Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari kelompok
kompleks Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun1882 Robert Koch menemukan kuman
penyebab TB semacam bakteri berbentuk batang dan dari sinilah diagnosis secara
mikrobiologis dimulai dan penatalaksanaannya lebih terarah. Penyakit ini kemudian
dinamakan Tuberkulosis dan hampir seluruh tubuh manusia dapat terserang olehnya tetapi
yang paling banyak adalah organ paru.3
Pada permulaan abad 19, insidensi penyakit tuberkulosis di Eropa dan Amerika
Serikat sangat besar. Angka kematian cukup tinggi yakni 400 per 100.000 penduduk dan
angka kematian berkisar 15-30% dari semua kematian. Usaha-usaha untuk mengurangi angka
kematian dilakukan seperti menghirup udara segar di alam terbuka, makan/minum makanan
bergizi, memberikan obat-obat seperti tuberkulin, digitalis, minyak ikan dan lain-lain, tetapi
hasilnya masih kurang memuaskan. Tahun 1840 George Bodington dari Sutton Inggris
mengemukakan konsep sanatorium untuk pengobatan TB tetapi ia tidak mendapat tanggapan
pada waktu itu. Baru pada tahun 1859 Brehmen di Silesia Jerman, mendirikan sanatorium
dan berhasil menyembuhkan sebagian pasiennya.3
Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih
tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993 WHO
mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB
kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh
mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatat diseluruh dunia.
Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi dinegara-negara yang
sedang berkembang. Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia
setelah China dan India.3
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi
Tuberculosis adalah setiap penyakit menular pada manusia dan hewan yang
disebabkan oleh spesies Mycobacterium dan ditandai dengan pembentukan tuberkel dan
nekrosis kaseosa pada jaringan-jaringan. Spesies penyebab yang paling sering adalah M.
tuberculosis dan M. bovis. Tuberkulosis bervariasi secara luas dalam hal manifestasinya
dan mempunyai kecenderungan kronisitas yang besar. Berbagai organ dapat terkena,
walaupun pada manusia paru adalah tempat utama penyakit ini dan biasanya merupakan
pintu gerbang masuknya infeksi untuk mencapai organ lainnya. 4 Jika diterapi dengan
benar, tubekulosis yang disebabkan drug-susceptible strain dapat diobati pada semua
kasus. Tanpa terapi, penyakit ini dapat berakibat fatal dalam 5 tahun pada lebih dari
setengah kasus tuberkulosis. Transmisi adalah secara air-bourne yaitu dari droplet nuclei
penderita tuberkulosis aktif.
2. Epidemiologi
Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Pada
tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TBC, karena pada
sebagian besar negara di dunia, penyakit TBC tidak terkendali. 1 TBC menjadi penyebab
kematian utama, hingga dua juta orang pada tahun 1990. Hal tersebut disebabkan oleh :
(1) program pengendalian penyakit yang tidak adekuat. (2) Multiple Drug Resistance
(MDR). (3) co-infection dengan HIV. (4) Peningkatan jumlah penduduk, terutama dewasa
muda yang merupakan kelompok umur dengan mortalitas tertinggi dari tuberkulosis.3
Di Indonesia, menurut SKRT tahun 1995, penyakit TBC merupakan penyebab
kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernafasan pada
semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Menurut WHO
tahun 1999, memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru tbc sekitar 140000.
Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru
TBC paru BTA positif.3
Sejak tahun 1995, program pemberantasan Tuberkulosis Paru, telah dilaksanankan
dengan strategi DOTS (Directly observed treatment, Shortcourse chemotherapy) yang
direkomendasikan oleh WHO. Kemudian berkembang seiring dengan pembentukan
GERDUNAS-TBC, maka Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Paru berubah menjadi
2
3. Etiologi
3
Mycobacteria
tergolong
dalam
famili
Mycobacteriaceae
dan
order
4. Klasifikasi
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe tuberculosis memerlukan definisi kasus yang
memberikan batasan baku. Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan
definisi kasus, yaitu :
a. Organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru
b. Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis lansung BTA positif atau BTA negatif
c. Riwayat pengobatan sebelumnya baru atau sudah pernah diobati
d. Tingkat keparahan penyakit ringan atau berat.
