You are on page 1of 21

BAB 1

PENDAHULUAN
Hipertensi terdiri dari hipertensi urgensi dan hipertensi emergensi. Hipertnsi urgensi adalah
peningkatan tekanan darah secara mendadak tanpa menyebabkan kerusakan organ sasaran.
Sedangkan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik secara mendadak yang dapat
menyebabkan kerusakan organ sasaran dikenal sebagai hipertensi emergensi. Organ sasaran
tersebut antara lain otak, ginjal, jantung, mata dan pembuluh darah, oleh karena itu orang dengan
tekanan darah tinggi memiliki resiko terhadap penyakit cardiovascular, ginjal, dan gangguan
pada penglihatan.
Ensefalopati hipertensi merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Oppenheimer dan
Fishberg pada tahun 1928, yang menjelaskan keadaan ensefalopati dalam hubungannya dengan
hipertensi maligna oleh karena kenaikan tekanan darah yang menyebabkan hipertensi
vaskulopati

dan

edema

intraserebral.

Ensefalopati

merupakan

istilah

umum

yang

menggambarkan kerusakan atau disfungsi otak. Ensefalopati dapat disebabkan oleh infeksi,
trauma, gangguan metabolik, dan penyakit sistem organ lainnya. Gejala dapat bersifat reversibel
selama ditangani dengan baik.
Di Amerika Serikat, dari 60 juta orang yang menderita hipertensi, sekitar 1% diantaranya
berkembang menjadi hipertensi emergensi. Morbiditas dan mortalitas pada ensefalopati
hipertensi bervariasi sesuai dengan derajat dari kerusakan organ. Tanpa adanya tindakan, angka
mortalitas adalah sekitar 50 % dan meningkat menjadi 90 % pada 1 tahun kemudian.
Otak merupakan organ vital yang memiliki kebutuhan akan oksigen yang tinggi. Apabila
terjadi gangguan sirkulasi yang mengangkut oksigen ke otak maka dapat terjadi kerusakan pada
otak yang dapat bersifat permanen jika tidak ditangani dengan segera. Hipertensi dapat
menyebabkan kerusakan pada otak oleh karena kenaikan tekanan darah secara mendadak yang
melampaui kemampuan autoregulasi otak. Keadaan demikian dikenal sebagai hipertensi
ensefalopati.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Ensefalopati hipertensi adalah sindrom klinik akut reversibel yang dicetuskan oleh kenaikan
tekanan darah secara mendadak sehingga melampaui batas autoregulasi otak. Ensefalopati
hipertensi dapat terjadi pada normotensi yang tekanan darahnya mendadak naik menjadi 160/100
mmHg. Tetapi, pada penderita hipertensi kronik hipertensi ensefalopati mungkin belum terjadi
meskipun tekanan arteri rata-rata mencapai 200 atau 225 mmHg.
Ensefalopati hipertensi merupakan suatu sindrom dengan klinis-radiografi dan etiologi
yang beragam yang terjadi pada 1 % pasien dengan krisis hipertensi. Ensefalopati hipertensi
merupakan komplikasi neurologi yang diakibatkan peningkatan mendadak tekanan darah dan
merupakan salah satu manfestasi klinis dari hipertensi emergensi. Ensefalopati hipertensi dapat
didefinisikan sebagai sindrom serebral akut yang terjadi sebagai hasil kegagalan autoregulasi
vascular serebral, meningkat pada penghancuran sawar darah otak dan edem serebral.
Mekanisme pasti yang menyebabkan hilangnya fungsi endothelial belum diketahui.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Sekitar 20 30 % orang dewasa di negara berkembang menderita hipertensi. Tekanan darah
meningkat sesuai bertambahnya usia. Hipertensi lebih sering terjadi pada pria dibandingkan
dengan wanita, terutama kelompok usia pertengahan dan paruh baya. Di Amerika, 60 juta ornag
menderita hipertensi, dan sekitar 1 % diantaranya berkembang menjadi hipertensi emergensi.
Ensefalopati hipertensi kebanyakan diderita pada usia paruh baya, yang mempunyai riwayat
hipertensi jangka panjang. Frekuensi ensefalopati hipertensi lebih sering terjadi pada etnis kulit
hitam.

