You are on page 1of 39

PRESENTASI KASUS

HUMAN IMMUNODEFISIENSI VIRUS (HIV)

Pembimbing:
dr. Mamun, Sp. PD

Disusun oleh:
Hafidz Riza
Naelin Nikmah

G4A013093
G4A013095

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2014LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS KECIL


Human Immunodefisiensi Virus (HIV)

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti program profesi dokter
di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Disusun oleh:
Hafidz Riza
Naelin Nikmah

G4A013093
G4A013095

Pada tanggal,

Agustus 2014

Mengetahui
Pembimbing,

dr. Mamun, Sp. PD

BAB I
PENDAHULUAN
Masalah HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang
memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari apabila dilihat jumlah
kasus AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya sangat meningkat secara signifikan.
Kasus HIV dan AIDS merupakan fenomena gunung es, dimana jumlah orang
yang dilaporkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang sebenarnya.
Infeksi HIV/AIDS pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun 1981
pada orang dewasa homoseksual, sedangkan pada anak tahun 1983. Enam tahun
kemudian (1989), AIDS sudah merupakan penyakit yang mengancam kesehatan
anak di Amerika. Di seluruh dunia, AIDS menyebabkan kematian lebih dari 8000
orang setiap hari, yang berarti 1 orang setiap 10 detik. Karena itu infeksi HIV
diangggap sebagai penyebab kematian tertinggi akibat satu jenis agen infeksius.
Sejak dimulainya epidemi HIV, AIDS telah mematikan >25 juta orang.
Setiap tahun diperkirakan 3 juta orang meninggal karena AIDS, 500000
diantaranya adalah anak dibawah umur 15 tahun. Setiap tahun pula terjadi infeksi
baru pada 5 juta orang terutama di Negara terbelakang dan berkembang, 700.000
diantaranya terjadi pada anak-anak. Dengan angka transmisi sebesar ini maka dari
37.8 juta orang pengidap infeksi HIV/AIDS pada tahun 2005, terdapat 2.1 juta
anak-anak dibawah 15 tahun.
Di Indonesia, berdasarkan estimasi Depkes dan KPAN, pada tahun 2006,
Penularan HIV saat ini sudah terjadi lebih awal, dimana kelompok usia produktif
(15-29 tahun) banyak dilaporkan telah terinfeksi dan menderita AIDS.
Berdasarkan laporan Depkes, lebih dari 50% kasus AIDS dilaporkan pada usia 1529 tahun sedangkan 2.35% kasus AIDS dilaporkan pada usia kurang dari 15
tahun.
Jika dilihat cara penularannya, proporsi penularan HIV melalui hubungan
seksual (baik heteroseksual maupun homoseksual) sangat mendominasi yaitu
mencapai 60%. Sedangkan melalui jarum suntik sebesar 30%, dan sisanya
tertular melalui melalui ibu dan anak (kehamilan), transfusi darah dan melalui
pajanan saat bekerja.

BAB II
STATUS PENDERITA
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Pekerjaan
Agama
Tgl. Masuk RS

:
:
:
:
:
:
:

Tn. K
40 tahun
Laki-laki
Sokaraja 07/01 Pagetan Banyumas
Petani
Islam
8 Juli 2014

Tgl Periksa

17 Juli 2014

II. ANAMNESIS (Autoanamnesis dan alloanamnesis)


1. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Keluhan utama

: Demam

b. Onset

: 3 hari

c. Kuantitas

: Sepanjang hari

d. Kualitas

: Demam menggigil hingga mengganggu aktivitas

e. Faktor memperingan : minum jamu


f. Faktor memperberat : Aktivitas
g. Keluhan penyerta : Lemas, Nafsu makan turun dan mual, BAB susah
Pasien datang ke Poli penyakit dalam dengan keluhan panas
sejak 3 hari yang lalu. Panas dirasakan terus menerus setiap hari. Panas
telah ada sejak 1 bulan yang lalu, hilang timbul, ketika panas hingga
menggigil, namun panas meningkat pada 3 hari sebelum masuk ke RS dan
dirasa semakin memberat ketika pasien aktivitas. Sedangkan memperingan
dengan minum jamu. Selain panas, pasien juga mengeluhkan mual, nafsu
makan turun, dan BAB sulit.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan yang sama

: disangkal

b. Riwayat hipertensi

: disangkal

c. Riwayat DM

: disangkal

d. Riwayat penyakit jantung

: disangkal

e. Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

f. Riwayat alergi

: disangkal

3. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat keluhan yang sama

: disangkal

b. Riwayat hipertensi

: disangkal

c. Riwayat DM

: disangkal

d. Riwayat penyakit jantung

: disangkal

e. Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

f. Riwayat alergi

: disangkal

4. Riwayat Sosial Ekonomi


a. Pekerjaan
Pasien dahulu bekerja sebagai buruh di Jakarta selama 10 tahun, pasien
belum bekerja dan tinggal sendirian dikos. Pasien sudah berhenti
bekerja sejak tahun 2009. Kemudian pulang ke rumah di Sokaraja dan
bekerja sebagai petani.
b. Diet
Pasien makan kurang dari 3 kali sehari dengan lauk apa adanya. Sejak
3 hari pasien jarang makan karena mual yang dideritanya.
c. Obat
Pasien tidak mengkonsumsi obat dari dokter, hanya mengkonsumsi
jamu-jamuan yang dibeli secara bebas di warung.
d. Kebiasaan
Pasien punya kebiasaan merokok namun sudah berhenti sejak tahun
2013.
III.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Kesadaran
Vital Sign

Tinggi Badan
Berat Badan
Status Generalis
1.

Pemeriksaan Kepala

:
:
:

:
:

Tampak sakit sedang


Compos mentis, GCS E4M6V5
T : 120/90 mmhg
R : 24 x/menit
N : 80 x/menit
S : 36,2O C
155 cm
42 kg

Bentuk Kepala
Rambut

:
:

Mesochepal, simetris, venektasi temporal (-)


Warna hitam, tidak mudah rontok, tidak mudah
dicabut, distribusi merata

2.

3.
4.
5.

Pemeriksaan Mata
- Palpebra
- Konjunctiva
- Sklera
- Pupil
Pemeriksaan Telinga
Pemeriksaan Hidung
Pemeriksaan Mulut

:
:
:
:
:
:
:

Edema (-/-), ptosis (-/-)


Anemis (-/-)
Ikterik (-/-)
Reflek cahaya (+/+), isokor 3 mm
Otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-)
Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-), rinore (-/-)
Bibir sianosis (-), tepi hiperemis (-), bibir kering (-),
lidah kotor (-), tremor (-),ikterik (-)

6.

7.

Pemeriksaan Leher
- Trakea
- Kelenjar Tiroid
- Kel. Limfonodi
- JVP
Pemeriksaan Dada
- Inpeksi
- Palpasi
-

Perkusi
Auskultasi

:
:
:
:

Deviasi trakea (-)


Tidak membesar
Tidak membesar, nyeri (-)
Tidak meningkat (5+2) cm

:
:

Simetris dada kanan dan kiri, retraksi Vokal fremitus lobus superior dan inderior bagian

kanan sama dengan kiri.


