You are on page 1of 14

TUGAS INDIVIDU

SKENARIO BERCAK PUTIH

Skenario A :
A. Morbus hansen
B. Ptyriasis vesicolor
C. Vitiligo
KUSTA(MORBUS HANSEN)
DEFENISI
Penyakit kusta adalah penyakit infeksi yang kronik yang disebabkan oleh kuman
kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tumbuh
lainnya.
ETIOLOGI
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae , yang berbentuk batang
dengan ukuran panjang 18 mic, lebar 0,20,5 mic biasanya berkelompok dan ada yang
tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA).
Masa tunas penyakit Kusta
Masa belah diri kuman kusta adalah memerlukan waktu yang sangat lama
dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Hal ini merupakan salah satu
penyebab masa tunas lama yaitu rata-rata 25 tahun.
Cara penularan
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi basiler (MB) kepada
orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui,
tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan
melalui saluran pernafasan dan kulit.
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu ditakuti
tergantung dari beberapa faktor antara lain :
1. Faktor Sumber Penularan :
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe MB. Penderita MB Ini pun tidak akan
menularkan kusta, apabila berobat teratur.
2. Faktor Kuman Kusta :
Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu atau
cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan
penularan.
3. Faktor Daya Tahan Tubuh :

Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95 %). Dari hasil penelitian
menunjukkan gambaran sebagai berikut, Dari 100 orang yang terpapar :

95 orang tidak menjadi sakit.


3 orang sembuh sendiri tanpa obat.
2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan.

Diagnosa
Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda pokok atau
cardinal signs pada badan yaitu :
1. Kelainan kulit/lesi yang hypopigmentasi atau kemerahan dengan hilang/mati rasa
yang jelas.
2. Kerusakan dari syaraf tepi, yang berupa hilang/mati rasa dan kelemahan otot tangan,
kaki, atau muka.
3. Adanya kuman tahan asam di dalam korekan jaringan kulit (BTA positif).
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda
pokok diatas. Bila ragu-ragu orang tersebut dianggap sebagai kasus dicurigai (suspek)
dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai diagnose dapat ditegakkan kusta atau penyakit
lain.
Untuk melakukan diagnose secara lengkap dilaksanakan hal-hal sebagai berikut:
1. Anamnese.
2. Pemeriksaan klinis yaitu :
Pemeriksaan kulit.
Pemeriksaan syaraf tepi dan fungsinya.
3. Pemeriksaan bakteriologis.
4. Pemeriksaan hispatologis.
5. Immunologis.
Klasifikasi
1. Tujuan :
Untuk menentukan regimen pengobatan.
Untuk perencanaan opersional.
2. Klasifikasi Pengobatan MDT.
Untuk keperluan pengobatan kombinasi atau Multidrug Therapy (MDT) yaitu
menggunakan gabungan Rifampicin, Lamprene dan DDS, maka penyakit kusta di
Indonesia diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu :
a. Tipe PB (Pausi basiler).
b. Tipe MB (Multi basiler).
Sebelumnya telah dikenal beberapa klasifikasi seperti :
a. Klasifikasi Madrid.
b. Klasifikasi Ridley Joping.

c. Klasifikasi India, namun klasifikasi ini tidak dipergunakan dalam P2 Kusta di


lapangan.
Kriteria penentuan tipe
Berdasarkan Ridley-Joping
Gambaran klinik, bakteriologik, dan imunologik kusta Pausibasiler (PB)
SIFAT

TUBERKULOID

BORDERLINE

INTERMEDIATE

(TT)

TUBERCULOID

(I)

(BT)
Lesi
Bentuk

Makula saja

Makula

dibatasi Hanya macula

Makula dibatasi

infiltrat

Jumlah

infiltrat
Satu, dapat beberapa

Infiltrat saja
Beberapa atau satu Satu atau beberapa

Distribusi
Permukaan
Batas

Asimetris
Kering bersisik
Jelas

dengan satelit
Masih asimetris
Kering bersisik
Jelas

Variasi
Halus agak berkilat
Dapat jelas atau

Anestesia

Jelas

Jelas

dapat tidak jelas


Tak ada sampai tidak
jelas

BTA
Lesi Kulit

Negatif

Negative atau hanya Biasanya negative

Tes lepromin

Posiitif kuat (3+)

positif 1
Positif lemah

Dapat positif lemah


atau negative

Gambaran klinik, bakteriologik, dan imunologik kusta Multibasiler (MB)


