You are on page 1of 20

BAB 1

PENDAHULUAN
Perilaku seksual bervariasi dan ditentukan oleh suatu interaksi faktor-faktor yang
kompleks. Seksualitas ditentukan oleh anatomi, fisiologi, psikologi, kultur dimana orang
tinggal, hubungan seseorang dengan orang lain, dan mencerminkan perkembangan
pengalaman seks selama sikluskehidupannya. Ini termasuk persepsi sebagai laki-laki atau
wanita dan semua pikiran, perasaan, dan perilaku yang berhubungan dengan kepuasan dan
reproduksi, termasuk ketertarikan dari seseorang terhadap orang lain (McManus MA et al,
2013).
Seksualitas normal termasuk hasrat, perilaku yang menimbulkan kenikmatan pada
dirinya dan pasangannya, dan stimulasi organ seks primer termasuk koitus tanpa disertai rasa
bersalah, atau kecemasan, dan tidak kompulsif. Pada beberapa konteks seks diluar
pernikahan, masturbasi, dan bebagai bentuk stimulasi seksual terhadap organ selain seksual
primer mungkin masih dalam batas normal (Maramis WF et al, 2009).
Seksualitas seseorang dan kepribadian keseluruhan adalah sangat terjalin sehingga
tidak mungkin untuk membicarakan seksualitas sebagai bagian yang terpisah. Seksualitas
seseorang tergantung pada empat faktor-faktor yang saling berhubungan yaitu identitas
seksual, identitas jenis kelamin, orientasi seksual, dan perilaku seksual. Faktor-faktor tersebut
mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan fungsi kepribadian dan keseluhannya
dinamakan faktor psikoseksual. Fungsi utama perilaku seksual bagi manusia adalah
membentuk ikatan, untuk mengekspresikan dan meningkatkan cinta antara dua orang, dan
untuk mendapatkan keturunan (Rusadi M, 2013)
Pada referat ini, kita akan membahas tentang parafilia yang pada PPDGJ disebut
sebagai gangguan preferensi seksual (F65). Istilah parafilia diciptakan oleh Wilhelm Stekel
pada 1920an. Parafilia merupakan istilah untuk segala sesuatu mengenai kebiasaan seksual,
gairah seksual, atau kepuasan terhadap perilaku seksual yang tidak lazim dan ekstrim.

BAB 2
ISI
2.1

DEFINISI
F65.0 Gangguan Preferensi Seksual

Termasuk : Parafilia

Tidak termasuk : Problem yang berhubungan dengan orientasi seksual (F66.-)


Dalam PPDGJ-III dinyatakan bahwa parafilia adalah sekelompok gangguan yang
mencakup ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang
tidak pada umumnya. Dengan kata lain, terdapat deviasi (para) dalam ketertarikan seseorang
(filia). Parafilia (paraphilia) diambil dari bahasa Yunani yaitu para yang artinya "pada sisi
lain", dan philos artinya "mencintai". Parafilia adalah gangguan seksual yang ditandai oleh
khayalan seksual yang khusus dan desakan serta praktek seksual yang kuat, biasanya
berulang kali dan menakutkan.

2.2

KLASIFIKASI
Parafilia Menurut Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder 5th edition
(DSM-5)

Voyeurisme

Ekshibisionisme

Froteurisme

Masokisme Seksual

Sadisme Seksual

Pedofilia

Fetishisme

Fetishisme Transvestik

Parafilia Lain yang Tidak Ditentukan (NOS : Not Oherwise Specified) contoh:
Zoofilia

F65. Gangguan Preferensi Seksual Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis


Gangguan Jiwa di Indonesia Edisi III (PPDGJ III)

F65.0 Fetihisme

F65.1 Tranvetisme Fetihistik

2.3

F65.2 Ekshibisionisme

F65.3 Voyeurisme

F65.4 Pedofilia

F65.5 Sadomasokisme

F65.6 Gangguan Preeferensi Seksual Multipel

F65.8 Gangguan Preferensi Seksual Lainya

F65.9 Gangguan Preferensi Seksual YTT

EPIDEMIOLOGI
Parafilia dipratekkan oleh sejumlah kecil populasi. Tetapi, sifat gangguan yang

berulang menyebabkan tingginya frekuensi kerusakan akibat tindakan parafilia. Di antara


kasus parafilia yang dikenali secara hukum, pedofilia adalah jauh lebih sering dibandingkan
yang lainnya. Voyeurisme memiliki resiko yang tidak besar. 20% wanita dewasa telah
menjadi sasaran orang dengan ekshibisionisme dan voyeurisme. Masokisme seksual dan
sadisme seksual kurang terwakili dalam perkiraan prevalensi yang ada. Zoofilia merupakan
kasus yang jarang (Berner W et al, 2007).
Menurut definisinya, parafilia adalah kondisi yang terjadi pada laki-laki. Lebih dari
80% penderita parafilia memiliki onset sebelum usia 18 tahun. Pasien parafilia umunya
memiliki 3 sampai 5 parafilia baik yang bersamaan atau pada saat terpisah. Kejadian perilaku
parafilia memuncak pada usia antara 15 dan 25 tahun, dan selanjutnya menurun. Parafilia
jarang terjadi pada pria umur 50 tahun, kecuali mereka tinggal dalam isolasi atau teman yang
senasib (Berner W et al, 2007).
2.4

