You are on page 1of 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anestesi Spinal

Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal
yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal
atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5, untuk
menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat kesuksesan yang tinggi.
Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi dari
anestesi spinal dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi anestesi lokal di ruang
intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan mengoptimalkan keberhasilan terjadinya
blok anestesi spinal.1,2,3
Kontra indikasi absolut anastesi spinal meliputi pasien menolak, infeksi di daerah
penusukan, koagulopati, hipovolemi berat, peningkatan tekanan intrakranial, stenosis
aorta berat dan stenosis mitral berat. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi pasien
tidak kooperatif, sepsis, kelainan neuropati seperti penyakit demielinisasi sistem syaraf
pusat, lesi pada katup jantung serta kelainan bentuk anatomi spinal yang berat. Ada juga
menyebutkan kontraindikasi kontroversi yang meliputi operasi tulang belakang pada
tempat penusukan, ketidakmampuan komunikasi dengan pasien serta komplikasi operasi
yang meliputi operasi lama dan kehilangan darah yang banyak.1,2,3
Anestesi spinal dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal ke dalam ruang
subarakhnoid lumbal. Larutan anestesi lokal dimasukkan ke dalam cairan serebrospinal
lumbal, bekerja pada lapisan superfisial dari korda spinalis, tetapi tempat kerja yang
utama adalah serabut preganglionik karena mereka meninggalkan korda spinal pada rami
anterior. Karena serabut sistem saraf simpatis preganglionik terblokade dengan
konsentrasi anestesi lokal yang tidak memadai untuk mempengaruhi serabut sensoris dan
motoris, tingkat denervasi sistem saraf simpatis selama anestesi spinal meluas kira-kira
sekitar dua segmen spinal sefalad dari tingkat anestesi sensoris. Untuk alasan yang sama,
tingkat anestesi motorik rata-rata dua segmen dibawah anestesi sensorik.27
Spinal anestesi mempunyai beberapa keuntungan antara lain, perubahan
metabolik dan respon endokrin akibat stress dapat dihambat, komplikasi terhadap
jantung, otak, paru dapat minimal, relaksasi otot dapat maksimal pada daerah yang
terblok sementara pasien dalam keadaan sadar. Selain keuntungan ada juga kerugian dari

Universitas Sumatera Utara

cara ini yaitu berupa komplikasi yang meliputi hipotensi, mual dan muntah, PDPH, nyeri
pinggang dan lainnya.27,28

2.2

Anatomi Kolumna Vertebra


Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis merupakan salah

satu faktor keberhasilan tindakan anestesi spinal. Di samping itu, pengetahuan tentang
penyebaran analgesia lokal dalam cairan serebrospinal dan level analgesia diperlukan
untuk menjaga keamanan tindakan anestesi spinal.3,4
Vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling penting dalam spinal anestesi,
karena sebagian besar penusukan pada spinal anestesi dilakukan pada daerah ini.
Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis yang dibagi menjadi 5 bagian yaitu
7 servikal, 12 thorakal,

5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus. Kolumna vertebralis

mempunyai empat lengkungan yaitu daerah servikal dan lumbal melengkung ke depan,
daerah thorakal dan sakral melengkung ke belakang sehingga pada waktu berbaring
daerah tertinggi adalah L3, sedang daerah terendah adalah L5.
Segmen medulla spinalis terdiri dari 31 segmen : 8 segmen servikal, 12 thorakal,
5 lumbal, 5 sakral dan 1 koksigeus yang dihubungkan dengan melekatnya kelompokkelompok saraf. Panjang setiap segmen berbeda-beda, seperti segmen tengah thorakal
lebih kurang 2 kali panjang segmen servikal atau lumbal atas. Terdapat dua pelebaran
yang berhubungan dengan saraf servikal atas dan bawah. Pelebaran servikal merupakan
asal serabut-serabut saraf dalam pleksus brakhialis. Pelebaran lumbal sesuai dengan asal
serabut saraf dalam pleksus lumbosakralis. Hubungan antara segmen-segmen medulla
spinalis dan korpus vertebralis serta tulang belakang penting artinya dalam klinik untuk
menentukan tinggi lesi pada medulla spinalis dan juga untuk mencapainya pada
pembedahan.
Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari luar yaitu
kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan duramater.
Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai medulla
spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat ruang yang
disebut ruang sub arakhnoid.
Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2,
sehingga dibawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang sub arakhnoid
merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak,

