You are on page 1of 20

BAB I

Trauma kapitis atau lebih dikenal dengan gegar otak oleh masyarakat,
merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian atau kelumpuhan pada
semua tingkat usia. Di Amerika, terdata 1,5 juta orang mengalami cedera kepala per
tahun dan 75% diantaranya termasuk dalam cedera kepala ringan. Di Eropa, tercatat
91 kasus per 100.00 orang mengalami cedera pertahunnya.Di Indonesia sendiri,
walaupun belum ada data pasien mengenai angka kejadian trauma kapitis, tetapi
yang jelas trauma sering dan banyak terjadi di rumah sakit di seluruh Indonesia.
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-24
tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan 48-53% dari insiden cedera kepala, 20-28%
lainnya karena jatuh dan 3-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan
olahraga dan rekreasi. Trauma kapitis lebih berbahaya dari trauma pada organ
lainnya, karena trauma ini mengenai otak. Selain itu sekali neuron rusak tidak dapat
diperbaiki lagi. Trauma ini mengakibatkan malapetaka besar bagi seorang individu.
Beberapa masalah disebabkan langsung dan banyak lainnya karena efek sekunder
dari trauma. Penderita dapat meninggal atau menjadi cacat, invalid, tergantung pada
orang lain dan menjadi beban bagi keluarga.
Melihat kenyataan di atas, penderita perlu mendapatkan penanganan serius dan
melibatkan berbagai tenaga kesehatan agar dapat memberikan pertolongan guna
mencegah hal-hal yang lebih buruk dan lebih berbahaya bagi penderita trauma
kapitis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI
A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika,
loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium. (1)

Gambar 1. Lapisan Kranium(2)


B. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis.
Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat
bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas
2

3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan
fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.(3)
C. Meningen (2,3,4)
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri
atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh
vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis
tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan
laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling
sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut

spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh
liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.
D. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar
14 kg.7 Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari
serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak
belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.

Gambar 2. Lobus-lobus Otak


4

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori
tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon
dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran
dan kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik.
Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.(3)

E. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui
foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV.
CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang
terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat
granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa
volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.(5)
F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi
fosa kranii posterior).(1)
G. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat
arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus

Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang
sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara
ke dalam sinus venosus cranialis.
2.2 ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA
a. Hukum Monroe-Kellie
Volume intrakranial adalah tetap karena sifat dasar dari tulang tengkorak
yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total
volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan
serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).
Vic = V br+ V csf + V bl
b. Tekanan Perfusi Serebral
Adalah selisih antara mean arterial pressure (MAP) dan tekanan intarkranial (ICP).
Pada seseorang yang dalam kondisi normal, aliran darah otak akan bersifat konstan
selama MAP berkisar 50-150mmhg. Hal ini dapat terjadi akibat adannya autoregulasi
dari arteriol yang akan mengalami vasokonstriksi atau vasodilatasi dalam upaya
menjaga agar aliran darah ke otak berlangsung konstan.
2.3 DEFINISI
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanen. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik. (1)

2.4 PATOFISIOLOGI
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai
akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasideselarasi gerakan kepala.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup.
Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan
daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi
karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma.
Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countercoup).

Gambar 3. Coup dan countercoup


Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis
yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan,

edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan


intrakranial dan perubahan neurokimiawi.(1,6)
2.5 KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya.
a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul
dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.
Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan. (7)
b. Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale
adalah sebagai berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
Glasgow

Glasgow Coma Scale

nilai ai

Respon membuka mata (E)


Buka mata spontan

Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara

Buka mata bila dirangsang nyeri

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

Respon verbal (V)


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang

Kata-kata tidak teratur

Suara tidak jelas

2
8

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

Respon motorik (M)


Mengikuti perintah

Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5


Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal

Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

c. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan
lesiintrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut
antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular
(battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus
fasialis (7)
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya
hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena
robeknya selaput duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan
segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan
yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang
tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura
ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak

mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko


hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20
kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi
risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan
20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura
tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk
pengamatan (7)
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,
walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau
hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa,
secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan
perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis(7)

a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di
ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri
berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering
terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat
robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap
berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada
sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya
sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu
diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak

10

segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang


terjadi tidak berlangsung lama. Keberhasilan pada penderita
pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status neurologis
penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan
epidural dapat menunjukan adanya lucid interval yang klasik
dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba
meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah
memnang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli
bedah saraf.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens
yang

tidak

selalu

homogeny,

bentuknya

biconvex

sampai

planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke


sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas dengan
corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat
diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak
lebih jelas. (8)

11

b. Hematom Subdural
Hematoma

subdural

(SDH)

adalah perdarahan yang terjadi di


antara duramater dan arakhnoid.
SDH

lebih

sering

terjadi

dibandingkan EDH, ditemukan


sekitar 30% penderita dengan
cedera kepala berat. Terjadi paling
sering

akibat

robeknya

vena

bridging antara korteks serebral


dan sinus draining.
Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak.
Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak (3)

12

Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat
lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya
60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan
medis agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.
1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula
interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom seperti
bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan
adanya hematom subdural (7).
2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang disebabkan
oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan
akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas
tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah
hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens,
bahkan akhirnya menjadi hipodens. (8)
d. Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu
berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal
dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak.
Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya.
Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi
hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak.
Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan
pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling
sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat
bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan. (5)

e. Cedera difus
Cedar otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan
deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio
cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun
terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini
sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling
ringan dari komosio ini adalah keadaan bingguung dan disorientasi tanpa amnesia.
Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang lebih berat
menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad. (3)
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilanggnya
kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya
amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita dapat timbul
defisist neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya kesulitan
mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal
sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana pendeerita
mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan tidak diakibatkan oleh suatu
lesi mas aatau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan kooma yang dalam
dan tetap koma selama beberapa waktuu. Penderita sering menuunjukan gejala
dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun
bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi otonom seperti

hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera aksonal difus
dan cedeera otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan
tersebut sering terjadi bersamaan. (3)

2.6 PEMERIKSAAN TAMBAHAN

Laboratorium Darah
Foto Polos Kepala
o Indikasi
Riwayat pingsan
Adanya gejala neurologis seperti diploplia, vertigo, muntah, atau
sakit kepala
Adanbya otorrhea atau rhinorrhea
Adanya kecurigaan luka tembus kepala

Foto Servikal
o Indikasi
Pada penderita yang tidak sadar atau dengan penurunan kesadaran.
Penderita yang sadar dan mengeluh adanya nyeri pada leher
Adanya jejas di atas klavikula
Adanya kecurigaan trauma servikal
CT Scan
o Indikasi
GCS <15 atau terdapat penurunan kesadaran 1 point selama

MRI. Indikasi

observasi
Cedera kepala ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak
Adanya tanda fraktur basis crania
Kejang
Adanya tanda neurologis fokal
Sakit kepala yang menetap
dama dengan CT Scan, namun MRI memiliki beberapa kelebihan

disbanding CT Scan dalam hal ketelitian.


2.7 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan
umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.

Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat. Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing,
circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada
penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting
untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.
A. Survey Primer(1,9)
Jalan Napas. Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Daerah tulang servikal

harus diimobilisasi (Collar neck).


Pernapasan. Evaluasi berupa inspeksi terhadap bentuk dan pergerakan dada,
palpasi terhadap kelainan dinding dada, palpasi terhadap kelainan dinding dada
yang memungkinkan gangguan ventilasi, auskultasi untuk memastikan masuknya

udara ke dalam paru.


Sirkulasi. Evaluasi perdarahan yang terjadi pada pasien. Apabila ditemukan tandatanda syok, maka perlu dilakukan resusitasi cairan.

Bleeding
HR
RR
Capillary Refill
Skin
Urine
Behaviour
Fluid

Class I
<750 cc
<100
14-20
Normal
Pink and Cool
>30 cc/hour
Slight Anxiety

Class II
750-1500 cc
>100
20-30
Decreased
Pink and Cold
20-30 cc/hour
Mild Anxiety

Crystalloid

Crystaloid

Class III
1500-2000 cc
>120
30-35
>2 minutes
Pale, Cold, Moist
5-15 cc/hour
Anxious, Confused
Crystaloid and
Blood

Class IV
> 2000 cc
>140
>35
Absent
Mottled
<5 cc / hour
Lethargic, Confused
Crystaloid and Blood

Disability dengan pemeriksaan mini neurologis, hal ini meliputi:


o GCS setelah resusitasi
o Bentuk, ukuran, reflex cahaya pupil.
o Kekuatan otot.
Eksposure. Hal ini bertujuan untuk menghindari hipotermia dan mencari cedera di
tempat lain.