Sonor di seluruh lapangan paru, batas paru hepar di

SIC V LMCD.
Suara dasar

: vesikuler (+)

Suara tambahan

: wheezing (-), RBH (-/-) RBB,

RBK (-/-)
8. Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi
: Cembung, caput medusa (-)
- Auskultasi
: Bising usus (-)
- Perkusi
: Pekak sisi (+), pekak alih (-)
- Palpasi
: Undulasi (-), tegang (-), hepar tidak teraba, lien tidak
9

teraba
Pemeriksaan Ekstremitas
- Superior
: Akral dingin (-), sianosis (-), oedem (-/-), reflek
-

Inferior

fisiologis(+), reflek patologis (-)


Akral dingin (-), sianosis (-), oedem (-/-), reflek

fisiologis (+), reflek patologis (-)


10. Pemeriksaan Limphonodi : Tidak teraba
11. Pemeriksaan turgor kulit

: < 1 detik

12. Pemeriksaan Akral

: Hangat

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium tanggal 11 Juli 2014 (RSMS)


Hemoglobin
: 9,0
L
Lekosit
: 5170
Hematokrit
: 26
L
Eritrosit
: 3,2 jt
L
Trombosit
: 1190.000
L
MCV
: 80,2
MCH
: 27,8
MCJC
: 34,6
RDW
: 18,1
H
MPV
: 10,1
Basofil
: 0,2
Eosinofil
: 0,0
L
Batang
: 8,9
H
segmen
: 84,2
H
Limfosit
: 2,3
L
Monosit
: 44
Total protein
: 6,84
Albumin
: 2,28
L
Globulin
: 4,20
H
Pemeriksaan Tes VCT 10 Juli 2014 (RSMS)
Reaktif / Positif
V. -DIAGNOSIS KERJA
HIV
VI.

TERAPI
a. Non farmakologi
-

Istirahat

Diet TKTP lunak

b. Farmakologi
-

IVFD D5%: RL 1:1

P.O. Cotrimoxazole 2x960 mg

P.O. Ambroxol syr 3x1 C

P.O. Dulcolac tab 1x1

ARV

c. Konsul VCT

VII.

Hasil:
Hasil tes VCT positif/ reaktif
Konseling pasca testing
Rujuk dokter CST/PDP

PROGNOSIS
a. Ad vitam

: dubia ad bonam

b. Ad functionam

: ad bonam

c. Ad sanationam

: ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
HIV adalah Human Immuno Deficiency Virus, suatu virus yang menyerang
sel darah putih manusia dan menyebabkan menurunnya kekebalan/daya
tahan tubuh, sehingga mudah terserang infeksi/penyakit. AIDS adalah
Acquired Immune Deficiency Syndrome, yaitu timbulnya sekumpulan
gejala penyakit yang terjadi karena kekebalan tubuh menurun, oleh karena
adanya virus HIV di dalam darah (1,6,7,8,9)
B. Epidemiologi
Pada tahun 2005, jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan sekitar 40,3
juta orang dan yang terinfeksi HIV sebesar 4,9 juta orang. Jumlah ini terus
bertambah dengan kecepatan 15.000 pasien per hari. Jumlah pasien di
kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara sendiri diperkirakan berjumlah
sekitar 7,4 juta pada tahun 2005. Menurut catatan Departemen Kesehatan,
pada tahun 2005 terdapat 4.186 kasus AIDS dengan 305 di antaranya
berasal dari Jawa Barat. Saat ini, dilaporkan adanya pertambahan kasus
baru setiap 2 jam, dan setiap hari minimal 1 pasien meninggal karena
AIDS di Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan di Rumah Tahanan. Dan

di setiap propinsi ditemukan adanya ibu hamil dengan HIV dan anak yang
HIV atau AIDS.(1,6,7,8,9)
C. Etiologi
Virus HIV yang termasuk dalam famili retrovirus genus lentivirus
ditemukan oleh Luc Montagnier, seorang ilmuwan Perancis (Institute
Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang penderita dengan
gejala

limfadenopati,

sehingga

pada

waktu

itu

dinamakan

Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Gallo (National Institute of


Health, USA 1984) menemukan Virus HTLV-III (Human T Lymphotropic
Virus) yang juga adalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih lanjut
dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil
pertemuan International Committee on Taxonomy of Viruses (1986) WHO
memberi nama resmi HIV. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan virus lain
yang dapat pula menyebabkan AIDS, disebut HIV-2, dan berbeda dengan
HIV-1 secara genetik maupun antigenik. HIV-2 dianggap kurang patogen
dibandingkan dengan HIV-1. Untuk memudahkan, kedua virus itu disebut
sebagai HIV saja. (1,6)
Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam
deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk ke dalam sel pejamu. Genom HIV
mengkode sembilan protein esensial untuk setiap aspek siklus hidup virus.
Dari segi struktur genomik, virus-virus memiliki perbedaan yaitu bahwa
protein HIV-1, Vpu, yang membantu pelepasan virus tampaknya diganti
oleh protein Vpx pada HIV-2. Vpx meningkatkan infektivitas (daya tular)
dan mungkin merupakan duplikasi dari protein lain, Vpr. Vpr diperkirakan
meningkatkan transkripsi virus.
D. Patogenesis

Gambar : Patogenesis virus HIV (4)


HIV adalah retrovirus yang menggunakan RNA sebagai genom.
Untuk masuk ke dalam sel, virus ini berikatan dengan reseptor (CD4) yang
ada di permukaan sel. Artinya, virus ini hanya akan menginfeksi sel yang
memiliki reseptor CD4 pada permukaannya. Karena biasanya yang
diserang adalah sel T limfosit (sel yang berperan dalam sistem imun
tubuh), maka sel yang diinfeksi oleh HIV adalah sel T yang
mengekspresikan CD4 di permukaannya (CD4+ T cell). (1,8)
Setelah berikatan dengan reseptor, virus berfusi dengan sel dan
kemudian melepaskan genomnya ke dalam sel. Di dalam sel, RNA
mengalami proses reverse transcription, yaitu proses perubahan RNA
menjadi DNA. Proses ini dilakukan oleh enzim reverse transcriptase.
Proses sampai tahap ini hampir sama dengan beberapa virus RNA lainnya.
Yang menjadi ciri khas dari retrovirus ini adalah DNA yang terbentuk
kemudian bergabung dengan DNA genom dari sel yang diinfeksinya.
Proses ini dinamakan integrasi. Proses ini dilakukan oleh enzim integrase
yang dimiliki oleh virus itu sendiri. DNA virus yang terintegrasi ke dalam
genom sel dinamakan provirus. (1,8)

Dalam kondisi provirus, genom virus akan stabil dan mengalami


proses replikasi sebagaimana DNA sel itu sendiri. Akibatnya, setiap DNA
sel menjalankan proses replikasi secara otomatis genom virus akan ikut
bereplikasi. Dalam kondisi ini virus bisa memproteksi diri dari serangan
sistem imun tubuh dan sekaligus memungkinkan manusia terinfeksi virus
seumur hidup (a life long infection). (1,8)
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+
berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting.
Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang
progresif. (1,8)

Gambar: Penyebaran virus ke organ seluruh tubuh(4)


Virus dibawa oleh antigen presenting cells ke kelenjar getah
bening regional. Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah
bening dalam 5 hari setelah inokulasi. Jumlah sel yang mengekspresikan
virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat dan dihubungkan
sementara dengan pembentukan respon imun spesifik. Koinsiden dengan
menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8. Walaupun
demikian tidak dapat dikatakan bahwa respon sel limfosit CD8+
menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV
berada pada keadaan steady-state beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi
ini bertahan relatif stabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat

bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut,


dengan demikian juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah
heterogeneitas kapasitas replikatif virus dan heterogeneitas intrinsik
pejamu. (1,8)
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah
infeksi, namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi
virus telah menurun sampai ke level steady state. Walaupun antibodi ini
umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus,
namun ternyata tidak dapat mematikan virus. (1,8)
E. Perjalanan Penyakit
Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel
pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan
tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV sebagian
berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang
menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir
semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan
kemudian

meninggal.