ETIOPATOFISIOLOGI
1. Faktor Psikososial
Dalam model psikoanalitik klasik, seseorang dengan parafilia adalah orang
yang gagal untuk menyelesaikan proses perkembangan normal ke arah penyesuaian
heteroseksual, tetapi model tersebut telah dimodifikasi oleh pendekatan psikoanalitik.
Kegagalan menyelesaikan krisis oedipus dengan mengidentifikasi aggressor ayah
(untuk laki-laki) atau aggressor ibu (untuk perempuan) menimbulkan baik identifikasi
yang tidak sesuai dengan orang tua dengan jenis kelamin berlawanan atau pilihan
objek yang tidak tepat untuk penyaluran libido. Eksibisionisme dapat merupakan
suatu upaya menenangkan kecemasan mereka akan kastrasi. Kecemasan kastrasi
membuat eksibisionis meyakinkan diri sendiri tentang maskulinitasnya dengan
menunjukkan kelaki-lakiannya kepada orang lain (Sadock BJ et al , 2010).
3

Apa yang membedakan satu parafilia dengan parafilia lainnya adalah metode
yang dipilih oleh seseorang (biasanya laki-laki) untuk mengatasi kecemasan yang
disebabkan oleh: (1) kastrasi oleh ayah dan (2) perpisahan dengan ibu. Bagaimanapun
kacaunya manifestasi, perilaku yang dihasilkan memberikan jalan keluar untuk
dorongan seksual dan agresif yang seharusnya telah disalurkan kedalam perilaku
seksual yang tepat. Berdasarkan teori ini terdapat beberapa penyebab parafilia. Freud
dan koleganya mengajukan bahwa beberapa parafilia dapat disebabkan oleh
penyimpangan dari fase courtship. Normalnya, fase ini akan berujung pada proses
mating pada pria dan wanita (Sadock BJ et al , 2010).
Fase ini dimulai dari masa remaja dan dengan/ tanpa adanya sexual intercourse

a)

pada tahap awal perkembangan seksual.


Fase Definitif Courtship
Locating partner potensial fase inisial dari courtship.

b)

Pretactile interaction berbicara, main mata dst.

c)

Tactile interaction memegang, memeluk, dst. (foreplay).

d)

Effecting genital union sexual intercourse .


Teori lain mengaitkan timbulnya parafilia dengan pengalaman diri yang
mengondisikan atau mensosialisasikan anak melakukan tindakan parafilia. Awitan
tindakan parafilia dapat terjadi akibat orang meniru perilaku mereka berdasarkan
perilaku orang lain yang melakukan tindakan parafilia, meniru perilaku seksual yang
digambarkan media, atau mengingat kembali peristiwa yang memberatkan secara
emosional di masa lalu. Teori pembelajaran menunjukkan bahwa karena
mengkhayalkan minat parafilia dimulai pada usia dini dan karena khayalan serta
pikiran pribadi tidak diceritakan kepada orang lain, penggunaan dan penyalahgunaan
khayalan dan dorongan parafilia terus berlangsung tanpa hambatan sampai usia tua
(Sadock BJ et al , 2010).
2. Faktor Biologis
Beberapa studi mengidentifikasi temuan organik abnormal pada orang dengan
parafilia. Di antara pasien yang dirujuk ke pusat medis besar, yang memiliki temuan
organik positif mencakup 74 % pasien dengan kadar hormone abnormal, 27 % dengan
tanda neurologi yang ringan atau berat, 24 % dengan kelainan kromosom, 9 % dengan
kejang, 9 % dengan disleksia, 4 % dengan EEG abnormal, 4 % dengan gangguan jiwa
berat, 4 % dengan cacat mental. Tes psikofisiologis telah dikembangkan untuk
mengukur ukuran volumemetrik penis sebagai repon stimulasi parafilia dan

nonparafilia. Prosedur dapat digunakan dalam diagnosis dan pengobatan, tetapi


memiliki keabsahan diagnostik yang diragukan karena beberapa laki-laki dapat
menekan respon erektilnya. Karena sebagian besar orang yang mengidap parafilia
adalah laki-laki, terdapat spekulasi bahwa androgen berperan dalam gangguan ini.
Berkaitan dengan perbedaan dalam otak, suatu disfungsi pada lobus temporalis dapat
memiliki relevansi dengan sejumlah kecil kasus eksibisionisme (Sadock BJ et al ,
2010).
3. Teori Behavioural
Berdasarkan teori ini, parafilia disebabkan oleh proses conditioning. Jika objek
nonseksual dipakai sering dan diulang-ulang untuk aktivitas seksual maka akan
mengakibatkan objek tersebut menjadi sexually arousing. Tidak harus dengan adanya
dorongan positif tapi bisa disebabkan oleh dorongan negatif. Misalnya jika anak lakilaki suka membanggakan penisnya ketika ereksi maka ibunya akan memarahinya,
akibat dari itu, anak merasa bersalah dan malu dengan kelakuan seksual normal.
Pedofilia, ekshibisionisme dan vouyerisme merupakan akibat dari perilaku yang
beresiko dilakukan secara berulang-ulang. Conditioning bukan satu-satunya hal yang
berperan pada perkembangan parafilia. Hal yang juga berpengaruh adalah kepercayaan
diri yang rendah. Ini sering dijumpai pada pasien parafilia (Maramis WF et al, 2009).
4. Teori Dawkin (Teori Transmisi Gen)
Parafilia dipengaruhi oleh lingkungan dan genetik. Contohnya kebanyakan
orang akan mendapatkan orgasme yang pertama pada prepubertas tetapi ada beberapa
orang dapat terjadi sebelum periode prepubertas. Ada sedikit orang yang tanpa adanya
stimulus eksternal bisa mengalami orgasme, orang ini biasanya memiliki dorongan
seksual yang tinggi saat bayi (sonogram menunjukkan bayi memegang penisnya dalam
uterus). Anak yang aktif secara seksual pada usia muda akan cenderung aktif secara
seksual pada remaja. Hal ini dipengaruhi oleh DNA dan akan diturunkan kepada anakanaknya (Maramis WF et al, 2009).
5. Teori Darwin
Faktor operatif dari teori Darwin ada 2, yaitu kuantitas dan kualitas. Kuantitas
jika dari keturunan yang dihasilkan yang besar dibandingkan dengan yang survive.
Kualitas yaitu yang dapat beradaptasi terhadap lingkungan. Pria yang secara fisik
dapat menghasilkan banyak keturunan (kuantitas), dan wanita yang bertanggung jawab
untuk kualitas. Wanita akan lebih berhati hati dalam memilih pasangannya sedangkan
pria cenderung hanya untuk melakukan hubungan seksual dengan banyak wanita
(tidak memilih-milih). Hal tersebut menjelaskan mengapa parafilia sering terjadi pada
5

