Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau
istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat
berbahanya)
merupakan
masalah
yang
sangat
kompleks,
yang
memerlukan
upaya
BAB 2
ISI
2.1
DEFINISI
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila
masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat,
sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi
kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Istilah
NAPZA umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik beratkan pada
upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. NAPZA sering disebut juga
sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan
perilaku, perasaan, dan pikiran (Sadock BJ et al.,2010).
2.1.1
Narkotika
Menurut UU RI No 22 tahun 1997, Narkotika adalah zat/obat yang berasal dari
tanaman/bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai dengan menghilangkan rasa nyeri
dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika terbagi menjadi 3 golongan, yaitu
(Kemenkes RI, 2014):
-
Golongan I
untuk terapi ataupun ilmu pengetahuan dan berpotensi tinggi menimbulkan ketergantungan.
Contoh: morfin, petidin.
Golongan III : berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan untuk terapi maupun untuk
tujuan ilmu pengetahuan dan berpotensi ringan dalam menimbulkan ketergantungan. Contoh:
kodein.
2.1.2
Psikotropika
Menurut UU RI No 5 tahun 1997, psikotropika adalah zat/obat, baik alamiah maupun
sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika
terbagi menjadi 4 golongan, yaitu (Kemenkes RI, 2014):
- Golongan I
- Golongan II
berpotensi
kuat
dalam
menimbulkan
ketergantungan.
Contoh:
amfetamin, metilfenidat/ritalin
- Golongan III : berpotensi sedang dalam menimbulkan ketergantungan, banyak
digunakan untuk terapi. Contoh: pentobarbital, flunitrazepam.
- Golongan IV : berpotensi ringan dalam menimbulkan ketergantungan, sangat luas
digunakan untuk terapi. Contoh : diazepam, bromazepam, fenobarbital, klonazepam,
klordiazepoksid, nitrazepam, pil BK, pil koplo, Dum, MG.
2.1.3
1. Minuman beralkohol
Yaitu minuman yang mengandung etanol.
Terbagi menjadi 3 golongan:
Golongan A mengandung etanol 1%-5% (bir)
Golongan B mengandung etanol 5%-20% (berbagai jenis minuman anggur)
Golongan C mengandung etanol 20%-45% (whiskey, vodka, TKW, manson house, johny
walker, kamput)
2. Inhalansia
Gas yang mudah dihirup dan solven (pelarut) yang mudah menguap berupa senyawa organic
pada berbagai alat rumah tangga. Contoh: lem, thinner, penghapus cat kuku, bensin.
3. Tembakau
2.2
PENGGOLONGAN NAPZA
Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat digolongkan
2.3
EPIDEMIOLOGI
Jumlah kasus narkoba berdasarkan penggolongannya yang masuk dalam kategori
narkotika terus mengalami peningkatan dalam 5 tahun terakhir sedangkan yang masuk dalam
kategori psikotropika jumlah kasusnya kian menurun, hal ini terlihat jelas pada tahun 2009
jumlah kasus psikotropika 8.779 kasus dan tahun 2010 jumlah kasus psikotropika menurun
secara signifikan menjadi 1.181 kasus (Kemenkes RI, 2014).
Gambar 2.1 Jumlah Kasus Narkoba Menurut Penggolongan Tahun 2008-2012 (Kemenkes RI, 2014).
2.4
HEROIN
DEFINISI
Heroin (INN: diacetylmorphine, BAN: diamorphine) adalah semi sintetik opioid yang di
sintesa dari morphin yang merupakan derivat dari opium. Pada kadar yang lebih rendah dikenal
dengan sebutan putaw. Heroin didapatkan dari pengeringan ampas bunga opium (Papaverum
somniferum) yang mempunyai kandungan morfin dan kodein yang merupakan penghilang rasa
nyeri yang efektif. Heroin merupakan 3.6-diacetyl ester dari morphine (oleh karena itu disebut
juga diasetilmorphine). Nama lain dari heroin: smack, junk, china ehirte, chiva, black tar, speed
balling, dope, brown, dog,negra, nod, white hores, stuff (Elvira SD, 2013).
KARAKTERISTIK
Heroin merupakan narkoba yang sangat sering menimbulkan efek ketergantungan.
Heroin ini bentuknya berupa serbuk putih dengan rasa pahit. Dalam pasaran banyak beredar
warnanya putih, coklat atau dadu. Penggunaannya dengan injeksi atau dihirup atau per oral.
Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin (Katzung BG, 2014).
FARMAKOKINETIK
Absorpsi
4
Long term
Gelisah
Adiksi
Depresi pernafasan
HIV, hepatitis
5
Kolaps vena
Infeksi bakteri
Menekan nyeri
Abortus spontan
Infeksi jantung dan katupnya
Pengaruh heroin terhadap wanita hamil:
Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik memiliki resiko tinggi untuk terjadinya
SIDS (Sudden Infant Death Syndrome)
Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik dapat mengalami gejala with drawl
dalam 24-36 jam setelah lahir. Gejalanya bayi tambah gelisah, agitasi, sering menguap,
bersin dan menangis, gemetar, muntah, diare dan pada beberapa kasus terjadi kejang
umum.
