You are on page 1of 69

FRACTURE COLLUM FEMORIS DEWASA

Oleh Dr H Subagyo SpB - SpOT

Collum femur merupakan lokasi fracture tersering yang banyak terjadi pada orang lanjut usia.
Fracture ini banyak terjadi pada orang ras Kaukasia, wanita lebih sering dari pada pria, usia
dekade ketujuh dan kedelapan, dan pada orang yang menderita osteoporosis. Oleh karena itu,
tingkat insidensi fracturecollum femur dapat dijadikan sebagai salah satu parameter tingkat
insidensi osteoporosis di suatu negara.Faktor resiko lainnya ialah adanya penyakit yang
mengakibatkan kelemahan atau penurunan kekuatan pada tulang, seperti osteomalasia, diabetes
mellitus, stroke, dan konsumsi alkohol. Selain itu, orang lanjut usia sering kali memiliki otot-otot
yang lebih lemah dan keseimbangan yang kurang baik sehingga memiliki tendensi yang lebih
tinggi untuk jatuh yang mungkin mengakibatkan fracturecollum femur ini.
Adanya hubungan antara fracturecollum femur dengan hilangnya massa tulang akibat
osteoporosis post menopause meningkatkan usaha screening untuk osteoporosis sebagai salah
satu bentuk pencegahan terjadinya fracture tersebut. Sebaliknya, trauma ini sangat jarang
ditemukan pada orang-orang dengan massa tulang yang tinggi, seperti pada orang yang
menderita osteoartritis.
Fracturecollum femur juga lebih jarang ditemukan pada orang-orang ras Negroid, dibandingkan
dengan orang Kaukasia dan Asia.Alasan rendahnya tingkat insidensi pada orang Negroid belum
sepenuhnya diketahui. Namun, ada berbagai hipotesis untuk menjelaskan hal tersebut, yakni
karena massa tulang orang Negroid lebih tinggi, tingkat kehilangan massa tulang setelah
menopause yang lebih lambat, dan adanya perbedaan struktur tulang dibandingkan orang
Kaukasia.
Tingkat kejadian fracturecollum femur diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dalam 30
tahun ke depan. Hal ini terjadi sebagai akibat semakin meningkatnya angka harapan hidup,
khususnya hingga di atas usia 65 tahun yang juga semakin meningkatkan resiko terjadinya
osteoporosis. Oleh karena itu, saat ini usaha pencegahan yang efektif dan efisien terus
dikembangkan mengingat tingginya beban ekonomi yang akan ditimbulkan untuk terapi,
rehabilitasi, dan penanganan lebih lanjut bagi para penderitanya.

4.1 Karakteristik Umum


Fracturecollum femur terjadi diantara ujung permukaan articular dari caput femur dan regio
intertrochanterica. Fractureini ialah fracture, intracapsular di mana cairan sinovial panggul dapat
menghambat penyembuhannya. Penyembuhan juga semakin terhambat akibat hancurnya suplai
pembuluh darah arterial ke lokasi fracture dan caput femur; dengan adanya fracturecollum femur,
cabang cervical ascendens lateralis dari arteri sircumflexi femoris medialis mempunyai resiko

yang besar untuk terkena. Terputusnya aliran darah ini meningkatkan resiko nonunion pada
lokasi fracture dan beresiko untuk terjadinya nekrosis avaskular pada caput femoris.

Gambar 4.1Collum Femur Sisi Anterior dan Posterior

4.2 Epidemiologi

Insidensi fracture kolum femur meningkat sejalan dengan meningkatnya usia; insidensi tertinggi
terjadi pada usia antara 70 80 tahun. Fracture ini terjadi lebih sering pada wanita dibandingkan
dengan laki-laki, yakni dengan rasio sekitar 5 : 1. Hal ini dikarenakan populasi wanita yang lebih
banyak pada usia tersebut dan juga karena arsitektur dari upper end of femur sehubungan dengan
osteoporosis dimana prevalensinya lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki. Lesi ini
jarang terjadi pada orang yang menderita osteoarthritis pada panggulnya.
Markey melaporkan bahwa fracturecollum femur mencapai 5-10% dari semua kejadian stress
fracture. Stress fracturecollum Femur adalah fracture yang jarang terjadi, tetapi apabila terjadi
dapat mengakibatkan masalah yang serius.Tentunya di kelompok atlet, seperti pelari jarak jauh
yang tiba-tiba mengubah atau menambah aktivitasnya, akan mempunyai prevalensi yang lebih
besar terhadap terjadinya stress fracture dari collum Femur ini dibandingkan dengan populasi
lainnya.
Plancher dan Donshik juga melaporkan rata-rata angka prevalensinyasekitar 10% untuk
fracturecorpus femur ipsilateral, dimana sebanyak 30% tidak diketahui pada awal terjadinya.

Menurut Koval dan Zuckerman, angka kejadian FractureCollum Femur di Amerika Serikat
adalah sebesar 63.3 kasus per 100.000 orang per tahun untuk wanita dan 27.7 kasus per 100.000
orang per tahun untuk pria.
Sejak ditemukan prosedurinternal fixation, angka mortalitas yang awalnyamencapai 60-85%
telah berkurang hingga 8-10%; dengan demikian, angka morbiditas meningkat tajam sampai
30%, yang mengindikasikan bahwa internal fixation merupakan prosedur lifesaving. Kematian
jarang terjadi karena fracture ini, tetapi terdapat beberapa gangguan medis yang mempengaruhi
orang-orang pada usia yang lebih lanjut ini, seperti gangguan jantung, penyakit paru, diabetes
mellitus, trombosis serebral, hipertensi, dan demensia senilis.
Angka mortalitas pada usia 60 tahun meningkat terus seiring bertambahnya usia dan mencapai
puncaknya pada dekade 9 dan dekade 10. Prognosis pada laki-laki umumnya lebih baik daripada
wanita; kejadian kegagalan tertinggi terjadi pada wanita yang berusia lebih dari 65 tahun.Angka
morbiditas tergantung dari terapi fracture yang terjadi; lebih rendah pada fracture stadium I dan
II daripada fracture stadium III dan IV. Stadium I dan II menurut Garden, di mana terjadi fracture
tanpa displaced, sedangkan pada stadium III dan IV telah terjadi displaced pada fragmenfragmen tulang, baik sebagian, maupun seluruhnya.
4.3 Mekanisme Terjadinya Fracture
Fracturecollum femur biasanya terjadi akibat jatuh, tetapi pada orang yang menderita
osteoporosis, kecelakaan yang sangat ringan sekalipun sudah dapat menyebabkan fracture,
misalnya akibat kaki yang tersandung karpet dan menyebabkan sendi panggul mengalami
exorotasi.
Pada orang dengan usia muda, fracture biasanya terjadi akibat jatuh dari ketinggian atau akibat
kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan hingga terlempar ke jalan. Pada pasien ini sering kali
mengalami jejas multipel dan 20% di antaranya juga mengalami fracturecorpus femur.
Pada tahun 1990, Volpin melaporkan sebanyak 4,7% dari 194 tentara militer mengalami stress
fractures. Fracture ini juga dapat ditemukan pada atlet pelari.
Selain itu, Zahger et al pada tahun 1988 juga melaporkan insiden yang cukup tinggi terjadinya
fracture ini pada para tentara wanita Israel.
4.4 Klasifikasi
4.4.1 Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomis
Berdasarkan lokasi anatomis dari garis fracturenya, fracturecollum femur diklasifikasikan
menjadi dua bagian besar, yaitu fractureintracapsular dan fractureextracapsular. Gambar 4.2
menunjukkan gambaran klasifikasi fracture femur bagian proksimal tersebut.

Gambar 4.2 Klasifikasi Fracture Femur Bagian Proksimal


(A) FractureIntracapsular, (B) FractureExtracapsular
Fracture collum femur meliputi fractureintracapsular yang terdiri dari fracturesubcapital,
transcervical, dan basilar (basiservikal), sedangkan fractureextracapsular terdiri dari fracture
intertrochanteric dan subtrochanteric.
4.4.1.1 FractureIntracapsular
Fractureintracapsular disebut juga sebagai fracture letak tinggi collum femur. Pada kelompok ini,
fragmen proksimal sering kehilangan bagian pembuluh darahnya dan oleh karena itu, penyatuan
kembali (union) fracture sangatlah sulit. Hal ini merupakan kejadian serius pada pasien usia
lanjut. Pada pasien yang sangat tua dan lemah, hal ini akan mencetuskan terjadinya
ketidakseimbangan metabolisme. Dengan demikian, dapat terjadi terminal illness oleh karena
uremia, infeksi paru, mendengkur sewaktu tidur, ataupun akibat penyakit fatal lainnya.
Fractureintracapsular diklasifikasikan lagi berdasarkan daerah collum femur yang dilalui oleh
garis fracture, antara lain:
a. FractureSubcapitalGaris fracturenya melintasi collum femur tepat di bawah caput femur.

Gambar 4.3 FractureSubcapital


b. FractureTranscervical
Garis fracture biasanya melewati setengah panjang collum femur. Seperti pada
fracturesubcapital, bila terjadi displaced pada fracture, caput femur biasanya akan kehilangan
suplai darahnya dan ikut mengalami kerusakan. Oleh karena itu, pada penanganan sebagian
besarfracture ini juga harus dilakukan penggantian caput femur dengan implantasi metal,
daripada berusaha menyatukan fracture yang sulit sembuh dan akhirnya menjadi kolaps.

Gambar 4.4 FractureTranscervical


c.

FractureBasilar atau Basiservikal

Garis fracturenya melintasi bagian basis collum femur. Jenis fracture ini berada pada perbatasan
collum femur sehingga sempat diperdebatkan apakah termasuk fractureintracapsular atau
fractureextracapsular. Pada daerah ini mempunyai suplai darah yang baik dan bila terjadi fracture
disini tidak mungkin mempengaruhi viabilitas dari caput femur. Biasanya fracture ini ditangani
dengan internal fixation, sering hasilnya baik.

Gambar 4.5 FractureBasilar atau Basiservikal

4.4.1.2 FractureExtracapsular
Fractureextracapsularyang termasuk dalam fracture collum femur merupakan fracture-fracture
yang terjadi pada daerah intertrochanteric dan daerah subtrochanteric.
a. Fracture Intertrochanteric
Pada fracture ini, garis fracture melintang dari trochanter mayor ke trochanter minor. Tidak
seperti fractureintracapsular, salah satu tipe fractureextracapsular ini dapat menyatu dengan lebih
baik. Resiko untuk terjadinya komplikasi non-union dan nekrosis avaskular sangat kecil jika
dibandingkan dengan resiko pada fractureintracapsular.,
Fracture dapat terjadi akibat trauma langsung pada trochanter mayor atau akibat trauma tidak
langsung yang menyebabkan twisting pada daerah tersebut.
Berdasarkan klasifikasi Kyle (1994), fracture intertrochanteric dapat dibagi menjadi 4 tipe
menurut kestabilan fragmen-fragmen tulangnya.Fracture dikatakan tidak stabil jika:
1. Hubungan antarfragmen tulang kurang baik.
2. Terjadi force yang berlangsung terus menerus yang menyebabkan displaced tulang
menjadi semakin parah.

3. Fracture disertai atau disebabkan oleh adanya osteoporosis.

Gambar 4.6 menunjukkan klasifikasi Kyle untuk fracture intertrochanteric.


b. Fracture Subtrochanteric
Fracture subtrochanteric biasanya terjadi pada orang usia muda yang disebabkan oleh trauma
berkekuatan tinggi atau pada orang lanjut usia dengan osteoporosis atau penyakit-penyakit lain
yang mengakibatkan kelemahan pada tulang. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada
fracture ini, antara lain:
1. Perdarahan yang terjadi cenderung lebih massif dibandingkan perdarahan pada fracture
collum femur lainnya. Hal ini terjadi karena pada daerah subtrochanteric terdapat
anastomosis dari cabang-cabang arteri femoral bagian medial dan lateral.
2. Fragmen fracture dapat terextensi ke region intertrochanteric yang mungkin menyulitkan
pelaksanaan internal fixation.
3. Bagian proksimal mengalami abduksi, exorotasi, dan flexi akibat psoas sehingga corpus
femur harus diposisikan sedemikian rupa untuk menyamai posisi tersebut. Jika tidak,
maka resiko untuk terjadinya non-union atau malunion akan sangat tinggi..
Pada X-ray dapat ditemukan gambaran-gambaran fracture yang perlu diperhatikan sebagai suatu
bentuk warning sign, seperti ditunjukkan pada gambar 4.7 berikut ini.

Gambar 4.7 Fracture Subtrochanteric Warning sign pada X-ray


Keterangan Gambar 4.7
(a)

Comminution, dengan extensi ke fossa piriformis

(b)

Displacement pada fragmen medial, termasuk trochanter minor

(c)

Lytic lesion pada femur

4.4.2 Klasifikasi Menurut Garden


Klasifikasi fracturecollum femur yang banyak digunakan ialah klasifikasi menurut Garden yang
dikemukakan pada tahun 1961. Garden mengklasifikasikan fractureintracapsularini secara simple
dan logis berdasarkan berbagai stadium dari displacement yang terlihat pada foto x-ray sebelum
tereduksi. Fracturecollum femur dibagi menjadi 4 stadium berdasarkan derajat displacement dari
fragmen fracture.
Klasifikasi ini juga memberikan informasi yang jelas tentang derajat kehancuran korteks
posterior dan inferior dan apakah retinakulum posterior masih menempel atau tidak (stuktur
dimana pembuluh darah utama menuju ke caput femoris) dan membantu dalam menentukan
prognosis dari setiap stadium fracture yang terjadi.

Stadium I : Fractureincomplete atau fracture impaksi valgus (valgus malalignment)


tanpa displaced tulang

Stadium II : Fracturecomplete tanpa displaced tulang

StadiumIII :Fracturecomplete dengan displaced sebagian dari fragmen-fragmen tulang


yang mengalami fracture

Stadium IV : Fracturecomplete dengan displaced total atau seluruh fragmen-fragmen


tulang yang mengalami fracture

Gambar 4.8 Klasifikasi FractureCollum Femur Menurut Garden

4.4.2.1 Klasifikasi Garden Stadium I


Pada fracturecollum femur stadium I akan ditemukan:
1.

Fracture inkomplet pada collum

2.

Eksternal rotasi dari fragmen distal

3.

Fragmen proksimal di dalam valgus

4. Trabekula tulang medial dari caput membuat sudut lebih dari 180o dengan korteks medial
dari femur.
Bila fracture ini tidak di fiksasi ke posisi semula, maka akan menjadi fracture komplet dan
memberikan gambaran fracture pada stadium II, III, atau IV, tergantung dari exorotasi pada
fragmen-fragmen distal. Merupakan fracture stabil dengan prognosis yang baik.

Gambar 4.9 Klasifikasi Garden Stadium I

4.4.2.2 Klasifikasi Garden Stadium II


Pada fracturecollum femur stadiumIIakan ditemukan:
1.

Fracture oblik komplet melalui collum

2.

Fragmen kapital tidak displaced

3.

Fragmen distal pada posisi yang normal dengan fragmen proximal

4.

Trabekula medial pada caput membuat sudut sekitar 160o dengan korteks femur medial

Rotasi lateral pada fragmen distal dapat menyebabkan pergeseran fragmen, yang menyebabkan
fracture menjadi stadium III atau Korteks posterior dari femur masih belum kolaps dan
retinaculum posterior masih intact.Fracture ini stabil dan mempunyai prognosis yang baik.

Gambar 4.10 Klasifikasi Garden Stadium II

4.4.2.3 Klasifikasi Garden StadiumIII


Pada fracturecollum femur stadium IIIakan ditemukan:
1.