SIFAT

LEPROMATOSA

BORDERLINE

MID

(LL)

LEPROMATOUS

BORDERLINE

(BL)

(BB)

Lesi
Bentuk

Makula, infiltrat

Makula, Plakat,

Plak, lesi berbentuk

Jumlah

difus
Tak terhitung

Papul
Sukar dihitung

Dapat dihitung

Distribusi
Permukaan
Batas
Anestesia
BTA
Lesi Kulit
Sekret Hidung
Tes lepromin

Simetris
Halus berkilat

Hampir simetris
Halus berkilat

Asimetris
Agak kasar

Tak jelas
Tidak jelas

Agak jelas
Tidak jelas

berkilat
Agak jelas
Lebih jelas

Banyak (ada globus)


Banyak (ada globus)
Negatif

Banyak
Biasanya negative
Negatif

Agak banyak
Negative
Biasanya negative

dan

Klasifikasi berdasarkan WHO (1995):


1. Lesi kulit (makula datar,
papul yang meninggi,
nodus)
2. Kerusakan saraf

PB
1-5 lesi

Hipopigementasi/eritema
Distribusi tidak simetris
Hanya satu cabang saraf

MB
> 5 lesi
Eritema
Distribusi lenih

simetris
Banyak cabang saraf

(menyebabkan hilangnya
sensasi/ kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yag terkena)

Pemeriksaan Klinis
Pelaksanaan pemeriksaan terdiri dari :
a. Pemeriksaan pandang (inspeksi),
b. Pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit, dan
c. Pemeriksaan syaraf tepi dan fungsinya.
a. Pemeriksaan Pandang (Inspeksi).
Tahap pemeriksaan.
1. Pemeriksaan dimulai dengan orang yang diperiksa behadapan dengan petugas dan
dimulai kepala (muka, cuping telinga kiri, pipi-kiri, cuping telinga kakan, pipi kanan,
hidung, mulut, dagu, leher bagian depan). Penderita diminta untuk memejamkan
mata, mengetahui fungsi syaraf dibuka. Semua kelainan kulit diperhatikan.
2. Pundak kanan, lengan bagian belakang, tangan, jari-jari tangan (penderita diminta
meluruskan tangan kedepan dengan telapak tangan menghadap kebawah, kemudian
tangan diputar dengan telapak tangan menghadap keatas), telapak tangan, lengan
bagian dalam, ketiak, dada dan perut ke pundak kiri, lengan kiri dan seterusnya

(putarlah penderita pelan-pelan dari sisi yang satu ke sisi yang lainnya untuk melihat
sampingnya pada waktu memeriksa dada dan perut).
3. Tungkai kanan bagian luar dari atas ke bawah, bagian dalam dari bawah ke atas,
tungkai kiri dengan cara yang dalam dari bawah ke atas, tungkai kiri dengan cara
yang sama.
4. Yang diperiksa kini diputar sehingga membelakangi petugas dan pemeriksaan dimulai
lagi dari : Bagian belakang telinga, bagian belakang leher,punggung, pantat tungkai
bagian belakang dan telapak kaki. Perhatikan setiap bercak (makula), bintil-bintil
(nodulus) jaringan parut, kulit yang keriput, dan setiap penebalan kulit. Bilamana
meragukan, putarlah penderita pelanpelan dan periksa pada jarak kira-kira meter.
b. Pemeriksaan Rasa Raba pada Kelainan Kulit.
Pemeriksaan terhadap anestesi.
Sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa rasa raba. Periksalah
dengan ujung dari kapas yang dilancipi secara tegak lurus pada kelainan kulit yang
dicurigai. Yang diperiksa sebaiknya duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih dahulu
petugas menerangkan bahwa bilamana merasa tersentuh bagian tubuhnya dengan kapas,
ia harus menunjukkan kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya atau dengan
menghitung sentuhan untuk bagian yang sulit dijangkau, ini dikerjakan dengan mata
terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu
matanya ditutup dengan sepotong kain/karton. Kelainan-kelainan di kulit diperiksa
secara
bergantian dengan kulit yang normal disekitarnya untuk mengetahui ada tidaknya
anaesthesi.
c. Pemerksaan rasa raba syaraf tepi.
Raba dengan teliti urut syaraf tepi berikut n.auricularis magnus, n.ularis, n.radialis,
n.medianus,n.peroneus, dan n.tibialis posterior.
PENATALAKSANAAN
DDS (Dapsone).
Singklatan dari Diamino Diphenyl Sulfone.
Bentuk obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100 mg/tablet.
Sifat bakteriostatik yaitu menghalang/menghambat pertumbuhan kuman kusta.
Dosis.
Dewasa 100 mg/hari.
Anak-anak 1-2 mg/kg berat badan/hari.
Lamperene (B663) juga disebut Clofazimine.
a. Kapsul warna coklat.Ada takaran 50 mg/kapsul dan100 mg/kaps.
b. Sifat :
Bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman kusta.