MANIFESTASI KLINIS
Efek pemakaian heroin yaitu kejang-kejang, mual, hidung dan mata yang selalu berair,
kehilangan nafsu makan dan cairan tubuh, mengantuk, cadel, bicara tidak jelas, tidak dapat
berkonsentrasi. Sakaw atau sakit karena putaw terjadi apabila si pecandu putus menggunakan
putaw. Sebenarnya sakaw salah satu bentuk detoksifikasi alamiah yaitu membiarkan si pecandu
melewati masa sakaw tanpa obat, selain didampingi dan dimotivasi untuk sembuh. Gejala sakaw
yaitu mata dan hidung berair, tulang terasa ngilu, rasa gatal di bawah kulit seluruh badan, sakit
perut/diare dan kedinginan. Tanda-tanda dari seseorang yang sedang ketagihan adalah kesakitan
dan kejang-kejang, keram perut dan menggelepar, gemetar dan muntah-muntah, hidung
berlendir, mata berair, kehilangan nafsu makan, kekurangan cairan tubuh (Sadock BJ et
al.,2010).
Intoksikasi Akut (Over Dosis)
Dosis toksik, 500 mg untuk bukan pecandu dan 1800 mg untuk pecandu narkotik. Gejala
over dosis biasanya timbul beberapa saat setelah pemberian obat (Sadock BJ et al.,2010).
Gejala intoksikasi akut (overdosis):
Depresi pernafasan, frekuensi pernafasan rendah 2-4 kali semenit, dan pernafasan
mungkin bersifat Cheyene stokes
Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi apabila pernafasan
memburuk danterjadi syok
Bradikardi
Edema paru
Kejang
Kematian biasanya disebabkan oleh depresi pernafasan. Angka kematian meningkat bila
2.
Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan obat tersebut oleh karena faal dan
biokimia badan tidak dapat berfungsi lagi tanpa obat tersebut
3.
24-72 jam, semua gejala diatas intensitasnya bertambah disertai adanya kelemahan,
depresi, nausea, vornitus, diare, kram perut, nyeri pada otot dan tulang, kedinginan dan
PEMERIKSAAN
Penampilan pasien, sikap wawancara, gejolak emosi dan lain-lain perlu diobservasi.
Petugas harus cepat tanggap apakah pasien perlu mendapatkan pertolongan kegawat darurat atau
tidak, dengan memperhatikan tanda-tanda dan gejala yang ada (Sadock BJ et al.,2010).
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut (Elvira SD, 2013) :
a. Fisik
Adanya bekas suntikan sepanjang vena di lengan,tangan kaki bahkan pada tempat-tempat
ditujukan
untuk
menemukan
gejala
euforia)
Gangguan pada proses pikir (misalnya waham, curiga, paranoid, halusinasi)
Gangguan pada psikomotor (hipperaktif/ hipoaktif, agresif gangguan pola tidur, sikap
dalam waktu singkat dalam darah. Urin harus jernih (sentrifus jika keruh), tanpa pengawet.
Penyimpanan dalam cawan, tabung plastik/gelas yang kering dan bersih. Pada 2-8C stabil 48
jam, -20C stabil >48 jam (Elvira SD, 2013).
Tabel 2.2 Perkiraan Waktu Deteksi Dalam Urine Beberapa Jenis Obat
Jenis obat
Amfetamine
Barbiturat
Benzodiazepin
Kokain
Kodein
Heroin
Methadone
Morfin
Penunjang lain
TATALAKSANA
a. Intoksikasi akut (over dosis)
Efek naloxane terlihat dalam 1 3 menit dan mencapai puncaknya pada 5-10 menit. Bila tidak
ada respon naloxane 2 mg dapat diulang tiap 5 menit hingga maksimum 10 mg. Naloxone efektif
untuk memperbaiki derjat kesadaran, depresi pernafasan, ukuran pupil. Pasien masih harus
diobservasi terhadap efek naloxone dalam 2-3 jam. Oleh karena duration of action yang pendek.
Untuk mencegah rekulensi efek opiat dapat diberikan infus naloxone 0,4-0,8 mg/jam hingga
gejala minimal (menghilang) (Warninghoff JC et al.,2009).
b. Intoksikasi kronis
9
Hospitalisasi
Hospitalisasi dilakukan untuk pasien pasien adiksi zat, terutama ditujukan untuk:
1.
2.
3.
4.
5.
Disamping pemeriksaan urine drug screen (untuk mengetahui apakah pasien menggunakan zat
lain yang tidak diakuinya), pemeriksaan laboratorium rutin (termasuk fungsi faal hati, ginjal,
danjantung), juga dilakukan foto thorak. Terapi detoksifikasi bertujuan agar pasien memutuskan
penggunaan zatnya dan mengembalikan kemampuan kognitifnya. Tidak ada bentuk terapi lain
yang harus dilakukan sebelum kedua tujuan tersebut berhasil dicapai. Tujuan hospitalisasi
lainnya adalah membantu pasien agar dapat mengidentifikasi konsekwensi yang diperoleh
sebagai akibat penggunaan zat dan memahami resikonya bila terjadi relaps. Dari segi mental,
hospitalisasi membatu mengendalikan suasana perasaannya seperti depressi, paranoid, quilty
feeling karena penyesalan perbuatannya dimasa lalu, destruksi diri dan tindak kekerasan
(Warninghoff JC et al.,2009).
