You are on page 1of 10

A.

Komplikasi Cidera Kepala


Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari
perluasan hematoma intrakranial, edema serebral progresif, dan herniasi
otak. Komplikasi dari cedera kepala antara lain:
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi
mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom
distress pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks
cushing/perlindungan

yang

berusaha

mempertahankan

tekanan

perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat


tekanan

darah

sistematik

meningkat

untuk

memcoba

mempertahankan aliran darah ke otak, bila keadaan semakin kritis,


denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi
berkurang, tekanan darah semakin meningkat.

Hipotensi akan

memburuk keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling


sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg,
pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara
umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan
permiabilitas

pembuluh

darah

paru

berperan

pada

proses

berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan


karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih
lanjut.
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15
mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg.
Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan
perfusi rerebral. Yang merupakan komplikasi serius dengan akibat
herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase
akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan
kejang dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau
jalan nafas oral disamping tempat tidur klien, juga peralatan
penghisap. Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya
mempertahankan jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut.

Salah satunya tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah


pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling banyak
digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati
terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian
diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
4. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal
akan merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase
tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan
steril di bawah hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak
memanipulasi hidung atau telinga.
5. Infeksi
6. Perdarahan inrakranial
a. Hematoma epidural
Hemtoma epidural merupakan

suatu

akibat

serius

dari

cederamkepala. Hematoma epidural paling sering terjadi pada


daerah peritotemporal akibat robekan arterio meningea media.
Pengobatan secara dini dapat mengurangi defisit neurologik.
b. Hematoma subdural
Hematoma epidural pada umumnya berasal dari arteria,
hematoma subdural berasal dari vena yang ruptur yang terjadi di
ruang subdural. Hematoma subdural dibedakan menjadi akut dan
kronik
1) Subduralis haematoma akut
Kejadian akut hematoma di antara durameter dan korteks,
dimana pembuluh darah kecil sinus vena pecah atau terjadi
perdarahan atau jembatan vena bagian atas pada interval yang
akibat tekanan lalu terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan
cepat, karena tekanan jaringan otak sehingga darah cepat tertuangkan dan

memenuhi rongga antara durameter dan korteks. Kejadian


dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam
jaringan

otak).

Pada

kejadian

akut

hematoma,

lucidum

intervalum akan terasa setelah beberapa jam sampai 1 atau 2


hari. Tanda-tanda neurologis-klinis disini jarang memberi gejala
epileptiform pada perdarahan dasar duramater. Akut hematoma

subduralis pada trauma kapitis dapat juga terjadi tanpa Fraktur


kranii, namun pembuluh darah arteri dan vena di korteks
terluka. Pasien segera pingsan/ koma. Jadi, disini tidak ada
"free interval time". Kadang-kadang pembuluh darah besar
seperti arteri dan sinus dapat juga terluka. Dalam kasus ini
sering dijumpai kombinasi dengan intraserebral hematoma
sehingga mortalitas subdural haematoma akut sangat tinggi.
2) Hematoma subdural kronik
Hematoma subdural kronik seringkali disebut peniru karena
tanda dan gejalanya tidak spesifik, tidak terokalisasi, dan dapat
disebabkan oleh penyakit lain. Beberapa penderita mengeluh
sakit kepala. Tanda dan gejala yang lain khas adalah perubahan
progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apati, letargi, dan
berkurangnya

perhatian,

menurunnya

kemampuan

untuk

menggunakan kecakapan kognitif lebih tinggi.


c. Subrachnoidalis Hematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu
perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling
sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan
pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir
aneurysna Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah
otak. Gambaran klinik tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit
tetapi terjadi gangguan ingatan karena timbulnya gangguan
meningeal. Akut Intracerebralis Hematoma terjadi karena pukulan
benda

tumpul

di

daerah

korteks

dan

subkorteks

yang

mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada


jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak
menjadi pecah pula karena tekanan pada durameter bagian bawah
melebar sehingga terjadilah "subduralis haematoma", disertai
gejala kliniknya (Borley & Grace, 2006).
B.Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada trauma kepala
menurut Grace, Piere (2006):

1. CT Scan / MRI menunjukkan kontusio, hematoma, hidrosefalus,


edema serebral; mengidentifikasi luasnya lesi,perdarhan, determinan
ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan: untuk mengetahui
adanya infark/iskemia jangan dilakukan pada 24-72 jam setelah injuri.
2. Pengkajian neurologis dengan GCS
3. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) untuk menentukan fungsi
korteks dan batang otak
4. PET

