You are on page 1of 36

Presentasi Kasus Medik

TB Ekstra Paru

Pembimbing
Dr. Alex Santana, SpPD
Pendamping
dr. M Pratiknyo
Disusun Oleh
dr. Dwi Prasetyo Nugroho
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
DEPARTEMEN KESEHATAN KABUPATEN SEMARANG
RSUD AMBARAWA
2015

LAPORAN KASUS TUBERKULOSIS EKSTRA PARU

Topik

: Medik

Kasus

: TB Ekstra Paru

Oleh

: dr. Dwi Prasetyo Nugroho

Pembimbing

: dr. Alex Santana, SpPD

Pendamping

: dr. M Pratiknyo

Tanggal Diskusi : Mei 2015


Objektif

: Ilmu Penyakit Dalam

Deskripsi

: Seorang wanita umur 15 tahun datang dengan keluhan benjolan di


leher dengan riwayat TB Milier

Tujuan

: Mampu mengidentifikasi dan melakukan pengelolaan pada kasus TB


Ekstra Paru

Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka dan Kasus


Cara Membahas : Diskusi

Ambarawa, Mei 2015

Pembimbing,

Pendamping,

dr. Alex Santana, Sp.PD

dr. H. M. Pratiknyo

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
I.

TUBERCULOSIS
A. Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar basil tuberculosis
menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya (Depkes
RI, 2007).
Tuberkulosis telah dikenali dalam beragam bentuknya selama ribuan
tahun. Deskripsi TB sudah ada sejak milenium pertama sebelum masehi dalam
teks medis dari Yunani ke India. Orang-orang Yunani menamakan penyakit ini
dengan sebutan phthisis, yang berarti to waste. Dalam dunia berbahasa
Inggris, consumption adalah nama umum yang diberikan pada penyakit ini.
Selama Era Pertengahan, ketika TB menjadi umum di benua Eropa, dimana
penyakit ini menjadi semakin dikenali sebagai white plague. Manifestasi lain
terdeskripsikan, meliputi destruksi paru yang cepat nan progresif dan
manifestasi kulit dari lupus vulgaris. Deskripsi Percival Pott mengenai TB
pada tulang belakang menghasilkan pemberian namanya kepada bentuk TB
ini. Dengan manifestasinya yang beraneka ragam, TB dianggap mewakili
banyak penyakit yang berbeda. Sampai akhirnya pada tahun 1804, dimana
Rene Laennec mengusulkan teorinya tentang pandangan untuk menyatukan
dari manifestasi beragam akibat penyakit ini. Pada 1839, Schnlein
mengusulkan entitas patologisnya dikenal sebagai tubercle yang menjadi dasar
fundamental penyakit dan menganjurkan kata tuberculosis digunakan sebagai
nama generik untuk semua manifestasi beragamnya. Pada 1882, Robert Koch
menemukan bahwa agen penyebab TB merupakan organisme kompleks
Mycobacterium tuberculosis (Fitzpatrick & Braden, 2000).

B. Epidemiologi
Epidemiologi tuberkulosis bervariasi nilainya di seluruh dunia. Angka
tertinggi (100/100.000 atau lebih) ditemukan di Afrika sub-Sahara, India,
China, dan pulau-pulau di Asia Tenggara dan Mikronesia. Angka intermediate
tuberkulosis (26-100 kasus/100.000) muncul di Amerika Tengah dan Selatan,
Eropa Timur, dan Afrika Utara. Angka rendah (kurang dari 25 kasus per
100.000 penduduk) muncul di Amerika Serikat, Eropa Barat, Kanada, Jepang,
dan Australia . Dan diperkirakan 1 dari 14 kasus TB baru muncul pada
individu yang terinfeksi HIV, 85% kasus-kasus ini muncul di Afrika
(Horsburgh, 2010). Seperti yang disampaikan di atas, TB paru mencakup 8085% dari seluruh kasus aktif; sedangkan TB ekstraparu mencakup 15-20%
lainnya (Fitzpatrick & Braden, 2000).
C. Tuberkulosis Ekstraparu
1. Definisi
Yang dimaksud dengan TB ekstraparu adalah tuberkulosis yang
menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya, kelenjar limfe, pleura,
selaput otak, selaput jantung (perikardium), tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kemih, alat kelamin, dan lain-lain (Depkes RI, 2007).
2. Epidemiologi
Manifestasi klinis TB bervariasi dan bergantung pada sejumlah
faktor yang berhubungan dengan mikroba, pejamu dan lingkungan. Peran
faktor-faktor yang berhubungan dengan pejamu yang bertanggung jawab
atas terjadinya TB pada situs ekstraparu adalah terbatas. Beberapa studi
telah melaporkan bahwa proporsi TB ekstraparu meningkat disebabkan
epidemi HIV dan mungkin juga oleh perkembangan dalam fasilitas
diagnostik (Sreeramareddy, Panduru, Verma, Joshi, dan Bates, 2008).
Sebuah studi dari Amerika Serikat melaporkan bahwa wanita,
warga berkulit hitam non-Hispanic dan individu yang terinfeksi HIV lebih
beresiko tinggi menderita TB ekstraparu. Sedangkan studi di Amerika
Serikat yang lain menunjukkan HIV-seropositif, usia kurang dari 18 tahun,
warga Amerika berketurunan Afrika, pengidap sirosis hepatis adalah

faktor-faktor resiko terhadap TB ekstraparu. Adapun suatu studi dari Turki


menunjukkan bahwa wanita mempunyai resiko lebih tinggi untuk
perkembangan TB ekstraparu dan resiko TB ekstraparu meningkat 5 tahun
setelah kontak awal. Suatu studi yang lain menunjukkan faktor-faktor yang
berhubungan dengan penjamu bervariasi menurut asal geografis dan faktor
resiko terhadap TB ekstraparu adalah berjenis kelamin perempuan untuk
individu-individu yang berasal dari Asia ataupun Afrika Utara, usia untuk
individu-individu yang asalnya dari Afrika sub-Sahara dan positif HIV
untuk yang asalnya dari Eropa (Sreeramareddy, Panduru, Verma, Joshi,
dan Bates, 2008).
Pada pasien terinfeksi HIV, frekuensi TB ekstraparu tergantung
pada derajat penurunan imunitas selular. Pada pasien dengan <100 CD4
cells/mL, TB ekstraparu dan milier terhitung 70% dari seluruh bentuk TB
(Beek, Werf, Richter, dan Borgdorff, 2006).
3. Etiologi, Patogenesis dan Patofisiologi
Kuman penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis. Basil ini
tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar
matahari, dan sinar ultraviolet. Basil ini sukar diwarnai, tetapi berbeda
dengan basil lain, setelah diwarnai tidak dapat dibersihkan lagi dari
fuchsin atau metileenblauw oleh cairan asam sehingga biasanya disebut
basil tahan asam (BTA). Pewarnaan Ziehl Neelsen biasanya digunakan
untuk menampakkan basil ini (Karnadihardja, 2004). M. tuberculosis
umumnya ditularkan dari seseorang dengan infeksi TB paru atau TB
laryngeal kepada orang lain melalui droplet nuclei, yang ter-aerosolisasi
oleh batuk, bersin atau berbicara. Ada sebanyak 3000 nuclei infeksius per
batukan. Droplet yang terkecil (<5-10mm dalam diameter) dapat bertahan
tersuspensi di udara selama beberapa jam dan mencapai aliran udara
terminal ketika terinhalasi. Ada dua pengecualian lain yang dilaporkan
adalah prosector's wart (kutil pada orang yang mendiseksi mayat)
disebabkan inokulasi pada kulit dari instrumen tajam yang terkontaminasi
dan penularan orang-ke-orang melalui bronkoskop yang terkontaminasi.
Resiko penularan dari pasien sumber infeksi ke pejamu dihubungkan
dengan konsentrasi potensial dari basil yang hidup terus di ruang udara.

