You are on page 1of 19

KATA PENGANTAR

Dengan penuh rasa syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa atas rahmat dan petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
ini guna menyelesaikan salah satu persyaratan dalam menempuh Kepaniteraan
Klinik Bagian Ilmu Penyakit Saraf di RSUD kota Semarang. Pada kesempatan
ini juga, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dr. Mintarti Sp.S dan dr. Dyah Nuraini Sp.S selaku pembimbing.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna,
mengingat terbatasnya kemampuan dan waktu yang ada. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang kiranya dapat membangun. Besar harapan
agar referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Akhir kata, penulis mohon maaf bilamana ada kesalahan dalam
penyusunan referat ini, juga selama menjalankan kepaniteraan Ilmu Kesehatan
Saraf di RSUD Kota Semarang.

Semarang, Juni 2015


Penyusun

Olga Ayu Pratami

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..

Daftar Isi...

Lembar Pengesahan ..............................................................................................

BAB I Pendahuluan .....

BAB II Pembahasan .................

2.1 Definisi ..............................................................................................

2.2 Klasifikasi...........................................................................................

2.3 Etiologi ..............................................................................................

10

2.4 Patofisiologi ................................................................................ ......

12

2.5 Pemeriksaan Penunjang .....................................................................

14

2.6 Penatalaksanaan .................................................................................

16

2.7 Prognosis ............................................................................................

18

BAB III Kesimpulan ..................................................................................... .......

19

Daftar Pustaka ........ 20

LEMBAR PENGESAHAN

NAMA

: Olga Ayu Pratami

NIM

: 03007198

UNIVERSITAS

: TRISAKTI JAKARTA

JUDUL REFERAT

: Patofisiologi dan Pengelolaan Paralisis Periodik

BAGIAN

: ILMU PENYAKIT SARAF

RS

: RSUD Kota Semarang

Juni 2015
Pembimbing

Dr. Mintarti, Sp.S

Kepala SMF Bag. Saraf RSUD Semarang

Dr. Dyah Nuraini Sp.S

BAB I
PENDAHULUAN

Periodik paralisis merupakan kelainan pada membran yang sekarang ini dikenal sebagai
salah satu kelompok kelainan penyakit chanellopathies pada otot skeletal. Kelainan ini
dikarakteristikkan dengan terjadinya suatu episodik kelemahan tiba-tiba yang disertai
gangguan pada kadar kalium serum. Paralisis periodik adalah suatu sindrom klinis dengan
kelemahan/paralisis otot akut. Penyakit yang berat dapat dimulai pada masa anak-anak,
sedangkan kasus yang ringan seringkali mulai pada dekade ketiga. Penyakit ini sebagian
besar bersifat herediter dan diturunkan secara autosomal dominan. Prevalensi 1 per 100.000
populasi. Mekanisme yang mendasari penyakit ini adalah malfungsi pada ion channel pada
membran otot skelet/channelopathy. Pada paralisis periodik terdapat serangan kelemahan
flaksid yang hilang timbul, dapat bersifat setempat maupun menyeluruh. Penderita
mengalami kelemahan bagian proksimal ekstremitas yang cepat dan progresif tapi otot-otot
kranial dan pernafasan biasanya terhindar dari kelemahan. Serangan dapat menyebabkan
kelemahan yang asimetris dengan derajat kelemahan yang berbeda pada beberapa golongan
otot saja sampai pada suatu kelumpuhan umum. Kelemahan biasanya menghilang dalam
beberapa jam, namun defisit yang permanen bisa terjadi pada penderita yang sering
mendapatkan serangan. Di luar serangan tidak ditemukan kelainan neurologi maupun
kelainan elektromiografis. Dibedakan menjadi paralisis periodik primer dan sekunder.
Paralisis periodik primer memiliki karakteristik : bersifat herediter, sebagian besar
berhubungan dengan perubahan kadar kalium dalam darah, kadang disertai miotonia, adanya
gangguan pada ion channels. Paralisis periodik primer meliputi paralisis periodik
hipokalemia, hiperkalemia dan paramiotonia. Paralisis periodik tirotoksikosis adalah paralisis
periodik sekunder. Atas dasar kadar kalium darah pada saat serangan, dibedakan 3 jenis
paralisis periodik yaitu : paralisis periodik hipokalemia, paralisis periodik hiperkalemia dan
paralisis periodik normokalemi.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Paralisis Periodik (PP) adalah sekelompok gangguan otot rangka dengan bermacam
etiologi, bersifat episodik, berlangsung sebentar, hiporefleks, dengan atau tanpa miotonia
tetapi tanpa defisit sensorik dan tanpa kehilangan kesadaran. Paralisis periodik adalah
gangguan otot rangka di mana pasien mengalami serangan kelemahan otot dengan durasi dan
derajat yang bervariasi. Serangan dapat berlangsung dari beberapa menit sampai beberapa
hari. Kelemahan dalam serangan dapat general atau fokal. Dalam perjalanan penyakitnya dari
penyakit otot ini, kekuatan normal kembali setelah serangan, tetapi kemudian kelemahan otot
signifikan yang menetap sering berkembang.1 Pada awal perjalanan penyakit ini, kelumpuhan
periodik primer atau yang diturunkan (familial), kekuatan otot normal diantara serangan.
Setelah bertahun-tahun serangan ini, kelemahan interiktal terjadi dan mungkin progresif.
Gangguan ini dapat diobati dan kelemahan progresif dapat dicegah atau bahkan dapat
sembuh.1,2
2.2 Klasifikasi
Paralisis periodik dibagi menjadi dua golongan berdasarkan penggolongan secara
konvensional yaitu paralisis periodik primer atau familial dan paralisis periodik sekunder.
Paralisis periodik primer atau familial merupakan kelompok gangguan akibat mutasi gen
tunggal yang mengakibatkan kelainan saluran kalsium, kalium natrium, dan klorida pada sel
otot - membran. Oleh karena itu, ini juga dikenal sebagai channelopathies atau
membranopathies.2 Paralisis periodik sekunder mungkin karena terbukti diketahui oleh
beberapa penyebab. Riwayat