2.3 ETIOLOGI
Ensefalopati hipertensi dapat merupakan komplikasi dari berbagai penyakit antara lain penyakit
ginjal kronis, stenosis arteri renalis, glomerulonefritis akut, toxemia akut, pheokromositoma,
sindrom cushing, serta penggunaan obat seperti aminophyline, phenylephrine. Ensefalopati
2

hipertensi lebih sering ditemukan pada orang dengan riwayat hipertensi esensial lama.
Ensefalopati hipertensi dapat terjadi setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan rupture vena yang terjadi dalam ruangan subdural.3,4
Perdarahan subdural dapat terjadi pada:
-

Trauma kapitis
Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak

terhadap durameter, misalnya pada orang jatuh dan terduduk.


Trauma pada leher keguncangan pada badan, hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan

subdural lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orang tua dan juga anak-anak.
Pecahnya ancurysma atau malformasi pembuluh darah didalam ruangan subdural
Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan pendarah subdural yang

spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intracranial.


Pascaoperasi(kraniotomi, CSF hunting)
Pada orang tua, alkoholik, dan gangguan hati

Faktor risiko untuk hematoma subdural kronis meliputi berikut ini:


-

Alkoholisme
Epilepsi
Koagulopati
Kista arachnoid
Terapi antikoagulan (termasuk aspirin)
Penyakit kardiosvaskular (misalnya, hipertensi, arterioclcrosis)
Trombositopenia
Diabetes mellitus

Trauma kapitis dapat menyebabkan pergeseran atau putaran otak terhadap duramater,
misalnya pada orang yang jatuh terduduk, pecahnya aneurisma atau malformasi pembuluh darah
di dalam ruang subdural, dan/atau gangguan pembekuan darah.
2.4 PATOFISIOLOGI
Otak dan mendula spinalis terbungkus dalam tiga sarung membranosa yang konsentrik.
Membrane yang paling luar tebal, kuat dan fibrosa disebut duramater, membrane tengah tipis dan
halus serta diketahui sebagai arachnoidea meter, dan membrane paling dalam halus dan bersifat
vaskuler serta berhubungan erat denga permukaan otak dan mendulla spinallis serta dikenal
sebagai piameter.1,3
Duramater mepunyai lapisan endosteal luar, yang bertindak sebagai periosteum
tulang tulang kranium dan lapisan bagian dalam yaitu lapisan meningeal yang berfungsi
untuk melindungi jaringan saraf dibawahnya sera saraf saraf cranial dengan membentuk
3

sarung yang menutupi setiap saraf cranial. Sinus venosus terletak dalam duramater yang
mengalirkan darah venosa dari otak dan meningen ke vena jugularis interna dileher.
Pemisah duramater yang berbentuk sabit disebut falx serebri, yang terletak vertical antara
hemispherium serebri dan jembaran horizontal, yaitu tentorium serebelli, yang
berproyeksi kedepan diantara serebrum dan serebellum, yan berfungsi untuk membatasi
gerakan berlebihan otak di kranium.4
Arachnoidea mater merupakan membrane yang lebih titpis dari durater dan
membentuk penutup yang longgar bagi otak. Arachnoidea mater menjebatani suklus
suklus dan masuk kedalam yang dalam antara hemispherium serebri. Ruang aantara
arachnoidea dengan pia mater diketahui sebagai ruang subarachnoidea dan terisi dengan
cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal merupakan bahan
pengapung otak serta melindungi jarinag saraf dari benturan mekanis yang mengenai
kepala.
Piameter merupakan suatu membrane vaskuler yang menyokong otot dengan erat
suatu sarung piameter menyertai cabang cabang arteri serebralis ada saat mereka
memasuki substansia otak. Secara klinis, durameter disebut pachymenix dan arachnoidea
serta pia mater disebut sebagai leptomeninges.
Perdarahn terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi
akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di
permukaan otak dan simus venosus didalam duramater atau karan robeknya araknoidea.
Karena otak yang bermandikan cairan cervrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus
venosus dalam keadaan teriksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma dan
dapat merobek beberapa vena pada tempat diamana mereka menembus duramater.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan mebeku dan ada disekitarnya akan tumbuh
jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan
menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri
karena tekana intracranial yang berangsur meningkat.3