Hospitalisasi jangka pendek sangat disarankan bagi adiksi zat yang memang harus
mendapatkan perawatan karena kondisinya. Selama perawatan jangka pendek, pasien
dipersiapkan untuk mengikuti terapi rumatan. Untuk kondisi adiksinya, pasien tidak pernah
disarankan untuk perawatan jangka panjang (Warninghoff JC et al.,2009).
c. Terapi Withdrawal Opioid
Withdrawal opioid tidak mengancam jiwa, tetapi berhubungan dengan gangguan
fisikologis dan distress fisik yang cukup berat. Kebanyakan pasien dengan gejala putus obat yang
ringan hanya membutuhkan lingkungan yang mendukung mereka tanpa memerlukan obat.
Klonidin dapat digunakan untuk mengurangi gejala putus obat dengan menekan perasaan
gelisah, lakrimasi, rhinorrhea dan keringat berlebihan. Dosis awal diberikan 0,1-0,2 mg tiap 8
jam. Kemudian dapat dinaikkan bila diperlukan hingga 0,8 1,2 mg/hari, selanjutnya dapat
ditappering off setelah 10-14 hari (Allen KM, 2010). Terapi non spesifik (simptomatik) yakni
(Allen KM, 2010) :
1. Gangguan tidur (insomnia) dapat diberikan hipnotik sedatif
2. Nyeri dapat diberikan analgetik
10
3.
4.
5.
6.
AMFETAMIN
11
DEFINISI
Amfetamin adalah suatu stimulan dan menekan nafsu makan. Amfetamin menstimulasi
sistem saraf pusat melalui peningkatan zat-zat kimia tertentu di dalam tubuh. Hal ini
menyebabkan terjadinya peningkatan heart rate dan tekanan darah, menekan nafsu makan serta
berbagai efek yang lain. Amfetamin biasanya berbentuk bubuk putih, kuning atau coklat dan
kristal kecil berwarna putih. Cara memakai amfetamin yang paling umum adalah dengan
menghirup asapnya (Sadock BJ et al.,2010).
EPIDEMIOLOGI
National Household Survey and Drug Abuse (NHSDA) melporkan pada tahun 1997
terdapat 4,5% dari orang yang berusia 12 tahun atau lebih menggunakan stimulan bukan atas
indikasi medis, hal ini menunjukkan peningkatan yang drastic dari pada tahun sebelumnya.
Persentasi yang paling tinggi setelah penggunaan dalam 1 tahun (1,5%) antara umur 18-25 tahun,
kemudian diikuti oleh umur 12-17 tahun. Sample ini tidak cukup luas untuk mendeteksi
peningkatan dalam penggunaan amfetamin ini disesuaikan dengan data dari ruang emergensi
untuk keracunan yang berkaitan dengan amfetamin atau program tes panghentian obat (Sadock
BJ et al.,2010).
ETIOLOGI
Ketergantungan obat, termasuk amfetamin dan zat yang mirip anfetamin dipandang
sebagai suatu hasil dari sebuah proses interaksi dari banyak faktor (social, psikologi, kultural,
dan biologi) yang mempengaruhi kebiasaan penggunaan obat. Proses ini pada beberapa kasus,
kehilangan
fleksibilitas
yang
berkaitan
dengan
penggunaan
obat
merupakan
tanda
ketergantungan obat. Faktor farmakologi diyakini sangat penting dalam kelanjutan penggunaan
dan menuju ke arah ketergantungan dari obat tersebut. Amfetamin memiliki potensi untuk
meningkatkan mood dan efek euforigenik pada manusia dan efek menguatkan pada hewan
percobaan. Faktor sosial, kultural, dan ekonomi merupakan faktor penentu yang sangat
berpengaruh terhadap alasan pemakaian, pemakaian yang berkelanjutan, dan relaps. Pemakaian
yang berlebihan lebih jauh berkaitan dengan ketersediaan amfetamin atau obat yang mirip
amfetamin (Katzung BG, 2014).
MEKANISME KERJA
12
membutuhkan dosis tinggi amfetamin yang semakin meningkat untuk memeroleh rasa tinggi
(high) yang biasa, dan tanda fisik penyalahgunaan amfetamin (contohnya penurunan berat
badan dan ide paranoid) hampir selalu timbul dengan diteruskannya penyalahgunaan
(American Psychiatric Association, 2013).
lntoksikasi Amfetamin
Sindrom intoksikasi kokain (menghalangi reuptake dopamin) dan amfetamin
(menyebabkan pelepasan dopamin) sifatnya serupa. Oleh karena penelitian tentang
penyalahgunaan dan intoksikasi kokain dilakukan lebih teliti dan mendalam dibanding pada
amfetamin, literatur klinis tentang amfetamin sangat dipengaruhi temuan klinis pada
penyalahgunaan kokain. Pada DSM-V, kriteria diagnosis intoksikasi amfetamin dan
intoksikasi kokain terpisah namun hampir sama. DSM-V merinci gangguan persepsi sebagai
gejala intoksikasi amfetamin. Bila tidak ada uji realitas yang intak, dipikirkan diagnosis
gangguan psikotik terinduksi amfetamin dengan awitan saat intoksikasi. Gejala intoksikasi
amfetamin sebagian besar pulih setelah 24 jam dan umumnya akan hilang sepenuhnya
setelah 48 jam (American Psychiatric Association, 2013).