Resiko penularan menjadi lebih besar pada ruangan yang kekurangan


volume udara, udara segar, dan cahaya alami atau cahaya ultraviolet
(Fitzpatrick & Braden, 2000; Raviglione & OBrien, 2005).
Sedangkan menurut Karnadihardja (2004), ada dua macam
mikobakteria penyebab TB, yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe
bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosa, dan
bila diminum, dapat menyebabkan TB usus. Basil tipe human bisa berada
di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita TB terbuka.
Orang yang rentan dapat terinfeksi TB bila menghirup bercak ini, ini
merupakan cara penularan terbanyak. Selanjutnya dikenal empat fase
dalam perjalanan penyakitnya.
Pertama adalah fase TB primer. Setelah masuk ke paru, basil
berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi pertahanan tubuh. Sarang
pertama ini disebut afek primer. Basil kemudian masuk ke kelenjar limfe
di hilus paru dan menyebabkan limfadenitis regionalis. Reaksi yang khas
adalah terjadinya granuloma sel epiteloid dan nekrosis pengejuan di lesi
primer dan di kelenjar limfe hilus. Afek primer dan limfadenitis regionalis
ini disebut kompleks primer yang bisa mengalami resolusi dan sembuh
tanpa meninggalkan cacat, atau membentuk fibrosis dan kalsifikasi (95%)
(Karnadihardja, 2004).
Sekalipun demikian,

kompleks

primer

dapat

mengalami

komplikasi berupa penyebaran milier melalui pembuluh darah dan


penyebaran melalui bronkus. Penyebaran milier menyebabkan TB di
seluruh paru-paru, tulang, meningen, dan lain-lain, sedangkan penyebaran
bronkogen langsung ke bronkus dan bagian paru, dan menyebabkan
bronkopneumonia tuberkulosis. Penyebaran hematogen itu bersamaan
dengan perjalanan TB primer ke paru merupakan fase kedua. Infeksi ini
dapat berkembang terus, dapat juga mengalami resolusi dengan
pembentukan jaringan parut dan basil selanjutnya tidur (Karnadihardja,
2004).
Fase dengan kuman yang tidur ini yang disebut fase laten, fase 3.
Basil yang tidur ini bisa terdapat di tulang panjang, vertebra, tuba fallopii,
otak, kelenjar limfe hilus dan leher, serta di ginjal. Kuman ini bisa tetap
tidur selama bertahun-tahun, bahkan seumur hidup (infeksi laten), tetapi

bisa mengalami reaktivasi bila terjadi perubahan keseimbangan daya tahan


tubuh, misalnya pada tindak bedah besar, atau pada infeksi HIV
(Karnadihardja, 2004).
TB fase keempat dapat terjadi di paru atau di luar paru. Dalam
perjalanan selanjutnya, proses ini dapat sembuh tanpa cacat, sembuh
dengan meninggalkan fibrosis dan kalsifikasi, membentuk kavitas
(kaverne), bahkan dapat menyebabkan bronkiektasis melalui erosi bronkus
(Karnadihardja, 2004).
Frekuensi penyebaran ke ginjal amat sering. Kuman berhenti dan
bersarang pada korteks ginjal, yaitu bagian yang tekanan oksigennya
relatif tinggi. Kuman ini dapat langsung menyebabkan penyakit atau
tidur selama bertahun-tahun. Patologi di ginjal sama dengan patologi di
tempat lain, yaitu inflamasi, pembentukan jaringan granulasi, dan nekrosis
pengejuan. Kemudian basil dapat turun dan menyebabkan infeksi di ureter,
kandung kemih, prostat, vesikula seminalis, vas deferens, dan epididimis
(Karnadihardja, 2004).
Penyebaran ke kelenjar limfe paling sering ke kelenjar limfe hilus,
baik sebagai penyebaran langsung dari kompleks primer, maupun sebagai
TB pascaprimer. TB kelenjar limfe lain (servikal, inguinal, aksial)
biasanya merupakan TB pascaprimer (Karnadihardja, 2004). Penyebaran
ke genitalia wanita melalui penyebaran hematogen dimulai dengan
berhenti dan berkembang biaknya kuman di tuba fallopii yang sangat
vaskuler. Dari sini basil bisa menyebar ke uterus (endometritis), atau ke
peritoneum (peritonitis) (Karnadihardja, 2004). Penyebaran ke tulang
adalah daerah metafisis tulang panjang dan ke tulang spongiosa yang
menyebabkan TB tulang ekstraartikuler. Penyebaran lain dapat juga ke
sinovium

dan

menjalar

ke

tulang

subkondral.

Penyebaran

ini

menyebabkan TB sendi. Penyebaran dari metafisis ke epifisis tidak pernah


terjadi karena sifat cakram epifisis yang avaskular (Karnadihardja, 2004).
Penyebaran ke otak dan meningen juga melalui penyebaran hematogen
setelah kompleks primer. Berbeda dengan penyebaran di atas, penyebaran
ke perikardium terjadi melalui saluran limfe atau kontak langsung dari
pleura yang tembus ke perikardium (Karnadihardja, 2004).

Kekebalan terhadap TB sebagian besar diperantarai sel limfosit T


yang atas rangsangan basil TB dapat mengaktifkan makrofag untuk
menghancurkan basil dengan cara lisis (bakteriolisis) (Karnadihardja,
2004).
4. Klasifikasi
Berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, TB ekstraparu
terbagi atas:
a. TB ekstraparu ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar
adrenal.
b. TB ekstraparu berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus,
TB saluran kemih dan alat kelamin (Depkes RI, 2007).
5. Situs Predileksi dan Gambaran Klinis
Menurut Kreider dan Rossman (2008), situs tersering TB
ekstraparu adalah sbb:
a. Kelenjar Limfe (44%).
Limfadenitis TB (skrofula) merupakan bentuk paling umum dari
TB ekstraparu. Beberapa nodus dapat terlibat, tetapi rantai-rantai
servikal dan supraklavikular paling sering terkena. Pasien datang untuk
perhatian medis dengan adenopati yang tidak nyeri, yang sering
berdrainase secara spontan. Pada tahap awal penyakit, nodus akan
padat dan diskret. Pada tahapan penyakit lebih lanjut, nodus akan
menjadi lembek dan berfluktuasi. Selain demam, biasanya tidak ada
gejala sistemik jika penyakit ini tidak ada di tempat lainnya. Diagnosis
adalah dengan peralatan aspirasi jarum halus atau biopsi insisional
pada nodus yang terpengaruhi. Pewarnaan BTA dan kultur jaringan
nodus biasanya menunjukkan BTA dan organisme M. tuberculosis
(Fitzpatrick & Braden, 2000).
b. Rongga Pleura (19%).
Penyakit pleura biasanya bermanifestasi dengan nyeri dada
pleuritik ringan hingga berat, yang dapat diiringi dispnoe. Gejala
lainnya meliputi demam, keringat malam, dan penurunan berat badan.
Penyakit dapat dalam bentuk akut atau kronik dan sering menyebabkan
efusi dan sering menyebabkan efusi yang halus. Efusi umumnya
unilateral dan mengiringi penyakit parenkim aktif pada 70% pasien.