Gambar 9.Lapisan Pelindung otak


Perdarahan subdural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena
jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga
walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut.
Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering
menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul pada
pendarahan. Pada perdarahan subdural yang kecilsering terjadi perdarahan yang spontan.
Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membrane vascular yang
membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah
didalam membranm ini memegang pernana sangat penting. Karena pembuluh darah pada
membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari
perdarahan subdural kronik.5
Akibat dari perdarahn subdural, dapat meningkatkan tekanan intracranial dan
perubahan dari bentuk otak. Naik nya tekanan intra cranial di kompensasi oleh efluks dari
carian likuor ke axis soinal dan dikompresi oleh system vena. Pada vase ini peningkatan
tekanan intra cranial terjadi relative perlahan karena komplains tekana intra cranial yang
cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu
akan melampui maknisme kompensasi tersebut.5
Complain intra cranial mulai berkurang menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan intra cranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi
iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subsfalkin. Herniasi
tonsilar melalui foramen magnum dapt terjadi jika seluruh batang otak terdorong
kebawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanansupra tentorial. Juga pada
hematoama subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia
5

basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak lainnya. Terdapat 2 teori yang
menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari gardner yang
mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan
meningkatkan kdungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma
dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik di dalam kapsul subdural
hematoma. Karena tekanan onktonik yang didalam kapsul subdural hematoma. Karena
tekanan onktonik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dan
perdarahan tersebut, tetapi ternaya ada kontroversial dari teori gardner ini, yaitu ternayata
dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik didalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang kedua
mengatakan bahwa, perdarahan berulang yang dapat mengakibatkan terjadinya
perdarahan subdural kronik, factor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan
terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut member bantuan pada pembentukan
peningkatan vaskularisasi diluar membrane atau kapsul dari subdural hematoma. Level
dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari
fibrinolitik dapat meyebabkan terjadinya SDH.
Perdarahan subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya
gejala gejala klinis yaitu:5,8
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul sehingga berjam jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada
cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih
lanjut pada paisen yang biasanya sudagh terganggu kesadarn dan tanda vitalnya.
Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnta tetapi melebar luas. Pada gambran
skening tomografinya, di dapatkan lesi hiperdens.
2. Perdarahan sub akut
Berekembang dalam beberapa haribiasanya sekitar 2 14 hari sesudah trauma.
Pada subdural subakut ini didapati campuran dan bekuan darah dan cairan darah.
Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula disekitarnya.
Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens . lesi
isoden didaptkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari
hemoglobin.
3. Perdarahan kronik
6

Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bias lebih.


Perdarahan kronik subdural, gejalanya bias muncul dalam waktu berminggu
minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas,
bahkan hanya terbentur ringan saja bias mengakibatkan perdarahan subdural
apabila pasien juga mengaami gangguan vascular atau gangguan pembekuan
darah. Pada perdarahan subdural kronik, kita harus berhati hati karena hematoma
ini lama kelamaan bisa menjadi memebsar secara perlahan lahan sehingga
mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula
jaringan ikat terbentuk mengeilingi hematoma, pada yang lebih baru, kapsula
masih belum terbentuk atau tipis didaerah permukaan arachnoidea. Kapsula ini
mengandung pembuluh darah yang tipis di dindingnya terutama pada sisi
duramater.karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat
menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini
dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan hematom.
Darah di dalam cairan kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat
menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan memebesar dan
akan menimbulkan gejala seperti pada tumor serebri. Sebagian besar hematoma
subdural kronik dapat dijumpai pada pasien yang berusia diatas 50 tahun. Pada
gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.
2.5 GEJALA KLINIS
1. Hematoma subdural akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologic dalam 24 sampai 48 jam
setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologic
proggerisf disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam
foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan in
dengan cepat menimbulkan berhntinya pernapasan dan hilangnya control atas denyut nadi
dan tekanan darah. 1,5
2. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan deficit neurologic dalam waktu lebih dari 48 jam
tetapi kurang dari 2 minggu setelah cidera. Seperti pada hematoma subdural akut,
hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural
7