Fragmen distal berotasi ke arah lateral

2.

Fragmen proximal miring ke varus dan berotasi ke arah medial

3.

Trabekula medial dari caput tidak pada tempatnya pada pelvis

Korteks posterior collum tidak kolaps; retinakulum posterior masih intact memegang fragmenfragmen bersama, tapi masih bisa terluka.Rotasi ke arah lateral yang lebih jauh dari fragmen
distal akan membuat fracture ini menjadi stadium IV. Fracture ini, bila dapat ditangani, dapat
menjadi fracture stabil dengan prognosis yang baik.

Gambar 4.11 Klasifikasi Garden Stadium III

4.4.2.4 Klasifikasi Garden StadiumIV


Pada fracturecollum femur stadium IV akan ditemukan:
1. Fragmen kapital terpisah sempurna dari fragmen distal dan kembali ke posisi normalnya
pada acetabulum; saat ini trabekula medial berada pada tempatnya pada pelvis.

2.

Fragmen distal berotasi lateral

3.

Fragmen distal bergeser ke atas dan ke anterior ke fragmen proximal

Korteks posterior dari collum kolaps dan retinakulum posterior stripped or torn dari bagian
posterior collum femur.Fracture ini sulit ditangani dengan sempurna; dan bahkan bila reduksi
tercapai, defek pada korteks posterior membuatnya tidak stabil.Prognosis sangat buruk.

Gambar 4.12 Klasifikasi Garden Stadium IV

4.4.3 Klasifikasi Menurut Pauwell


Klasifikasi Pauwell telah digunakan sejak tahun 1935.Berdasarkan besarnya sudut yang dibentuk
oleh garis fracture dengan sumbu horizontal pada corpus femur, Pauwell mengklasifikasikan
fracturecollum femur, sebagai berikut:

Tipe I :Garis fracture membentuk sudut <30o dari sumbu horizontal.

Tipe II :Garis fracture membentuk sudut 30o 50o dari sumbu horizontal.

Tipe III :Garis fracture membentuk sudut >70o dari sumbu horizontal.

Gambar 4.13 Klasifikasi Pauwell

4.4.4 Klasifikasi Menurut Hence


Hence mengklasifikasikan fracture collum femur intracapsularmenjadi 2 bagian besar dan lebih
sederhana, yaitu:

1. Fracture non-displaced
Fracture tanpa disertai adanya pergeseran fragmen-fragmen tulang.
2. Fracture displaced
Fracture dengan disertai adanya pergeseran fragmen-fragmen tulang, baik sebagian ataupun
seluruhnya.
4.4.5 Klasifikasi Menurut Linton
Klasifikasi Linton membagi fracture collum femur intracapsularberdasarkan garis fracture dan
posisi fragmen-fragmen tulangnya dengan pembagian sebagai berikut:
1. Stage I

: fractureincomplete

2. Stage II

: fracturecomplete, undisplaced

3. Stage III : fracturecomplete dengan displaced parsial


4. Stage IV

: fracturecomplete dengan displaced total

4.5 Etiologi
Latihan yang salah merupakan faktor resiko tersering, termasuk peningkatan mendadak dari
kuantitas dan intensitas latihan serta perpindahan ke aktivitas yang baru. Faktor lain yang
berperan antara lain densitas tulang yang rendah, komposisi tubuh yang abnormal, defisiensi
makanan, abnormalitas biomekanik, dan menstruasi yang tak teratur.
Beberapa faktor predisposisi fracturecollum femur ialah variasi anatomi, osteopenia relatif,
kondisi fisik yang buruk, kondisi medis sistemik yang menyebabkan demineralisasi dari tulang,
atau inaktivitas beberapa saat, dapat membuat tulang lebih mudah mendapatkan stress fracture.
Seperti yang dilaporkan oleh Monteleone pada tahun 1995, penelitian menunjukkan bahwa
wanita mempunyai insidensi lebih banyak terhadap stress fracture, yang diakibatkan karena
variasi anatomi.Wanita cenderung untuk mendapatkan direct axial force saat latihan beban berat
dari beberapa aksis tulang panjang dibandingkan dengan pria.Wanita juga mempunyai 25% otot
lebih sedikit dibandingkan dengan pria.Hal ini membuat tekanan terpusat dan stabilitas tahanan
melalui anatomi tulang.
Pada tahun 1987, Markey melaporkan bahwa Hersman et al mendokumentasikan bahwa wanita
mempunyai insidensi stress fracture yang lebih tinggi.Tingginya insidensi ini akibat perbedaan
mekanik dan variasi anatomi antara wanita dan pria. Perbedaan pada wanita ini meliputi stride
lengths, number of strides per distance, pelvis yang lebih lebar, coxa vara, dan genu valgum.

Latihan yang menginduksi abnormalitas endokrin diketahui dengan baik dapat mengakibatkan
amenorrhea atau defisiensi nutrisi, yang dapat menyebabkan demineralisasi dari tulang dan
membuat pasien beresiko terhadap jejas.Stress fracture, khususnya pada tulang trabekular, telah
menunjukkan penurunan isi mineral pada tulang.Penurunan ini dapat mengakibatkan penurunan
esterogen pada sirkulasi, yang terjadi pada atlet wanita yang mengalami amenorrhea. Kurangnya
proteksi dari esterogen mengakibatkan penurunan massa tulang. Trias atlet wanita yaitu
amenorrhea, osteoporosis, dan gangguan makan mempengaruhi beberapa wanita aktif.
Kehilangan massa tulang yang irreversibel pada pasien akan meningkatkan terjadinya resiko
fracture lebih besar.
Kebanyakan individu bukan atlet yang kompetitif dan tidak akan pada tingkat latihan yang
optimal. Individu sering memaksa dirinya untuk berpartisipasi pada tingkat dimana mereka tidak
merasa tubuhnya sehat.Flexibilitas, Kekuatan otot, dan koordinasi neuromuskular memberikan
kontribusi pada luka bila mereka tidak dilatih.
4.6 Patofisiologi
Caput femoris mendapat suplai darah dari tiga sumber, yaitu pembuluh intramedula pada collum
femur (arteri-arteri metafiseal inferior), pembuluh servikal asendens pada retinakulum kapsular
(arteri-arteri epifiseal lateralis); dan pembuluh darah pada ligamentum kapitis femoris (arteri
ligamentum teres).Pasokan intramedula selalu terganggu oleh fracture; pembuluh retinakular
juga dapat terobek kalau terdapat banyak pergeseran.Pada manula, pasokan yang tersisa dalam
ligamentum teres sangat kecil dan pada 20% kasus tidak ada. Itulah yang menyebabkan
tingginya innsidensi nekrosis avaskular pada fracturecollum femur yang disertai pergeseran.
4.6.1 FractureSubcapital
4.6.1.1 Mekanisme FractureSubcapital pada Collum Femur
Pada pasien usia lanjut khususnya pada wanita, terjadi perubahan struktur pada bagian ujung atas
femur yang menjadi predisposisi untuk terjadinya fracture pada collum femur. Karena hilangnya
tonus otot dan perubahan pada keseimbangan sensasi yang berhubungan dengan usia, pasien ini
dituntut untuk mengubah pola berjalan mereka.
Perubahan cara berjalan bertanggung jawab pada pengaturan kembali weight-bearing bony
trabeculae pada bagian ujung atas femur di sepanjang garis fracture baru. Proses ini bersama
dengan osteoporosis senilis menyebabkan lemahnya dari collum femur, yang dapat menghasilkan
disolusi dari beberapa trabekula tulang, pada garis yang lebih atau kurang ke aksis panjang
collum yang dimulai superior pada hubungan antara caput dan collum; hal ini sebanding dengan
fatique or stress fracture.
Apabila, sebagai hasil beban vertikal atau minor twist, fracture inkomplit dapat menjadi fracture
komplit yang meluas melalui korteks inferior, pasien jatuh karena hilangnya penyokong dari
panggul. Pasien tidak akan menahan fracture karena dia jatuh; fracture dapat terjadi diawal atau
setelah terjatuh.

Fracture dapat disebabkan karena lemahnya collum femur terhadap aksi stress dari arah vertikal
dan rotasional yang terus-menerus, seperti ketika ekstremitas berexorotasi dan tubuh berotasi ke
arah yang berlawanan. Pada mekanisme ini, aspek posterior dari collum mengenai lingkaran dari
acetabulum karena berotasi ke arah posterior; pada keadaan ini acetabulum berperan sebagai titik
tumpu. Pada pasien usia muda, mekanisme yang sama disebabkan oleh kekerasan, sehingga
menyebabkan fracture pada collum femur.
Kemiringan suatu garis fracture seperti yang terlihat pada x-rays antero posterior (AP) dari
fracture yang tereduksi sangat penting pada semua fracturesubcapital; Akan tetapi jarang sekali
kemiringan ini berubah. Keadaan ini dimulai pada aspek superior collum pada sambungan dari
caput dan collum dan memanjang kebawah dan keluar sampai mengenai korteks inferior dari
collum femur. Perbedaan sifat berbagai tingkatan yang terlihat pada foto x-ray berhubungan
dengan derajat pergeseran dari fragmen-fragmennya; seperti pergeseran terutama disebabkan
oleh karena rotasi lateral dari fragmen distal.
Kemiringan garis fracture pada fracturesubcapital dibagi menjadi:
1. Garis fracture dimulai dari superior cervcio-capital jucntion
2. Garis fracture meluas secara oblik melewati collum pada korteks inferior
3. Ujung lancip dari collum femur menempel pada fragmen proximal.
Kadang-kadang jatuhnya trochanter menyebabkan impaksi fracturesubcapital; dengan demikian,
mekanisme ini biasanya menghasilkan fracture trochanter.
Pengaruh Rotasi Lateral Ekstremitas pada FractureSubcapital
1. Ekstremitas berotasi ke arah lateral
2. Pelvis berotasi ke arah yang berlawanan
3. Tension force terjadi pada bagian anterior collum femur dimana
4. Compression force terjadi bagian posterior collum femur
5. Fracture inkompleta terjadi disepanjang axis panjang collum femur
6. Fragmen kapital di dalam valgus yang kecil
Jikaforce atau tekanan berlanjut:
1. Fractureakan menjadi kompleta
2. Fragmen kapital berada pada posisi normal dengan fragmen distal

3. Collum posterior tidak comminutif


4. Retinaculum posterior (Retinaculum of Westbrecht) masih utuh
Exorotasi yang lebih jauh lagi pada ekstremitasakan menyebabkan:
1. Caput femur berotasi ke arah medial dan pada posisi abduksi
2. Ekstremitas berotasi ke arah lateral
3. Garis fracture terbuka pada sisi anterior
4. Korteks posterior terkompresi pada garis fracture tapi tidak kolaps
5. Retinaculum posterior masih utuh dan fragmen-fragmen tidak terpisah
Dengan exorotasi yang lebih jauh lagi pada ekstremitas dan complete displacement dan
detachment pada fragmen, akan terjadi:
1. Ekstremitas pada exorotasi yang maksimal
2. Fragmen distal bergeser ke atas karena kontraksi otot
3. Caput kembali ke posisi normal pada asetabulum dan dengan asumsi posisi varus
berhubungan dengan collum
4. Fragmen anterior terletak di anterior dari caput
5. Kolaps kompleta dari korteks posterior yang terpisah oleh fragmen trigangular mayor
dari korteks posterior berdekatan dengan caput
6. Retinaculum posterior hancur, membuat detachmen komplit pada fragmen-fragmen.
6.1.2 Patologi dari FractureSubcapital
Pada fracturesubcapital, nasib dari caput femur tergantung dari besar dan luasnya sirkulasi yang
terganggu. Derajat dari displacement fragmen-fragmen menandakan beratnya gangguan yang
terjadi. Pada undisplaced fracture dapat diasumsikan bahwa sirkulasi masih baik; pada displaced
fracture yang parsial, pembuluh darah retinakular postero-lateral terlindungi pada kebanyakan
kasus, tetapi pada displaced fracture total, pembuluh darah ini ruptur dan tergantung dari
adekuatnya pembuluh darah foveal, iskemik dari caput femoris dapat terjadi pada berbagai
tingkat.
Kejadian pada x-ray sangat tidak nyata untuk menentukan keberadaan nekrosis avaskular pada
caput sampai terdapat redisplacement dari fracture diikuti oleh fiksasi. Pemeriksaan histologis

memperlihatkan nekrosis parsial atau total dari caput femur yang terjadi pada kira-kira 2/3 dari
displaced fracture.
Walaupun letak valgus terhadap caput memastikan stabilitas dari fracturesubcapital, valgus yang
ekstrim (lebih dari 180o) menyebabkan torsi dan obliterasi dari pembuluh darah foveal sehingga
hancur, atau pada displaced fracture, yang hanya merupakan suplai pembuluh darah yang tersisa
untuk caput femur. Rotasi dari caput femur dalam berbagai bentuk (vertikal, coronal atau sagital)
mempunyai pengaruh yang sama terhadap pembuluh darah fovea. Revaskularisasi caput pada
displaced fracture tergantung dari patensi pembuluh darah fovea (bila terjadi) dan biasanya pada
beberapa pembuluh darah metafisis inferior yang akan terbagi. Kontribusi dimana collum femur
membuat revaskularisasi pada caput tidaklah berarti.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi sirkulasi dari caput femur:
1. Manuver manipulasi yang tidak baik dan terlalu kuat dapat memutuskan sisa pembuluh
darah yang masih utuh.
2. Penundaan yang terlalu lama sebelum dilakukan reduksi dapat mengakibatkan trombosis
atau pembuluh darah yang kusut atau membuat nondisplacefracture atau partially
displaced fracture menjadi fully displaced fracture. Displaced fracture yang ditangani
pada 24 jam pertama mempunyai insidensi yang lebih tinggi untuk terjadinya union
daripada fracture yang ditangani setelah 48 jam. Bila memungkinkan, fracture harus
direduksi dan difiksasi dalam 12 jam awal setelah luka.
3. Pembuluh darah fovea mungkin terluka oleh alat-alat operatif (nails, pins, and screw)
menembus fovea capitis.
Nekrosis avaskular tidaklah mencegah terjadinya bony union, menjadikan fracture menjadi
adekuat untuk direduksi dan distabilisasi menggunakan rigid fixation. Pada displaced fracture,
nekrosis iskemik total mungkin terjadi bila pembuluh darah foveal tidak mampu memberikan
revaskularisasi pada kepala. Akan tetapi dengan reduksi dan fiksasi yang adekuat, reduksi dan
fiksasi tulang dapat terjadi; tetapi revaskularisasi berlawanan dengan garis fracture dari collum
sangat lambat dan sering datang sebelum revaskularisasi sempurna dari caput terjadi. Kolaps
segmental lanjut terjadi kira-kira 1 dari 3 kasus dan disebabkan oleh kolaps dari trabekula yang
nekrosis pada penahan beban caput femur; hal ini tidak akan terjadi selama 2 sampai 3 tahun
setelah luka tetapi dapat juga terjadi lebih awal.
Nonunion jelas meningkatkan insidensi nekrosis avaskular; terjadi pada kira-kira 60% dari kasus
non-union.Insidensi nonunion dan nekrosis iskemik langsung dihubungkan dengan beratnya
displacement, dan faktor yang paling dominan adalah gangguan suplai pembuluh darah ke caput
femur.
Meskipun pada beberapa kasus, nekrosis iskemik tidak akan menjadi jelas dan nyata dengan xray selama 2 sampai 3 tahun, kehadiran x-ray akan dapat sering dideteksi lama sebelum periode
ini dengan melihat flattening dari caput femur.

