekitar 100 penyakit
genetik yang teridentifikasi dan dapat dipelajari untuk kemudian ditemukan
pengobatannya, namun setelah adanya proyek tersebut saat ini terdapat lebih dari
2000 jenis penyakit yang teridentifikasi dan dapat dipelajari. Melalui Human
Genome Project ilmuwan dapat merancang suatu peta yang menunjukkan lokasi
dari gen yang normal dan gen yang mengalami kelainan pada seluruh kromosom
manusia.

Gambar 2 Peta gen penyebab penyakit pada kromosom manusia

Human Genome Project menjadi pioner bagi proyek selanjutnya yaitu The
Cancer Genome Atlas Project (TCGA) yaitu suatu proyek untuk memetakan dan
mengidentifikasi perubahan genom yang terjadi pada berbagai jenis kanker.
Diharapkan dari proyek tersebut dapat dikembangkan metode diagnosa dan
pengobatan yang lebih baik pada berbagai jenis kanker.

2.1.4 Metode-metode untuk Mendeteksi Penyakit Genetik


Teknik biologi molekuler sudah terbukti sangat efektif dalam mendeteksi
berbagai penyakit akibat adanya kelainan genetik. Terdapat beberapa metode yang
saat ini banyak digunakan, antara lain:
a) Amniocentesis & Chorionic Villus Sampling
Kedua metode ini merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui
adanya kelainan genetik pada janin. Amniocentesis dilakukan ketika fetus berusia
16 minggu. Teknik ini dilakukan dengan mengambil cairan amnion menggunakan
jarum suntik. Cairan ini umumnya banyak mengandung sel yang lepas dari fetus
misalnya sel kulit. Cairan tersebut dikulturkan selama beberapa hari kemudian
diberikan pewarna pada setiap kromosom (pewarna terdiri atas protein spesifik
pada gen tertentu) agar terbentuk pola warna tertentu pada setiap kromosom
sehingga kromosom dapat dipasang-pasangkan berdasarkan ukuran dan pola
warnanya. Prosedur ini juga disebut sebagai karyotyping. Metode ininjuga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi jenis kelamin janin berdasarkan keberadaan
kromosom x dan y.

Gambar 3 Metode amniocentesis dan chorionic villus sampling (CVS)

Chorionic villus sampling (CVS) menggunakan sebuah tabung hisap untuk


mengambil sedikit lapisan sel yang disebut chorionic villus, jaringan pada fetus

yang

membantu

membentuk

plasenta.

Kelebihan

CVS

dibandingkan

amniocentesis adalah dengan metode ini akan didapatkan lebih banyak sel sampel
sehingga dapat langsung dilakukan karyotyping tanpa harus mengkulturkannya
terlebih dahulu. Kelebihan lainnya yaitu metode ini dapat dilakukan lebih dini
yaitu pada usia kehamilan 8 hingga 10 minggu.
b) Flourescence In Situ Hybridization (FISH)
Karyotyping saat ini telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi
kelainan kromosom, baik pada manusia dewasa maupun ketika masih dalam
kandungan. Teknik karyotyping modern yang dapat digunakan pada dewasa
maupun janin salah satunya adalah FISH. Langkah dari metode ini yaitu
kromosom dihibridasikan dengan penanda (flourescence probes) dengan suatu
metode yang disebut spectral karyotyping. FISH sangat efektif untuk
mengidentifikasi penambahan atau kromosom yang hilang, hal ini berkaitan
dengan penyakit genetik pada manusia yang umumnya disebabkan karena adanya
delesi atau gangguan pada proses replikasi.

Gambar 4 Metode Flourescent In Situ Hybridization

c) Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)

Analisis ini didasarkan tentang konsep bahwa gen yang mengalami kelainan
ketika dipotong menggunakan enzim restriksi akan memiliki panjang yang
berbeda jika dibandingkan dengan pada gen normal karena perubahan nukleotida
pada gen mutan dapat mempengaruhi kerja enzim restriksi ketika memotong gen
tersebut (lebih panjang atau lebih pendek). Sehingga akan menunjukkan hasil
yang berbeda ketika dilakukan elektroforesis.