Analisis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksandaran, selanjutnya diikuti serta perbaikan status neurologic yang
perlahan lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita melihatkan tanda-tanda status
neurologic yang memburuk. Tingkat keadaran mulai menurun perlahan lahan dalam
beberapa jam. Dengan meningkatnya tekanan itrakranial sering pembesaran hematoma,
penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial
yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan
melengkapi tanda tanda neurologic dari komprensi batang otak.1,3,5
3. Hematoma subdural kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan
beberapa tahunsetelah edera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang
melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural.
Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam sampai 10 hari setelah
perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa. Dengan adanya selisih
tekanan otomatic yang mampu menarik cairan kedalam hematoma, terjadi kerusakan sel
sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini ynag menyebabkan
perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya,
menambah ukuran dan tekanan hematoma.1,3
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi
tidak dihiraukan. Hematoma subdual pada bayi bias menyebabkan kepala bertambah
besar karena tulang tengkorak nya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang
kecil pada dewasa seringkali diserap spontan.Hematoma subdural yang besar, yang
menyebabkan gejala gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri ini biasanya akan
mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang). Daerah tertentu pada
korteks serebri biasanya bertanggung jawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan
beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.4,5
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik
(misalnya menulis, memainkan alt music atau mengikat tali sepatu). Lobus frontaslis juga
mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis yang
bertanggung jawab terhadap aktifitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan.
8

Efek perilaku dari kerusakan lobus fromtalis bervariasi, tergantung pada ukuran
dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil jika hanya mengelai satu
sisi otak, biasanya idak mengakibatkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun
menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis
bias menyebabkan apati, ceroboh, lalai, dan kadang inkontinesia. Kerusakan luas yang
mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita
mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menantang, kasar kasar dan kejam;
penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya. Lobus parietalis pada
korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur, dan berat badan kedalam
persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan mematikan matematikan dan bahasa berasal
dari daerah ini . lobus parietalis juga membanu mengarahkan posis pada ruang di
sekitarnya dan merasakan posisi pada bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan
lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang
agak luas bias menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian
pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia ) dan untuk menetukan arah kiri-kanan.
Kerusakan luar biasa mempengaruhi kemapuan penderita dalam mengenali bagian
tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bias mempengaruhi ingatan akan bentuk
yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding).
Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun
melakukan pekerjaan sehari hari lainnya. Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru
saja terjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga
memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta
menghasilkan jalur emosional.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggu nya
ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri
menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam
dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus
temporalis sebelah kana yang non dominan, akan mengalami perubahan epribadian
seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanitakan agama yang tidak biasa, obsesif dan
kehilangan gairah seksual.
Mekanisme yang bias menghasilkan hematoma subdural akut adalah dampak
berkecepatan tinggi ke tengkorak. Hal ini menyebabkan jaringan otak untuk
9

mempercepat atau memperlambat relatif terhadap structural dural tetap merobek


pembuluh darah.
Seringkali, pembuluh darah robek adalah pembuluh darah yang menghubungkan
permukaan korikal otak ke sinus dural (disebut vena bridging). Pada orang lanjut usia,
pembuluh darah bridging mungkin sudah meregang karena atrofi otak (penyusutan yang
terjadi dengan usia). Atau sebuah kapal kortikal, bai vena atu arte kecil, bisa rusak oleh
cedera langsung, atau laserisasi. Sebuah hematoma subdural akut karena arteri kortikal
pecah dapat berhubungan dengan cedera kepala hanya kecil, mungkin tanpa luka memor
otak terkait.
Telah menegaskan cedera otaku tama yang terkait dengan hemtoma subdural
memainkan peran utama dalam kematian. Namun, hematoma subdural yang paling di
perkirakan akibat dari vena bridging robek,sebagaimana dinilai oleh operasi atau otopsi
selain itu tidak semua hematoma subdural berhungan dengan cedera parenkim difus.
Seperti disebutkan sebelum nya, banyak asien yang menderita lesi ini mampu
berbicara ebelum kondisi mereka memburuk scenario yang tida mungkin pada pasien
yang mengalami kerusakan menyebar.
Cedera kepala yang dapat merobek, menemukan atau mengahncurkan saraf,
pembuuh darah dan jaringan didalam atau disekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada
jalur saraf perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan pembengkakan dan
penimbunan