Tuberkulosis Paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC Paru dibagi dalam:
1. Tuberkulosis Paru BTA Positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada
menunjukan gambaran tuberkulosis aktif.
2. Tuberkulosis Paru BTA negatif
a. Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen
dada menunjukan gambaran tuberkulosis aktif.
b. TBC Paru BTA Negatif Rontgen Positif dubagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto
rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya
proses far advanced atau millier), dan/atau kejadian umum penderita buruk.
Catatan :
o Yang dimaksudkan dengan TBC paru adalah TBC dari perenkim paru. Sebab itu,
TBC pada pleura atau TBC pada kelenjar hilus tanpa ada kelainan radiologis paru,
dianggap sebagai penderita TBC ekstra paru.
o Bila seorang penderita TBC paru juga mempunyai TBC ekstra paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, penderita tersebut harus dicatat sebagai penderita TBC
paru.
o Bila seorang penderita ekstra paru pada berberapa organ, maka dicatat sebagai
TBC ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada berberapa tipe
penderita yaitu1,2 :
Kasus Baru
adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian)
Kambuh (Relaps)
Gagal: adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke 5 atau lebih.
Adalah penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif menjadi BTA positif
pada akhir bulan ke 2 pengobatan.
Kasus Kronis: adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2.
5. Patogenesis
Tuberculosis Primer
Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap
dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet,
ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat
tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang
sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke
alveolar bila ukuran partikel <5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh
neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau
dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia
dengan sekretnya.3
7
Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotic, kalsifikasi di
hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >5 mm dan 10%
Histiosit dan sel Datia Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh selsel limfosit dan berbagai jaringan ikat.3
TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi
TB usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya dan
imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi :
Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan
fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang
dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat
sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk
jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini
mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan
fibroblast dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya
perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh
enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan
TNF-nya. Bentuk perkijuan lain yang jarang adalah cryptic disseminated TB yang
terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut.3
Disini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat3 :
a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini
masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB milier. Dapat juga
masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan selanjutnya ke usus
jadi TB usus. Sarang ini selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan
terdahulu. Bisa juga terjadi TB endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema
bila ruptur ke pleura
b. Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini
dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi
kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi oleh fungus seperti
Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma
c. Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga menyembuh
dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir sebagai kavitas
yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang disebut stellate shaped.
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni :
1. Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi.
2. Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan
sempurna.
3. Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh
spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi kembali, sebaiknya
diberi pengobatan yang sempurna juga.
6. Gejala-gejala Klinis
Keluhan yang dirasakan pasien tuberculosis dapat bermacam-macam atau malah
banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan
kesehatan. Keluhan yg terbanyak adalah3 :
a. Demam. Biasanya subfebris menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang
panas badan dapat mencapai 40-41OC. Serangan demam pertama dapat sembuh
sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang
timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari
serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh
pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberculosis yang masuk.
b. Batuk/batuk darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi
pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar.
Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru
ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah bermingguminggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk
kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena
terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis
terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
10
c. Sesak napas. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas.
Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya
sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
d. Nyeri dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
e. Malaise. Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan
turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dan lain-lain. Gejala
malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
7. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan
kurus atau berat badan menurun.3
Tempat kelainan lesi TB Paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak)
paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup
dan auskultasi suara napas bronchial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa
ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura,
suara napasnya menjadi vesicular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar,
perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara
amforik.3
Pada tuberculosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan
atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik
isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat menjadi lebih hiperinflasi. Bila
jaringan fibrotic amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan
terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri
pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung
kanan. Disini akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung kanan
seperti takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur
Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat,
hepatomegali, asites dan edema.3
11
Bila tuberculosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit
terlihat agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi
memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.
Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai
dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji
tuberkulin yang positif.3
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologis
Lokasi lesi tuberculosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas
atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian
inferior) atau didaerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberculosis
endobronkial).3
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia,
gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang
tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan
dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma.3
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis. Lamalama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan
yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat
dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai
penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian
paru.3
Gambaran tuberculosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya
tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Gambaran radiologis lain yang sering
menyertai tuberculosis paru adalah penebalan pleura (pleuritis), massa cairan dibagian
bawah paru (efusi pleura/empiema), bayangan hitam radiolusen di pinggir paru/pleura
(pneumotoraks).3
12
13
sitoplasma M. tuberculin var bovis BCG yang dihancurkan secara ultrasonic dan
dipisahkan secara ultrasentrifius. Hasil uji PAP-TB dinyatakan patologis bila pada titer
1:10000 didapatkan hasil uji PAP-TB positif. Hasil positif palsu kadang-kadang masih
didapatkan pada pasien reumatik, kehamilan dan massa 3 bulan revaksinasi BCG.3
Uji serologis lain terhadap TB yang hampir sama cara dan nilainya dengan uji
PAP-TB adalah uji mycodot. Disini dipakai antigen LAM (Lipoarabinomannan) yang
dilekatkan pada suatu alat berbentuk sisir plastik. Sisir ini dicelupkan kedalam serum
pasien. Antibody spesifik anti LAM dalam serum akan terdeteksi sebagai perubahan
warna pada sisir yang intensitasnya sesuai dengan jumlah antibodi.3
Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena ditemukannya kuman BTA, diagnosis
tuberculosis sudah dapat dipastikan. Pemeriksaan sputum juga dapat memberikan
evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah
sehingga dapat dikerjakan di puskesmas. Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk
mendapatkan sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif.
Dalam hal ini dianjurkan minum air sebanyak 2 liter dan diajarkan melakukan refleks
batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik ekspektoran atau
dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum
dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing atau bronchial
washing atau BAL (broncho alveolar lavage). BTA dari sputum juga bisa didapat dengan
cara bilasan lambung.3
14
15
Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis
tuberculosis terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes mantoux yakni
dengan menyuntikan 0,1 cc tuberkulin P.P.D. (Purified Protein Derivative) interakutan
berkekuatan 5 T.U. (intermediate strength). Bila ditakutkan reaksi dengan 5 T.U. dapat
diberikan dulu 1 atau 2 T.U (first strength). Kadang-kadang bila dengan 5 T.U. masih
memberikan hasil negatif dapat diulangi dengan 250 T.U. (second strength). Bila dengan
16
250 T.U. masih memberikan hasil negatif, berarti tuberculosis dapat disingkirkan.
Umumnya tes Mantouks dengan 5 T.U. saja sudah cukup berarti.3
Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah
mengalami infeksi M.tuberculosae, M.bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria pathogen
lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Pada penularan dengan
kuman pathogen baik yang virulen ataupun tidak (Mycobacterium tuberculosae atau
BCG) tubuh manusia akan mengadakan reaksi imunologi dengan dibentuknya antibody
selular pada permulaan dan kemudian diikuti oleh pembentukan antibody humoral yang
dalam perannya akan menekankan antibody selular.3
Bila pembentukan antibody selular cukup misalnya pada penularan dengan kuman
yang sangat virulen dan jumlah kuman sangat besar atau pada keadaan dimana
pembentukan antibody humoral amat berkurang (pada hipogama-globulinemia), maka
akan mudah terjadi penyakit sesudah penularan. Setelah 48-72 jam tuberkulin
disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat
limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibody selular dan antigen tuberkulin.3
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, hasil tes Mantoux ini dibagi dalam :
1. Indurasi 0-5 mm (diameternya) : mantoux negatif = golongan no sensitivity. Disini
peran antibody humoral paling menonjol.