penggunaan ACE inhibitor, angiotensin-II-reseptor-blocker,

diuretik, atau carbenoxolone memberikan petunjuk untuk diagnosis paralisis periodik


sekunder. Karakteristik klinis atau biokimia dari gagal ginjal kronis, tirotoksikosis,
paramyotonia kongenital, atau sindrom Andersen dapat ditemukan kelumpuhan periodik
sekunder. Berikut di bawah ini penggolongan paralisis periodik secara konvensional.2
2.2.1 Paralisis periodik primer atau familial :

a. Paralisis periodik hipokalemik


b. Paralisis periodik hiperkalemik
c. Paralisis periodik normokalemik
Semua di atas diturunkan secara autosomal dominan
2.2.2

Paralisis periodik sekunder:


a. Paralisis periodik hipokalemik :
- Tirotoksikosis
- Thiazide atau loop-diuretic induced
- Nefropati yang menyebabkan kehilangan kalium
- Drug-induced : gentamicin, carbenicillin, amphotericin-B, turunan
tetrasiklin, vitamin B12 , alkohol, carbenoxolone
- Hiperaldosteron primer atau sekunder
- Keracunan akut akibat menelan barium karbonat sebagai rodentisida
- Gastro-intestinal potassium loss
b. Paralisis periodik hiperkalemik :
- Gagal ginjal kronis
- Terapi ACE-inhibitor dosis tinggi, atau nefropati diabetik lanjut
- Potassium supplements jika digunakan bersama potassium sparing
diuretics (spironolactone, triamterene, amiloride) dan atau ACE-

inhibitors
Andersens cardiodysrhythmic syndrome
Paramyotonia congenita-periodic paralysis terjadi spontan atau dipicu
oleh paparan suhu dingin

2.2.3 Paralisis periodik hipokalemik


Paralisis periodik hipokalemik adalah kelainan yang ditandai kelemahan otot akut
karena hipokalemia yang terjadi secara episodik. Sebagian besar paralisis periodik
hipokalemik merupakan paralisis periodik hipokalemik primer atau familial. Paralisis
periodik hipokalemik sekunder bersifat sporadik dan biasanya berhubungan dengan
penyakit tertentu atau keracunan. Salah satu kelainan ginjal yang dapat menyebabkan
paralisis periodik hipokalemik sekunder adalah asidosis tubulus renalis distal (ATRD) yang
biasanya terjadi pada masa dewasa. Gejala klinis yang karakteristik adalah kelemahan otot
akut yang bersifat intermiten, gradual, biasanya pada ekstremitas bawah, dapat unilateral
atau bilateral, disertai nyeri di awal serangan. Paralisis periodik hipokalemik diterapi
dengan kalium dan mengobati penyakit dasarnya. Analisis yang cermat diperlukan untuk
mengetahui penyakit dasarnya karena sangat menentukan tata laksana dan prognosis
selanjutnya.3