a.
b.
c.
d.

Anti reaksi (menekan reaksi).


c. Dosis :
50 mg perhari atau 100 mg selang sehari atau 3x100 mg perminggu.
Rifampicin.
a. Kapsul atau tablet takaran 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600 mg.
b. Sifat : Mematikan kuman kusta (Bakteriosid).
c. Dosis :
Kombinasi dengan DDS dengan dosis 10 mg/kg BB.
Prednison.
Obat ini digunakan untuk penanganan/pengobatan reaksi.
Sulfat Ferrosus.
Obat tambahan untuk pederita kusta yang Anemia Berat.
Vitamin A.
Obat ini digunakan untuk menyehatkan kulit yang bersisik (Ichthiosis).
Regimen pengobatan MDT
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan
oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut :
1. MDT untuk multibasilar (BB, BL, LL atau semua tipe dengan BTA positif) adalah:
o Rifampisin 600 mg setiap bulan
o DDS 100 mg setiap hari
o Klofazimin : 300 mg setiap bulan, diteruskan 50 mg sehari atau 100 mg selang
sehari atau 3x100 mg setiap minggu.
Kombinasi obat ini diberikan 2 tahun sampai 3 tahun dengan syarat bakteriosporis
harus negative.
2. MDT untuk pausibasiler (I, TT, BT)
o Rifampisin 600 mg
o DDS 100 mg setiap hari.
Keduanya diberikan selama 6-9 bulan.
Referensi : Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin,prof Dr.dr.Adhi Djuanda,fakultas
kedokteran universitas Indonesia edisi keenam;hal 73-88

PITIRIASIS VESICOLOR
DEFINISI
Panu atau di dunia medis disebut dengan bahasa aneh Pityriasis versicolor,
merupakan infeksi jamur di permukaan kulit. Biasanya kumat-kumatan dan tak jarang
tanpa keluhan (asimptomatis). Penyakit ini disebabkan oleh Pityrosporum ovale.
ETIOLOGI
Malassezia furfur (dahulu dikenal sebagai Pityrosporum orbiculare, Pityrosporum
ovale) merupakan jamur lipofilik yang normalnya hidup di keratin kulit dan folikel
rambut manusia saat masa pubertas dan di luar masa itu.
Patofisiologi
Pityrosporon orbiculare, Pityrosporon ovale, dan Malassezia ovalis merupakan
nama lain (sinonim) dari Malassezia furfur. Sebelas spesies M furfur telah teridentifikasi,
dan Malassezia globosa merupakan salah satu organisme yang biasa ditemukan pada
penderita panu. Organisme ini dapat ditemukan pada kulit yang sehat dan pada area kulit
yang terkena penyakit kulit (cutaneous disease). Pada penderita dengan penyakit klinis,
organisme ini ditemukan baik pada tingkat spora/ragi (yeast/spore stage) dan bentuk
filamentosa (hyphal).
Sebagian besar kasus panu dialami oleh orang yang sehat tanpa disertai penurunan
sistem kekebalan tubuh (immunologic deficiencies). Meskipun demikian, beberapa faktor
dapat memengaruhi beberapa orang terkena panu sekaligus memicu berubahnya bentuk
(conversion) dari ragi saprofit (saprophytic yeast) menjadi bentuk morfologis miselium,
parasitik.
Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Kecenderungan (predisposition) genetik.
2. Lingkungan yang lembab, hangat.
3.

Immunosuppression.

4.

Malnutrition.

