You are on page 1of 30

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik,


ditandai oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek
kerja insulin atau keduanya.1
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global
diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366
juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia
dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada
tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun
2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya
50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka menderita
diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratur. 2
Peningkatan insidensi diabetes melitus di Indonesia tentu akan diikuti oleh
meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Berbagai
penelitian prospektif menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan
pembuluh darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefropati maupun
makrovaskular seperti penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah
tungkai bawah. Dengan demikian, pengetahuan mengenai diabetes dan komplikasi
vaskularnya menjadi penting untuk diketahui dan dimengerti 3

Latar belakang

American Diabetes Association (ADA) mendefinisikan KAD sebagai suatu


trias yang terdiri dari ketonemia, hiperglikemia dan asidosis. American Diabetes
Association menyarankan penggunaan pendekatan yang lebih pragmatis, yakni KAD
dicirikan dengan asidosis metabolik (pH <7,3), bikarbonat plasma <15 mmol/L,
glukosa plasma >250 mg/dL dan hasil carik celup plasma ( +) atau urin (++).

1,2,3

Patut diperhatikan bahwa masing-masing dari komponen penyebab KAD dapat


disebabkan oleh karena kelainan metabolik yang lain, sehingga memperluas diagnosis
bandingnya. 2,3
Data komunitas di Amerika serikat, Rochester menunjukkan bahwa insidens
KAD sebesar 8 per 1000 pasien, sedangkan untuk kelompok usia di bawah 30 tahun
sebesar 13,4 per 1000 pasien DM per tahun. Walaupun data komunitas di Indonesia
tidak sebanyak di negara barat, mengingat prevalensi DM tipe I yang rendah. Laporan
insidens KAD di Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit, terutama pada
pasien DM tipe II.
Penanganan pasien penderita ketoasidosis diabetikum adalah dengan
memperoleh riwayat menyeluruh dan tepat serta melaksanakan pemeriksaan fisik
sebagai upaya untuk mengidentifikasi kemungkinan faktor faktor pemicu. Pengobatan
utama terhadap kondisi ini adalah rehidrasi awal (dengan menggunakan isotonic
saline) dengan pergantian potassium serta terapi insulin dosis rendah. Penggunaan
bikarbonate tidak direkomendasikan pada kebanyakan pasien. Cerebral edema,
sebagai salah satu dari komplikasi ketoasidosis diabetikum yang paling langsung,
lebih umum terjadi pada anak anak dan anak remaja dibandingkan pada orang

dewasa. Follow-up pasien secara kontinu dengan menggunakan algoritma pengobatan


dan flow sheets dapat membantu meminimumkan akibat sebaliknya. Tindakan
tindakan preventif adalah pendidikan pasien serta instruksi kepada pasien untuk
segera menghubungi dokter sejak dini selama terjadinya penyakit
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KETOASIDOSIS DIABETIKUM
DEFINISI
Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan
metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama
disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif.1 KAD dan koma hipoglikemia
akibat OHO merupakan komplikasi akut diabetes melitus (DM) yang serius yang
membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya
mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat menyebabkan syok.3
Pada umumnya keton serum negatif dengan pemeriksaan metoda nitroprusid
pada dilusi 1:2, bikarbonat serum > 20 mEq/L, dan pH arterial > 7,3. Hiperglikemia
pada SHH biasanya lebih berat dari pada KAD; kadar glucosa darah > 600 mg/dL
biasanya dipakai sebagai kriteria diagnostik. SHH lebih sering terjadi pada usia tua
atau pada mereka yang baru didiagnosis sebagai diabetes dengan onset lambat. 4

ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Infeksi tetap merupakan faktor pencetus paling sering untuk KAD dan KHH, namun
beberapa penelitian terbaru menunjukkan penghentian atau kurangnya dosis insulin
dapat menjadi faktor pencetus penting. Patut diperhatikan bahwa terdapat sekitar 1022% pasien yang datang dengan diabetes awitan baru. Pada populasi orang Amerika
keturunan Afrika, KAD semakin sering diketemukan pada pasien dengan DM tipe 2,
sehingga konsep lama yang menyebutkan KAD jarang timbul pada DM tipe 2 kini
dinyatakan salah. 1,3
Infeksi yang paling sering diketemukan adalah pneumonia dan infeksi saluran kemih
yang mencakup antara 30% sampai 50% kasus. Penyakit medis lainnya yang dapat
mencetuskan KAD adalah penyalahgunaan alkohol, trauma, emboli pulmonal dan
infark miokard. Beberapa obat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat juga
dapat

menyebabkan

KAD

atau

KHH,

diantaranya

adalah:

kortikosteroid,

pentamidine, zat simpatomimetik, penyekat alpha dan beta serta penggunaan diuretik
berlebihan pada pasien lansia. 3