Bersamaan dengan resusitasi, kita dapat melakukan anamnesis yang meliputi:

Waktu kecelakaan
Tempat kejadian
Memakai helm/tidak (untuk pengguna sepeda motor)

Mekanisme cedera
Adanya pingsan atau tidak dan durasinya
Keadaan setelah kejadian
Adanya pengaruh alcohol dan obat-obatan
Riwayat penyakit sebelumnya
Pada pasien yang sadar, ditanyakan penglihatan kabur, penglihatan ganda, baal atau

kelemahan ekstremitas, dan lama PTA (post traumatic amnesia) berlangsung.


B. Survey Sekunder. Merupakan survey lanjutan untuk menilai kemajuan/kemunduran dari
resusitasi pada survey pertama.

Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.
Indikasi rawat antara lain:
1. Penurunan kesadaran
2. Fraktur tulang tengkorak
3. Gejala dan tanda deficit neurologis, termasuk sakit kepala dan muntah-muntah.
4. Sulit melakukan penilaian terhadap penderita, sepertipada pengaruh alcohol, obat, atau usia
yang sudah lanjut sekali.
5. Adanya keadaan medisnyang menyertai seperti epilepsy.
6. Sulitnya atau tidak ada orang sekitarnya yang dapat mengawasi keadaan pasien.
7. Jarak dari rumah penderita ke rumah sakit sangat jauh sehingga tidak memungkinkan
penderita kembali ke rumah sakit dalam waktu singkat, jika dibutuhkan.
8. Adanya criteria risiko sedang dan risiko tinggi pada penderita.
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan abnormal

Kriteria risiko yang dimaksud diatas adalah criteria ynga dibuat setelah pemeriksaan klinis untuk
membedakan penderita terhadap kemungkinan adanya risiko cedera intracranial. Dalam hal ini
dibagi atas(1) :
1. Risiko Rendah
Asimptomatik
Sakit kepala
Pusing

Hematom, laserasi, kontusio, taua abrasi scalp


2. Risiko Sedang
Riwayat penurunan kesadaran pada saat kejadoan atau sesudahnya
Sakit kepala yang progressif
Intoksikasi obat atau alcohol
Kejang post-trauma
Mekanisme trauma tidak jelas
Usia < 2 tahun
Muntah
PTA
Tanda-tanda fraktur basis crania
Multiple trauma
Cedera wajah yang serius
Dugaan fraktur depressed/penetrasi
Dugaan child abuse
3. Risiko Tinggi
Penurunan kesadaran tanpa sebab yang jelas
Tanda neurologis fokal
Frakjtur depressed
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana
yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa
pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan
antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif.
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan
patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut:
1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
2. dari 20 cc di daerah infratentorial
3. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan
4. tanda fokal neurologis semakin berat
5. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
6. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
7. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
8. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
9. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
10. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

2.9 KOMPLIKASI
1. Komplikasi Non-Bedah
Kejang Post Traumatika
Infeksi
Gangguan Keseimbangan Cairab dab Elektrolit
Gangguan Gastrointestinal
Neurogenic Pulmonary Edema
2. Komplikasi Bedah
Hematome Intrakranial
Hidrosefalus
Subdural Hematom Kronis
Cedera Kepala Terbuka
Kebocoran CSS

BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Japardi I. Cedera Kepala ; Memahami Aspek-Aspek Penting Dalam Pengelolaan Cedera


Kepala. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer ; 2004.
2. Price S, Wilson L. Cedera Sistem Saraf Pusat. Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Ed : Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA. 6th ed. Jakarta :
EGC ; 2005. P. 1171-1177
3. American College of Surgeons, Advance Trauma Life Suport. United States of America:
Firs Impression ; 1997.
4. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P.
Jakarta : EGC ; 1995.
5. Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah.In : Hafid A, ed. Jakarta: EGC; 2007.
6. Mardjono M, Sidharta P. Mekanisme Trauma Susunan Saraf. Neurologi Kilinis Dasar.
Dian Rakyat: Jakarta; 2003, 254-259.
7. David B. Head Injury. Available in : http://emedicine.medscape.com/article/1163653overview#a0199. Accessed on : November 18th 2014.
8. Malueka G. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta: Pustaka Cendekia; 2007.
9. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Cedera Kepala dan Medula Spinalis.
Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC; 2009.

You might also like