5. Cushing disease.
Meskipun merupakan bagian dari flora normal, M furfur dapat juga menjadi
patogen yang oportunistik. Organisme ini dipercaya juga berperan pada penyakit kulit
lainnya, termasuk Pityrosporum folliculitis, confluent and reticulate papillomatosis,
seborrheic dermatitis, dan beberapa bentuk dermatitis atopik.
Sebagai tambahan, panu merupakan penyakit kulit yang tidak berbahaya (benign
skin disease) yang menyebabkan papula atau makula bersisik pada kulit. Sebagaimana
namanya, tinea versikolor, (versi berarti beberapa) kondisi yang ada dapat memicu
terjadinya perubahan warna (discoloration) pada kulit, berkisar dari putih menjadi merah
menjadi coklat. Keadaan ini tidak menular karena patogen jamur kausatif (causative
fungal pathogen) merupakan penghuni normal pada kulit.
Kulit penderita panu dapat mengalami hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Pada
kasus hipopigmentasi, inhibitor tyrosinase [hasil dari aksi/kerja inhibitor tyrosinase dari
asam dicarboxylic yang terbentuk melalui oksidasi beberapa asam lemak tak jenuh
(unsaturated fatty acids) pada lemak di permukaan kulit] secara kompetitif menghambat
enzim yang diperlukan dari pembentukan pigmen melanocyte. Pada kasus panu dengan
makula hiperpigmentasi, organisme memicu pembesaran melanosom yang dibuat oleh
melanosit di lapisan basal epidermis.
Patogenesis
Perubahan bentuk Malassezia dari blastospora menjadi miselium dipengaruhi oleh
berbagai faktor predisposisi. Asam dikarboksilat, yang dibentuk oleh oksidasi enzimatis
asam lemak pada lemak di permukaan kulit, menghambat tyrosinase pada melanosit
epidermis dan dengan demikian memicu hipomelanosis. Enzim ini terdapat pada
organisme (Malassezia).
MANIFESTASI KLINIS
Biasanya timbul makula dalam berbagai ukuran dan warna, dengan kata lain
terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni, berbentuk tidak teratur sampai teratur,
berbatas jelas sampai difus, ditutupi sisik halus dengan rasa gatal (ringan), atau
asimtomatik (tanpa gejala atau tanpa keluhan), dan hanya gangguan kosmetik saja.

Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau kemungkinan pengaruh toksis
jamur terhadap pembentukan pigmen, sering dikeluhkan penderita.
Keluhan gatal, meskipun ringan, merupakan salah satu alasan penderita datang
berobat.
Predileksi atau Distribusi
Panu dapat terjadi di mana saja di permukaan kulit manusia, seperti: tubuh bagian
atas, lengan atas, leher, kulit kepala yang berambut, muka/wajah, punggung, dada, perut
(abdomen), ketiak (axillae), tungkai atas, lipat paha, paha, alat kelamin (genitalia), dan
bagian tubuh yang tak tertutup pakaian.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan topikal
Pengobatan harus dilakukan secara menyeluruh, tekun dan konsisten, obat yang
digunakan:

Selenium sulfide 1,8% dalam bentuk sampo 2-3 kali seminggu, obat digosokkan pada
lesi dan didiamkan selama 30 menit sebelum mandi.

Salisil spiritus 10%.

Turunan azol misalnya mikonazol, klotrimazol, isokonazol, dan ekonazol.

Sulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20%.

Larutan tiosulfat natrikus 25%, dioleskan sehari 2 kali sehabis mandi selama 2
minggu.

Pengobatan Sistemik
Pengobatan ini diberikan jika pemakaian obat topical tidak berhasil.

Ketokonazol 200 mg/hari selama 10 hari.

Itrakonazol 200 mg/hari selama 5-7 hari, disarankan untuk kasus kambuhan atau tidak
responsive terhadap terapi lainnya.
Referensi : Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin,prof Dr.dr.Adhi Djuanda,fakultas
kedokteran universitas Indonesia edisi keenam;hal 100-101