Paralisis periodik hipokalemik adalah kelainan yang ditandai dengan kadar kalium
yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat serangan, disertai riwayat episode
kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal. Hipokalemia dapat terjadi karena adanya
faktor pencetus tertentu, misalnya makanan dengan kadar karbohidrat tinggi, istirahat
sesudah latihan fisik, perjalanan jauh, pemberian obat, operasi, menstruasi, konsumsi
alkohol dan lain-lain. Kadar insulin juga dapat mempengaruhi kelainan ini pada banyak
penderita, karena insulin akan meningkatkan aliran kalium ke dalam sel. Pada saat serangan
akan terjadi pergerakan kalium dari cairan ekstra selular masuk ke dalam sel, sehingga pada
pemeriksaan kalium darah terjadi hipokalemia. Kadar kalium biasanya dalam batas normal
diluar serangan. Pencetus untuk setiap individu berbeda, juga tidak ada korelasi antara
besarnya penurunan kadar kalium serum dengan beratnya paralisis (kelemahan) otot
skeletal.4
Penderita dapat mengalami serangan hanya sekali, tetapi dapat juga serangan berkalikali (berulang) dengan interval waktu serangan juga bervariasi. Kelemahan biasanya terjadi
pada otot kaki dan tangan, tetapi kadang-kadang dapat mengenai otot mata, otot pernafasan
dan otot untuk menelan, di mana kedua keadaan terakhir ini dapat berakibat fatal. Angka
kejadian adalah sekitar 1 diantara 100.000 orang, pria lebih sering dari wanita dan biasanya
lebih berat. Usia terjadinya serangan pertama bervariasi dari 120 tahun, frekuensi serangan
terbanyak di usia 1535 tahun dan kemudian menurun dengan peningkatan usia.
Hipokalemik periodik paralisis biasanya terjadi karena kelainan genetik otosomal dominan.
Hal lain yang dapat menyebabkan terjadinya hipokalemik periodik paralisis adalah
tirotoksikosis (thyrotoxic periodic paralysis), hiperinsulin.4
Diagnosa kelainan hipokalemik periodik paralisis ditegakkan berdasarkan kadar
kalium darah rendah [kurang dari 3,5 mmol/L (0,93,0 mmol/L) ] pada waktu serangan,
riwayat mengalami episode flaccid paralysis dengan pemeriksaan lain dalam batas normal.
Paralisis yang terjadi pada penyakit ini umumnya berlokasi di bahu dan panggul meliputi
juga tangan dan kaki, bersifat intermiten, serangan biasanya berakhir sebelum 24 jam, pada
EMG dan biopsi otot ditemukan miotonia, refleks Babinsky positif, kekuatan otot normal
diluar serangan. Terdapat 2 bentuk kelainan otot yang diobservasi yaitu episode paralitik
dan bentuk miopati, kedua keadaan ini dapat terjadi secara terpisah ataupun bersama-sama.
Sering terjadi bentuk paralitik murni, kombinasi episode paralitik dan miopati yang
progresifitasnya lambat jarang terjadi, demikian pula bentuk miopatik murni jarang terjadi.

Episode paralitik ditandai terutama adanya flaccid paralysis dengan hipokalemia sehingga
dapat terjadi para paresis atau tetraparesis berpasangan dengan otot pernafasan. Pada pasien
ini murni flaccid paralysis dengan hipokalemia dan akan sembuh atau remisi sendiri 56
jam kemudian, dengan pemberian kalium per oral serangan menjadi lebih ringan. Tidak
terdapat kelainan pada otot pernafasan. Jika terdapat kelainan genetik maka pada analisa
didapatkan kelainan antara lain adalah autosomal dominan inheritance yaitu mutasi pada
kromososm CACNA1S (70%) disebut hipokalemik periodik paralisis tipe 1, mutasi lokus
pada kromosom SCN4A (10%) disebut hipokalemik periodik paralisis tipe 2.4
2.2.4 Paralisis periodik hiperkalemik
Lebih jarang dibanding paralisis periodik hipokalemik. Mulai timbul sebelum umur
10 tahun. Frekuensi dan berat serangan berkurang pada masa remaja dan hilang
pada saat dewasa. Frekuensi laki-laki dan wanita sama. Berbagai faktor pencetus terjadinya
paralisis periodik hiperkalemik diantaranya : 5,6
1. Lapar
2. Istirahat setelah kena dingin atau setelah latihan
3. Asupan kalium yang berlebihan
4. Infeksi
5. Kehamilan
6. Anestesi
Pada paralisis periodik hiperkalemia, karbohidrat dan garam bukan merupakan faktor
pencetus. Gejala lebih ringan dibandingkan paralisis periodik hipokalemia. Biasanya
berlangsung kurang dari 1 jam. Serangan lebih sering terjadi pada siang hari dan biasanya
terjadi waktu istirahat, misalnya sedang duduk. Keluhan berkurang bila penderita berjalanjalan. Kelemahan dimulai dari tungkai lalu menjalar ke paha, punggung, tangan, lengan dan
bahu. Sebelum timbul kelemahan biasanya terdapat rasa kaku dan kesemutan pada kedua
tungkai. Jarang terjadi gangguan menelan dan napas. Sering terdapat miotonia pada otot
mata, wajah, lidah dan faring. Pada saat serangan didapatkan tonus dan refleks fisiologis
yang menurun dan tanda Chovstek yang positif. Diluar serangan kekuatan otot normal, pada
fase lanjut terdapat kelemahan otot-otot proksimal.5,6
2.2.5 Paralisis Periodik Normokalemik
Jenis ini paling jarang ditemui. Patofisiologinya belum diketahui. Serangan lebih berat
dan lebih lama daripada paralisis periodik hiperkalemia. Serangan dapat ditimbulkan oleh
pemberian KCl dan dapat dihentikan dengan pemberian NaCl. Serangan tidak dipicu oleh

pemberian insulin, glukosa ataupun kalium.7 Karakteristik klinis perbedaan dari paralisis
periodik hiperkalemik dan paralisis hipokalemik dapat dilihat pada tabel di bawah ini.1
Paralisis periodik