Peningkatan penggunaan pompa insulin yang menggunakan injeksi insulin kerja


pendek dalam jumlah kecil dan sering telah dikaitkan dengan peningkatan insidens
KAD secara signifikan bila dibandingkan dengan metode suntikan insulin
konvensional. Studi Diabetes Control and Complications Trial menunjukkan insidens
KAD meningkat kurang lebih dua kali lipat bila dibandingkan dengan kelompok
injeksi konvensional. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh penggunaan insulin kerja
pendek yang bila terganggu tidak meninggalkan cadangan untuk kontrol gula darah.3
Pada pasien-pasien muda dengan diabetes tipe 1, permasalahan psikologis yang
disertai dengan gangguan pola makan dapat menjadi pemicu keadaan KAD pada
kurang lebih 20% kasus. Faktor- faktor yang dapat menyebabkan pasien
menghentikan penggunaan insulin seperti ketakutan peningkatan berat badan,
ketakutan hipoglikemia, pemberontakan dari otoritas dan stres akibat penyakit kronik
juga dapat menjadi pemicu kejadian KAD. 2

EPIDEMIOLOGI
Insidensi KAD berdasarkan suatu penelitian population-based adalah antara
4.6 sampai 8 kejadian per 1,000 pasien diabetes. Adapun angka kejadian SHH < 1%.
(2) Pada penelitian retrospektif oleh Wachtel dan kawan-kawan ditemukan bahwa
dari 613 pasien yang diteliti, 22% adalah pasien KAD, 45% SHH dan 33%
merupakan campuran dari kedua keadaan tersebut. Pada penelitian tersebut ternyata
sepertiga dari mereka yang presentasi kliniknya campuran KAD dan SHH, adalah
mereka yang berusia lebih dari 60 tahun.5

Tingkat kematian pasien dengan ketoasidosis (KAD) adalah < 5% pada


sentrum yang berpengalaman, sedangkan tingkat kematian pasien dengan
hiperglikemia hiperosmoler (SHH) masih tinggi yaitu 15%. Prognosis keduanya lebih
buruk pada usia ekstrim yang disertai koma dan hipotensi.4,6
Bila mortalitas akibat KAD distratifikasi berdasarkan usia maka mortalitas
pada kelompok usia 60-69 tahun adalah 8%, kelompok usia 70-79 tahun 27%, dan
33% pada kelompok usia > 79 tahun. Untuk kasus SHH mortalitas berkisar antara
10% pada mereka yang berusia < 75 tahun, 19% untuk mereka yang berusia 75-84
tahun, dan 35% pada mereka yang berusia >84 tahun.5

PATOGENESIS
Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah defisiensi
insulin, relatif ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang meningkat.
Kadar insulin tidak adekuat untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang
normal dan untuk mensupresi ketogenesis. Hiperglikemia sendiri selanjutnya dapat
melemahkan kapasitas sekresi insulin dan menambah berat resistensi insulin sehingga
membentuk lingkaran setan dimana hiperglikemia bertambah berat dan produksi
insulin makin kurang.5

patogenesis DKA 13
Pada KAD, disamping kurangnya insulin yang efektif dalam darah, terjadi
juga peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon, katekholamin, kortisol,
dan hormon pertumbuhan. Hormon-hormon ini menyebabkan peningkatan produksi
glukosa oleh ginjal dan hepar dan gangguan utilisasi glukosa dijaringan, yang
mengakibatkan hiperglikemia dan perubahan osmolaritas extraseluler.4
Kombinasi

kekurangan

hormon

insulin

dan

meningkatnya

hormon

kontrainsulin pada KAD juga mengakibatkan penglepasan/release asam lemak bebas


dari jaringan adipose (lipolysis) ke dalam aliran darah dan oksidasi asam lemak hepar
menjadi benda keton (- hydroxybutyrate [-OHB] dan acetoacetate) tak terkendali,
sehingga mengakibatkan ketonemia dan asidosis metabolik. KAD dan SHH berkaitan
dengan glikosuria, yang menyebabkan diuresis osmotik, sehingga air, natrium,
kalium, dan elektrolit lain di ekskresikan lebih banyak.7

patofisiology DKA 14
FAKTOR PENCETUS
Krisis hiperglikemia pada diabetes tipe 2 biasanya terjadi karena ada keadaan
yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain :
1. Infeksi : meliputi 20 55% dari kasus krisis hiperglikemia dicetuskan oleh
Infeksi. Infeksinya dapat berupa : Pneumonia, Infeksi traktus urinarius, Abses,
Sepsis, dll.
2. Penyakit vaskular akut: Penyakit serebrovaskuler, Infark miokard akut ,
Emboli paru, Thrombosis V.Mesenterika
3. Trauma, luka bakar, hematom subdural.
4. Heat stroke

5. Kelainan gastrointestinal: Pankreatitis akut, Kholesistitis akut, Obstruksi


intestinal
6. Obat-obatan, dimana mengganggu metabolisme karbohidrat : Diuretika ( high
dose

thiazide

),

Steroid

(glucocorticoids),

sympathomimetic

agents

( dobutamine dan tarbutaline ) danLain-lain


Pada diabetes tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi karena yang
bersangkutan menghentikan suntikan insulin ataupun pengobatannya tidak adekuat.
Keadaan ini terjadi pada 20-40% kasus KAD. Pada pasien muda dengan DM tipe 1,
Permasalahan psikologis yang diperumit dengan gangguan makan berperan sebesar
20% dari seluruh faktor yang mencetuskan ketoasidosis. Faktor yang bisa mendorong
penghentian suntikan insulin pada pasien muda meliputi ketakutan akan naiknya berat
badan pada keadaan kontrol metabolisme yang baik, ketakutan akan jatuh dalam
hypoglikemia, pemberontakan terhadap otoritas, dan stres akibat penyakit kronis.5,12