VITILIGO
DEFENISI
Vitiligo adalah kelainan pigmentasi (pewarnaan) kulit, seringkali bersifat progresif
dan familial yang ditandai oleh makula hipopigmentasi (warna keputihan) pada kulit
yang asimtomatik (tanpa gejala).
EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini lebih sering diderita oleh orang kulit berwarna dan biasanya dengan
derajat yang lebih berat. Penyakit dapat terjadi sejak lahir sampai usia lanjut dengan
frekuensi tertinggi pada usia 10-30 tahun.. Dari sebuah penyelidikan dilaporkan 38%
penderita vitiligo mempunyai keluarga yang menderita vitiligo.
ETIOLOGI
Beberapa faktor pencetus terjadinya vitiligo antara lain:
1. Faktor mekanis Pada penderita vitiligo, bisa timbul bercak setelah trauma fisik,
misalnya setelah tindakan bedah atau pada tempat bekas trauma fisik dan kimiawi.
2. Faktor sinar matahari atau penyinaran ultra violet A Pada penderita vitiligo, bercak
dapat timbul setelah terpajan sinar matahari atau UV A.
3. Faktor emosi/psikis Dikatakan bahwa kira-kira 20% penderita vitiligo berkembang
setelah mendapat gangguan emosi, trauma atau stres psikis yang berat.
4. Faktor hormonal Ada dugaan bahwa vitiligo memburuk selama kehamilan atau pada
penggunaan kontrasepsi oral. Namun hal ini masih diragukan.

PATOGENESIS
Masih sedikit yang diketahui tentang patogenesis vitiligo, sehingga patofisiologi
penyakit ini masih menjadi teka-teki. Sampai saat ini terdapat 3 hipotesis klasik
patofisiologi vitiligo yang dianut, yang masing-masing mempunyai kekuatan dan
kelemahan yaitu :
1. Hipotesis autositoksik
Hipotesis ini berdasarkan biokimiawi melanin dan prekursornya. Dikemukakan bahwa
terdapat produk antara dari biosintesis melanin yaitu monofenol atau polifenol. Sintesis
produk antara yang berlebihan tersebut akan bersifat toksik terhadap melanosit. Seorang
peneliti mengemukakan bahwa melanosit normal mempunyai proteksi terhadap proses
tersebut, sedangkan pada penderita vitiligo mekanisme proteksi ini labil, sehingga bila
ada gangguan, produk antara tersebut akan merusak melanosit dan akibatnya terjadi
vitiligo. Hal ini secara klinis dapat terlihat lesi banyak dijumpai pada daerah kulit yang
mengandung pigmen lebih banyak (berwarna lebih gelap). Juga hal ini dapat terjadi pada
pekerja-pekerja industri karet, plastik dan bahan perekat karena banyak berkontak
dengan bahan fenol dan katekol.
2. Hipotesis neurohumoral
Hipotesis ini mengatakan bahwa mediator neurokimiawi seperti asetilkolin, epinefrin dan
norepinefrin yang dilepaskan oleh ujung-ujung saraf perifer merupakan bahan
neurotoksik yang dapat merusak melanosit ataupun menghambat produksi melanin. Bila
zat-zat tersebut diproduksi berlebihan, maka sel melanosit di dekatnya akan rusak.
Secara klinis dapat terlihat pada vitiligo segmental satu atau dua dermatom, dan
seringkali timbul pada daerah dengan gangguan saraf seperti pada daerah paraplegia,
penderita polineuritis berat.
3. Hipotesis imunologik
Vitiligo merupakan suatu penyakit autoimun, pada penderita dapat ditemukan
autoantibodi terhadap antigen sistem melanogenik, yaitu autoantibodi anti melanosit
yang bersifat toksik terhadap melanosit. Dari hasil-hasil penelitian terakhir, tampaknya
hipotesis imunologik yang banyak dianut oleh banyak ahli. Hal ini disokong dengan