4.6.2 FractureTranscervical
Fracture trans-servikal, menurut definisi, bersifat intracapsular. Fracture ini penyembuhannya
kurang baik karena:
1. Dengan robeknya pembuluh darah intrakapsul, cedera itu melenyapkan persediaan darah
utama pada caput
2. Tulang intra-articular hanya mempunyai periosteum yang tipis dan tidak ada kontak
dengan jaringan lunak yang dapat membantu pembentukan kalus
3. Cairan sinovial mencegah pembekuan hematoma akibat fracture itu. Karena itu ketepatan
aposisi dan impaksi fragmen tulang menjadi lebih penting dari biasanya. Terdapat bukti
bahwa aspirasi hemartrosis dapat meningkatkan aliran darah dalam caput femoris dengan
mengurangi tamponade.
4.7 Manifestasi Klinis
Biasanya terdapat riwayat jatuh, yang diikuti nyeri panggul.Tungkai pasien terletak pada rotasi
lateral, dan kaki tampak pendek.Tetapi hati-hati, tidak semua fracturepanggul demikian
jelas.Pada fracture yang terimpaksi pasien mungkin masih dapat berjalan; dan pasien yang sangat
lemah atau cacat mental mungkin tidak mengeluh sekalipun mengalami fracture bilateral.
Selain itu juga pasien biasanya berusia lanjut dengan riwayat jatuh dan ketidakmampuan untuk
berjalan.Pada inspeksi, gambaran luka terletak pada posisi exorotasi dan ada pemendekan dari
kaki.Perlekatan kapsul ke fragmen distal mencegah exorotasi yang berlebihan pada kaki.Pada
palpasi, terdapat nyeri tekan di sekitar otot panggul bagian anterior dan lateral.Trochanter mayor
terevelasi pada tempat luka. Semua pergerakan menyebabkan nyeri kecuali pada kasus yang
sangat jarang dari fracture impaksi.
Pada pemeriksaan foto X-Ray, dua pertanyaan harus terjawab: apakah terdapat fracture dan
apakah mengalami pergeseran. Biasanya patahan itu jelas, tetapi fracture yang terimpaksi dapat
terlewatkan bila tidak hati-hati. Pergeseran dinilai melalui bentuk bayangan tulang yang
abnormal dan tingkat ketidakcocokan garis trabekular pada caput femoris dan ujung Collum
femur.
Penilaian ini penting karena fracture yang terimpaksi atau tak bergeser (stadium I dan II Garden)
dapat membaik setelah fiksasi internal, sementara fracture yang displaced sering mengalami
non-union dan nekrosis avaskular.
4.8 Diagnosis
Terdapat 3 situasi dimana fracturecollum femur dapat terlewatkan, kadang-kadang dengan akibat
yang menakutkan:

1. Fracture-tekanan. Pasien orang lanjut usia dengan nyeri panggul yang tidak diketahui
mungkin mengalami fracture-tekanan; pemeriksaan sinar-X hasilnya normal tetapi scan
tulang akan memperlihatkan hot area.
2. Fracture yang terimpaksi. Garis fracture tidak terlihat, tetapi bentuk caput dan Collum
femoris berubah; selalu bandingkan kedua sisi.
3. Fracture yang tidak nyeri. Pasien yang berada di tempat tidur dapat mengalami silent
fracture.
4.8.1 Anamnesis
Menegakkan diagnosis pada seorang atlet yang mengalami nyeri di daerah panggul dan inguinal
dimulai dengan anamnesis lengkap dan pemeriksaan fisik.Anamnesis dasar harus ditanyakan
seperti keluhan akhir-akhir ini dan deskripsi lengkap dari keluhan tersebut.Seorang ahli harus
menanyakan pasien apakah gejala-gejala tersebut berhubungan dengan olahraga tertentu ataukah
pada aktivitas tertentu.Anamnesis aktivitas secara komprehensif haruslah dilakukan, seperti
perubahan aktivitas, peralatan yang digunakan, intensitas, dan teknik yang dilakukan haruslah
dicatat.Beberapa hal penting yang perlu ditanyakan, antara lain:
1. Anamnesis mengenai riwayat menstruasi harus dilakukan juga pada semua pasien wanita.
Amenorrhea sering berhubungan dengan penurunan level serum esterogen. Kurangnya
perlindungan esterogen dapat mencetus penurunan massa tulang. Trias seorang atlet wanita, yaitu
amenorrhea, osteoporosis, dan gangguan makanan mempengaruhi beberapa wanita aktif. Tanda
dan gejala dari trias tersebut meliputi rasa lemah, anemia, depresi, flu like syndrome, lanugo,
erosi
enamel
gigi,
penggunaan
laksatif.
2. Kebiasaan makan yang buruk dapat menimbulkan gangguan sistem endokrin, kardiovaskular,
dan gastrointestinal dan dapat menyebabkan kehilangan massa tulang yang irreversibel. Seorang
ahli harus waspada akan timbulnya stress fracture dan cepat mengetahui tanda-tanda trias wanita,
khususnya
mencatat
fracture
jarang
terjadi
karena
trauma
yang
minimal.
3. Kebanyakan seorang atlet mengatakan bahwa onset nyeri yang sangat terjadi selama 2-3
minggu, dimana berhubungan dengan perubahan segera pada aktivitas dan peralatan yang
digunakan. Secara khusus, seorang pelari (runners) selalu menambah jarak dan intensitas lari
mereka, mengubah medan yang ditempuh, atau mengganti sepatu lari mereka. Disini, seorang
ahli tentunya harus menanyakan tentang catatan latihan dan seberapa jauh jarak lari seorang atlet
dengan
lengkap.
4. Ciri khas dari semua stress fracture seperti:

Partisipasi pada aktivitas repetitive cyclic

Onset nyeri yang tiba-tiba

Perubahan aktivitas dan perlatan saat ini

Pernah trauma

Nyeri dengan beban berat

Nyeri hilang sewaktu istirahat

Menstruasi yang tidak teratur

Presdisposisi osteopenia

5. Pasien biasanya melaporkan riwayat nyeri yang bertambah ataupun akut pada panggul
depan,inguinal, atau lutut yang bertambah berat bila beraktivitas. Ciri khas yang tampak pada
stress fracture adalah riwayat latihan yang berhubungan dengan lokasi nyeri yang bertambah
dengan aktivitas dan berkurang bila beristirahat atau dengan aktivitas yang tidak memerlukan
beban berat. Nyeri biasanya bertambah buruk dengan latihan yang terus-menerus. Nyeri dapat
dicetuskan dengan aktivitas yang diulang-ulang, dan reda bila beristirahat.
6. Pemeriksa harus menanyakan apakah gejala-gejala tersebut pernah terjadi di masa lalu, dan
bila pernah, apakah pasien pernah berusaha menggunakan es atau penghangat atau obat-obat
tertentu (seperti asetaminofen, aspirin, NSAID). Pertanyaan yang harus ditanyakan adalah
keikutsertaan pasien pada program terapi fisik sebelumnya, dan seorang ahli juga harus mengerti
mengapa pada masa lalu itu dipilih penatalaksanaan yang seperti itu.
4.8.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik yang komprehensif dari seorang atlet dengan nyeri panggul dan inguinal harus
dilakukan dengan cermat dan harus juga dievaluasi sistem neurologi dan muskuloskeletalnya.
Gabungan penemuan bermakna dari anamnesis dan pemeriksaan fisik haruslah dapat dijadikan
patokan dan pegangan untuk proses evaluasi lebih lanjut. Derajat dan tipe fracture biasanya
menentukan derajat klinis dari deformitas yang terjadi.
Inspeksi
Pemeriksaan dimulai dengan observasi pasien.Wajah yang menyeringai menahan sakit atau gaja
berjalan seorang pasien tentunya membuat pola tertentu. Pasien dengan displacedfracturecollum
femur biasanya tidak dapat berdiri atau biasanya dibawa dengan tempat tidur. Perhatikan pucak
iliaca apakah ada perbedaan tinggi antara kiri dan kanan, sehingga dapat ditentukan apakah
tinggi dan fungsi dari kaki kiri dan kanan berbeda.Alignment dan panjang dari ekstremitas
biasanya normal; Namun, gejala klasik pasien dengan displacedfracture adalah ekstremitas yang
memendek dan dari luar tampak terputar.Pemeriksaan setiap otot yang atrofi ataupun tidak
simetris juga merupakan suatu hal yang penting.
Palpasi
Menentukan setiap titik nyeri tekan di regio panggul dan inguinal bagian depan. Tanda fisik yang
paling sering ditemukan pada stress fracture pada umumnya adalah nyeri tekan tulang setempat;
Namun, biasanya collum femur letaknya dalam dan nyeri tulang atau nyeri tekan biasanya tidak
ditemukan.Palpasi pada trochanter dengan nyeri tekan biasanya mengindikasikan bursitis pada
trochanter.

Range of Motion
Menentukan range of motion dari panggul dengan memflexi, extensi, abduksi, adduksi,
endorotasi serta eksternal dan flexi dan extensi dari lutut.Penemuannya seperti nyeri dan
keterbatasan gerak pasif pada panggul. Melakukan passive straight-leg raise, Thomas, dan
rectus femoris stretch test. Memeriksa iliotibial band dengan tes Ober.Sebagai tambahan
pemeriksaan untuk range of motion pada panggul, dapat dilakukan pemeriksaan tulang belakang
(spine) dan sendi pada extremitas inferior lainnya karena pola nyeri alih dapat membingungkan.
Pemeriksaan kedua low back,baik aktif maupun pasif, dengan melihat flexi ke depan, side
bending, dan extensi. Lakukan juga straight-leg raise test dan Tes Laseque dan Bragard sign.
Pasien dengan nyeri di regio femoralis anterior dan lutut bisa mempunyai patologi di sendi
panggulnya.Nyeri yang dihasilkan pada pasien dengan endorotasi, exorotasi, atau manuver
provokasi lainnya dapat menyingkirkan patologi panggul akibat gangguan tulang belakang
(spine).
Tabel 4.1 Range of Motion pada Sendi Panggul
Gerakan

ROM

Flexi

120o

Extensi

30o

Abduksi

45 50o

Adduksi

20 30o

Endorotasi

35 45o

Exorotasi

35 45o

Tes Passive Straight Leg Raise

Tujuan : memeriksa low back pain akibat herniasi diskus

Langkah-langkah pemeriksaan:

o Pasien berbaring supine, kedua tungkai dalam posisi lurus.


o Pemeriksa meletakkan salah satu tangan di bawah lutut dan tangan lainnya untuk
mengangkat tungkai hingga pasien merasakan nyeri.
Tes Thomas

Tujuan : memeriksa hip flexion contracture

Langkah-langkah pemeriksaan:
o Pasien berbaring dalam posisi supine, menekuk salah satu tungkai ke arah dada
dan tungkai lainnya tetap dalam keadaan extensi.
o Hasil tes positif jika pasien tidak dapat mempertahankan tungkai dalam posisi
tersebut.

Tes Ober

Tujuan : memeriksa kontraktur pada iliotibial band

Langkah-langkah pemeriksaan:
o Pasien berbaring miring ke arah tungkai yang sehat sehingga tungkai sehat berada
di bawah dalam keadaan ditekuk dan tungkai yang bermasalah di bagian atas
dalam keadaan lurus.
o Pemeriksa meletakkan tangan di krista iliaka superior untuk stabilisasi, kemudian
angkat kaki yang atas, lakukan extensi, dan arahkan ke bagian belakang kaki
sehat. Lihat apakah kaki tersebut bisa beradduksi ke bawah dan belakang meja
periksa.
o Hasil test positif jika pasien tidak dapat adduksi melewati meja periksa.

Muscle Strength (Kekuatan Otot)


Penentuan kekuatan otot secara manual sangatlah penting untuk dilakukan apakah terdapat
kelemahan ataukah lokasi kelemahan itu berhubungan dengan cedera saraf.Sebagai tambahan,
pengevaluasian stabilitas dinamis dari pelvis, termasuk otot-otot fleksor, ekstensor, dan abduktor
panggul.Gaya berjalan Trendelenburg menandakan kelemahan abduksi dari panggul.Tes flexi
panggung (L2, L3), extensi (L5, S1, S2), abduksi (L4, L5, S1), dan adduksi (L3, L4).
Pemeriksaan Sensoris

Selama dilakukan pemeriksaan sensoris, penurunan atau hilangnya sensibilitas dapat


mengindikasikan atau menyingkirkan kerusakan saraf yang spesifik.Refleks otot-otot sangat
membantu untuk mengevaluasi pasien dengan nyeri panggul.Refleks yang abnormal
menandakan abnormalitas fleksus saraf.Refleks yang asimetris adalah hal yang sangat signifikan,
sehingga, refleks dari pasien harus dibandingkan antara kiri dan kanan.
Hop Test (Tes Lompat)
Sekitar 70% pasien dengan stress fracture pada femur mempunyai hasil yang positif pada Hop
Test. Pada Hop test, pasien melompat pada sisi kaki yang terkena untuk menimbulkan gejala.
Manuver lain yang dapat menyebabkan stress pada femur juga dapat merangsang timbulnya rasa
nyeri.
4.8.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium biasanya tidak begitu diperlukan untuk mendiagnosis fracturecollum
femur.Pemeriksaan ini dilakukan lebih untuk menilai kondisi pasien secara sistemik.
Pemeriksaan Radiologi
Foto X-Ray
Foto polos biasa merupakan foto yang sering digunakan sebagai tindakan awal pada fracture
panggul karena ini merupakan alat yang universal dan terdapat dimana-mana. Tujuan utama
pembuatan foto X-Ray adalah untuk menyingkirkan fracture dan mengindentifikasi letak dan
luasnya fracture.
Foto polos mempunyai sensitivitas yang rendah. Adanya formasi tulang periosteal, sklerosis,
kalus, atau garis fracture memberi petunjuk terjadinya stress fracture; walaupun demikian,
pemeriksaan radiologi foto polos dapat memberikan gambaran normal pada pasien dengan
fracturecollum femur, dan perubahan radiografi tidak akan pernah berubah.
Tension fracture harus dibedakan dari compression fracture, dimana menurut Devas (1965) dan
Fullerton dan Snowdy (1988), biasanya terletak pada aspek inferior collum femur.Pemeriksaan
radiografi dapat menunjukkan garis fracture pada aspek superior dari collum femur, yang
merupakan lokasi terjadinya tension fracture.
Pemeriksaan radiologi standar pada panggul meliputi foto AP (Antero-Posterior) dari panggul
dan pelvis dan Foto Lateral. Posisi frog-leg lateral tidak dianjurkan karena dapat mengakibatkan
displacedfracture. Bila fracturecollum femur dicurigai, foto endorotasi dari panggul dapat
membantu mengindentifikasi fracture yang non-displaced atau fracture impaksi. Bila dicurigai
adanya fracture panggul tetapi tidak terlihat pada pemeriksaan X-ray standar, scanning tulang
atau MRI harus dilakukan.

Kadang-kadang, foto polos ini mempunyai kekurangan. Spiral fracture sangat sulit dilihat dari 1
sudut saja. Comminutif juga tidak mudah diidentifikasi seperti pada CT-Scan. Beberapa stress
fracture adalah fracture simple dan tidak terlihat pada foto polos. Dengan demikian, foto polos
tidak selalu dapat mendeteksi fracturecollum femur tetapi diperlukan pemeriksaan radiologi lain
yang dapat menunjang diagnosis dari fracture ini.
Pada foto X-ray mungkin didapatkan hasil positif palsu atau negative palsu.Beberapa
fracturecollum femur tidak terlihat pada foto polos yang diambil selama evaluasi awal. Bila
kecurigaan klinis kuat, kasus ini dapat di evaluasi lebih lanjut dengan MRI, yang dapat
menunjukkan edema sumsum tulang, atau nuclear medicine bone scanning, yang dapat
memperlihatkan peningkatan tracer uptake. Pemeriksaan nuclear medicine bone scanning ini
harganya lebih mahal dari pemeriksaan MRI dan sangat sensitif. Pencitraan ini dilakukan pada
48-72 jam setelah trauma, dimana sensitivitasnya dibawah MRI.