pria. Study dari Sharnor (1978) menyatakan bahwa pria usia 12-19 tahun memikirkan
seks 20 kali dalam 1 jam atau sekali dalam 3 menit

Pria usia

30-39 tahun,

memikirkan seks 4 kali per jam. Hal ini dapat menjelaskan alasan, mengapa parafilia
biasanya terjadi pada usia 15-25 tahun (Maramis WF et al, 2009).
2.5

PENEGAKAN DIAGNOSIS

2.5.1

F.65.0 FETISHISME

2.5.1.1 DEFINISI
Fetishisme adalah kegairahan atau kepuasan seks yang didapat dari sesuatu objek.
Seseorang yang mempunyai perilaku ini mendapatkan keghairahan seksual dengan memakai
atau dengan menyentuh objek tersebut.
2.5.1.2 JENIS FETISHISME
Fetisisme terdiri dari beberapa jenis yang dapat dibagi kepada fetisisme dan fetisisme
transvestik. Selain itu, terdapat juga jenis-jenis fetisisme lain seperti:
1

Agalmatophilia - kegairahan seksual yang timbul terhadap manekin atau

patung.
Mechanophilia/Mechaphilia - kegairahan seksual yang timbul terhadap

3
4

mesin.
Psychrophilia - kegairahan seksual yang timbul dari objek yang sejuk.
Salirophilia - kegairahan seksual yang timbul terhadap tanah atau

5
6

kekotoran.
Mucophilia - kegairahan seksual yang timbul dari mucus.
Dendrophilia - kegairahan seksual yang timbul disebabkan seseorang yang

7
8

memiliki ketetarikan seksual terhadap pohon-pohonan


Symorophilia - kegairahan seksual yang timbul dengan melihat kecelakaan.
Autonepiophilia - kegairahan seksual yang timbul dengan memakai pakaian
anak.

Satu lagi jenis fetisisme adalah objectofilia yang merupakan kegairahan seksual yang
didapat dari benda- benda seperti bulu, balon, celana dalam perempuan, sepatu tumit tinggi,
karet dan banyak lagi.
2.5.1.3 GAMBARAN KLINIS
Penderita kelainan Fetishisme sering masturbasi sambil memegang atau menggosok
objek fetish atau mungkin meminta pasangan seksual untuk memakai objek fetish dalam
hubungan seksual mereka. Fetishisme biasanya dimulai pada masa remaja, meskipun fetish
mungkin bisa muncul lebih awal pada masa anak-anak. Setelah menjadi suatu kebiasaan yang
menetap, fetishisme cenderung kronis. Gejala awal pada penderita biasanya meningkatkan
sentuhan pada benda fetish, dan waktu yang dihabiskan untuk memikirkan mengenai objek
6

fethish meningkat. Lambat laun, objek fetish akan menjadi objek yang sangat penting bagi
penderita, hal ini akan me njadi syarat untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan seksual
(Sadock BJ et al , 2010).
2.5.1.4 KRITERIA DIAGNOSIS
Fetishisme harus didiagnosis hanya apabila fetish merupakan sumber yang paling
penting dari stimulasi seksual atau esensial untuk respons seksual yang memuaskan. Fantasi
fetishistik adalah lazim, tetapi tidak menjadi suatu gangguan kecuali apabila menjurus kepada
suatu ritual yang begitu memaksa dan tidak semestinya sampai mengganggu hubungan
seksual dan menyebabkan penderitaan pada individu. Fetishisme terbatas hanya khusus pada
pria. Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
(PPDGJ III), kode yang sesuai untuk fetishisme adalah F65.0. Pelaku baru didiagnosa
menderita fetishisme apabila memiliki kepuasan seksual terhadap sesuatu sedikitnya 6 bulan.
Dalam hal ini pelaku biasanya mengalami tekanan jiwa secara klinis dan cenderung terisolir
dari kehidupan sosial, pekerjaan, atau bidang fungsi penting lainnya dan bisa membahayakan
baik dirinya maupun orang lain.
Kriteria diagnostik untuk fetishisme menurut DSM-5 adalah:
1

Selama waktu sekurangnya 6 bulan terdapat khayalan yang merangsang secara


seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa

pemakaian benda-benda mati (misalnya, pakaian dalam wanita)


Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku yang menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi

penting lainnya.
Objek fetish bukan perlengkapan pakaian wanita yang digunakan pada crossdressing (berpakaian lawan jenis) seperti pada fetishisme transvestik atau alatalat yang dirancang untuk tujuan stimulasi taktil pada genital, misalnya sebuah
vibrator.