MANIFESTASI KLINIS
Keadaan dekompensasi metabolik akut biasanya didahului oleh gejala
diabetes yang tidak terkontrol. Gejala-gejalanya antara lain lemah badan, pandangan
kabur, poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan muncul beberapa hari sebelum
masuk rumah sakit.6
KAD berkembang dengan cepat dalam waktu beberapa jam, sedangkan SHH
cenderung berkembang dalam beberapa hari yang mengakibatkan hiperosmolalitas.
Dehidrasi akan bertambah berat bila disertai pemakaian diurtika. Gejala tipikal
untuk dehidrasi adalah membran mukosa yang kering, turgor kulit menurun, hipotensi

dan takhikardia.Pada pasien tua mungkin sulit untuk menilai turgor kulit. Demikian
juga pasien dengan neuropati yang lama mungkin menunjukkan respons yang
berbeda terhadap keadaan dehidrasi. Status mental dapat bervariasi dari sadar penuh ,
letargi, sampai koma.6
Bau nafas seperti buah mengindikasikan adanya aseton yang dibentuk dengan
ketogenesis. Mungkin terjadi pernafasan Kussmaul sebagai mekanisme kompensasi
terhadap asidosis metabolik. Pada pasien-pasien SHH tertentu, gejala neurologi fokal
atau kejang mungkin merupakan gejala klinik yang dominant.4,6
Walaupun infeksi adalah faktor presipitasi yang sering untuk DKA dan SHH,
pasien dapat normotermik atau bahkan hipotermik terutama oleh karena vasodilatasi
perifer. Hipotermia, jika ada, adalah suatu petanda buruknya prognosis.8
Nyeri abdomen sering terjadi pada KAD. Diperlukan perhatian khusus untuk
pasien yang mengeluh nyeri abdomen, sebab gejala ini bisa merupakan akibat
ataupun faktor penyebab (terutama pada pasien muda) DKA Evaluasi lebih lanjut
harus dilakukan jika keluhan ini tidak berkurang dengan perbaikan dehidrasi dan
asidosis metabolik.5

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Evaluasi Laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD atau SHH
meliputi penentuan kadar glukosa plasma, urea nitrogen/kreatinin serum, keton,
elektrolit atau anion gap (perbedaan anion-kation yang tinggi), osmolaritas, analisa
urine, benda keton urin dengan dipstik, analisa gas darah pemeriksaan sel darah
lengkap dengan hitung jenis, dan elektrokardiogram. Kultur bakteri dari air seni,

10

darah, dan tenggorokan dan lain-lain harus dilakukan dan antibiotik yang sesuai harus
diberikan jika dicurigai ada infeksi.6
HbA1c mungkin bermanfaat untuk menentukan apakah episode akut ini
adalah akumulasi dari suatu proses evolusiner yang tidak didiagnosis atau DM yang
tidak terkontrol ,atau suatu episode akut pada pasien yang terkendali dengan baik.
Foto thorax harus dikerjakan jika ada indikasi.9
Konsentrasi natrium serum pada umumnya berkurang oleh karena perubahan
osmotik yang terjadi terus menerus dari intrasellular ke extracellular dalam keadaan
hiperglikemia. Konsentrasi kalium serum mungkin meningkat oleh karena pergeseran
kalium

extracellular

yang

disebabkan

oleh

kekurangan

hormon

insulin,

hypertonisitas, dan asidemia. Pasien dengan konsentrasi kalium serum rendah atau
low- normal pada saat masuk, mungkin akan kekurangan kalium yang berat pada saat
perawatan sehingga perlu diberi kalium dan perlu monitoring jantung yang ketat,
sebab terapi krisis hiperglikemia akan menurunkan kalium lebih lanjut dan dapat
menimbulkan disritmia jantung.4
Adanya stupor atau koma pada pasien DM tanpa peningkatan osmolalitas
efektif ( > 320 mOsm/kg) perlu pertimbangan kemungkinan lain penyebab perubahan
status mental. Pada mayoritas pasien DKA kadar amilase meningkat, tetapi ini
mungkin berkaitan dengan sumber nonpankreatik. Serum lipase bermanfaat untuk
menentukan diagnosa banding dengan pankreatitis. Nyeri abdominal dan peningkatan
kadar amilase dan enzim hati lebih sering terjadi pada DKA dibandingkan dengan
SHH.6

11

Kriteria diagnosis KAD:3


a.kadar glukosa > 250 mg/dl
b.pH < 7,35
c.HCO3- rendah
d.Anion gap yang tinggi
e.Keton serum positif

DIAGNOSIS BANDING
Tidak semua pasien dengan ketoasidosis adalah KAD. Ketosis karena
kelaparan (starvation) dan ketoasidosis alkoholik (KAA) dibedakan dengan
anamnesis dan konsentrasi glukosa plasma yang terentang dari sedikit meningkat
(jarang > 250 mg/dl) sampai hipoglikemia. Sebagai tambahan, walaupun KAA dapat
mengakibatkan asidosis, konsentrasi bikarbonat serum pada keadaan ketosis
kelaparan biasanya lebih dari 18 mEq/l.4
KAD harus pula dibedakan dari penyebab lain terjadinya asidosis metabolik
yang tinggi anion gap seperti acidosis laktat, minum obat-obatan seperti salicylate,
metanol, ethylene glycol, dan paraldehyde, dan gagal ginjal kronis ( dimana lebih
khas asidosis hiperkhloremia daripada high-anion gap acidosis). Riwayat intoksikasi
obat atau menggunakan metformin harus dicari.6