Gambar 4.14 Foto X-Ray FractureCollum Femur


FractureSubcapital, Garden IV

Bone Scan (Scanning Tulang)


Scanning tulang dapat membantu pada stress fracture, tumor atau infeksi.Scanning tulang
merupakan indikator yang sangat sensitif pada bone stress, tetapi mempunyai spesifisitas yang
rendah.

Pada masa lalu, scanning dinyatakan tidak merupakan indikasi sebelum 48-72 jam setelah
fracture; tetapi pada penelitian tahun 1990 oleh Holder et al, scanning ini mempunyai sensitivitas
sebesar 93%, tanpa peduli kapanpun kejadiannya.

Gambar 4.15 Bone Scan FractureCollum Femur Sinistra

CT-Scan
CT-Scan berperan penting dalam mengevaluasi panggul setelah terjadi fracture.CT sangat baik
dan berguna untuk abnormalitas tulang itu sendiri.Karena resolusinya yang baik, dapat berbagai
potongan, dan kemampuannya untuk dilihat dalam posisi coronal dan sagital, CT-Scan berguna
untuk mendeteksi fracturecomminution preoperatif dan mendeteksi seberapa jauh terjadinya
penyatuan union pada post operatif.
Scanning tulang dapat membantu pada stress fracture, tumor atau infeksi.Scanning tulang
merupakan indikator yang sangat sensitif pada bone stress, tetapi mempunyai spesifisitas yang
rendah.Pada masa lalu, scanning dinyatakan tidak merupakan indikasi sebelum 48-72 jam setelah
fracture; tetapi pada penelitian tahun 1990 oleh Holder et al, scanning ini mempunyai sensitivitas
CT-Scan sangat sering digunakan untuk mengevaluasi bone injury. Walaupun demikian, fracture
aksial pada foto polos juga kadang-kadang tidak terlihat dengan CT-Scan.Potensial ini berkurang
dengan adanya foto polos orthogonal dan CT-Scan multidetektor yang baru.

Gambar 4.16 CT ScanFracture Collum Femur Sinistra

MRI (Magnetic Resonance Imaging)


MRI telah menunjukkan keakurasian pada kejadian fracture yang segera dan wajar dilakukan
dalam waktu 24 jam setelah kejadian; walaupun harganya mahal.MRI memiliki sifat sensitif dan
spesifik pada pendeteksian fracturecollum femur, karena dapat menunjukkan garis fracture
dengan jelas dan adanya edema pada sumsum tulang. Kontras Superior dari MRI dengan pulse
yang teratur biasanya digunakan, resolusi spasial intrinsik, dan kemampuan dalam membuat
berbagai potongan (coronal, axial, dan yang terjarang, sagittal) membuat MRI sebagai alat
penunjang yang sangat baik, khususnya pada stress fracture, yang pada foto polos dapat
memberikan gambaran yang normal.Dengan MRI, stress fracture nampak sebagai fracture yang
berupa garis pada korteks yang dikelilingi oleh daerah yang edema di kavitas medularis.
Pada tahun 1993, penelitian oleh Quinn dan McCarthy, T1-weight MRI menemukan bahwa MRI
mempunyai sensitivitas sebesar 100% pada pasien dengan pemeriksaan radiologi biasa yang
tidak jelas.
Shin et al juga menunjukkan bahwa MRI mempunyai sensitivitas, spesifisitas dan ketepatan
sebesar 100% dalam mengidentifikasi fracturecollum femur.
MRI merupakan alat yang paling sensitif untuk mendeteksi perubahan sumsum tulang yang
berhubungan dengan nekrosis avaskular, walaupun pada pemeriksaan radiologi foto polos dalam
keadaan normal.Oleh karena itu, MRI merupakan alat yang terpilih dan sangat berguna. Bila
terdapat nekrosis avaskular setelah operasi fiksasi dari fracture femur, pasien dapat menggunakan
penggantian dari protesis yang ada. Lebih pentingnya, MRI dapat digunakan untuk mendeteksi
stadium awal nekrosis iskemik pada caput femur, dimana intervensi dapat dimulai sebelum
kerusakan lebih jauh terjadi.Kerusakan ini dapat meliputi kolapsnya caput femur, osteoarthritis
sekunder, atau fragmentasi.

MRI pada saat ini juga sering digunakan untuk mendeteksi adanya fracturecollum femur.
Sumsum tulang normal pada pelvis dan panggul dapat mempunyai gambaran patchy
intermediate-signal-intensity sehubungan dengan sumsum tulang merah yang persisten.Dan juga,
area subchondral dari caput femur dapat kadang-kadang mempunyai lapisan sumsum tulang
merah yang tipis.Variasi normal ini tidak boleh dibingungkan karena fracture.

Gambar 4.17 MRI Fracture Collum Femur Sinistra

Ultrasonografi (USG)
USG tidak memegang peranan penting pada evaluasi rutin fracture panggul. Walaupun demikian,
USG masih digunakan dalam penelitian untuk mengevaluasi derajat distensi pada kapsul sendi
panggul setelah terjadinya fracture dan pada penelitian peningkatan tekanan
intracapsular.Sonogram dapat juga menggambarkan adanya hematoma intracapsular, yang
echogenik, yang dapat dibedakan secara jelas dengan cairan sinovial (anechoic).
Kedokteran Nuklir (Nuclear Medicine)
Hasil: Hampir 80% dari fracture dapat tervisualisasi dalam 24 jam setelah trauma, terlihat
dengan adanya peningkatan diffuse tracer uptake. Setelah 3 hari trauma, 95% dari fractureakan
terlihat, dan sensitivitas fracture maksimal ditemukan pada hari ke-7; pengetahuan ini mungkin
dapat membantu menganalisa kasus. Bila hasil sensitivitasnya tinggi, hal ini dapat digunakan
untuk mendiagnosis kecurigaan akanfracturecollum femur.
Nuclear Medicine dengan menggunakan Technetium-99m methylene diphosphonate (99mTcMDP) juga ditemukan efektif dalam memprediksi komplikasi selama penyembuhan yang
berhubungan dengan fracturecollum femur. Stromqvist et al mendemonstrasikan bahwa bone
scan dengan menggunakan 99mTc-MDP pada panggul dilakukan dalam 2 minggu setelah
dilakukan operasi fiksasi untuk fracturecollum femur mempunyai prognosis yang baik terhadap
fracturedisplaced, nonunion, atau kolapsnya caput femur segmental.

Walaupun sensitif, skintigrafi tulang ini tidak spesifik untuk fracture. Proses lain seperti infeksi,
inflamasi, atau tumor dapat mengambarkan peningkatan uptake. Bagaimanapun juga, secara
klinik, skintigrafi merupakan alat yang bersensitivitas tinggi pada pendeteksian fracture.
4.9 Tata Laksana Non-Medikamentosa
Penatalaksanaan fracturecollum femur harus dimulai secepat mungkin setelah terjadinya trauma.
Cegah semua pergerakan tungkai dan lakukan imobilisasi. Hal ini sangat penting karena apabila
kita mengangkat pasien dalam posisi yang tidak tepat, makadapat mengubah fracture simpel
undisplaced menjadi fracturecomplete dandisplaced.
Segera lakukan foto x-ray dengan posisi antero-posterior (AP) dan lateral. Ketika hal ini
dilakukan, asisten membuat traksi pada tungkai untuk mencegah trauma yang lebih jauh pada sisi
fracture. Hasil x-rayakan dijadikan sebagai patokan atau acuan untuk menentukan kualitas dan
menentukan apa yang akan dilakukan terhadap fracture yang terjadi.Bila memungkinkan,
lakukan reduksi dan fiksasi pada fracture pada 12 jam pertama dan tidak melebihi 24 jam; perlu
diingat bahwa insidensi nonunion akan lebih rendah jika pasien dioperasi dalam 12 jam pertama
daripada yang dioperasi setelah 48 jam.
Terapi operatif lebih disukai dan dipilih pada penangananfracturecollum femur. Tipe sfesifik dari
terapi operatif yang akan digunakan tergantung dari usia pasien dan karakteristik dari fracture,
seperti lokasi, displacedatau nondisplaced, dan derajat comminution.
Pilihan terapi antara internal fixation dan arthroplasty setelah fracturecollum femur harus
berdasarkan atas perfusi dan viabilitas dari caput femoris. Saat ini, hal ini biasanya ditentukan
berdasarkan klasifikasi Garden atau menurut usia pasien.
Venografi, pengukuran tekanan sumsum tulang, skintigrafi dengan radionuklir, dan angiografi
disarakan untuk memprediksi viabilitas dan suplai darah ke caput femur pada fracturecollum
femur.Prosedur ini efektif dan sering digunakan.
Pada pasien usia muda, diperlukan reduksi dari fracturecollum femur secepat mungkin untuk
menurunkan resiko terjadinya nekrosis avaskular. Reduksi anatomik dan fiksasi adalah tujuan
utama dari dilakukannya tindakan operatif. Pasien usia muda biasanya dilakukan dengan reduksi
tertutup atau terbuka, dengan peletakan percutaneus 3 canul paralel dari lag screw.Prosedur ini
dilakukan dalam posisi supine di meja fracture. Canulasi paralel lag screw membuat kompresi
ada lokasi fracture dan mempertahankan reduksi ketika fracture menyembuh.

Gambar 4.18 Tata Laksana Fracture Collum Femur dengan Internal Fixation
Pada pasien lanjut usia dengan klasifikasi fracture Garden I atau II juga dapat dilakukan parallel
cannulated screw fixation, walaupun hal ini biasanya dilakukan secara in situ. Hemiarthroplasty
merupakan prosedur yang dipilih pada pasien usia lanjut dengan displacedfracturecollum femur.
Level aktivitas pasien sebelumnya juga sangat penting dalam menentukan tipe hemiarthroplasty
yang akan dilakukan.
Independent ambulator berguna pada cemented hemiarthroplasty, karena nyeri setelah operasi
dan hilangnya komponen sangat minimal pada pendekatan ini. Hemiarthroplasty merupakan
pendekatan yang paling sering dilakukan pada pasien dengan posisi lateral dekubitus.Setelah
insisi dibuat dan terlihat otot, caput femorus diekstrasi dan collum femur dipotong untuk
penempatan protesisnya.

Ada berbagai macam prostetik yang dapat digunakan, dari alat yang unipolar (Austin-Moore
Protesis) sampai bipolar. Kebanyakan dari protesis ini disemen; walupun demikian, pada pasien
lanjut usia, yang biasanya mempunyai penyakit kardiopulmonal, penekanan yang berlebihan dari
semen haruslah dihindari untuk mencegah komplikasi metabolik dan mekanik lebih
lanjut.Gambar 4.19 menunjukkan foto x-ray dari fracture collum femur displaced yang ditangani
dengan pemasangan protesis.

Gambar 4.19 Tata Laksana Fracture Collum Femur dengan Protesis


Weight bearing setelah operasi untuk pasien semua umur tergantung pada tipe fracture,
permintaan pasiennya sendiri, dan pilihan ahli bedahnya. Pada umumnya, pasien yang
menjalanin reduksi dan fiksasi dengan cannulated lag screw biasanya dibatasi dalam menjalani
weight-bearing setelah prosedur tersebut. Bedanya, pasien yang menjalani hemiarthroplasty
diperbolehkan melakukan weight-bearing; tentunya dengan pembatasan posisi tertentu untuk
mencegah timbulnya dislokasi sendi panggul.
Fracture yang bergeser tidak akan menyatu tanpa fiksasi internal, dan bagaimanapun juga manula
harus bangun dan aktif tanpa ditunda lagi kalau ingin mencegah komplikasi paru-paru dan ulkus
dekubitus. Fracture yang terimpaksi dapat dibiarkan menyatu, tetapi selalu terdapat risiko

pergeseran pada fracture-fracture itu, sekalipun berada di tempat tidur; jadi fiksasi akan lebih
aman.
Bagaimana bila operasi dianggap berbahaya? Berada ditempat tidur dengan traksi mungkin lebih
berbahaya, dan membiarkan fracture tanpa diterapi akan terlalu nyeri; pasien yang paling tidak
cocok untuk operasi kadang-kadang justru sangat membutuhkan operasi.
Prinsip terapi adalah reduksi yang tepat, fiksasi secara erat dan aktivitas dini.Bila pasien dibawah
anestesi, panggul dan lutut diflexikan dan paha yang mengalami fracture ditarik keatas,
kemudian dirotasikan secara internal, lalu diektensikan; akhirnya diikatkan pada
footpiece.Pengawasan dengan sinar-X (sebaiknya dengan penguat) digunakan untuk memastikan
reduksi pada foto antero-posterior dan lateral.
Diperlukan reposisi yang tepat pada fracture stadium III dan IV; fiksasi pada fracture yang
tereduksi hanya mengandung kegagalan. Bila fracture stadium III dan IV tidak dapat direduksi
secara tertutup, dan pasien berumur dibawah 60 tahun, dianjurkan untuk melakukan reduksi
terbuka melalui pendekatan anterolateral. Tetapi pada pasien usia diatas 70 tahun cara ini jarang
diperbolehkan, kalau dua usaha yang cermat untuk melakukan reduksi tertutup gagal, lebih baik
dilakukan penggantian prostetik.
Sekali direduksi, fracture dipertahankan dengan pen atau canulated screw atau kadang-kadang
dengan screw kompresi geser (screwpanggul yang dinamis) yang ditempelkan pada corpus
femur. Insisi lateral digunakan untuk membuka femur bagian atas. Wire pemandu, yang
disiapkan dibawah kendali fluoroskopik, digunakan untuk memastikan bahwa penempatan alat
pengikat tepat. Dua screw berkanula sudah mencukupi; keduanya harus terletak sejajar dan
memanjang sampai plate tulang subkondral; pada foto lateral keduanya berada ditengah-tengah
pada caput dan Collum, tetapi pada foto anteroposterior screw distal terletak pada korteks
inferior Collum femur.
Sejak hari pertama pasien harus duduk di tempat tidur atau kursi.Dia dilatih untuk melakukan
latihan pernapasan, dianjurkan berusaha berdiri sendiri dan mulai berjalan (dengan alat
penopang) secepat mungkin.Secara teoritis, idealnya adalah menunda penahanan beban, tetapi
ini jarang dapat dipraktekan.
Penggantian Prostetik
Beberapa ahli menyampaikan bahwa prognosis untuk fracture stadium III dan IV tidak dapat
diramalkan sehingga penggantian prostetik selalu lebih baik. Pandangan ini meremehkan
morbiditas yang menyertai penggantian. Karena itu, kebijaksanaan kita adalah mencoba reduksi
dan fiksasi pada semua pasien yang berumur di bawah 75 tahun dan mempersiapkan penggantian
atau replacement bagi pasien-pasien berikut ini:
1. Pasien yang sangat tua dan sangat lemah

2. Pasien yang gagal menjalani reduksi tertutup. Penggantian yang paling rendah resiko
traumanya adalah prostesis femur atau prostesis bipolar tanpa semen yang dimasukkan
dengan pendektatan posterior.
Total hip replacement mungkin lebih baik pada pasien dengan:
a.

Terapi telah tertunda selama beberapa minggu dan dicurigai ada kerusakan acetabulum

b.