Pedoman Diagnostik Fetihisme menurut PPDGJ III:


1. Mengandalkan pada beberapa benda mati(non-living object) sebagai rangsangan
untuk membangkitkan keinginan seksual dan memberikanb kepuasan seksual.
Kebanyakan benda tersebut (object fetish) adalah ekstensi dari tubuh manusia,
seperti pakaian atau sepatu
2. Diagnosis ditegakkan apabila object fetish benar-benar merupakan sumber yang
utama dari rangsangan seksual atau penting sekali untuk respon seksual yang
memuaskan.

3. Fantasi fetihistik adalah lazim, tidak menjadi suatu gangguan kecuali apabila
menjurus kepada suatu ritual yang begitu memaksa dan tidak semestinya sampai
menggangu hubungan seksual dan menyebabkan bagi penderitaan individu.
4. Fetihisme terbatas hampir hanya pada pria saja
2.5.2

F.65.1 TRANSVESTISME FETISHISTIK

2.5.2.1 DEFINISI
Transvestisme fetishistik adalah gejala keadaan seseorang yang mencari rangsangan
dan pemuasan sexual dengan memakai pakaian dan berperan sebagai seorang dari sex yang
berlainan. Cross dressing tersebut dapat berupa menggunakan salah satu bahan yang dipakai
wanita atau mengenakan pakaian wanita lengkap dan menampilkan diri sebagai wanita di
depan umum. Tujuan orang tersebut adalah untuk mencari kepuasan seksual. Pria yang
mengalami penyakit ini mengadakan masturbasi pada waktu mengenakan pakaian wanita dan
berfantasi mengenai pria lain yang tertarik dengan pakaiannya. Seorang wanita dikatakan
mengalami kelainan ini jika mereka mengenakan pakaian laki-laki untuk mencari kepuasan
seksual.
2.5.2.2 KRITERIA DIAGNOSTIK
Kriteria Diagnostik Fetishisme Transvestik menurut DSM-5:
1. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, pada laki-laki heteroseksual, terdapat
khayalan yang merangsang secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang
berulang dan kuat berupa cross dressing.
2. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis dan gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lainnya.
Pedoman Diagnostik Tranvetisme Fetihistik menurut PPDGJ III:
1. Mengenakan pakaian dari lawan jenis dengan tujuan pokok untuk mencapai
kepuasaan seksual
2. Gangguan ini harus dibedakan dari fetihisme (F65.0) dimana pakaian sebagai
objek fetish bukan hanya sekedar dipakai, tetapi juga untuk menciptakan
penampilan seorang dari lawan jenis kelaminya. Biasanya lebih dari satu jenis
barang yang dipakai dan seringkali suatu perlengkapan yang menyeluruh,
termasuk rambut palsu dan tat arias wajah.
3. Transvetisme fetihistik dibedakan dari trasvetisme transsexual oleh adanya
hubungan yang jelas dengan bangkitnya gairah seksual dan keinginan/hasrat yang
kuat untuk melepaskan baju tersebut apabila orgasme sudah terjadi dan rangsang
seksual menurun

4. Adanya riwayat transvetisme fetihistik biasanya dilaporkan sebagai suatu fase


awal oleh para penderita transeksualisme dan kemungkinan merupakan suatu
stadium dalam perkembangan transeksualisme.
2.5.3

F65.2 EKSHIBISIONISME

2.5.3.1 DEFINISI
Ekshibisionisme adalah kepuasan yang diperoleh dengan memperlihatkan bagian
tubuh lain, pada lawan jenis atau anak-anak. Memperlihatkan alat kelamin sering dilakukan
di tempat umum seperti kereta, taman, perpustakaan, halaman sekolah, bus, depan bioskop, di
jalan raya. Setelah memamerkan alat genitalnya, penderita tidak bermaksud melakukan
aktivitas seksual lebih lanjut terhadap korban misalnya memperkosa. Oleh sebab itu,
gangguan ini tidak berbahaya secara fisik bagi korban.
Diantara orang-orang dewasa memperlihatkan alat kelamin yang patologik lebih
sering dilakukan oleh laki-laki sedangkan memperlihatkan bagian tubuh dengan batas-batas
tertentu sering dilakukan eksibinisme oleh perempuan.
2.5.3.2 KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis eksibisionisme menurut DSM-5 adalah:
1. Untuk periode waktu sedikitnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang
secara seksual, dorongan atau perilaku seksual yang intens dan berulang yang
melibatkan menunjukkan alat kelamin seseorang pada orang asing yang tidak
menduganya.
2. Orang tersebut telah melakukan dorongan seksual ini, atau dorongan atau
khayalan seksual

menimbulkan penderitaan yang nyata atau

kesulitan

interpersonal.
Pedoman diagnosis eksibisonisme menurut PPDGJ-III :
1. Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk memamerkan alat kelamin
kepada asing (biasanya lawan jenis kelamin) atau kepada orang banyak di tempat
umum, tanpa ajakan atau niat utuk berhubungan lebih akrab.
2. Eksibisionisme hampir sama sekali terbatas pada laki-laki heteroseksual yang
memamerkan pada wanita, remaja atau dewasa, biasanya menghadap mereka
dalam jarak yang aman di tempat umum. Apabila yang menyaksikan itu terkejut,
takut, atau terpesona, kegairahan penderita menjadi meningkat.
3. Pada beberapa penderita, eksibisionisme merupakan satu-satunya penyaluran
seksual, tetapi pada penderita lainnya kebiasaan ini dilanjutkan bersamaan
(simultaneously) dengan kehidupan seksual yang aktif dalam suatu jalinan
9