Universitas Sumatera Utara

jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang berasal dari medulla
spinalis. Pada orang dewasa medulla spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra
lumbal.3,4,27

Gambar 1. Kolumna Vertebralis.3

Gambar 2. Ligamentum Vertebralis.3

Universitas Sumatera Utara

2.3

Anestesi Lokal
Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik. Pada pemakaian sehari-

hari, obat ini dapat dibagi menjadi golongan amino ester dan golongan amino amida.
Ikatan ester mempunyai sifat mudah dihidrolisis dalam hepar dan oleh plasma esterase,
mula kerja lambat, lama kerja pendek dan hanya sedikit menembus jaringan. Sedangkan
ikatan amida mudah menjadi tidak aktif oleh hepatic amidase, mula kerja cepat, lama
kerja lebih lama dan lebih banyak menembus jaringan. Kelompok ester antara lain
procaine, chloroprocaine dan tetracaine. Kelompok amida antara lain lidocaine,
mepivacaine, bupivacaine dan etidocaine.2,29

2.3.1 Seleksi Barisitas Larutan Anestesi Lokal


Anestesi lokal yang sering dipakai adalah bupivakain. Lidokain 5% sudah
ditinggalkan karena mempunyai efek neurotoksisitas, sehingga bupivakain menjadi
pilihan utama untuk anestesi spinal saat ini. Anestesi lokal dapat dibuat isobarik,
hiperbarik atau hipobarik terhadap cairan serebrospinal. Barisitas anestesi lokal
mempengaruhi penyebaran obat tergantung dari posisi pasien. Larutan hiperbarik
disebar oleh gravitasi, larutan hipobarik menyebar berlawanan arah dengan gravitasi
dan isobarik menyebar lokal pada tempat injeksi.
Setelah disuntikkan ke dalam ruang intratekal, penyebaran zat anestesi lokal
akan dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama yang berhubungan dengan, hukum
fisika dinamika dari zat yang disuntikkan, antara lain Barbotase (tindakan
menyuntikkan sebagian zat anestesi lokal ke dalam cairan serebrospinal, kemudian
dilakukan aspirasi bersama cairan serebrospinal dan penyuntikan kembali zat
anestesi lokal yang telah bercampur dengan cairan serebrospinal), volume, berat
jenis, dosis, tempat penyuntikan, posisi penderita saat atau sesudah penyuntikan.25

2.3.2 Dampak Fisiologis


a. Pengaruh terhadap sistem kardiovaskuler :

Universitas Sumatera Utara

Pada anestesi spinal tinggi terjadi penurunan aliran darah jantung dan
penghantaran (supply) oksigen miokardium yang sejalan dengan penurunan tekanan
arteri rata-rata. Penurunan tekanan darah yang terjadi sesuai dengan tinggi blok
simpatis, makin banyak segmen simpatis yang terblok makin besar penurunan
tekanan darah. Untuk menghindarkan terjadinya penurunan tekanan darah yang
hebat, sebelum dilakukan anestesi spinal diberikan cairan elektrolit NaC1 fisiologis
atau ringer laktat 10-20 ml/kgbb. Pada Anestesi spinal yang mencapai T4 dapat
terjadi penurunan frekwensi nadi dan penurunan tekanan darah dikarenakan
terjadinya blok saraf simpatis yang bersifat akselerator jantung.25

b. Terhadap sistem pernafasan :


Pada anestesi spinal blok motorik yang terjadi 2-3 segmen di bawah blok
sensorik, sehingga umumnya pada keadaan istirahat pernafasan tidak banyak
dipengaruhi. Tetapi apabila blok yang terjadi mencapai saraf frenikus yang
mempersarafi diafragma, dapat terjadi apnea.
c. Terhadap sistem pencernaan :
Oleh karena terjadi blok serabut simpatis preganglionik yang kerjanya
menghambat aktifitas saluran pencernaan (T4-5), maka aktifitas serabut saraf
parasimpatis menjadi lebih dominan, tetapi walapun demikian pada umumnya
peristaltik usus dan relaksasi spingter masih normal.
Pada anestesi spinal bisa terjadi mual dan muntah yang disebabkan karena
hipoksia serebri akibat dari hipotensi mendadak, atau tarikan pada pleksus terutama
yang melalui saraf vagus.25