PENATALAKSANAAN
Kebehasilan pengobatan KAD membutuhkan koreksi dehidrasi, hiperglikemia
dan gangguan keseimbangan elektrolit; identifikasi komorbid yang merupakan faktor

12

presipitasi; dan yang sangat penting adalah perlu dilakukan monitoring pasien yang
ketat. Faktor presipitasi diobati, serta langkah-langkah pencegahan rekurensi perlu
dilaksanakan dengan baik.5,6

TERAPI CAIRAN
Prinsip-prinsip pengelolaan KAD ialah :
1)
2)

Penggantian cairan dan garam yang hilang


Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoeogenesis sel hati dengan

pemberian insulin
3)
4)

Mengatasi stres sebagai pncetus KAD


Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya

pemantauan serta penyesuaian pengobatan.


Pasien dewasa
Terapi cairan pada awalnya

ditujukan untuk memperbaiki volume

intravascular dan extravascular dan mempertahankan perfusi ginjal. Terapi cairan


juga akan menurunkan kadar glukosa darah tanpa bergantung pada insulin, dan
menurunkan kadar hormon kontra insulin (dengan demikian dapat memperbaiki
sensitivitas terhadap insulin).6

13

14

Pada keadaan tanpa kelainan jantung, NaCl 0.9% diberikan sebanyak 1520
ml/kg berat badan/jam atau lebih besar pada jam pertama (11.5 l untuk rata-rata
orang dewasa). Pilihan yang berikut untuk mengganti cairan tergantung pada status
hidrasi, kadar elektrolit darah, dan banyaknya urin. Secara umum, NaCl 0.45%
diberikan sebanyak 414 ml/kg/jam jika natrium serum meningkat atau normal; NaCl
0.9% diberikan dengan jumlah yang sama jika Na serum rendah. Selama fungsi ginjal
diyakini baik, maka perlu ditambahkan 2030 mEq/l kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4)
sampai pasien stabil dan dapat diberikan secara oral.4
Keberhasilan

penggantian

cairan

dapat

dilihat

dengan

pemantauan

hemodinamik (perbaikan dalam tekanan darah), pengukuran input/output cairan, dan


pemeriksaan fisik. Penggantian cairan diharapkan dapat mengkoreksi defisit dalam 24
jam pertama. Perbaikan osmolaritas serum mestinya tidak melebihi 3 mOsm. Pada
pasien dengan gangguan ginjal atau jantung, pemantauan osmolaritas serum dan
penilaian jantung, ginjal, dan status mental harus sering dilakukan selama pemberian
cairan untuk menghindari overload yang iatrogenic. 7,9

15

Pasien berusia < 20 tahun


Terapi cairan pada awalnya

ditujukan untuk memperbaiki volume

intravascular dan extravascular ,dan mempertahankan perfusi ginjal. Kebutuhan


untuk mempertahankan volume vaskuler harus disesuaikan untuk menghindari risiko
edema cerebral karena pemberian cairan yang terlalu cepat. Dalam 1 jam pertama
cairan yang bersifat isotonik (NaCl 0.9%) sebanyak 1020 ml/kgbb/jam. Pada pasien
dengan dehidrasi berat, pemberian ini perlu diulang, tetapi awal pemberian kembali
mestinya tidak melebihi 50 ml/kg pada 4 jam pertama therapy. Terapi Cairan
selanjutnya untuk menggantikan defisit cairan dilakukan dalam 48 jam. Secara umum
NaCl, 0.450.9% ( tergantung pada kadar sodium serum) diberikan dengan kecepatan
1.5 kali dari kebutuhan pemeliharaan selama 24 jam ( 5 ml/kg/jam) akan mencukupi
kebutuhan rehidrasi, dengan penurunan osmolaritas tidak melebihi 3 mOsm kg-1
H2O h-1. Sekali lagi jika fungsi ginjal diyakini baik dan kalium serum diketahui,
maka perlu diberikan 2040 mEq/l kalium (2/3 KCl atau potassium-acetate dan 1/3
KPO4). Jika glukosa serum mencapai 250 mg/dl, cairan harus diubah menjadi
dextrose 5% dan NaCl 0.450.75%, dengan kalium seperti diuraikan di atas.6
Pengelolaan juga meliputi pemantauan status mental agar dapat dengan cepat
mengidentifikasi perubahan apabila terjadi overload yang iatrogenik, yang dapat
mengakibatkan edema cerebral.8

TERAPI INSULIN
Pada keadaan KAD ringan (gambar 8), insulin reguler diberikan dengan infus
intravena secara kontinu adalah terapi pilihan. Pada pasien dewasa, jika tidak ada