hubungan yang berlangsung lama, walaupun demikian dorongan menjadi lebih


kuat pada saat menghadapi konflik dalam hubungan tersebut.
4. Kebanyakan

penderita

eksibisionisme

mendapatkan

kesulitan

dalam

mengendalikan dorongan tersebut dan dorongan ini bersifat ego-alien (suatu


benda asing bagi dirinya).
2.5.4

F. 65.3 Voyeurisme

2.5.4.1 DEFINISI
Istilah voyeurism, dari kata Prancis berarti melihat, mengacu pada keinginan untuk
memandang tindakan dan ketelanjangan hubungan seks.(12)Voyeurisme adalah preokupasi
rekuren dengan khayalan dan tindakan yang berupa mengamati orang lain yang telanjang
atau sedang berdandan atau melakukan aktivitas seksual. Gangguan ini juga dikenal sebagai
skopofilia. Masturbasi sampai orgasme biasanya terjadi selama atau setelah peristiwa. (2)
Voyeurisme ini merupakan kegiatan mengintip yang menggairahkan dan bukan merupakan
aktivitas seksual dengan orang yang dilihat.Sebagian besar pelaku voyeurisme ialah dari
golongan pria.
2.5.4.2 KRITERIA DIAGNOSTIK
Kriteria Diagnostik Voyeuisme menurut DSM-5:
1. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara
seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa
mengamati orang telanjang yang tidak menaruh curiga, sedang membuka pakaian,
atau sedang melakukan hubungan seksual.
2. Individu telah bertindak dengan dorongan seksual dengan orang yang tidak
menyetujui atau khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan
penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosil,
pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
3. Individu menemukan di sekitar dan atau bertindak pada dorongan adalah
sekurangnya 18 tahun
Pedoman Diagnostik Voyeurisme menurut PPDGJ-III:
1. Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk melihat orang yang sedang
berhubungan seksual atau berperilaku intim seperti sedang menanggalkan
pakaian.
2. Hal ini biasanya menjurus kepada rangsangan seksual dan mastrubasi, yang
dilakukan tanpa orang yang diintip menyadarinya.
10

2.5.5

F65.4 Pedofilia

2.5.5.1 DEFINISI
Kata ini berasal dari bahasa Yunani: paidophilia (), pais (, "anakanak") dan philia (, "cinta yang bersahabat" atau "persahabatan". Di zaman modern,
pedofil digunakan sebagai ungkapan untuk "cinta anak" atau "kekasih anak" dan sebagian
besar dalam konteks ketertarikan romantis atau seksual. (14) Pedofilia juga merupakan
gangguan psikoseksual, yang mana fantasi atau tindakan seksual dengan anak-anak
prapubertas merupakan cara untuk mencapai gairah dan kepuasan seksual. Perilaku ini
mungkin diarahkan terhadap anak-anak berjenis kelamin sama atau berbeda dengan pelaku.
Beberapa pedofil tertarik pada anak laki-laki maupun perempuan.Sebagian pedofil ada yang
hanya tertarik pada anak-anak, tapi ada pula yang juga tertarik dengan orang dewasa dan
anak-anak.
2.5.5.2 KRITERIA DIAGNOSTIK
Kriteria Diagnostik Pedofilia menurut DSM-5
1. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara
seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa aktivitas
seksual dengan anak prapubertas atau dengan anak-anak (biasanya berusia 13
tahun atau kurang)
2. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lainnya.
3. Orang sekurangnya berusia 16 tahun dan sekurangnya berusia 5 tahun lebih tua
dari anak, atau anak-anak dalam kriteria A.
Pedoman Diagnostik menurut Pedofilia PPDGJ III
1. Preferensi seksual terhadap anak-anak, biasanya pra-pubertas atau awal masa
pubertas, baik laki-laki maupun perempuan
2. Pedofilia jarang ditemukan pada perempuan
3. Preferensi tersebut harus berulang dan menetap
4. Termasuk : laki-laki dewasa yang mempunyai preferensi partner seksual dewasa,
tetapi karena mengalami frustasi yang kronis untuk mencapai hubungan seksual
yang diharapkan, maka kebiasaanya beralih kepada anak-anak sebagai pengganti.
2.5.6