ciran (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh

pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat betambah luas,
maka peningkatan tekanan dapat merusak merusak jaringan otakatas bisa terdorong
kedalam yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini disebut dengan
herniasi. Sejenis herniasi serupa juga bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui
lubang dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medulla spinalis. Herniasu ini bisa
berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi fital (denyut jantung dan
pernafasan).2,3
Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan otak
yang hebat. Usia anjut dan orang yag mengkomsumsi antikoagulan, sangat peka terhadap
terjadinya pendarahan di sekeliling otak. Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran
menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar
disekitar mata dan di belakang telinga. Pasien seprti ini harus di observasi dengan teliti.

10

Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam macam akibat dari cedera kepala
kepala. Banyak gejala yang muncul bersamaan pada saat terjadi cedera kepala.
Gejala yang sering tampak :3
- Penuruna kesaran , bisa sampai koma
- Bingung
- Penglihatan kabur
- Susah kepala
- Nyeri kepala yang hebat
- Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
- Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala
- Mual
- Pusing
- Berkeringat
- Pucat
- Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar
Pada setiap kesadaran sebelum atau koma, bisa dijumpai hemirpase atau serangan
epilepsi fokal. Pda perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi
cahay permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi
tentorial. Terjadi pula kenaikan tekana darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran
menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai
akhirnay kedua pupil tidak menunjukan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda
kematian. Gejala- gejala resoirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya
disfungsi rostrocaudal batang otak.
Pemeriksaan fisik pasien dengan trauma kepala harus menekankan penilain status
neurologis dengan menggunakan Glasgow Coam Scale (GCS). Pemeriksaan neurologis
awal memberikan dasar penting yang harus digunakan untuk mengikuti kursus klinis
pasien. Ketika direkam dalam bentuk skor GCS, juga memberikan informasi prognostic
penting. Pasien dengan cidera lepala serisu sering diintubasi cepat dan diberikan
perawatan yang berorientasi trauma. Namun, karena signifikansi prognostic, pemeriksaan
neurologis singkat dihitung dengan menggunakan GCS merupakan komponen penting
dari penilaian sekunder dan membutuhkan waktu kurang dari 2 menit untuk
menyelesaikan GCS ini berfokus pada kemampuan pasien untuk menghasilkan pidato
dimengerti, membuka mata, dan ikut perintah. Selama pemeriksaan awal, pasien harus

11

dinilai untuk kemampuan membuka mata spontan atau sebagai respon surat atau rasa
sakit.
Gambaran klinis pasien dengan hematoma subdural akut tergantng pada ukuran
hematoma dan tingkat cedera otak parenkim terkait.
Gejala yang berhubungan dengan hematoma subdural akut meliputi:3
-

Sakit kepala
Mual
Kebingungan
Perubahan kepribadian
Penurunan tingkat kesadaran
Kesulitan berbicara
Perubahan lain dalam status mental
Gangguan penglihatan atau penglihatan ganda
Kelemahan

Pemeriksaan neurologis untuk hematoma subdural kronis dapat menunjukan salah satu
dari berikut
- Perubahan status mental
- Papilledema
- Hypereflexsia atau reflex asimetri
- Hemianopsie
- Hemiparesis
- Disfungsi saraf cranial ketiga atau keenam
2.6 DIAGNOSIS
Adapun gejala neurologis merupakan langkah pertama untuk mengetahui tingkat
keparahan dari trauma kapitis.Kemapuan pasien dalam berbicara,membuka mata dan respon
otot hsrus dievaluasi disertai dengan ada tidaknya disorientasi (apabila pasien sadar)
tempat,waktu dan kemampuan pasien untuk membuka mata yang biasanya sering ditanyakan.
Apabila pasien tidak sadar,pemeriksaan refleks pupil sangat penting dilakukan.7
Anamnesis
Dari anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan jejas dikepala
atau tidak,jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan kesadaran atau
12