Universitas Sumatera Utara

2.4

BUPIVAKAIN HIDROKLORIDA

Gambar 3. Rumus bangun Bupivacaine HCl

Bupivakain hidroklorida adalah obat anestesi lokal golongan amida dengan


rumus kimianya 2-piperidine karbonamida, 1 butyl (2,6- dimethilfenil) monoklorida.
Oleh karena lama kerja yang panjang, maka sangat mungkin menggunakan obat
anestesi lokal ini dengan teknik satu kali suntikan. Untuk prosedur pembedahan yang
lebih lama dapat dipasang kateter dan obat diberikan kontinyu sehingga resiko
toksisitas menjadi berkurang oleh karena selang waktu pemberian obat yang cukup
lama.
Kerugian dari anestesi lokal ini adalah toksisitasnya sangat hebat, bahkan
mungkin sampai fatal. Bukti-bukti menunjukkan bahwa obat ini dapat menimbulkan
toksisitas pada jantung. Manifestasi utamanya adalah fibrilasi jantung. Oleh karena
itu pada pemakaian jenis obat ini untuk anestesi regional diperlukan pengawasan
yang sangat ketat.25

2.4.1 Farmakologi
Mekanisme kerjanya sama seperti anestesi lokal lain, yaitu menghambat
impuls saraf dengan cara :
a. Mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium.

Universitas Sumatera Utara

Obat ini bekerja pada reseptor spesifik pada saluran sodium (sodium chanel).
Dengan demikian tidak terjadi proses depolarisasi dari membran sel saraf
sehingga tidak terjadi potensial aksi dan hasilnya tidak terjadi konduksi saraf.
b. Meninggikan tegangan permukaan selaput lipid monomolekuler. Obat ini bekerja
dengan meninggikan tegangan permukaan lapisan lipid yang merupakan
membran sel saraf, sehingga menutup pori-pori membran dengan demikian
menghambat gerak ion termasuk Na+ .
Sifat-sifat fisik yang mempengaruhi obat anestetika lokal adalah :
a. Ikatan protein :
Ikatan protein ini penting untuk persediaan dan pemeliharaan blokade saraf.
b. Konstanta disosiasi (pKa):
pKa adalah dimana 50% dari obat tersebut berada dalam bentuk terionisasi
dan 50% lainnya tidak terionisasi. Obat dengan pKa mendekati pH fisiologis
(7,4) akan memiliki bentuk ion-ion yang lebih banyak dibandingkan dengan
obat anestesi yang pKa nya lebih tinggi sehingga akan lebih mudah berdifusi
melalui membran, dengan demikian onsetnya lebih cepat. Bupivakain
mempunyai pKa lebih tinggi (8,1) sehingga mula kerja obat ini lebih lama
(5-10 menit) dan analgesia yang adekuat dicapai antara 15-20 menit.
c. Kelarutan dalam lemak
Obat anestesi lokal semakin tinggi kelarutan dalam lemak, maka semakin
poten dan semakin lama kerja obat tersebut. Struktur bupivakain identik
dengan mepivakain, perbedaannya terletak pada rantai yang lebih panjang
dengan tambahan tiga grup metil pada cincin piperidin. Tambahan struktur
ini menyebabkan peningkatan kelarutan bupivakain terhadap lemak serta
meningkatnya ikatan obat dengan protein. Potensi bupivakain 3-4 kali lebih
kuat dari mepivakain dan 8 kali dari prokain. Lama kerjanya 2-3 kali lebih
lama dibandingkan mepivakain sekitar 90-180 menit.25

Universitas Sumatera Utara

2.4.2 Metabolisme dan Ekskresi


Karena termasuk golongan amida, bupivakain dimetabolisme melalui proses
konjugasi oleh asam glukoronida di hati. Sebagian kecil diekskresi melalui urin
dalam bentuk utuh.

2.4.3 Bupivakain Hidroklorida Hiperbarik


Larutan bupivakain hidroklorida hiperbarik bupivakain adalah larutan
anestesi lokal bupivakain yang mempunyai berat jenis lebih besar dari berat jenis
cairan

serebrospinal

(1,003-1,008).

Cara

pembuatannya

adalah

dengan

menambahkan larutan glukosa kedalam larutan isobarik bupivakain.