F65.5 Sadomasokisme

2.5.6.1 DEFINISI

11

Sadisme seksual adalah preferensi mendapatkan atau meningkatkan kepuasan seksual


dengan cara menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun mental.Perbuatan sadistik dalam
bersetubuh antara lain memukul, menampar, menggigit, mencekik, menoreh mitranya dengan
pisau, menyayat-nyayat mitranya dengan benda tajam. Juga bisa dengan mengeluarkan katakata kotor, penyiksaan berat sampai dengan pembunuhan untuk mendapatkan kepuasan seks
dan untuk mendapatkan orgasme adalah puncak dari sadisme dimana tubuh korban dirusak
dan dibunuh dengan kejam. Biasanya hal ini dilakukan dengan kondisi jiwa psikotik. Ada
semacam obsesi sangat kuat merasa ditolak oleh wanita, sekaligus rasa agresif, dendam dan
benci. Masokhisme seksual yaitu mencapai kepuasan seksual dengan menyakiti diri sendiri,
lebih sering terjadi pada wanita, sedangkan sadisme lebih sering terjadi pada laki-laki
(Sadock BJ et al , 2010).
2.5.6.2 KRITERIA DIAGNOSTIK
Kriteria Diagnostik Untuk Sadisme Seksual menurut DSM-5
1. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara
seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa tindakan
(nyata atau disimulasi) dimana penderitaan korban secara fisik atau psikologis
(termasuk penghinaan) adalah menggembirakan pelaku secara seksual.
2. Individu yang bertindak dengan dorongan seksual dengan orang yang tidak
menyetujui atau khayalan, dorongan seksual, atau perilaku menyebabkan
penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,
pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
Kriteria Diagnostik Sadomasokisme menurut PPDGJ-III
1. Preferensi terhadap aktivitas seksual yang melibatkan pengikatan atau
menimbulkan rasa sakit atau penghinaan; (individu yang lebih suka untuk
menjadi resipien dari perangsangan demikian disebut masokisme, sebagai
pelaku = sadism)
2. Seringkali individu mendapatkan rangsangan seksual dari aktivitas sadistik
maupun masokistik.
3. Kategori ini hanya digunakan apabila sadomasokistik merupakan sumber
rangsangan yang penting pemuasan seksual.
4. Harus dibedakan dari kebrutalan dalam hubungan seksual atau kemarahan yang
tidak berhubungan dengan erotisme.
12

2.5.7

F65.6 Gangguan Preferensi Seksual Multipel


Kadang kadang lebih dari satu gangguan preferensi seksual yang terjadi pada

seseorang dan tidak satupun lebih diutamakan daripada yang lainnya. Kombinasi yang paling
sering adalah fetihisme, transvestisme dan sadomasokisme (Sadock BJ et al , 2010).
2.5.8

F65.8 Gangguan Preferensi Seksual Lainya


Suatu varietas dari pola lain pada preferensi dan aktivitas seksual mungkin terjadi,

yang masing masing relatif tidak lazim. Ini mencakup kegiatan seperti melakukan panggilan
telepon cabul, menggosok menempel pada orang untuk stmulasi seksual di tempat umum
yang ramai (frotteurisme), aktivitas seksual dengan binatang. Menggunakan cekikan atau
anoksia untuk mengintensifkan kepuasanseksual dan kepuasan terhadap partner dengan cacat
badan tertentu seperti tungkai yang diamputasi (Sadock BJ et al , 2010).
Perbuatan erotik terlalu bermacam macam dan banyak diantaranya terlalu jarang
atau idionsikatrik untuk diberikan istilah khusus untuk setiap kelainan. Menelan urin,
melaburkan feses, atau menusuk kulup atau puting susu merupakan sebagian dari perilaku yan
termasuk sadomasokisme. Masturbasi dengan berbagai cara ialah lzim, tetapi praktek yang
lebih ekstrem seperti memasukkan benda ke rektum atau uretra penis atau strangulas diri
parsialis, apabila menggantikan hubungan seksual yang lazim, termasuk dalam abnormalitas.
Nekrofilia juga harus dimasukkan dalam kategori ini (Sadock BJ et al , 2010).
2.5.8.1 Frotteurisme
Frotteurisme biasanya ditandai oleh seorang laki-laki yang menggosokkan penisnya
kepada bokong atau bagian tubuh seorang wanita yang berpakaian lengkap untuk mencapai
orgasme. Pada saat yang lain, ia mungkin menggunakan tangannya untuk meraba korban yang
tidak menaruh curiga. Tindakan ini biasanya terjadi pada tempat ramai, khususnya dalam
kereta dan bus. Orang dengan frotteurisme adalah sangat pasif dan terisolasi, dan cara tersebut
seringkali merupakan satu-satunya sumber kepuasan seksualnya.
Kriteria diagnostik Frotteurisme menurut DSM-5
a. Selama waktu sekurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara
seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat berupa
menyentuh atau bersenggolan dengan orang yang tidak menyetujuinya.
b. Individu yang bertindak dengan dorongan seksual dengan orang yang tidak
mengetahui, atau khayalan, dorongan seksual, atau perilaku yang menyebabkan

13

penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,
pekerjaan, atau fungsi penting lainnya
2.5.8.2 Nekrofilia
Nekrofilia adalah obsesi untuk mendapatkan kepuasan seksual dari mayat. Sebagian
besar orang dengan nekrofilia mendapatkan mayat untuk eksploitasinya dari rumah mati.
Beberapa orang diketahui menggali kuburan. Suatu waktu, orang membunuh untuk
memuaskan desakan seksualnya. Pada beberapa kasus yang dipelajari, orang dengan
nekrofilia percaya bahwa mereka membebankan penghinaan terbesar yang dipikirkannya
pada korban mereka yang mati (DeFeo J, 2015).
2.5.8.3 Parafilia yang tidak ditentukan
Skatologia Telepon
Pada skatologia telepon, ditandai oleh panggilan telepon yang cabul,
ketegangan dan perangsangan yang dimulai saat akan menelepon, melibatkan
pasangan yang tidak menaruh curiga, penerima telepon mendengarkan saat penelepon
(biasanya laki-laki) secara verbal membuka preokupasinya atau mengajak wanita
untuk menceritakan aktivitas seksualnya, dan percakapan tersebut disertai dengan
masturbasi, yang seringkali disudahi setelah kontak terputus. Orang dapat juga
mengggunakan jaringan computer interaktif untuk mengirimkan pesan cabul melalui
surat elektronik. Di samping itu, orang menggunakan jaringan computer untuk
mengirimkan pesan dan gambar-gambar video yang seksual. Beberapa orang secara
kompulsif menggunakan jasa tersebut (Sadock BJ et al , 2010).