Pada pasien dengan penyakit metastatik atau penyakit Paget

Total Hip Replacement (THR)


Total Hip Replacement adalah prosedur operasi dimana tulang dan kartilago persendian panggul
yang rusak diganti dengan sendi artifisal.Sendi artifisial ini disebut sebagai prostesis dan
difiksasi dengan semen tulang yang dikenal sebagai methylmethacrilate. Jenis prostesis yang lain
tidak memerlukan semen tapi memiliki pori-pori mikroskopis yang memungkinkan pertumbuhan
tulang normal ke dalam prostesis.Gambar 4.20 menunjukkan bagian-bagian prosthesis yang
digunakan.

Gambar 4.20 Total Hip Replacement (THR)

Hip Implant (Prostesis)

Gambar 4.21 Hip Implant


Desain Implan
Sendi panggul disebut sebagai juga sebagai sendi ball and socket karena caput femoris yang
berbentuk sferis bergerak di dalam rongga berbentuk mangkok yaitu acetabulum. Untuk meniru
gerakan ini implan yang digunakan dalam THR memiliki tiga bagian, yaitu corpus atau stem
yang akan dimasukkan ke dalam femur untuk memberikan stabilitas, head implant yang akan
menggantikan caput femoris, dan cup implant yang akan menggantikan permukaan acetabulum.
Konstruksi Implan
Bagian corpus implan terbuat dari titanium atau campuran cobalt/chromium. Bagian head terbuat
dari keramik atau campuran cobalt/chromium yang dibuat selicin mungkin untuk memudahkan
pergerakan dalam rongga cup implant.Cup implant sendiri terbuat dari logam, ultrahigh
molecular weigth polyethylene, atau gabungan logam dan polyethylene.
Pemasangan Implan
Terdapat tiga cara pemasangan implan yang biasa digunakan dalam prosedurTotal Hip
Replacement, yaitu:
1.

Cemented Hip Implant

Dengan cara ini implan yang sudah terpasang difiksasi dengan menggunakan semen tulang yang
disebut methylmethacrilate. Cara ini direkomendasikan bagi mereka yang berusia diatas 60
tahun, dan bagi pasien usiamuda dengan kualitas dan densitas tulang yang kurang baik. Gambar
4.22 menunjukkan cemented hip impant.

Gambar 4.22 Cemented HipImplant

2.

Porous Hip Implant

Cara ini dirancang agar implan dapat langsung terpasang pada tulang tanpa perlu menggunakan
semen. Implan yang digunakan dengan cara ini memiliki topografi permukaan yang kondusif
bagi pertumbuhan tulang baru. Permukaan implan dibuat dengan tekstur khusus sehingga tulang
yang baru tumbuh ke dalam permukaan implan.Karena implan jenis ini mengandalakan
pembentukan tulang baru untuk stabilitasnya, maka memerlukan waktu penyembuhan yang lebih
lama.Cara ini direkomendasikan untuk mereka yang berusia di bawah 50 tahun, bagi pasien yang
aktif, dan bagi pasien dengan kualitas tulang yang baik.

Gambar 4.23 Porous Hip Implant

3.

Hybrid Hip Implant

Cara ini merupakan gabungan dari cemented hip implant dan porous hip implant. Bagian cup
biasanya dipasang tanpa semen sedangkan bagian corpus dipasang dengan semen.

Prosedur Operasi
Terdapat tiga prosedur operasi THR, yaitu Traditional hip replacement surgery, minimally
invasive hip replacement surgery, dan computed assisted hip replacement surgery.

1.

Traditional Hip-replacement Surgery

Berikut adalah langkah-langkah operasi pada THR:

Pasien di anestesi, setelah itu dilakukan asepsis antisepsis.

Dibuat insisi sengan ukuran yang sesuai di atas sendi panggul.

Kaki pasien digerak-gerakkan sehingga caput femoris mengalami dislokasi. Sebuah


reamer khusus kemudian digunakan untuk mengangkat kartilago dan tulang di
permukaan acetabulum serta membentuk mangkok sehingga pas dengan bentuk implan
yang akan dipasang.

Bagian cup implant dilekatkan di tempatnya menggunakan semen atau deangn penekanan
ke dalam permukaan acetabulum. Setelah bagian cup implant terpasang dilakukan
pemasangan lapisan plastik untuk melapisi permukaan dalamnya.

Sebuah gergaji khusus kemudian digunakan untuk memotong caput femoris. Dengan
instrumen khusus, bagian tengah tulang femur dikuretase dan dibentuk sehingga
membentuk kanal yang pas dengan bentuk corpus implan.

Setelah kanal femur terbentuk, bagian corpus dan head implant dipasang. Jika digunakan
semen, maka semen di injeksikan terlebih dahulu. Jika tidak digunakan semen, maka
implan dimasukkan begitu saja ke dalam kanal.

Setelah semua implan terpasang, head implant diletakkan di dalam cup implant.
Ligamen-ligamen disesuaikan untuk mendapatkan fungsi panggul yang maksimal.
Kemudian lapis demi lapis jaringan dikembalikan di tempatnya semula. Pemasangan
drain dilakukan untuk memungkinkan pengaliran cairan selama beberapa jam setelah
operasi. Sesudah semua lapisan dijahit dan drain dipasang, panggul ditutup dengan
perban elastis.

Gambar 4.24 Post Operasi THR


2.

Minimally Invasive Hip Replacement Surgery

Yang dimaksud dengan Minimally-Invasive Hip Replacement Surgery adalah operasi THR
dengan insisi yang lebih kecil dibanding operasi tradisional. Pada operasi ini digunakan jenis
implan yang sama dengan operasi tradisional, hanya saja operator memerlukan instrumen khusus
supaya implan dapat terpasang dengan baik.
Ada dua metode yang dapat dipakai.Metode yang pertama menggunakan insisi tunggal selebar 3
hingga 6 inci dan dengan prosedur operasi yang mirip dengan operasi tradisional. Metode yang
kedua menggunakan insisi selebar 2 hingga 3 inci di atas inguinal untuk memasukkan cup
implan, dan insisi selebar 1 hingga 2 inci di atas pantat untuk memasukkan stem dan
headimplant.Keuntungan dari minimally-invasive hip replacement surgery adalah:

Jumlah anestesi yang dibutuhkan lebih sedikit

Kurangnya nyeri yang diakibatkan oleh insisi dan bekas luka

Kurangnya kerusakan otot akibat insisi yang lebar

Kurangnya kehilangan darah

Lama perawatan di rumah sakit lebih pendek

Pasien lebih cepat kembali ke aktivitas normal

Tabel 4.2 Perbandingan Traditional vs. Minimally Invasive


Traditional Hip Replacement Surgery

Minimally Invasive Hip Repl

Panjang Insisi

8 10 inches

3 4 inches

Lama Operasi

83 menit

50 menit

Lama Dirawat

5 7 hari

3 4 hari

Masa Recovery

12 minggu

3.

Computer Assisted Hip Replacement Surgery

Computer Assisted Hip Replacment Surgerymembantu operator untuk menempatkan implan


setepat mungkin dengan bantuan komputer. Selama operasi berlangsung komputer akan memberi
informasi letak tungkai dan pelvis pasien, letak implan serta instrumen yang digunakan operator.
Prosedur ini memberikan hasil operasi yang relatif lebih baik dibandingkan prosedur operasi
yang lain. Dan dengan adanya visualisasi yang lebih baik berkat bantuan komputer, maka
operator dapat menjalankan prosedur yang kurang invasif dibanding prosedur lain.
Keuntungan dan Kerugian Total Hip Replacement

Keuntungan THR

Keuntungan THR adalah berkurangnya nyeri dan kembalinya fungsi normal sendi. Terapi
operatif akan menghilangkan nyeri yang sudah tidak memberikan respon terhadap terapi nonoperatif. Selain itu, operasi akan mengembalikan stabilitas sendi sehingga memungkinkan
penderita berdiri dan berjalan secara lebih mudah. Dengan THR, deformitas sendi juga diperbaiki
sehingga fungsi sendi dapat diperbaiki.

Kerugian THR

6 ming

Kerugian THR adalah lamanya waktu pemulihan dan mahalnya biaya yang harus
dikeluarkan.Setelah operasi terdapat berbagai latihan yang harus diikuti.Untuk itu diperlukan
komitmen dan kemauan yang keras dari penderita.Selain itu biaya juga harus menjadi
pertimbangan.Besarnya biaya bervariasi tergantung pada jenis pembedahan, terapi dan medikasi
lain, pemeriksaan penunjang yang dilakukan, dan dukungan asuransi.
Komplikasi Total Hip Replacement
Komplikasi THR tersebut dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.
Tabe 4.3 Komplikasi Total Hip Replacement
Komplikasi

Persentase

Dislokasi

2-5 %

Infeksi

1-2 %

Leg Length Discrepancy


Deep Vein Thrombosis (DVT)

4 % (> 2 cm)
3%
1-8 %

Emboli Pulmonal
Angka kematian : 0.3 - 3.4 %
Skiatik dan Femoral Nerve Palsy

1%

Fracture atau penetrasi tulang

1-2 %

Kematian

0.3 %

Revisi dari Hip Replacement

Meskipun THR memberikan hasil yang memuaskan pada sebagian besar pasien, namun seiring
berjalannya waktu sendi artifisial akan menjadi aus. Proses ini berjalan pelan tapi pasti. Sepuluh
tahun setelah THR 90% implan akan berfungsi dengan baik. Setelah 20 tahun persentase
menurun menjadi 80% dan setelah 25 30 tahun hanya 50% implan yang dapat berfungsi.
Pasien yang sendi artifisialnya aus memerlukan hip replacement revision.
Penyebab tersering sendi artifisial menjadi aus adalah aseptic loosening dimana implan menjadi
longgar di dalam tulang.Sebab lainnya adalah osteolisis atau resorbsi tulang, infeksi, patahnya
implan, dislokasi komponen implan, dan patah tulang di sekitar implan.
Pasien yang mengalami hal-hal di atas akan mengeluhkan nyeri di daerah panggul yang
seringkali menjalar ke tungkai. Mereka juga cenderung mengeluhkan rasa sakit yang terasa di
bagian dalam, berlangsung terus-menerus, dan memburuk pada malam hari atau saat hendak
memulai gerakan. Pasien juga akan mengalami penurunan kemampuan fungsional, dan sering
kali juga mengalami pemendekan tungkai satu sisi. Pada pasien-pasien ini, pemeriksaan
radiologis akan membantu menegakkan diagnosis.
Operasi revisi tidaklah mudah dan membutuhkan keterampilan khusus, peralatan khusus serta
fasilitas untuk melakukan bone-grafting. Operasi ini juga akan membutuhkan waktu yang lebih
lama, perawatan yang lebih lama, waktu pemulihan yang lebih lama, dan memberikan resiko
komplikasi yang besar.
Tata LaksanaFracture Abduksi Impaksi dan FractureSubcapitalUndisplaced dan Fracture
Transcervikal
Semua fracture abduksi impaksi harus di fiksasi. Bila deformitas pada valgus parah (lebih dari
180o), impaksi harus dihancurkan kembali dan fragmen-fragmen disusun ulang. Menangani
fractureundisplaced dengan harapan untuk mencegah pergeseran dari fragmen-fragmen. Bila
fracture ini difiksasi dengan adekuat, penyatuan tulang (bony union)akan tercapai 100% pada
setiap kasus. Untuk fracture ini, bisa digunakan three Knowles pins.
Preoperative x-ray dari fracture valgus impaksi
Garis fracture
1. Caput is in slight valgus. (Sudut yang dibuat dari trabekula media caput femur dengan
korteks lateral femur tidak melebihi 180o)
2. Caput terletak di atas collum pada foto lateral
Preoperative x-ray dari FractureUndisplaced (AP view)
1. Trabekula medial dari caput membuat sudut 160o dengan korteks lateral femur
2. Caput terletak di atas collum pada foto lateral

Internal Fixation
1. Letakkan pasien pada meja fracture pada posisi supine
2. Lindungi tungkai yang tidak dipengaruhi dengan foot stirrup dengan abduksi sudut 45o
dan rotasi netral
3. Lindungi kaki yang dipengaruhi dengan foot stirrup dengan abduksi sudut 20o, flexi
netral dan extensi dan patella sedikit diangkat.
Lakukan foto AP dan Lateral untuk menentukkan ada atau tidaknya displacement fragmenfragmen yang terjadi. Bila tidak ada, dapat melanjutkan prosedur selanjutnya.
Memasukkan Guide Pins
1. Buat insisi sepanjang 4 inch pada bagian lateral paha dibawah trochanter mayor dan
ditengah corpus femur.
2. Perdalam insisi sampai ke tulang dan diseksi subperiosteal sampai terlihat dasar dari
trochanter dan ujung atas femur sekitar 3 inch.
3. sampai 1 inch dibawah tepi tulang bagian bawah trochanter mayor dan ditengah antara
korteks anterior dan posterior femur pada korteks lateral, buat bor lubang berdiameter
3/16 inch dan langsung buat sudut kira-kira 45o dengan korteks lateral
4. Masukkan guide pins, diameter 2.5 mm ke collum dan caput. Pin langsung pada sudut 45o
dari corpus dan paralel dengan lantai. Masukkan pin perlahan sampai terdapat tahanan
tulang subchondral p ada caput femur (biasanya 3 sampai 4 inches)
Tata Laksana Partially Displaced Fracture (Stadium III) dan Fully Displaced Fracture
(Stadium IV)
Karena penyatuan tulang (bony union) merupakan tujuan dilakukannya fiksasi internal pada
fracture abduksi impaksi dan undisplaced, kegagalan penyatuan ini merupakan kejadian yang
cukup sering pada displaced fracture. Kegagalan penyatuan (union) jauh lebih sering terjadi lagi
pada fully displaced fracture (Stadium IV) daripada pada partially displaced fracture (Stadium
III).
Nonunion disebabkan oleh kegagalan pencapaian reduksi yang adekuat dan fiksasi yang mantap
dari displaced fracture. Reduksi anatomi yang tidak adekuat pada displaced fracture
menyebabkan stabilitas tidak tercapai. Bila dinding postero-inferior pada collum femur kolaps,
kekuatan exorotasi dilawan dan redisplacement dari fragmen-fragmen terjadi. Bila stabilisasi
dapat tercapai, fracture ini harus segera ditangani secepat mungkin seperti displaced fracture.
Agar supaya stabilitas dapat dikembalikan, defek pada korteks posteroinferior harus di
netralkan.Hal ini dapat dicapai dengan menempatkan fragmen proximal pada posisi slight valgus

dan men-telescopingcollum femur sampai ke fragmen proximal, supaya defek dapat dihilangkan.
Sekarang kekuatan pada sisi fractureakan seimbang.
Efek yang sama ini dapat dicapai dengan melepas penahan tulang dari collum femur bagian
anterosuperior dan membiarkan caput duduk berhadapan langsung dengan collum pada slight
valgus. Kedua prosedur ini memperpendek collum femur tetapi ini merupakan pengorbanan kecil
untuk penyatuan tulang kembali dari displaced fracture.
Berbagai alat telah dirancang untuk membuat rigiditas pada fiksasi internal dan untuk menahan
kekuatan yang membuat terjadinya redisplacement. Bagaimanapun juga, analisis yang cermat
dari alat-alat yang digunakan ini memperlihatkan bahwa hanya satu yang paling efektif yaitu
alat-alat yang memanfaatkan prinsip low angle fixation ditambah impaksi pada fragmen-fragmen
saat dilakukan operasi. Ini digunakan sebagai multiple pin fixation dan untuk sliding nails.
Harus diakui bahwa ada beberapa displaced fracture yang tidak dapat dilakukan metode tadi
untuk mengembalikan stabilitas pada sisi fracture. Displaced fracture ini lebih baik ditangani
dengan operasi terbuka. Yang dilakukan dengan, pertama, menempatkan caput pada slight valgus
dan telescopingcollum femur ke caput femur, dan kedua, membuang tulang penahan dari
permukaan anterosuperior dari collum femur.
Alasan lain dilakukannya operasi terbuka untuk blind fixation adalah:

Pada beberapa instansi, memungkinkan untuk menempatkan fragmen capital pada posisi
yang optimal sehubungan dengan fragmen distal dengan manuver manipulasi; hal ini
telah banyak diobservasi pada operasi terbuka.