TB pleura akan berkembang beberapa tahapan penyakit tetapi


seringkali muncul sebagai manifestasi penyakit primer dan muncul
selama 6 bulan setelah infeksi TB (Fitzpatrick & Braden, 2000).
c. Tulang dan/atau Sendi (11%).
Vertebral TB (Pott's disease) terhitung untuk 50-70% dari semua
kasus TB tulang, yang bercirikan kifosis and kompresi sumsum tulang
belakang, jadi pasien akan bisa mengalami gejala neurologik atau
motorik. Vertebra torakal bawah dan lumbal atas merupakan situs
tersering dari penyakit. Pasien secara khas mempunyai riwayat 2
minggu sampai 3 bulan mengalami nyeri punggung, demam, dan
penurunan berat badan. Abses paravertebral terjadi di antara 50%
pasien. Pasien dengan Potts disease biasanya mempunyai bukti
radiologis dari keterlibatan tulang belakang, dan 50% pasien
mempunyai bukti radiologis dari salah satu TB paru lama atau aktif.
Diagnosis memerlukan biopsi dan kultur dari tulang yang terinfeksi
(Fitzpatrick & Braden, 2000).
TB artritis secara khas bermanifestasikan sebagai sebuah arthritis
monoartikular dari sendi-sendi yang menopang berat (lutut, pinggul,
pergelangan).

Nyeri

merupakan

gejala

paling

umum,

dan

pembengkakan dengan rentang pergerakan yang menurun pada sendi


yang dapat terlihat. Infeksi diawali trauma pada 25% kasus. Biopsi
jaringan sinovial dapat mengandung granuloma, dan hasil kultur
adalah positif untuk M. Tuberculosis 60-70% dari waktu itu
(Fitzpatrick & Braden, 2000).
d. Meninges / Sistem Saraf Pusat (6%).
Gillespie dan Bamfoed (2009) mengatakan meningitis TB muncul
dalam bentuk demam dan tingkat kesadaran yang memburuk secara
perlahan, yang dapat dengan cepat berakibat fatal jika tidak ditangani
segera. Menurut Fitzpatrick dan Braden (2000), meningitis TB
disebabkan

penyebaran

secara

hematogen

dari

organisme

mikobakterial menuju ruang meningeal. Proses ini terjadi dalam


berminggu-minggu hingga bertahuntahun setelah infeksi, dan tampilan
TB sistem saraf pusat (SSP) bisa akut ataupun subakut. Penyakit dapat
bermanifestasi klinis sebagai meningitis bakterial. Gejal-gejala akut

dapat meliputi sakit kepala, demam, atau perubahan status mental.


Gejala-gejala lain dapat berlangsung selama berminggu-minggu
hingga berbulan-bulan; meliputi demam, penurunan berat badan,
anoreksia, keringat malam, malaise, dan kelumpuhan saraf kranialis.
Kelumpuhan nervus VI adalah pertanda TB SSP, tetapi nervus II, III,
dan VII juga bisa mungkin bisa dipengaruhi. Pemeriksaan bisa
menunjukkan

meningismus

dan

papilledema.

TB

SSP dapat

berkembang dalam tiga tahapan. Tahap 1 ditandai gejala-gejala


nonspesifik dengan sedikit atau tanpa tanda-tanda klinis meningitis.
Tahap 2 ditandai perkembangan tanda-tanda meningitis seperti
meningismus, letargi, dan kelumpuhan saraf kranialis. Tahap 3 ditandai
koma dan gangguan neurologis seperti paralisis (Fitzpatrick & Braden,
2000).
Diagnosis sering dibuat berdasarkan adanya alasan klinis dan
keberadaan faktor resiko TB, hasil Tuberculin Skin Test (TST), dan
radiograf dada. Pasien dengan TB SSP sering mempunyai respon
memuaskan terhadap pengobatan TB jika terapi diawali dengan cepat
(sebelum tahap 3). Ini adekuat untuk diagnosis ketika sangkaan klinis
tinggi dan hasil studi laboratorium tidak mencukupi untuk mendukung
diagnosis (Fitzpatrick & Braden, 2000).
e. Peritoneum dan/atau Usus (5,5%).
Fitzpatrick dan Braden (2000) mengatakan TB peritoneal tidak
umum

dan

sering

memunculkan

dilema

dalam

diagnosis.

Patogenesisnya tidak dipahami dengan jelas, tetapi penyakit dipikirkan


berkembang setelah penyebaran secara hematogen, seperti halnya
penyakit ekstraparu yang lain. Gejala-gejala beraneka ragam dari
pasien ke pasien tetapi paling umumnya meliputi nyeri abdominal,
distensi, demam, penurunan berat badan, dan malaise. Gejala-gejala
dapat menjadi kronik, dan penyakit dapat berkembang menjadi asites
atau massa abdominal, yang mungkin adalah omentum yang
terkumpul, mesenteri, dan usus; ditemukan di pemeriksaan fisik.
Sebanyak 30% dari pasien-pasien mungkin akan mengalami efusi
pleura.
f. Saluran Genitourinarius (4%).

TB

genitourinarius

berkembang

dengan

lamban.

Dapat

memunculkan tanda dan gejala infeksi lokal dengan sedikit manifestasi


sistemik, atau penyakit mungkin saja asimptomatis (Fitzpatrick &
Braden, 2000). Keterlibatan saluran genitourinarius mengakibatkan
disuria, frekuensi urine, dan gross hematuria dengan atau tanpa nyeri
pinggang. Penyakit di antara wanita dapat menyebabkan nyeri pelvik,
ketidakteraturan

menstruasi,

dan

infertilitas.

Laki-laki

dapat

mempunyai massa skrotum yang tidak nyeri. Seperlima pasien dengan


pyuria dapat mengalami tanpa gejala. Penyakit dicurigai ketika
urinalisis menunjukkan sel darah putih dan hematuria tanpa bakteri
(Fitzpatrick & Braden, 2000).
Diagnosis dikonfirmasi dengan kultur urine. Hasil kultur urine
adalah negatif untuk bakteri yang umum (sterile pyuria) dan positif
untuk M. Tuberculosis. Hasil diagnostik yang terbaik dari spesimen
pagi hari awal. Tiga spesimen diambil untuk dikultur. Temuan pada
IVP (Intravenous Pyelography) biasanya nonspesifik dan sering tidak
membantu. Dua pertiga pasien dengan TB genitourinarius mempunyai
radiograf dada abnormal yang menunjukkan tanda-tanda penyakit paru
aktif atau lama (Fitzpatrick & Braden, 2000).
g. Milier (1.8%).
Gillespie dan Bamfoed (2009) mengatakan infeksi diseminata
(penyakit milier) dapat muncul tanpa adanya bukti infeksi paru aktif.
TB milier, penyakit yang tersembunyi dan secara klinis dalam bentuk
yang

sukar dipahami,

berkembang setelah diseminasi secara

hematogen dari basil TB. Diseminasi menghasilkan pola milier


(demikan dinamakan karena menyerupai millet seeds (padi-padian) 2
mm dalam diameter) pada radiograf dada atau pada spesimen biopsi
dari sumsum tulang belakang, hati atau limpa. Penyakit milier
biasanya muncul di antara grup berisiko tinggi, meliputi orang-orang
dengan infeksi HIV atau penyakit imunosupresif yang lain, penyakit
jaringan ikat, atau neoplasma hematologik, orang-orang yang
menyalahgunakan alkohol dan mereka yang menjalani pengobatan

imunosupresif, termasuk steroid dosis tinggi (Fitzpatrick & Braden,


2000).
Pasien dapat mengalami penyakit ringan selama beberapa minggu
atau bulan sebelum mencari perhatian medis. Demam merupakan
gejala paling umum pada penyakit milier, tetapi banyak pasien
dilaporkan mendapat gejala-gejala nonspesifik seperti malaise,
anoreksia, penurunan berat badan, dan keringat malam. Pemeriksaan
fisik adalah non-fokal (Fitzpatrick & Braden, 2000).
Diagnosis TB milier ditegakkan berdasarkan riwayat klinis,
keberadaan pola milier pada radiograf dada dan hasil kultur positif
untuk M. tuberculosis dari darah atau sebuah situs biopsi seperti hati,
atau sumsum tulang belakang (Fitzpatrick & Braden, 2000). TST
adalah indikator yang insensitif terhadap infeksi M. Tuberculosis
sebelumnya di antara orang-orang dengan penyakit milier; hasil telah
dilaporkan positif pada 25 - 75% kasus. Pada kasus yang mana
diagnosis laboratorium sulit untuk ditegakkan, pengawasan respon
klinis terhadap terapi anti-TB dapat membantu. Demam mereda di
antara 30% pasien dalam 2 minggu dan di antara 60 - 70% pasien
dalam 4 minggu (Fitzpatrick & Braden, 2000).
h. Lain-lain (11%)
Kulit, Laring, telinga tengah, perikardium, payudara, tiroid,
kelenjar ludah, jaringan

lunak (Kreider

& Rossman, 2008;

Sreeramareddy et al., 2008).