Paralisis peiodik hipokalemik

hiprekalemik
Dekade pertama
Istirahat sehabis latihan,

Dekade kedua
Istirahat sehabis latihan,

dingin, puasa, makanan kaya

kelebihan karbohidrat

Waktu serangan
Durasi serangan

kalium
Kapan pun
Beberapa menit sampai

Pada saat bangun tidur pagi hari


Beberapa jam sampai beberapa

Keparahan

beberapa jam
Ringan sampai sedang, fokal

hari
Sedang sampai berat

serangan
Gejala tambahan
Kalium serum
Pengobatan

Miotonia atau paramiotonia


Biasanya tinggi, bisa normal
Acetazolamide,

Rendah
Acetazolamide,

dichlorphenamide, thiazide,

dichlorphenamide, suplemen

beta-agonist
SCN4A: Nav1.4 (sodium

kalium, diuretik hemat kalium


CACNA1S: Cav1.1 (calcium

channel subunit

channel subunit)

KCNJ2: Kir2.1 (pottasium

SCN4A: Nav1.4 (sodium channel

channel subunit)

subunit)

Onset
Pemicu

Gen/ ion channel

KCNJ2: Kir2.1 (pottasium


channel subunit)
2.3 Etiologi
Sinyal listrik pada otot skeletal, jantung dan saraf merupakan suatu alat untuk
mentransmisikan suatu informasi secara cepat dan jarak yang jauh. Kontraksi otot skeletal
diinisiasi dengan pelepasan ion kalsium oleh retikulum sarkoplasma, yang kemudian terjadi
aksi potensial pada motor end-plate yang dicetuskan oleh depolarisasi dari transverse tubule
(T tubule). Ketepatan dan kecepatan dari jalur sinyal ini tergantung aksi koordinasi beberapa
kelas kanal ion voltage-sensitive. Mutasi dari gen dari kanal ion tersebut akan menyebabkan
kelainan yang diturunkan pada manusia. Dan kelainannya disebut chanelopathies yang

cenderung menimbulkan gejala yang paroksismal : miotonia atau periodik paralisis dari otototo skeletal. Defek pada kanal ion tersebut dapat meningkatkan eksitasi elektrik suatu sel,
menurunkan kemampuan eksitasi, bahkan dapat menyebabkan kehilangan kemampuan
eksitasi. Dan kehilangan dari eksitasi listrik pada otot skeletal merupakan kelainan dasar dari
periodik paralisis.8
Potensial Aksi
Ketika sel saraf mendapat stimulus, aksi potensial dimulai. Kanal natrium terbuka,
menyebabkan ion Na+ masuk ke dalam sel. Ini merupakan proses difusi pasif. Setelah impuls
melewati bagian tertentu sel saraf, pompa sodium dan potasium memompa keluar 3 ion
natrium untuk setiap 2 ion kalium yang dipompa kembali ke dalam sel.

Gambar 1. Anatomi Sel saraf


Selama depolarisasi pada potensial aksi, ion natrium masuk ke dalam otot (melalui tubulus T)
dan sel saraf (melalui kanal natrium) secara pasif, dimana kelistrikan/voltage nya antara -70
sampai -90 mV (saat istirahat) hingga +30 sampai +35 mV pada puncak potensial aksi.
Secara teknis, sel saraf mengalami depolarisasi ketika voltage mencapai 0 mV. Selama
repolarisasi, ion kalium meninggalkan sel saraf. Selama pemulihan (recovery), ion natrium
dan kalium dipompa kembali ke posisi awalnya dengan mekanisme transpor aktif
menggunakan ATP. Sel saraf dan otot harus mencapai potensi ambang sebelum masingmasing dapat meneruskan impuls atau kontraksi.