Usaha yang kuat dan berulang pada reduksi menyebabkan comminutif yang lebih besar
pada collum femur.

Interposition pada bagian capsul fibrosa diantara fragmen-fragmen, mencegah terjadinya


reduksi, hal ini lebih sering dari yang biasanya diharapkan.

Penglihatan letak fracture melalui insisi longitudinal pada bagian anterior kapsul tidak
akan menyebabkan gangguan yang lebih jauh dari suplai pembuluh darah ke bagian caput
femur.

Tata Laksana Berdasarkan Waktu


Penatalaksanaan fracturecollum femur juga dapat dibagi berdasarkan waktunya yaitu pada acute
phase, recovery phase, dan maintenance phase.
Acute Phase (Fase Akut)
1.

Program Rehabilitasi
Physical Therapy

Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan penyembuhan, untuk mencegah timbulnya
komplikasi dan mengembalikan fungsi. Tujuan utama terapi penanganan fracture adalah untuk
mengembalikan pasien ke kondisi awal sebelum terjadinya fracture. Hal ini dapat dilakukan baik
dengan operasi maupun tanpa operasi.Beberapa faktor harus dipertimbangkan dengan matang
sebelum rencana terapi dilakukan.
Pada fracturecollum femur yang tidak rumit, penatalaksanaan pada seorang atlet harus
difokuskan pada istirahat dan memperbaiki kesalahan-kesalahan pada waktu latihan (perbaiki
training error). Mengubah salah satu faktor resiko juga penting untuk mencegah progresifitas
dari fracture.
Physical therapy mungkin dapat digunakan untuk menunjang terapi sewaktu beristirahat dan
membantu pasien mengubah program training untuk membantu penyembuhan.Seorang atlet
dapat mengatur latihan fitness dan mobilitasnya pada ekstremitas yang masih berfungsi dengan
baik dan melakukan latihan beban yang tidak menyebabkan ketegangan pada sendi panggul.
Seorang ahli dapat mengevaluasi pasien dari cara berjalannya atau anatomi pasien yang
abnormal yang mungkin menjadi faktor predisposisi untuk perkembangan fracture lebih lanjut.
Beberapa pasien memerlukan orthotic untuk mencegah pronasi yang berlebihan, yang dapat
meningkatkan tekanan pada collum femur. Ahli juga memberikan edukasi kepada pasien selama
proses rehabilitasi, dimana terapi maupun non-operatif telah dilakukan sebelumnya.
2.

Komplikasi Medis

Kondisi medis pasien harus dipertimbangkan sewaktu diperlukan terapi operatif.Bila terapi nonoperatif yang dilakukan, pasien harus dimobilisasi secepat mungkin untuk menghindari
komplikasi karena immobilisasi dalam waktu yang lama.
Banyak komplikasi yang berhubungan dengan displacedfracture atau terlambatnya penegakan
diagnosis. Komplikasi yang terjadi meliputi delayed union, nonunion, refracture, osteonekrosis,
dan nekrosis avaskular. Kegagalan fiksasi awal (dalam 3 bulan setelah operasi) terjadi sebanyak
12-24% dari displacedfracturecollum femur yang dilakukan fiksasi internal.
Pada penelitian jangka panjang pada pasien lanjut usia yang dilakukan fiksasi internal (internal
fixation), Blomfeldt et al melaporkan bahwa komplikasi panggul sebesar 42% dan setelah
dioperasi kembali sebesar 47% selama 48 bulan.
Pada tahun 1985, Stappaerts menemukan bahwa faktor yang paling penting berhubungan dengan
gagalnya fiksasi adalah usia yang tua dan reduksi yang tidak akurat.
Pada tahun 1980, Scheck menekankan tentang pentingnya posterior comminution dari collum
femur yang menyebabkan gagalnya fiksasi dan nonunion.
Selain itu, Heetveld et al pada tahun 2005 melaporkan bahwa tidak ada perbedaan antara pasien
osteopeni dan osteoroporosis yang ditangani dengan internal fixation ketika dipertimbangkan
untuk dilakukan arthroplasty.

3.

Intervensi Operatif

Keputusan untuk dilakukan terapi operatif ataupun nonoperatif dari fracturecollum femur dan
jenis dari intervensi bedah itu tergantung dari banyak faktor. Konsultasi pada bagian ortopedi
diperlukan.Fracture karena tekanan (tension fracture) biasanya bersifat tidak stabil dan
memerlukan tindakan operatif stabilisasi. Fracturecollum femur tanpa displaced perlu
distabilisasi dengan multiple parallel lag screws atau pin. Pengobatan fracture dengan displaced
didasarkan atas usia dan aktivitas dari pasien tersebut. Pada kelompok pasien lansia, fungsi
koqnitif premorbid, kemampuan berjalan, aktivitas pasien sehari-hari harus dipertimbangkan bila
akan dilakukan tidak operatif.
Fracture kompresi (compression fracture) lebih stabil daripada fracture dengan tekanan (tension
fracture), dan dapat diterapi secara non-operatif. Pengobatan untuk fracture tanpa displaced
dapat dilakukan dengan istirahat total dan atau penggunaan tongkat sampai pergerakan pasif dari
paha tidak terasa nyeri lagi dan pada foto x-ray menunjukkan adanya formasi kalus.
Fracture dengan displaced pada pasien usia muda merupakan emergensi ortopedik,
penatalaksanaan ORIF (Open Reduction Internal Fixation) harus segera dilakukan. Prognosis
kembalinya ke keadaan sebelum terjadinya fracture sangatlah sulit pada keadaan seperti ini. Pada
pasien yang lebih tua, bisa dilakukan ORIF atau penggantian prostetik.

Gambar 4.25 Internal Fixation dengan Screw


Keputusan dalam pengambilan keputusan atas berbagai macam cara penatalaksanaan yang dapat
dilakukan harus berdasarkan keputusan pasiennya sendiri.
Sejumlah penelitian pada tahun 2005 oleh Blomfeldt et al, memperlihatkan bahwa penggantian
total hip pada pasien yang tua dengan fungsi koqnitif yang lebih tinggi dan gaya hidup yang
lebih bebas dihubungkan dengan rendahnya angka komplikasi dan terapi operatif yang berkalikali. Selain itu, kesehatan yang berhubungan dengan kualitas hidup lebih tinggi 2 tahun dan sama
dengan 4 tahun bila dibandingkan dengan pasien yang diterapi dengan internal fixation.

Sebaliknya, tak satupun prosedur yang menguntungkan pasien dengan telah terjadi gangguan
koqnitif berat.Penggantian prostetik ataupun fiksasi internal (internal fixation) dihubungkan
dengan tingginya mortalitas dan menurunnya fungsi pada aktivitas sehari-hari.
Pada pasien dengan garis fracture yang berlebihan dan tidak terdapat displaced pada x-ray, terapi
awal yang dilakukan adalah ambulasi non-weight-bearing dengan tongkat. Ahli harus melakukan
x-ray film setiap 2-3 hari pada 1 minggu pertama untuk mendeteksi ada tidaknya extensi atau
pelebaran garis fracture.
Bila nyeri tidak mereda atau bila terjadi pelebaran garis fracture, internal fixation harus
dilakukan sebagai indikasi. Bila pasien dengan hasil scanning positif dan tidak terlihat garis
fracture pada foto x-ray, penatalaksanaan awal diutamakan untuk menangani gejala yang
dialaminya. Penatalaksaan dimulai dengan aktivitas non-weight-bearing atau partial-weightbearing (berdasarkan gejala) dengan tongkat sampai gejala mereda.
4.

Konsultasi

Untuk fracture resiko tinggi yang memerlukan tindakan operatif, konsultasi dengan ahli
ortopedik diperlukan.
Recovery Phase (Fase Penyembuhan)
1.

Program Rehabilitasi
Physical Therapy

Bila gejala nyeri pada fracture yang stabil telah ditangani pada pengobatan fase akut, latihan
kekuatan untuk stabilisasi panggul dan otot dapat dimulai. Tujuan utama adalah untuk
memperbaiki dan mengembalikan gerakan (range of motion) dari panggul dan paha.
Bila pasien tidak merasa nyeri lagi, weight bearing dapat dilakukan.Ketika pasien telah mampu
mentoleransi partial weight-bearing, aktivitas umum di luar rumah seperti berenang dan cycling
boleh dilakukan. Foto x-ray dilakukan seminggu sekali sampai pasien dapat bergerak dengan full
weight bearing tanpa rasa nyeri.
Latihan lari harus dilakukan dari yang paling ringan secara bertahap.Bila nyeri masih dirasakan,
istirahat selama beberapa hari disarakankan, jarak tempuh juga harus dikurangi, dan latihan
dilanjutkan lagi secara bertahap tergantung dari gejala yang masih ada pada pasien tersebut.
Tindakan bedah diindikasikan untuk pasien dengan fracture dan displaced yang jelas dan
berlebihan. Biasanya, fiksasi dilakukan dengan plate and screw.Setelah operasi, pasien
diistirahatkan sampai rasa nyeri mereda dan kemudian mulai dilatih sampai aktivitasnya dapat
optimal dan kesembuhan terjadi.Bila plate sudah diangkat, rehabilitasi lebih lanjut tetap
diperlukan. Pengangkatan plate tergantung dari usia dan aktivitas dari pasien. Beberapa pasien
lebih suka weight bearing dengan tongkat.Pasien biasanya dibolehkan untuk melanjutkan

kembali untuk running; walaupun boleh, disarankan untuk membatasi olahraga dan tidak
melakukan olahraga yang berat.
Penguatan otot gluteus medius, otot-otot abduktor panggul sangatlah penting untuk stabilisasi
setelah operasi.Otot penting lainnya meliputi m. iliopsoas; gluteus maximus; adductor magnus,
longus dan brevis; quadricep; dan otot-otot tumit bagian belakang. Tujuan fungsionalnya yaitu
untuk menormalkan pola dan cara berjalan pasien. Aktivitas olahraga tertentu kemudian boleh
mulai dilakukan secara progresif dengan pengawasan pelatih.
Mengusahakan agar dalam kondisi yang baik selama rehabilitasi merupakan hal yang
penting.Bila alat pelindung atau non-weight-bearing diperlukan, kemudian latihan tubuh bagian
atas seperti upper body ergometer dapat digunakan.Bila partial weight-bearing ambulation
diperbolehkan, latihan aquatic diperlukan juga, seperti renang atau berjalan di dalam air yang
dalam.
Intervensi Bedah
Pasien dengan fracture yang jelas dan terdapat displaced pada sisi tekanan memerlukan
intervensi bedah demi kesembuhannya. Umumnya, internal fixation diperlukan dengan
menggunakan screw and plate.
Maintenance Phase (Fase Perawatan)
1.

Program Rehabilitasi
Physical Therapy

Maintenance phase menggambarkan fase akhir dari proses rehabilitasi. Latihan kekuatan otot
seperti latihan kondisi dinamik (eg. dengan large gym ball), ditambahkan pada penatalaksaan
pasien.Selain itu, latihan olahraga spesifik harus ada didalamnya sehingga seorang dapat
mempertahankan keseimbangan ototnya.
Tata Laksana Fracture Collum Femur yang Tidak Ditangani 4 6 Minggu
Umumnya caput femur dapat hidup dan ada absorbsi minimal pada collum femur. Tangani lesi
ini seperti fracture yang baru saja terjadi. Bila terdapat absorbsi moderate dari collum femur,
tangani lesi ini dengan osteotomi.Jangan mengganti caput femur dengan prostesis kecuali sudah
menjadi pilihan terakhir.
Prereduction x-ray (Fully displaced fracture)
1. Sudut normal collum femur ke fragmen capital di reduksi; caput pada posisi varus
2. Fragmen distal dirotasikan ke sisi lateral
3. Corpus femur digeser ke atas

4. Fragmen distal ditempatkan anterior dari fragmen proximal


5. The plane of fracture diletakkan distal dari caput femur
Postoperative x-ray
1. Caput pada valgus yang sempit
2. Collum disambungkan ke caput
3. Fragmen-fragmen di fiksasi dengan 2 sudut tinggi atau 2 sudut rendah Knowles pins
Nonunion dari Collum Femur dengan caput yang viabel dan hanya absorbsi minimal pada
Collum femur
Lesi ini sangat baik ditangani dengan osteotomi. Tujuan dilakukannya osteotomi harus ditujukan
untuk union dari tulang; nonunion dari fracturecollum femur diikuti dengan osteotomi akan
menghasilkan nyeri pada panggul. Dengan melakukan osteotomi, semua pergerakan pada sisi
fracture harus dihilangkan; bila pergerakan terjadi, absorbsi dari collumakan terjadi, dan alat-alat
yang digunakan untuk menstabilisasi fracture akan menembus caput. Jangan memilih prostesis
untuk menggantikan caput femur kecuali hal ini sudah merupakan keputusan terakhir.
Prereduction x-ray
1. Hanya terjadi absorbsi minimal pada collum femur
2. Gambaran fracture hampir vertikal
3. Caput femur di adduksi sesuai dengan collum femur
Postoperative x-ray (Following Angulation Osteotomy)
1. Gambaran fracture saat ini hampir horisontal. (Pada weight bearing, stress merupakan
compressing force pada sisi fracture dibandingkan dengan shearing force).
2. Aksis dari corpus femur diletakkan di bawah caput femur, mengurangi daya ungkit pada
sendi panggul.
3. Sisi osteotomi dibawah trochanter minor.
4. Ujung proximal dari alat ditempelkan tetapi tidak menembus caput femur terlalu jauh.
5. DuaKnowles pins dimasukkan secara paralel satu sama lainnya melewati sisi fracture
sebelum bladeplate diletakkan (Blount blade plate).

6. Blade Plate is bent pada posisi yang tepat (dipastikan dengan foto rontgent) untuk
meletakkan caput dan collum kira-kira paling sedikit 155o dari valgus
7. Screw paling proximal ditempelkan pada fragmen proximal.
Tidak ada fiksasi interna yang dibutuhkan.Lesi ini juga dapat ditangani dengan high servical
trochanteric osteotomy; osteotomi ini menghasilkan hasil yang baik dibandingkan dengan
metode lainnya.
Nonunion dengan caput yang viabel dan ditandai dengan absorbsi sedang sampai komplet
dari collum femur
Setiap keputusan harus dibuat untuk mencapai bony union dan menyelamatkan caput femur; bila
berhasil, hasil panggul jauh lebih baik daripada hasil yang didapatkan dengan melakukan
arthroplasti (seperti Colonna operation) atau hasil penggantian caput dengan
prostesis.Diplacement osteotomy merupakan prosedur terbaik untuk menyelamatkan panggul;
tetap harus dilakukan walaupun viabel dari caput femur diragukan.Walaupun pada x-ray
memberikan informasi yang berharga untuk menentukan viabilitas dari caput femur, tidak ada
yang menjamin bahwa nekrosis avaskular tidak berkembang pada beberapa bulan ke depan.
a.

McMurray Osteotomy

Gambar 4.26 McMurray Osteotomy Prereduction dan Postoperative X-ray


b.