pingsan.Jika ada pernah atau tidak penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula .Jika
pernah apakah tetap sadar seperti semula atau turun lagi kesadarannya dan diperhatikan
lamanya periode sadar atau lucid interval.Untuk tambahan informasi perlu ditanyakan apakah
disertai muntah dan kejang setelah terjadinya trauma kepala.Kepentingan mengetahui muntah
dan kejang adalah untuk mencari penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena
inspirasi atau sumbatan nafas atas atau karena proses intrakranial yang masih berlanjut.Pada
penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan mual,adanya kelemahan
anggota gerak sesisi dan muntah-muntah yang tidak bisa ditahan.Ditanyakan juga penyakit
lain yang sedang diderita ,obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini dan apakah dalam
pengaruh alkohol.1,3
Pemeriksaan Fisik1,3,5,8
Pemeriksaan

klinis

meliputi

pemeriksaan

primer

(primary

survey)

yang

dilanjutmencakup jalan nafas (airway) ,pernafasan (breathing) dan tekanan darah atau nadi
(circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi.Jalan nafas harus dibersihkan apabila terjadi
sumbatan atau obstruksi,bila perlu dipasang orofaring tube atau endotrakeal tube lalu diikuti
dengn pemberian oksigen .Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi
jaringan tubuh.Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk memonitr saturasi O 2
Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan memantau apakah terjadi hipotensi,syok
atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial.Jika terjadi hipotensi atau syok harus segera
dilakukan pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang.Terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan
darah ,bradikardia dan bradipnea.
Pemeriksaan neurologik meliputi kesadaran penderita dengan menggunakan Skala
Koma Glasgow ,pemeriksaan diameter kedua pupil dan tanda-tanda defisit neurologis
fokal.Pemeriksaan kesadaran dengan Skala Koma Glasgow menilai kemampuan membuka
mata,respon verbal dan respon motorik pasien terdapat stimulasi verbal atau nyeri
.Pemeriksaan diameter kedua pupil dan adanya defisit neurologi fokal menilai apakah telah
terjadi herniasi di dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang kortex
menuju medula spinalis.

13

Pada pemeriksaan sekunder,dilakukan pemeriksaan neurologi serial meliputi GCS,


lateralisasi dan refleks pupil.Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini adanya gangguan
neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporalis (unkus) adalah dilatasi pupil dan
hilangnya refleks pupil terhadap cahaya.Adanya trauma langsung pada mata membuat
pemeriksaan menjadi lebih sulit.

Tabel 1.GCS
Pemeriksaan Penunjang3,5
a) Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi pemeriksaan darah rutin,elektrolit,profil
hemostasis /koagulasi.
b) Foto Tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan adanya SDH.
Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan kemungkinan adanya perdarahan
intrakranial tetapi tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH.
Bahkan fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap SDH.
c) CT-Scan

14

Pemeriksaan CT-Scan adalah modalitas pilihan utama bila disangka terdapat suatu lesi
pasca-trauma,karena prosesnya cepat ,mampu melihat seluruh jaringan otak dan secra
akurat membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-kranial dan ekstra-aksial.2
1. Perdarahan Subdural Akut
Perdarahan subdural akut pada CT-Sca (non-kontras) tampak sebagai
suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang
bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas
otak di daerah parsial.Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit di daerah bagian
atas tentorium serebelli.Subdural hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh
garis sutura.Jarang sekali,subdural hematoma berbentuk lensa seperti epidural
hematom dan biasanya unilateral.
Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan
gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CTwindow width.Pergeseran garis tengah (midline shift)akan tampak pada
perdatahan sundural yang sedang atau besar volumenya.Bila tidak tidak ada
midline shift harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila midline shift
hebat harus dicurigai adanya edema serebral yang medasarinya.
Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum
relatif tidak bergerak sehingga merupakan proteksi bridging veins yang terdapat
disana.Perdarahan subdural yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan
gambaran falks serebri menebal dan tidak beraturan dan sering berhubungan
dengan child abused.1,2,3
2. Perdarahan Subdural Subakut
Didalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens terhadap
jaringan otak sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT.Oleh karena
itu,pemeriksaan CT dengan kontras atau MRI sering dipergunakan pada kasus
perdarahan subdural dalam waktu 48-72 jam setelah trauma kapitis.Pada
gambaran TI-weighted MRI lesi subakut akan tampak hiperdens.Pada pemriksaan
CT dengan kontras ,vena-vena kortikal akan tampak jelas dipermukaan otak dan
membatasi subdural hematoma dan jaringan otak. Perdarahan subdural subakut
sering juga berbentuk lensa (bikonveks) sehingga membingungkan dalam