Keadaan Putus Amfetamin
Setelah intoksikasi amfetamin, terjadi uash dengan gejala ansietas, gemetar, mood
disforik, letargi, kelelahan, mimpi buruk disertai tidur dengan rapid eye moventent yang
berulang), sakit kepala, berkeringat hebat, kram otot, kram perut, dan rasa lapar yang tak
terpuaskan. Gejala putus zat biasanya memuncak dalam 2 sampai 4 hari dan hilang dalam I
minggu. Gejala putus zat yang paling serius adalah depresii yang terutama dapat menjadi
berat setelah penggunaan amfetamin dosis tinggi terus-menerus dan dapat dikaitkan dengan
ide atau perilaku bunuh diri. Kriteria diagnosis DSM-V untuk keadaan putus amfetamin
merinci bahwa mood disforik dan perubahan fisiologis diperlukan untuk diagnosis tersebut
(American Psychiatric Association, 2013).
Delirium pada lntoksikasi Amfetamin
Delirium yang disebabkan oleh penggunaan amfetamin biasanya muncul akibat
amfetamin penggunaan dosis tinggi atau terus-menerus sehingga deprivasi tidur
memengaruhi tampilan klinis. Kombinasi amfetamin dengan zat lain serta penggunaan
amfetamin oleh orang dengan kerusakan otak yang,telah ada sebelumnya juga dapat
menyebabkan timbulnya de lirium. Tidak jarang mahasiswa universitas yang menggunakan
14
amfetamin untuk belajar kilat menghadapi ujian menunjukkan delirium jenis ini (Sadock BJ
et al.,2010).
Gangguan Psikotik Terinduksi Amfetamin
Kemiripan klinis psikosis terinduksi amfetamin dengan skizofrenia paranoid telah
memicu penelitian intensif tentang neurokimiawi psikosis terinduksi amfetamin untuk
menguraikan patofisiologi skizofrenia paranoid. Tanda gangguan psikotik terinduksi
amfetamin adalah adanya paranoia. Gangguan psikotik terinduksi amfetamin dapat
dibedakan dengan skizofrenia paranoid dengan sejumlah karakteristik pembeda yang
ditemukan pada gangguan psikotik terinduksi amfetamin, yaitu adanya predominasi
halusinasi visual, afek yang secara umum serasi, hiperaktivitas, hiperseksualitas,
kebingungan dan inkoherensi, serta sedikit bukti gangguan proses pikir (seperti asosiasi
longgar). Pada beberapa studi, peneliti juga mencatat bahwa meski gejala positilgangguan
psikotik terinduksi amfetamin dan skizofrenia mirip, gangguan psikotik terinduksi
amfetamin biasanya tidak memiliki af'ek mendatar dan alogia seperti pada skizofrenia.
Namun, secara klinis, gangguan psikotik terinduksi amf'etamin yang akut mungkin tidak
dapat dibedakan dengan skizofrenia, dan hanya resolusi gejala dalam beberapa hari atau
temuan positif pada uji tapis zat dalam urin yang akhirnya akan menunjukkan diagnosis
yang tepat. Terapi pilihan untuk gangguan psikotik terinduksi amfetamin adalah penggunaan
.jangka pendek obat antipsikotik seperti haloperidol (Haldol) (Sadock BJ et al.,2010).
Gangguan Mood Terinduksi Amfetamin
Awitan gangguan mood terinduksi amfetarnin dapat terjadi saat intoksikasi atau putus
zat. Umumnya, intoksikasi rnenimbulkan gambaran manik atau mood campuran, sementara
keadaan putus zat menimbulkan gambaran mood depresif (Sadock BJ et al.,2010).
Gangguan Ansietas Terinduksi Amfetamin
Amfetamin, seperti kokain, clapat menginduksi gejala yang serupa dengan yang
terlihat pada gangguan obsesif-kompulsif, gangguan panik, dan terutama, gangguan tbbia.
Awitan gangguan ansietas terinduksi amfetamin juga dapat terjadi saat inloksikasi atau putus
zat (Sadock BJ et al.,2010).
Disfungsi Seksual Terinduksi Amfetamin
Amfetamin sering digunakan untuk meningkatkan pengalaman seksual; namun, dosis
tinggi dan penggunaan jangka panjang dikaitkan dengan gangguan ereksi dan disfungsi
seksual lain. Disfungsi ini diklasifikasikan dalam DSM-V sebagai disfungsi seksual
terinduksi amletamin (Sadock BJ et al.,2010).
Gangguan Tidur Terinduksi Amfetamin
15
bernapas, kekurangan nutrisi, dan gangguan jiwa. Dalam keadaan keracunan akut, pengguna
amfetamin pada umumnya merasakan euforia, keresahan, agitasi, dan cemas berlebihan. Kirakira 5 12% pengguna mengalami halusinasi, keinginan untuk bunuh diri, dan kebingungan.
Sebanyak 3% pengguna amfetamin mengalami kejang-kejang (Sadock BJ et al.,2010).
2.6
ALKOHOL
DEFINISI
Alkohol adalah salah satu dari sekelompok senyawa organik yang dibentuk dari
hidrokarbon-hidrokarbon oleh pertukaran satu atau lebih gugus hidroksil dengan atom-atom
hidrogen dalam jumlah yang sama; istilah ini meluas untuk berbagai hasil pertukaran yang
bereaksi netral dan mengandung satu atau lebih gugus alkohol (Klagenberg KF et al., 2007).
EPIDEMIOLOGI
Kira-kira 85% dari semua penduduk Amerika Serikat pernah menggunakan minuman
yang mengandung alkohol sekurang-kurangnya satu kali dalam hidupnya. Dan kira-kira 51%
dari semua orang dewasa di Amerika Serikat merupakan pengguna alkohol saat ini (American
Psychiatric Association, 2013).