Perjalanan

penyakit

tersebut

menunjukkan

gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan kerusakan sistem kekebalan


tubuh yang juga bertahap. (1,8)
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala
tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV
akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam,
nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau
batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa
gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun.
Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat
cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya
lambat. Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA
mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat
badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah
bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain. (1,8)

Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak


menunjukkan gejala, secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang
terinfeksi HIV akan memburuk, dan akhirnya pasien menunjukkan gejala
klinik yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Jadi yang disebut laten
secara klinik (tanpa gejala), sebetulnya bukan laten bila ditinjau dari sudut
penyakit HIV. Manifetasi awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh
adalah kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi
HIV yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan
hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah
bening, bukan di peredaran darah tepi. (1,8)
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis
tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang
tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan
mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan
replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya
tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4
sekitar 109 sel setiap hari. (1,8)
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika.
Lebih dari 80% pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi
pada katup jantung juga adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA
pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada ODHA yang
tertular dengan cara lain. Lamanya penggunaan jarum suntik berbanding
lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama seseorang
menggunakan narkotika suntik, makin mudah terkena pneumonia dan
tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek yang
buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV
membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat.
Selain itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T.
Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif. (1,8)

F. Manifestasi Klinis
Gejala infeksi HIV pada awalnya sulit dikenali karena seringkali
mirip penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare sehingga penderita
tampak sehat. Kadang-kadang dalam 6 minggu pertama setelah kontak
penularan timbul gejala tidak khas berupa demam, rasa letih, sakit sendi,
sakit menelan dan pembengkakan kelenjar getah bening di bawah telinga,
ketiak dan selangkangan. Gejala ini biasanya sembuh sendiri dan sampai 45 tahun mungkin tidak muncul gejala. (1,6,7,8,9)
Pada tahun ke 5 atau 6 tergantung masing-masing penderita, mulai
timbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering
sariawan di mulut dan pembengkakan di daerah kelenjar getah bening.
Kemudian tahap lebih lanjut akan terjadi penurunan berat badan secara
cepat (> 10%), diare terus-menerus lebih dari 1 bulan disertai panas badan
yang hilang timbul atau terus menerus. (1,6,7,8,9)
Tanda-tanda seorang tertular HIV sebenarnya tidak ada tanda-tanda
khusus yang bisa menandai apakah seseorang telah tertular HIV, karena
keberadaan virus HIV sendiri membutuhkan waktu yang cukup panjang (5
sampai 10 tahun hingga mencapai masa yang disebut fullblown AIDS).
Adanya HIV di dalam darah bisa terjadi tanpa seseorang menunjukan
gejala penyakit tertentu dan ini disebut masa HIV positif. Bila seseorang
terinfeksi HIV untuk pertama kali dan kemudian memeriksakan diri
dengan menjalani tes darah, maka dalam tes pertama tersebut belum tentu
dapat dideteksi adanya virus HIV di dalam darah. Hal ini disebabkan
karena tubuh kita membutuhkan waktu sekitar 3 6 bulan untuk
membentuk antibodi yang nantinya akan dideteksi oleh tes darah tersebut.
Masa ini disebut window period (periode jendela). Dalam masa ini, bila
orang tersebut ternyata sudah mempunyai virus HIV di dalam tubuhnya
(walaupun belum bisa di deteksi melalui tes darah), ia sudah bisa
menularkan HIV melalui perilaku yang disebutkan di atas tadi(1,6,7,8,9)
Secara umum, tanda-tanda utama yang terlihat pada seseorang yang
sudah sampai pada tahapan AIDS adalah: (1,6,7,8,9)

1. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam waktu singkat


2. Demam tinggi berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
3. Diare berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
Sedangkan gejala-gejala tambahan berupa :
1.
2.
3.
4.

Batuk berkepanjagan (lebih dari satu bulan)


Kelainan kulit dan iritasi (gatal)
Infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan
Pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh, seperti di
bawah telinga, leher, ketiak dan lipatan paha

Perjalanan penyakit dan gejala yang timbul(1,6,7,8,9)


1. Dalam masa sekitar 3 bulan setelah tertular, tubuh belum
membentuk antibodi secara sempurna, sehingga tes darah tidak
memperlihatkan bahwa orang tersebut telah tertular HIV. Masa 3
bulan ini sering disebut dengan masa jendela.
2. Masa tanpa gejala, yaitu waktu (5 - 7 tahun) di mana tes darah
sudah menunjukkan adanya anti bodi HIV dalam darah, artinya
positif HIV, namun pada masa ini tidak timbul gejala yang
menunjukkan orang tersebut menderita AIDS, atau dia tampak
sehat.
3. Masa dengan gejala, ini sering disebut masa sebagai penderita
AIDS. Gejala AIDS sudah timbul dan biasanya penderita dapat
bertahan 6 bulan sampai 2 tahun dan kemudian meninggal.
Infeksi HIV/AIDS berbahaya, karena telah banyak pengidap
HIV/AIDS yang meninggal
1. Gejala muncul setelah 2 - 10 tahun terinfeksi HIV.
2. Pada masa tanpa gejala sangat mungkin menularkan kepada orang
lain.
3. Setiap orang dapat tertular HIV/AIDS.
4. Belum ada vaksin dan obat penyembuhnya.
G. Pemeriksaan Penunjang (1,6,7,8,9)
Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibody
terhadap HIV. Yang pertama ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay),

bereaksi terhadap adanya antibody dalam serum dengan memperlihatkan


warna yang lebih jelas apabila terdeteksi antibodi virus dalam jumlah
besar. Karena hasil positif palsu dapat menimbulkan dampak psikologis
yang besar, maka hasil uji ELISA yang positif diulang, dan apabila
keduanya positif, maka dilakukan uji yang lebih spesifik, Western blot
yang juga dikonfirmasi dua kali.
Umumnya tes HIV dipakai dalam dua cara: untuk surveilans
masyarakat (surveilans sentinel) dan untuk diagnosis perorangan.
Surveilans masyarakat biasanya dilakukan dengan melakukan tes intensif
(skrining) terhadap kelompok kunci dalam masyarakat agar mengetahui
luasnya penyebaran infeksi HIV. Ini dapat dilakukan dengan mengadakan
skrining HIV pada perempuan hamil atau pasien IMS, agar mengetahui
berapa yang terinfeksi HIV pada waktu tertentu: skrining ulangan di
kemudian hari dapat menunjukkan cepatnya HIV menyebar dalam
masyarakat tertentu itu. Orang yang dites dengan cara ini tidak
diberitahukan hasil tesnya dan hasilnya juga anonim (tanpa nama). (1,6,7,8,9)
Tes perorangan adalah untuk mereka yang merasa mungkin telah
terpajan oleh HIV melalui praktek penyuntikan, seks yang berisiko, atau
dari transfusi darah. Tes seperti ini harus mencakup konseling prates dan.
Melakukan tes memungkinkan orang untuk mengubah perilakunya
sehingga mereka tidak menularkan virus itu (jika hasil tesnya positif) atau,
jika hasil tes mereka negatif, untuk meyakinkan mereka supaya tidak
tertular virus ini di masa mendatang. Tes juga bisa berarti bahwa orang
mungkin mendapatkan saran-saran berkaitan dengan kesehatan mereka,
pengobatan untuk infeksi oportunistik seperti TB, dan informasi tentang
bagaimana mengurangi kemungkinan menularkan virus pada bayinya yang
belum lahir, saat melahirkan atau ketika menyusui. (1,6,7,8,9)
Dua pemeriksaan laboratorim, hitung sel T CD4+ dan kadar RNA
HIV serum, digunakan sebagai alat untuk memantau risiko perkembangan
penyakit dan memulai atau memodifikasi regimen obat. Hitung sel CD4+
memberikan informasi mengenai status imunologik pasien yang sekarang,