Positron

Emision

Tomography)

menunjukkan

perubahan

aktivitas metabolisme pada otak


5. GDA (Gas Darah Arteri) untuk mengetahui adanya masalah ventilasi
atau oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK.
6. Angiografi Serebral menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
7. EEG akan memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang
yang patologis
8. X-ray akan mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur
pergeseran struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan
adanya frakmen tulang).
9. Pungsi Lumbal, Cairan Serebrospinal dapat menduga kemungkinan
adanya perdarahan subaraknoid.
10.

Kimia/elektrolit darah untuk mengetahui ketidakseimbangan yang

berperan yang berperan dalam peningkatan tekanan intrakranial.


C. Tatalaksana Cidera Kepala
Menurut Smeltzer (2001) penatalaksanaan pada klien dengan cidera
kepala antara lain.
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat)

untuk

mengurangi

vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.

5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk


infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18
jam pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
7. Pembedahan.
Penatalaksanaan cidera kepala dapat dibagi berdasarkan:
1. Kondisi kesadaran pasien
a. Kesadaran menurun
b. Kesadaran baik
2. Tindakan
a. Terapi non-operatif
b. Terapi operatif
3. Saat kejadian
a. Manajemen prehospital
b. Instalasi Gawat Darurat
c. Perawatan di ruang rawat
Terapi non-operatif pada pasien cedera kepala ditujukan untuk:
1. Mengontrol
2.
3.
4.
5.

fisiologi

dan

substrat

sel

otak

serta

mencegah

kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial


Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)
Minimalisasi kerusakan sekunder
Mengobati simptom akibat trauma otak
Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang,
infeksi (antikonvulsan dan antibiotik)

Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus:


1. Cedera kepala tertutup
a. Fraktur impresi (depressed fracture)
b. Perdarahan epidural (hematoma epidural/EDH) dengan volume
perdarahan lebih dari 30mL/44mL dan/atau pergeseran garis
tengah lebih dari 3 mm serta ada perburukan kondisi pasien
c. Perdarahan
subdural
(hematoma
subdural/SDH)
dengan
pendorongan garis tengah lebih dari 3 mm atau kompresi/
obliterasi sisterna basalis
d. Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas
kelainan neurologik atau herniasi
2. Pada cedera kranioserebral terbuka

a. Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, fraktur


b.
c.
d.
e.

multipel, dura yang robek disertai laserasi otak


Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari
Pneumoencephali
Corpus alienum
Luka tembak

Pasien Dalam Keadaan Sadar


1. Simple Head Injury (SHI)
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran
sama sekali dan tidak ada defisit neurologik, dan tidak ada muntah.
Tindakan hanya perawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas
indikasi. Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan nasihat dan
keluarga diminta mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai kesadaran
menurun saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan
sulit dibangunkan, pasien harus segera dibawa kembali ke rumah
sakit.
2. Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma
kepala,

dan

saat

diperiksa

sudah

sadar

kembali.

Pasien

ini

kemungkinan mengalami cedera kepala ringan (CKR).


Pasien dengan kesadaran Menurun
1. Cedera kepala ringan
Umumnya didapatkan perubahan orientasi atau tidak mengacuhkan
perintah, tanpa disertai defisit fokal serebral. Dilakukan pemeriksaan
fisik, perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi
bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis.
Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan
hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid interval, nyeri kepala,
muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi
(pupil anisokor, refleksi patologis positif ). Jika dicurigai ada
hematoma, dilakukan CT scan.
Pasien cedera kranioserebral ringan (CKR) tidak perlu dirawat jika:
a. orientasi (waktu dan tempat) baik
b. tidak ada gejala fokal neurologik
c. tidak ada muntah atau sakit kepala
d. tidak ada fraktur tulang kepala