ETIOLOGI
Faktor Psikoanalisis
Teori psikoanalisis tentang gangguan berhubungan dengan alkohol telah dipusatkan pada
hipotesis superego yang sangat bersifat menghukum dan fiksasi pada stadium oral dari
perkembangan psikoseksual. Menurut teori psikoanalisis, orang dengan superego yang keras
yang bersifat menghukum diri sendiri berpaling ke alkohol sebagai cara menghilangkan stres
bawah sadar mereka. Kecemasan pada orang yang terfiksasi pada stadium oral mungkin
diturunkan dengan menggunakan zat seperti alkohol melalui mulutnya. Beberapa dokter
psikiatrik psikodinamika menggambarkan kepribadian umum dari seseorang dengan gangguan
berhubungan dengan alkohol adalah pemalu, terisolasi, tidak sabar, iritabel, penuh kecemasan,
hipersensitif, dan terrepresi secara seksual (Sadock BJ et al.,2010).
Faktor Sosial dan Kultural
Beberapa lingkungan sosial menyebabkan minum yang berlebihan. Asrama perguruan
tinggi dan basis militer adalah dua contoh lingkungan dimana minum berlebihan dipandang
normal dan perilaku yang diharapkan secara sosial. Sekarang ini, perguruan tinggi dan
17
universitas mencoba mendidik mahasiswanya tentang resiko kesehatan dari minum alkohol yang
berlebihan (Sadock BJ et al.,2010).
Faktor Perilaku dan Pembelajaran
Sama seperti faktor kultural, faktor perilaku dan pembelajaran juga dapat mempengaruhi
kebiasaan minum, demikian juga kebiasaan didalam keluarga, khususnya kebiasaan minum pada
orang tua dapat mempengaruhi kebiasaan minum. Tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa,
walaupun kebiasaan minum pada keluarga memang mempengaruhi kebiasaan minum pada anakanaknya, kebiasaan minum pada keluarga kurang langsung berhubungan dengan perkembangan
gangguan berhubungan dengan alkohol seperti yang dianggap sebelumnya, walaupun hal
tersebut memang memiliki peranan penting. Dari sudut pandang perilaku, ditekankan pada aspek
pendorong positif dari alkohol, alkohol yang dapat menimbulkan perasaan sehat dan euforia pada
seseorang. Selain itu, konsumsi alkohol dapat menurunkan rasa takut dan kecemasan yang dapat
mendorong seseorang untuk minum lebih lanjut (Sadock BJ et al.,2010).
FARMAKOKINETIK
Absorpsi
Kira-kira 10% alkohol yang dikonsumsi diabsorpsi di lambung, dan sisanya di usus kecil.
Konsentrasi puncak alkohol didalam darah dicapai dalam waktu 30-90 menit, biasanya dalam
45-60 menit, tergantung apakah alkohol diminum saat lambung kosong, yang meningkatkan
absorbsi atau diminum bersama makanan yang memperlambat absorbsi. Waktu untuk mencapai
konsentrasi puncak dalam darah juga merupakan suatu faktor selama mana alkohol dikonsumsi,
waktu yang singkat menurunkan waktu untuk mencapai konsentrasi puncak. Absorbsi paling
cepat 15-30% (kemurnian -30 sampai -60). Tubuh memiliki alat pelindung terhadap masuknya
alkohol. Sebagai contoh, jika konsentrasi alkohol menjadi terlalu tinggi didalam lambung, mukus
akan disekresikan dan katup pilorik ditutup, hal tersebut akan memperlambat absorbsi dan
menghalangi alkohol masuk ke usus kecil. Jadi, sejumlah besar alkohol dapat tetap tidak
terabsorbsi didalam lambung selama berjam-jam. Selain itu, pilorospasme sering kali
menyebabkan mual dan muntah (Katzung BG, 2014).
Metabolisme
Kira-kira 90% alkohol yang diabsorbsi dimetabolisme di hati, sisanya dieksresikan tanpa
diubah oleh ginjal dan paru-paru. Kecepatan oksidasi di hati konstan dan tidak tergantung pada
18
kebutuhan energi tubuh. Tubuh mampu memetabolisme kira-kira 15 mg/dl setiap jam dengan
rentan berkisar antara 10-34 mg/dl per jamnya (Katzung BG, 2014).
Alkohol dimetabolisme dengan bantuan 2 enzim yaitu alkohol dehidrogenase (ADH) dan
aldehida dehidrogenase. ADH mengkatalisasi konversi alkohol menjadi asetilaldehida yang
merupakan senyawa toksik. Aldehida dehidrogenase mengkatalisasi konversi asetaldehida
menjadi asam asetat. Aldehida dehidrogenase diinhibisi oleh disulfiram (An-tabuse), yang sering
digunakan dalam pengobatan gangguan terkait alkohol (Katzung BG, 2014).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada wanita memiliki ADH yang lebih rendah
dari pada laki-laki, yang mungkin menyebabkan wanita cenderung menjadi lebih terintoksikasi
dibanding laki-laki setelah minum alkohol dalam jumlah yang sama. Penurunan fungsi enzim
yang memetabolisme alkohol akan menyebabkan mudahnya seseorang terjadi intoksikasi alkohol
dan gejala toksik (Katzung BG, 2014).