16

hipokalemia ( K+ < 3.3 mEq/l, maka pemberian insulin intravena secara bolus dengan
dosis 0.15 unit/kg bb, diikuti pemberian insulin reguler secara infus intravena yang
kontinu dengan dosis 0.1 unit kgBB/jam (57 unit/jam pada orang dewasa).
Pemberian insulin secara bolus tidak dianjurkan pada pasien pediatrik; pemberian
insulin reguler dengan infus intravena secara kontinu dengan dosis 0.1 unit kgBB/hr
dapat diberikan pada pasien- pasien tersebut. Dosis insulin rendah ini pada umumnya
dapat menurunkan konsentrasi glukosa plasma sebanyak 5075 mg/dl sebanding
dengan pemberian insulin dosis tinggi.4,7
Jika plasma glukosa tidak turun sebanyak 50 mg/dl dari awal pada jam
pertama, periksa dulu status hidrasi; jika baik, infus insulin dapat digandakan tiap jam
sampai tercapai penurunan glukosa yang stabil antara 50 dan 75 mg/jam dicapai.7
Ketika glukosa plasma mencapai 250 mg/dl untuk KAD atau 300 mg/dl untuk
SHH, mungkin dosis insulin perlu diturunkan menjadi 0.050.1 unit kgBB/jam ( 36
units/jam), dan dextrose ( 510%) ditambahkan pada cairan intravena. Sesudah itu,
dosis insulin atau konsentrasi dextrose perlu disesuaikan untuk memelihara rata-rata
kadar glukosa sampai asidosis pada KAD atau status mental dan hyperosmolaritas
pada SHH membaik.7

17

Gambar 8 Tabel panduan penggunaan insulin pada KAD15

Ketonemia biasanya lebih lama hilang dibandingkan dengan hiperglikemia.


Pengukuran -OHB dalam darah secara langsung adalah metoda yang lebih disukai
untuk pemantauan KAD. Metoda Nitroprusside hanya mengukur aseton dan asam
acetoacetic. Bagaimanapun, -OHB, asam yang paling banyak dan paling kuat pada
KAD, tidaklah terukur dengan metoda nitroprusside. Selama therapy, -OHB
dikonversi ke asam asetoacetik, yang membuat para klinisi percaya bahwa ketosis
memperburuk keadaan. Oleh karena itu, penilaian benda keton dari urin atau serum
dengan metoda nitroprusside tidak digunakan sebagai suatu indikator terapi. Selama
terapi untuk KAD atau SHH, darah harus diperiksa tiap 24 jam untuk memeriksa
elektrolit serum, glukosa, urea-N, creatinine, osmolaritas, dan pH vena (untuk DKA).
Biasanya, analisa gas darah tidak perlu dilakukan berulang-ulang ; pH vena (pada

18

umumnya 0.03 unit lebih rendah dari pH arteri) dan gap anion dapat diikuti, untuk
memonitor resolusi asidosis.9
Pada KAD yang ringan, insulin reguler baik secara subkutan maupun
intramuskular tiap jam adalah sama efektif seperti pemberian intravena dalam
menurunkan glukosa darah dan benda keton . Pertama-tama diberikan dosis dasar
sebanyak 0.40.6 units/kg bb, separuh sebagai suntikan bolus intravena, dan setengah
secara subkutan atau intramuskular . Sesudah itu, 0.1 unit kgBB/jam insulin reguler
diberi secara subkutan atau intramuscular.6,7
Kriteria untuk resolusi KAD meliputi kadar glukosa < 200 mg/dl, bikarbonat
serum > 18 mEq/l, dan pH vena > 7.3. Bila KAD membaik, dan pasien masih NPO
(Nothing Per Oral), insulin intravena yang kontinyu dan penggantian cairan
dilanjutkan dan ditambah dengan suplemen insulin subcutan sesuai kebutuhan tiap 4
jam.4
Ketika pasien sudah bisa makan, jadwal multiple-dose harus dimulai
menggunakan kombinasi insulin kerja pendek/singkat dengan insulin kerja menengah
atau lama untuk mengendalikan glukosa plasma. Pemberian insulin intravena tetap
diberikan untuk 12 jam setelah regimen campuran insulin dimulai untuk memastikan
hormon insulin plasma cukup. Suatu penghentian mendadak insulin intravena dengan
penundaan insulin subcutan akan memperburuk keadaan; oleh karena itu, perlu
diberikan insulin intravena dan inisiasi subkutan secara bersamaan.4
Pasien yang telah diketahui menderita diabetes dapat diberikan insulin dengan
dosis seperti sebelum mereka terkena serangan KAD atau SHH dan jika dibutuhkan
dilakukan penyesuaian. Pada pasien diabetes yang baru, total insulin awal mungkin