sedangkan kadar RNA HIV serum (viral load) memperkirakan prognosis


klinis. Hitung RNA HIV sebesar 20.000 salinan/ml (2x10 4) dianggap oleh
banyak pakar sebagai indikasi untuk memberikan terapi antiretrovirus
berapapun hasil hitung sel T CD4+.
H. Terapi Antiretroviral
Di Amerika Serikat (2001), US Food and Drug Administration
(FDA) telah menyetujui tiga golongan obat untuk infeksi HIV :
1. NRTI (inhibitor reverse transcriptase nukleosida) menghambat
enzim DNA polimerase dependen RNA HIV (reverse transcriptase)
dan menghentikan pertumbuhan untai DNA. Contohnya zidovudin,
didanosin, zalsitabin, stavudin, lamivudine, dan abakavir.
2. NNRTI

(inhibitor

reverse

transcriptase

nonnukleosida)

menghambat transkripsi RNA HIV-1 menjadi DNA, suatu langkah


penting dalam replikasi virus. Obat tipe ini menurunkan jumlah
HIV dalam darah (viral load) dan meningkatkan limfosit CD4+.
Contohnya nevirapin, delaviridin, dan evavirenz.
3. PI (inhibitor protease) menghambat aktivitas protease HIV dan
mencegah pemutusan poliprotein HIV yang esensial untuk
pematangan HIV. Yang akan terbentuk bukan HIV matang tetapi
partikel virus imatur yang tidak menular. Contohnya indinavir,
ritonavir, nelfinavir, sakuinavir, amprenavir, dan lopinavir.
Pada umumnya, pemakaian obat-obat ini adalah dengan kombinasi
satu sama lainnya karena pemakaian obat tunggal tidak menyembuhkan
dan bisa memicu munculnya virus yang resisten terhadap obat tersebut.
Pemakaian obat kombinasi menjadi standar pengobatan AIDS saat ini,
yang disebut highly active antiretroviral threrapy (HAART). Walaupun
demikian, cara ini juga masih belum efektif.
Lini pertama(3,5)
No.

Nama

Formulasi

Data

Dosis menurut umur.

generik
Zinovudin
(NRTIs)

Tablet:
mg

300

2.

Lamivudin
(NRTIs)

Tablet:
mg

150

3.

Kombinasi
tetap
Zinovudin
plus
Lamivudin
Nevirapin
(NNRTIs)

Tablet: 300
mg
(AZT)
plus 150 mg
(3TC)

5.

Efavirenz
(NNRTIs)

600 mg

Hanya untuk
anak >3 tahun
dan berat >10
kg

Stavudin,
d4T (NRTIs)

30 mg

Semua umur

7.

Abacavir
(NRTIs)

300 mg

Umur > 3
bulan

8.

Tenofovir
disoproxil
fumarat
(NRTIs)
Tenofovir +
emtricitabin

Tablet:
mg

1.

4.

9.

Tablet:
mg

200

farmakokinetik
Semua umur
a) < 4 minggu: 4 mg/kg/dosis,
2x/hari (profilaksis)
b) minggu 13 tahun: 180 240
mg/m2/dosis, 2x/hari
c) dosis maksimal: >13 tahun,
300 mg/dosis, 2x/hari.
Semua umur
a) < 30 hari< 2 mg/kg/dosis,
2x/hari (profilaksis)
b) > 30 hari atau <60kg: 4
mg/kg/dosis. 2x/hari.
c) Dosis maksimal: 150 mg/dosis,
2x/hari.
Remaja
dan Dosis maksimal: < 13 tahun atau
dewasa
> 60 kg: 1 tablet/dosis, 2x/hari
(tidak untuk berat badan 30 kg)
Semua umur

300

a)

< 8 tahun: 200 mg/m2


Dua minggu pertama 1x/hari.
Selanjutnya 2x/hari.
b) > 8 tahun: 120-150 mg/m2,
Dua minggu pertama, 1x/hari.
Selanjutnya 2x/hari.
a) 10-15 kg: 200 mg 1x/sehari.
b) 15 - <20 kg: 250 mg 1x/sehari.
c) 20 - <25 kg: 300 mg 1x/hari
d) 25 - <33 kg: 350 mg 1x/hari
e) 33 - <40 kg: 400 mg 1x/hari
f) Dosis maksimal: > 40 kg: 600
mg 1x/hari
a) < 30 kg: 1 mg/kg/dosis, 2x/hari
b) 30 kg atau lebih : 30 mg/dosis,
2x/hari
a) < 16 tahun atau < 37.5 kg: 8
mg/kg.dosis, 2x/hari
b) Dosis maksimal: >16 tahun
atau > 37.5 kg 300 mg/dosis,
2x/hari
Diberikan setiap 24 jam. Interaksi
obat dengan ddl, tidak lagi
dipadukan dengan ddl.

tablet
200
mg/ 300 mg

Lini kedua(3,5)
No
.

Nama
generik

Formulasi

1.

Lopinavir/
ritonavir (PI)

Tablet tahan
suhu panas,

Data
farmakokineti
k
6 bulan

Dosis
a) 400 mg/100 mg setiap 12
jam untuk pasien naf baik

200 mg
Lopinavir +
50
mg
ritonavir

2.

Tenofovir
disoproxil
fumarat
(NRTIs)

Tablet:
mg

dengan
atau
tanpa
kombinasi EFV atau NVP.
b) 600 mg/ 150 mg setiap 12
jam
bila
dikombinasi
dengan EFV atau NVP
untum pasien yag pernah
mendapat terapi ARV
c) 2 minggu- 6 bulan: 16
mg/4 mg/kg BB, 2x/hari
d) 6 bulan 18 bulan: 10
mg/lgBB/dosis lopinavir
Diberikan setiap 24 jam
interaksi obat dengan ddl, tidak
lagi dipadukan dengan ddl.