10

Gambar 2. Mekanisme potensial aksi


2.4 Patofisiologi
2.4.1 Kalium
Kalium memiliki fungsi mempertahankan membran potensial elektrik dalam tubuh dan
menghantarkan aliran saraf di otot. Kalium mempunyai peranan yang dominan dalam hal
eksitabilitas sel, terutama sel otot jantung, saraf, dan otot lurik. Kalium mempunyai peran
vital di tingkat sel dan merupakan ion utama intrasel. Ion ini akan masuk ke dalam sel dengan
cara transport aktif, yang memerlukan energi. Fungsi kalium akan nampak jelas bila fungsi
tersebut terutama berhubungan dengan aktivitas otot jantung, otot lurik, dan ginjal.
Eksitabilitas sel sebanding dengan rasio kadar kalium di dalam dan di luar sel. Berarti bahwa
setiap perubahan dari rasio ini akan mempengaruhi fungsi dari selsel yaitu tidak
berfungsinya membran sel yang tidak eksitabel, yang akan menyebabkan timbulnya keluhan
keluhan dan gejalagejala sehubungan dengan tidak seimbangnya kadar kalium. Kadar kalium
normal intrasel adalah 135 150 mEq/L dan ekstrasel adalah 3,55,5mEq/L. Perbedaan kadar
yang sangat besar ini dapat bertahan, tergantung pada metabolisme sel. Dengan demikian
situasi di dalam sel adalah elektro negatif dan terdapat membran potensial istirahat kurang
lebih sebesar -90 mvolt. 8
2.4.2

Paralisis periodik hipokalemik


Hipokalemia merupakan kelainan elektrolit yang sering terjadi pada praktek klinis yang

didefinisikan dengan kadar kalium serum kurang dari 3,5 mEq/L, pada hipokalemia sedang
kadar kalium serum 2,5-3 mEq/L, dan hipokalemia berat kadar kalium serumnya kurang dari

11

2,5 mEq/L. Keadaan ini dapat dicetuskan melalui berbagai mekanisme, termasuk asupan
yang tidak adekuat, pengeluaran berlebihan melalui ginjal atau gastrointestinal, obat-obatan,
dan perpindahan transelular (perpindahan kalium dari serum ke intraselular). Gejala
hipokalemi ini terutama terjadi kelainan di otot. Konsentrasi kalium serum pada 3,0-3,5
mEq/L berhubungan dengan suatu keadaan klinis seperti kelemahan otot ringan, fatigue, dan
mialgia. Pada konsentrasi serum kalium 2,5-3,0 mEq/L kelemahan otot menjadi lebih berat
terutama pada bagian proximal dari tungkai. Ketika serum kalium turun hingga dibawah dari
2,5 mEq/L maka dapat terjadi kerusakan struktural dari otot, termasuk rhabdomiolisis dan
mioglobinuria. Peningkatan osmolaritas serum dapat menjadi suatu prediktor terjadinya
rhabdomiolisis. Selain itu suatu keadaan hipokalemia dapat mengganggu kerja dari organ
lain, terutama sekali jantung yang banyak sekali mengandung otot dan berpengaruh terhadap
perubahan kadar kalium serum. Perubahan kerja jantung ini dapat kita deteksi dari
pemeriksaan elektrokardiogram (EKG). Perubahan pada EKG ini dapat mulai terjadi pada
kadar kalium serum dibawah 3,5 dan 3,0 mEq/L. Kelainan yang terjadi berupa inversi
gelombang T, timbulnya gelombang U dan ST depresi, pemanjangan dari PR, QRS, dan QT
interval. 2,5
Periodik paralisis hipokalemi (HypoPP) merupakan bentuk umum dari kejadian
periodik paralisis yang diturunkan, dimana kelainan ini diturunkan secara autosomal
dominan. Dari kebanyakan kasus pada periodik paralisis hipokalemi terjadi karena mutasi
dari gen reseptor dihidropiridin pada kromosom 1q. Reseptor ini merupakan calcium channel
yang bersama dengan reseptor ryanodin berperan dalam proses coupling pada eksitasikontraksi otot. Fontaine et.al telah berhasil memetakan mengenai lokus gen dari kelainan
HypoPP ini terletak tepatnya di kromosom 1q2131. Dimana gen ini mengkode subunit alfa
dari L-type calcium channel dari otot skeletal secara singkat di kode sebagai CACNL1A3.
Mutasi dari CACNL1A3 ini dapat disubsitusi oleh 3 jenis protein arginin (Arg) yang berbeda,
diantaranya Arg-528-His, Arg-1239-His, dan Arg-1239-Gly. Pada Arg-528-His terjadi sekitar
50 % kasus pada periodik paralisis hipokalemi familial dan kelainan ini kejadiannya lebih
rendah pada wanita dibanding pria. Pada wanita yang memiliki kelainan pada Arg-528-His
dan Arg-1239-His sekitar setengah dan sepertiganya tidak menimbulkan gejala klinis.9,10
Sebagai gejala klinis dari periodik paralisis hipokalemi ini ditandai dengan kelemahan
dari otot-otot skeletal episodik tanpa gangguan dari sensoris ataupun kognitif yang
berhubungan dengan kadar kalium yang rendah di dalam darah dan tidak ditemukan tanda-