6. Diagnosis
a. Tuberculin Skin Test (TST) / Mantoux Test
Tuberculin Skin Test (TST) paling umum digunakan untuk
screening infeksi laten M. tuberculosis. Tes ini mempunyai
keterbatasan nilai dalam mendiagnosis TB aktif karena berhubungan
dengan

sensitivitas

dan

spesifisitasnya

yang

rendah

dan

ketidakmampuannya membedakan antara infeksi laten dan infeksi aktif


(Raviglione & OBrien, 2005).
Uji ini berguna untuk mengetahui adanya reaksi hipersensitivitas
lambat terhadap kuman TB. Tuberkulin adalah fraksi protein dari
kuman TB, yang bila disuntikkan pada orang yang pernah terinfeksi
TB (baik yang aktif maupun yang tidur) akan menyebabkan

pembengkakan kulit dalam 24-72 jam akibat akumulasi sel limfosit di


daerah penyuntikan. Penebalan dan radang kulit lebih dari 10 mm
disebut positif, kurang dari 5 mm disebut negatif. Reaksi negatif palsu
(false-negative) umum pada pasien yang mengalami imunosupresi dan
mereka dengan TB yang membludak. Reaksi positif palsu (falsepositive) bisa disebabkan infeksi oleh mikobakterium nontuberkulosis
dan oleh vaksinasi bacille Calmette- Gurin (BCG) (Karnadihardja,
2004; Raviglione & OBrien, 2005).
b. Pemeriksaan Patologi
Tuberkulum biasanya sebesar 1 sampai 3 mm, terbentuk sebagai
reaksi radang di sekitar kelompok basil TB. Sebagian besar terdiri atas
sel epiteloid yang berasal dari histiosit dan makrofag. Beberapa sel itu
akan membesar dan berinti banyak dan disebut sel raksasa Langhans.
Di tengah tuberkulum terjadi nekrosis keju, sedangkan lapisan luarnya
terdiri atas sel limfosit. Struktur histologi ini merupakan gambaran
patologi khas TB. Gambaran patologi jaringan hasil biopsy atau sisa
jaringan debris pada dasarnya menunjukkan radang spesifik seperti ini
pula. Diagnosis dengan cara ini cukup tinggi keandalannya meskipun
tetap harus dipikirkan diagnosis banding yang memberikan gambaran
hampir sama (Karnadihardja, 2004).
Gejala dan tanda klinis juga khas. Kecuali TB mililer, penyakit TB
berkembang lambat tanpa radang akut. Bengkak radang biasanya jelas,
tetapi tidak ada hiperemia, panas dan nyeri setempat. Kalau terbentuk
abses, disebut abses dingin. (Karnadihardja, 2004) Kadang radang
disertai dengan pembentukan banyak cairan seperti pada pleuritis
eksudativa, peritonitis eksudativa, atau perikarditis eksudativa. Jika
banyak terbentuk jaringan ikat, radangnya dinamai produktiva atau
sika. Nekrosisnya menghasilkan massa seperti salep atau keju sehingga
disebut prkejuan atau caseosa, misalnya limfadenitis kaseosa
(Karnadihardja, 2004). Nekrosis yang mencair membentuk abses
dingin karena tidak ada demam umum maupun setempat. Sering terjadi
fistel tunggal atau multipel di kulit dari limfadenitis TB di leher, atau
di lipat paha dari osteomielitis. Spondilitis pada vertebra torakal atau

lumbal sering mengalirkan nanahnya keluar melalui fasia otot psoas.


Pada tempat jaringan nekrosis / keju yang telah keluar itu mungkin
terjadi ruang yang disebut kaverne seperti di paru dan ginjal
(Karnadihardja, 2004).
c. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi merupakan satu-satunya pembuktian
mutlak akan adanya TB. Sediaan apus untuk identifikasi kuman TB
dapat dilakukan dengan pewarnaan Ziehl Nielsen atau KenyonGabetTan. Biakan kuman dilakukan dengan medium Lweinstein Jensen atau
Middlebrook 7H-11. Bahan yang diperiksa adalah sputum, cairan
lambung, air kemih, cairan sinovium, atau debris bergantung pada
letak penyakit (Karnadihardja, 2004).
Oleh karena basil TB sangat lambat berkembang biak, diperlukan
waktu enam sampai delapan minggu untuk mengetahui hasil biakan.
Marmut dapat dipakai untuk biakan binatang. Hasil pemeriksaan ini
dapat diperoleh setelah enam minggu. Pembelahan sel memerlukan
waktu 20-24 jam (Karnadihardja, 2004).
d. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologis TB sering dapat menegakkan diagnosis TB
meskipun diagnosis pastinya adalah dari pemeriksaan bakteriologis
(Karnadihardja, 2004).
7. Terapi
a. Terapi Obat
Kant (2004) mengatakan TB ekstraparu biasanya paucibasiler dan
pengobatan dengan regimen yang efektif pada TB paru kemungkinan
efektif dengan sama baiknya pada pengobatan TB ekstraparu. Saat ini
telah ditemukan banyak macam anti-TB yang mekanisme kerja dan
efek sampingnya berbedabeda. Umumnya anti-TB aktif terhadap
kuman yang sedang giat membelah, kecuali rifampisin yang juga aktif
terhadap kuman yang membelah lambat. Selain itu, obat-obat ini tidak
aktif dalam suasana asam sehingga kuman yang berada dalam sel
makrofag (suasana intraselnya asam) tidak dapat dibunuh. Hanya
pirazinamid yang aktif dalam suasana asam. Sementara itu, kuman TB
mudah resisten terhadap obat-obat ini. Oleh karena itu, kemoterapi TB
selalu dalam kombinasi dua atau tiga macam dengan maksud

meningkatkan efek terapinya dan mengurangi timbulnya resistensi


(Karnadihardja,

2004).

Untuk

menyembuhkan

TB

diperlukan

pengobatan yang lama karena basil TB tergolong kuman yang sukar


dibasmi. Selain itu, kuman yang semidormant, yaitu yang berada
dalam makrofag, baru dapat dibunuh kalau kuman tersebut telah keluar
dari makrofag. Dengan pengobatan lama ini, kuman yang tidur tetap
tidak dapat dijangkau (Karnadihardja, 2004).
Dikenal dua macam paduan terapi (regimen) anti-TB, yaitu paduan
jangka panjang selama 12-18 bulan dan paduan jangka pendek selama
6-9 bulan. Pengobatan TB diberikan dalam dua fase, yaitu fase intensif
selama dua bulan yang dilanjutkan dengan 4-6 bulan fase lanjutan.
Pada fase intensif biasanya digunakan 3-4 macam obat, misalnya
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol, sedangkan pada fase
lanjutan diberikan lebih sedikit macam obat. Pilihan macam obat dan
lamanya pengobatan bergantung pada beratnya penyakit, hasil
pemeriksaan bakteriologi, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Selain
itu adanya kontraindikasi dan efek samping obat harus jadi
pertimbangan (Karnadihardja, 2004).
Efek samping penting yang penting diingat adalah kerusakan N.
VIII oleh streptomisin, neuritis perifer oleh INH pada defisiensi
vitamin

B6,

gangguan

penglihatan

akibat

etambutol,

dan

hepatotoksisitas INH dan rifampisin. Efek toksik terhadap hati ini lebih
berat bila kedua obat diberikan bersama-sama (Karnadihardja, 2004).
Untuk bentuk yang parah, lebih cenderung untuk menangani
dengan empat obat pada fase intensif awal dan jika diperlukan, total
lama pengobatan dapat diperpanjang menjadi 9 bulan. Pasien TB
ekstraparu diberikan pengobatan 2H3R3Z3/4H3R3 selama 6 bulan.
Bagaimanapun,

pada

2H3R3Z3E3/4H3R3.