Gambar 5 Metode Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)

d) Analisis Microarray
Salah satu teknik untuk mempelajari penyakit genetik adalah dengan
menggunakan DNA Microarray yang juga biasa dikenal dengan gene chip.
Sebuah microarray dapat berisi penanda pada ribuan jenis gen. Data yang
dihasilkan microarray dapat digunakan untuk memprediksi resiko penyakit yang
mungkin diderita oleh pasien berdasarkan gen yang terekspresi.

Gambar 6 Metode identifikasi penyakit menggunakan analisis microarray

Langkah dari metode ini yaitu dengan mengisolasi DNA atau RNA dari
sampel jaringan tubuh pasien, umunya jaringan yang digunakan adalah jaringan
darah. DNA pasien tersebut kemudian diberikan penanda khusus kemudian
dihibridasi didalam chip. Hasilnya akan terjadi perubahan warna yang bisa
diamati yang mengindikasikan kondisi struktur gen pasien.
Pada pembahasan selanjutnya akan dijelaskan mengenai berbagai produk
dan aplikasi bioteknologi dalam bidang kedokteran sehingga dapat digunakan
sebagai strategi dalam menyembuhkan berbagai penyakit pada manusia.
2.2 Produk dan Aplikasi Bioteknologi dalam Bidang Kedokteran
Mengidentifikasi

jenis

obat

baru

dan

mengembangkan

metode

penyembuhan suatu penyakit merupakan pembahasan utama dalam bioteknologi


kedokteran. Dalam pembahasan ini akan dijelaskan beberapa produk bioteknologi
dalam bidang kedokteran yang mungkin akan sering kita jumpai dimasa depan.
A. Berbagai Usaha untuk Menemukan Obat Baru
Kanker saat ini masih menduduki peringkat pertama penyakit paling
mematikan di dunia. Menurut catatan terbaru lembaga kesehatan dunia (WHO),
penyakit ini berkontribusi sebesar 13% sebagai penyebab kematian di seluruh
dunia setiap tahun. Lembaga ini menaksir 84 juta orang meninggal akibat kanker
dalam rentang 2005-2015 dan fakta yang lebih mengejutkan adalah Indonesia
menjadi salah satu negara dengan pengidap kanker terbanyak di dunia.
Berbagai penelitian dilakukan untuk menemukan strategi penyembuhan
berbagai jenis kanker. Peneliti menemukan bahwa terdapat beberapa gen yang
terlibat dalam pertumbuhan sel kanker, salah satunya adalah gen yang dikenal
dengan istilah onkogen (oncogene). Gen tersebut mampu mengekspresikan
protein yang berfungsi sebagai faktor pemicu transkripsi (transcription factor)
serta reseptor bagi hormon atau faktor pertumbuhan. Selain itu peneliti juga
mempelajari tentang gen yang disebut gen supresor tumor (tumor suppressor
genes), yaitu gen pengekspresi protein yang mampu menekan pembentukan sel
kanker.
Onkogen dan gen supresor tumor mendapatkan perhatian khusus dari para
peneliti karena mereka meyakini bahwa kanker dapat disembuhkan dengan
mengembangkan inhibitor bagi protein yang diekspresikan oleh onkogen untuk
mengikat dan menahan fungsi protein tersebut. Selain itu beberapa peneliti juga

mengembangkan obat yang berfungsi sebagai aktivator bagi protein supresor


tumor. Aktivator tersebut mampu berikatan dan menstimulasi protein-protein yang
mampu digunakan untuk melawan kanker. Penelitian terbaru saat ini, peneliti
mengembangkan metode modifikasi pengobatan untuk meningkatkan efektivitas
pengobatan tersebut. Metode yang saat ini sedang banyak dikembangkan yaitu
farmakogenomik (Pharmacogenomics) dan teknologi nano (Nanotechnology).
1) Farmakogenomik untuk Personalisasi Obat
Human Genome Project dan penemuan SNPs (Single-nucleotide
Polymorphism) berperan besar dalam munculnya bidang baru dalam kedokteran
yaitu farmakogenomik. Bidang ini mempelajari tentang bagaimana memodifikasi
pengobatan pasien dengan merancang terapi obat dan strategi pengobatan yang
efektif berdasarkan profil genetik pada pasien tertentu. Farmakogenomik muncul
berdasarkan hasil penelitian yang menemukan bahwa setiap individu dapat
memberikan respon yang berbeda-beda pada jenis obat yang sama, yang meliputi
perbedaan efektivitas dan efek samping. Perbedaan respon tersebut disebabkan
oleh adanya polimorfisme genetik.