Cara kerja larutan hiperbarik bupivakain adalah melalui mekanisme hukum
gravitasi, yaitu suatu zat/larutan yang mempunyai berat jenis yang lebih besar dari
larutan sekitarnya akan bergerak ke suatu tempat yang lebih rendah. Dengan
demikian larutan bupivakain hiperbarik yang mempunyai barisitas lebih besar akan
cepat ke daerah yang lebih rendah dibandingkan dengan larutan bupivakain yang
isobarik, sehingga mempercepat penyebaran larutan bupivakain hiperbarik tersebut.25

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4. Mekanisme Kerja Anestesi Lokal

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran larutan bupivakain hiperbarik


pada Anestesi spinal :
1. Gravitasi :
Cairan serebrospinal pada suhu 37C mempunyai BJ 1,003-1,008. Jika
larutan hiperbarik yang diberikan kedalam cairan serebrospinal akan bergerak
oleh gaya gravitasi ke tempat yang lebih rendah, sedangkan larutan hipobarik
akan bergerak berlawanan arah dengan gravitasi seperti menggantung dan jika
larutan isobarik akan tetap dan sesuai dengan tempat injeksi.
2. Postur tubuh :
Makin tinggi tubuh seseorang, makin panjang medula spinalisnya dan
volume dari cairan serebrospinal di bawah L2 makin banyak sehingga penderita
yang lebih tinggi memerlukan dosis yang lebih banyak dari pada yang pendek.
3. Tekanan intra abdomen :

Universitas Sumatera Utara

Peningkatan tekanan intra abdomen menyebabkan bendungan saluran


pembuluh darah vena abdomen dan juga pelebaran saluran-saluran vena di ruang
epidural bawah, sehingga ruang epidural akan menyempit dan akhirnya akan
menyebabkan penekanan ke ruang subarakhnoid sehingga cepat terjadi
penyebaran obat anestesi lokal ke kranial. Perlu pengurangan dosis pada keadaan
seperti ini.
4. Anatomi kolumna vertebralis :
Anatomi kolumna vertebralis akan mempengaruhi lekukan-lekukan saluran
serebrospinal, yang akhirnya akan mempengaruhi tinggi anestesi spinal pada
penggunaan anestesi lokal jenis hiperbarik.
5. Tempat penyuntikan :
Makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia yang dihasilkan makin
tinggi. Penyuntikan pada daerah L2-3 lebih memudahkan penyebaran obat ke
kranial dari pada penyuntikan pada L4-5.
6. Manuver valsava :
Setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan lebih besar jika tekanan
dalam cairan serebrospinal meningkat yaitu dengan cara mengedan.
7. Volume obat :
Efek volume larutan bupivakain hiperbarik pada suatu percobaan yang
dilakukan oleh Anellson, 1984, dikatakan bahwa penyebaran maksimal obat
kearah sefalad dibutuhkan waktu kurang lebih 20 menit pada semua jenis volume
obat( 1,5 cc, 2 cc, 3 cc dan 4 cc). Mula kerja untuk tercapainya blok motorik
akan bertambah pendek waktunya dengan bertambahnya volume. Makin besar
volume obat makin tinggi level blok sensoriknya.
8. Konsentrasi obat :
Dengan volume obat yang sama ternyata bupivakain 0,75% hiperbarik akan
menghasilkan penyebaran obat ke arah sefalad lebih tinggi beberapa segmen

Universitas Sumatera Utara

dibandingkan dengan bupivakain 0,5% hiperbarik (WA Chamber, 1981). Lama


kerja obat akan lebih panjang secara bermakna pada penambahan volume obat
bupivakain 0,75%. Demikian pula perubahan kardiovaskuler akan berbeda
bermakna pada bupivakain 0,75% hiperbarik.
9. Posisi tubuh :
Dalam suatu percobaan oleh J.A.W. Wildsmith dikatakan tidak ada
pengaruh penyebaran obat jenis obat larutan isobarik pada perubahan posisi
tubuh, sedangkan pada jenis larutan hiperbarik akan dipengaruhi posisi tubuh.
Pada larutan hiperbarik posisi terlentang bisa mencapai level blok T4 sedangkan
pada posisi duduk hanya mencapai T8.
10. Lateralisasi :
Lateralisasi pada larutan anestetika lokal jenis hiperbarik dapat dilakukan
dengan posisi berbaring miring (lateral dekubitus). Pada percobaan oleh J.A.W.
Wildsmith disimpulkan bahwa 5 menit setelah penyuntikan obat penyebaran obat
pada sisi tubuh sebelah bawah mencapai T10, sedangkan
kan sisi atas mencapai S1. 20
menit setelah obat disuntikkan, penyebaran obat pada sisi bawah mencapai T6,
sedangkan pada sisi atas mencapai T7.25

