Professional Documents
Culture Documents
TB Ekstra Paru
Pembimbing
Dr. Alex Santana, SpPD
Pendamping
dr. M Pratiknyo
Disusun Oleh
dr. Dwi Prasetyo Nugroho
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
DEPARTEMEN KESEHATAN KABUPATEN SEMARANG
RSUD AMBARAWA
2015
Topik
: Medik
Kasus
: TB Ekstra Paru
Oleh
Pembimbing
Pendamping
: dr. M Pratiknyo
Deskripsi
Tujuan
Pembimbing,
Pendamping,
dr. H. M. Pratiknyo
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
I.
TUBERCULOSIS
A. Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar basil tuberculosis
menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya (Depkes
RI, 2007).
Tuberkulosis telah dikenali dalam beragam bentuknya selama ribuan
tahun. Deskripsi TB sudah ada sejak milenium pertama sebelum masehi dalam
teks medis dari Yunani ke India. Orang-orang Yunani menamakan penyakit ini
dengan sebutan phthisis, yang berarti to waste. Dalam dunia berbahasa
Inggris, consumption adalah nama umum yang diberikan pada penyakit ini.
Selama Era Pertengahan, ketika TB menjadi umum di benua Eropa, dimana
penyakit ini menjadi semakin dikenali sebagai white plague. Manifestasi lain
terdeskripsikan, meliputi destruksi paru yang cepat nan progresif dan
manifestasi kulit dari lupus vulgaris. Deskripsi Percival Pott mengenai TB
pada tulang belakang menghasilkan pemberian namanya kepada bentuk TB
ini. Dengan manifestasinya yang beraneka ragam, TB dianggap mewakili
banyak penyakit yang berbeda. Sampai akhirnya pada tahun 1804, dimana
Rene Laennec mengusulkan teorinya tentang pandangan untuk menyatukan
dari manifestasi beragam akibat penyakit ini. Pada 1839, Schnlein
mengusulkan entitas patologisnya dikenal sebagai tubercle yang menjadi dasar
fundamental penyakit dan menganjurkan kata tuberculosis digunakan sebagai
nama generik untuk semua manifestasi beragamnya. Pada 1882, Robert Koch
menemukan bahwa agen penyebab TB merupakan organisme kompleks
Mycobacterium tuberculosis (Fitzpatrick & Braden, 2000).
B. Epidemiologi
Epidemiologi tuberkulosis bervariasi nilainya di seluruh dunia. Angka
tertinggi (100/100.000 atau lebih) ditemukan di Afrika sub-Sahara, India,
China, dan pulau-pulau di Asia Tenggara dan Mikronesia. Angka intermediate
tuberkulosis (26-100 kasus/100.000) muncul di Amerika Tengah dan Selatan,
Eropa Timur, dan Afrika Utara. Angka rendah (kurang dari 25 kasus per
100.000 penduduk) muncul di Amerika Serikat, Eropa Barat, Kanada, Jepang,
dan Australia . Dan diperkirakan 1 dari 14 kasus TB baru muncul pada
individu yang terinfeksi HIV, 85% kasus-kasus ini muncul di Afrika
(Horsburgh, 2010). Seperti yang disampaikan di atas, TB paru mencakup 8085% dari seluruh kasus aktif; sedangkan TB ekstraparu mencakup 15-20%
lainnya (Fitzpatrick & Braden, 2000).
C. Tuberkulosis Ekstraparu
1. Definisi
Yang dimaksud dengan TB ekstraparu adalah tuberkulosis yang
menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya, kelenjar limfe, pleura,
selaput otak, selaput jantung (perikardium), tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kemih, alat kelamin, dan lain-lain (Depkes RI, 2007).
2. Epidemiologi
Manifestasi klinis TB bervariasi dan bergantung pada sejumlah
faktor yang berhubungan dengan mikroba, pejamu dan lingkungan. Peran
faktor-faktor yang berhubungan dengan pejamu yang bertanggung jawab
atas terjadinya TB pada situs ekstraparu adalah terbatas. Beberapa studi
telah melaporkan bahwa proporsi TB ekstraparu meningkat disebabkan
epidemi HIV dan mungkin juga oleh perkembangan dalam fasilitas
diagnostik (Sreeramareddy, Panduru, Verma, Joshi, dan Bates, 2008).