2. Indurasi 6-9 mm : hasil meragukan = golongan low grade sensitivity. Disini peran
antibody humoral masih menonjol.
3. Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan normal sensitivity. Disini peran
kedua antibody seimbang.
4. Indurasi >15 mm : Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Disini peran
antibody selular paling menonjol.
Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau
terinfeksi dengan Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemui daripada
positif palsu. Hal-hal yang memberikan reaksi tuberkulin berkurang (negatif palsu) yakni:
17
Untuk pasien dengan HIV positif, test Mantoux 5mm, dinilai positif.
9. Diagnosis
Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964 diagnosis pasti tuberculosis
paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosae dalam sputum atau
jaringan paru secara biakan. Tidak semua pasien memberikan sediaan atau biakan sputum
yang positif karena kelainan paru yang belum berhubungan dengan bronkus atau pasien
tidak bisa membatukkan sputumnya dengan baik. Kelainan baru jelas setelah penyakit
berlanjut sekali.3
Diagnosis tuberculosis paru masih banyak ditegakkan berdasarkan kelainan klinis
dan radiologis saja. Kesalahan diagnosis dengan cara ini cukup banyak sehingga
memberikan efek terhadap pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan. Oleh sebab itu
dalam diagnosis tuberculosis paru sebaiknya dicantumkan status klinis, status
bakteriologis, status radiologis dan status kemoterapi. WHO tahun 1991 memberikan
kriteria pasien tuberculosis paru :
histologis atau dengan gambaran klinis sesuai dengan TB aktif atau pasien dengan satu
sediaan dari organ ekstra parunya menunjukkan hasil bakteri M. tuberculosae.
Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya.1
Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan
berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan
kemungkinan
penyakit
lain.
Ketepatan
diagnosis
tergantung
pada
metode
Standar 1 : Setiap orang dengan batuk produktif selama 2 3 minggu atau lebih,
yang jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk tuberkulosis. Untuk pasien anak,
selain gejala batuk, berat badan yang sulit naik dalam waktu kurang lebih 2 bulan
terakhir atau gizi buruk.1
19
Standar 2 : Semua pasien (dewasa, remaja, dan anak yang dapat mengeluarkan
dahak) yang diduga menderita tuberkulosis paru harus menjalani pemeriksaan dahak
mikroskopik minimal 2 dan sebaiknya 3 kali. Jika mungkin paling tidak satu spesimen
harus berasal dari dahak pagi hari.1
Standar 4 : Semua orang dengan temuan foto toraks diduga tuberkulosis seharusnya
menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.1
Standar 5 : Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif, harus didasarkan
kriteria berikut : minimal pemeriksaan dahak mikroskopik 3 kali negatif (termasuk
minimal 1 kali dahak pagi hari); temuan foto thoraks sesuai tuberkulosis dan tidak ada
respons terhadap antibiotika spektrum luas (catatan : fluorokuinolon harus dihindari
karena aktif terhadap M. Tuberculosis complex sehingga dapat menyebabkan
perbaikan sesaat pada penderita TB). Untuk pasien ini, jika tersedia fasilitas, biakan
dahak seharusnya dilakukan. Pada pasien yang diduga terinfeksi HIV evaluasi
diagnostik harus disegerakan.1
Standar 6 : diagnosis tuberkulosis intratoraks (yakni paru, pleura, dan kelenjar getah
bening hilus atau mediastinum) pada anak dengan gejala namun sediaan apus dahak
negatif seharusnya didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai tuberkulosis dan
pajanan kepasa kasus TB yang menular atau bukti infeksi TB (uji kulit tuberkulin
positif atau interferon gamma release assay). Untuk pasien seperti ini, bila tersedia
fasilitas, bahan daka seharusnya diambil untuk dibiakkan (dengan cara batuk, bilas
lambung, atau induksi dahak).1
10. Penatalaksanaan
OBAT ANTI TUBERCULOSIS (OAT)
10.1 Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
20
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT)
lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
b. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
permulaan obat).