Pada

bentuk

yang

TB

meningeal,

parah

diberikan

pengobatan

akan

diperpanjang selama 9 bulan dengan tambahan steroid. Walaupun


pengobatan memberikan hasil yang bagus pada kebanyakan bentuk TB
ekstraparu, ada beberapa pengecualian, seperti meningitis dan TB
spiral yang mana hasil pengobatan tergantung diagnosis awal. Jika,

bagaimana pun, TB ekstraparu bersamaan dengan infeksi HIV,


idealnya pengobatan anti retroviral aktif tinggi (HAART / Highly
Active Anti-retroviral Treatment) harus diberikan juga. Interaksi antara
rifampasin dan komponen HAART perlu untuk diketahui dan diingat
juga (Kant, 2004).
b. Terapi Bedah
Pusat radang TB terdiri atas pengejuan yang dikelilingi jaringan
fibrosa. Seperti halnya infeksi lain, adanya jaringan nekrosis akan
menghambat

penetrasi

antibiotik

ke

daerah

radang

sehingga

pembasmian kuman tidak efektif. Oleh karena itu, sarang infeksi di


berbagai organ, misalnya kaverne di paru dan debris di tulang, harus
dibuang. Jadi, tindak bedah menjadi syarat mutlak untuk hasil baik
terapi medis. Selain itu, tindak bedah juga diperlukan untuk mengatasi
penyulit, misalnya pada TB paru yang menyebabkan destruksi luas dan
empiema, pada TB usus yang menimbulkan obstruksi atau perforasi,
dan osteitis atau arthritis tuberkulosa yang menimbulkan cacat
(Karnadihardja, 2004).
II.

ABSES
A. Definisi
Abses adalah pengumpulan eksudat purulen yang terjebak di dalam
jaringan yang kemudian membentuk rongga yang secara anatomis sebelumnya
tidak ada dengan jaringan fibrotic disekitarnya sebagai respon tubuh terhadap
adanya infeksi.
B. Patofisiologi
Kejadian abses bermula dari trauma mayor ataupun minor yang diikuti
masuknya bakteri. Eksudat kemudian terakumulasi, jika tidak segera
diekskresikan atau di absorbsi tubuh, maka akan memicu terbentuknya kapsul
fibrous sebagai respon tubuh untuk melokalisir untuk membatasi penyebaran
lebih lanjut.

Abses bisa terjadi dimanapun di bagian tubuh. Untuk tindakan bedah


minor akan dibahas abses di kulit dan subkutis tetapi tidak termasuk abses
payudara, abses perianal dan abses paraanal mengingat penanganannya yang
spesialistik. Abses juga bisa terjadi setelah suatu luka ringan, cedera atau
sebagai komplikasi dari folikulitis. Abses bisa timbul di setiap bagian tubuh
dan menyerang berbagai usia. Abses harus dibedakan dengan empyema.
Empyema mengacu pada akumulasi nanah di dalam kavitas yang telah ada
sebelumnya secara normal, sedangkan abses mengacu pada akumulasi nanah
di dalam kavitas yang baru terbentuk melalui proses terjadinya abses tersebut.
C. Etiologi
Penyebab utama terjadinya abses yaitu adanya benda asing yang diikuti
bakteri pyogenic. (Stapilococcus Spp, Esceriscia coli, Streptokokkus beta
haemoliticus Spp, Pseudomonas, Mycobakteria, Pasteurella multocida, Corino
bacteria, Achinomicetes) dan juga bakteri yang bersifat obligat anaerob
(Bakteriodes sp, cClostridium, peptostreptokokkus,fasobakterium).
Infeksi bisa menyebar, baik secara lokal maupun sistemik. Penyebaran
infeksi melalui aliran darah bisa menyebabkan sepsis. Maka dari itu
penanganan abses perlu sesegera mungkin. Jika abses pecah, maka daerah
pusat benjolan akan lebih putih karena kulit diatasnya menipis.
Kemungkinan terbentuknya abses meningkat pada:

Adanya kotoran atau benda asing di daerah tempat terjadinya infeksi

Daerah yang terinfeksi mendapatkan aliran darah yang kurang

Individu dengan gangguan sistem kekebalan

Individu dengan gangguan vascular

D. Klinis
Terbentuk indurasi disertai reaksi inflamasi disekitarnya yang lamakelamaan terbentuk masa kistik dengan temperatur yang lebih hangat
dibandingkan jaringan sehat. Pada palpasi akan didapatkan adanya fluktuasi
sebagai akibat banyaknya eksudat yang terbetuk. Gejala yang timbul:
-

adanya massa/pembengkakkan

nyeri

teraba hangat

kemerahan
Gejala sistemik yang terjadi bisa timbul demam yang berulang. Jika masih

ragu, lakukan aspirasi dengan spuit berjarum besar di daerah yang paling
fluktuatif. Pada pemeriksaan laboratorium bisa menunjukan peningkatan
leukosit.
E. Terapi
Terapi utama adalah drainase sebagai kontrol sumber infeksi (source
control). Drainase dilakukan dengan menginsisi bagian yang paling fluktuatif
dan dinding yang paling tipis. Adakalanya terbetuk septa-septa dalam satu
abses sehingga diperlukan multiple insisi. Pemberian antibiotik idealnya
adalah sesuai dengan tes kultur dan resistensi, namun mengingat hasil kultur
setidaknya membutuhkan waktu 3 hari, maka diberikan antibiotik broad
spectrum sesuai pola kuman penyebab terbanyak dan pola resistensi yang
berbeda di setiap daerah.
Teknik Operasi
1. Tindakan a dan antiseptik, jika abses sudah pecah, maka mulai painting
dari arah luar kedalam (bagian yang kotor diusap terakhir).
2. Drepping
3. Anestesi dengan chlor ethyl topical (disemprot)
4. Siapkan kasa dan neerbeken untuk menampung eksudat
5. Insisi dengan pisau no 11, kemudian lebarkan dengan klem
6. Tekan sampai pus/eksudat minimal

7. Lakukan debridement jaringan nekrotik dengan kuret atau kasa.


8. Irigasi dengan NaCl 0,9 % sampai jernih
9. Bilas dengan H2O2
10. Cuci dengan antisetik povidon iodine (betadin), chlorhexidin (savlon) dll
11. Jika kemungkinan eksudat masih ada atau diperkirakan masih produktif
sebaiknya dipasang drain (dengan penroos drain atau potongan karet hand
scoon steril)
12. Rawat sebagai luka terbuka (tidak dijahit)

III.

ANEMIA
A. Definisi
Menurut definisi, anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah,
kuantitas hemoglobin, dan volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100
ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan
pencerminan dari dasar perubahan patofisiologis, yang diuraikan oleh
anamnesa dan pemikiran fisik yang teliti, serta didukung oleh pemeriksaan
laboratorium.
B. Manifestasi Klinik
Pada anemia, karena semua sistem organ dapat terlibat, maka dapat
menimbulkan manifestasi klinik yang luas. Manifestasi ini bergantung pada:

kecepatan timbulnya anemia

umur individu

mekanisme kompensasinya

tingkat aktivitasnya

keadaan penyakit yang mendasari, dan

parahnya anemia tersebut.