2.5. Neostigmin Methylsulfate

Gambar 5. Rumus Bangun Neostigmin Methylsulfate

Tersedia sebagai bromida dan garam methylsulfate


methylsulfate.
Sifat fisik : bubuk kristal putih yang tidak berbau dan mudah larut dalam air
air.. Merupakan
senyawa amonium kuarterner sintetis
sintetis, yang terdiri dari bagian karbamat dan gugus

Universitas Sumatera Utara

amonium kuarterner. Susunannya

memberikan ikatan kovalen acetylcholinesterase.

Molekul larut dalam lemak sehingga tidak bisa melewati sawar darah otak.

Neostigmin methylsulfate pertama kali dipergunakan pada tahun 1877


sebagai obat glaukoma dan pada tahun 1931 disintesis oleh Aeschliman dan Reinest
pada tahun1931dalam bentuk Neostigmin methylsulfate sebagai stimulan pada traktus

intestinal dan pengobatan miastenia gravis.


Neostigmin methylsulfate merupakan obat anti kolinesterase, termasuk
golongan kolinergik yaitu obat yang mempengaruhi sistem saraf otonom yang
bekerja pada reseptor. Terdapat 2 jenis reseptor kolinergik yaitu reseptor muskarinik
dan nikotinik. Reseptor muskarinik ditemukan pada organ afektor otonom, kelenjar
lakrimalis, pencernaan, gaster, dan otot polos. Sedangkan reseptor nikotinik terdapat
pada susunan saraf pusat, medula adrenal, ganglia otonom (simpatik/parasimpatik)
dan "neuromuscular junction". Obat anti kolinesterase bekerja pada kedua reseptor
dengan menghambat degradasi asetilkolin.30,31,32

2.5.1. Farmakokinetik
Neostigmin

kurang

diserap

melalui

oral.

Diberikan

secara

subkutan,

intramuskular dan intravena. Karena struktur quartenary ammonium, neostigmin


methylsulfate tidak melewati plasenta dan dalam dosis terapi juga tidak terdeteksi dalam
susu manusia. Neostigmine methylsulfate 15-25 % terikat serum albumin. Volume
distribusi besar karena lokalisasi jaringan yang luas. Neostigmin methylsulfate
mengalami hidrolisis oleh kholinesterase menjadi 3 - hidroksi fenil trimetil amonium (
3OH - PTM ) yang tidak aktif . Neostigmine methylsulfate juga dimetabolisme oleh
enzim mikrosomal dalam hati . Neostigmin methylsulfate dan 3OH - PTM diekskresikan
oleh ginjal ekskresi tubular dan proporsi yang sama dihancurkan oleh hati. Gagal ginjal
memperlambat klirens plasma neostigmin methylsulfate. Waktu paruh plasma neostigmin
methylsulfate adalah 30-50 menit.30,31,32

2.5.2. Farmakodinamik
Neostigmin methylsulfate adalah antikolinesterase yang menghambat hidrolisis
asetilkolin melalui mekanisme kompetisi dengan asetilkolin untuk berikatan dengan
asetilkolinesterase. Asetilkolin terakumulasi pada sinapsis kolinergik dan efeknya
memanjang dan meningkat.
A. Efek muskarinik.

Universitas Sumatera Utara

Sistem kardiovaskular : Biasanya mengurangi denyut jantung, cenderung untuk


mengurangi tekanan darah karena vasodilatasi perifer dan menyebabkan bradikardia.
Efek ini berlawanan dengan stimulasi ganglia simpatis.
Sistem pernapasan : menyebabkan penyempitan bronkiolus dan meningkatkan sekresi
trakeobronkial.
GIT: Meningkatkan tonus dan motilitas usus dan meningkatkan produksi asam lambung.
Eye: Menghasilkan miosis dan lakrimasi.
Kelenjar ludah : Meningkatkan sekresi saliva .