Aktivitas sterilisasi bersifat membunuh kuman yang pertumbuhannya
lambat (metabolisme kurang aktif). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka
kekambuhan setelah pengobatan dihentikan.4
a) Isoniazid (INH)
Isoniazid (isonikotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis yang sangat
efektif, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan
metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), dan bersifat bakteriostatik
terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat
berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CC, cairan pleura,
cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang (adverse reaction)
yang sangat rendah.6,7
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 515mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian.
Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100mg dan 300mg, dan dalam
22
bentuk sirup 100mg/5ml. Sediaan dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil, sehingga
tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak dalam darah biasanya dicapai
dalam 1-2 jam, dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme
melalui asetilasi di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat dibandingkan
dewasa sehingga memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi daripada dewasa.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama. Yaitu hepatotoksisitas dan
neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien
dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar
anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah
yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa
penghentian obat. 3-10% pasien akan mengalami peningkatan kadar transaminase
darah yang cukup tinggi, tetapi hepatotoksisitas jarang terjadi. Hal tersebut lebih
mungkin terjadi pad remaja atau anak-anak dengan TB yang berat. Idealnya perlu
pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang
menimbulkan hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan,
kecuali bila ada gejala dan tanda klinis. Hepatotoksistas akan meningkat apabila
isoniazid diberikan bersama dengan rifampisin dan pirazinamid. Pemberian isoniazid
tidak dilanjutkan bila kadar transaminase serum naik lebih dari lima kali dari normal,
atau tiga kali disertai ikterus dan/atau manifestasi klinis hepatitis berupa mual,
muntah, dan nyeri perut.6,7
Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme
piridoksin. Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling sering adalah mati rasa atau
kesemutan pada tangan dan kaki. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang
menggunakan isoniazid, tetapi manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan
tambahan piridoksin. Remaja dengan diet yang tidak adekuat, anak-anak dengan
asupan susu dan daging yang kurang, malnutrisi, serta bayi yang hanya minum ASI,
memerlukan piridoksin tambahan. Piridoksin diberikan 25-50mg satu kali sehari, atau
10 mg piridoksin setiap 100mg isoniazid.6,7
b) Rifampisin (R)
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan, dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh
oleh isoniazid. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada
saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2
jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 1023
sangat
jarang
terjadi.
Efek
samping
lainnya
adalah
puncak 5g dalam waktu 24 jam. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan
anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak
berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. Ekskresi
terutama melalui ginjal dan saluran cerna. Kemungkinan toksisitas utama adalah
neuritis optik dan buta warna merah hijau sehingga seringkali penggunaannya
dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Etambutol
dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten obat jika
tidak ada obat lainnya.6,7
e) Streptomisin
Streptomisin bersifat
bakterisid
dan
bakteriostatik
terhadap
kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh
kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB,
tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan
MDR-TB.
Streptomisin
diberikan
secara
intramuskular
dengan
dosis
15-
25
Regimen terapi kategori 1 adalah 2RHZE/4HR atau 4H3R3 atau 6HE. Jika BTA
masih tetap positif setelah 2 bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu
lagi, tanpa melihat apakah sputum negatif atau tidak.
Kategori II :
Kategori III :
Pasien TB Paru dengan BTA negatif tetapi kelainan paru tidak luas dan kasus
Kategori IV :
Kategori II :
Pasien kambuh
Pasien Gagal, dan pasien default.
Regimen pengobatannya 2RHZES/RHZE/5R3H3E3.