19

berkisar antara 0.51.0 unit kgBB/jam dibagi menjadi sedikitnya dua dosis dalam
bentuk campuran insulin kerja pendek dan panjang sampai mencapai suatu dosis
optimal yang diinginkan.Akan tetapi perlu diingat bahwa dosis insulin ini sangat
individual. Pada akhirnya, ada penderita-penderita DM tipe 2 yang bisa diberi obat
anti hiperglikemia oral dan pengaturan diet.9
KALIUM
Untuk mencegah hipokalemia, penambahan kalium diindikasikan pada saat
kadar dalam darah dibawah 5.5 mEq/l, dengan catatan output urin cukup. Biasanya,
2030 mEq kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada setiap liter cairan infus cukup
untuk mempertahankan konsentrasi kalium serum antara 45 mEq/l. Penderita
dengan KAD jarang menunjukkan keadaan hipokalemia yang berat. Pada kasus-kasus
demikian, kalium penggantian harus dimulai bersamaan dengan cairan infus, dan
terapi insulin harus ditunda sampai konsentrasi kalium > 3.3 mEq/l untuk
menghindari aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot pernapasan.6
Di samping kekurangan kalium dalam tubuh, hiperkalemia ringan sampai
sedang sering terjadi pada penderita dengan krisis hiperglikemia. Terapi insulin,
koreksi asidosis, dan penambahan volume cairan akan menurunkan konsentrasi
kalium serum.5,6
BIKARBONAT
Penggunaan larutan bikarbonat pada KAD masih merupakan kontroversi.
Pada pH > 7.0, aktifitas insulin memblok lipolysis dan ketoacidosis dapat hilang
tanpa penambahan bikarbonat. Beberapa penelitian prospektif gagal membuktikan

20

adanya keuntungan atau perbaikan pada angka morbiditas dan mortalitas dengan
pemberian bikarbonat pada penderita KAD dengan pH antara 6.9 dan 7.1.5
Tidak ada laporan randomized study mengenai penggunaan bikarbonat pada
KAD dengan pH < 6.9. Asidosis yang berat menyebabkan efek vaskuler yang kurang
baik, jadi sangat bijaksana pada pasien orang dewasa dengan pH < 6.9, diberikan
sodium bikarbonat. Tidak perlu tambahan bikarbonat jika pH > 7.0.
Pemberian insulin, seperti halnya bikarbonat, menurunkan kalium serum; oleh
karena itu supplemen Kalium harus diberikan dalam cairan infus seperti diuraikan di
atas dan harus dimonitor dengan ketat. Sesudah itu, pH aliran darah vena harus diukur
tiap 2 jam sampai pH mencapai 7.0, dan terapi bikarbonat harus diulangi tiap 2 jam
jika perlu.4,5,6

FOSFAT
Pada KAD serum fosfat biasanya normal atau meningkat. Konsentrasi fosfat
berkurang dengan pemberian terapi insulin. Beberapa penelitian prospektif gagal
membuktikan adanya keuntungan dengan penggantian fosfat pada KAD.4,5
Pemberian fosfat yang berlebihan dapat menyebabkan hypocalcemia yang
berat tanpa adanya gejala tetani. Bagaimanapun, untuk menghindari kelainan jantung
dan kelemahan otot dan depresi pernapasan oleh karena hipofosfatemia, penggantian
fosfat kadang- kadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan jantung, anemia,
atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan konsentrasi fosfat serum < 1.0

21

mg/dl. Blia diperlukan, 2030 mEq/l kalium fosfat dapat ditambahkan ke larutan
pengganti. Tidak ada studi mengenai penggunaan fosfat dalam SSH.4,5

Penangan KAD 13
KOMPLIKASI
Komplikasi pada krisis hiperglikemik dapat terjadi akibat KAD/SHH dan
komplikasi akibat pengobatan:
Penyulit KAD dan SHH yang paling sering adalah hipoglikemia dalam kaitan
dengan pemberian insulin yang berlebihan, hipokalemia dalam kaitan dengan
pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder
akibat penghentian insulin intravena setelah perbaikan tanpa pemenuhan yang cukup
dengan insulin subkutan. Biasanya, pasien yang sembuh dari KAD menjadi
hyperkhloremi disebabkan oleh penggunaan larutan saline berlebihan untuk

22

penggantian cairan dan elektrolit dan asidosis metabolik non-anion gap yang
sementara dimana khlorida dari cairan intravena menggantikan anion yang hilang
dalam bentuk sodium dan garam-kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokimia
ini adalah sementara dan secara klinik tidak penting kecuali jika terjadi gagal ginjal
akut atau oliguria yang ekstrim.9
Edema cerebral adalah suatu kejadian yang jarang tetapi merupakan
komplikasi KAD yang fatal, dan terjadi 0.71.0% pada anak-anak dengan DKA.
Umumnya terjadi pada anak-anak dengan DM yang baru didiagnosis, tetapi juga
dilaporkan pada anak-anak yang telah diketahui DM dan pada orang-orang umur
duapuluhan.5,8
Kasus yang fatal dari edema cerebral ini telah pula dilaporkan pada SHH.
Secara klinis, edema cerebral ditandai oleh perubahan tingkat kesadaran, dengan
letargi, dan sakit kepala. Gangguan neurologi mungkin terjadi secara cepat, dengan
kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradycardia, dan gagal nafas. Gejala ini
makin menghebat jika terjadi herniasi batang otak. Perburukan ini terjadi sangat cepat
walaupun papilledema tidak ditemukan Bila terjadi gejala klinis selain dari kelesuan
dan perubahan tingkah laku , angka kematian tinggi (> 70%), dengan hanya 714%
pasien yang sembuh tanpa kelainan yang permanen. Walaupun mekanisme dari
edema cerebral tidak diketahui diduga diakibatkan oleh perubahan osmolaritas dari
air pada sistem saraf pusat dimana terjadi penurunan osmolaritas dengan cepat pada
terapi KAD atau SHH.9
Kurangnya informasi yang berhubungan dengan angka morbiditas edema
cerebral pada pasien orang dewasa; oleh karena itu, rekomendasi penilaian untuk