Gambar 7 Contoh kasus dalam aplikasi farmakogenomik

Beberapa obat yang saat ini digunakan dalam kemoterapi dapat efektif
digunakan untuk mengatasi kanker karena target obat tersebut adalah pada sel
yang membelah dengan cepat. Namun obat tersebut ternyata juga memberikan

efek pada sel normal yang melakukan reproduksi secara terus menerus seperti sel
rambut, kulit serta sumsum tulang yang berperan dalam pembentukan sel darah.
Akibatnya muncul efek samping seperti rambut rontok, kulit kering dan
perubahan pada jumlah sel darah akibat penggunaan kemoterapi. Atas dasar
tersebut peneliti kemudian berusaha untuk menemukan obat yang dapat menarget
hanya pada sel kanker tanpa berefek pada sel normal yang lain.
Kanker payudara merupakan salah satu penyakit yang menunjukan adanya
pengaruh keturunan yang memicu seseorang terkena penyakit tersebut. Wanita
yang menunjukan cacat pada kopian gen yang bernama BRCA1 dan BRCA2
memiliki resiko terkena kanker payudara lebih besar, namun tidak semua kanker
payudara dipengaruhi oleh faktor keturunan. Jika seorang wanita diketahui
memiliki tumor payudara yang berpotensi menjadi kanker, jaringan tersebut dapat
diambil kemudian untuk dilakukan analisis microarray terhadap SNP dari DNA
atau RNA, sehingga dapat diketahui gen apa yang terlibat dalam kanker payudara
yang diderita oleh wanita tersebut. Berbekal informasi genetik tersebut, dapat
didesain sebuah strategi pengobatan yang paling spesifik dan efektif terhadap
kanker tersebut. Wanita lain yang memiliki profil genetik berbeda mungkin akan
menjalani pengobatan yang berbeda.
Strategi ini kemudian digunakan oleh para peneliti di Genetech untuk
mengembangkan Herceptin, jenis antibodi monoklonal yang pertama kali
terdaftar di FDA pada tahun 1998. Herceptin dapat berikatan dan menghambat
kerja HER-2 yang diketahui mengalami overexpressed pada sekitar 30% kasus
kanker payudara. Wanita dengan tumor positif HER-2 umumnya memiliki kanker
yang agresif dengan kemungkinan yang lebih besar mengalami metastasis
(penyebaran). Herceptin terbukti efektif pada beberapa wanita, namun tidak pada
beberapa jenis tumor payudara lain. Masalah tersebut merupakan satu dari banyak
masalah yang dihadapi para ahli farmakogenomik dalam mengembangkan
pengobatan berbagai jenis kanker yang lain (Harries & Smith, 2002)
Satu

dari

contoh

sukses

dalam

bidang

farmakogenomik

adalah

pengembangan obat bernama Gleevec yang diperkenalkan oleh Novartis pada


tahun 2001 dan digunakan untuk pengobatan chronic myelogeneous leukimia

(CML). Target Gleevec yaitu protein fusi BCR-ABL yang terjadi akibat adanya
pertukaran DNA antara kromosom 9 dan 22 menyebabkan terjadinya CML.

Gambar 8 Chronic myelogeneous leukimia (CML), kanker sel darah putih yang terjadi
akibat adanya pertukaran gen antara kromosom 9 dan 22 (Sumber: www.cancer.gov)

Data ekspresi gen dari analisis microarray DNA digunakan untuk


mendiagnosa pasien berdasarkan gen yang diekspresikan, kemudian pasien
menggunakan pengobatan farmakogenomik (jika tersedia) berdasarkan gennya.
Gambar dibawah ini menunnjukkan contoh data microarray data dari beberapa
individu yang didiagnosa menderita melanoblastoma. Berdasarkan hasil analisis
tersebut pasien dapat dikelompokkan dalam tiga kategori melanoblastoma
berdasarkan cluster gen yang aktif terekspresikan. Karena setiap kelompok pasien
mengekspresikan gen dan protein yang berbeda maka pasien-pasien tersebut tentu
akan memberikan respon yang berbeda terhadap kemoterapi. Berdasarkan

informasi tersebut pengobatan kemoterapi yang dilakukan dapat disesuaikan


dengan kategori setiap pasien. Pendekatan yang sama juga dilakukan untuk
pengobatan kanker payudara dan leukimia.