12

tanda miotonia dan tidak ada penyebab sekunder lain yang menyebabkan hipokalemi. Gejala
pada penyakit ini biasanya timbul pada usia pubertas atau lebih, dengan serangan kelemahan
yang episodik dari derajat ringan atau berat yang menyebabkan quadriparesis dengan disertai
penurunan kapasitas vital dan hipoventilasi, gejala lain seperti fatigue dapat menjadi gejala
awal yang timbul sebelum serangan, namun hal ini tidak selalu diikuti dengan terjadinya
serangan kelemahan. Serangan sering terjadi saat malam hari atau saat bangun dari tidur dan
dicetuskan dengan asupan karbohidrat yang banyak serta riwayat melakukan aktivitas berat
sebelumnya yang tidak seperti biasanya. Serangan ini dapat terjadi hingga beberapa jam
sampai yang paling berat dapat terjadi beberapa hari dari kelumpuhan tersebut.1,8
Distribusi kelemahan otot dapat bervariasi. Kelemahan pada tungkai biasanya terjadi
lebih dulu daripada lengan dan sering lebih berat kelemahannya dibanding lengan, dan bagian
proksimal dari ekstremitas lebih jelas terlihat kelemahannya dibanding bagian distalnya.
Terkecuali, kelemahan ini dapat juga terjadi sebaliknya dimana kelemahan lebih dulu terjadi
pada lengan yang kemudian diikuti kelemahan pada kedua tungkai dimana terjadi pada pasien
ini. Otot-otot lain yang jarang sekali lumpuh diantaranya otot-otot dari mata, wajah, lidah,
pharing, laring, diafragma, dan spingter, namun pada kasus tertentu kelemahan ini dapat saja
terjadi. Saat puncak dari serangan kelemahan otot, refleks tendon menjadi menurun dan terus
berkurang menjadi hilang sama sekali dan reflek kutaneus masih tetap ada. Rasa sensoris
masih baik. Setelah serangan berakhir, kekuatan otot secara umum pulih biasanya dimulai
dari otot yang terakhir kali menjadi lemah. Miotonia tidak terjadi pada keadaan ini, dan bila
terjadi dan terlihat pada klinis atau pemeriksaan EMG menunjukkan terjadinya miotonia
maka diagnosis HipoPP kita dapat singkirkan.3,8
Selain dari anamnesa, pemeriksaan penunjang lain seperti laboratorium darah dalam hal
ini fungsi ginjal, elektrolit darah dan urin, urinalisa urin 24 jam, kadar hormonal seperti T4
dan TSH sangat membantu kita untuk menyingkirkan penyebab sekunder dari hipokalemia.
Keadaan lain atau penyakit yang dapat menyebabkan hipokalemi diantaranya intake kalium
yang kurang, intake karbohidrat yang berlebihan, intoksikasi barium, kehilangan kalium
karena diare, periodik paralisis karena tirotoksikosis, renal tubular asidosis, dan
hyperaldosteronism.1
2.5 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah 1,2

13

2.5.1

Laboratorium
a. Kadar kalium serum
Kalium serum merupakan pemeriksaan laboratorium yang paling penting.
Diantara serangan paralisis, kalium serum abnormal pada tipe paralisis periodik
sekunder, tetapi biasanya normal pada paralisis periodik primer. Selama serangan
kadar kalium serum dapat tinggi, rendah, atau di atas batas normal dan bisa di
bawah batas normal. Pemeriksaan secara random kadar kalium serum dapat
menunjukan fluktuasi yang periodik pada paralisis periodik normokalemik.
Konsentrasi kalium serum pada 3,0-3,5 mEq/L berhubungan dengan suatu
keadaan klinis seperti kelemahan otot ringan, fatigue, dan mialgia. Pada
konsentrasi serum kalium 2,5-3,0 mEq/L kelemahan otot menjadi lebih berat
terutama pada bagian proximal dari tungkai. Ketika serum kalium turun hingga
dibawah dari 2,5 mEq/L maka dapat terjadi kerusakan struktural dari otot,
b.
c.
d.

termasuk rhabdomiolisisdan miogobinuria.


Fungsi ginjal
Kadar glukosa darah pengambilan glukosa darah ke dalam sel menyebabkan
kalim berpindah dari luar sel (darah) ke dalam sel-sel tubuh.
pH darah
Dibutuhkan untuk menginterpretasikan K+ yang rendah. Alkalosis biasa
menyertai hipokalemia dan menyebabkan pergeseran K + ke dalam sel. Asidosis

e.
f.

2.5.2

menyebabkan kehilangan K+ langsung dalam urin.


Hormon tiroid : T3,T4 dan TSH untuk menyingkirkan penyebab sekunder
hipokalemia.
Kadar CPK (creatinin phospokinase) dan mioglobin serum
Kadar CPK tinggi pada paralisis periodik primer selama atau baru saja

setelah serangan. Kadar mioglobin serum juga mungkin tinggi.