MANIFESTASI KETERGANTUNGAN DAN MASALAH ALKOHOLISME
a. Manifestasi klinis
Sekitar 80% pasien yang dirujuk akibat ketergantungan alkohol memiliki masalah medis
yang serius. Gejala putus obat umumnya timbul saat pasien sadar. Gambaran komplikasi
spesifik sangat bervariasi (Warninghoff JC et al.,2009);
- Gastrointestinal : hepatitis, sirosis, gastritis, perdarahan gastrointestinal, pankreatitis
- Kardiovaskuler : hipertensi ( menyebabkan meningkatkan kejadian penyakit kanker
-
perdarahan
subdural, ensefalopati
- Muskuloskeletal : gout
b. Manifestasi psikiatrik (Sadock BJ et al.,2010).
- Depresi : semua bentuk depresi dapat dicetuskan oleh alkohol. Depresi sendiri dapat
menyebabkan alkoholisme dengan memacu orang untuk minum sebagai usaha untuk
-
sendiri
Disfungsi seksual : impotensi, ejakulasi lama
19
Halusinasi : baik auditorik maupun visual biasanya selama putus obat tetapi dapat
Progresifitas penyakit ini bergantung kepada banyak faktor diantaranya usia, zat
psikoaktif pilihannya, gender, dan predisposisi faali. Progresifitas adiksi lebih cepat pada remaja
daripada orang dewasa. Progresifitas pada perempuan lebih cepat daripada pada laki-laki (Allen
KM, 2010).
DIAGNOSIS
DSM-V menuliskan gangguan berhubungan dengan alkohol dan menyebutkan kriteria
diagnostik untuk intoksikasi alkohol dan putus alkohol.
Gangguan terkait alkohol
Gangguan penggunaan alkohol
Ketergantungan alkohol
Penyalahgunaan alkohol
Gangguan akibat alkohol
Intoksikasi alkohol
Putus alkohol
Sebutkan jika
dengan gangguan persepsi
Delirium intoksikasi alkohol
Delirium putus alkohol
Demensia menetap akibat alkohol
Gangguan psikotik akibat alkohol, dengan waham
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Dengan onset selama putus
Gangguan psikotik akibat alkohol, dengan halusinasi
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Dengan onset selama putus
20
5)
6)
7)
8)
C. Gejala
Obat
chlordiazepoxid
agitasi ringan
Jalur
Oral
Dosis
25-100 mg tiap 4-6 jam
Keterangan
Dosis awal dapat
diulangi tiap 2 jam
sampai sedang
Halusinosis
Diazepam
Oral
Agitasi parah
Lorazepam
Oral
chlordiazepoxid
Intravena
Kejang putus
e
Diazepam
Intravena
mg/mnt
0,15 mg/kg pada 2,5
Delirium
Lorazepam
Intravena
mg/mnt
0,1 mg/kg pada 2,0
tremens
mg/mnt
Delirium
Delirium putus alkohol merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang dapat
meningkatkan mortalitas dan morbiditas yang bermakna. Pasien delirium sangat berbahaya bagi
dirinya sendiri dan orang lain karena perilaku yang tidak dapat diperkirakan. Pasien mungkin
akan menyerang atau bunuh diri. Delirium tremens yang tidak diobati, dapat meningkatkan
mortalitas sekitar 20%, biasanya bersamaan dengan penyakit medis lainnya seperti pneumonia,
penyakit ginjal, insufisiensi hati atau gagal jantung (Warninghoff JC et al.,2009). Ciri penting
dari sindroma delirium adalah terjadi dalam 1 minggu setelah seseorang menghentikan minum
alkohol. Disamping itu terdapat ciri-ciri berupa (Warninghoff JC et al.,2009) :
1. Hiperaktifitas otonomik, seperti takikardia, diaforesis, demam, kecemasan, insomnia,
dan hipertensi
2. Distorsi perseptual, yang paling sering adalah halusinasi visual atau taktil
3. Fluktuasi tingkat aktivitas psikomotor, rentangnya dari hipereksitabilitas sampai
letargi.
Kira-kira 5% dari semua pasien yang dirawat di rumah sakit karena alkoholik mengalami
DTs. Episode DTs biasanya mulai pada usia 30-40an setelah minum berat selama 5-15 tahun.
Pengobatan terbaik untuk DTs adalah pencegahan. Pasien yang putus dari alkohol yang
menunjukkan salah satu fenomena putus alkohol harus mendapatkan terapi benzodiazepin,
seperti chlordiazepoxide 25-50 mg tiap 2-4 jam hingga pasien lepas dari bahaya. Tetapi jika
tanda delirium terlihat, berikan chlordiazepoxide 50-100 mg tiap 4 jam peroral atau lorazepam
intravena jika medikasi oral tidak memungkinkan (Warninghoff JC et al.,2009).
Pada pengobatan berikan diet tinggi kalori, tinggi karbohidrat, dan multivitamin. Pasien
dengan DTs jika diikat fisiknya akan berbahaya karena pasien dapat berontak terhadap
pengikatan sampai mengalami kelelahan yang berbahaya. Jika pasien tidak dapat dikendalikan
maka pasien harus ditempatkan diruangan isolasi. Pasien dapat mengalami dehidrasi yang
disebabkan diaforesis dan demam, hal ini dapat dikoreksi dengan pemberian cairan oral maupun
24
intravena. Diare, muntah dan anoreksia sering terjadi selama putus alkohol (Warninghoff JC et
al.,2009).