300

Regimen ARV kombinasi untuk anak-anak(3,5)


Singkatan FDC
menurut WHO
Paediatric FDC
12 dual
Paediatric FDC
12 tripel

Stavudinr (D4T)
Dosis/tablet (mg)
12

Lamivudine(3TC)
Dosis/tablet (mg)
60

Nevirapine (NVP)
Dosis/tablet (mg)
-

12

60

100

Dosis kombinasi terapi ARV untuk anak (3)

BB

68.9
kg
9-12
kg
1213.9
kg
1416.9
kg
1719,9
kg
20-

REGIMEN d4T 3TC NVP


REGIMEN d4T 3TC EFV
Pengobatan
Dosis rumatan setelah 2 D4T 3TC
EFV
inisial hari ke 1- minggu
pengobatan
14
inisial
Tab
Tab
Tab tripel Tab tripel Tabl
Tab
Kapsul
tripel
dual
am
pm
dual
dual
efavirens
am
pm
am
pm
pm
0.5
0.5
0.5
0.5
1

0.5

0.5

0.5

200 mg

200 mg

1.5

1.5

1.5

200
mg
plus 50 mg

1.5

1.5

1.5

200
mg
plu 50 mg

1.5

1.5

1.5

1.5

1.5

1.5

200

mg

24.9
kg
2529.9
kg

plus 2x50
mg
200
mg
plus 3x50
mg

Regimen kombinasi untuk dewasa (3)


2NRTI + 1NNRTI atau
a)
b)
c)
d)

AZT + 3TC +EFV


AZT + 3TC + NVP
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP

Tidak dianjurkan regiman berbasis Protease Inhibitor (PI)


Rekomendasi waktu memulai ARV (3)
Target pasien
Asimtomatik
Simtomatik
TB dan Hepatitis B

Klinis
WHO stadium 1
WHO stadium 2
WHO stadium 3 atau 4
TB aktif

Ibu hamil

WHO stadium apapun

Rekomendasi
CD4 < 350
CD4 < 350
CD4 berapa pun
CD4 berapa pun diberikan
secepatnya setelah OAT 2 bulan
CD4 berapa pun

Pemilihan obat yang berdasarkan pada kondisi pasien di antaranya adalah.


1. Kombinasi awal yang digunakan bagi pasien HIV dengan hasil lab
normal adalah AZT+3TC (Duviral) + NVP (Neviral).
2. Bila pasien tersebut sedang dalam pengobatan TB maka yang
digunakan adalah EFV. Setelah selesai pengobatan TB maka yang
digunakan adalah EFV. Setelah selsai pengobatan TB, EFV diganti
dengan NVP.
3. Bila pasien tersebut memiliki Hb<9 maka regimen yang digunakan
adalah TDF=3TC. Jika TDF belum tersedia, d4T_3TC selama 6-12
bulan kemudian regimen diganti menjadi AZT+3TC atau
TDF+3TC.
4. Lopanavir/ritonavir digunakan sebagai lini kedua.

Regimen lini pertama yang direkomendasikan pada dewasa yang belum


pernah terapi ARV (treatment naive)(3)
Populasi target
Dewasa remaja

Pilihan
yang
direkomendasikan
AZT atau TDF + 3TC atau
FTC + EFV atau NVP

Perempuan hamil

AZT+ 3TC _ EFV atau NVP

Koinfeksi

AZT atau TDF + 3TC atau


FTC + EFV

Koinfeksi
HIV/HBV

TDF + 3TC atau FTC + EFV


atau NVP

Catatan
Piliha regimen yang sesuai
untuk mayoritas ODHA
gunakan FDC
Tidak boleh menggunakan
EFV pada trimester pertaa
TDF bisa merupakan pilihan
Pada perempuan HIV yang
pernah menjalani regimen
PMTCT, lihat rekomendasi
dibagian lain
Mulailah terapi ARV secepat
mungkin (dalam 8 minggu
pertama) setelah mulai terapi
TB
Gunakan MVP atau triple
NRTI bila EFV tidak dapat
digunakan.
Pertimbangkan
screening
HBsAg sebelum mulai terapi
ARV
diperlukan penggunaan 2
terapi ARV yang memiliki
aktivitas anti- HBV

Rekomendasi waktu memulai ARV pada anak(3)


Jangka waktu
<24 bulan
>24 bulan

Stadium klinis
Semua diobati
Stadium 4 (setelah stabilisasi
IO)
Stadium 3 (setelah stabilisai
(OI)
Stadium 2
Stadium 1

Status imunologis

Yang diobati adalah CD4 kurang


dari ambang batas menurut
umur,
bila
tidak
ada
pemeriksaan CD4 tidak usah
diobati.

Selain itu regimen lini pertama yang digunakan pada bayi dan anak adalah
sebagai berikut:
Bayi:

1. Pada bayi yang belum terpapar terapi ARV, mulai terapi dengan
NVP + 2 NRTI
2. Pada bayi sudah terpapar NVP atau NNTRI lain pada saat
dikandungan atau pada saat bayi untuk pengobatan ibu atau
PMTCT, mulai ARV dengan LPV/r + 2NRTI.
3. Untuk bayi yang terpapar terhadap terapi ARV tidak diketahui
mulai dengan NVP + 2NRTI.
Anak :
1. Untuk anak yang berumur antara 12-24 bulan yang susah terpapar
NVP atau NNRTI lain pada saat di kandungan atau pada saat bayi
untuk pengobatan ibu atau PMCTC.
2. Untuk anak berumur antara 12-24 bulan yang belu terpapar
NNRTI, mulai terapi ARV dengan NVP + 2 NRTI.
3. Untuk anak yang berumur lebih 24 bulan dan kurang 3 tahun mulai
terapi ARV dengan NVP + 2 NRTI.
4. Untuk anak yang berusia 3 tahun atau lebih, mulai terapi ARV
dengan regimen NVP atau EFV + 2 NRTI.
5. Untuk bayi dan anak dasar nukleosida untuk regimen art harus satu
diantara berikut ini (tersusun menurut pilihan yang disarankan)
3TC + AZT atau 3TC + ABC atau 3TC + d4T.

Terapi ARV untuk populasi khusus(3,5) :


ARV Pada Wanita Hamil
Terapi arv dimulai pada semua perempuan hamil dengan HIV.
Regimen yang digunakan adalah sama dengan regimen terapi antiretroviral
dewasa lainnya, yaitu:
AZT + 3TC + EFV

AZT _ 3TC _ NVP


TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
Efavirenz sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan trimester pertama
ARV Pada Koinfeksi HIV/HBV
Semua individu dengan koinfeksi HIV/HBV yang memerlukan
terapi untuk infeksi HBVnya (kepatitis kronik aktif0 terlepas dari jumlah
CD4 atau stadium klinis WHO harus memulai terapi ARV. Regimen terapi
yang mengandungi aktivitas terhadap HBV, yaitu TDF + 3TC atau FTC
digunakan untuk peningkatan respoon VL HBV dan penurunan
perkembangan HBV yang resistensi obat.
Arv Pada Koinfeksi HCV
Terapi infeksi hepatitis C pada koinfeksi dengan HIV tidak berbeda
dengan monoinfeksi hepatitis C, yaitu menggunakan kombinasi pegylated
interferon alpha dan ribaviri (rbv). Hanya saja pemberian obat ini
harganya masih cukup mahal. Terapi untuk hepatitis C ini sebaiknya
diberikan pada saat CD4+ sudah tinggi, lebih dari 350 sel/mm3 untuk
mendapatkan respon pengobatan yang lebih baik.
Regimen ART pada keadaan koinfeksi HIV/HCV seperti biasa,
dengan perhatian khusus pada interaksi antara obat ARV dan ribavirin atau
interferon sebagai berikut.
1. Ribaviri dan AZT
Kombinasi obat ini dapat menyebabkan anemia sehingga dalam
penggunaan keduanya perlu pengawasan ketat.
2. Interferon dan EFV
Kombinasi kedua obat ini dapat menyebabkan depresi berat
sehingga dalam penggunaannya perlu pengawasan ketat.
ARV untuk koinfeksi HIV/tuberkulosis

Semua ODHA dengan TB aktif merupakan indikasi memulai terapi


ARV berapapun jumlah CD4. Terapi TB diberikan terlebih dahulu,
kemudian diikuti dengan terapi ARV sesegera setelahnya (dalam delapan
minggu pertama). EFV merupakan NNRTI pilihan pada pasien yang akan
memulai terpai ARV selama dalam terapi TB.
Lini
Lini
pertama

Regimen
2 NRTI + EFV
2 NRTI + NVP

Pilihan
Lanjutkan dengan 2 NNRTI + EFV
Ganti NVP ke EFV atau
Ganti ke regimen 3 NRTI atau

Lini

2 NRTI + PI

kedua

Lanjutkan dengan 2NNRTI + NVP


Ganti kea tau lanjutkan (bila sudah mulai )regimen
yang berisi LPV/r dengan dosis ganda.