Kategori Sisipan :
Regimen sisipan OAT sama dengan regimen tahap intensif kategori I yang
diberikan selama 28 hari
Kategori Anak
OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun pada
Tabel 2. Dosis Obat yang dipakai di Indonesia (Sumber : Amin Z & Bahar A, 2-009)
Nama Obat
Dosis Harian
Dosis berkala
BB <50 kg
BB >50 kg
3x/minggu
Isoniazid
300 mg
400 mg
600 mg
Rifampisin
340 mg
600 mg
600 mg
Pirazinamid
1000 mg
2000 mg
2000 3000 mg
Streptomisin
750 mg
1000 mg
1000 mg
Etambutol
750 mg
1000 mg
1000 1500 mg
27
Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT kategori 1 (Sumber : Pedoman nasional TB 2007)
Berat Badan
Tahap Intensif
Tahap Lanjutan
3x/minggu selama 16 mg
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
30 37 kg
2 tablet 4KDT
2 tablet 2KDT
38 54 kg
3 tablet 4KDT
3 tablet 2KDT
55 70 kg
4 tablet 4KDT
4 tablet 2KDT
70 kg
5 tablet 4KDT
5 tablet 2KDT
Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT kategori 2 (sumber: Pedoman Nasional TB 2007)
Berat Badan
30 37 kg
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari
Selama 28 hari
Selama 20 Mg
2 tablet 4KDT +
2 tablet 4KDT
2 tablet 2KDT +
500 mg S inj.
38 54 kg
3 tablet 4KDT
2 tab Etambutol
3 tablet 4KDT
750 mg S inj.
44 70 kg
4 tablet 4KDT
1000 mg S inj.
3 tablet 2KDT +
3 tab Etambutol
4 tablet 4KDT
4 tablet 2KDT +
4 tab Etambutol
28
70 kg
5 tablet 4KDT
1000 mg S inj.
5 tablet 4KDT
5 tablet 2KDT +
2 tab Etambutol
29
Kemungkinan
Tatalaksana
Penyebab
Minor
OAT diteruskan
perut
sebelum tidur
Nyeri sendi
Pyrazinamid
Beri
aspirin
/allopurinol
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki INH
Beri
vitamin
B6
(piridoksin) 1 x 100 mg
perhari
Warna kemerahan pada air seni
Rifampisin
Mayor
Hentikan obat
Tuli
Semua
OAT
dievaluasi ketat
Streptomisin
Streptomisin
dihentikan
Streptomisin
dan nistagmus)
dihentikan
Ikterik
/ Hepatitis
Imbas
Obat Sebagian
OAT
ikterik
OAT
Gangguan penglihatan
Etambutol
Hentikan etambutol
Hentikan rifampisin
dan purpura
30
pendekatan
berdasarkan
Public-Private
Mix (PPM)
untuk
31
32
Catatan :
*) Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1 2 bulan dan lama pengobatan
sebelumnya kurang dari 5 bulan, lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis
selesai dan 1 bulan terakhir pengobatan harus diperiksa dahak.
Resistensi terhadap OAT dapat saja terjadi akibat pengobatan yang tidak efektif
atau faktor internal dari penderita itu sendiri. Multidrug Resistant TB (MDR TB)
disebabkan oleh organisme yang resisten terhadap minimal INH dan Rifampisin, 2 obat
yang paling efektif terhadap pengobatan TB. Extensively Drug Ressistant TB (XDR
TB) merupakan bentuk MDR yang jarang terjadi. XDR TB mengalami resistensi
minimal terhadap INH dan rifampisin, serta gol. Fluorokuinolon dan minimal satu dari
3 jenis OAT injeksi lini kedua (amikasin, kanamisin, kapreomisin). Karena kasus XDR
TB mengalami resistensi hampir pada semua OAT yang bepotensi membunuh kuman
TB, piliha pengobatan yang tersisa jauh lebih rendah kadar keefektifannya.
33
Terapi Operatif
Terapi operatif banyak dilakukan dalam upaya penyembuhan pasien tuberkulosis
paru yang kambuh. Pada sat ini dengan banyaknya obat yang bersifat bakterisid, terapi
edah jarang sekali dilakukan terhadap pasien tuberkulosis paru.