Karena jumlah efektif sel darah merah berkurang, maka lebih sedikit

O2 yang dikirimkan ke jaringan. Kehilangan darah yang mendadak (30% atau


lebih), seperti pada perdarahan, menimbulkan simtomatoogi sekunder
hipovolemia dan hipoksemia. Namun pengurangan hebat massa sel darah
merah dalam waktu beberapa bulan (walaupun pengurangannya 50%)

memungkinkan mekanisme kompensasi tubuh untuk menyesuaikan diri, dan


biasanya penderita asimtomatik, kecuali pada kerja jasmani berat.
Mekanisme kompensasi bekerja melalui:

peningkatan curah jantung dan pernafasan, karena itu menambah


pengiriman O2 ke jaringan-jaringan oleh sel darah merah

meningkatkan pelepasan O2 oleh hemoglobin

mengembangkan volume plasma dengan menarik cairan dari sela-sela


jaringan, dan

redistribusi aliran darah ke organ-organ vital.

C. Etiologi
1. Cacat sel darah merah (SDM)
Sel darah merah mempunyai komponen penyusun yang banyak sekali.
Tiap-tiap komponen ini bila mengalami cacat atau kelainan, akan
menimbulkan masalah bagi SDM sendiri, sehingga sel ini tidak berfungsi
sebagai mana mestinya dan dengan cepat mengalami penuaan dan segera
dihancurkan. Pada umumnya cacat yang dialami SDM menyangkut senyawasenyawa protein yang menyusunnya. Oleh karena kelainan ini menyangkut
protein, sedangkan sintesis protein dikendalikan oleh gen di DNA.
2. Kekurangan zat gizi
Anemia jenis ini merupakan salah satu anemia yang disebabkan oleh
faktor luar tubuh, yaitu kekurangan salah satu zat gizi. Anemia karena
kelainan dalam SDM disebabkan oleh faktor konstitutif yang menyusun sel
tersebut. Anemia jenis ini tidak dapat diobati, yang dapat dilakukan adalah
hanya memperpanjang usia SDM sehingga mendekati umur yang seharusnya,
mengurangi beratnya gejala atau bahkan hanya mengurangi penyulit yang
terjadi.
3. Perdarahan
Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan
kurangnya jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena
perdarahan besar dan dalam waktu singkat ini secara nisbi jarang terjadi.
Keadaan ini biasanya terjadi karena kecelakaan dan bahaya yang
diakibatkannya langsung disadari. Akibatnya, segala usaha akan dilakukan

untuk mencegah perdarahan dan kalau mungkin mengembalikan jumlah darah


ke keadaan semula, misalnya dengan tranfusi.
4. Autoimun
Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan
menghancurkan bagian-bagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan.
Keadaan ini sebanarnya tidak seharusnya terjadi dalam jumlah besar. Bila hal
tersebut terjadi terhadap SDM, umur SDM akan memendek karena dengan
cepat dihancurkan oleh sistem imun.
D. Diagnosis (Tanda Dan Gejala)
Tanda-tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah:

kelelahan, lemah, pucat, dan kurang bergairah

sakit kepala, dan mudah marah

tidak mampu berkonsentrasi, dan rentan terhadap infeksi

pada anemia yang kronis menunjukkan bentuk kuku seperti sendok


dan rapuh, pecah-pecah pada sudut mulut, lidah lunak dan sulit
menelan.
Karena faktor-faktor seperti pigmentasi kulit, suhu dan kedalaman

serta distribusi kapiler mempengaruhi warna kulit, maka warna kulit bukan
merupakan indeks pucat yang dapat diandalkan. Warna kuku, telapak tangan,
dan membran mukosa mulut serta konjungtiva dapat digunakan lebih baik
guna menilai kepucatan.
Takikardia dan bising jantung (suara yang disebabkan oleh kecepatan
aliran darah yang meningkat) menggambarkan beban kerja dan curah jantung
yang meningkat. Angina (sakit dada), khususnya pada penderita yang tua
dengan stenosis koroner, dapat diakibatkan karena iskemia miokardium. Pada
anemia berat, dapat menimbulkan payah jantung kongesif sebab otot jantung
yang kekurangan oksigen tidak dapat menyesuaikan diri dengan beban kerja
jantung yang meningkat. Dispnea (kesulitan bernafas), nafas pendek, dan
cepat lelah waktu melakukan aktivitas jasmani merupakan manifestasi
berkurangnya pengiriman O2. Sakit kepala, pusing, kelemahan dan tinnitus
(telinga berdengung) dapat menggambarkan berkurangnya oksigenasi pada
susunan saraf pusat. Pada anemia yang berat dapat juga timbul gejala saluran

cerna yang umumnya berhubungan dengan keadaan defisiensi. Gejala-gejala


ini adalah anoreksia, nausea, konstipasi atau diare dan stomatitis (sariawan
lidah dan mulut).
E. Klasifikasi
Pada klasifikasi anemia menurut morfologi, mikro dan makro
menunjukkan ukuran sel darah merah sedangkan kromik menunjukkan
warnanya. Sudah dikenal tiga klasifikasi besar.
Yang pertama adalah anemia normositik normokrom. Dimana ukuran
dan bentuk sel-sel darah merah normal serta mengandung hemoglobin dalam
jumlah yang normal tetapi individu menderita anemia. Penyebab anemia jenis
ini adalah kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronik termasuk infeksi,
gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sumsum, dan penyakitpenyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang.
Kategori besar yang kedua adalah anemia makrositik normokrom.
Makrositik berarti ukuran sel-sel darah merah lebih besar dari normal tetapi
normokrom karena konsentrasi hemoglobinnya normal. Hal ini diakibatkan
oleh gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNA seperti yang
ditemukan pada defisiensi B12 dan atau asam folat. Ini dapat juga terjadi pada
kemoterapi

kanker,

sebab

agen-agen

yang

digunakan

mengganggu

metabolisme sel.
Kategori anemia ke tiga adalah anemia mikrositik hipokrom.
Mikrositik berarti kecil, hipokrom berarti mengandung hemoglobin dalam
jumlah yang kurang dari normal. Hal ini umumnya menggambarkan
insufisiensi sintesis hem (besi), seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan
sideroblastik dan kehilangan darah kronik, atau gangguan sintesis globin,
seperti pada talasemia (penyakit hemoglobin abnormal kongenital).
Anemia dapat juga diklasifikasikan menurut etiologinya. Penyebab
utama yang dipikirkan adalah meningkatnya kehilangan sel darah merah dan
penurunan atau gangguan pembentukan sel.
Meningkatnya kehilangan sel darah merah dapat disebabkan oleh
perdarahan atau oleh penghancuran sel. Perdarahan dapat disebabkan oleh
trauma atau tukak, atau akibat pardarahan kronik karena polip pada kolon,
penyakit-penyakit keganasan, hemoriod atau menstruasi. Penghancuran sel

darah merah dalam sirkulasi, dikenal dengan nama hemolisis, terjadi bila
gangguan pada sel darah merah itu sendiri yang memperpendek hidupnya
atau karena perubahan lingkungan yang mengakibatkan penghancuran sel
darah merah. Keadaan dimana sel darah merah itu sendiri terganggu adalah:

hemoglobinopati, yaitu hemoglobin abnormal yang diturunkan, misal


nya anemia sel sabit

gangguan sintetis globin misalnya talasemia

gangguan membran sel darah merah misalnya sferositosis herediter

defisiensi

enzim

misalnya

defisiensi

G6PD

(glukosa

6-fosfat

dehidrogenase).
Yang disebut diatas adalah gangguan herediter. Namun, hemolisis
dapat juga disebabkan oleh gangguan lingkungan sel darah merah yang
seringkali memerlukan respon imun. Respon isoimun mengenai berbagai
individu dalam spesies yang sama dan diakibatkan oleh tranfusi darah yang
tidak cocok. Respon otoimun terdiri dari pembentukan antibodi terhadap selsel darah merah itu sendiri. Keadaan yang di namakan anemia hemolitik
otoimun dapat timbul tanpa sebab yang diketahui setelah pemberian suatu
obat tertentu seperti alfa-metildopa, kinin, sulfonamida, L-dopa atau pada
penyakit-penyakit seperti limfoma, leukemia limfositik kronik, lupus
eritematosus, artritis reumatorid dan infeksi virus. Anemia hemolitik otoimun
selanjutnya diklasifikasikan menurut suhu dimana antibodi bereaksi dengan
sel-sel darah merah antibodi tipe panas atau antibodi tipe dingin.
Malaria adalah penyakit parasit yang ditularkan ke manusia melalui
gigitan nyamuk anopheles betina yang terinfeksi. Penyakit ini akan
menimbulkan anemia hemolitik berat ketika sel darah merah diinfestasi oleh
parasit plasmodium, pada keadaan ini terjadi kerusakan pada sel darah merah,
dimana permukaan sel darah merah tidak teratur. Sel darah merah yang
terkena akan segera dikeluarkan dari peredaran darah oleh limpa.
Hipersplenisme (pembesaran limpa, pansitopenia, dan sumsum tulang
hiperselular atau normal) dapat juga menyebabkan hemolisis akibat
penjeratan dan penghancuran sel darah merah. Luka bakar yang berat
khususnya jika kapiler pecah dapat juga mengakibatkan hemolisis.

Klasifikasi etiologi utama yang kedua adalah pembentukan sel darah


merah yang berkurang atau terganggu (diseritropoiesis). Setiap keadaan yang
mempengaruhi fungsi sumsum tulang dimasukkan dalam kategori ini. Yang
termasuk dalam kelompok ini adalah:
1. keganasan yang tersebar seperti kanker payudara, leukimia dan multipel
mieloma; obat dan zat kimia toksik; dan penyinaran dengan radiasi dan
2. penyakit-penyakit menahun yang melibatkan ginjal dan hati, penyakitpenyakit infeksi dan defiensi endokrin.
Kekurangan vitamin penting seperti vitamin B12, asam folat, vitamin
C dan besi dapat mengakibatkan pembentukan sel darah merah tidak efektif
sehingga menimbulkan anemia. Untuk menegakkan diagnosis anemia harus
digabungkan pertimbangan morfologis dan etiologi.

BAB II
PRESENTASI KASUS
I.

II.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Nn. W

Umur

: 16 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Alamat

: Jatirunggo

Pekerjaan

: Pelajar

Tanggal Masuk

: 21 April 2015

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien di ruang Isolasi
bangsal Anyelir pada tanggal 22 April 2015.
A. Keluhan Utama
Benjolan di leher
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan adanya benjolan di leher sebelah kanan sejak
kurang lebih 3 minggu sebelum masuk Rumah Sakit. Benjolan awalnya
berukuran kecil makin lama semakin membesar. Saat ini, benjolan
berukuran sebesar telur ayam, berwarna kemerahan dan nyeri apabila
ditekan. Sejak kurang 1,5 minggu SMRS, muncul benjolan baru di leher
sebelah kiri. Saat ini, benjolan di leher kiri berukuran sebesar telur puyuh.
Sama seperti benjolan di leher kanan, benjolan di leher kiri juga berwarna
kemerahan dan nyeri bila ditekan. Pasien tidak mengeluhkan demam tinggi,
hanya mengatakan adanya rasa meriang kadang-kadang. Tidak ada keluhan
nyeri telan, suara serak, sesak ataupun berdebar-debar. Sebelumnya pasien
mengeluh batuk lama namun keluhan batuk saat ini sudah berkurang.
Pasien mengaku sebelumnya tidak ada luka maupun riwayat operasi di
daerah timbulnya benjolan
Pasien juga mengeluhkan badan terasa lemas sejak kurang lebih 2
minggu yang lalu. Lemas dirasakan terus menerus sepanjang hari dan tidak
berkurang dengan mengkonsumsi makanan atau minuman manis. Pasien
merasa mudah lelah dan letih. Nafsu makan menurun disertai penurunan

berat badan kurang lebih 10 kg dalam 3 bulan terakhir. Pasien tidak


mengeluhkan pandangan berkunang-kunang maupun telinga berdenging.
BAB dan BAK tidak ada keluhan.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Opname

: (+) tanggal 19 Maret 28 Maret 2015 di


RSUD

dengan

Demam Typhoid & TB Milier


: (+) 1 bulan yang lalu 3 kantong
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: dalam batas normal

Riwayat Tambah Darah


Riwayat Hipertensi
Riwayat DM
Riwayat Alergi
Riwayat Menstruasi

III.

Ambarawa

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Hipertensi
Riwayat DM
Riwayat Alergi
Riwayat TB paru

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

E. Riwayat Kebiasaan
Riwayat Merokok
Riwayat Minum Alkohol
Riwayat konsumsi obat

: disangkal
: disangkal
: disangkal

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum

: Sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Vital Sign

: Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 82 x/menit

Suhu (Aksila)

: 36 C

Pernafasan

: 20 x/menit

diagnosa

A. Status Generalis
- Kulit

: Warna sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor


cukup, tidak tampak jejas trauma, tidak tampak bekas
operasi.

- Kepala

: Simetris, normal, rambut hitam, distribusi merata, tidak


mudah dicabut, tidak tampak jejas trauma dan kelainan
kongenital, tidak tampak bekas operasi

- Muka

: Simetris, tidak tampak ada jejas trauma, tidak tampak


ada kelainan kongenital

- Mata

: Pupil

bulat

isokor

dengan

diameter

3mm/3mm

Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik tidak ada,


terdapat reflek cahaya pada kedua mata.
- Hidung

: Discharge tidak ada, nafas cuping hidung tidak ada,


deviasi septum tidak ada, deformitas tidak ada

- Mulut/Gigi

: Bibir sianosis tidak ada, lidah kotor tidak ada, carries


tidak ada, faring tidak hiperemis, tonsil T0-T0

- Telinga

: Simetris, discharge tidak ada, tidak ada kelainan


congenital

- Leher

: terdapat benjolan (lihat status lokalis)

- Thorax

- Jantung
Inspeksi

: Simetris, ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis teraba tak kuat angkat

Perkusi

: Batas atas kiri

: ICS II LPS sinistra

Batas atas kanan

: ICS II LPS dextra

Batas bawah kiri

: ICS V LMC sinistra

Batas bawah kanan : ICS IV LPS dextra


Auskultasi

: S1 > S2 reguler, murmur tidak ada, gallop tidak


ada

- Paru

Inspeksi

: Dinding dada simetris pada saat statis dan


dinamis, retraksi tidak ada, ketinggalan gerak
dada tidak ada

Palpasi

: Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri,


ketinggalan gerak tidak ada, massa tidak ada

Perkusi

: Sonor kedua lapang paru

Auskultasi

: Suara dasar: vesikuler kanan dan kiri


Suara tambahan tidak didapatkan

- Abdomen
Inspeksi

: Perut tidak membuncit, venektasi tidak ada,


sikatrik tidak ada, tidak tampak massa, tidak
tampak bekas jejas trauma, gambaran gerak usus
tidak ada.

Auskultasi

: Terdengar suara bising usus normal

Palpasi

: Terdapat nyeri tekan pada daerah Mc. Burney,


hepar dan lien tidak teraba, defans muskular tidak
ada, tidak teraba massa, ballotemen tidak ada,
buli-buli tidak teraba.

Perkusi

: timpani di seluruh kuadran abdomen, nyeri ketok


sudut costovertebra tidak ada.