Gagal Terapi ARV(3,5)


Kriteria gagal terapi adalah menggunakan 3 kriteria yaitu kriteria
klinis, imunologis dan virologi. Viral load yang menetap di atas 5000
kopi/ml mengkonfirmasi gagal terapi. Bila pemeriksaan VL tidak tersedia,
untuk menentukan gagal terap menggunakan kriteria imunologis untuk
memastikan gagal klinis.
Kegagalan
Gagal
klinis
Imunologis

Virologis

Kondisi stadium 4 WHO


baru atau berulang
Penurunan CD4 kembali
seperti awal sebelum
pengobatan (atau lebih
rendah) atau
Penurunan sebesar 50%
dari nilai tertinggi CD4
yang pernah dicapai
ketika pengobatan atau
Jumlah CD4 tetap < 100
sel/m3
Viral load plasma >
5000 kopi/ml

Komentar
Kondisi harus dibedakan dari SPI
Kondisi WHO stadium 3 tertentu (TB paru,
infeksi bacteria berat) dapat merupakan tanda
kegagalan pengobatan.
Tanpa infeksi penyerta lain yang menyebabkan
penurunan CD4 sementara.

Ambang batas viral load optimal untuk


mendefinisikan kegagalan virologist belum
ditentukan VL>5000 kopi/ml berhubungan
dengan perkembangan klinis dan penurunan
CD4

Alur pemindahan lini pertama ke lini kedua(3,5)


Dicurigai kegagalan klinis atau
imunologis
Pemeriksaan viral load
VL > 5000 kopi/ml

Penatalaksanaan kepatuhan

Pemeriksaan ulang VL

VL <5000 kopi/ml

VL <5000 kopi/ml

Jangan pindah ke
Pindah ke lini
Regimen terapi ARV lini kedua(3,5)
lini kedua
kedua
Rekomendasi regimen lini kedua adalah 2NRTI + boosted- PI
(Bpi). Regimen lini kedua direkomendasikan dan disediakan secara gratis
oleh pemerintah dalah TDF/AZT + 3TC + lopinavir/ritonavir (LPV/RTV).
Apabila padalini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF
+ (3TC atau FTC) sebagai dasar NRTI pada regimen lini kedua. Apabila
pada lini pertama menggunakan TDF makan gunakan AZT + 3TC sebagai
dasar NRTI pada regimen lini kedua.
Regimen lini 1

Regimen lini 2

Berbasis AZT/d4T

AZT/d4T + 3TC + NVP/EFV

TDF +3TC/FTC + LPV/r

Berbasis TDF

TDF

3TC/FTV

AZT + 3TC + LPV/r

3TC/FTC

AZT + TDF + 3TC/FTC +

NVP/EFV
Hepatitis B

TDF

NVP/EFV

LPV/r

Monitoring pasien(3,5)
Pasien yang belum memenuhi syarat terapi antiretroviral
Pasien yang belum memenuhi syarat terapi ARV perlu dimonitor
perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4 nya setiap 6 bulan seklai.
Evaluasi klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi awal termausk
pemantauan berat badan dan munculnya tanda dan gejala klinis
perkembangan infeksi HIV. Parameter klinis dan CD4 ini digunakan untuk
mencatat perkembangan stadium klinis WHO pada setiap kunjungan dan
menentukan apakah pasien mulai memenuhi syarta untuk terapi profilaksis
kotrimoksasol atau terapi ARV. Evaluasi klinis dan jumlah CD4 perlu
dilakukan lebih ketat ketika mulai mendekato ambang dan syarta memulai
terapi ARV.
Pasien dalam terapi ARV
Monitoring klinis
Frekuensi monitoring klinis tergantung dari respons dari terapi
ARV. Monitoring klinis perlu dilakukan pada minggu 2,3,8,12,24 minggu
sejak memulai terapi ARV.
Setiap kunjungan dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan
gejala efek samping obat atau gagal terapi dan frekunsi ( infeksi bacterial,
kandidiansis dan atau infeksi oportunistik lainya) ditambah konseling
untuk membantu pasien memahami terapi ARV dan dukungan
kepatuhannya.
Rekomendasi pemeriksaan laboratoriun untuk memonitor pasien
dalam terapi ARV. (3,5)
Tahap terapi ARV
Pada saat diagnosis HIV
Sebelum memulai ARV
Pada saat memulai ARV

Tes yang direkomendasikan


CD4
CD4
CD4

Tes yang dianjurkan


HbsAG
Hb untuk AZT, keratinin
klirens untuk TDF, SGPT
untuk NVP

Pada saat menjalani ARV

CD4

Hb untuk AZT, keratinin


klirens untuk TDF, SGPT
untuk NVP
Viral load

Pada saat kegagalan klinis


Pada
saat
kegagalan

CD4
Viral load

imunologis
Wanita yang

Viral load enam

bulan

setelah

terapi

PMTCT
dosis

menjalani

dengan
tunggal

NVP
dengan

memulai

ARV

lanjutan dalam 12 bulan

Monitoring lain(3,5)
Monitoring jumlah CD4+ secara rutin setiap 6 bulan atau lebih
sering bila ada indikasi klinis. Angka limfosit total (TLC = total
lymphocyte count) tidak direkomendasikan untuk digunakan memonitor
terapi karena perubahan nilai TLC tidak dapat digunakan untuk
memprediksi keberhasilan terapi.
Enam bulan sejak memulai terapi ARV merupakan masa yang
kritis dan penting. Diharapkan dalam masa tersebut akan terjadi
perkembangan klinis dan imonologi kea rah yang lebih baik, akan tetapi
hal tersebut tidak terjadi dan atau terjadi toksisitas obat. Selain itu bisa
juga terjadi suatu sindrom pulih imun dimana pasien sepertinya
mengalami perburukan klinis yang sebetulnya merupakan suatu keadaan
pemulihan respon imunitas (yang kadang sampai menimbulkan gejala
peradangan/inflamasi berlebihan)
Efek samping terapi ARV(3,5)
Obat
Zidovudin

Efek samping
Supressi sum sum tulang
Anemia
makrositi
atau
neutropenia
Intoleransi
gastrointertinal,
sakit
kepala,
insomnia,
asthenia
Pigmentasi kulit dan kuku
Asidosis
laktat
dengan

Substitusi
Jika digunakan pada terapi lini
pertama, TDF (atau d4T jika tidka
ada pilihan lain)
Jika digunakan pada terapi lini
kedua, d4T