kenyataan bahwa insidens vitiligo meningkat pada penderita penyakit autoimun, yaitu
antara lain : penyakit kelenjar tiroid, alopesia areata, anemia pernisiosa, anemia
hemolitik autoimun, skleroderma dan artritis rheumatoid.
GEJALA KLINIK
Makula hipopigmentasi (kurang warna/pucat) yang khas pada vitiligo berupa bercak
putih seperti susu, berdiameter beberapa milimeter sampai sentimeter, berbentuk bulat,
lonjong, ataupun tak beraturan, dan berbatas tegas. Selain hipopigmentasi tidak dijumpai
kelainan lain pada kulit. Kadang-kadang rambut pada kulit yang terkena ikut menjadi
putih. Pada lesi awal kehilangan pigmen tersebut hanya sebagian, tetapi makin lama
seluruh pigmen melanin hilang. Lesi vitiligo umumnya mempunyai distribusi yang khas.
Lesi terutama terdapat pada daerah terpajan (muka, dada, bagian atas, punggung
tangan), daerah intertriginosa (aksila, lipat paha), daerah sekitar orifisium (sekitan mulut,
hidung, mata dan anus), pada bagian ekstensor permukaan tulang yang menonjol (jarijari, lutut, siku), daerah tibia anterior, daerah sekitar puting susu dan umbilikus (pusar).
Daerah mukosa yang sering terkena terutama genital, bibir dan gusi.
1. Di samping itu dapat pula ditemukan bentuk-bentuk lain dari lesi vitiligo, antara lain:
Trichome vitiligo : vitiligo yang terdiri atas lesi berwarna coklat, coklat muda dan
putih.
2. Vitiligo inflamatoar: lesi dengan tepi yang meninggi eritematosa dan gatal.
3. Lesi linear.
Diagnosis ditegakkan terutama berdasarkan anamnesis (tanya jawab yang mengarah
ke penyakit) dan pemeriksaan klinis, dan ditunjang oleh pemeriksaan histopatologik serta
pemeriksaan dengan lampu Wood. Pemeriksaan histopatologi lesi vitiligo menunjukkan
tidak dijumpainya melanosit dan granul melanin di epidermis; pewarnaan perak atau
reaksi dopa, memberi hasil negatif. Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron terlihat
hilangnya melanosit, sedangkan pada tepi lesi sering dijumpai melanosit yang besar
dengan prosesus dendritikus yang panjang; beberapa penulis menjumpai infiltrat
limfositik di dermis. Pada lesi awal atau tepi lesi masih dapat dijumpai beberapa

melanosit dan granul melanin. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood, lesi vitiligo
tampak putih berkilau dan hal ini berbeda dengan kelainan hipopigmentasi lainnya.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan vitiligo kurang memuaskan. Dianjurkan pada penderita untuk
menggunakan kamuflase agar kelainan tersebut tertutup dengan cover mask,
Pengobatan sistemik adalah trimetilpsoralen atau metoksi-psolaren dengan gabungan
sinar matahari atau sumber sinar yang mengandung ultraviolet gelombang panjang
(ultraviolet A). Dosis psoralen adalah 0,6 mg/kg berat badan 2 jam sebelum penyinaran
selama 6 bulan sampai 1 tahun. Pengobatan psolaren secara topical yang dioleskan 5
menit selama penyinaran sering menimbulkan dermatitis kontak iritan. Pada beberapa
penderita kortikosteroid potensi tinggi, misalnya betametason valerat 1% atau klobetasol
propinat 0,05% efektof menimbulkan pigmen.
Referensi : Soedarto. Sinopsis Kedokteran Tropis. Surabaya. Airlangga University
Press: 2007

PITIRIASIS ALBA
Defenisi
Pitiriasis alba adalah suatu dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui
penyebabnya, ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan
menghilang serta meninggalkan area depegmentasi.
Etiologi

Menurut para ahli diduga adanya infeksi Streptococcus, tetapi belum dapat dibuktikan
dan ada pula yang menyebut sebagai akibat dari defisiensi nutrisi dan juga merupakan
manifestasi dermatitis non spesifik, yang belum diketahui penyebabnya.

GEJALA KLINIK
Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3-16 tahun (30-40%). Wanita dan
pria sama banyak. Lesi berbentuk bulat, oval atau plakat yang tak teratur. Warna merah
muda atau sesuai warna kulit dengan skuama halus. Setelah eritema menghilang, lesi
yang dijumpai hanya depigmentasi dengan skuama halus. Pada stadium ini penderita
datang berobat terutama pada orang dengan kulit berwarna. Bercak biasanya multiple 4
sampai 20 dengan diameter antara 0,5-2 cm. pada anak-anak lokasi lesipada muka (5060%), paling sering disekitar mulut dagu, pipi serta dahi. Lesi dapat dijumpai pada
ekstremitas dan badan. Dapat simetris pada bokong, paha atas, punggung, dan ekstensor
lengan, tanpa keluhan. Lesi umumnya menetap, terlihat sebagai leukoderma setelah
skuama menghilang.
PENGOBATAN
Skuama dapat dikurangi dengan krim emolien. Dapat dicoba dengan preparat ter,
misalnya likuor karbones detergens 3-5% dalam krim atau salep, setelah dioleskan harus
banyak terkena sinar matahari.
Referensi : Sudoyo, Ayu W, dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Depertemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia ; 2006

You might also like