Efek Nikotinik
Otot rangka : Meningkatkan kekuatan otot dengan aksi antikolinesterase :
1.Dengan meningkatkan jumlah asetilkolin selama setiap impuls saraf.
2.Dengan langsung merangsang reseptor kholinoseptive pada motor end plate dengan
menyerupai kesamaan struktural dengan asetilkolin.
Otonom ganglia : Dalam dosis kecil merangsang ganglia simpatis, sedangkan di
dosis yang lebih besar itu menghambat simpatis . Obat ini tidak melewati sawar darah
otak dan efeknya kurang pada SSP.

2.5.3.

Neostigmin Methylsulfate Intratekal


Neostigmin methylsulfate intratekal

menghambat hidrolisis asetilkolin

dan

menghasilkan analgesia pada hewan dan manusia.

Pada penelitian kimia jaringan didapatkan penyebaran asetilkolinesterase pada sel di


kornu dorsal, yang demikian merupakan indikasi adanya aktifitas imunologi yang
dapat ditemukan pada dendrit dan akson di substantia gelatinosa. Para peneliti
menduga bahwa serabut saraf sensorik primer dapat merangsang saraf kolinergik di
kornu dorsal, asetilkolin dilepas oleh saraf-saraf lokal yang mendapat modulasi lewat
mekanisme pre dan post sinaptik, rangsangan dibawa oleh saraf aferen kecil.21

Universitas Sumatera Utara

Gambar 6. Mekanisme Kerja Cholinesterase Inhibitor


Agonis muskarinik dapat dirangsang dan dihambat pada berbagai sistem sel di kornu
dorsal, hal ini memungkinkan bekerjanya anti nosiseptik pada agonis muskarinik
spinal, pada akhirnya didapat 2 mekanisme yaitu satu interneuron penghambat
rangsang dan satu neuron produksi kornu dorsal yang hiperpolarisasi. Reseptor
muskarinik kolinergik spinal mempengaruhi efek antinosiseptik pada pemberian
intratekal

penghambat

asetilkolinesterase

(neostigmin

methylsulfate).

Efek

antinosiseptik terjadi karena aktivasi intrinsic asending dan desending cerebral


cholinergic pathways.

Pemberian neostigmin methylsulfate intratekal akan

menghambat hidrolisis asetilkolin di spinal sehingga konsentrasi dalam cairan


serebrospinal meningkat. Asetilkolin merupakan neurotransmiter dan bersifat
inhibisi neuron sensorik. Konsentrasi asetilkolin yang tinggi ini akan mengaktifkan
reseptor kolinergik di medula spinalis dan akan menghasilkan efek nosiseptik yang
baik. Dan telah diteliti reseptor ini berinteraksi dengan reseptor opioid dan reseptor
-2 adrenergik. Efek nosiseptik timbul akibat terjadinya hambatan neurotransmiter
yang dilepas oleh neurosensorik. Namun pada kenyataannya mekanisme ini masih
merupakan postulat untuk bermacam reseptor di medula spinalis seperti reseptor ,
-2 yang diketahui merupakan reseptor spesifik untuk rasa nyeri. Meskipun
demikian sifat dan farmakologi dari interaksi antara reseptor kolinergik, -2
adrenergik dan opioid masih belum jelas.

Universitas Sumatera Utara

Hood dkk membuktikan bahwa terjadi peningkatan kadar asetilkolin di


cairan serebrospinal setelah penyuntikan neostigmin ke dalam rongga subarakhnoid,
adanya penghambat asetilkolinesterase akan menyebabkan peningkatan tonus
reseptor kolinergik, sehingga kadar asetilkolin meningkat.
Neostigmin methylsulfate mempunyai efek analgetik melalui keterikatannya
pada reseptor muskarinik di substansia gelatinosa dan lamina III dan V substansia
grisea medula spinalis. Derajat analgesia setelah pemberian neostigmin methylsulfate
intratekal tergantung pada banyaknya asetilkolin yang dibebaskan di dalam susunan
saraf pusat. Telah dibuktikan pula bahwa neostigmin methylsulfate tidak bersifat
neurotoksik sehingga tidak membahayakan penderita. Efek samping seperti mual,
muntah dan gejolak kardiovaskuler (hipotensi, bradikardi), timbul bila terjadi
penyebaran obat ke batang otak.