Stavudin
Lamivudin
Abacavir

Tenofovir

Emtricitabine
Nevarapin

Ritonavir
Lopinavir

Efavirenz

steatosis hepatic
Pancreatitis, neuropati perifer,
asidosis laktat denga steatosis
hepatitis (jarang), lipotrofi
Toksisitas renda
Asidosis
laktat
dengan
steatoses hepatitis (jarang)
Reaksi hipersensitivitas (dapat
fatal),
Demam, ruam kelelahan, mul
muntah, tidak napsu makan
Gangguan pernapasan (sakit
tenggorok, batuk)
Asidosis
laktat
dengan
steatosis hepatitis (jarang)
Asthenia, sakit kepala, diare,
mual muntah, sering buang
angin, insufisiensi ginjal,
sindroma fanconi
Osteomalasia
Penurunan densittas tulang
Hepatitis eksaserbasi akut
berat pada pasein HIV dengan
koinfeksi
Hepatitis
B
yang
menghentikan TDF
Ditoleransi dengan baik
Reaksi hipersensitivitas
Sindroma steven-johnson
Ruam
Toksisitas hepar
hiperlipidemia
Hiperlipidemia
Intoleransi
gastrointertinal,
mual,
pancreatitis,
hiperglikemial,
pemindahan
lemak dan abnormalitas lipid
Reaksi
hipersensitivitas
sindroma steven-johnson
Ruam
Toksisitas hepar
Toksisitas sisterm saraf pusat
yang berat dan persisten
(depresi dan pusing)
Hiperlipidemia
Ginekomastia (pada laki-laki)
Kemungkinan efek teratogenik
(pada kehamilan trimester
pertama atau wanita yang
tidak mengganggu kontrasepsi
yang adekuat)

AZT dan TDF


_
AZT atau TDF

Jika digunakan pada lini pertama


AZR (atau d4t jika tiada pilihan)
Jika digunakan pada lini kedua,
Secara pendekatan kesehatan
masyarakat, makan tidak ada
pilihan lain jika pasien telah gagal
AZT/d4t pada terapi lini pertama,
Jika
kemungkinan
dipertimbangkan merujik ke
tingkat perawatan yang lebih
tinggi dimana terapi individual
tersedia.
EFV
Bpi jika tidak toleransi terhadap
kedua NNRTI
Tiga NNRTI jika tidak ada pilihan
lain.
Jika digunakan pada lini kedua.
Jika digunakna pada lini kedua.

NVP
Bpi jika tidak toleran terhadap
kedia NRTI
Tiga NRTI jika tidak ada pilihan
lain.

Terapi gen(1)
Pendekatan lain yang dilakukan adalah terapi gen. Artinya,
pengobatan dilakukan dengan mengintroduksikan gen anti-HIV ke dalam
sel yang terinfeksi HIV. Gen ini bisa berupa antisense dari dari salah satu
enzim yang diperlukan untuk replikasi virus tersebut atau ribozyme yang
berupa antisense RNA dengan kemampuan untuk menguraikan RNA
target.
Antisense yang diintroduksikan dengan vektor akan menjalani
proses transkripsi menjadi RNA bersamaan dengan messenger RNA virus
(mRNA). Setelah itu, RNA antisense ini akan berinteraksi dengan mRNA
dari enzim tersebut dan mengganggu translasi mRNA sehingga tidak
menjadi protein. Karena enzim yang diperlukan untuk replikasi tidak
berhasil diproduksi, otomatis HIV tidak akan berkembang biak di dalam
sel. Sama halnya dengan antisense, ribozyme juga menghalangi produksi
suatu protein tapi dengan cara menguraikan mRNA-nya Pendekatan yang
dilakukan dengan fokus RNA ini juga bagus dilihat dari segi imunologi
karena tidak mengakibatkan respons imun yang tidak diinginkan. Hal ini
berbeda dengan pendekatan melalui protein yang menyebabkan timbulnya
respons imun di dalam tubuh. Untuk keperluan terapi gen seperti ini,
dibutuhkan sistem pengiriman gen yang efisien yang akan membawa gen
hanya kepada sel yang telah dan akan diinfeksi oleh HIV. Selain itu, sistem
harus bisa mengekspresikan gen yang dimasukkan (gen asing) dan tidak
mengakibatkan efek yang berasal dari virus itu sendiri. Untuk memenuhi
syarat ini, HIV itu sendiri penjadi pilihan utama. HIV sebagai vector.
Pemikiran untuk memanfaatkan virus HIV sebagai vektor dalam proses
transfer gen asing ini diwujudkan pertama kali pada tahun 1991 oleh
Poznansky dan kawan-kawan dari Dana-Farber Cancer Institute Amerika.
Setelah itu penelitian tentang penggunaan HIV sebagai vektor untuk terapi
gen berkembang pesat. Wenzhe Ho dari The Children Hospital of
Philadelphia bekerja sama dengan Julianna Lisziewicz dari National

Cancer Institute berhasil menghambat replikasi HIV di dalam sel dengan


menggunakan anti-tat, yaitu antisense tat protein (enzim yang esensial
untuk replikasi HIV). Sementara itu, beberapa grup juga berhasil
menghambat perkembangbiakan HIV dengan menggunakan ribozyme. (1)
Hal yang penting lagi dalam sistem ini adalah tingkat ekspresi gen
yang stabil. Dari hasil percobaan dengan tikus, sampai saat ini telah
berhasil dibuat vector yang bisa mengekspresikan gen asing dengan stabil
dalam jangka waktu yang lama pada organ, seperti otak, retina, hati, dan
otot. Walaupun belum sampai pada aplikasi secara klinis, aplikasi vektor
HIV untuk terapi gen bisa diharapkan.
Hal ini lebih didukung lagi dengan penemuan small interfering
RNA (siRNA) yang berfungsi menghambat ekspresi gen secara spesifik.
Prinsipnya sama dengan antisense dan ribozyme, tapi siRNA lebih spesifik
dan hanya diperlukan sekitar 20 bp (base pair) sehingga lebih mudah
digunakan.
Baru-baru ini David Baltimore dari University of California Los
Angeles (UCLA) berhasil menekan infeksi HIV terhadap human T cell
dengan menggunakan siRNA terhadap protein CCR5 yang merupakan coreceptor HIV. Dalam penelitian ini, HIV digunakan sebagai sistem
pengiriman gen. Semoga metode ini dapat segera digunakan untuk
pengobatan AIDS di seluruh dunia.(1)

I. Pencegahan
Penularan Lewat Suntikan

Gunakan selalu jarum suntik yang steril dan baru setiap kali akan
melakukan penyuntikan atau proses lain yang mengakibatkan terjadinya
luka. Ada dua hal yang perlu diperhatikan:
1. Semua alat yang menembus kulit dan darah (jarum suntik, jarum
tato, atau pisau cukur) harus disterilisasi dengan benar

2. Jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit


bergantian dengan orang lain

Penularan Lewat Hubungan Seks


Selalu menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman (artinya : hubungan
seks yang tidak memungkinkan tercampurnya cairan kelamin, karena hal
ini memungkinkan penularan HIV). Ada tiga cara:
1. Abstinensi (atau puasa, tidak melakukan hubungan seks)
2. Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan
dan saling setia kepada pasangannya
3. Untuk yang melakukan hubungan seksual yang mengandung
risiko, dianjurkan melakukan seks aman termasuk menggunakan
kondom

Penularan Lewat Asi


Bila ibu hamil dalam keadaan HIV positif sebaiknya diberitahu tentang
semua resiko dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada
sendiri dan bayinya, sehingga keputusan untuk menyusui bayi dengan ASI
sendiri bisa dipertimbangkan.