Demensia Menetap akibat Alkohol
Keabsahan demensia akibat alkohol (alkohol-induced persisting dementia) masih
kontroversial, karena beberapa klinisi dan peneliti masih sulit untuk membedakan antara efek
toksik dari penyalahgunaan alkohol dengan kerusakan sistem saraf pusat akibat nutrisi yang
buruk, trauma multipel, dan kerusakan sistem saraf pusat yang terjadi setelah malfungsi organ
tubuh lainnya (hati, pankreas dan ginjal). Walaupun beberapa penelitian telah menemukan
adanya pembesaran ventrikel dan atrofi kortikal pada seseorang dengan demensia dan riwayat
ketergantungan alkohol, namun penelitian tersebut belum bisa menjelaskan apa sebenarnya
penyebab demensia (Allen KM, 2010).
Gangguan Amnestik Menetap Akibat Alkohol
Kriteria diagnostik untuk gangguan amnestik menetap akibat alkohol (alkohol-induced
persisting amnestic disorder) berada dalam kategori DSM-V untuk gangguan amnestik menetap
akibat zat.ciri penting gangguan amnestik menetap akibat alkohol adalah gangguan daya ingat
jangka pendek yang diakibatkan penggunaan alkohol berat dalam jangka waktu yang lama.
Gangguan ini jarang terjadi pada usia dibawah 35 tahun (American Psychiatric Association,
2013).
Gangguan Psikotik Akibat Alkohol
Kreteria diagnostik untuk gangguan psikotik akibat alkohol (alkohol-induced psycotik
disorder) (sebagai contoh halusinasi dan waham) ditemukan di dalam kategori DSM-V tentang
gangguan psikotik akibat zat (subtance-induced psycotic disorder). DSM-V memungkinkan lebih
jauh untuk menentukan onset (selama intoksikasi atau putus alkohol) dan apakah halusinasi atau
waham ditemukan. Istilah untuk halusinasi yang terjadi selama putus alkohol yang digunakan
didalam DSM-III R tetapi tidak lagi digunakan dalam DSM-V adalah halusinasi alkohol.
Halusinasi yang paling sering adalah auditorik, biasanya berupa suara-suara, tetapi suara tersebut
sering kali tedak terstruktur. Suara-suara karakteristiknya adalah memfitnah, mencela, atau
mengancam. Walaupun beberapa pasien dilaporkan bahwa suara-suara itu adalah menyenangkan
dan tidak menganggu. Halusinasi biasanya berlangsung selama kurang dari 1 minggu walaupun
selama minggu tersebut gangguan test realitas adalah sering. Setelah episode, sebagian besar
pasien menyadari sifat halusinasi dari gejalanya (American Psychiatric Association, 2013).
25
Halusinasi setelah putus alkohol dianggap merupakan gejala yang jarang, dan sindrom
adalah beberapa dari delirium putus alkohol. Halusinasi dapat terjadi pada semua usia, tetapi
biasanya berhubungan dengan orang yang telah melakukan penyalahgunaan alkohol dalam
jangka waktu yang lama. Walaupun biasanya halusinasi menghilang dalam 1 minggu, tapi pada
beberapa kasus dapat menetap. Halusinasi berhubungan dengan putus alkohol harus dibedakan
dengan skizofren yang berhubungan dengan temporal dengan putus alkohol, tidak adanya
riwayat klasik skizofrenia dan halusinasinya biasanya singkat. Halusinasi berhubungan dengan
putus alkohol dibedakan dari DTs oleh karena adanya sensorium yang jernih pada pasien
(American Psychiatric Association, 2013).
Pengobatan halusinasi berhubungan dengan putus alkohol sama dengan DTs yaitu dengan
benzodiazepin, nutrisi yang adekuat, dan cairan jika diperlukan. Jika regimen gagal dan pada
kasus jangka panjang, antipsikotik dapat digunakan (American Psychiatric Association, 2013).
Gangguan Berhubungan dengan Alkohol Lainnya
Gangguan
mood
akibat
alkohol
(alkohol-induced
mood
disorder).
DSM-V
memungkinkan diagnosis gangguan mood akibat alkohol dengan ciri manik, depresif atau
campuran. Gangguan kecemasan akibat alkohol (alkohol-induced anxiety disorder). DSM-V
memungkinkan
diagnosis
gangguan
kecemasan
akibat
alkohol.
DSM-V
selanjutnya
menganjurkan agar diagnosis menyebutkan apakah gejala merupakan apakah gejala merupakan
kecemasan menyeluruh, serangan panik, gejala obsesif-kompulsif, atau gejala fobik dan apakah
onset selama intoksikasi atau selama putus alkohol (American Psychiatric Association, 2013).
Kategori gangguan terkait alkohol yang tidak ditentukan adalah gangguan yang berhubungan
dengan pemakaian alkohol yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai ketergantungan alkohol,
penyalahgunaan alkohol, intoksikasi alkohol, putus alkohol, delirium putus alkohol, demensia
menetap akibat alkohol, gangguan psikotik akibat alkohol, gangguan mood akibat alkohol,
gangguan kecemasan akibat alkohol, disfungsi seksual akibat alkohol, atau gangguan tidur akibat
alkohol (American Psychiatric Association, 2013).