Mual yang diinduksi neostigmin spinal adalah berhubungan dengan dosis, dan
apakah dosis kecil neostigmine spinal dapat menghasilkan analgesia berarti tanpa
mual menunggu uji klinis yang tepat. Karena opioid, biasanya diberikan pada
pasien paska operasi, juga menyebabkan mual, penelitian masa depan harus
menguji kemungkinan bahwa neostigmine spinal mungkin memperburuk mual
yang diinduksi reseptor opioid. Potensi neostigmin

methylsulfate intratekal

meningkat pada periode paska operasi, karena sistem saraf noradrenergik desenden
atau sistem spinal antinosiseptif kolinergik diaktifkan oleh stimulus nyeri terus
menerus menyebabkan peningkatan pelepasan asetilkolin yang

menghasilkan

neostigmine meningkatkan efek analgesia selektif.


Efek neurologis
Relawan yang menerima neostigmin methylsulfate intratekal menunjukkan
kelemahan motorik dan pengurangan refleks tendon pada ekstremitas bawah setelah dosis
yang lebih besar , kemudian onset efek yang sama pada ekstremitas atas. Efek motorik
asenden konsisten dengan penyebaran ke sefalad dari neostigmin dalam cairan
serebrospinal dan telah diamati pada manusia yang menerima dosis yang jauh lebih besar
dari neostigmin methylsulfate intratekal dan dianggap karena tindakan langsung pada
neuron motorik, daripada iskemia atau neurotoksik, karena neostigmin methylsulfate
dalam dosis besar tidak mengurangi aliran darah medula spinalis atau menyebabkan
perubahan histopatologi . Efek samping ini dapat membatasi penggunaan dosis besar
neostigmin methylsulfate intratekal untuk paska operasi atau manajemen nyeri kronis.
Sedasi dan kecemasan dikaitkan dengan injeksi spinal neostigmin 750g dan gejala ini

Universitas Sumatera Utara

bisa disebabkan stimulasi kolinergik sentral. Neostigmin methylsulfate intratekal bahkan


tidak menyebabkan perubahan dalam perhatian, memori atau koordinasi motorik.
Efek gastrointestinal
Mual dan muntah terjadi dengan peningkatan dosis setelah pemberian neostigmin
methylsulfate intratekal. Kemungkinan besar efek ini terjadi di batang otak, terlihat
lambat 30-90 menit setelah injeksi spinal. Mual dan muntah adalah efek samping yang
paling mengganggu yang dapat membatasi penggunaan neostigmin methylsulfate
intratekal dalam praktek klinis. Mual yang diinduksi Neostigmin methylsulfate adalah
bergantung dosis dan apakah dosis kecil neostigmin methylsulfate intratekal dapat
menghasilkan efek analgesia bermakna dengan atau tanpa mual membutuhkan uji klinis
yang tepat.
Sistem kardiovaskular
Berbeda dengan pemberian sistemik, dosis injeksi neostigmin methylsulfate
intratekal yang relatif besar meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung. Stimulasi
kardiovaskular dari neostigmine methylsulfate disebabkan oleh rangsangan pada neuron
simpatis

preganglionik

lebih

jelas

setelah

injeksi

langsung

ke

kolom

sel

interomediolateral, daripada setelah injeksi intratekal pada hewan dengan medulla


spinalis yang ukurannya sama dengan manusia. Dosis obat yang lebih kecil dapat
menjelaskan kurangnya stimulasi kardiovaskular yang diamati dengan dosis 500g dari
neostigmin methylsulfate.
Efek pernapasan
Diamati bahwa tidak ada efek neostigmin methylsulfate intratekal pada respirasi
kecuali penurunan angka end-tidal CO2 setelah dosis besar 750g dengan efek
hemodinamik

Efek terhadap sistem urologi


Pemberian sistemik neostigmin methylsulfate menyebabkan peningkatan tekanan
intravesika di kandung kemih , meskipun peran reseptor muskarinik spinal pada refleks
kandung kemih tidak dijelaskan. Meskipun retensi urin diamati pada pemberian
neostigmin methylsulfate intratekal dengan dosis lebih besar, durasi retensi urin lebih
singkat dibandingkan dengan morfin intratekal.9

Universitas Sumatera Utara

You might also like