e. tempat tinggal dalam kota


f. ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah, dan bila dicurigai
ada perubahan kesadaran, dibawa kembali ke RS
2. Cedera kepala sedang
Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner.
Urutan tindakan:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan
(Breathing), dan sirkulasi (Circulation)
b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan
cedera organ lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau
tulang ekstremitas, lakukan fiksasi leher dengan pemasangan
kerah leher dan atau fiksasi tulang ekstremitas bersangkutan
c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya
d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral
lainnya
3. Cedera kranioserebral berat
Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila
didapatkan fraktur servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila
ada luka terbuka dan ada perdarahan, dihentikan dengan balut tekan
untuk pertolongan pertama. Tindakan sama dengan cedera kepala
sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU.
Di samping kelainan serebral juga bisa disertai kelainan sistemik.
Pasien cedera kranioserebral berat sering berada dalam keadaan
hipoksi, hipotensi, dan hiperkapni akibat gangguan kardiopulmoner.
D.Anamnesis
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan : riwayat
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu
ditemukan. Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah,
misalnya jatuh dari tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun
tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak
(stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan
kejadiannya, jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih
dahulu sebelum jatuh.
Anamnesis lebih rinci tentang:
a. Sifat kecelakaan.
b. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.
c. Ada tidaknya benturan kepala langsung.

d. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai


saat diperiksa. Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan
peristiwanya sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di
rumah

sakit

retrograd.

untuk

Muntah

mengetahui
dapat

kemungkinan

disebabkan

oleh

adanya

amnesia

tingginya

tekanan

intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/turun


kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi (kesadaran
berubah).
Indikasi Rawat Inap:
1.
2.
3.
4.

Perubahan kesadaran saat diperiksa


Fraktur tulang tengkorak
Terdapat defisit neurologik.
Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak-anak,

riwayat minum alkohol, pasien tidak kooperatif.


5. Adanya faktor sosial seperti:
a. Kurangnya pengawasan orang tua/keluarga bila dipulangkan.
b. Kurangnya pendidikan orang tua/keluarga
c. Sulitnya transportasi ke rumah sakit.
Pasien yang diperbolehkan pulang harus dipesan agar segera kembali ke
rumah sakit bila timbul gejala sebagai berikut:
1. Mengantuk

berat

atau

sulit

dibangunkan.

Penderita

harus

dibangunkan tiap 2 jam selama periode tidur.


2. Disorientasi, kacau, perubahan tingkah laku
3. Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam.
4. Rasa lemah atau rasa baal pada lengan atau tungkai, kelumpuhan,
penglihatan kabur.
5. Kejang, pingsan.
6. Keluar darah/cairan dari hidung atau telinga
7. Salah satu pupil lebih besar dari yang lain, gerakan-gerakan aneh
bola mata, melihat dobel, atau gangguan penglihatan lain
8. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat atau pola nafas
yang tidak biasa
Rawat inap mempunyai dua tujuan, yakni observasi (pemantauan) dan
perawatan. Observasi ialah usaha untuk menemukan sedini mungkin
kemungkinan terjadinya penyulit atau kelainan lain yang tidak segera

memberi
Pada

tanda

penderita

yang

tidak

atau
sadar,

perawatan

gejala.
merupakan

bagian

terpenting dari penatalaksanaan. Tindakan pembebasan jalan nafas dan


pernapasan mendapat prioritas utama untuk diperhatikan. Penderita
harus diletakkan dalam posisi berbaring yang aman.
E. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan meliputi:
a. Breathing: Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan
gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola
napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa
Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor,
ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung
terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
b. Blood: Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan
darah

bervariasi.

Tekanan

pada

pusat

vasomotor

akan

meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang


akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan
tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi
jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia)
c. Brain: Gangguan
manifestasi

kesadaran

adanya

merupakan

gangguan

otak

salah

akibat

satu

bentuk

cidera

kepala.

Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,


vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada
ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak
akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
1. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku
dan memori).
2. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
3. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi
pada mata.
4. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.

5. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada


nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
6. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah
jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan
d.

menelan.
Bladder: Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa

retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.


e. Bowel: Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah,
mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami
perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya
proses eliminasi alvi.
f. Bone: Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese,
paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena
imobilisasi

dan

dapat

pula

terjadi

spastisitas

atau

ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena


rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan
refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus
otot
F. Masalah Keperawatan yang Mungkin Timbul
1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan depresi pada
pusat napas di otak.
2. Ketidakefektifan bersihan

jalan

nafas

berhubungan

dengan

penumpukan sekret.
3. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan edema
serebral
4. Keterbatasan aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran
(soporos-coma).
5. Kecemasan keluarga berhubungan dengan keadaan kritis pada
pasien.
6. Resiko tinggi gangguan integritas kulit berhubungan dengan
immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.

You might also like