TATALAKSANA
Psikoterapi
Psikoterapi memusatkan pada alasan seseorang mengapa minum. Fokus spesifik adalah
dimana pasien minum, dorongan premotivasi dibelakang minum, hasil yang diharapkan dari
minum, dan cara alternatif untuk mengatasi situasi tersebut. Melibatkan pasangan yang tertarik
26
dan bekerja sama dalam terapi bersama untuk sekurangnya satu sesion adalah sangat efektif
(Warninghoff JC et al.,2009).
Medikasi
Disulfiram
Disulfiram (antabuse) menghambat secara kompetitif enzim aldehida dehidrogenase,
sehingga biasanya minuman segelaspun biasanya menyebabkan reaksi toksik karena akumulasi
asetaldehida didalam darah. Pemberian obat tidak boleh dimulai sampai 24 jam setelah minuman
terakhir pasien. Pasien harus dalam kesehatan yang baik, sangat termotivasi, dan bekerja sama.
Dokter harus memberitahukan pasien akibat meminum alkohol saat menggunakan obat dan
selama 2 minggu setelahnya (Warninghoff JC et al.,2009).
Merekan yang menggunakan alkohol sambil meminum disulfiram 250 mg setiap harinya
akan mengalami kemerahan dan perasaan panas pada wajah, sklera, anggota gerak atas dan dada.
Mereka akan menjadi pucat, hipotensif dan mual juga mengalami malaise yang serius. Pasien
juga akan mengalami rasa pusing, pandangan kabur, palpitasi, sesak dan mati rasa pada anggota
gerak. Dengan dosis lebih dari 250 mg maka dapat terjadi gangguan daya ingat dan konfusi
(Warninghoff JC et al.,2009).
Psikotropika
Obat antiansietas dan antidepresan dapat mengobati gejala kecemasan pada pasien
dengan gangguan terkait alkohol (Warninghoff JC et al.,2009).
Terapi Perilaku
Terapi perilaku mengajarkan seseorang dengan gangguan terkait alkohol untuk
menurunkan kecemasan. Latihan ditekankan pada latihan relaksasi, latihan ketegasan,
keterampilan mengendalikan diri, dan strategi baru untuk menguasai lingkungan. Sejumlah
program pembiasaan perilaku (operant conditioning) membiasakan orang dengan gangguan
terkait alkohol untuk memodifikasi perilaku minum mereka atau untuk berhenti minum.
Dorongan berupa hadiah keuangan, kesempatan untuk tinggal dalam lingkungan rawat inap yang
baik, dan jalur untuk memasuki interaksi sosial yang menyenangkan (Sadock BJ et al.,2010).
Halfway House
Pemulangan seorang pasien dari rumah sakit sering kali memiliki masalah penempatan
yang serius. Rumah dan lingkungan keluarga lainnya mungkin menghalangi, tidak mendukung,
atau terlalu tidak berstruktur. Halfway house adalah suatu sarana pengobatan yang penting yang
27
28
BAB 3
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Berdasarkan data penelitian pengguna NAPZA di dunia, dilaporkan hampir 40%
penduduk di dunia pernah menggunakan NAPZA dalam hidup mereka. Beberapa substansi
tersebut menyebabkan kelainan status mental secara internal, seperti menyebabkan perubahan
mood, secara eksternal menyebabkan perubahan perilaku. Substansi tersebut juga dapat
menimbulkan problem neuropsikiatrik yang masih belum ditemukan penyebabnya, seperti
skizofrenia dan gangguan mood, sehingga kelainan primer psikiatrik dan kelainan yang
disebabkan oleh NAPZA menjadi sangat berhubungan.
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila
masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat,
sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi
kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA
Penyebab penyalahgunaan napza karena factor genetic dan juga psikodinamik. Gejalagejala klinis gangguan penyalahgunaan NAPZA antara lain: adanya keinginan yang kuat atau
dorongan yang memaksa (kompulsi) untuk menggunakan NAPZA, kesulitan dalam
mengendalikan perilaku menggunakan NAPZA sejak awal, keadaan putus NAPZA secara
fisiologis ketika penghentian penggunaan NAPZA atau pengurangan, adanya bukti toleransi,
secara progressif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena penggunaan NAPZA,
meneruskan penggunaan NAPZA meskipun ia menyadari dan memahami adanya akibat yang
merugikan kesehatan akibat penggunaan NAPZA.
DAFTAR PUSTAKA
29
Allen KM. Clinical Care of the Addicted Client. American Psychiatriy Journal, 2010.
American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 5th
ed. Washington DC: American Psychiatric Publishing 2013
Elvira SD. 2013. Buku Ajar Psikiatri UI edisi ke dua. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Katzung BG. 2014. Farmakologi Dasar dan Klinis. Jakarta : EGC
Kemenkes RI. Gambaran Umum Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia. Buletin Jendela Data
dan Informasi Kesehatan, 2014.
Klagenberg KF, Zeigelboim BS, Jurkiewicz AL, Martins-Bassetto J. Substance Related
Disorders in Teenagers. PMC Journal, 2007 May-Jun;73(3):353-8.
Rusadi M. 2013. Buku saku diagnosis jiwa Rujukan ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
Sadock BJ, Sadock VA. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed Ke- 2. Jakarta:
EGC
Warninghoff JC, Bayer O,Straube A, Ferarri U. Treatment and Rehabilitation in Substance
Related disorders, Review Article on: British Psychiatry Journal, 2009.
30