Sebuah studi dari Amerika Serikat melaporkan bahwa wanita,
warga berkulit hitam non-Hispanic dan individu yang terinfeksi HIV lebih
beresiko tinggi menderita TB ekstraparu. Sedangkan studi di Amerika
Serikat yang lain menunjukkan HIV-seropositif, usia kurang dari 18 tahun,
warga Amerika berketurunan Afrika, pengidap sirosis hepatis adalah
kompleks
primer
dapat
mengalami
dan
menjalar
ke
tulang
subkondral.
Penyebaran
ini
Nyeri
merupakan
gejala
paling
umum,
dan
penyebaran
secara
hematogen
dari
organisme
meningismus
dan
papilledema.
TB
SSP dapat
dan
sering
memunculkan
dilema
dalam
diagnosis.
TB
genitourinarius
berkembang
dengan
lamban.
Dapat
menstruasi,
dan
infertilitas.
Laki-laki
dapat
sukar dipahami,
lunak (Kreider
sensitivitas
dan
spesifisitasnya
yang
rendah
dan
2004).
Untuk
menyembuhkan
TB
diperlukan
B6,
gangguan
penglihatan
akibat
etambutol,
dan
hepatotoksisitas INH dan rifampisin. Efek toksik terhadap hati ini lebih
berat bila kedua obat diberikan bersama-sama (Karnadihardja, 2004).
Untuk bentuk yang parah, lebih cenderung untuk menangani
dengan empat obat pada fase intensif awal dan jika diperlukan, total
lama pengobatan dapat diperpanjang menjadi 9 bulan. Pasien TB
ekstraparu diberikan pengobatan 2H3R3Z3/4H3R3 selama 6 bulan.
Bagaimanapun,
pada
2H3R3Z3E3/4H3R3.
Pada
bentuk
yang
TB
meningeal,
parah
diberikan
pengobatan
akan
penetrasi
antibiotik
ke
daerah
radang
sehingga
ABSES
A. Definisi
Abses adalah pengumpulan eksudat purulen yang terjebak di dalam
jaringan yang kemudian membentuk rongga yang secara anatomis sebelumnya
tidak ada dengan jaringan fibrotic disekitarnya sebagai respon tubuh terhadap
adanya infeksi.
B. Patofisiologi
Kejadian abses bermula dari trauma mayor ataupun minor yang diikuti
masuknya bakteri. Eksudat kemudian terakumulasi, jika tidak segera
diekskresikan atau di absorbsi tubuh, maka akan memicu terbentuknya kapsul
fibrous sebagai respon tubuh untuk melokalisir untuk membatasi penyebaran
lebih lanjut.
D. Klinis
Terbentuk indurasi disertai reaksi inflamasi disekitarnya yang lamakelamaan terbentuk masa kistik dengan temperatur yang lebih hangat
dibandingkan jaringan sehat. Pada palpasi akan didapatkan adanya fluktuasi
sebagai akibat banyaknya eksudat yang terbetuk. Gejala yang timbul:
-
adanya massa/pembengkakkan
nyeri
teraba hangat
kemerahan
Gejala sistemik yang terjadi bisa timbul demam yang berulang. Jika masih
ragu, lakukan aspirasi dengan spuit berjarum besar di daerah yang paling
fluktuatif. Pada pemeriksaan laboratorium bisa menunjukan peningkatan
leukosit.
E. Terapi
Terapi utama adalah drainase sebagai kontrol sumber infeksi (source
control). Drainase dilakukan dengan menginsisi bagian yang paling fluktuatif
dan dinding yang paling tipis. Adakalanya terbetuk septa-septa dalam satu
abses sehingga diperlukan multiple insisi. Pemberian antibiotik idealnya
adalah sesuai dengan tes kultur dan resistensi, namun mengingat hasil kultur
setidaknya membutuhkan waktu 3 hari, maka diberikan antibiotik broad
spectrum sesuai pola kuman penyebab terbanyak dan pola resistensi yang
berbeda di setiap daerah.