Gambar 9 Data microarray untuk analisis ekspresi gen dan farmakogenomik

2) Nanoteknologi dan nanomedicine : Bioteknologi pada skala nano


Nanoteknologi merupakan suatu bidang sains yang terlibat dalam
mendesain, membangun, dan memanipulasi suatu struktur pada skala nano.
Nanometer (nm) merupakan ukuran yang sangat mikroskopis (1 meter = 1 milyar
nanometer), sebagai perbandingan diameter rambut manusia kurang lebih adalah
200.000 nm, DNA adalah sekitar 2 nm, sedangkan ikatan antar atom adalah
kurang lebih sepanjang 0,15 nm.
Nanomedicine merupakan salah satu aplikasi dari nanoteknologi dalam
bidang kedokteran sebagai upaya untuk menemukan strategi pengobatan yang
efektif. Para peneliti membayangkan suatu perangkat kecil di dalam tubuh yang
dapat membawa banyak sekali fungsi medis, meliputi sensor nano yang dapat

memonitor tekanan darah, kadar oksigen dalam darah dan konsentrasi hormon,
partikel nano yang mampu menghilangkan sumbat pada arteri serta mendeteksi
dan menghilangkan sel kanker.
Berbagai perusahaan yang bergerak dalam bidang bioteknologi berusah
untuk mengembangkan teknik penghantaran obat yang lebih efektif dan
meningkatkan fungsi obat tersebut. Saat ini banyak sekali obat yang dinilai kurang
efektif karena tidak dapat diserap dengan baik oleh tubuh sehingga pengobatan
menjadi sia-sia. Faktor lain yang mempengaruhi tingkat efektivitas obat adalah
kelarutan dari obat tersebut, kemudahan obat dicerna oleh organ, dan eliminasi
obat oleh hati dan ginjal.
Microsphere merupakan partikel nano berukuran 1-100 nm yang dapat
dibungkus dengan obat, menjadi salah cara untuk meningkatkan efektivitas obat.
Bahan ini umumnya terbuat dari lipid yang mirip dengan fosfolipid yang
membentuk

membran

sel.

Microsphere

dapat

digunakan

dengan

cara

disemprotkan melalui hidung atau mulut, metode ini dinilai sukses dalam
mengobati kanker paru-paru, dan penyakit pernafasan lain seperti asma,
emfisema, tuberkulosis dan flu. Dalam pembahasan selanjutnya akan dibahas
tentang bagaimana salah satu jenis microsphere yang disebut liposom dapat
digunakan dalam terapi gen.

Gambar 10 Aplikasi teknologi nano dalam terapi gen menggunakan vektor berupa
virus

Saat ini banyak obat berbasis partikel nano diuji coba secara klinis di
seluruh dunia, dan kebanyakan didominasi obat untuk kanker. Penelitian terbaru
dalam teknologi nano ini yaitu pengembangan obat pintar menggunakan virus
atau partikel nano kecil seperti partikel emas yang dimasukkan ke dalam tubuh
untuk mencari dan mentarget virus atau sel tertentu seperti sel kanker, partikel
tersebut membawa obat tertentu untuk menghancurkan sel tersebut dengan cepat,
efektif dan sedikit efek samping.
B. Vaksin dan Terapi Antibodi
Vaksin dapat digunakan untuk merangsang sistem imun untuk menghasilkan
antibodi dan memberikan kekebalan pada tubuh terhadap infeksi mikroba.
Beberapa jenis vaksinasi yang terbukti sangat efektif misalnya vaksin polio,
tetanus, dll. Pengembangan jenis vaksin untuk perlindungan khususnya pada
patogen yang mematikan merupakan salah satu bidang penting dalam dunia
kedokteran.
Para ilmuwan terus mencoba untuk mengembangkan vaksin yang efektif
untuk penyakit berat seperti Alzheimer dan beberapa jenis kanker, namun hingga
saat ini vaksin untuk penyakit-penyakit tersebut belum terbukti efektif untuk
manusia. Vaksin untuk kanker yang dikembangkan saat ini bukan bersifat
preventif seperti vaksin pada umumnya, namun didesain untuk mengobati pasien
yang telah mengidap kanker.
Menggunakan antibodi sebagai terapi suatu penyakit merupakan salah satu
strategi yang dikembangkan dalam dunia kedokteran, karena antibodi bersifat
sangat spesifik terhadap suatu molekul atau patogen tertentu sehingga mengikat
target dengan afinitas yang sangat baik. Antibodi monoklonal merupakan salah
satu contoh pengobatan yang memanfaatkan sifat antibodi tersebut. Antibodi
monoklonal berpotensi menjadi peluru ajaib dalam pengobatan suatu penyakit
karena dapat langsung menuju target yang diinginkan. Salah satu metode
pembuatan antibodi monoklonal yaitu dengan menyuntikkan antigen penyebab
penyakit yang telah dimurnikan pada tikus. Setelah tikus membentuk antibodi
terhadap antigen (membutuhkan waktu hingga beberapa minggu) limfa tikus
diambil. Limfa tersebut kaya akan antibodi yang dihasilkan oleh limfosit B yang
biasa dikenal dengan sel B. Pada cawan petri, sel B tersebut kemudian
dicampurkan dengan sel kanker yang disebut myeloma. Dalam kondisi yang tepat,