EKG
Perubahan pada EKG ini dapat mulai terjadi pada kadar kalium serum dibawah 3,5

dan 3,0 mEq/L. Kelainan yang terjadi berupa inversi gelombang T, timbulnya gelombang
U dan ST depresi, pemanjangan dari PR, QRS, dan QT interval. 8
2.5.3 EMG
Di antara serangan, mungkin ada fibrilasi dan pengulangan keluaran kompleks,
meningkat dengan dingin dan menurun dengan latihan (dalam paralisis periodik
hipokalemik). Selama serangan, EMG akan menunjukkan listrik diam, baik pada
paralisis periodik hiperkalemik dan paralisis periodik hipokalemik.
2.5.4 Biopsi otot

14

Biopsi otot diperlukan pada beberapa kasus yang dengan penampilan klinis yang
tidak spesifik. Pada paralisis periodik hipokalemik primer muangkin terdapat vakuola
sentral yang tunggal atau mutipel. Pada paralisis periodik hiperkalemik sekunder,
vakuala dan agregat tubular dapat ditemukan.
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1

Paralisis periodik hipokalemik


Seperti pada bentuk lain dari periodik paralisis dan miotonia, kebanyakan pasien

dengan HypoPP tidak memerlukan intervensi farmakologis. Pasien kita edukasi dan berikan
informasi untuk mencegah dan menurunkan kejadian serangan melalui menghindari kegiatan
yang memerlukan kekuatan fisik yang berat, hindari kedinginan, mengkonsumsi buah-buahan
atau jus yang tinggi akan kalium, membatasi intake karbohidrat dan garam (160 mEq/hari).
Pemberian obat-obatan seperti penghambat carbonic anhidrase dapat diberikan untuk
menurunkan frekuensi dan beratnya serangan kelemahan episodik dan memperbaiki kekuatan
otot diantara serangan. Acetazolamide merupakan obat jenis tersebut yang banyak diresepkan,
dosis dimulai dari 125 mg/hari dan secara bertahap ditingkatkan hingga dosis yang
dibutuhkan maksimum 1500 mg/hari. Pasien yang tidak berespon dengan pemberian
acetazolamide dapat diberikan penghambat carbonic anhidrase yang lebih poten seperti,
dichlorphenamide 50 hingga 150 mg/hari atau pemberian diuretik hemat kalium seperti
spironolactone atau triamterine (keduanya dalam dosis 25 hingga 100 mg/hari). Pemberian
rutin kalium chlorida (KCL) 5 hingga 10 g per hari secara oral yang dilarutkan dengan cairan
tanpa pemanis dapat mencegah timbulnya serangan pada kebanyakan pasien. Pada suatu
serangan HypoPP yang akut atau berat, KCL dapat diberikan melalui intravena dengan dosis
inisial 0,05 hingga 0,1 mEq/KgBB dalam bolus pelan, diikuti dengan pemberian KCL dalam
5% manitol dengan dosis 20 hingga 40 mEq, hindari pemberian dalam larutan glukosa
sebagai cairan pembawa. Kepustakaan lain KCL dapat diberikan dengan dosis 50 mEq/L
dalam 250 cc larutan 5 % manitol.2.4
2.6.2 Paralisis periodik hiperkalemik
Penatalaksanaan dari paralisis periodik hiperkalemik diantaranya : 3
a. Profilaksis : acetazolamide atau diuretik thiazide dapat digunakan untuk mencegah
serangan.

15

b. Pengobatan saat serangan: pada kasus yang sedang tidak membutuhkan terapi obatobatan yang mana hanya dengan minum minuman yang manis atau permen gula dapat
mengurangi serangan. Pada kasus yang memanjang atau serangan yang lanjut diuretik
thiazide dan loop diuretik (furosemide, bumetanide) digunakan dalam dosis yang
cukup tinggi untuk menurunkan kadar kalium menjadi normal. Jika kadar kalium
darah sangat tinggi dapat diberikan secara intravena 20 ml kalsium glukonas 20% atau
drip normal saline atau secara intravena glukosa 10% ditambah insulin. Jika gagal
atau intoleransi terhadap diuretik, salbutamol dapat diberikan secara intravena untuk
mengatasi serangan.
2.6.3

Pengobatan paralisis periodik normokalemik

Penatalaksanaan sama dengan paralisis periodik hiperkalemik, seperti: 3


a.
b.
c.
d.
2.6.4

Diet tinggi karbohidrat, seperti permen gula


Thiazide, seperti chlorthalidone 250-1000 mg/hari
Pemberian secara intravena normal saline dan kalsium glukonas
Pemberian secara intravena insulin dan glukosa
Pengobatan paralisis periodik sekunder
Prinsip utamanya adalah penyebeb utamanya harus diobati dahulu, obat-obatan yang