23

pasien orang dewasa lebih secara klinis, daripada bukti ilmiah. Pencegahan yang
mungkin dapat mengurangi resiko edema cerebral pada pasien dengan resiko tinggi
adalah dengan penggantian defisit air dan natrium berangsur- angsur dengan perlahan
pada pasien yang hyperosmolar (maksimal pengurangan osmolaritas 3 mOsm. dan
penambahan dextrose dalam larutan hidrasi saat glukosa darah mencapai 250 mg/dl.
Pada SHH, kadar glukosa darah harus dipertahankan antara 250-300 mg/dl sampai
keadaan hiperosmoler dan status mental perbaikan, dan pasien menjadi stabil.8
Hypoxemia dan edema paru-paru yang nonkardiogenik dapat terjadi saat
terapi KAD. Hypoxemia disebabkan oleh suatu pengurangan dalam tekanan osmotik
koloid yang mengakibatkan penambahan cairan dalam paru-paru dan penurunan
compliance paru-paru. Pasien dengan KAD yang mempunyai suatu gradien oksigen
alveolo- arteriolar yng lebar pada saat pengukuran analisa gas darah awal atau
ditemukannya ronkhi saat pemeriksaan fisik berisiko lebih tinggi untuk terjadinya
edema paru.8
Peningkatan kadar amilase dan lipase yang non spesifik dapat terjadi pada
KAD maupun SHH. Pada penelitian Yadav dan kawan-kawan, peningkatan amilase
dan lipase terjadi pada 16 25% kasus KAD. Kadar amilase dan lipase dapat
meingkat sampai lebih dari 3 kali nilai normal tanpa bukti klinik dan CT-scan
pankreatitis. Walaupun demikian, pankreatitis akut dapat juga terjadi pada 10 15%
kasus KAD.9
Dilatasi gaster akut akibat gastroparesis yang diinduksi oleh keadaan
hipertonisitas merupakan komplikasi yang jarang terjadi tetapi dapat fatal. Pada
keadaan ini risiko untuk terjadinya perdarahan gastrointestinal lebih besar. Mungkin

24

diperlukan dekompresi dengan naso-gastric tube dan pemberian agen-agen penurun


asam lambung sebagai tindakan profilaksis.5

PENCEGAHAN
Banyak kasus KAD dapat dicegah dengan perawatan medik yang baik,
edukasi yang sesuai, dan komunikasi efektif dari tenaga kesehatan selama belum
timbulnya penyakit. Sick-day management harus mendapat perhatian. Hal ini
meliputi informasi spesifik pada
1. kapan menghubungi sarana pelayanan kesehatan
2. target glukosa darah dan penggunaan short-acting insulin selama penyakit
3. mengobati demam dan infeksi
4. inisiasi dari suatu diet cairan yang mudah dicerna yang mengandung
karbohidrat dan garam. Yang paling penting, pasien harus dinasehatkan untuk
tidak pernah menghentikan insulin dan untuk mencari dokter saat mulai sakit .
Sick-Day Management yang berhasil tergantung pada keterlibatan pasien dan
anggota keluarganya. Pasien atau anggota keluarganya harus mampu dengan teliti
mengukur dan mencatat kadar glukosa darah, benda keton pada urin atau darah ketika
glukosa darah > 300 mg/dl, dosis insulin, suhu badan, frekuensi pernafasan dan
denyut nadi permenit, dan berat badan. Pengawasan yang cukup dan sangat
membantu dari staff atau keluarga dapat mencegah terjadinya SHH dalam kaitan
dengan keadaan dehidrasi pada individu tua yang tidak mampu untuk mengenali atau
menghindari kondisi ini. Edukasi yang baik harus diberikan sehingga pasien
mengenai tanda dan gejala new- onset diabetes; kondisi-kondisi, prosedur, dan obat-

25

obatan yang memperburuk kendali kencing manis; dan monitoring glukosa dapat
mengurangi kejadian dan beratnya SHH.6,5

BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
1.

Ketoasidosis diabetik (disingkat KAD) merupakan komplikasi


metabolik akut paling serius pada pasien diabetes melitus. Manifestasi
utamanya adalah kekurangan insulin dan hiperglikemia yang berat.
KAD terjadi bila kekurangan insulin yang berat tidak saja
menimbulkan hiperglikemia dan dehidrasi yang berat tapi juga
mengakibatkan produksi keton meningkat serta asidosis.

2.

Diagnosis KAD ditegakkan bila ditemukan hiperglikemia ( 250


mg/dL), ketosis darah atau urin, dan asidemia (pH < 7.3).

3.

Terapi bertujuan mengoreksi kelainan patofisiologis yang mendasari,


yaitu gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, kadar glukosa
darah, gangguan asam basa, serta mengobati faktor pencetus.

4.

Prinsip terapi KAD terdiri dari pemberian cairan, terapi insulin,


koreksi kalium, dan bikarbonat.

5.