- Pemeriksaan Ekstremitas
I

: Trophy : eutrophy

Pa

: KM : 5 5

Gerak involunter ( - )

Tonus

N N

5 5
Pe

: Reflek Fisiologis

B. Status Lokalis:

N N
+

Reflek Patologis

Status lokalis regio cervicalis lateralis dextra


- Inspeksi (look) : tampak benjolan dengan diameter 6cm,
-

warna kemerahan.
Palpasi (feel) : konsistensi lunak, nyeri tekan (+), permukaan

halus rata, tidak dapat digerakan (immobile), batas tegas.


Status lokalis regio cervicalis lateralis sinistra
- Inspeksi (look) : tampak benjolan dengan diameter 1,5cm,
-

warna kemerahan.
Palpasi (feel) : konsistensi lunak, nyeri tekan (+), permukaan
halus rata, tidak dapat digerakan (immobile), batas tidak tegas.

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
C. Laboratorium darah tanggal 21/4/2015
Pemeriksaan
HEMATOLOGI

Hasil

Nilai Rujukan

Darah rutin
Hb
Lekosit
Eritrosit
Trombosit
Hct
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
Limfosit

8.7
10.9
3.40
644
27.3
80.3
25.6
31.9
21.5
6.7
2.0

13.5-17.5 g/dl
6-15 ribu
3.6-5.2 juta
ribu
37-47 %
82-98 mikro m3
23-31 pg
32-36 g/dl
10-16 %
7-11 mikro m3
1.5-6.5

Monosit

0.4

10^3/mikro
0-0.8

Eosinofil
Basofil

0.1
0.3

10^3/mikro
2-4 10^3/mikro
25-40

8.1

10^3/mikro
1.8-8.0

Neutrofil
Limfosit%
Monosit%
Eosinofil%
Basofil%
Neutrofil%
PCT
PDW
Gol Darah
KIMIA KLINIK
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin
Natrium
Kalium
Chlorida
D. Foto Rontgen Thorak

18.8
3.5
0.7
2.3
74.7
0.424
11.7
A

10^3/mikro
25-40 %
2-8 %
2-4 %
0-1 %
50-70 %
0.2-0.5 %
10-18 %

20
17
15.3
0.29
137.5

IU/L
IU/L
10-50 mg/dl
<1 mg/dl
136-146

3.85
105

mmol/dl
3.5-5.1 mmol/dl
98-105 mmol/dl

V.

DIAGNOSIS
TB Milier
Limfadenitis TB dd Abces Colli
Anemia

VI. PENATALAKSANAAN
Initial Terapi
-

Infus RL 20 tpm
OAT kategori I 2x1
Vitamin B6 1x1
Transfusi PRC 2 kolf

Initial Planning
-

Morfologi Darah Tepi


Konsul Bedah

X. FOLLOW UP
Tanggal
22/4/14

Subjektif
Benjolan di leher
(+)
Nyeri (+)
Lemes (+)
Batuk (-)
Sesak (-)

Objektif
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
VS : TD: 132/107
N : 118 x/`
RR : 18 x/
T : 37C
MDT:
Kesan Anemia
Normositik
Normokromik
Kemungkinan proses

Assesment and Planning


Ass :
TB Milier
Limfadenitis TB dd
Abses Colli
Anemia Normositik
Normokromik
Tx:
IVFD RL 20 tpm
OAT kat I 1x2
Vitamin B6 1x1
Transfusi PRC 2 kolf
Planning:
Jawaban TS Bedah: Jika

hemolitik
Waspadai adanya
gangguan ginjal
Gambaran proses

butuh biopsy, akan


dilakukan

inflamasi

Benjolan di leher

23/4/15

(+)
Nyeri (+)
Batuk (-)
Sesak (-)

Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
VS : TD: 120/89
N : 83 x/`
RR : 20 x/
T : 36,5C

Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis
Benjolan di leher
24/4/15

(+)
Nyeri (+)
Batuk (-)
Sesak (-)

VS : TD: 127/106
N : 98 x/`
RR : 18 x/
T : 36,5C
Hb post transfusi :
13,1
Hasil konseling HIV :
non reaktif
Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis

24/4/15

Post OP

VS : TD: 120/80
N : 80 x/`
RR : 20 x/
T : 36,8C

Ass :
TB Milier
Limfadenitis TB dd
Abses Colli
Tx :
IVFD RL 20 tpm
OAT kat I
Vitamin B6
Prednison 35 mg/hari
Planning:
Cek Hb post tranfusi
Konsul VCT

Ass :
TB Milier
Limfadenitis TB dd
Abses Colli
Tx:
IVFD RL 20 tpm
OAT kat I
Vitamin B6
Prednison 35 mg/hari
Planning:
Pro OP hari ini
BTA faeces
Ass:
Abses Colli Dextra et
Sinistra
Instruksi Post Op:
Diet Bertahap
GB tiap hari
Inj Ceftriaxone 2x1g
Inj Ketorolac 3x30 mg
Lain2 sesuai TS Interna

Ku/kes :
Sedang/ Compos
Nyeri pada luka
25/4/15

bekas operasi (+)


Nyeri (+)
Batuk (-)
Sesak (-)

Mentis
VS : TD: 136/90
N : 96 x/`
RR : 20 x/
T : 36,1C

Tx lanjut

Ku/kes :
Sedang/ Compos
Nyeri pada luka
26/4/15

bekas operasi (+)


Batuk (-)
Sesak (-)

Mentis
VS : TD: 120/85
N : 109 x/`
RR : 20 x/
T : 37C
Ku/kes :
Sedang/ Compos

Nyeri pada luka


27/4/201
5

bekas operasi (+)


Batuk (-)
Sesak (-)

Mentis
VS : TD: 146/103
N : 104 x/`
RR : 20 x/
T : 36,3C

Tx lanjut

Tx Lanjut
Cek ulang DR
TS Bedah:
Ganti tampon tiap hari
BLPL

Ku/kes :
Sedang/ Compos
Mentis

Nyeri pada luka


28/4/201

bekas opereasi

berkurang
Batuk (-)
Sesak (-)

VS : TD: 124/98
N : 88 x/`
RR : 20 x/
T : 36,5C
DR ulang:
Hb: 12,9 g/dl
Ht: 40,2%
AE: 4,79 juta
AL: 13,0 ribu
AT: 509 ribu

Rencana pulang besok

DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Paduan Obat Anti Tuberkulosa
(OAT). 2008.
2. Wibowo. Pengobatan Tuberkulosis Paru. Cermin Dunia Kedokt. 1990;
63: 258.
3. Dahlan Z. Kejadian tuberkulosa ekstraparu di RS Hasan Sadikin dan
beberapa pusat kesehatan di Jawa Barat. Simposium masalah
tuberkulosa ekstraparu dan pengelolaannya. Lab/UPF lP Dalam
FKUP/RSHS, Bandung 1989 : 16-25.
4. Dahlan Z. Pendekatan dan Penegakan Diagnosa Penyakit Tuberkulosa.
Maj. Kedokteran Bandung, 1989; XXI (4): 1179-185.
5. Kusnindar. Masalah Penyakit Tuberkulosis dan Pemberantasannya di
Indonesia; Cermin Dunia Kedokt. 1990; 63: 1719.
6. Rasmin Rasjid. Patofisiologi dan Diagnostik Tuberkulosis Paru.
Tuberkulosis Paru. FKUI Jakarta, 1985.
7. Hadiarto M. .Pedoman diagnosis dan pengelolaan TB Ppru. Pedoman
Diagnostikdan Terapi. FKUI Jakarta, 1989.
8. Makalah Pengelolaan Rasional Penyakit Tuberkulosa Paru, Bandung,
28 April 1984.
9. Kadjito T. Imunologi pada tuberkulosis paru BTA (+) : aspek humoral
dan selular. First Asian Pacific Symposium, Second National Congress
on Alergy and Immunology. October 26-29, Indonesia, 1989 48-49.
Abstract.

10. WHO.

Treatment

of

Tuberculosis.

Guidelines

for

national

programmes. Tuberculosis Unit. Division of Communicable, Diseases.

You might also like