Parsialisme
Dalam parsialisme seseorang memfokuskan pada satu bagian tubuh dan
menyingkirkan bagian lainnya. Kontak genital mulut seperti kunilingus (kontak oral
dengan genital eksternal wanita), felasio (kontak oral dengan penis), dan analingus
(kontak oral dengan anus) adalah suatu aktivitas yang normalnya berhubungan
dengan pemanasan seksual (foreplay). Freud memandang bahwa permukaan mukosa
tubuh sebagai erotogenik dan mampu menghasilkan sensasi yang menyenangkan.
Tetapi jika seseorang menggunakan aktivitas tersebut sebagai sumber satu-satunya
14

kepuasan seksual dan tidak dapat melakukan koitus atau menolak melakukan koitus,
terdapat suatu parafilia. Keadaan ini juga dikenal sebagai oralisme (Sadock BJ et al ,
2010).
Zoofilia
Pada zoofilia, binatang yang mungkin dilatih untuk berperan serta adalah
disukai untuk khayalan perangsangan atau aktivitas seksual, termasuk hubungan
seksual, masturbasi, dan kontak oral-genital. Zoofilia sebagai suatu parafilia yang
terorganisasi adalah jarang. Bagi sejumlah orang, binatang adalah sumber utama
hubungan, sehingga tidak mengejutkan bahwa binatang rumah tangga digunakan secara
sensual atau seksual. Hubungan seksual dengan binatang kadang-kadang merupakan
suatu hasil pertumbuhan dari tersedianya atau kesenangan, khususnya pada bagian
dunia dimana kaidah yang ketat melarang seksualitas pramarital atau dalam situasi
isolasi yang berlebihan. Tetapi, karena masturbasi juga tersedia dalam situasi tersebut,
suatu predileksi untuk kontak dengan binatang kemungkinan ditemukan pada zoofilia
oportunistik (DeFeo J, 2015).
Koprofilia Dan Klismafilia
Koprofilia adalah kesenangan seksual yang berhubungan dengan keinginan
untuk defekasi pada tubuh pasangan, didefekasi oleh pasangan, atau makan feses
(koprofagia). Suatu varian adalah pemakaian kompulsif kata-kata cabul (koprolalia).
Parafilia tersebut adalah berhubungan dengan fiksasi pada stadium anal dari
perkembangan psikoseksual. Demikian juga, penggunaan enema sebagai bagian dari
stimulasi seksual, klismafilia, adalah berhubungan dengan fiksasi anal (DeFeo J,
2015).

Urofilia
Urofilia adalah minat dalam kenikmatan seksual yang berhubungan dengan
keinginan untuk kencing pada tubuh pasangan atau dikencingi oleh pasangan; ini
adalah suatu bentuk erotikisme uretral. Keadaan ini mungkin disertai dengan teknik
masturbasi yang melibatkan insersi benda asing ke dalam uretra untuk mendapatkan
stimulasi seksual baik pada laki-laki maupun wanita (DeFeo J, 2015).
Masturbasi
15

Masturbasi adalah aktivitas normal yang sering ditemukan pada semua stadium
kehidupan dari masa bayi sampai usia lanjut. Hal ini tidak selalu dianggap demikian.
Freud percaya neurastenia adalah disebabkan oleh masturbasi yang berlebihan. Pada
awal tahun 1990-an, kegilaan masturbasi (masturbatory insanity) adalah suatu
diagnosis yang sering ditemukan pada rumah sakit untuk kegilaan criminal di AS.
Masturbasi dapat didefinisikan sebagai pencapaian kenikmatan seksual biasanya
menyebabkan orgasme oleh diri sendiri (autoerotikisme). Alfred Kinsley menemukan
bahwa masturbasi adalah lebih menonjol pada laki-laki daripada wanita, tetapi
perbedaan tersebut tidak lagi benar. Frekuensi masturbasi bervariasi dari tiga sampai
empat kali dalam seminggu pada masa remaja sampai satu sampai dua kali seminggu
pada masa dewasa (Sadock BJ et al , 2010).
Teknik masturbasi adalah bervariasi pada kedua jenis kelamin dan dari orang
ke orang. Teknik yang paling sering adalah stimulasi langsung pada klitoris atau penis
dengan tangan atau jari. Stimulasi tidak langsung mungkin juga digunakan,
sepertimenggosokan pada bantal atau mengencangkan panggul. Kinsey menemukan
bahwa 2% wanita mampu mencapai orgasme melalui khayalan saja. Laki-laki dan
wanita telah diketahui menginsersikan benda-benda ke dalam uretranya untuk
mencapai orgasme. Vibrator tangan sekarang digunakan sebagai alat masturbasi oleh
kedua jenis kelamin (Sadock BJ et al , 2010).
Masturbasi adalah abnormal jika ia menjadi satu-satunya jenis aktivitas seksual
yang dilakukan, jika dilakukan sedemikian seringnya sehingga menyatakan suatu
kompulsi atau disfungsi seksual, atau jika secara terus menerus disukai untuk
berhubungan seks dengan pasangan (Sadock BJ et al , 2010).