Komplikasi KAD dapat berupa edema paru, hipertrigliseridemia,


infark miokard akut dan komplikasi iatrogenik. Komplikasi iatrogenik

26

tersebut ialah hipoglikemia, hiperkloremia, hipokalemia, edema otak,


dan hipokalsemia.
SARAN
Ketoasidosis diabetikum sering terjadi akbat adanya faktor infeksi dan
penghentian obat insulin atau OHO. Perlunya upaya pencegahan merupakan hal
terpenting untuk mencegah timbulnya kasus KAD. Program edukasi perlu
menekankan pada cara-cara mengatasi saat sakit akut, meliputi informasi mengenai
pemberian insulin kerja cepat, target kadar glukosa darah pada saat sakit, mengatasi
demam dan infeksi, memulai pemberian makanan cair yang mengandung karbohidrat
garam yang mudah dicerna. Yang paling penting ialah agar tidak menghentikan
pemberian insulin atau OHO dan sebaiknya segera mencari pertolongan atau nasehat
tenaga kesehatan yang profesional.
Pasien DM harus didorong untuk perawatan mandiri terutama saat mengalmi
masa-masa sakit, dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah dan keton urine
sendiri. Di sinilah pentingnya edukaror diabetes yang dapat membantu pasien dan
keluarga, terutama padaa keadaan sulit.

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya, Diagnosis,
dan Strategi Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III.
Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1920
2. Murray, Robert K. Harpers biochemistry, Ed. 25, Appleton and Lange,
2000:603-609.
3. Allan Graw, et.al, Clinical Biochemistry, Churchill Livingstone, Toronto,
1999; 56-63.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid III. Ed. IV, cet. ke-2- dkk. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 2007.
5. Kitabchi AE, Fisher JN, Murphy MB , Rumbak MJ : Diabetic ketoacidosis
and the hyperglycemic hyperosmolar nonketotic state. In Joslins Diabetes
Mellitus. 13th ed. Kahn CR, Weir GC, Eds. Philadelphia, Lea & Febiger,
1994, p. 738770
6. Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ . Acute hyperglycemic crisis in elderly.
Med Cli N Am 88: 1063-1084, 2004.
7. Hyperglycemic crises in patients with diabetes mellitus.American Diabetes
Association. Diabetes Care vol27 supplement1 2004, S94-S102.

28

8. Ennis ED, Stahl EJ, Kreisberg RA : Diabetic ketoacidosis. In Diabetes


Mellitus :Theory and practice. 5th ed.Porte D Jr, Sherwin RS, Ed. Amsterdam,
Elsevier,1997, 827-844.
9. Rosenbloom AL : Intracerebral crises during treatment of diabetic
ketoacidosis. Diabetes Care 13: 22-23, 1990 .
10. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar
ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III.
Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1857.
11. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2
di Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011.
12. Diabetic ketoacidosis and hyperosmolar hyperglycemic state in adults:
Clinical features, evaluation, and diagnosis.Abbas E Kitabchi, PhD, MD,
FACP,.http://www.uptodate.com/contents/diabetic-ketoacidosis-andhyperosmolar-hyperglycemic-state-in-adults-clinical-features-evaluation-anddiagnosis. Jan 2015. | this topic last update: Jul 02, 2014.
13. Dyanne western, Diabetic Ketoacidosis;Evaluation and Treatment. Cooper
Medical School of Rowan University, Camden, New
JerseyAmFamPhysician.2013Mar1;87(5):337
346.http://www.aafp.org/afp/2013/0301/p337.html.

sited,

20

februari 2015.
14. Dr Adrian Scott, Sheffield Teaching Hospitals NHS Foundation
Trust

Anne

Claydon,

Barts

Health

NHS

Trust

The

management of the hyperosmolar hyperglycaemic state


(HHS) in adults with diabetes, Joint British Diabetes Societies
Inpatient Care Group. August 2012 http://www.diabetologistsabcd.org.uk/JBDS/JBDS_IP_HHS_Adults.pdf, sited; 20 februari 2015.
15. Van den Berghe G, Wouters P, Weekers F, et al. Intensive insulin therapy in
critically ill patients. N Engl J Med 345: 1359-1367, 2001.

29

16. 1. Hyperglycaemic crises and lactic acidosis in diabetes


mellitus. English, P and Williams, G. Liverpool : s.n., October
2003, Postgrad Med, Vol. 80, pp. 253-261.
17. 2. Hyperglycemic Crises in Diabetes. Kitabchi, AE, et al.
Suplement 1, January 1, 2004, Diabetes Care, Vol. 27, pp.
S94-S102.
18. 3. Management of hyperglycemic crises in patients with
diabetes. Kitabchi, AE, et al. 1, January 1, 2001, Vol. 24, pp.
131-153.
19. 4.

Centers

for

Disease

Control,

Division

of

Diabetes

Translations. Diabetes Surveillance 2001. Centers for Disease


Control Website. [Online] January 18,2005. [Cited: May 22,
2009.] http://www.cdc.gov/diabetes/statistics/.
20. 5. Diabetic ketoacidosis in type 1 and type 2 diabetes
mellitus:

Clinical

and

biochemical

differences.

Newton,

Christopher A and Raskin, Phillip. September 27, 2004,


Archive of Internal Medicine, Vol. 164, pp. 1925-1931.

30

You might also like