Pasien pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:
1. Pasien TB paru
Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. Pasien ekstraparu
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi (TB tulang yang disertai kelainan
neurologik).
Disamping syarat toleransi operasi diperlukan juga syarat adanya OAT yang masih
sensitif. OAT ini tetap diberikan sampai 6 bulan post operasi. Hasil operasi pasien
dengan sputum BTA positif, sebagian besar BTA menjadi negatif di samping perbaikan
keluhan keluhannya, sehingga dapat dikatakan tindakan bedah sangat berarti dalam
penyembuhan pasien.1
10.3 Pengobatan TB pada keadaan khusus
a. Kehamilan
Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali
streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat
permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang
menetap pada bayi yang akan dilahirkan. (1)
b. Ibu menyusui dan bayinya
Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang
menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang
tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada
bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui.
34
melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik.
OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan
gangguan ginjal.Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena
itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas
pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan
dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien
dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.1
h. Pasien TB dengan Diabetes Melitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes
perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah
selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien
Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu
hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan
tersebut.1
i. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan
khusus
yang
membahayakan jiwa pasien seperti: Meningitis TB, TB milier dengan atau tanpa
meningitis.
TB dengan Pleuritis eksudativa, TB dengan Perikarditis konstriktiva.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian
diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit
dan kemajuan pengobatan.1
11. Komplikasi
1. Hemoptisis berat
sumbatan jalan napas bawah & syok hipovolemik
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial
3. Bronkhiektasis (pelebaran bronchus) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada
proses pemulihan atau reaktif) pada paru
4. Pneumothoraks
5. Penyebaran TB ke jaringan lain : otak, tulang, ginjal, dll
6. Insufisiensi Kardiopulmonal
Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada
penderita tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :
Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan
kematian karena syok hipovolemik atau karena tersumbatnya jalan napas.
36
Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus akibat
retraksi bronchial.
Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan ginjal
12. Pencegahan
Penyakit TBC dapat dicegah dengan cara:
Menjaga standar hidup yang baik, dengan makanan bergizi, lingkungan yang sehat,
dan berolahraga.
Pemberian vaksin BCG (untuk mencegah kasus TBC yang lebih berat). Vaksin ini
secara rutin diberikan pada semua bayi usia 3-14 bulan
Perlu diingat bahwa mereka yang sudah pernah terkena TBC dan diobati, dapat
kembali terkena penyakit yang sama jika tidak mencegahnya dan menjaga kesehatan
tubuhnya.
Meludah hendaknya pada tempat tertentu yang sudah diberi desinfektan (air sabun)
Mengusahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke dalam tempat
tidur
Peringatkan agar jangan terlewat meminum obat dan memeriksakan sputum sesuai
dengan yang telah dijadwalkan.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Aditama TY, Kamso S, Surya A, & Basri C. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis 2006. Kementrian kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 2006.
2. Aditama TY, Kamso S, Surya A, & Basri C. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis 2007. Kementrian kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 2007.
38
3. Amin Z & Bahar A. Tuberkulosis Paru : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; jilid III, ed.1,
hlm 2230 2239. Internal Publishing. Jakarta Pusat 2009.
4. Amin Z & Bahar A. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam; jilid III, ed.1, hlm 2240 2247. Internal Publishing. Jakarta Pusat. 2009.
5. Dorland. 1998. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 25. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran
EGC.
6. Istiantoro YH & Gan VHS. Tuberkulostatika dan Leprostatika: Farmakologi dan Terapi;
edt. 5, hlm. 613 637. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2009.
7. Nastiti N Rahardjo, Bambang, Darmawan, Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi ke-2.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI 2010.
8. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2012. World Health
Organization. Geneva. 2012.
9. Hopewell, Philip C. International Standards for Tuberculosis Care; diagnosis, treatment,
public health. University of California. San fransisco, USA. 2006.
39