Teknik Operasi
1. Tindakan a dan antiseptik, jika abses sudah pecah, maka mulai painting
dari arah luar kedalam (bagian yang kotor diusap terakhir).
2. Drepping
3. Anestesi dengan chlor ethyl topical (disemprot)
4. Siapkan kasa dan neerbeken untuk menampung eksudat
5. Insisi dengan pisau no 11, kemudian lebarkan dengan klem
6. Tekan sampai pus/eksudat minimal
III.
ANEMIA
A. Definisi
Menurut definisi, anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah,
kuantitas hemoglobin, dan volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100
ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan
pencerminan dari dasar perubahan patofisiologis, yang diuraikan oleh
anamnesa dan pemikiran fisik yang teliti, serta didukung oleh pemeriksaan
laboratorium.
B. Manifestasi Klinik
Pada anemia, karena semua sistem organ dapat terlibat, maka dapat
menimbulkan manifestasi klinik yang luas. Manifestasi ini bergantung pada:
umur individu
mekanisme kompensasinya
tingkat aktivitasnya
C. Etiologi
1. Cacat sel darah merah (SDM)
Sel darah merah mempunyai komponen penyusun yang banyak sekali.
Tiap-tiap komponen ini bila mengalami cacat atau kelainan, akan
menimbulkan masalah bagi SDM sendiri, sehingga sel ini tidak berfungsi
sebagai mana mestinya dan dengan cepat mengalami penuaan dan segera
dihancurkan. Pada umumnya cacat yang dialami SDM menyangkut senyawasenyawa protein yang menyusunnya. Oleh karena kelainan ini menyangkut
protein, sedangkan sintesis protein dikendalikan oleh gen di DNA.
2. Kekurangan zat gizi
Anemia jenis ini merupakan salah satu anemia yang disebabkan oleh
faktor luar tubuh, yaitu kekurangan salah satu zat gizi. Anemia karena
kelainan dalam SDM disebabkan oleh faktor konstitutif yang menyusun sel
tersebut. Anemia jenis ini tidak dapat diobati, yang dapat dilakukan adalah
hanya memperpanjang usia SDM sehingga mendekati umur yang seharusnya,
mengurangi beratnya gejala atau bahkan hanya mengurangi penyulit yang
terjadi.
3. Perdarahan
Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan
kurangnya jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena
perdarahan besar dan dalam waktu singkat ini secara nisbi jarang terjadi.
Keadaan ini biasanya terjadi karena kecelakaan dan bahaya yang
diakibatkannya langsung disadari. Akibatnya, segala usaha akan dilakukan
serta distribusi kapiler mempengaruhi warna kulit, maka warna kulit bukan
merupakan indeks pucat yang dapat diandalkan. Warna kuku, telapak tangan,
dan membran mukosa mulut serta konjungtiva dapat digunakan lebih baik
guna menilai kepucatan.
Takikardia dan bising jantung (suara yang disebabkan oleh kecepatan
aliran darah yang meningkat) menggambarkan beban kerja dan curah jantung
yang meningkat. Angina (sakit dada), khususnya pada penderita yang tua
dengan stenosis koroner, dapat diakibatkan karena iskemia miokardium. Pada
anemia berat, dapat menimbulkan payah jantung kongesif sebab otot jantung
yang kekurangan oksigen tidak dapat menyesuaikan diri dengan beban kerja
jantung yang meningkat. Dispnea (kesulitan bernafas), nafas pendek, dan
cepat lelah waktu melakukan aktivitas jasmani merupakan manifestasi
berkurangnya pengiriman O2. Sakit kepala, pusing, kelemahan dan tinnitus
(telinga berdengung) dapat menggambarkan berkurangnya oksigenasi pada
susunan saraf pusat. Pada anemia yang berat dapat juga timbul gejala saluran
kanker,
sebab
agen-agen
yang
digunakan
mengganggu
metabolisme sel.
Kategori anemia ke tiga adalah anemia mikrositik hipokrom.