Hipoksifilia
Hipoksifilia adalah keinginan untuk mencapai perubahan kesadaran sekunder
karena hipoksia saat mengalami orgasme. Dalam gangguan ini orang mungkin
menggunakan obat (seperti nitrit volatil atau nitrogen oksida) yang menghasilkan
hipoksia. Asfiksiasi autoerotik juga berhubungan dengan keadaan hipoksik tetapi
harus diklasifikasikan sebagai suatu bentuk masokisme seksual (DeFeo J, 2015).
2.6

TATALAKSANA
16

1. Terapi Seks
Terapi seks merupakan pelengkap yang tepat untuk pengobatan pasien yang
menderita disfungsi seksual tertentu dimana mereka mencoba melakukan aktivitas
seksual yang tidak menyimpang dengan pasangannya (McManus MA et al, 2013).
2. Terapi Perilaku
Digunakan untuk memutuskan pola parafilia yang dipelajari. Stimuli yang
menakutkan, seperti kejutan listrik atau bau yang menyengat, telah dipasangkan
dengan impuls tersebut, yang selanjutnya menghilang. Stimuli dapat diberikan oleh
diri sendiri dan digunakan oleh pasien bilamana mereka merasa bahwa mereka akan
bertindak atas dasar impulsnya (McManus MA et al, 2013).
3. Terapi Obat
Termasuk medikasi antipsikotik dan antidepresan, adalah diindikasikan
sebagai pengobatan skizofrenia atau gangguan depresif jika parafilia disertai dengan
gangguan-gangguan tersebut. Antiandrogen, seperti ciproterone acetate di Eropa dan
medroxiprogesterone acetate (Depo-Provera) di Amerika Serikat, telah digunakan
secara

eksperimental

pada

parafilia

hiperseksual.Medroxiprogesterone

acetate bermanfaat bagi pasien yang dorongan hiperseksualnya diluar kendali atau
berbahaya (sebagai contoh masturbasi yang hampir terus-menerus, kontak seksual
setiap kesempatan, seksualitas menyerang yang kompulsif). Obat serotonorgik seperti
Fluoxetin (prozac) telah digunakan pada beberapa kasus parafilia dengan keberhasilan
yang terbatas (Guay DR, 2009).
4. Psikoterapi Berorintasi Tilikan
Merupakan pendekatan yang paling sering digunakan untuk mengobati
parafilia. Pasien memiliki kesempatan untuk mengerti dinamikanya sendiri dan
peristiwa-peristiwa yang menyebabkan perkembangan parafilia. Secara khusus,
mereka menjadi menyadari peristiwa sehari-hari yang menyebabkan mereka bertindak
atas impulsnya (sebagai contohnya, penolakan yang nyata atau dikhayalkan).
Psikoterapi juga memungkinkan pasien meraih kembali harga dirinya dan
memperbaiki kemampuan interpersonal dan menemukan metode yang dapat diterima
untuk mendapatkan kepuasan seksual. Terapi kelompok juga berguna (Sadock BJ et
al , 2010).

17

BAB 3
PENUTUP
3.1

KESIMPULAN
Gangguan preferensi seksual termasuk parafilia adalah sekelompok gangguan yang

mencakup ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang
tidak pada umumnya. Dengan kata lain, terdapat deviasi (para) dalam ketertarikan seseorang
(filia). Parafilia (paraphilia) diambil dari bahasa Yunani yaitu para yang artinya "pada sisi
lain", dan philos artinya "mencintai". Parafilia dipratekkan oleh sejumlah kecil populasi.
Tetapi, sifat gangguan yang berulang menyebabkan tingginya frekuensi kerusakan akibat
tindakan parafilia. Di antara kasus parafilia yang dikenali secara hukum, pedofilia adalah jauh
18

lebih sering dibandingkan yang lainnya. Etiologi dari gangguan preferensi seksual masih
belum jelas namun terdapat beberapa teori yang menjelaskan adanya gangguan preferensi
seksual. Terapi yang diberikan berupa terapi medikamentosa dan non-medikamentosa.

DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders.
5th ed. Washington DC: American Psychiatric Publishing 2013
Rusadi M. 2013. Buku saku diagnosis jiwa Rujukan ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta. Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya
Sadock BJ, Sadock VA. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed Ke- 2. EGC :
Jakarta.
Maramis WF, Maramis AA. 2009. Catatan Buku Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya :
Airlangga University Press
McManus MA, Hargreaves P, Rainbow L et al. Paraphilias: definition, diagnosis and
treatment.

F1000Prime

Rep.

Sep

2013;5:36.

Available

from:

19

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3769077/#!po=39.4737

[accessed

April 24, 2015]


Berner W, Briken P. Paraphilia, sexual preference disorders. Diagnosis, etiology,
epidemiology,

treatment

and

prevention.

Bundesgesundheitsblatt

Gesundheitsforschung Gesundheitsschutz. 2007 Jan;50(1):33-43. Available from:


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17177100 [accessed April 24, 2015]
Guay DR. Drug treatment of paraphilic and nonparaphilic sexual disorders. Clin Ther. 2009
Jan;31(1):1-31.

doi:

10.1016/j.clinthera.2009.01.009.

Available

from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19243704 [accessed April 24, 2015]


DeFeo J. Understanding Sexual, Paraphilic, and Gender Dysphoria Disorders in DSM-5. J
Child Sex Abus. 2015;24(2):210-5. doi: 10.1080/10538712.2015.1004293. Available
from:

http://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/10538712.2015.1004293

[accessed April 24, 2015]

20

You might also like