memperburuk kondisi dihentikan. Suplemen kalium harus diberikan pada paralisis periodik
hipokalemik. Loop diuretik, glukosa ditambah insulin secara intravena, atau kalsium
glukonas harus diberikan pada paralisis periodik hiperkalemik.3
a. Paralisis periodik karena tirotoksikosis: pada kelainan ini terdapat hipokalemia,
pengobatan dengan memberikan kalium klorida dengan beta bloker dan carbimazole
(Neomercazole). Acetazolamide tidak efektif Pada kondisi emergensi propanolol
secara intravena dapat diberikan.
b. Paralisis periodik karena keracunan barium akut: diberikan larutan magnesium sulfat
2,5 gm secara intravena bolus tunggal. Pada kasus yang masih awal, lavase lambung
dengan magnesium sulfat (2,5%) dapat dibeikan. Bantuan ventilator dapat diberikan
jika diperlukan. Hipokalemia diatasi dengan pemberian secara intravena kalium
klorida. Natrium sulfat dapat digunakan menggantikan magnesium sulfat.
c. Paralisis periodik karena paramyotonia kongenital: biasanya terdapat hiperkalemia
dan paralisis dipicu oleh dingin. Karenanya itu, pasien harus di tempatkan di tempat
yang hangat. Pengobatan terdiri dari pemberian oral atau secara intravena glukosa dan
oral thiazide.

16

d. Sindrom Andersen: pasien harus dimasukkan ke ICU untuk monitoring jantung dan
pengobatan segera untuk disritmia jantung. Jika kadar kalium serum rendah,
meningkat, atau normal pengobatan untuk hipokalemia atau hiperkalemia dilakukan
berdasarkan kadar kalium serum.
2.7 Prognosis
Hiperkalemik periodik paralisis dan paramyotonia kongenital
-

Ketika tidak dihubungkan dengan kelemahan, kelainan ini biasanya tidak mengganggu
pekerjaan.

Myotonia bisa memerlukan pengobatan

Harapan hidup tidak diketahui.

Hipokalemik periodik paralisis


-

Pasien yang tidak diobati bisa mengalami kelemahan proksimal menetap, yang bisa
mengganggu aktivitas

Beberapa kematian sudah dilaporkan, paling banyak dihubungkan dengna aspirasi


pneumonia atau ketidakmampuan membersihkan sekresi

BAB III
KESIMPULAN

17

Periodik paralisis merupakan sindroma klinis yang dapat menyebabkan kelemahan


yang akut pada anak-anak maupun dewasa muda. Pasien akan mengalami kelemahan
progresif dari anggota gerak baik tungkai maupun lengan tanpa adanya gangguan sensoris
yang diikuti oleh suatu keadaan hipokalemia pada HypoPP. Gangguan ini secara
konvensional dibagi menjadi paralisis periodik primer atau diturunkan dan paralisis periodik
sekunder. Paralisis periodik primer merupakan kelompok gangguan akibat mutasi gen tunggal
yang mengakibatkan kelainan saluran kalsium, kalium natrium, dan klorida pada sel otot
membran. Kalium memiliki fungsi mempertahankan membran potensial elektrik dalam tubuh
dan menghantarkan aliran saraf di otot. Kalium mempunyai peranan yang dominan dalam hal
eksitabilitas sel, terutama sel otot jantung, saraf dan otot lurik. Keadaan hipokalemia yang
berat dapat mengganggu fungsi organ lain seperti jantung hingga terjadi gangguan irama
jantung yang bila tidak ditangani akan memperburuk keadaan pasien hingga mengancam
nyawa.

DAFTAR PUSTAKA

18

1.

Fialho D, Michael GH. Periodic Paralysis. 2007. p. 77-105.

2.

Arya, SN. Lecture Notes: Periodic Paralysis. Journal Indian Academy of Clinical

3.

Medicine. 2002; 3(4): 374-82.


Souvriyanti E, Sudung OP. Paralisis Periodik Hipokalemik pada Anak dengan Asidosis

4.
5.
6.

Tubulus Renalis Distal. 2008. p. 53-59.


Widjajanti A, Agustini SM. Hipokalemik Periodik Paralisis. 2005. p. 19-22
Graber M. Terapi Cairan, Elektrolit dan Metabolik, Ed. 1. Jakarta: Farmedia; 2002.
Kawamura S, Ikeda Y, Tomita K. A Family of Hypokalemic Periodic Paralysis with
CACNA1S Gene Mutation Showing Incomplete Penetrance in Women. Internal

7.

Medicine. 2004; 43(3): 218 222.


Graves TD, Hanna MG. Neurological Channelopathies. Postgrad Med Journal. 2005;

8.

81: 20-32.
Cannon SC. Myotonia and Periodic Paralysis: Disorders of Voltage-Gated Ion Channels.
In: Neurological Theurapeutics Principles and Practice. United Kingdom: Mayo

9.

Foundation; 2003. p. 225; 2365-2377


Sternberg D, Masionobe T, Jurkat-Rott K. Hypokalaemic Periodic Paralysis type 2
caused by mutasions at codon 672 in the muscle sodium channel gene SCN4A. Barain;

2001. p. 10919.
10. Sternberg D, Tabt IN, Haingue B, Fontaine B. Hypokalemic Periodic Paralysis. Gene
Reviews. Seatle: NIH University of Washington; 2004. p. 122.

19

You might also like