Cervical Trochanteric Osteotomy (Reich)

Gambar 4.27 Reich Osteotomy Post Operative X-ray dan Imobilisasi


Nonunion dengan caput femur nonviabel dan absorbsi sedang atau komplet dari collum
femur
Pada individu muda dan usia pertengahan, setiap pertimbangan harus dibuat untuk stabilisasi,
menghilangkan nyeri, membuat pergerakan panggul positif. Pada kelompok ini, DePalma
Arthroplasty dilakukan sebagai prosedur rekonstruksi.Pada individu yang lebih tua dimana
kondisi umumnya baik, pilihan Colonna arthroplasty atau penggantian caput nonviabel dengan
prostesis medullary metal. Pada usia lanjut, bila semua prosedur tadi diragukan, caput femur
digantikan dengan prostesis metal.
Salvage Operation untuk pasien muda dan umur pertengahan
Preoperative x-ray
1. Absorbsi komplit dari collum femur
2. Caput femur menjadi pekat, menandakan nonviabel
Postoperative x-ray (DePalma Arthroplasty)
1. Caput femur dibuang dan vitallium cup ditempatkan pada acetabulum
2. Transverse osteotomy dilakukan 3 inches dibawah ujung trochanter mayor
3. Fragmen proximal miring ke arah medial dan ujung proximalnya diletakkan pada
vitallium cup

4. Fragmen-fragmen di fiksasi dengan Neufeld nail pada sudut 135o


Preoperative x-ray
1.

Absorbsi komplit dari collum femur

2. Caput femur kontras dan pekat dan sklerotik


Postoperative x-ray
1. Caput femur dipotong
2. Penopang tulang dibuang dari bagian dalam trochanter mayor dan corpus femur segera
diatas trochanter minor
3. Prostetis medulary (DePalma) ditempatkan langsung diatas corpus femur dan dengan
batas berlawanan dari bagian dalam dari trochaner mayor
Collona Arthroplasty
1. Trochanter mayor diletakkan pada acetabulum
2. Abduktor dari panggul ditarik ke bawah pada corpus femur
3. Prosedur ini dilakukan bila dengan penggantian prostetis tidak berhasil.
Tata Laksana Fracture Intertrochanteric
Fracture intertrochanteric hampir selalu ditangani dengan internal fixation sejak awal
penatalaksanaan, bukan karena fragmen-fragmennya mengalami kegagalan untuk menyatu
kembali dengan terapi konservatif. Internal fixation dini ini dilakukan dengan tujuan:
1. Untuk mendapatkan posisi fragmen tulang yang terbaik
2. Agar pasien dapat segera mulai berjalan kembali secepat mungkin setelah trauma
sehingga juga dapat mengurangi resiko timbulnya komplikasi akibat tirah baring yang
terlalu lama
Terapi non-operatif merupakan pilihan yang tepat bagi pasien-pasien dengan kondisi fisik yang
tidak memungkinkan untuk menjalani proses anestesi. Terapi yang digunakan ialah dengan
melakukan traksi di tempat tidur hingga mencapai posisi di mana pasien merasa nyaman atau
tidak terlalu nyeri lagi dan juga memungkinkan untuk mobilisasi yang baik.Metode ini memiliki
tingkat keberhasilan yang cukup baik, tetapi sangat tergantung pada kualitas perawatan dan
terapi fisik yang diberikan.

Pada reduksi fracture melalui tindakan operatif, dilakukan traksi dengan endorotasi, posisi ini
dipastikan melalui pemeriksaan x-ray. Pemasangan screw dengan posisi yang tepat merupakan
hal yang sangat penting, terutama pada tulang yang mengalami osteoporosis. Screw harus
dipasang melalui collum femur agar berada tepat di tengah caput femur, dengan posisi tip sekitar
5 mm dari subchondral bone plate. Jika posisi fragmen yang tepat gagal dicapai melalui reduksi
tertutup, maka perlu dilakukan reduksi terbuka dan manipulasi pada fragmen tersebut.Pada
fragmen posteromedial yang besar mungkin diperlukan fiksasi tambahan.
Setelah operasi, latihan dapat dimulai pada hari setelah dilaksanakan operasi.Pasien dapat mulai
melakukan mobilisasi dan weightbearing secara bertahap.
Tata Laksana Fracture Subtrochanteric
Pada fracture ini, traksi dapat dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri dan perdarahan.
Penanganan ini merupakan terapi sementara, sambil menunggu persiapan untuk menjalani
operasi.
Open Reduction dan Internal Fixation
Open reduction dan internal fixation merupakan terapi pilihan untuk menangani fracture ini. Ada
dua jenis implant yang umum digunakan untuk melakukan fiksasi, yaitu:
1. Sebuah intramedullary nail dengan proximal interlocking screw yang dapat diarahkan ke
area caput femur
2. Screw dan plate untuk panggul dengan sudut 95o
Pemilihan kedua jenis implant di atas didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai
berikut:

Intramedullary nail secara umum lebih kuatdan dapat mengatasi tekanan untuk durasi
yang lebih lama, pada proses penyembuhan yang berjalan lambat. Implan ini lebih dipilih
pada kasus fracture yang unstable atau comminuted.

Intramedullary nail juga merupakan pilihan untuk terapi fracture patologis. Full length
nail harus digunakan karena mungkin masih terdapat sel tumor lainnya pada bagian distal
os femur.

Gambar 4.26 Internal Fixation pada Fracture Subtrochanteric

Keterangan gambar 4.26:


(a)

Internal fixation dengan 95oscrew and plate device

(b)

Pemasangan intramedullary nail dengan proximal interlocking screw pada caput femur

(c)

Fiksasi dengan proximal femoral plate dan locking screw

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk melaksanakan operasi pada fracture ini, antara
lain:

Reduksi secara anatomis akan menghasilkan area yang lebih luas bagi kontak
antarfragmen tulang dan mengurangi tekanan yang terjadi pada implan

Reduksi harus dilakukan dengan diseksi jaringan lunak yang seminimal mungkin

Penting untuk diperhatikan bahwa integritas korteks medial harus tetap dipertahankan,
terutama pada penggunaan hip screw and plate device

Proximal interlocking screw dan intramedullary nail harus diarahkan ke caput femur jika garis
fracture berada di atas trochanter minor. Jika fracture masuk ke fossa piriformis, maka
intramedullary nail harus dimasukkan ke ujung trochanter mayor atau juga dapat digunakan 95o
hip screw-and-plate device.
Setelah operasi, pasien diperbolehkan untuk partial weightbearing dengan menggunakan tongkat
hingga proses penyatuan tulang berhasil dengan baik.
4.10

Tata Laksana Medikamentosa

Pada semua kasus fracture, penatalaksanaan nyeri harus diutamakan.Analgetik seperti


acetaminophen atau NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drugs)dapat diberikan pada fase
akut dari fracture.Walupun demikian, penambahan penghilang nyeri mungkin diperlukan bila
nyeri pasien tidak hilang hanya dengan pemberian acetaminophen atau NSAID. Pada kasus
seperti ini, golongan opiate mungkin dapat digunakan, khususnya untuk mengatasi rasa nyeri
yang hebat. Penyesuaian terhadap rasa nyeri harus dilakukan, terutama pada fase akut.
Analgetik
Kontrol terhadap rasa nyeri sangat penting pada pasien. Analgetik akan membuat pasien nyaman,
napas yang tenang, dan mempunyai efek sedatif, yang bermanfaat bagi pasien dengan nyeri yang
terus-menerus. Beberapa jenis analgetik yang dapat digunakan, antara lain:
a.

Acetaminophen

Diindikasikan untuk nyeri ringan sampai sedang. Merupakan obat pilihan untuk nyeri
pasien yang hipersensitif terhadap aspirin atau NSAID, dengan gangguan gastrointestinal
atas, atau pasien yang mengkonsumsi antikoagulan oral.

Dosis yang digunakan adalah 325-650 mg Per Oral setiap 4-6 jam atau 1000 mg 3 sampai
4x sehari; dosis tidak lebih dari 4 gram per hari.

Untuk pasien anak12 tahun: 325-650 mg per oral setiap 4 jam; tidak lebih dari 5x dalam
24 jam.

Kontraindikasi pada pasien yang hipersensitif; defisiensi G6PD (Glucose-6-Phosphate


Dehydrogenase)

Interaksi obat. Rifampin dapat mengurani efek analgetik; digunakan bersama barbiturate,
carbamazepine, hydantoins, dan isoniazid akan meningkatkan hepatotoksisitas.

Efek samping bersifat hepatotoksik terutama bila pasien alkoholism; nyeri hebat atau
nyeri terus-terusan atau demam tinggi merupakan efek samping yang serius;
acetaminophen terdapat pada beberapa produk OTC dan biasanya dikombinasikan
sehingga dosis acetaminophen menjadi berlebihan atau bahkan dapat melebihi dosis
maksimal.

b.

Ibuprofen

Obat pilihan untuk pasien dengan nyeri ringan sampai sedang. Menghambat reaksi
inflamasi dengan menurunkan sintesis prostaglandin.

Dosis dewasa 400-600 mg per oral setiap 4-6 jam selama gejala masih ada; tidak
melebihi 3.2 gram/hari.

Dosis anak12 tahun: mengikuti dosis dewasa.

Kontraindikasi pada pasien yang hipersensitif; ulkus peptik, perdarahan dan perforasi
saluran cerna, insufisiensi renal, atau resiko perdarahan.

Bila digunakan bersama aspirin akan meningkatkan efek kebalikan dari NSAID; dengan
probenecid akan meningkatkan konsentrasi obat dan mungkin menjadi toksik; dapat
menurunkan efek hidralazine, captopril, dan beta bloker; dapat menurunkan efek diuretik
furosemide dan tiazid; dapat meningkatan PT (Protrombin Time) bila digunakan bersama
antikoagulan (peringatkan pasien untuk mendeteksi gejala perdarahan); meningkatan efek
toksik metrotrexate; level phenytoin akan meningkat bila digunakan terus-menerus.

Efek samping. Kategori D pada trisemester III kehamilan; Kategori B pada trisemester I
dan II kehamilan; menyebabkan CHF, Hipertensi, dan menurunkan fungsi ginjal dan hati;
menyebabkan abnormalitas antikoagulan atau selama terapi antikoagulan.

c.

Oxycodone

Analgesik dengan multipel aksi yang mirip morphine; dengan konstipasi minimal, spasme otot
polos, dan depresi refleks batuk yang lebih ringan dibandingkan dengan pemberian morphine
pada dosis yang sama.

Dosis dewasa: 5-30 mg per oral setiap 4 jam.

Dosis anak: 0.05-0.15 mg/kg per oral; Tidak melebihi 5 mg setiap 4-6 jam per oral.

Kontraindikasi pada pasien yang hipersensitif.

Interaksi obat. Phenothiazine menurunkan efek analgesik; toksisitas meningkat dengan


pemberian bersama obat-obat depresi SSP.

Keamanan penggunaan selama kehamilan tidak tercatat.

Efek samping. Masa aktif meningkat pada pasien lansia; hati-hati pada penggunaan
acetaminophen dan jangan melebihi 4000 mg dalam 24 jam karena dapat mengakibatkan
hepatotoksik.

4.11 Komplikasi
4.11.1 Komplikasi Umum
Pasien yang mengalami fracture collum femur, yang sebagian besar merupakan orang lanjut usia,
beresiko untuk mengalami komplikasi yang umum terjadi pada semua penderita fracture, di
mana mereka mengalami proses imobilisasi yang cukup lama. Komplikasi umum tersebut ialah
terjadinya deep vein thrombosis, emboli pulmonal, pneumonia, dan ulkus dekubitus akibat
berbaring dalam jangka waktu yang lama secara terus menerus.
Walaupun saat ini penangan paska operasi sudah sangat berkembang, angka mortalitas pada
orang lanjut usia masih mencapai 20%, yang terjadi dalam 4 bulan pertama setelah trauma. Pada
pasien-pasien berusia lebih dari 80 tahun yang dapat bertahan hidup, hampir setengahnya tidak
dapat berjalan seperti saat sebelum trauma.
4.11.2 Nekrosis Avaskular
Nekrosis caput femur akibat proses iskemik terjadi pada 30% pasien yang mengalami
fracturedisplaced dan pada 10% pasien dengan fractureundisplaced. Komplikasi ini belum dapat
didiagnosis atau diketahui pada saat awal terjadinya fracture.Setelah beberapa minggu setelah
terjadinya fracture, melalui pemeriksaan bone scan, baru mulai tampak dan ditemukan adanya
gangguan vaskularisasi tersebut.Pada pemeriksaan X-ray, perubahan vaskularisasi ini bahkan
baru dapat terdeteksi beberapa bulan atau beberapa tahun setelah diagnosis fracture.

Nekrosis caput femur ini akan menimbulkan keluhan rasa nyeri dan hilangnya fungsi struktur
tersebut yang bersifat progresif, yang semakin lama akan semakin memburuk jika tidak segera
ditangani. Metode tata laksana yang dipilih pada pasien berusia lebih dari 45 tahun untuk
mengatasi komplikasi ini ialah dengan total joint replacement. Sedangkan pada pasien dengan
usia yang lebih muda, tata laksana yang akan digunakan masih menjadi kontroversi. Terapi core
decompression tidak dapat digunakan pada kasus osteonekrosis traumatik ini, sedangkan terapi
realignment atau rotational osteotomy dapat dilakukan pada pasien dengan segmen nekrosis yang
relatif tidak terlalu luas.Terapi arthrodesis juga banyak dikemukakan sebagai salah satu pilihan
terapi, tetapi pada prakteknya sangat jarang dilakukan.
4.11.3 Non-Union
Lebih dari 30% kasus fracture collum femur mengalami kegagalan untuk menyatu kembali dan
resiko ini akan semakin meningkat pada fracture-fracture dengan displaced yang parah. Ada
beberapa penyebab terjadinya komplikasi ini, antara lain karena suplai darah yang kurang baik,
reduksi yang tidak sempurna, fiksasi yang tidak adekuat, dan adanya tardy healing yang
merupakan ciri khas fracture intra-articular. Pada komplikasi non-union, pasien akan
mengeluhkan rasa nyeri, tungkai yang mengalami fracture tampak lebih pendek dari tungkai
yang sehat, dan mengalami kesulitan untuk berjalan. Hal ini dikonfirmasi melalui pemeriksaan
X-ray yang juga menunjukkan hasil penyatuan tulang yang kurang baik atau tidak berhasil.
Metode terapi yang digunakan untuk mengatasi komplikasi ini sangat bergantung pada penyebab
non-union ini terjadi dan dengan mempertimbangkan usia pasien. Pada pasien dengan usia yang
relatif masih muda, ada tiga pilihan metode terapi yang dapat digunakan, antara lain:
1. Jika garis fracture hampir vertikal dengan caput femur yang masih baik, dapat dilakukan
subtrochanteric osteotomy dengan fiksasi internal untuk mengubah garis fracture agar
sudutnya menjadi lebih horizontal.
2. Jika terdapat masalah pada teknik reduksi atau fiksasi, tanpa adanya tanda-tanda nekrosis,
dapat dilakukan pencabutan screw, reduksi fracture, memasang screw yang baru dengan
cara yang tepat, dan memasang bone graft di sepanjang garis fracture. Bone graft dapat
diambil misalnya dari segmen tulang fibula.
3. Jika terjadi nekrosis pada caput femur tanpa adanya gangguan pada persendian, metode
yang dapat dilakukan ialah dengan prosthetic replacement. Namun, jika disertai dengan
gangguan pada persendian, makan harus dilakukan total replacement.
Sedangkan pada pasien lanjut usia, ada dua prosedur yang mungkin dapat dilakukan, yaitu:
1. Jika nyeri yang timbul sangat berat dan mengganggu, maka caput femur, baik mengalami
nekrosis avaskular ataupun tidak, harus segera diangkat dan diganti melalui prosedur
total joint replacement.

