You are on page 1of 12

TUTORIAL KLINIK

SINUS PARANASAL
Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL
RST Dr. Soedjono Magelang

Disusun oleh :
Putrika Juni Ekasanti ( 1410221044 )

Pembimbing :
Kol. CKM dr. Budi Wiranto, Sp.THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
JAKARTA
2015

SINUS PARANASAL

Disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik dan


melengkapi salah satu syarat menempuh
Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL
RST Dr. Soedjono Magelang

Oleh :

Putrika Juni Ekasanti


1410221044

Magelang, April 2015

Mengetahui,
Pembimbing

(Kol. CKM dr. Budi Wiranto, Sp.THT-KL)

PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya,
penulis dapat menyelesaikan laporan tutorial klinik mengenai Sinus Paranasal
Tugas ini disusun dalam rangka memenuhi syarat dalam mengikuti kegiatan
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RST Tingkat II dr. Soedjono
Magelang serta menjadi bahan kajian Ilmu Kesehatan THT-KL.
Pada kesempatan ini penulis turut mengucapkan terimakasih kepada pihakpihak yang telah membantu penyusunan makalah laporan kasus ini, kepada :
1. dr. Budi Wiranto, Sp. THT-KL sebagai dokter pembimbing
2. Teman-teman dokter muda kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan THT-KL
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih memiliki
keterbatasan. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangatlah penulis
harapkan. Besar harapan penulis, laporan ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Magelang, Juli 2015

Penulis

I. Anatomi Sinus Paranasal


Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua
sinus mempunyai muara ke rongga hidung.

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga


hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid
dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, sedangkan
sinus frontal berkembang dari dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia
kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan
berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya
mencapai besar maksila 15-18 tahun.

Gambar 1. Sinus paranasal


(tampak samping)

Gambar 2. Sinus
paranasal
(tampak depan)

I.1 Sinus Maksila


Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.

Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan


fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan
infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung
dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris
dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus
dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum etmoid.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah
1. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi
rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadangkadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi
tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi
mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase kurang baik, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum
yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan
pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan
sinusitus.
I.2

Sinus

Gambar 3. Sinus paranasal (tampak depan dan tampak samping)

Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 thn dan akan mencapai
ukuran maksimal sebelum usia 20 thn.

Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada
lainnya dan dipisahkan oleh sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15%
orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus
frontalnya tidak berkembang.
Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk.
Tidak adanya gambaran septumn-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto
Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan oleh tulang yang
relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal
mudah menjalar ke daerah ini.
Sinus frontal berdraenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal.
Resesus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anteroir.
I. 3 Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhirakhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinussinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan
dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4
cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara
konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17
sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara
di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak,
letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior
biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari
perlekatan konka media.
Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau
peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan
di infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis maksila.

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior
berbatsan dengan sinus sfenoid.
1.4 Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalag 2 cmn tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi
dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nerbus di bagian lateral os
sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai
indentasi pada dinding sinus etmoid.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah
posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.
1.5 Kompleks Ostio-Meatal
Di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal
dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks
ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang
prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostiumnya dan ostium sinus maksila.

Gambar 4. Komplek Osteo-Meatal


1.5 Sistem Mukosiliar
Terdapat 2 aliran :
1) Sinus anterior bergabung di infundibulum ethmoid dialirkan di
nasofaring.
2) Sinus posterior bergabung di resesus sfenoethmoidalis nasofaring
(posterior muara tuba), jika terjadi sinusitis, post nasal drip (+).

II. Fungsi Sinus Paranasal


Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Beberapa pendapat:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini
ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitive
antara sinus dan rongga hidung. Lagipula mukosa sinus tidak
mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
b. Sebagai penahan suhu (termal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas,


melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubahubah.
c. Membantu keseimbangan kepala
Bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga
teori dianggap tidak bermakna.
d. Membantu resonansi suara
Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula
tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewanhewan tingkat rendah.
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
f. Membantu produksi mucus
Jumlahnya kecil dibandingkan dengan mucus dari rongga hidung,
namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara
inspirasi karena mucus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling
strategis.
III. Pemeriksaan Sinus Paranasal
Untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasal dilakukan inspeksi
dari luar, palpasi, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, transiluminasi, pemeriksaan
radiologic dan sinuskopi,
1. Inspeksi

Yang diperhatikan adalah adanya pembengkakan pada muka.


Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahmerahan

mungkin

menunjukkan

suatu

sinusitis

maksilaris

akut.

Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan suatu sinusitis


frontalis akut.
Sinusitis etmoid akut jarang menyebabkan pembengkakan ke luar, kecuali bila
telah terbentuk abses.
2. Palpasi

Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya
sinusitis maksila. Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus
frontal yaitu oada bagian medial atap orbita. Sinusitis etmoid menyebabkan
rasa nyeri tekan di daerah kantus medius.
3. Transiluminasi

Transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai


untuk memeriksa sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan
radiologik tidak tersedia. Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus
maksila, akan tampak terang pada pemeriksaan transiluminasi, sedangkan
pada foto rontgen tampak adanya perselubungan berbatas tegas di dalam sinus
maksila.
Transiluminasi pada sinus frontal hasilnya lebih meragukan. Besar dan
bentuk kedua sinus ini seringkali tidak sama. Gambaran yang terang berarti
sinus berkembang dengan baik dan normal, sedangkan gambaran yang gelap
mungkin hanya menunjukkan sinus yang tidak berkembang.

Gambar 5. Pemeriksaan transluminasi sinus frontalis

4. Pemeriksaan Radiologik

Bila dicurigai adanya kelainan di sinus paranasal,maka dapat dilakukan


pemeriksaan radiologik. Posisi rutin yang dipakai ialah posisi Waters, P.A, dan
lateral. Posisi Waters terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila,
frontal dan etmoid. Posisi posterior anterior untuk menilai sinus frontal dan
posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid.

Gambar 6. X-ray kepala posisi lateral

Gambar 7. X-ray kepala posisi waters


Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus
paranasal adalah pemeriksaan CT-scan.

5. Sinuskopi

Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop.


Endoskop dimasukkan melalui lubang yang dibuat di meatus inferior atau di
fossa kanina. Dengan sinuskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah
ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista, bagaimana
keadaan mukosa dan apakah ostiumnya terbuka.

Gambar 8. sinuskopi

DAFTAR PUSTAKA
1.

Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga

hidung tenggorok kepala dan leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3
2.
Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku Ajar
Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2002,
4.
5.

115 119.
Adam,Boies, Higler, Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, EGC, Jakarta,1997
Guyton,AC, Hall,JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 1997, editor: irawati setiawan,

6.

ed. 9, 1997, Jakarta: EGC


Pearce, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Gramedia,

7.

Jakarta,2004
Spanner, Spalteholz, Atlas Anatomi Manusia, Bagian ke II, edisi 16, Hipokrates,

8.

Jakarta,1994.
Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher edisi 5, FK UI, 2006.

You might also like