15

membedakannya dengan epidural hematoma.Pada alat CT generasi terakhir


tidaklah terlalu sulit melihat lesi subdural akut tanpa kontras.2,3
3. Perdarahan Subdural Kronik
Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat pada
gambaran CT tanpa kontras.Sekitar 20 % subdural hematom kronik bersifat
bilateral dan dapat mencegah terjadinya pergeseran garis tengah. Seringkali,
hematoma subdural kronis muncul sebagai lesi heterogen padat yang
mengindikasikan terjadinya perdarahan berulang dengan tingkat cairan antara
komponen akut (hyperdense) dan kronis (hipodense).2
d) MRI ( Magnetic resonance imaging)
Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk mengidentifikasi
perdarahan ekstraserebral.Akan tetapi CT-scan mempunyai proses yang lebih cepat dan
akurat untuk mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis menggunakan CT-scan ketimbang
MRI pada fase akut penyakit.MRI baru dipakai pada masa setelah trauma terutama untuk
menetukan kerusakan parenkim otak yang berhubungan dengan trauma yang tidak dapat
dilihat dengan pemeriksaan CT-scan.MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi otak non
perdarahan ,kontusio dan cedera axonal difus.MRI dapat mendiagnosis bilateral subdural
hematom kronik karena pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan.

Gambar 10.MRI pada hematoma subdural


2.7 DIAGNOSIS BANDING 3
1. Epidural Hematom
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial yang paling
sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak.Perdarahan yang terjadi diantara duramater
dan tulang tengkorak.Perdarahan ini terjadi karena akibat robeknya salah satu cabang
16

arteris meningea media,robeknya sinus venosus duramater atau robeknya arteria


diploica.Robekan ini sering terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak.Gejala yang
dapat dijumpai adalah adanya suatu lucid interval ( masa sadar setelah pingsan sehingga
kesadaran menurun lagi) tekanan darah yang semakin bertambah tinggi,nadi yang
semakin bertambah lambat,hemiparesis dan tejadi anisokori pupil.
Diagnosis diferensial dari hematoma subdural akut trauma adalah sama dengan
bahwa untuk setiap trauma,lesi massa intrakranial.Ini termasuk hematom intraserebral
dan luka memar.Karena tentu saja variable dan presentasi ,termasuk kurangnya sering
riwayat trauma kepala,sebanyak 72 % kasus hematom subdural kronis salah didagnosis di
era pra-computed tomography (CT).
2. Hematoma Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah
didalamnya.
2.9 PENATALAKSANAAN
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH,tentu kita
harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya.Didalam masa
mempersiapkan tindakan operasi,perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan
dengan

medikamentosa

untuk

menurunkan

peningkatan

tekanan

intrakranial

(TIK).Seperti pemberian manitol 0,25 gr/kgbb ata furosemide 10 mg iv.


-

Tindakan Tanpa Operasi 4,5,7,8


Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) dilakukan
tindakan konservatif.Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadinya
penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat
mengalami pengapuran.
Penderita SDH akut yang berada dalam keadaan koma tetapi tidak menunjukkan
peningkan tekanan intrakranial (TIK) yang bermakna kemungkinan menderita suatu
diffuse axonal injury.Pada penderita ini operasi tidak akan memperbaiki defisit
neurologik dan karenanya tidak diindikasikan untuk tindakan operasi.
Beberapa penderita mungkin mendapat kerusakan berat parenkim otak dengan
efek massa (mass efect) tetapi SDH hanya sedikit .Pada penderita ini tindakan
operasi/evakuasi walaupun terhadap lesi yang kecil akan merendahkan TIK dan
memperbaiki keadaan intraserebral.