beberapa sel B akan menyatu (fusi) dengan myeloma membentuk sel hibrid yang
disebut hybridomas.
Sel hybridoma dapat tumbuh dengan cepat pada medium cair karena sel
tersebut mengandung gen pembentuk antibodi dari sel B. Sel hybridoma akan
mensekresikan antibodi pada medium disekitar sel. Hybridoma kemudian
dipisahkan dengan sel lain yang gagal mengalami fusi dan dipindahkan ke
medium yang lain. Selanjutnya sel hybridoma tersebut disimpan pada temperatur
yang sangat rendah sehingga dapat digunakan sebagai stok yang sewaktu-waktu
dapat digunakan. Antibodi dapat diisolasi dalam jumlah besar dengan cara
menumbuhkan sel hybridoma tersebut pada medium kultur yang lebih besar
menggunakan bioreaktor.

Gambar 11 Proses pembuatan antibodi monoklonal (Sumber:


www.bio.davidson.edu)

Antibodi monoklonal pertama yang terdaftar di FDA pada tahun 1986 yaitu
OKT3 yang digunakan untuk mengatasi penolakan organ hasil transplantasi oleh
tubuh. Pada tahun 1990 antibodi monoklonal dikembangkan untuk mengobati
kanker payudara (Herceptin). Saat ini antibodi monoklonal sudah banyak
digunakan di seluruh dunia untuk mengobati kanker, penyakit jantung, alergi, dll.

Saat ini peneliti juga tengah mengembangkan untuk memasukkan bahan kimia
atau zat radioaktif pada antibodi monoklonal tersebut untuk merusak sel kanker
dan mematikannya. Strategi menggunakan terapi antibodi akan sangat berguna
bagi pasien yang kecanduan pada zat berbahaya seperti kokain dan nikotin. Badan
Narkotika Nasional (BNN) mencatat lebih dari 4,9 juta orang Indonesia
merupakan pengguna narkoba. Para ilmuwan percaya bahwa menstimulasi
produksi antibodi dapat mengobati kecanduan pada narkoba. Antibodi tersebut
akan berikatan dengan obat-obatan berbahaya sebagai antigen sehingga mencegah
obat tersebut mempengaruhi sel otak pemakai.
Penggunaan antibodi monoklonal juga bukan berarti tanpa efek samping.
Sebagai contoh pada pengobatan beberapa penderita Alzheimer penggunaan
antibodi monoklonal menimbulkan efek inflamasi karena adanya respon antibodi
antimouse. Produksi antibodi monoklonal pada tubuh manusia dinilai dapat
mengatasi permasalahan tersebut, namun hingga saat ini hal tersebut masih
menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Terlebih lagi antibodi
monoklonal tampaknya akan menjadi salah satu metode pengobatan yang akan
sangat memudahkan dunia kedokteran pada abad 21 ini. Pada pembahasan
selanjutnya akan dibahas mengenai terapi gen yang menjadi salah satu topik
kontroversial dalam bidang bioteknologi kedokteran.
C. Terapi Gen (Wf)
D. Pengobatan Regeneratif (Yulia)

Daftar Pustaka
Harries, M., & Smith, I. (2002). The Development and Clinical Use of
Trastuzumab (Herceptin). Endocrine-Related Cancer, 75-85.

You might also like