Penularan Dari Ibu Ke Bayi (3)


1. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi
2. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV
positif
3. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang
dikandungnya.

4. Pemberian dukugan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu


HIV positif berserta bayi dan keluarganya.
Strategi yang digunakan untuk emncegah penularan disaat kehamilan,
persalinan dan penyusuan adalah.
1. Penggunaan terapi ARV pada ibu dan bayi.
2. Seksio sesaria sebelum terjadinya pecah selaput ketuban.
3. Pemberian susu formula.

Pemberian terapi ARV pada bayi yang lahir dengan ibu HIV (3)
AZT 2X/hari sejak lahir hingga usia 4-6 minggu dosis 4 mg/kgBB/kali
Pemberian ARV Profilaksis Pada Bayi Yang Lahir Dari Ibu HIV(3)

Status HIV dari wanita


hamil
Sudah didiagnosis HIV
sebelumnya dan sudah
mendapatkan terapi ARV

Tes HIV (+)

Tes HIV (-)

AZT + 3TC + NVP atau


TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
ANTENATAL

Atau AZT + 3TC + EFV atau

TDF + 3TC (atau FTC) + EFV


------------------------------------------------------------------------------------------------------------PERSALINAN

Lanjutkan terapi ARV

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------POSTPARTUM

ASI eksklusif atau susu formula


Ibu:lanjutkan ARV
Bayi: AZT, 2x/hari, dari lahir
hingga usia 4-6 minggu (tidak
melihat cara pemberian makanan
pada bayi)

Pencegahan AIDS Pada Petugas Kesehatan (2)


1. Jenis pajanan: Perlukaan kulit, pajanan pada selaput mukosa,
pajanan melalui kulit yang luka dan gigitan yang berdarah.
2. Bahan Pajanan: Darah, cairan bercampur darah yang kasat mata,
cairan yang potensial terinfeksi: semen, cairan vagina, cairan
serebrospinal, c. sinovia, c. pleura, c peritoneal, c. perickardial, c.
amnion dan virus yang terkonsentrasi.
Prinsip penanganan: Jangan Panik! Tapi selesaikan dalam <4 jam.
SEGERA(2)
1.
2.
3.
4.

Luka tusuk: bilas dengan air mengalir dan sabun atau antiseptik.
Pajanan mukosa mulut: ludahkan dan kumur.
Pajanan mukosa mata: irigasi dengan air atau garam fisiologis.
Pajanan mukosa hidung: hembuskan keluar dan bersihkan dengan

air.
5. Jangan dihisap dengan mulut, jangan ditekan.
6. Desinfeksi luka dan daerah sekitar kulit dengan salah satu: (1)
betadine (povidone iodine 2,5%) selama 5 menit atau (2) alkohol
70% selama 3 menit. chlorhexidine cetrimide bekerja melawan
HIV tetapi tidak HBV
LAPORKAN(2)
1. Catat dan laporkan kepada: (1) panitia PIN, (2) panitia K3, (3)
atasan langsung, agar secepat mungkin diberi PPP (profilaksis
pasca pajanan).
2. Perlakukan sebagai keadaan darurat, di mana obat PPP harus
diberikan sesegera mungkin (dalam 1-2 jam).

3. PPP setelah 72 jam tidak efektif.


4. Tetap berikan PPP bila pajanan risiko tinggi meski maksimal
hingga satu minggu setelahnya.
5. Pantau sesuai dengan protokol pengobatan ART.
6. Hitung sel darah, LFT, kepatuhan dan beri dukungan.
7. Pertimbangan profilaksis didasarkan pada derajat pajanan, status
infeksi dari sumber pajanan dan ketersediaan obat PPP.
Alur PPP pada pajanan(2)
1. Menentukan kategori pajanan (KP)

2. Menentukan Kategori / status HIV sumber pajanan (KS-HIV) (2)

3. Menentukan Pengobatan Profilaksis Pasca Pajanan

Pengobatan Profilaksis Pasca Pajanan(2)


CATAT
1.
2.
3.
4.

Tanggal dan jam kejadian (pajanan)


Uraian kejadian lebih rinci
Sumber pajanan bila diketahui
Pengobatan PPP secara rinci bila mendapatkannya

5. Tindak lanjut
6. Hasil pengobatam
7. Simpan semua data pajanan
Informasi kepada orang yang terpajan
1. Risiko transmisi HIV setelah terpajan darah adalah 0,3% jika
sumber pasien adalah HIV positif
2. Risiko transmisi sesuai dengan jenis kecelakaan.
3. PPP tergantung pada kegawatan pajanan dan status HIV dari
4.
5.
6.
7.

sumber pasien.
PPP tidak 100% efektif.
Minum ARV
Efek samping ARV
Hindari hubungan seks yang tidak terlindungi sampai konfirmasi
setelah 3 bulan.

Ingat!
1. HIV dan virus-virus lebih cenderung ditularkan melalui hubungan
seksual atau transfusi darah yang terkontaminasi
2. Kemungkinan tertular sebagai akibat pajanan pada kecelakaan
kerja lebih kecil.

Follow up(2)
Amati tanda-tanda yang menunjukkan serokonversi HIV 50-70% dalam
kurun waktu 3 sampai 6 minggu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Demam akut
Limfadenopati yang tersebar
Erupsi kulit
Faringitis
Gejala flu non spesifik
Ulkus mulut atau area genital

Tindakan yang paling berisiko(2)


1.
2.
3.
4.

Pengambilan darah, penutupan kembali jarum suntik.


Memasukkan dan menangani cairan IV
Operasi
Menangani darah atau cairan tubuh yang terinfeksi di laboratorium.

5. Membersihkan, menangani dan menghancurkan sampah dan alat


medis yang terkontaminasi

DAFTAR PUSTAKA

1. Z. Djoerban, S. Djauri. Infeksi Tropikal. HIV AIDS. Buku ajar Ilmu


Penyakit Dalam FKUI. Edisi IV. Jilid III. Hal. 1803-1807.
2. M. Leng see. Penanganan Pajanan HIV bagi Petugas Kesehatan.
Kesehatan

Kedokteran.

Desember

2010.

Available

at:

http://mlengsee.wordpress.com/2010/12/02/penanganan-pajanan-hiv-bagipetugas-kesehatan/. Acessesed on 2 march 2013.


3. Prof. Dr. Sofyan Ismael, Sp. A (K). Antiretroviral. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran. Tatalaksanan HIV/AIDS. 2011. Hal 47-67.
4. HIV
Discussion.
HIV
webstudy.
Available

at:

http://depts.washington.edu/hivaids/initial/case1/discussion.html.
Accessed on 2 march.
5. Mitchell. H. Katz, MD, Andrew R. Zolopa, MD. HIV Infection and AIDS.
2009 Current Medical Diagnosis dan Treatment. McGaw Hill, 48th ed. Hal.
1176-1205.
6. Quinn TC, Wawer MJ, Sewankambo N and others. HIV. Scribd. Available
at: http://www.scribd.com/doc/40951928/Hiv. Accessed on 2 march.
7. Mansjoer, Arif M. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2000.
Hal 162-163.
8. Lan, Virginia M. Human Immunodeficiency Virus (HIV) and Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: ECG. 2006. Hal 224.
9. Merati, Tuti P. Respon Imun Infeksi HIV. Buku Ajar Ilmu Penyalit Dalam.
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI: 2006. Hal 545-6.

You might also like