Mikrositik berarti kecil, hipokrom berarti mengandung hemoglobin dalam
jumlah yang kurang dari normal. Hal ini umumnya menggambarkan
insufisiensi sintesis hem (besi), seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan
sideroblastik dan kehilangan darah kronik, atau gangguan sintesis globin,
seperti pada talasemia (penyakit hemoglobin abnormal kongenital).
Anemia dapat juga diklasifikasikan menurut etiologinya. Penyebab
utama yang dipikirkan adalah meningkatnya kehilangan sel darah merah dan
penurunan atau gangguan pembentukan sel.
Meningkatnya kehilangan sel darah merah dapat disebabkan oleh
perdarahan atau oleh penghancuran sel. Perdarahan dapat disebabkan oleh
trauma atau tukak, atau akibat pardarahan kronik karena polip pada kolon,
penyakit-penyakit keganasan, hemoriod atau menstruasi. Penghancuran sel
darah merah dalam sirkulasi, dikenal dengan nama hemolisis, terjadi bila
gangguan pada sel darah merah itu sendiri yang memperpendek hidupnya
atau karena perubahan lingkungan yang mengakibatkan penghancuran sel
darah merah. Keadaan dimana sel darah merah itu sendiri terganggu adalah:
defisiensi
enzim
misalnya
defisiensi
G6PD
(glukosa
6-fosfat
dehidrogenase).
Yang disebut diatas adalah gangguan herediter. Namun, hemolisis
dapat juga disebabkan oleh gangguan lingkungan sel darah merah yang
seringkali memerlukan respon imun. Respon isoimun mengenai berbagai
individu dalam spesies yang sama dan diakibatkan oleh tranfusi darah yang
tidak cocok. Respon otoimun terdiri dari pembentukan antibodi terhadap selsel darah merah itu sendiri. Keadaan yang di namakan anemia hemolitik
otoimun dapat timbul tanpa sebab yang diketahui setelah pemberian suatu
obat tertentu seperti alfa-metildopa, kinin, sulfonamida, L-dopa atau pada
penyakit-penyakit seperti limfoma, leukemia limfositik kronik, lupus
eritematosus, artritis reumatorid dan infeksi virus. Anemia hemolitik otoimun
selanjutnya diklasifikasikan menurut suhu dimana antibodi bereaksi dengan
sel-sel darah merah antibodi tipe panas atau antibodi tipe dingin.
Malaria adalah penyakit parasit yang ditularkan ke manusia melalui
gigitan nyamuk anopheles betina yang terinfeksi. Penyakit ini akan
menimbulkan anemia hemolitik berat ketika sel darah merah diinfestasi oleh
parasit plasmodium, pada keadaan ini terjadi kerusakan pada sel darah merah,
dimana permukaan sel darah merah tidak teratur. Sel darah merah yang
terkena akan segera dikeluarkan dari peredaran darah oleh limpa.
Hipersplenisme (pembesaran limpa, pansitopenia, dan sumsum tulang
hiperselular atau normal) dapat juga menyebabkan hemolisis akibat
penjeratan dan penghancuran sel darah merah. Luka bakar yang berat
khususnya jika kapiler pecah dapat juga mengakibatkan hemolisis.
BAB II
PRESENTASI KASUS
I.
II.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Nn. W
Umur
: 16 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: Jatirunggo
Pekerjaan
: Pelajar
Tanggal Masuk
: 21 April 2015
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien di ruang Isolasi
bangsal Anyelir pada tanggal 22 April 2015.
A. Keluhan Utama
Benjolan di leher
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan adanya benjolan di leher sebelah kanan sejak
kurang lebih 3 minggu sebelum masuk Rumah Sakit. Benjolan awalnya
berukuran kecil makin lama semakin membesar. Saat ini, benjolan
berukuran sebesar telur ayam, berwarna kemerahan dan nyeri apabila
ditekan. Sejak kurang 1,5 minggu SMRS, muncul benjolan baru di leher
sebelah kiri. Saat ini, benjolan di leher kiri berukuran sebesar telur puyuh.