17

Pada penderita SDH akut dengan refleks batang otak yang negatif dan depresi
pusat pernafasan hampir selalu mempunyai prognosa akhir yang buruk dan bukan calon
-

untuk operasi.
Tindakan Operasi 2,3,4,5
Baik pada kasus akut maupun kronik ,apabila ditemukan adanya gejala-gejala
yang progresif,maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran
hematoma.Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi,yang
tetap harus kita perhatikan adalah airway,breathing dan circulation (ABCs).Tindakan
operasi ditujukan kepada :
a. Evakuasi seluruh SDH
b. Merawat sumber perdarahan
c. Reseksi parenkimk otak yang nonviable
d. Mengeluarkan ICH yang ada
Kriteria penderita SDH dilakukan operasi :
a. Pasien SDH tanpa melihat GCS dengan ketebalan > 10 mm atau pergeseran
midline shift > 5 mm pada CT-scan.
b. Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK.
c. Pasien SDH dengan GCS < 9,dengan ketebalan perdarahan < 10 mm dan
pergeseran struktur midline shift.Jika mengalami penurunan GCS > 2 poin antara
saat kejadian sampai saat masuk RS.
d. Pasien SDH dengan GCS < 9 dan atau didapatkan pupil dilatasi asimetris /fixed.
e. Pasien SDH dengan GCS < 9 dan atau TIK > 20 mmHg.
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy ,twist drill
craniotomy,subdural drain.Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan subdural
kronik adalah burr hole craniotomy.Karena dengan teknik ini menunjukkan komplikasi
yang minimal.Reakumulasi dari perdarahan subdural pasca kraniotomi dianggap sebagai
komplikasi yang sudah diketahui.Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah
menunjukkan perbaikan klinis,reakumulasi yang terjadi kembali,tidaklah perlu untuk
dilakukan operasi ulang kembali.

18

Gambar 11.Kraniotomi
Trepanasi atau burr hole dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara cepat
dengan lokal anastesi.Pada saat ini tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena denga
trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang biasanya solid dan
kenyal apalagi jika volume hematoma cukup besar.Lebih dari seperlima penderita SDH
akut mempunyai volume hematoma lebih besar dari 200 ml.1,3,5
Pada pasien gtrauma,adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran ,pupil anisokor
dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya
penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya
massa ekstra axial.Indikasi operasi yaitu :
Penurunan kesadaran tiba-tiba didepan mata
Adanya tanda herniasi /lateralisasi
Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi,dimana CT scan
kepala tidak bisa dilakukan.
2.10 KOMPLIKASI 7,8
19

Cedera parenkim otak biasanya berhubungan dengan subdural hematom akut dan
dapat meningkatkan tekanan intrakranial.Pasca operasi dapat terjadi rekurensi atau masih
terdapat sisa hematom yang mungkin perlu tindakan pembedahan lagi.Sebanyak sepertiga
pasien mengalami kejang pasca trauma setelah cedera kepala berat.Infeksi luka dan
kebocoran CSF bisa terjadi setelah kraniotomi.Meningitis atau abses serebri dapat terjadi
setelah dilakukan tindakan intrakranial.
2.11 PROGNOSIS
Tidak semua perdarahan subdural bersifat letal.Pada beberapa kasus,perdarahan
tidak berlanjut mencapai ukuran yang dapat menyebabkan kompresi pada otak,sehingga
hanya menimbulkan gejala-gejala yang ringan.Pada beberapa kasus yang lain,
memerlukan tindakan operatif segera untuk dekompresi otak.
Tindakan operasi pada hematom subdural kronik memberikan prognosis yang
baik,karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total.Hematom subdural
disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka mortalitas lebih tinggi dan berat.
Perdarahan subdural akut yang sedikit ( diameter < 1 cm) prognosanya baik.4,5

20

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.

Heller,L jacob. 2012.Subdural Hematoma.Medline Plus


Win de jong ;Sjamsuhidajat. 2004.Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi 2.jakarta : EGC
Meagher ,J.Richard. 2013.Subdural Hematoma.Medscape .
Banister,Sir Roger.2000.Brain and Bannister : Clinical Neurology.Seventh Edition.ELBS
Sastrodiningrat ,A Gofar.Memahami fakta-fakta pada Perdarahan Subdural Akut.Medan :

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 no.3.2006


6. Snell,Richard.2002Anatomi klinik.Jakarta : EGC
7. Mardjono,M.Sidharta,P.2006.Neurologi Klinis Dasar.Jakarta :Dian Rakyat
8. Baehr,Mathias.2010.Diargnosis Topik Neurologi DUUS.Jakarta : EGC

21

You might also like