2. Jika pasien berusia sangat tua, tidak lagi menjalani aktivitas fisik secara aktif, dan nyeri
yang timbul tidak terlalu berat, maka hanya dengan penggunaan raised heel dan stout
stick atau elbow crutch biasanya sudah dapat mengatasi komplikasi ini.
4.11.4 Osteoartritis
Nekrosis avaskular yang terjadi pada caput femur, setelah beberapa tahun kemudian, dapat
menyebabkan timbulnya osteoartritis sekunder pada panggul.Jika terdapat gangguan berat pada
pergerakan sendi dan kerusakan telah meluas hingga permukaan articular, maka perlu dilakukan
total joint replacement.
4.12 Pencegahan
Collum femur merupakan lokasi fracture tersering yang banyak terjadi pada orang lanjut usia.
Fracture ini banyak terjadi pada orang ras Kaukasia, wanita lebih sering dari pada pria, usia
dekade ketujuh dan kedelapan, dan pada orang yang menderita osteoporosis. Oleh karena itu,
tingkat insidensi fracture collum femur dapat dijadikan sebagai salah satu parameter tingkat
insidensi osteoporosis di suatu negara.
Adanya hubungan antara fracture collum femur dengan hilangnya massa tulang akibat
osteoporosis post menopause meningkatkan usaha screening untuk osteoporosis sebagai salah
satu bentuk pencegahan terjadinya fracture tersebut. Sebaliknya, trauma ini sangat jarang
ditemukan pada orang-orang dengan massa tulang yang tinggi, seperti pada orang yang
menderita osteoartritis.
Faktor resiko lainnya ialah adanya penyakit yang mengakibatkan kelemahan atau penurunan
kekuatan pada tulang, seperti osteomalasia, diabetes mellitus, stroke, dan konsumsi alkohol.
Selain itu, orang lanjut usia sering kali memiliki otot-otot yang lebih lemah dan keseimbangan
yang kurang baik sehingga memiliki tendensi yang lebih tinggi untuk jatuh yang mungkin
mengakibatkan fracture collum femur ini.
Pada orang dengan usia muda, fracture biasanya terjadi akibat jatuh dari ketinggian atau akibat
kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan hingga terlempar ke jalan. Pada pasien ini sering kali
mengalami jejas multipel dan 20% di antaranya juga mengalami fracturecorpus femur.
Berdasarkan pengetahuan mengenai mekanisme terjadinya fracture collum femur tersebut, ada
beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya fracture ini, antara lain:

Screening dan terapi osteoporosis secara berkala.

Menurut WHO (1991), osteoporosis adalah penyakit yang ditandai oleh rendahnya massa tulang
dan disertai kerusakan mikroarsitektur jaringan. Kelainan ini menyebabkan kerapuhan tulang
sehingga terjadi peningkatan resiko fracture.

Gambar (A) Massa Tulang Normal, (B) Massa Tulang Osteoporosis


Kekuatan tulang sangat ditentukan oleh densitas tulang dan kualitas tulang.Densitas tulang
dinyatakan dalam satuan gram mineral per area atau volume, sedangkan kualitas tulang
dipengaruhi oleh struktur atau arsitektur tulang, proses turnover, akumulasi kerusakan (misalnya
akibat mikrofracture), dan proses mineralisasi. Saat ini, tingkat densitas tulang telah dapat diukur
secara kuantitatif melalui berbagai macam metode, tetapi untuk kualitas tulang belum dapat
dinyatakan secara kuantitatif.
Densitas tulang sangat perlu untuk diukur secara berkala dan merupakan salah satu cara untuk
mencegah terjadinya fracture yang mungkin dapat berakibat fatal. Cara pencegahan ini sangat
penting untuk orang-orang lanjut usia, khususnya bagi para perempuan yang sudah memasuki
fase post-menopause. Seiring bertambahnya usia, proses kehilangan massa tulang juga akan
semakin meningkat.
Densitas tulang atau Bone Mineral Density (BMD) dapat diukur menggunakan suatu alat, yaitu
Bone Densitometry.Berdasarkan nilai BMD tersebut, WHO mengklasifikasikan tingkat massa
tulang sebagai berikut:
Kriteria
Normal
Osteopenia
Osteoporosis

Nilai BMD < -1 SD di bawah nilai rata-rata


Nilai BMD -1 s/d -2,5 SD di bawah nilai rata-rata
Nilai BMD > -2,5 SD di bawah nilai rata-rata

Osteoporosis
Berat

Nilai BMD > -2,5 SD di bawah nilai rata-rata, disertai adanya 1 fracture karena
osteoporosis

Contoh Hasil Pemeriksaan BMD pada Collum Femur


Pemeriksaan-pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk mendeteksi resiko terjadinya fracture
akibat osteoporosis ialah dengan cara biochemical melalui pemeriksaan laboratorium darah
lengkap, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, kadar albumin, kadar fosfor, kadar hormone paratiroid,
kadar 25-hidroksi vitamin D, pemeriksaan urin, dan sebagainya.
Membuat dan mengkonsultasikan rencana dan target latihan dengan dokter yang ahli di bidang
tersebut. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah dan mengurangi resiko terjadinya fracture
akibat latihan yang berlebihan dan tidak sesuai.

Diet tinggi kalsium dan mengkonsumsi suplemen kalsium.

Jika seseorang memiliki tingkat keseimbangan yang kurang baik, dapat dilakukan hal-hal
berikut ini:
o Menggunakan walker atau berjalan dengan bantuan tongkat untuk memperbaiki
keseimbangan, sehingga megurangi resiko jatuh yang dapat menyebabkan
fracture.
o Menggunakan padded underwear untuk melindungi tulang panggul, sehingga
mengurangi resiko terjadinya fracture jika mengalami kecelakaan kecil atau jatuh.
o Meminimalkan resiko terjatuh di rumah, yaitu dengan cara:

Menggunakan karpet atau keset karet pada lantai agar tidak terlalu licin

Memasang handrails di kamar mandi, lorong, dan tempat-tempat lainnya


sebagai pegangan saat berjalan.

Menyingkirkan barang-barang yang menghalangi jalan yang mungkin


menyebabkan tersandung, seperti kabel-kabel yang melintas di lantai.

Menggunakan sepatu atau sandal dengan alas karet atau alas non-slip

4.13 Prognosis
Tergantung pada sifat fracturenya, seorang atlet dapat kembali ke keadaan sebelum terjadinya
fracture tersebut.Displacedstress fracture pada fracturecollum femur dapat mengakibatkan
kelumpuhan walaupun diterapi dengan baik. Diagnosis dan penatalaksanaan awal dapat
mencegah terjadinya displaced pada fracture dan memperbaiki prognosis yang akan terjadi.
4.14 Edukasi
Pasien harus mendapatkan pengertian yang baik tentang diagnosis dan keuntungan serta kerugian
dari pengobatan yang diterima. Melengkapi edukasi selama proses program rehabilitasi sangat
penting bagi pasien untuk mendapatkan hasil yang optimal dan memungkinkan pasien kembali
ke kondisi sebelum mereka mendapat cedera. Pasien harus peduli aktif terhadap diri mereka dan
mengerti bahwa pentingnya kesembuhan diri mereka, dan diberikan instruksi terhadap program
aktivitas di rumah mereka sesuai dengan porsi mereka. Edukasi terhadap pasien merupakan hal
yang penting untuk mencegah rekurensi terhadap fracturecollum femur.
DAFTAR PUSTAKA
1. Netter FH, Thompson JC. Netters concise atlas of orthopaedic anatomy. 1 st ed. 2001.
Philadelphia :Elsevier Saunders.
2. McKinley M, OLoughlin VD. Human anatomy. 3rded. New York: McGraw Hill; 2012.
3. Faiz O, Moffat D. Anatomy at a glance. UK: Blackwell Science; 2002.
4. Drake R L, Vogl W, Mitchell W A. Grays anatomy for student. Spain : Elsevier inc; 2005.
5. Netter FH, Hansen JT, Lambert DR. Netters clinical anatomy.1 st ed. 2005. USA :Elsevier
Saunders.
6. Martini FH, Timmons MJ, Tallistch RB. Human anatomy. 7th ed. USA: Pearson; 2010.
7. Cleland J, Koppenhaver S. Netters orthopaedic clinical examination. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2010.
8. Wheeless CR, Nunley JA, Urbaniak JR. Wheeless textbook of orthopaedic. USA: Duke
University; 2010.
9. Salter RB. Textbook of disorder and injuries of the musculoskeletal system. 3 rd ed.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
10. Solomon L, Warwick D, Nayagam S. Apleys system of orthopaedics and fractures. 9 th
ed. UK: Hodder Arnold; 2010.

11. Canale ST, Beaty JH. Campbell ooerative orthopaedic. 11th ed. US: Mosby; 2008.
12. Skinner HB, Fitzpatrick M. Current essentials orthopedics. 2008. USA: McGraw-Hills.
13. Prakash L. Total hip replacement in the asian patient. 1 st Ed. Madras: Foundation for
Orthopaedic Research and Training Madras 40; 1994.
14. Bauer R, Kerschbaumer F, Poisel S. Operative approaches in orthopedic surgery and
traumatology. 1987. New York: Thieme Medical Publishers.
15. Camacho PM. Miller PD. Osteoporosis: a guide for clinicians. 1 st ed. 2007. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins.
16. Harken AH, Moore EE. Abernathys surgical secrets. 6th ed. 2009. USA: Elsevier.
17. Wiesel SW, Delahay JN. Essentials of orthopaedic surgery. 4 thed. New York: Springer
Science; 2010.
18. Barnes R, Brown JT, Garden RS, et al. Subcapital fractures of the femur: a prospective
review. J Bone Joint Surg. 1976; 55B: 2-24.
19. Bonnaire FA, Weber AT. The influence of haemarthrosis on the development of femoral
head necrosis following intracapsular femoral neck fractures. Injury 2002; 33 Suppl 3:
C3340.
20. Garden RS. Low angle fixation in fractures of the femoral neck. J Bone Joint Surg 1961;
43B:64763.
21. Harper WM, Barnes MR, Gregg PJ. Femoral head blood flow in femoral neck fractures.
An analysis using intraosseous pressure measurement. J Bone Joint Surg 1991; 73B: 73
5.
22. Hughes LO, Beaty JH. Fractures of the head and neck of the femur in children. J Bone
Joint Surg 1994; 76A:28392.
23. Broughton NS, ed. A textbook of pediatric orthopaedics. Philadelphia: WB Saunders,
1997.
24. Poolman RW, Kocher MS, Bhandari M. Pediatric femoral fractures: a systematic review
of 2422 cases. J Orthop Trauma 2006; 20(9): 64854.
25. Aronson J, Tursky EA. External fixation of femur fractures in children. J Perdiatric
Orthop 1992; 12: 157-163.
26. Benson MKD, Fixen JA, MacNicol MF. Childrens orthopaedic and fractures. Edinburg:
Churcill Livingstone; 1994.

27. Blount W. Fractures in children. Baltimore: Williams Wilkins; 1995.


28. Staheli LT. Fundamentals of pediatric orthopaedics. New York: Raven; 1992.
29. Gardner MJ, Henley MB. Harborview Illustrated Tips and Tricks in Fracture Surgery.
2010. Philadelphia : Lippincott Wlliams & Wilkins.
30. Tornetta III P, Williams GR, Ramsey ML, Hunt III TR. Operative Technique In
Orthopaedic Trauma Surgery. 2011. Philadelphia : Lippincott Wlliams & Wilkins.
31. Keene GS, Robinson AHN, Bowditch MG, Edwards DJ. Key Topics In Orthopaedic
Trauma Surgery. 1999. UK : BIOS Scientific Publishers.
32. Hoppenfeld S, deBoer P. Surgical Exposure in Orthopaedics : The Anatomic Approach.
3rd ed. 2009. Philadelphia : Lippincott Wlliams & Wilkins
33. Jordan C, Mirzabeigi E. Atlas Of Orthopaedic Surgical Exposures. 2000. New York :
Thieme Medical Publisher.
34. Aaron AD. Bone grafting and healing. In: Kasser JR,ed. Orthopaedic update knowledge
5. Rosemont, IL: American Academy of Orthopaedic Surgeons; 1996: 21-28.
35. Adams JC, Hamblen DL. Outline of fractures. 10th ed. Edinburgh: Churcill Livungstone;
1992.
36. Lane JM, ed. Fracture healing. Edinburgh: Churcill, Livingstone; 1987.
37. Bullough PG. Orthopaedic pathology. USA: Mosby; 2009.
38. Brigs T, Miles J, Aston W. Operative orthopaedics the Stanmore guide. UK: Oxford
University Press; 2010.
39. Gann N. Orthopaedics at a glance: a handbook of disorders, tests, and rehabilitation
strategies. UK: Slack Incorporated; 2010.
40. Morissy LT. Lovell and Winters pediatric orthopaedic. USA: Lippincott Williams
Willkins; 2005.
41. Stern SH. Key techniques in orthopaedic surgery book. USA: Thieme; 2001.
42. Dulton M. Orthopaedic examination, evaluation, and intervention. 2 nd ed. USA: McGraw
Hill; 2008.
43. McRae R. Clinical orthopaedic examination book. 5th ed. USA: Mosby; 2001.
44. Stoller, Tirman, Bredella. Diagnostic imaging orthopaedics. UK: Amyrsis; 2003.

45. Su Y, Chen W, Zhang Q, Li B, Guo M, Pan J, Zhang Y. An irreducible variant of femoral


neck fracture: a minimally traumatic reduction technique. Injury 2011 Feb; 42(2): 140-5.
Available
at:
http://www.injuryjournal.com/article/S0020-1383%2810%29002883/fulltext
46. Roshan A, Ram S. The neglected femoral neck fracture in young adults. Clin Med Res.
2008
May;
6(1):
3339.
Available
at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2442029/
47. Tang P, Yao Q, Zhang W, Liang Y, Zhang L, Wang Y. A study of femoral neck fracture
repair using a recombinant human bone morphogenetic protein-2 directional release
system. Tissue Eng Part A. 2009 Dec;15(12):3971-8. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19995304
48. Stenvall M, Ollofsom B,Lundstrom M, Englund U, Borssen B, Svensson O, et al. A
multidisciplinary, multifactorial intervention program reduces postoperative falls and
injuries after femoral neck fracture.Osteoporos Int (2007) 18:167175. Available at:
http://www.springerlink.com/content/k8k6822360884462/fulltext.pdf
49. Ramnemark A, Nilsson M, Borsse B, Gustafson Y. Stroke, a major and increasing factor
of
femoral
neck
fracture.
Stroke.
2000;31:1572-1577.
Available
at:
http://biblioteca.sp.san.gva.es/biblioteca/publicaciones/MATERIAL/METABUSQUEDA
S/MUJER/10884456.PDF
50. Behrman SW, Fabian TC, Kudsk KA, Taylor JC. Improved outcome with femur
fractures: early vs delayed fixation. The Journal of Trauma[1990, 30(7):792-7; discussion
797-8]. Available at: http://ukpmc.ac.uk/abstract/MED/2380996
51. Malanga
GA.
Femoral
neck
fracture.
Emedicine.
http://emedicine.medscape.com/article/86659-overview

Available

at:

52. Aronson J, Tursky EA. External fixation of femur fractures in children. Journal of
Pediatric
Orthopedics[1992,
12(2):157-63].
Available
at:
http://ukpmc.ac.uk/abstract/MED/1552016

You might also like