Sama seperti benjolan di leher kanan, benjolan di leher kiri juga berwarna
kemerahan dan nyeri bila ditekan. Pasien tidak mengeluhkan demam tinggi,
hanya mengatakan adanya rasa meriang kadang-kadang. Tidak ada keluhan
nyeri telan, suara serak, sesak ataupun berdebar-debar. Sebelumnya pasien
mengeluh batuk lama namun keluhan batuk saat ini sudah berkurang.
Pasien mengaku sebelumnya tidak ada luka maupun riwayat operasi di
daerah timbulnya benjolan
Pasien juga mengeluhkan badan terasa lemas sejak kurang lebih 2
minggu yang lalu. Lemas dirasakan terus menerus sepanjang hari dan tidak
berkurang dengan mengkonsumsi makanan atau minuman manis. Pasien
merasa mudah lelah dan letih. Nafsu makan menurun disertai penurunan
dengan
III.
Ambarawa
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
E. Riwayat Kebiasaan
Riwayat Merokok
Riwayat Minum Alkohol
Riwayat konsumsi obat
: disangkal
: disangkal
: disangkal
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
: Sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Vital Sign
: Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 82 x/menit
Suhu (Aksila)
: 36 C
Pernafasan
: 20 x/menit
diagnosa
A. Status Generalis
- Kulit
- Kepala
- Muka
- Mata
: Pupil
bulat
isokor
dengan
diameter
3mm/3mm
- Mulut/Gigi
- Telinga
- Leher
- Thorax
- Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
- Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
- Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
- Pemeriksaan Ekstremitas
I
: Trophy : eutrophy
Pa
: KM : 5 5
Gerak involunter ( - )
Tonus
N N
5 5
Pe
: Reflek Fisiologis
B. Status Lokalis:
N N
+
Reflek Patologis
warna kemerahan.
Palpasi (feel) : konsistensi lunak, nyeri tekan (+), permukaan
warna kemerahan.
Palpasi (feel) : konsistensi lunak, nyeri tekan (+), permukaan
halus rata, tidak dapat digerakan (immobile), batas tidak tegas.
IV.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
C. Laboratorium darah tanggal 21/4/2015
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hasil
Nilai Rujukan
Darah rutin
Hb
Lekosit
Eritrosit
Trombosit
Hct
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
Limfosit
8.7
10.9
3.40
644
27.3
80.3
25.6
31.9
21.5
6.7
2.0
13.5-17.5 g/dl
6-15 ribu
3.6-5.2 juta
ribu
37-47 %
82-98 mikro m3
23-31 pg
32-36 g/dl
10-16 %
7-11 mikro m3
1.5-6.5
Monosit
0.4
10^3/mikro
0-0.8
Eosinofil
Basofil
0.1
0.3
10^3/mikro
2-4 10^3/mikro
25-40
8.1
10^3/mikro
1.8-8.0
Neutrofil
Limfosit%
Monosit%
Eosinofil%
Basofil%
Neutrofil%
PCT
PDW
Gol Darah
KIMIA KLINIK
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin
Natrium
Kalium
Chlorida
D. Foto Rontgen Thorak
18.8
3.5
0.7
2.3
74.7
0.424
11.7
A
10^3/mikro
25-40 %
2-8 %
2-4 %
0-1 %
50-70 %
0.2-0.5 %
10-18 %
20
17
15.3
0.29
137.5
IU/L
IU/L
10-50 mg/dl
<1 mg/dl
136-146
3.85
105
mmol/dl
3.5-5.1 mmol/dl
98-105 mmol/dl
V.
DIAGNOSIS
TB Milier
Limfadenitis TB dd Abces Colli
Anemia
VI. PENATALAKSANAAN
Initial Terapi
-
Infus RL 20 tpm
OAT kategori I 2x1
Vitamin B6 1x1
Transfusi PRC 2 kolf
Initial Planning
-
X. FOLLOW UP
Tanggal
22/4/14
Subjektif
Benjolan di leher
(+)
Nyeri (+)
Lemes (+)
Batuk (-)
Sesak (-)
Objektif
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
VS : TD: 132/107
N : 118 x/`
RR : 18 x/
T : 37C
MDT:
Kesan Anemia
Normositik
Normokromik
Kemungkinan proses
hemolitik
Waspadai adanya
gangguan ginjal
Gambaran proses
inflamasi
Benjolan di leher
23/4/15
(+)
Nyeri (+)
Batuk (-)
Sesak (-)
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
VS : TD: 120/89
N : 83 x/`
RR : 20 x/
T : 36,5C
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Benjolan di leher
24/4/15
(+)
Nyeri (+)
Batuk (-)
Sesak (-)
VS : TD: 127/106
N : 98 x/`
RR : 18 x/
T : 36,5C
Hb post transfusi :
13,1
Hasil konseling HIV :
non reaktif
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
24/4/15
Post OP
VS : TD: 120/80
N : 80 x/`
RR : 20 x/
T : 36,8C
Ass :
TB Milier
Limfadenitis TB dd
Abses Colli
Tx :
IVFD RL 20 tpm
OAT kat I
Vitamin B6
Prednison 35 mg/hari
Planning:
Cek Hb post tranfusi
Konsul VCT
Ass :
TB Milier
Limfadenitis TB dd
Abses Colli
Tx:
IVFD RL 20 tpm
OAT kat I
Vitamin B6
Prednison 35 mg/hari
Planning:
Pro OP hari ini
BTA faeces
Ass:
Abses Colli Dextra et
Sinistra
Instruksi Post Op:
Diet Bertahap
GB tiap hari
Inj Ceftriaxone 2x1g
Inj Ketorolac 3x30 mg
Lain2 sesuai TS Interna
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Nyeri pada luka
25/4/15
Mentis
VS : TD: 136/90
N : 96 x/`
RR : 20 x/
T : 36,1C
Tx lanjut
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Nyeri pada luka
26/4/15
Mentis
VS : TD: 120/85
N : 109 x/`
RR : 20 x/
T : 37C
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
VS : TD: 146/103
N : 104 x/`
RR : 20 x/
T : 36,3C
Tx lanjut
Tx Lanjut
Cek ulang DR
TS Bedah:
Ganti tampon tiap hari
BLPL
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
bekas opereasi
berkurang
Batuk (-)
Sesak (-)
VS : TD: 124/98
N : 88 x/`
RR : 20 x/
T : 36,5C
DR ulang:
Hb: 12,9 g/dl
Ht: 40,2%
AE: 4,79 juta
AL: 13,0 ribu
AT: 509 ribu
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Paduan Obat Anti Tuberkulosa
(OAT). 2008.
2. Wibowo. Pengobatan Tuberkulosis Paru. Cermin Dunia Kedokt. 1990;
63: 258.
3. Dahlan Z. Kejadian tuberkulosa ekstraparu di RS Hasan Sadikin dan
beberapa pusat kesehatan di Jawa Barat. Simposium masalah
tuberkulosa ekstraparu dan pengelolaannya. Lab/UPF lP Dalam
FKUP/RSHS, Bandung 1989 : 16-25.
4. Dahlan Z. Pendekatan dan Penegakan Diagnosa Penyakit Tuberkulosa.
Maj. Kedokteran Bandung, 1989; XXI (4): 1179-185.
5. Kusnindar. Masalah Penyakit Tuberkulosis dan Pemberantasannya di
Indonesia; Cermin Dunia Kedokt. 1990; 63: 1719.
6. Rasmin Rasjid. Patofisiologi dan Diagnostik Tuberkulosis Paru.
Tuberkulosis Paru. FKUI Jakarta, 1985.
7. Hadiarto M. .Pedoman diagnosis dan pengelolaan TB Ppru. Pedoman
Diagnostikdan Terapi. FKUI Jakarta, 1989.
8. Makalah Pengelolaan Rasional Penyakit Tuberkulosa Paru, Bandung,
28 April 1984.
9. Kadjito T. Imunologi pada tuberkulosis paru BTA (+) : aspek humoral
dan selular. First Asian Pacific Symposium, Second National Congress
on Alergy and Immunology. October 26-29, Indonesia, 1989 48-49.
Abstract.
10. WHO.
Treatment
of
Tuberculosis.
Guidelines
for
national